Anda di halaman 1dari 88

KETIDAK ADILAN GENDER DAN

CONTOH KASUSNYA
by Alifia mahfudhoh • Desember 3, 2017 • 0 Comments

Selamat sore sahabat blogger, kali ini saya kan membagikan materi tugas kata kuliah Sosiologi
Gender tentang Ketidak Adilan Gender.

Sehingga dalam tugas ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan untuk menambah pengetahuan
kita semua.

“ KETIDAK ADILAN GENDER”

Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki.
Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi,
marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Terwujudnya kesetaran dan
keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan
dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas
pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.

Permasalahan Ketidakadilan Gender

Ketertinggalan perempuan mencerminkan masih adanya ketidakadilan dan ketidak setaraan


antara laki-laki dan perempuan di Indonesia, hal ini dapat terlihat dari gambaran kondisi
perempuan di Indonesia. Sesungguhnya perbedaan gender dengan pemilahan sifat, peran, dan
posisi tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan. Namun pada
kenyataannya perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidak adilan, bukan saja bagi
kaum perempuan, tetapi juga bagi kaum laki-laki. Berbagai pembedaan peran, fungsi, tugas dan
tanggung jawab serta kedudukan antara laki-laki dan perempuan baik secara langsung maupun
tidak langsung, dan dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah
menimbulkan berbagai ketidakadilan karena telah berakar dalam adat, norma ataupun struktur
masyarakat.

Gender masih diartikan oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin. Masyarakat belum
memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan tanggung
jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan kesenjangan
peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan
perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan kurang
menguntungkan dibandingkan laki-laki. Ketidakadilan gender merupakan bentuk perbedaan
perlakuan berdasarkan alasan gender, seperti pembatasan peran, penyingkiran atau pilih kasih
yang

mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas pengakuan hak asasinya, persamaan antara laki-
laki dan perempuan, maupun hak dasar dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain-
lain.

Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan sistem dan struktur dimana baik perempuan
maupun laki-laki menjadi korban dalam system tersebut. Berbagai pembedaan peran dan
kedudukan antara perempuan dan laki-laki baik secara langsung yang berupa perlakuan
maupun sikap, dan yang tidak langsung berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan
maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan. Ketidakadilan gender terjadi
karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia
dalam berbagai bentuk yang bukan hanya menimpa perempuan saja tetapi juga dialami oleh
laki-laki. Ketidakadilan gender ini dapat bersifat :

– Langsung, yaitu pembedaan perlakuan secara terbuka dan berlangsung, baik


disebabkan perilaku/sikap, norma/nilai, maupun aturan yang berlaku.

– Tidak langsung, seperti peraturan sama, tapi pelaksanaannya menguntungkan jenis kelamin
tertentu.

– Sistemik, yaitu ketidakadilan yang berakar dalam sejarah, norma atau struktur masyarakat
yang mewariskan keadaan yang bersifat membeda-bedakan.

Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender

Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender meliputi:

1. Marginalisasi (pemiskinan) perempuan

Pemiskinan atas perempuan maupun atas laki-laki yang disebabkan oleh jenis kelaminnya
adalah merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender. Peminggiran
banyak terjadi dalam bidang ekonomi. Peminggiran dapat terjadi di rumah, tempat kerja,
masyarakat, bahkan oleh negara yang bersumber keyakinan, tradisi/kebiasaan, kebijakan
pemerintah, maupun asumsi-asumsi ilmu pengetahuan (teknologi).

Contoh-contoh marginalisasi:

 Pemupukan dan pengendalian hama dengan teknologi baru yang dikerjakan laki-laki
 Pemotongan padi dengan peralatan sabit, mesin yang diasumsikan hanya membutuhkan
tenaga dan keterampilan laki-laki, menggantikan tangan perempuan dengan alat panen
ani-ani
 Peluang menjadi pembantu rumah tangga lebih banyak perempuan
 Banyak pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan seperti “guru taman
kanak-kanak” atau “sekretaris” dan “perawat”.

1. Subordinasi (penomorduaan)

Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih
penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu ada pandangan
yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari pada laki-laki.
Kenyataan memperlihatkan pula bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang
gerak terutama perempuan di berbagai kehidupan. Anggapan bahwa perempuan lemah, tidak
mampu memimpin, cengeng dan lain sebagainya, mengakibatkan perempuan jadi nomor dua
setelah laki-laki. Sebagai contoh apabila seorang isteri yang hendak mengikuti tugas belajar,
atau hendak berpergian ke luar negeri harus mendapat izin suami, tatapi kalau suami yang akan
pergi tidak perlu izin dari isteri.

1. Stereotip (citra buruk)

Pelabelan atau penandaan yang sering kali bersifat negatif secara umum selalu melahirkan
ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip yang melahirkan ketidakadilan dan diskriminasi
bersumber dari pandangan gender karena menyangkut pelabelan atau penandaan terhadap
salah satu jenis kelamin tertentu. Misalnya, pandangan terhadap perempuan bahwa tugas dan
fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan kerumahtanggaan atau tugas
domestik dan sebagi akibatnya ketika ia berada di ruang publik maka jenis pekerjaan, profesi
atau kegiatannya di masyarakat bahkan di tingkat pemerintahan dan negara hanyalah
merupakan perpanjangan peran domestiknya.

1. Violence (kekerasan)

Berbagai kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran muncul


dalam berbagai bentuk. Kata kekerasan tersebut berarti suatu serangan terhadap fisik maupun
integritas mental psikologi seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut
serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan, dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non
fisik seperti pelecehan seksual, ancaman dan paksaan sehingga secara emosional perempuan
atau laki-laki yang mengalaminya akan merasa terusik batinnya. Pelaku kekerasan yang
bersumber karena gender ini bermacam-macam. Ada yang bersifat individual seperti di
dalamrumah tangga sendiri maupun di tempat umum dan juga di dalam masyarakat.
Perempuan, pihak paling rentan mengalami kekerasan, dimana hal itu terkait dengan
marginalisasi, subordinasi maupun stereotip di atas.

1. Beban kerja berlebihan

Sebagai suatu bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban kerja yang harus
dijalankan oleh salah satu jenis kelamin tertentu. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya,
beberapa jenis kegiatan dilakukan oleh laki-laki, dan beberapa yang lain dilakukan oleh
perempuan. Berbagai observasi menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari
pekerjaan dalam rumah tangga, sehingga bagi mereka yang bekerja di luar rumah, selain
bekerja di wilayah public mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestik.

Contoh Kasus Gender dan Marginalisasi

Peran Perempuan di Bidang Pangan Tak Diperhatikan

Oleh Umar Idris – Rabu, 07 Maret 2012 | 20:52 WIB

JAKARTA. Pada peringatan hari perempuan internasional yang jatuh pada 8 Maret 2012
,sejumlah LSM di bidang pangan mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan pangan yang
memperhatikan peran perempuan. Sebab, berdasarkan penelitian dan kesaksian para LSM ini,
peran perempuan di sektor pangan sangat besar. Contoh kebijakan yang dikritik ialah
penggunaan benih hibrida. Pemerintah tidak menyadari, penggunaan benih padi hibrida akan
mengurangi peran perempuan sekaligus bisa mengurangi penghasilan perempuan. Pasalnya,
benih hibrida hanya digunakan untuk satu kali masa tanam sehingga petani harus membeli benih
hibrida yang baru dari pabrikan. Padahal peran petani perempuan dalam pemuliaan benih
selama ini cukup besar karena perempuan dianggap lebih teliti. Di daerah lain, banyak petani
perempuan masih hidup miskin. Bahkan di Karawang, Jawa Barat, saat ini semakin banyak
perempuan yang berprofesi sebagai pemungut sisa-sisa hasil panen (profesi yang di masyarakat
setempat disebut blo-on) demi memenuhi kebutuhan keluarga. Padahal sepuluh tahun lalu,
profesi ini dicibir oleh para petani sendiri. Namun sekarang banyak keluarga petani, sebagian
besar dari mereka ialah perempuan, menjalani profesi blo-on ini dengan jangkauan wilayah
semakin luas hingga lintas kecamatan. “Dimana perhatian pemerintah kepada mereka?,” tanya
Said..Sedangkan di sektor perkebunan sawit, saat ini peran perempuan masih terpinggirkan.
Meski banyak perempuan menjadi buruh sawit, namuh mereka tidak berhak ditulis namanya
dalam surat tanah maupun tidak berhak atas perjanjian tentang pekerjaan. Ahmad Surambo,
aktivis Sawit Watch, tidak memperkirakan jumlah buruh perempuan di perkebunan sawit.
Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera, Tejo Wahyu Jatmiko, mengatakan mulai saat ini
pemerintah harus benar-benar menjadikan perempuan sebagai subyek dalam setiap kebijakan di
bidang pangan. “Jika pemerintah bisa meningkatkan kesejahteraan perempuan, maka
ketersediaan pangan dan pemberantasan kemiskinan dengan sendirinya akan terselesaikan,
“kata Tejo. Di sisi lain, data BPS menunjukkan, faktor pangan menyumbang hingga 73,53%
terhadap garis kemiskinan. Dengan kata lain, kemiskinan banyak disebabkan akibat kekurangan
pangan. “Selama perempuan belum terangkat taraf hidupnya, persoalan pangan dan
kemiskinan tidak akan cepat selesai,” tutur Tejo.

Sumber:http://nasional.kontan.co.id/news/peran-perempuan-di-bidang-pangan-tak-diperhatikan

Analisis tentang kasus gender dan marginalitas perempuan dalam kasus peran perempuan
dalam sector pangan di katakana sebagai ketidak adilan gender antara perempuan dan laki-laki.
Sebagai kaum yang di anggap tidak berperan penting (perempuan) di masyarakat maka ketidak
adilan itulah yang di permasalahkan dalam kasus ini. Sector pangan yang banyak di kelola oleh
kaum perempuan justru yang membutuhkan ketelatenan dan kesabaran agar menjadi baik.
Seperti pemuliaan benih, tidak semua laki-laki bisa melakukan hal tersebut dengan baik.
Didalam kasus ini perempuan di kesampingkan karena adanya system teknologi yang maju, dan
perempuan di biarkan hidup dengan cara tidak produktif dan jika masih bekerja, perempuan di
jadikan buruh yang paling bawah, sehingga gaji atau penghasilannya sangat sedikit di banding
dengan kaum laki-laki. Yang di harapkan penulis dalam kasus ini salah satunya agar pemerintah
bisa meningkatkan kesejahteraan kaum perempuan dalam system pangan, agar kesediaan
pangan masyarakat dapat meningkat. Dan pemberantasan kemiskinan dengan adanya kaum
perempuan sebagai buruh harus di pertimbangkan dan di naikkan taraf hidupnya. Permasalah ini
sering terjadi, karena kurangnya pengawasan pemerintah terhadap kaum perempuan dalam
sector pembangunan bangsa dan negara.

Sumber :

Pasaribu, vera. 2016. Kesetaraan dan Ketidakadilan Gender. karya ilmiah. Medan: Universitras
HKPB Nommensen

http://blog.unnes.ac.id/alifiamahfudhoh/2017/12/03/ketidak-adilan-gender-dan-contoh-kasusnya/
GENDER DAN PERMASALAHANNYA

25 Februari 2009 pada 09:49 (Masalah Sosial)

Tags: Masalah Sosial

I.PENDAHULUAN

Dalam kehidupan sehari-hari kata gender mengalami berbagai penafsiran dan tanggapan yang sering
kurang tepat. Pemahaman mengenai gender menjadi sesuatu yang sangat penting artinya bagi
semua kalangan, baik dalam pemerintahan, swasta, masyarakat maupun keluarga. Melalui
pemahaman yang benar mengenai gender diharapkan secara bertahap diskriminasi perlakuan
terhadap perempuan dapat diperkecil sehingga perempuan dapat memanfaatkan kesempatan dan
peluang yang diberikan untuk berperan lebih besar dalam berbagai aspek kehidupan.

II. GENDER DAN PERMASALAHNYA

2.1 Sejarah Munculnya Gender

Kesamaan perempuan dan laki-laki dimulai dengan dikumandangkannya ‘emansipasi’ di tahun 1950
dan 1960-an. Setelah itu tahun 1963 muncul gerakan kaum perempuan yang mendeklarasikan suatu
resolusi melalui badan ekonomi sosial PBB. Kesamaan perempuan dan laki-laki diperkuat dengan
deklarasi yang dihasilkan dari konferensi PBB tahun 1975, yang memprioritaskan pembangunan bagi
kaum perempuan. Berkaitan dengan itu dikembangkan berbagai program pemberdayaan
perempuan, dan mulai diperkenalkan tema Women In Development (WID), yang bermaksud
mengintegrasi perempuan dalam pembangunan.

Setelah itu, beberapa kali terjadi pertemuan internasional yang memperhatikan tentang
pemberdayaan perempuan. Sampai akhirnya sekitar tahun 1980-an, berbagai studi menunjukkan
bahwa kualitas kesetaraan lebih penting daripada sekedar kuantitas, maka tema WID diubah
menjadi Women and Development (WAD).

Tahun 1992 dan 1993, studi Anderson dan Moser memberikan rekomendasi bahwa tanpa kerelaan,
kerjasama, dan keterlibatan kaum laki-laki maka program pemberdayaan perempuan tidak akan
berhasil dengan baik. Dengan alasan tersebut maka dipergunakan pendekatan gender yang dikenal
dengan Gender and Development (GAD) yang menekankan prinsip hubungan kemitraan dan
keharmonisan antara perempuan dan laki-laki.

Pada tahun 2000 konferensi PBB menghasilkan ‘The Millenium Development Goals’ (MDGs) yang
mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai cara efektif untuk
memerangi kemiskinan, kelaparan, dan penyakit serta menstimulasi pembangunan yang sungguh-
sungguh dan berkelanjutan.

2.2 Pengertian Gender

Seringkali gender disamaartikan dengan seks, yaitu jenis kelamin laki-laki dan perempuan, sehingga
peran dan tanggung jawabnya juga dibedakan sesuai jenis kelamin ini.
Gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara
laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial (yaitu kebiasaan yang tumbuh dan
disepakati dalam masyarakat) dan dapat diubah sesuai perkembangan zaman. Sementara seks
adalah perbedaan organ biologis antara laki-laki dan perempuan, terutama pada bagian-bagian
reproduksi.

Gender bukan kodrat atau ketentuan Tuhan, sehingga gender berkaitan dengan proses keyakinan
bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai ,
ketentuan social dan budaya masyarakatnya. Seks merupakan kodrat Tuhan sehingga tidak dapat
ditukar atau diubah.

Secara lebih jelas perbedaan gender dan seks/jenis kelamin dapat dilihat pada skema ini :

Jenis kelamin (seks)

• Tidak dapat diubah

• Tidak dapat dipertukarkan

• Berlaku sepanjang zaman

• Berlaku dimana saja

• Merupakan kodrat Tuhan

• Ciptaan Tuhan

Gender:

• Dapat berubah

• Dapat dipertukarkan

• Tergantung waktu

• Tergantung budaya setempat

• Bukan merupakan kodrat Tuhan

• Buatan manusia

2.3 Masalah Gender

Manusia yang diciptakan berpasang-pasangan memerlukan kehadiran dan kerjasama satu sama lain.
Keterpaduan keduanya bukan berarti sama, namun bermitra secara harmonis. Kemitraan dan
keharmonisan ini adalah prinsip dasar dari sesuatu yang diciptakan berpasangan. Permasalahannya
terletak pada persepsi dimana perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan dipandang
menjadi nilai-nilai dan norma tentang kepantasan peran, tanggung-jawab serta status laki-laki dan
perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pembangunan.Pandangan atau
persepsi dimana perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai suatu
pembenaran terhadap pembedaan hak-hak dan kesempatan bagi keduanya. Kapasitas biologis
perempuan (bersifat kodrati) dalam melahirkan anak dijadikan rasional terhadap penentuan
peranan bahwa perempuan hanya pantas berperan dalam kegiatan domestik dan dianggap tidak
pantas berperan dalam sektor publik (masyarakat dan negara). Persepsi ini merupakan bias gender
yang mengurangi kesempatan dan kontribusi perempuan dalam pembangunan yang dianggap
berada di sektor publik.

“Belum adanya pengakuan, penghargaan, serta kesetaraan kesempatan (akses) dan hak-hak
memutuskan (kontrol) antara laki-laki dan perempuan menyebabkan berbedanya tingkat partisipasi
dan manfaat yang mereka peroleh dari pembangunan

Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, laki-laki dan perempuan, keduanya bisa menjalankan peran
baik di sektor domestik maupun publik. Namun, adanya bias gender menjadikan perempuan belum
memperoleh manfaat pembangunan yang sama seperti halnya laki-laki. Oleh karenanya,
pembangunan harus memberi hak-hak dan kesempatan yang sama bagi keduanya, sesuai dengan
peranan dan statusnya dalam keluarga, masyarakat, dan negara.

Masalah gender pada dasarnya adalah menganut prinsip tersebut, meskipun dalam kenyataannya
sering terjadi perlakuan diskriminasi, marjinalisasi, sub ordinasi, beban ganda dan tindak kekerasan
dari satu pihak (laki-laki) kepada pihak lain (perempuan), baik di dalam maupun di luar kehidupan
keluarga. Perlakuan ini merupakan hasil dari nilai sosial budaya tanpa adanya suatu pembenaran
yang rasional. Keempat bentuk diskriminasi ini merupakan suatu bias gender, yaitu suatu pandangan
yang membedakan peran, kedudukan dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam
kehidupan keluarga, masyarakat dan negara.

Contoh bias gender dapat digambarkan sebagai berikut :

a. Marjinalisasi (peminggiran):

• Upah perempuan lebih kecil

• Izin usaha perempuan harus diketahui ayah/suami

• Permohonan kredit harus seizing suami

• Pembatasan kesempatan dalam pekerjaan terhadap perempuan

• Kemajuan teknologi industri meminggirkan peranserta perempuan

b. Subordinasi (penomor duaan)

• Perempuan sebagai “konco wingking” (teman belakang)

• Hak kawin perempuan dinomor duakan

• Bagian waris perempuan lebih kecil

• Perempuan dinomor duakan dalam peluang di bidang politik, jabatan, karir dan pendidikan.

c. Beban Ganda (double burden)

• Perempuan bekerja di luar dan di dalam rumah

• Perempuan sebagai perawat dan pendidik anak, sekaligus pendamping suami dan pencari nafkah
tambahan

• Perempuan pencari nafkah utama dan mengurus rumah tangga

d. Kekerasan

• Eksploitasi terhadap perempuan


• Pelecehan seksual terhadap perempuan

• Perkosaan

e. Pelabelan negatif ( citra baku/ stereotype)

• Perempuan : sumur – dapur – kasur

• Perempuan : macak (berhias)- masak – manak (melahirkan)

• Pria : tulang punggung keluarga

• Pria : kehebatannya dilekatkan pada kemampuan seksualnya

2.4 Kesetaraan dan Keadilan Gender

Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam
berbagai kegiatan seperti politik, hokum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan keamanan
nasional serta menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi
penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan , baik terhadap laki-laki maupun perempuan.

Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan
keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marjinalisasi dan
kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.

2.4.1 Konsep Teori Kesetaraan dan Keadilan Gender

Masalah kesetaraan dan keadilan gender tidak dapat dipisahkan dari proses perjuangan hak-hak
azasi manusia PBB tahun 1948. Pada tahap awal hak-hak azasi manusia hanya menekankan pada
pentingnya perlindungan terhadap hak-hak individu setiap warga negaradalam hidup berbangsa,
bermasyarakat dan bernegara. Titik perhatian tahap pertama lebih kepada hak-hak politik, yang
selanjutnya sesuai perkembangan zaman meliputi hak-hak sosial, ekonomi dan budaya seseorang .
Pelaksanaan hak-hak azasi inilah yang memberikan aspirasi bagi kaum perempuan utnuk
memperjuangkan hak-hak reproduksinya, sebagai suatu proses aktualisasi diri kaum perempuan
dalam mengatasi kepincangan dan ketidak adilan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan.

Ketidak adilan dirasakan sebagai diskriminasi yang menempatkan perempuan dalam status di
belakang kaum laki-laki telah memacu kaum perempuan untuk berjuang memperbaiki status,
peranan dan kedudukannya dalam keluarga dan masyarakat. Penolakan terhadap masuknya
perempuan dalam bidang profesi dan pekerjaan , lebih disebabkan karena dia seorang perempuan,
bukan karena kemampuannya yang kurang dari kaum laki-laki. Kondisi semacam ini terjadi karena
adanya citra baku (stereotype) mengenai perempuan dan laki-laki, dimana masyarakat
menempatkan perempuan lebih banyak kepada peran dalam sektor domestik (rumah tangga) dan
laki-laki bekerja di sektor publik yang produktif (bukan reproduktif) untuk menopang ekonomi
rumah tangga. Karena pembakuan peran inilah maka laki-laki lebih diutamakan untuk memperoleh
pendidikan dan keterampilan dibandingkan kaum perempuan.

Situasi kaum perempuan di Indonesia pada berbagai daerah cenderung mirip satu sama lain. Setelah
menikah, perempuan diharapkan untuk mengikuti aturan sosial yang ada dalam masyarakat, yaitu
mengurus suami dan anak. Oleh karena itu perempuan di Indonesia mungkin berada dalam resiko
kekerasan berbasis gender, terlepas dari latar belakang etnis dan agamanya.
Dalam memandang perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan kesetaraan dan keadilan
gender, Edward Wilson dari Harvard University (1975) mengemukakan 2 kelompok besar konsep
yaitu : konsep nurture ( konstruksi sosial budaya) dan konsep nature (alamiah).

a. Konsep/Aliran Nurture

Perbedaan laki-laki dan perempuan pada hakekatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya yang
menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan ini menyebabkan perempuan selalu
tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Konstruksi sosial ini menempatkan laki-laki dan perempuan dalam
perbedaan kelas, kelas borjuis untuk laki-laki dan kelas proletar untuk kaum perempuan.

Perjuangan persamaan ini dipelopori oleh kaum feminis internasional yang cenderung mengejar
kesamaan kuantitas/jumlah atau kesamaan proporsional dalam segala aktivitas masyarakat.
Perjuangan ini mendapat hambatan baik nilai agama maupun budaya, sehingga metode
perjuangannya menggunakan pendekatan sosial konflik. Konsep sosial konflik menempatkan kaum
laki-laki sebagai kaum penindas (borjuis) dan perempuan sebagai kaum tertindas (proletar).

b. Konsep/Aliran Nature

Aliran ini menerima perbedaan kodrat biologis secara alamiah antara laki-laki dan perempuan.
Perbedaan biologis itu memberikan indikasi bahwa diantara kedua jenis tersebut diberikan peran
dan tugas yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan tetapi ada yang tidak bisa
karena memang berbeda secara kodrat alamiahnya. Dalam proses perkembangannya banyak kaum
perempuan sadar terhadap beberapa kelemahan teori nurture lalu beralih ke aliran nature.
Pendekatan nurture dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam hidup
berkeluarga dan bermasyarakat. Untuk mengejar ketertinggalannya maka dikembangkan konsep
pemberdayaan perempuan (women empowerment), suatu program khusus (affirmative action)
untuk memperbaiki posisi dan kondisi kaum perempuan.

Keluarga sebagai suatu unit sosial yang memberikan perbedaan peran suami dan isteri untuk saling
melengkapi dan saling bahu membahu satu sama lain. Karena itu peranan keluarga semakin penting
dalam masyarakat modern terutama dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Keharmonisan hidup
hanya dapat diciptakan bila terjadi pembagian peran dan tugas yang serasi antara laki-laki dan
perempuan. Aliran ini melahirkan paham struktural fungsional yang menerima perbedaan peranan
asal dilakukan secara demokratis dan dilandasi oleh kesepakatan antara suami isteri dalam keluarga
atau antara kaum laki-laki dan perempuan dalam kehidupan masyarakat.

c. Aliran Keseimbangan (Equilibrium)

Disamping kedua aliran tersebut, terdapat paham kompromistis yang dikenal dengan keseimbangan
yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara laki-laki dan
perempuan. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum laki-laki dan perempuan, karena
keduanya harus bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara. Karena itu penerapan kesetaraan dan keadilan gender harus
memperhatikan masalah kontekstual dan situasional, bukan berdasarkan perhitungan matematis
(quota) dan tidak bersifat universal.
Hidup akan memiliki makna bila dilakukan dalam hubungan saling mengisi yang dapat diwujudkan
melalui strategi pengarus-utamaan gender (gender mainstreaming), yaitu strategi untuk
menyeimbangkan peranan, kedudukan, dan status antara laki-laki dan perempuan, mulai dari
perumusan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan sampai pada pemanfaatan hasil pembangunan.

Salah satu contoh, kesetaraan gender dalam kehidupan keluarga mungkin berbeda dengan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, atau dalam konteks ibadah menurut keyakinan
agama masing-masing. Sebaliknya kesetaraan gender akan berbeda aktualisasinya dalam masyarakat
Jawa, Batak, Bali, Minangkabau, Bugis dan lainnya.

III. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa diskriminasi gender telah melahirkan ketimpangan
dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, selain itu ketimpangan
lebih banyak dialami perempuan dari pada laki-laki.

Akibat diskriminasi gender yang telah berlaku sejak lama, kondisi perempuan di bidang ekonomi,
sosial, dan budaya, politik, hankam dan HAM berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Kondisi
yang tidak menguntungkan ini apabila tidak diatasi, maka ketimpangan atau kesenjangan pada
kondisi dan posisi perempuan tetap saja akan terjadi.

Bahwa status perempuan dalam kehidupan sosial dalam banyak hal masih mengalami diskriminasi
haruslah diakui. Kondisi ini terkait erat dengan masih kuatnya nilai-nilai tradisional terutama di
pedesaan, dimana perempuan kurang memperoleh akses terhadap pendidikan, pekerjaan,
pengambilan keputusan dan aspek lainnya. Keadaan ini menciptakan permasalahan tersendiri dalam
upaya pemberdayaan perempuan, dimana diharapkan perempuan memiliki peranan yang lebih kuat
dalam proses pembangunan. Kurangnya keikutsertaan perempuan dalam memberikan konstribusi
terhadap program pembangunan menyebabkan kesenjangan yang ada terus saja terjadi.

https://yanqdj.wordpress.com/2009/02/25/gender-dan-permasalahannya/
Makalah tentang Kesetaraan Gender
Diposting oleh Riska Yuliatiningsih di 14.29.00

TUGAS MAKALAH
Ilmu Sosial Budaya Dasar
“ Kesetaraan Gender ”
Disusun oleh:
Kelompok III
Kelas : Akuntansi Sore ( K )
Nama :
Wiwik Dewi Lestari S. (2012220011)
Riska Yuliatiningsih (2012220020)
Wilis Indah Sekartaji (2012225003)

Universitas Madura
TAHUN AKADEMIK 2012 – 2013

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan limpahan
rahmat-Nya-lah maka kami bisa menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.

Berikut ini kami mempersembahkan sebuah makalah dengan judul "Kesetaraan Gender",
yang menurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita guna memahami lebih dalam lagi
mengenai kesetaraan gender

Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman
bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat

Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga
allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.

Pamekasan, 17 Mei 2013

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................................................................... ii

Daftar Isi...................................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1

A. Latar Belakang.................................................................................................................... .... 1

B. Tujuan....................................................................................................................................... 1

C. Rumusan Masalah.................................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................ 2

A. Pengertian Kesetaraan Gender................................................................................................. 2

B. Kesetaraan Gender di Indonesia dalam Bermasayarakat.................................................... .... 3

C. Kesetaraan Gender di Dunia Pendidikan di Indonesia....................................................... .... 4

D. Pandangan Agama terhadap Kesetaraan Gender..................................................................... 4

BAB III PENUTUP.................................................................................................................... 9


A. KESIMPULAN....................................................................................................................... 9

B. SARAN.................................................................................................................................... 9

DAFTAR ISI............................................................................................................................... 10

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu sendi utama dalam demokrasi yaitu Kesetaraan Gender karena menjamin bebasnya
untuk berpeluang dan mengakses bagi seluruh elemen masyarakat. Gagalnya dalam mencapai cita –
cita demokrasi, seringkali dipicu oleh ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender. Ketidaksetaraan ini
dapat berupa diskriminatif yang dilakukan oleh merekayang dominan baik secara structural maupun
cultural. Perlakuan diskriminatif dan ketidaksetaraan dapat menimbulkan kerugian dan menurunkan
kesejahteraan hidup bagi pihak-pihak yang termarginalisasi dan tersubordinasi. Sampai saat ini
diskriminasi berbasis pada gender masih terasakan hampir di seluruh dunia, termasuk di negara di
mana demokrasi telah dianggap tercapai. Dalam konteks ini, kaum perempuan yang paling berpotensi
mendapatkan perlakuan yang diskriminatif, meski tidak menutup kemungkinan lakilaki juga dapat
mengalaminya. Pembakuan peran dalam suatu masyarakat merupakan kendala yang paling utama
dalam proses perubahan sosial. Sejauh menyangkut persoalan gender di mana secara global kaum
perempuan yang lebih berpotensi merasakan dampak negatifnya.

Berbagai cara tengah dilakukan diupayakan untuk mengurangi ketidaksetaraan gender yang
menyebabkan ketidakadilan sosial. Upaya tersebut dilakukan baik secara individu, kelompok bahkan
oleh negara dan dalam lingkup lokal, nasioanal dan internasional. Upaya upaya tersebut diarahkan
untuk, Menjamin Kesetaraan Hak-Hak Azasi, Penyusun Kebijakan Yang Pro Aktif Mengatasi
Kesenjangan Gender, dan Peningkatan Partisipasi Politik.

B. Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan penulis dalam menyusun makalah ini tiada lain adalah sebagai tugas
mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar yang di berikan oleh Dosen pengajar sebagai tugas
perkuliahan Fakultas Ekonomi Universitas Madura. Selain itu untuk lebih menambah wawasan
tentang Kesetaraan Gender

C. Rumusan Masalah

- Apa yang perbedaan antara Gender dan Seks (Jenis Kelamin)?


- Apa pengertian dari kesetaraan Gender?

- Bagaimana wujud kesetaraan gender di Indonesia?

- Bagaimana wujud kesetaraan gender di dunia pendidikan?

- Bagaimana pandangan etis Agama terhadap kesetaraan Laki-laki dan Perempuan?

-
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kesetaraan Gender

Dalam memahami kajian kesetaraan gender, seseorang harus mengetahui terlebih dahulu
perbedaan antara gender dengan seks ( jenis kelamin ). Kurangnya pemahaman tentang pengertian
Gender menjadi salah satu penyebab dalam pertentangan menerima suatu analisis gender di suatu
persoalan ketidakadilan social.

Hungu (2007) mengatakan “seks ( jenis kelamin ) merupakan perbedaan antara perempuan
dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Seks ( jenis kelamin ) berkaitan dengan tubuh
laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki memproduksikan sperma, sementara perempuan
menghasilkan sel telur dan secara biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan menyusui. Perbedaan
biologis dan fungsi biologis laki-laki dan perempuan tidak dapat dipertukarkan diantara keduanya…..”.

Sedangkan secara etimologis, gender memiliki arti sebagai perbedaan jenis kelamin yang
diciptakan oleh seseorang itu sendiri melalui proses social budaya yang panjang. perbedaan perilaku
antara laki – laki dengan perempuan selain disebabkan oleh factor biologis juga factor proses social
dan cultural. oleh sebab itu gender dapat berubah – ubah dari tempat ke tempat, waktu ke waktu,
bahkan antar kelas social ekonomi masyarakat.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan perbedaan antara jenis kelamin dengan gender yaitu, jenis
kelamin lebih condong terhadap fisik seseorang sedangkan gender lebih condong terhadap tingkah
lakunya. selain itu jenis kelamin merupakan status yang melekat / bawaan sedangkan gender
merupakan status yang diperoleh / diperoleh. Gender tidak bersifat biologis, melainkan
dikontruksikan secara sosial. Karena gender tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari melalui
sosialisasi, oleh sebab itu gender dapat berubah.

Setelah mengetahui perbedaan jenis kelamin dengan gender, maka langkah selanjutnya yaitu
kita dapat memahami pengertian “Kesetaraan Gender”. Kesetaraan Gender merupakan kesamaan
kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai
manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial
budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam
menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi
dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.

kesetaraan gender memiliki kaitan dengan keadilan gender. keadilan gender merupakan suatu
proses dan perlakuan adil terhadap laki – laki dan perempuan. terwujudnya kesetaraan dan keadilan
gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi baik terhadap laki – laki maupun perempuan.
sehingga denga hal ini setiap orang memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan control atas
pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan tersebut.

Memiliki akses di atas mempunyai tafsiran yaitu setiap orang mempunyai peluang / kesempatan
dalam memperoleh akses yang adil dan setara terhadap sumber daya dan memiliki wewenang untuk
mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki partisipasi
berarti mempunyai kesempatan untuk berkreasi / ikut andil dalam pembangunan nasional. Sedangkan
memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil
sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan.

B. Kesetaraan Gender di Indonesia dalam Bermasyarakat

Perbedaan gender terkadang dapat menimbulkan suatu ketidakadilan terhadap kaum laki – laki
dan terutama kaum perempuan. Ketidakadilan gender dapat termanifestasi dalam berbagai bentuk
ketidakadilan, yakni :

a. Marginalisasi Perempuan

Salah satu bentuk ketidakadilan terhadap gender yaitu marginalisasi perempuan. Marginalisasi
perempuan ( penyingkiran / pemiskinan ) kerap terjadi di lingkungan sekitar. Nampak contohnya yaitu
banyak pekerja perempuan yang tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program pembangunan
seperti internsifikasi pertanian yang hanya memfokuskan petani laki-laki. Perempuan dipinggirkan
dari berbagai jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang
biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki, dan perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang
semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang umumnya dikerjakan
oleh tenaga laki-laki. Dengan hal ini banyak sekali kaum pria yang beranggapan bahwa perempuan
hanya mempunyai tugas di sekitar rumah saja.

b. Subordinasi

Selain Marginalisasi, terdapat juga bentuk keadilan yang berupa subordinasi. Subordinasi
memiliki pengertian yaitu keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih
utama dibandingkan jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu terdapat pandanganyang
menempatkan kedudukan dan peran perempuan yang lebih rendah dari laki – laki. Salah satu
contohnya yaitu perempuan di anggap makhluk yang lemah, sehingga sering sekali kaum adam
bersikap seolah – olah berkuasa (wanita tidak mampu mengalahkan kehebatan laki – laki). Kadang
kala kaum pria beranggapan bahwa ruang lingkup pekerjaan kaum wanita hanyalah disekitar rumah.
Dengan pandangan seperti itu, maka sama halnya dengan tidak memberikan kaum perempuan untuk
mengapresiasikan pikirannya di luar rumah.

c. Pandangan stereotype

Setereotype dimaksud adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai
dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan
ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang berkembang berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi
terhadap salah satu jenis kelamin, (perempuan), Hal ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan
berbagai ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan. Misalnya pandangan terhadap perempuan
yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan domistik
atau kerumahtanggaan. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga tetapi juga terjadi di
tempat kerja dan masyaraklat, bahkan di tingkat pemerintah dan negara.

Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi bila perempuan marah atau
tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar nilai terhadap perilaku
perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut banyak menghakimi dan merugikan
perempuan. Label kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga” merugikan, jika hendak aktif dalam
“kegiatan laki-laki” seperti berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label laki-laki sebagai pencari
nafkah utama, (breadwinner) mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap
sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung tidak diperhitungkan.

d. Beban Ganda

Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban ganda yang harus
dilakukan oleh salah satu jenis kalamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada
umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan.
Berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah
tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus
mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dalam proses pembangunan, kenyataannya perempuan
sebagai sumber daya insani masih mendapat pembedan perlakuan, terutama bila bergerak dalam
bidang publik. Dirasakan banyak ketimpangan, meskipun ada juga ketimpangan yang dialami kaum
laki-laki di satu sisi.

Kesetaraan gender di Indonesia masih dalam konteks perlindungan hak ketenagakerjaan serta
upah yang sepadan, tampaknya kita perlu menilik kembali peran pemerintah terhadap para pahlawan
devisa, khususnya para kaum perempuan. Mereka adalah pihak yang memliki suara paling kecil untuk
didengar oleh pemerintah maupun penegak hukum, sebab posisinya yang seolah tak memiliki hak
yang sama untuk dilindungi secara penuh oleh kenegaraan.
Masih banyak TKW Indonesia yang hak-haknya belum sepenuhnya terlindungi oleh negara.
Masih marak pula terjadi kasus yang tak terselesaikan sebab insignifikansi pemerintah (pemerintah
mengganggap masalah ini tidak penting) tentang hal ini. Lucunya, kasus TKW seringkali hanya
disambut dengan komentar ringan berupa ‘pemerintah belum dapat melindungi hak-hak umum para
TKW, serta belum dapat mengawasi seluruhnya kasus tentang pemerkosaan yang marak terjadi’.

Ini menyangkut soal hak; yang berarti pula akan menjadi masalah yang memberatkan atau
bahkan menyulitkan Indonesia di kemudia hari jika tak segera diselesaikan dengan aksi nyata. Apalagi
TKW merupakan major labour yang bertugas menopang satu dari beberapa pilar utama negara, lewat
peran pentingnya terhadap pasokan devisa. Sebab mereka kecil, tak berarti mereka menyumbang
peran yang kecil pula untuk negara.

Bisa jadi, dengan adanya aksi peningkatan perlindungan kepada TKW secara nyata dan
signifikan dari pemerintah akan memunculkan stabilitas ekonomi lebih mumpuni, sehingga perannya
untuk kesejahteraan negeri secara langsung juga akan terasa besar. Pertanyaannya, apakah
pemerintah bersedia? Sebuah renungan untuk bangsa ini tentunya.
C. Kesetaraan Gender dalam Dunia Pendidikan di Indonesia

Perempuan sesungguhnya membutuhkan pendidikan seperti halnya dengan laki – laki. Akan
terlihat jelas apabila dilihat dari sejarah masa lalu saat Indonesia masih di jajah, Para penjajah kurang
menghargai kaum perempuan. Mereka berlaku sewenang – wenang sesuka hati terhadap kaum
perempuan di Indonesia. Peristiwa ini menggambarkan bahwa kesetaraan gender sama sekali belum
ditegakkan. Dampak dari peristiwa tersebut, pandangan – pandangan masyarakat sepeninggalnya
yaitu terdapat masyarakat yang beranggapan bahwa perempuan belum memiliki kesempatan untuk
berperan sentral diberbagai bidang seperti sekarang ini. Orang tua yang memiliki pandangan seperti
itu, akan menyekolahkan anak laki – lakinya setinggi – tingginya sedangkan anak perempuan tidak
harus bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Salah satu factor peristiwa tersebut yaitu orang tua
hanya beranggaoan bahwa peran perempuan dalam kehidupan tidak lain adalah sebagai ibu rumah
tangga yang tak perlu sekolah tinggi – tinggi. Namun saat ini pemerintahan telah berupaya untuk
menegakkan kesetaraan gender. Hal ini terbukti dengan adanya program pemerataan pendidikan di
seluruh Indonesia, dengan hal ini banyak generasi penerus bangsa yang merupakan calon
pembangunan Negara ini mendapatkan mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengenyam
pendidikan. Terlepas dari permasalahan pendidikan yang ada, namun dapat diakui bahwa pandangan
orang tua kolot masa lalu yang tidak menyekolahkan anak perempuannya kini telah berubah. Terlihat
bahwa pada saat sekarang kaum perempuan pun banyak yang bersekolah hingga jenjang yang tinggi.
Selain hak untuk mendapatkan pendidikan, di Negara Indonesia sebenarnya telah menerapkan
kesetaraan gender dalam tatanan organisasi dari mulai organisasi yang kecil hingga pemerintahan.
Buktinya ialah perempuan pun memiliki peranan yang sama dalam hal menduduki jabatan tertentu
dalam suatu institusi. Presiden Negara Indonesia yang pernah diduduki oleh seorang perempuan yaitu
Megawati Soekarno Putri merupakan bukti real-nya.

D. Pandangan Agama terhadap kesetaraan Gender

a. Kesetaraan gender menurut agama muslim

Sejak 15 abad yang lalu Islam telah menghapuskan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Islam
memberikan posisi yang tinggi kepada perempuan. Prinsip kesetaraan dan keadilan gender dalam
Islam tertuang dalam Kitab Suci Al-Quran. Dalam ajaran Islam tidak dikenal adanya isu gender yang
berdampak merugikan perempuan. Islam bahkan menetapkan perempuan pada posisi yang
terhormat, mempunyai derajat, harkat, dan martabat yang sama dan setara dengan laki – laki.

Islam memperkenalkan konsep relasi gender yang mengacu kepada ayat – ayat Al-Qur’an.
Suatu kenyataan, masih banyak masyarakat, tidak terkecuali beberapa guru agama yang belum
memahami makna qodrat, apabila berbicara soal jenis kelamin perempuan, dikaitkan dengan upaya
mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. Salah satu akibat dari salah memahami alasan untuk
mempertahankan subordinasi, marginalisasi, dan diskriminasi terhadap perempuan.

Al-Qur an sebagai “Hudan linnasi”, petunjuk bagi umat manusia, dan kehadiran Nabi
Muhammad Rasulullah SAW dengan sunnahnya, sebagai “Rahmatan lil alamin”, tentu saja menolak
anggapan di atas. Islam datang untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketidak-adilan.
Sejak awal dipromosikan, Islam adalah agama pembebasan.

Islam adalah agama ketuhanan sekaligus agama kemanusiaan dan kemasyarakatan. Dalam
pandangan Islam, manusia mempunyai dua kapasitas, yaitu sebagai hamba dan sebagai representasi
Tuhan (khalifah) tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, dan warna kulit. Islam mengamanatkan
manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan keutuhan, baik
sesama manusia maupun manusia dengan lingkungan alamnya.

b. Kesetaraan gender dari sudut pandang agama khatolik

Permasalahan gender dalam Katolik tidak terlepas dari konteks tradisi dan budaya, khususnya
budaya agama Yahudi. Dalam agama Yahudi, laki-laki mempunyai posisi yang lebih dominan
dibandingkan dengan perempuan. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan gender. Ketika suatu
perbuatan itu dilakukan oleh laki-laki, maka dianggap sebagai suatu kebenaran. Begitu juga di
Indonesia, ajaran kristen tidak dapat terlepas dari budaya warga Indonesia. Dalam Kejadian 2
(Kejadian 2 (disingkat Kej 2) adalah bagian dari Kitab Kejadian dalam Alkitab Ibrani atau Perjanjian
Lama di Alkitab Kristen.) Disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia dari bumi. Manusia yang
pertama kali diciptakan adalah Adam. Kemudian dari tulang rusuk Adam diciptakanlah Hawa.
Kemudian disebutkan bahwa Adam jatuh ke dalam dosa karena Hawa. Teks ini memunculkan
pandangan bahwa perempuan adalah manusia kedua. Perempuan juga dipandang sebagai sumber
dosa. Gereja mengambil teks ini sebagai dasar pandangan hubungan (relasi) antara laki-laki dengan
perempuan. Hubungan ini dipandang hanya berdasarkan jenis kelamin saja. Posisi subordinat (posisi
yang rendah) perempuan seperti inilah yang menjadi dasar pandangan awal gereja mengenai
perempuan.

Namun dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan perkembangan zaman, Gereja


menolak ketidakadilan gender, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Gereja
memperhatikan dengan serius dasar-dasar ajaran agama, yaitu; tradisi, teologi dan filsafat, kitab suci
serta ajaran gereja dengan pastoral lainnya.

1. Aspek Tradisi

Salah satu sumber ajaran iman dan moral Katolik adalah tradisi. Tradisi gereja masih
dipengaruhi oleh budaya yang bersifat patriarkhis (Budaya yang menomor satukan laki – laki). Suami
merupakan penguasa dalam keluarga. Wanita diletakkan dalam posisi subordinat. Hal ini merupakan
suatu bentuk ketidakadilan gender yang mendasar. Namun Perjanjian Baru memandang bahwa laki-
laki dan perempuan adalah sama, sehingga dengan jelas Perjanjian Baru menolak segala bentuk
kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan hal tersebut maka perlu diadakan perubahan penafsiran
kitab suci, terutama Kitab Perjanjian Lama.

2. Aspek Teologi (Ilmu tentang Ketuhanan) dan Filsafat

Dalam Kristen, baik itu Katolik maupun Protestan, pencitraan Allah adalah sebagai Bapak,
sehingga muncul pandangan bahwa Allah adalah laki-laki. Hal ini mengontruksikan suatu pemikiran
bahwa laki-laki adalah penguasa dalam keluarga sehingga sangat berpotensi menimbulkan kekerasan
dalam rumah tangga. Sesungguhnya hubungan manusia dengan Allah adalah bersifat personal
sehingga Allah dapat mempersonifikasikan diri sebagai Bapak maupun sebagai Ibu.

3. Aspek Kitab Suci

Untuk memahami Kitab Suci perlu dipahami latar belakang penulis. Dalam Kejadian 2 pasal 2
ayat (5) disebutkan bahwa perempuan merupakan manusia kedua, perempuan sebagai penggoda.
Teks normatif ini sangat berpotensi memunculkan kekerasan dalam rumah tangga jika ditafsirkan
secara salah. Padahal dalam Kejadian 1 ayat (26) disbutkan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan
perempuan sama secitra dengan Allah, keduanya adalah baik.
Dalam Kitab Perjanjian Lama, banyak ketentuan-ketentuan yang menempatkan perempuan
sebagai mahkluk kedua, dan diposisikan pada posisi yang sub ordinat. Hal ini sangat berpotensi
memunculkan kekerasan psikologis dalam keluarga.Pencitraan perempuan yang cenderung terasa
tidak adil gender ini diperbaharui dan diformulasikan kembali dalam Kitab Perjanjian Baru. Dalam
Kitab Perjanjian Baru, perempuan mendapat posisi yang sejajar dengan laki-laki. Yesus
menempatkan perempuan pada posisi yang harus dihormati. Bahkan karena dianggap terlalu
memuliakan perempuan dan terlalu memperjuangkan perempuan inilah kemudian Yesus ditangkap
dan kemudian dihukum salib oleh penguasa pada waktu itu yang memegang faham patriarkal.

4. Aspek Ajaran Gereja

Dalam pandangan Gereja Katolik, perempuan dianggap mempunyai martabat yang sama
dengan laki-laki. Mereka mempunyai hak untuk berperan dalam masyarakat. Pengakuan kesejajaran
antara laki-laki dan perempuan haruslah dihormati. Gereja mengemukakan sikap keterbukaan dalam
keluarga, sehingga interaksi dalam keluarga muncul kesejajaran. Gereja Katolik dengan jelas bersikap
tidak toleran terhadap ketidakadilan, termasuk ketidakadilan gender yang berpotensi memicu
kekerasan dalam keluarga.

Dalam Katolik ada satu komisi yang melayani urusan keluarga yaitu pastoral keluarga yang
bertugas melakukan pendampingan keluarga, untuk menanggulangi munculnya kekerasan dalam
rumah tangga, termasuk perceraian. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Gereja Katolik
menolak ketidakadilan gender. Tetapi untuk mewujudkan keadilan gender dalam masyarakat masih
terdapat hambatan yaitu faktor tradisi patriarkhis.

c. Kesetaraan gender dari sudut pandang agama Kristen

Alkitab mengatakan bahwa Allah menciptakan perempuan dan laki-laki menurut gambar dan
rupa Allah: “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah
diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej.1:27).
Maksud dari ungkapan ‘menurut gambar Allah’ dalam ayat ini tidak dalam arti bahwa manusia itu
sama hakekat dengan Sang Pencipta. Ungkapan itu lebih berarti bahwa Allah menciptakan manusia
sebagai makluk mulia, kudus, dan berakal budi, sehingga manusia bisa berkomunikasi dengan Allah,
serta layak menerima mandat dari Allah untuk menjadi pemimpin bagi segala makluk (Kej.1:28-30).
Status se-“gambar” dengan Allah dimiliki tidak hanya oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan. Kedua
pihak punya status yang sama. Sebab itu tidak dibenarkan adanya diskriminasi atau dominasi dalam
bentuk apapun hanya karena perbedaan jenis kelamin.

Alkitab mencatat bahwa hubungan yang timpang antara laki-laki dan perempaun itu terjadi
setelah manusia memakan buah yang dilarang oleh Allah (Kej. 3:12dst). Adam mempersalahkan Hawa
sebagai pembawa dosa, sedangkan Hawa mempersalahkan ular sebagai penggoda. Tetapi akhirnya
Allah menghukum Adam. Adam dihukum bukan hanya karena Adam ikut-ikutan makan buah yang
Allah larang, tetapi juga karena ketika Hawa berdialog dengan ular sampai memetik buah, Adam ada
bersama Hawa. Adam hadir di sana tetapi ia bungkam. Dengan kata lain, perbuatan Hawa sebenarnya
mendapat restu dari Adam. Karena itu kesalahan ada pada kedua pihak. Itu berarti bahwa Adam dan
kaum laki-laki tidak bisa menghakimi Hawa dan kaumnya sebagai pembawa dosa.

Dalam perkembangan selanjutnya peranan perempuan mulai dibatasi. Budaya Yahudi tidak
banyak memberikan peluang kepada perempuan untuk berkiprah. Ada sejumlah tokoh perempuan
yang muncul dalam sejarah Israel, tetapi peran mereka sangat terbatas. Di antara mereka ada Miryam,
saudara perempuan nabi Musa. Miryam juga dipakai Allah sebagai nabiah. Ia dan Harun menegur
Musa saat Musa kawin lagi dengan perempuan Kush. Meskipun Miryam dan Harun bersama-sama
mengajukan protes namun Miryamlah yang mendapat hukuman. Terjadi semacam diskriminasi
hukum antara laki-laki dan perempuan (Bil. 12). Diskriminasi itu juga terjadi ketika orang kawin. Dalam
budaya Israel seorang suami bisa mengambil istri lebih dari satu orang (polygamy). Tetapi seorang istri
tidak diperkenankan untuk mengambil suami lebih dari satu orang (poliyandry). Pada saat seorang
perempuan melahirkan anak juga terjadi diskriminasi. Jika perempuan melahirkan anak laki-laki ia
dianggap najis selama empat puluh hari. Sedangkan jika yang lahir adalah anak perempuan, maka ibu
anak itu dianggap najis selama delapanpuluh hari (Imamat 12). Dua perempuan Israel yang dianggap
mujur yakni Deborah menjadi nabiah dan hakim di Israel dan Ester sebagai permaisuri Raja Ahazweros
(Hak. 4:4dst; Est 8).

Pada masa hidup Yesus, diskriminasi dan dominasi laki-laki atas perempuan masih tetap
berlangsung. Ketika Yesus mulai mengangkat tugas-Nya, Ia bersikap menentang disriminasi dan
dominasi itu. Suatu ketika pemimpin-pemimpin agama Yahudi menangkap seorang perempuan yang
kedapatan berzinah lalu dibawa kepada Yesus. Mereka minta supaya perempuan ini dihukum rajam
sesuai aturan Yahudi. Tetapi Yesus tidak peduli terhadap permintaan mereka. Pasalnya, mereka
menangkap perempuan itu tapi tidak menangkap laki-laki yang tidur dengan dia. Yesus berkata kepada
mereka: “Barangsiapa yang tidak berdosa hendaknya ia yang pertama kali merajam perempuan ini”.
Tidak ada yang berani melakukannya. Akhirnya Yesus menyuruh perempuan itu pulang dengan nasihat
supaya tidak berbuat dosa lagi (Yoh 8:2-11).

Dalam pelayanan-Nya, Yesus banyak menaruh perhatian kepada orang-orang yang dianggap
sebagai ‘sampah’ masyarakat, termasuk di dalamnya beberapa perempuan. Salah satu di antaranya
adalah Maria dari Magdala. Yesus menyembuhkan Maria dari ikatan roh jahat. Kemudian Maria dan
beberapa perempuan lain mengiring Yesus dalam pelayanan-Nya (Luk 24:10). Lagi-lagi Yesus membela
posisi perempuan ketika sejumlah orang Farisi datang kepada-Nya dan bertanya:”Apakah seorang
suami bisa menceraikan istrinya dengan alasan apa saja?” Yesus menjawab mereka kata-Nya: sejak
semula perkawinan hanya terjadi antara seorang laki-laki dan seorang perempuan (Adam-Hawa).
Perceraian hanya bisa terjadi jika salah satu di antaranya berbuat zinah. Lalu orang-orang itu bertanya
lagi: “Kalau begitu mengapa Musa mengijinkan seorang suami membuat surat cerai (talak)”? Lalu
Yesus menjawab: karena ketegaran hatimulah Musa melakukan hal itu. Tapi seharusnya tidak
demikian (Mat 19:1-12). Karena komitment-Nya terhadap kesetaraan perempuan dan laki-laki, maka
pada saat Yesus mati di salib, banyak perempuan ada bersama-sama dengan Dia serta mengunjungi
kubur-Nya.

Perjuangan menentang diskriminasi dan menegakkan hak-hak perempuan tidak berakhir pada
saat Yesus terangkat ke langit. Perjuangan itu terus berlangsung dari abad ke abad. Umumnya orang
mengakui bahwa perjuangan yang cukup sengit dimulai pada abad ke-18, terutama sesudah
berakhirnya Revolusi Amerika (1775-1783) dan Revolusi Perancis (1789-1799). Kedua revolusi itu
berhasil menanamkan nilai-nilai: kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan antara semua
penduduk. Momentum ini dipakai oleh kaum perempuan untuk menuntut kesamaan hak dengan
kaum lelaki. Selanjutnya pada tahun 1960-an terjadi gelombang protes anti perang dan perjuangan
hak-hak sipil yang terjadi di Amerika Utara, berikut di Australia, dan di seluruh Eropah. Kesempatan
itu dianggap tepat untuk memperjuangkan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Yang
menarik perhatian kita sekarang, bahwa gerakan memperjuangkan kesetaraan gender sudah menjadi
gerakan yang mendunia. Ia bukan hanya merupakan usaha dari kelompok agama tertentu, tetapi
sudah menjadi gerakan bangsa-bangsa atas alasan kemanusiaan dan keadilan gender. Tentu kita
mendukung semua perjuangan semacam itu.

d. Kesetaraan gender dari sudut pandang agama Budha


Dalam kehidupan bermasyarakat, sang budha tidak membedakan peran laki-laki maupun
perempuan. Mereka memliki peran yang setara dan adil. Seperti laki-laki, perempuan juga bisa
menjadi majikan, atasan, guru(brahmana) sesuai kotbah sang Budha.

Mengacu pada perkembangan budha Dharma bahwa pemberdayaan


dan kemitrasejajaran perempuan telah diperjuangkan dan ditumbhkembangkan oleh sang Budha. Hal
ini dapat dikaji dari kisah-kisah siswa Budha yang sebagian adalah perempuan dan diterangkan pula
bahwaperempuan membawa peran penting dalam perkembangan agama Budha

Kesetaraan gender dalam agama Budha didasari kewajiban dan tanggungjawab bersama dalam
rumah tangga dan adanya kehendak bersama dalam menjalankan kehidupan berumah tangga.
Menurut agama Budha, manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang muncul bersama di muka
bumi ini.dan dia dapat terlahir sesuai dengan karmanya masing-masing, sehingga kedudukan antara
laki-laki maupun perempuan dalam agama budha tidak dipermasalahkan . agama budha membimbing
umatnya untuk menghargai gender.

Dalam Paninivana Sutta, sang Budha mengatakan seluruh umat manusia tanpa
tertinggal memiliki jiwa Budha. Laki-laki dan perempuan memiliki tugas yang agung, karenanya agar
terjadi keseimbangan dalam menjalanjan fungsi kehidupannya, maka keduanya memiliki karakter
yang berlawanan, padahal justru dari sinilah muncul keseimbangan.

e. Kesetaraan gender dari sudut pandang agama Hindhu

Pengertian gender dalam agama Hindu merupakan hubungan sosial yang membedakan perilaku
antara perempuan secara proposional menyangkut moral, etika, dan budaya, bagaimana seharusnya
laki-laki dan perempuan diharapkan untuk berperan dan bertindak sesuai ketentuan sosial, moral,
etika, dan budaya di mana mereka berada. Ada yang pantas dikerjakan oleh laki-laki ditinjau dari sudut
sosial, moral, dan budaya, tetapi tidak pantas dikerjakan oleh perempuan,demikian pula
sebaliknya.Sesuai ajaran agama hindu, gender bukan merupakan perbedaan sosial antara laki-laki dan
perempuan. agama hindu mengajarkan bahwa seluruh umat manusia di perlakukan sama di hadapan
tuhan sesuai dengan dharma baktinya.

Manusia yang dilahirkan ke dunia merdeka dan mempunyai martabat serta hak yang sama di
hadapan Tuhan Yang Maha Esa, baik laki-laki maupun perempuan.

Istilah dewa-dewi lingga yoni dalam ajaran hindu menggambarkan bahwa dualism ini
sesungguhnya ada dan saling membutuhkan karena tuhan yang maha esa menciptakan semua mahluk
hidup selalu berpasangan.di dalam kitab suci hubungan suami dan istri dalam ikatan perkawinan
disebut sebagai satu jiwa dari dua badan yang berbeda .

Lebih jauh di dalam manapadharmasastra di uraikan bahwa tuhan yang maha esa menciptakan
alam semesta beserta segala isinya dalam wujud “ardha-nari-isvari”,sebagai sebagian laki-laki dan
sebagian lagi sebagai perempuan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Untuk mewujudkan cita – cita demokrasi, suatu Negara harus mampu untuk menegakkan
kesetaraan gender. Gender sering disamakan pengertiannya dengan jenis kelamin. Jenis kelamin
merupakan perbedaan biologis antara fisik laki – laki dengan fisik perempuan yang dibawa sejak ia
dilahirkan. Sedangkan gender merupakan tperbedaan jenis kelamin yang diciptakan oleh social
budaya yang panjang.

Kesetaraan gender berguna untuk memberikan kesempatan setiap orang untuk berapresiasi
terhadap hal – hal yang terjadi disekitarnya. Kesetaraan gender berkaitan dengan keadilan gender.
Keadilan gender merupakan perlakuan adil terhadap laki – laki dan perempuan. perbedaan antara
kesetaraan dan keadilan gender yaitu kesetaraan lebih condong terhadap peluang sedangkan keadilan
gender lebih condong terhadap tingkah laku laki – laki dan perempuan.

Kesetaraan gender dan keadilan gender harusnya dapat ditegakkan dalam kehidupan
bermasyarakat. Selain bermasyarakat kesetaraan gender dan keadilan gender haruslah di tegakkan
juga di dunia pendidikan. Bukan hanya kaum laki - laki saja yang harus sekolah tinggi namun
perempuan juga punya hak untuk dapat bersekolah setinggi – tingginya.

Pada dasarnya semua agama di Indonesia memaparkan bagaimana Tuhan mewujudkan


kasihnya terhadap manusia tanpa memandang jenis kelamin, dari golongan mana, berapa usianya,
terang kasih Tuhan tidak ada yang mendominasi. Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan
dibentuk sedemikian rupa menurut rupa dan gambarnya dan Tuhan melihat bahwa ciptaannya itu
sungguh amat baik. Pada dasarnya perbedaan kodrat laki-laki dan perempuan berkaitan dengan fungsi
biologis dan perbedaan itu adalah untuk saling melengkapi agar menjadi utuh. Dalam agama
mengajarkan bahwa laki-laki maupun perempuan memiliki kesamaan kondisi untuk memperoleh
kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam
kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional
(hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.

B. Saran

Manusia ada untuk berpeluang bukan hanya untuk ditindas. Jadi dengan adanya makalah
ini penulis mempunyai saran yaitu sebaiknya sesama manusia saling menegakkan kesetaraan
gender. Agar tidak ada sesuatu yang menjadi permasalahan dalam kehidupan bersosial.

DAFTAR PUSTAKA

 http://filsafat.kompasiana.com/2013/05/04/kedudukan-perempuan-dan-kesetaraan-gender-dalam-
pandangan-islam--557073.html

 http://mjeducation.co/kesetaraan-gender-untuk-kesejahteraan-negara/
 md101j.files.wordpress.com/2011/10/makalah-agama-kel-5-sore.docx
 http://www.scribd.com/doc/96367675/Makalah-Kesetaraan-Dan-Keadilan-Gender

 http://edukasi.kompasiana.com/2012/05/19/kesetaraan-gender-diterapkan-dalam-pendidikan-
464068.html

 http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&ved=0CC0QFjAB&u
rl=http%3A%2F%2Fhaqfaisol.files.wordpress.com%2F2012%2F05%2Fmakalah-
gender.docx&ei=B9aVUc-
ZIdKO7QbtiIG4BQ&usg=AFQjCNG71Zw3RF6MSgerAwokMaaQxHM34A&bvm=bv.46471029,d.bGE

 http://www.sarjanaku.com/2012/06/pengertian-gender-menurut-para-ahli.html

https://nciez-k.blogspot.com/2013/08/makalah-tentang-kesetaraan-gender.html
Di Indonesia, isu gender akhir – akhir ini menjadi isu yang tidak ada habisnya, khususnya dalam hal
kesataraan gender, dimana sekelompok masyarakat menginginkan adanya kesetaraan gender antara
laki-laki dan perempuan dalam seluruh aspek kehidupan, seperti dalam bidang ekonomi, sosial,
budaya maupun dalam bidang polotik.

Hal ini telah menjadi bahasan analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan
mengenai perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam perbincangan mengenai
pembangunan dan perubahan sosial. Bahkan, beberapa waktu terakhir ini, berbagai tulisan, baik di
media massa maupun buku-buku, seminar, diskusi dan sebagainya banyak membahas masalah ini.

Hakikatnya, semua mahluk diciptakan berpasangan. Pada manusia misalnya, ada laki-laki dan
perempuan. Keduanya diciptakan dalam derajat, harkat, dan martabat yang sama. Kalaupun
memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda, itu semua agar keduanya saling melengkapi. Namun
dalam perjalanan kehidupan manusia, banyak terjadi perubahan peran dan status atas keduanya,
terutama dalam masyarakat. Proses tersebut lama kelamaan menjadi kebiasaan dan membudaya.

Oleh karena itu, gender penting di pahami dan dianalisa untuk melihat apakah perbedaan tersebut
menimbulkan diskriminasi dalam artian perbedaan yang membawa kerugian dan penderitaan
terhadap salah satu pihak.

Seringkali gender disamaartikan dengan seks, yaitu jenis kelamin laki-laki dan perempuan, sehingga
peran dan tanggung jawabnya juga dibedakan sesuai jenis kelamin ini.

Gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara
laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial (yaitu kebiasaan yang tumbuh dan
disepakati dalam masyarakat) dan dapat diubah sesuai perkembangan zaman. Sementara seks
adalah perbedaan organ biologis antara laki-laki dan perempuan, terutama pada bagian-bagian
reproduksi.

Gender bukan kodrat atau ketentuan Tuhan, sehingga gender berkaitan dengan proses keyakinan
bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai ,
ketentuan social dan budaya masyarakatnya. Seks merupakan kodrat Tuhan sehingga tidak dapat
ditukar atau diubah.

Secara lebih jelas perbedaan gender dan seks/jenis kelamin dapat dilihat pada skema ini :

Jenis kelamin (seks)


• Tidak dapat diubah

• Tidak dapat dipertukarkan

• Berlaku sepanjang zaman

• Berlaku dimana saja

• Merupakan kodrat Tuhan

• Ciptaan Tuhan

Gender:

• Dapat berubah

• Dapat dipertukarkan

• Tergantung waktu

• Tergantung budaya setempat

• Bukan merupakan kodrat Tuhan

• Buatan manusia

Membahas permasalahan gender berarti membahas permasalahan perempuan dan juga laki – laki
dalam kehidupan masyarakat. Dalam pembahasan mengenai gender, termasuk kesetaraan dan
keadilan gender dikenal adanya 2 aliran atau teori yaitu teori nurture dan teori nature. Namun
demikian dapat pula dikembangkan satu konsep teori yang diilhami dari dua konsep teori tersebut
yang merupakan kompromistis atau keseimbangan yang disebut dengan teori equilibrium.

1. Teori Nurture

Menurut teori nurture adanya perbedaan perempuan dan laki – laki adalah hasil konstruksi sosial
budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu membuat perempuan
selalu tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki – laki
dalam perbedaan kelas. Laki – laki diidentikkan dengan kelas borjuis, dan perempuan sebagai kelas
proletar.

2. Teori Nature

Menurut teori nature adanya pembedaan laki – laki dan perempuan adalah kodrat, sehingga harus
diterima. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi dan implikasi bahwa diantara kedua jenis
kelamin tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat
dipertukarkan, tetapi ada yang tidak bisa karena memang bebeda secara kodrat alamiahnya.

Dalam proses perkembangannya, disadari bahwa ada beberapa kelemahan konsep nurture yang
dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga maupun
bermasyarakat, yaitu terjadi ketidak-adilan gender, maka beralih ke teori nature. Agregat ketidak-
adilan gender dalam berbagai kehidupan lebih banyak dialami oleh perempuan, namun ketidak-
adilan gender ini berdampak pula terhadap laki – laki.

3. Teori Equilibrium

Disamping kedua aliran tersebut terdapat kompromistis yang dikenal dengan keseimbangan
(equilibrium) yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara
perempuan dengan laki – laki. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum perempuan dan
laki – laki, karena keduanya harus bekerja sama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam
kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, maka
dalam setiap kebijakan dan strategi pembangunan agar diperhitungkan kepentingan dan peran
perempuan dan laki – laki secara seimbang. Hubungan diantara kedua elemen tersebut bukan saling
bertentangan tetapi hubungan komplementer guna saling melengkapi satu sama lain. R.H. Tawney
menyebutkan bahwa keragaman peran apakah karena faktor biologis, etnis, aspirasi, minat, pilihan,
atau budaya pada hakikatnya adalah realita kehidupan manusia.

Hubungan laki – laki dan perempuan bukan dilandasi konflik dikotomis, bukan pula struktural
fungsional, tetapi lebih dilandasi kebutuhan kebersamaan guna membangun kemitraan yang
hamonis, karena setiap pihak memiliki kelebihan sekaligus kelemahan yang perlu diisi dan dilengkapi
pihak lain dalam kerjasama yang setara.

Manusia yang diciptakan berpasang-pasangan memerlukan kehadiran dan kerjasama satu sama lain.
Keterpaduan keduanya bukan berarti sama, namun bermitra secara harmonis. Kemitraan dan
keharmonisan ini adalah prinsip dasar dari sesuatu yang diciptakan berpasangan. Permasalahannya
terletak pada persepsi dimana perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan dipandang
menjadi nilai-nilai dan norma tentang kepantasan peran, tanggung-jawab serta status laki-laki dan
perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pembangunan.Pandangan atau
persepsi dimana perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai suatu
pembenaran terhadap pembedaan hak-hak dan kesempatan bagi keduanya. Kapasitas biologis
perempuan (bersifat kodrati) dalam melahirkan anak dijadikan rasional terhadap penentuan
peranan bahwa perempuan hanya pantas berperan dalam kegiatan domestik dan dianggap tidak
pantas berperan dalam sektor publik (masyarakat dan negara). Persepsi ini merupakan bias gender
yang mengurangi kesempatan dan kontribusi perempuan dalam pembangunan yang dianggap
berada di sektor publik.

Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, laki-laki dan perempuan, keduanya bisa menjalankan peran
baik di sektor domestik maupun publik. Namun, adanya bias gender menjadikan perempuan belum
memperoleh manfaat pembangunan yang sama seperti halnya laki-laki. Oleh karenanya,
pembangunan harus memberi hak-hak dan kesempatan yang sama bagi keduanya, sesuai dengan
peranan dan statusnya dalam keluarga, masyarakat, dan negara.

Permasalahan gender hari ini seharusnya sudah bisa diatasi dan menunjukan ke arah perubahan
yang lebih baik namun dengan berjalannnya persamaan gender terjadi satu hal yang bergeser dari
proses perbaikan masalah gender, sebgaimana dalam kenyataan hari ini ada kecenderungan
perempuan lupa akan hak dan kewajibanya atau ada pergeseran antara hak dan kewajiban laki-laki
dan hak kewajiban perempuan, hal tersebut dikarenakan terlalu derasnya perbaikan masalah gender
tersebut, sehingga mengindahkan norma-norma dalam masyarakat kita.

Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender adalah sebagai berikut:

a. Marginalisasi wanita

Istilah ini menggambarkan rendahnya status, akses dan pengguasaan seseorang terhadap sumber
daya ekonomi dan politik dalam pengambilan keputusan . berbagai pekerjaan yang dianggap sebagai
pekerjaan wanita, misalnya guru taman kanak-kanak atau sekretaris, dinilai lebih rendah
dibandingkan pekerjaan pria dan sering berpengaruh terhadap perbedaan gaji antara kedua jenis
pekerjaan tersebut.

b. Subordinasi

Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting
dan lebih utama dibandingkan jenis kelamin lainnya. Pandangan bahwa wanita mempunyai
kedudukan dan peran lebih rendah dibandingkan dengan pria telah tercipta sejak dahulu. Berbagai
tradisi, tafsir keagamaan, maupun aturan birokrasi menempatkan wanita sebagai subordinasi kaum
pria yang menyebabkan keterbatasan ruang gerak wanita diberbagai kehidupan. Misalnya seorang
istri yang akan melanjutkan pendidikan harus meminta izin dari suaminya, sebaliknya seorang suami
yang akan melanjutkan pendidikan tidak perlu meminta izi dari istrinya.

c. Pandangan stereotip

Pandangan stereotip asdalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan
kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif (seterotip) secara umum melahirkan ketidakadilan
gender. Salah satu stereotip yang berkembang berdasarkan pengertian gender, yaitu jenis kelamin
wanita mengakibatkan terjadinya diskriminasidan berbagai ketidakadilan. Sebagai contoh,
pandangan terhadap wanita yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang
berkaitan dengan kerumahtanggaan. Stereotip ini tidak hanya terjadi di dalam rumah tangga, tetapi
juga ditempat kerja dan masyarakat, bahkan tingkat pemerintah dan negara.

d. Kekerasan

Kekerasan berarti suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang.
Kekerasan fisik dapat berupa perko9saan, pemukulan dan penyikasaan. Kekerasan non fisik, yaitu
pelecehan seksual yang menyebabkan gangguan emosional. Pelaku kekerasan mungkin saja individu
di dalam rumah tangga, tempat umu, atau dimasyarakat.
e. Beban kerja

Bentuk lain diskriminasi atau ketidakadilan gender, yaotu beban kerja yang harus dilakukan oleh
salah satu jenis kelamin tertentu. Berbagai observasi menunjukkan bahwa hampir 90% pekerjaan
rumah tangga dikerjakan oleh wanita dan beberapa wanita mengerjakan hal tersebut sambil bekerja
mencari uang. Hal ini menyebabkan wanita harus melakukan pekerjaan rumah sambil bekerja.

Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam
berbagai kegiatan seperti politik, hokum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan keamanan
nasional serta menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi
penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan , baik terhadap laki-laki maupun perempuan.

Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan
keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marjinalisasi dan
kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.

Dengan mengetahui dan memahami pengertian gender dan seks, seseorang diharapkan tidak lagi
mencampuradukkan pengertian kodrat (ciptaan Tuhan) dan non-kodrati (buatan masyarakat yang
bisa berubah sepanjang jaman). Konstruksi sosial dapat terjadi karena pada dasarnya sikap dan
perilaku manusia dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, yaitu konstruksi biologis, konstruksi
sosial, dan konstruksi agama.

Pemahaman tentang perbedaan seks dan gender sangat penting karena keduanya merupakan kunci
untuk tidak terjadinya kesalahan analisis, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat yang
seringkali menimbulkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender dapat dihilangkan apabila
masyarakat memahami dan mawas diri serta bertekad mengubah perilaku ke arah yang responsif
gender dalam setiap kegiatan.

Dengan demikian, perlu adanya kesepakatan dalam hal pembagian peran, sehingga laki-laki dan
perempuan dapat menjadi mitra yang setara dan seimbang dalam kehidupan di keluarga,
masyarakat dan pemerintahan.

Referensi :

Noorkasiani.(2009). Sosiologi Keperawatan. Jakarta:EGC.

Sihite, Romany.(2007). Perempuan, Kesetaraan, Keadilan Suatu Tinjauan Berwawasan Gender.


Jakarta: Raja Grafinda Persada

Sudarma, Momon.(2008). Sosiologi Untuk Kesehatan.JakartaJakarta: Salemba


http://abbiekusdwiyanda.blogspot.co.id/2015/12/katapengantar-assalamualaikum.html

http://bettymoohy.blogspot.co.id/2010/03/identifikasi-isu-gender-di-provinsi.html

http://createrbilliton.blogspot.co.id/2012/05/analisifenomena-gender-pendahuluan.html

https://yanqdj.wordpress.com/2009/02/25/gender-dan-permasalahannya.html
Pada dasarnya semua orang sepakat bahwa perempuan dan laki – laki berbeda. Namun, gender
bukanlah jenis kelamin laki – laki dan perempuan sebagai pemberian Tuhan. Gender lebih
ditekankan pada perbedaan peranan dan fungsi yang ada dan dibuat oleh masyarakat. Oleh karena
itu, gender penting di pahami dan dianalisa untuk melihat apakah perbedaan tersebut menimbulkan
diskriminasi dalam artian perbedaan yang membawa kerugian dan penderitaan terhadap pihak
perempuan.

Sebenarnya, kita telah mempunyai basis legal yang menjamin hak - hak dan kesempatan bagi laki –
laki dan perempuan. Hal tersebut terlihat dari Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap
Perempuan yang di buat oleh PBB pada tahun 1993. Namun, deklarasi tersebut tidak begitu dikenal
oleh masyarakat di Indonesia, sehingga jarang di buat sebagai acuan dalam kegiatan penyelesaian
masalah yang berbasis gender (Sunanti Zalbawi, 2004).

Di Indonesia, isu kesetaraan gender akhir – akhir ini menjadi isu yang tidak ada habisnya dan masih
berusaha terus di perjuangkan baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Hal tersebut seperti yang
diutarakan oleh Imam Prasodjo dalam Kompas 29 Juli 2010, menyatakan bahwa permasalahan
perspektif gender yang paling substantif juga terlihat di eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Permasalahan tersebut mencakup substantif pemahaman tentang kebijakan berspektif gender itu
sendiri. Peningkatan kesadaran dan pemahaman itu, harus dibarengi dengan adanya keterwakilan
perempuan – perempuan dalam lembaga – lembaga negara, terutama lembaga pembuat kebijakan.
Mengingat perempuan masih saja mengalami ketimpangan di bidang pendidikan, sosial, politik, dan
ekonomi hanya karena perkembangan pengetahuan masyarakat Indonesia tentang gender itu
sendiri masih sangat lambat.

a.Konsep gender dalam kehidupan masyarakat Indonesia

-Lingkungan keluarga

Posisi perempuan dalam keluarga pada umumnya dan di masyarakat Indonesia pada khususnya,
masihlah berada di bawah laki – laki. Seperti kasus istri yang bekerja di luar rumah harus mendapat
persetujuan dari suami, namun pada umumnya meskipun istri bekerja, haruslah tidak boleh memiliki
penghasilan dan posisi lebih tinggi dari suaminya. Meskipun perempuan sudah bekerja di luar
rumah, mereka juga harus memperhitungkan segala kegiatan yang ada di rumah, mulai dari
memasak hingga mengurus anak.

- Lingkungan pendidikan

Di bidang pendidikan, perempuan menjadi pilihan terakhir untuk mendapatkan akses. Oleh karena
itu, tingkat buta huruf tertinggi di Indonesia juga masih didominasi oleh kaum perempuan (kompas,
29 Juli 2010).
-Lingkungan pekerjaan

Perempuan yang memiliki akses pendidikan yang tinggi pada umumnya bisa mendapatkan pekerjaan
yang layak. namun, pemilihan pekerjaan tersebut masih berbasis gender. Perempuan dianggap kaum
yang lemah, pasif dan dependen. Pekerjaan seputar bidang pelayanan jasa seperti bidang
administrasi, perawat, atau pelayan toko dan pekerjaan dengan sedikit ketrampilan seperti pegawai
administrasi dan hanya sedikit saja yang menduduki jabatan manajer atau pengambil keputusan
(Abbott dan Sapsford, 1987).

b.Gender dan kesehatan di Indonesia

GBHN membuat permasalahan gender semakin pelik, dalam penjabarannya intinya menyebutkan
bahwa perempuan indonesia berfungsi sebagai istri pengatur rumah tangga, sebagai tenaga kerja di
segala bidang dan sebagai pendidik pada bagi anak – anaknya. Konsep tersebut semakin
membingungkan perempuan di Indonesia untuk memilih antara terjun dalam kegiatan di luar rumah
dan menjadi istri sertai bu yang baik (Retno Suhapti, 1995).

Konsep ini sangat berat bagi perempuan, dikarenakan proporsional beban tersebut mampu
membuat perempuan retan akan stress. Selain itu, permasalahan ada pada keputusan untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan. Contohnya pada kasus ibu hamil yang menunggu keputusan
suaminya untuk pergi berobat ke dokter. Pada akhirnya, ibu hamil terlambat mendapatkan
penanganan yang dapat berakibat fatal bagi kesehatan janin dan ibu itu sendiri. Hal tersebut nampak
permasalah gender di Indonesia mengakar sejak dahulu yang diawali dengan kebijakan pemerintah
yang berlaku saat itu.

Berdasarkan permasalahan yang terjadi, sudah waktunya perempuan dan laki – laki di Indonesia
sama – sama berfungsi sebagai pengatur rumaha tangga pada khususnya dan pengatur beberapa
kebijakan negara pada umumnya. Dengan tercapainya kondisi ini, dapat terjalin dengan harmonis
bagi perempuan dan laki – laki di Indonesia. Perempuan juga harus mendapatkan kesempatan yang
sama memilih dan meraih posisi yang sejajar dengan laki laki di masyarakat.

Untuk mewujudkan kondisi ini, mau tidak mau, kaum perempuan Indonesia harus sadar bahwa
selama ini konsep yang berlaku adalah konsep yang berorientasi gender yang membuat
membedakan peran antara perempuan dan laki – laki di Indonesia, menghambat kesempatan
mereka. Kesadaran perempuan lah yang sangat di butuhkan untuk dapat meningkatkan kondisinya
sendiri di bidang kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dll. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara
melakukan perubahan keputusan bagi dirinya sendiri tanpa harus di bebani konsep gender.

https://www.kompasiana.com/echyrosalia/5510da6ba333110237ba8f47/permasalahan-gender-di-
indonesia
Makalah Gender
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Isu tentang gender telah menjadi bahasan analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam wacana
perdebatan mengenai perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam perbincangan
mengenai pembangunan dan perubahan sosial. Bahkan, beberapa waktu terakhir ini, berbagai
tulisan, baik di media massa maupun buku-buku, seminar, diskusi dan sebagainya banyak
membahas tentang protes dan gugatan yang terkait dengan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap
kaum perempuan. Ketidakadilan dan diskriminasi itu terjadi hampir di semua bidang, mulai dari
tingkat internasional, negara, keagamaan, sosial, budaya, ekonomi, bahkan sampai tingkatan rumah
tangga.

Gender dipersoalkan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak
dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut
akhirnya membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses,
partisipasi, serta kontrol dalam hasil pembangunan laki-laki dan perempuan.

Dari penyiapan pakaian pun kita sudah dibedakan sejak kita masih bayi. Juga dalam hal mainan,
anak laki-laki misalnya: dia akan diberi mainan mobil-mobilan, kapal-kapalan, pistol-pistolan, bola
dan lain sebagainya. Dan anak perempuan diberi mainan boneka, alat memasak, dan sebagainya.
Ketika menginjak usia remaja perlakuan diskriminatif lebih ditekankan pada penampilan fisik,
aksesoris, dan aktivitas. Dalam pilihan warna dan motif baju juga ada semacam diskriminasi. Warna
pink dan motif bunga-bunga misalnya hanya “halal” dipakai oleh remaja putri. Aspek behavioral
lebih banyak menjadi sorotan diskriminasi. Seorang laki-laki lazimnya harus mahir dalam olah raga,
keterampilan teknik, elektronika, dan sebagainya. Sebaliknya perempuan harus bisa memasak,
menjahit, dan mengetik misalnya. Bahkan dalam olahraga pun tampak hal-hal yang mengalami
diskriminasi tersendiri.

B. Tujuan Pembuatan Makalah


Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1).Sebagai tugas akhir perkuliahan Ilmu Sosial Budaya Dasar
2).Memahami arti gender secara umum
3).Mengetahui masalah gender dalam perilaku sosial budaya di masayarakat

BAB II
PEMBAHASAN

A. Memahami Arti Gender Secara Umum


Dari Wikipedia bahasa Indonesia dijelaskan bahwa gender merupakan aspek hubungan sosial yang
dikaitkan dengan diferensiasi seksual pada manusia.

Istilah “gender” yang berasal dari bahasa Inggris yang di dalam kamus tidak secara jelas dibedakan
pengertian kata sex dan gender. Untuk memahami konsep gender, perlu dibedakan antara kata sex
dan kata gender.

Sex adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis sedangkan gender perbedaan jenis kelamin
berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi masyarakat1). Dalam kaitan dengan pengertian
gender ini, Astiti mengemukakan bahwa gender adalah hubungan laki-laki dan perempuan secara
sosial. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup sehari-hari, dibentuk
dan dirubah

Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) menegasakan bahwa istilah Gender dapat dibedakan ke dalam
beberapa pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu, Gender
sebagai suatu fenomena sosial budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai
suatu persoalan sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, Gender sebagai
sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.

Epistimologi penelitian Gender secara garis besar bertitik tolak pada paradigma feminisme yang
mengikuti dua teori yaitu; fungsionalisme struktural dan konflik. Aliran fungsionalisme struktural
tersebut berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling
mempengaruhi. Teori tersebut mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam
masyarakat. Teori fungsionalis dan sosiologi secara inhern bersifat konservatif dapat dihubungkan
dengan karya-karya August Comte (1798-1857), Herbart Spincer (1820-1930), dan masih banyak
para ilmuwan yang lain.

Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips mengartikan Gender sebagai harapan-
harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah
lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan
perkasa. Ciri-ciridari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang
lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat
tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain (Mansour Fakih
1999: 8-9).

Secara umum, pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan
apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa
Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran,
perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang
dalam masyarakat.

B. Masalah Gender Dalam Perilaku Sosial Budaya Masayarakat


Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dalam berbagai bidang kehidupan
antara lain dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum ( baik hukum tertulis maupun
tidak tertulis yakni hukum hukum adat ). Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam
berbagai bidang kehidupan tersebut pada umumnya menunujukan hubungan yang sub-ordinasi
yang artinya bahwa kedudukan perempuan lebih rendah bila dibandingkan dengan kedudukan laki-
laki.

Hubungan yang sub-ordinasi tersebut dialami oleh kaum perempuan di seluruh dunia karena
hubungan yang sub-ordinasi tidak saja dialami oleh masyarakat yang sedang berkembang seperti
masyarakat Indonesia, namun juga dialami oleh masyarakat negara-negara yang sudah maju
seperti Amerika Serikat dan lain-lainnya. Keadaan yang demikian tersebut dikarenakan adanya
pengaruh dari idiologi patriarki yakni idiologi yang menempatkan kekuasaan pada tangan laki-laki
dan ini terdapat di seluruh dunia. Keadaan seperti ini sudah mulai mendapat perlawanan dari kaum
feminis, karena kaum feminis selama ini selalu berada pada situasi dan keadaan yang tertindas.
Oleh karenanya kaum femins berjuang untuk menuntut kedudukan yang sama dengan kaum laki-
laki dalam berbagai bidang kehidupan agar terhindar dari keadaan yang sub-ordinasi tersebut.

Ketidakadilan gender merupakan berbagai tindak ketidakadilan atau diskriminasi yang bersumber
pada keyakinan gender. Ketidak adilan gender sering terjadi di mana-mana ini terkaitan dengan
berbagai faktor. Mulai dari kebutuhan ekonomi budaya dan lain lain. Sebenarnya masalah gender
sudah ada sejak jaman nenek moyang kita, ini merupakan masalah lama yang sulit untuk di
selesaikan tanpa ada kesadaran dari berbagai pihak yang bersangkutan. Budaya yang mengakar di
indonesia kalau perempuan hanya melakukan sesuatu yang berkutik didalam rumah membuat ini
menjadi kebiasaan yang turun temurun yang sulit di hilangkan. Banyak yang menganggap
perbedaan atao dikriminasi gender yang ada pada film itu adalah hal yang biasa dan umum, shingga
mereka tidak merasa di diskriminasi, namun akhir-akhir ini muncul berbagai gerakan untuk melawan
bbias gender tersebut. Saat ini banyak para wanita bangga merasa hak nya telah sama dengan pria
berkat atasa kerja keras RA KARTINI padahal mereka dalam media masih di jajah dan di campakan
seperti dahulu.

Bentuk bentuk ketidak adilan gender Marjinalisasi atau Pemiskinan


Suatu proses penyisihan yang mengakibatkan kemiskinan bagi perempuan atau laki-laki. Hal ini
nampak pada film film yang menggabarkan banyak para kaum lelaki menjadi pemimpin perusahaan
menjadi eksmud. Dan sebaliknya banyak para wanita yang digambarkn sebagi pembantu rumah
tangga TKW ataupun pengemis, sebenarnya secra tidak langsung membedakan dan mentidak
adilkan gender, hal yang lebih mengecewakan ialah para wanita tidak merasa di tindas.

Subordinasi atau penomorduaan


Ialah Sikap atau tindakan masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah
dibanding laki-laki dibangun atas dasar keyakinan satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau
lebih utama dibanding yang lain. Ini mempunyai pendapat bahwa lelaki mempunyai lebih unggul.
Hal ini berkeyakinan bahwa kalu ada laki laki kenapa harus perempuan.

Fenomena ini sering terjadi dalam film, yaitu ketika peran eksmudd yang selalu di perankan oleh
pria, jika ada wanita yang berperan seebagai eksmud pastilah dia akan bermasalah dan selalu tidak
sesukses pria. Sebenarnya hal ini memag tidak terlalu bnyak di perhitungkan karena ini seperti
menyutikan racun pada tubuh. Sedikit sedikit media (film) mengkonstruk budaya pria selalu
didepan.

Stereotype
Suatu sikap negatif masyarakat terhadap perempuan yang membuat posisi perempuan selalu pada
pihak yang dirugikan. Setreotipe ini biasa juga menjadi pedoman atau norma yang secara tidak
lagsung diterapkan oleh berbagai masyarakat. Contoh streotipe ialah wanita perokok itu dianggap
pelacur, ppadahal belum tentu ia pelacur pandangan yang seperti inilh yang selalu menyudutkan
kaum wanita. Semenjak adanya pandangan mengenai streotipe ini menjadiakn suatu belenggu
pada kaum wanita.

Isu Jender Dalam hukum Adat (Hukum Keluarga, Hukum Perkawinan Dan Hukum Waris)
Hukum adat sebagai hukumnya rakyat Indonesia dan tersebar di seluruh Indonesian dengan corak
dan sifat yang beraneka ragam. Hukum adat sebagai hukumnya rakyat Indonesia terdiri dari kaidah-
kaidah hukum yang sebagian besar tidak tertulis yang dibuat dan ditaati oleh masyarakat dimana
hukum adat itu berlaku.

Hukum adat terdiri dari berbagai lapangan hukum adat antara lain hukum adat pidana, tata negara,
kekeluargaan, perdata, perkawinan dan waris. Hukum adat dalam kaitan dengan isu gender adalah
hukum kekeluargaan, perkawinan dan waris. Antara hukum keluarga, hukum perkawinan dan
hukum perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat karena ketiga lapangan hukum tersebut
merupakan bagian dari hukum adat pada umumnya dan antara yang satu dengan yang lainnya
saling bertautan dan bahkan saling menentukan.

Isu Jender Dalam Perundang-Undangan


Perjuangan emansipasi perempuan Indonesia yang sudah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka
yang dipelopori oleh R.A. Kartini, dan perjuangannya kemudian mendapat pengakuan setelah
Indoesia merdeka. Pengakuan itu tersirat dalam Pasal 27 U U D, 45 akan tetapi realisasi pengakuan
itu belum sepenuhnya terlaksana dalam berbagai bidang kehidupan.

Hal ini jelas dapat diketahui dari produk peraturan perundangan-undangan yang masih mengandung
isu gender di dalamnya, dan oleh karenannya masih terdapat diskriminasi terhadap perempuan.
Contoh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di mana seolah-olah undang-undang tersebut
melindungi perempuan dengan mencantumkan asas monogami di satu sisi akan tetapi di sisi lain
membolehkan bagi suami untuk berpoligami tanpa batas jumlah wanita yang boleh dikawin. Dalam
membahas masalah diskriminasi terhadap perempuan maka yang dipakai sebagai dasar acuan
adalah Ketentuan Pasal 1 U U No. 7 Tahun 1984, yang berbunyi sebagai berikut : Untuk tujuan
konvensi yang sekarang ini, istilah “diskriminasi terhadap wanita” berarti setiap pembedaan,
pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau
tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak
asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau
apapun lainnya oleh kaum wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan
antara pria dan wanita.

Mencermati ketentuan Pasal 1 tersebut diatas maka istilah diskriminasi terhadap perempuan atau
wanita adalah setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan atas dasar jenis kelamin maka
terdapat peraturan perundang-undangan yang bias jender seperti Undang-Undang Perpajakan,
Undang-Undang Perkawinan, dan lain-lainnya.

BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah di uraikan, maka dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut :
1). Gender merupakan aspek hubungan sosial yang dikaitkan dengan diferensiasi seksual atau jenis
kelamin pada manusia.

2). Masalah Gender Dalam Perilaku Sosial Budaya Masayarakat meliputi:


a. Ketidak adilan gender Marjinalisasi atau Pemiskinan
b. Subordinasi atau penomorduaan
c. Sikap negatif masyarakat terhadap perempuan
d. Isu gender Dalam hukum Adat
e. Isu Jender Dalam Perundang-Undangan

DAFTAR PUSTAKA

Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Muchtar, Yati. 2001. Gerakan Perempuan Indonesia Dan Politik Gender Orde Baru. Jurnal Perempuan
Untuk Pencerahan Dan Kesetaraan, No. 14.

Soewondo, Nani. 1984. Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat. Ghalia:
Indonesia, Jakarta.

Soekito, Sri Widoyatiwiratmo. 1989. Anak Dan Wanita Dalam Hukum. LP3ES: Jakarta.

Undang-Undang Dasar. 1945. Apollo: Surabaya.

http://id.wikipedia.org/wiki/Gender

https://tercerdas.blogspot.com/2012/12/makalah-gender.html
ARTIKEL MASALAH GENDER

ARTIKEL

MASALAH GENDER

GENDER

Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikontruksi
secara sosial maupun kultural, misalnya perempuan dikenal lemah-lembut, emosional, keibuan; laki-
laki rasional, kuat, jantan, perkasa (Fakih, 1996: 8). Gender adalah hasil kontruksi budaya yang
diciptakan oleh manusia, yang sifatnya tidak tetap, berubah dari waktu ke waktu, serta dapat
dialihkan dan dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya setempat dari satu jenis kelamin
lainnya (KPP: 2008). Dalam masyarakat tradisional-patriarkhi (yaitu masyarakat yang selalu
memposisikan laki-laki lebih tinggi kedudukan dan perannya dari perempuan) kita dapat melihat
dengan jelas adanya pemisahan yang tajam bukan hanya pada peran Gender tetapi juga pada sifat
Gender. Misalnya, laki-laki dituntut untuk bersifat pemberani dan gagah perkasa sedangkan
perempuan harus bersifat lemah lembut dan penurut. Padahal, laki-laki maupun perempuan adalah
manusia biasa, yang mempunyai sifat-sifat tertentu yang dibawanya sejak lahir. Sifat lemah lembut,
perasa, pemberani, penakut, tegas, pemalu dan lain sebagainya, bisa ada pada diri siapapun, tidak
peduli apakah dia perempuan atau laki-laki. Sayangnya, konstruksi sosial di masyarakat merubah
pandangan ‘netral’ pada sifat Gender tersebut.

Pada kenyataannya gender timbul dari adanya perbedaan spikologis yang diciptakan oleh
masyarakat, bukan bawaan lahir tapi dari lingkungan, keluarga dll, tergantung dari sudut pandang
yang diciptakan oleh masyarakat itu sendiri.

Konsep gender dalam kehidupan masyarakat Indonesia

- Lingkungan keluarga

Posisi perempuan dalam keluarga pada umumnya dan di masyarakat Indonesia pada khususnya,
masihlah berada di bawah laki – laki. Seperti kasus istri yang bekerja di luar rumah harus mendapat
persetujuan dari suami, namun pada umumnya meskipun istri bekerja, haruslah tidak boleh memiliki
penghasilan dan posisi lebih tinggi dari suaminya. Meskipun perempuan sudah bekerja di luar
rumah, mereka juga harus memperhitungkan segala kegiatan yang ada di rumah, mulai dari
memasak hingga mengurus anak.

- Lingkungan pendidikan

Di bidang pendidikan, perempuan menjadi pilihan terakhir untuk mendapatkan akses. Oleh karena
itu, tingkat buta huruf tertinggi di Indonesia juga masih didominasi oleh kaum perempuan (kompas,
29 Juli 2010).

- Lingkungan pekerjaan
Perempuan yang memiliki akses pendidikan yang tinggi pada umumnya bisa mendapatkan pekerjaan
yang layak. namun, pemilihan pekerjaan tersebut masih berbasis gender. Perempuan dianggap kaum
yang lemah, pasif dan dependen. Pekerjaan seputar bidang pelayanan jasa seperti bidang
administrasi, perawat, atau pelayan toko dan pekerjaan dengan sedikit ketrampilan seperti pegawai
administrasi dan hanya sedikit saja yang menduduki jabatan manajer atau pengambil keputusan
(Abbott dan Sapsford, 1987).

Gender tercipta melalui proses sosial budaya yang panjang dalam suatu lingkup masyarakat
tertentu, sehingga dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Misalnya, laki-laki yang
memakai tato di badan dianggap hebat oleh masyarakat dayak, tetapi di lingkungan komunitas lain
seperti Yahudi misalnya, hal tersebut merupakan hal yang tidak dapat diterima.

Menurut pendapat saya sendiri permasalahan gender mengacu pada sekumpulan ciri-ciri khas yang
berkaitan dengan jenis kelamin individu, bawaan dari lahir dan diarahkan pada peran sosial atau
identitasnya dalam masyarakat. konsep gender bukan hanya mengacu pada jenis kelamin semata
tetapi gender juga dapat dikaitkan dengan orientasi seksual, seseorang yang merasa identitas
gendernya tidak sejalan dengan jenis kelaminnya dapat menyebut dirinya sebagai transgender,
seperti dalam kasus waria atau banci. Dalam konsep gender, yang dikenal adalah peran gender
individu di masyarakat, Peran gender (gender role) adalah peran yang dikerjakan oleh laki-laki dan
perempuan dalam suatu masyarakat tertentu yang diakibatkan adanya perbedaan gender. Sehingga
orang mengenal maskulinitas dan femininitas. Sebenarnya feminin sendiri tidak merasa terganggu
dengan dirinya sendiri, karena dia bisa menjalankan hidup seperti layaknya manusia-manusia lain
pada umumnya dengan dia menikah dan memiliki keluarga, akan tetapi disini yang menjadi
permasalahannya yaitu ketidaksesuaian harapan masyarakat yang menganggap dia berbeda, hal
inilah yang menjadi pertanyaan masyarakat kenapa sih dia kayak gitu?.

Sebenarnya awal mula femininitas di Indonesia yaitu mengacu kepada untuk mewujudkan
emansiapasi wanita, yang mana dia berubah akan tetapi sebenarnya masih tetap sama sehingga
berakibat pada adanya beban ganda misalnya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis
kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. Contoh : sebagai seorang perempuan
yang bekerja sebagai pencari nafkah tambahan, sebagai seorang istri dia juga harus mengurus
kehidupan rumah tangganya. Seorang perempuan tersebut mempunyai beban yang berlipat ganda.
Dan contoh dari emansipasi wanita lainnya yaitu wanita ikut serta dalam kegiatan organisasi
kemudian dia menjadi salah satu panitia dalam organisasi tersebut, tetapi dalam hal pekerjaan yang
berat misalnya menggotong kursi dan hal berat lainnyadalam hal ini pasti yang harus turun tangan
biasanya cenderung laki-laki sedangkan dalam hal masak-memasak dipercayakan kepada kaum
wanita karena dianggap lebih pantas.

Kemudian dari adanya peran gender ini dapat menimbulkan (1) ketimpangan gender yaitu kondisi
dimana terdapat ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Penanganan ketimpangan dapat dilakukan dengan
memberikan penyuluhan terhadap penduduk secara langsung disesuaikan dengan wilayah ditiap
kabupaten atau kota di suatu daerah. Pembentukaan wilayah penyuluhan dapat di lakukan dengan
membentuk wilayah konsentrasi berdasarkan beberapa variabel yang mempengaruhi ketimpangan.
Dalam melakukan pembentukan wilayah konsentrasi berdasarkan kesamaan karakteristik dari
variable-variabel yang mempengaruhi ketimpangan ditiap kabupaten atau kota di suatu daerah.
Salah satu metode statistika multivariat tersebut adalah analisis klaster. (2) sikap stereotip yaitu
pemberian citra atau label kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada anggapan yang
salah. Pelabelan menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang yang bertujuan untuk
menaklukan atau menguasai pihak lain. Contoh : masyarakat cenderung menganggap yang lemah
adalah perempuan, karena perempuan tidak bisa mengambil keputusan secara rasional akan tetapi
berdasarkan naluri atau hati nuraninya saja.

Berdasarkan pada wujud adanya emansipasi wanita sehingga menimbulkan harapan adanya
keadilan gender yaitu suatu kondisi dimana laki-laki dan perempuan memperoleh keadilan dalam
hak dan kewajiban masing-masing.

Maka dari itu kesetaraan gender berperan penting dalam mengatasi masalah-masalah yang terjadi
mengenai tentang ketidakadilan gender. Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki
dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu
berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya pertahanan dan
keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Di dalam kesetaraan
gender justru wanita lebih tinggi haknya karena mempunyai fungsi reproduksi yang tidak bisa
dimiliki oleh kaum laki-laki, karena itulah jika seorang wanita hamil maka dia berhak untu
mendapatkan hak cuti melahirkan, melihat sejenak di negara maju wanita yang sedang hamil berhak
mendapatkan hak cuti selama 9 bulan, sedangkan laki-laki 5 bulan. Berbeda halnya dengan Indonesia
yang hanya mendapatkan hak cuti nya sementara saja, jika dia tidak bekerja maka tidak di gaji.

Upaya mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG), di Indonesia dituangkan dalam
kebijakan nasional sebagaimana ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999,
UU No. 25 th. 2000 tentang Program Pembangunan Nasional-PROPENAS 2000-2004, dan dipertegas
dalam Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam
Pembangunan nasional, sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan
gender.

Beberapa indikator kondisi perempuan yang memperlihatkan belum terwujudnya kesetaraan dan
keadilan gender antara lain : di bidang pendidikan, 73% dari orang yang buta huruf adalah
perempuan, perempuan tamat SLTA dan Universitas lebih rendah dari laki-laki, perempuan drop out
sekolah lebih tinggi dari laki-laki; di bidang kesehatan, angka kematian ibu melahirkan masih tinggi
(373/100.000 kelahiran hidup tahun 1998) perempuan usia subur yang kekurangan energi kronik
24%, prevalensi anemia ibu hamil 51,9%; di bidang ekonomi, tingkat partisipasi angkatan kerja
perempuan lebih rendah dari laki-laki, kredit usaha tani hanya diberikan pada laki-laki, upah
perempuan lebih rendah dari laki-laki; di bidang hukum, banyak produk hukum bias gender; di
bidang keamanan, banyak perempuan korban tindak kekerasan, di bidang media massa, perempuan
sering dijadikan objek media; dll.

Gender berubah dari waktu ke waktu karena adanya perkembangan yang mempengaruhi nilai-
nilai dan norma-norma masyarakat tersebut maka dari itulah menimbulkan Netral gender, artinya
tidak memperhatikan kebutuhan laki-laki dan perempuan berbeda karena keduanya dianggap
mempunyai kepentingan yang sama, atau tidak menyebutkan secara eksplisit perempuan atau laki-
laki. Hal ini terbukti dari adanya perkembangan nilai dan norma dalam suatu masyarakat contohnya :

Di Jawa Barat, sudah ada perempuan yang menjadi kepala desa karena meningkatnya pendidikan.

Di Sumba, laki-laki membantu-bantu ‘tugas perempuan’ dirumah tangga

Di Indonesia, sekarang sudah banyak mulai perempuan yang menjadi dokter, insinyur, dan
pengusaha. (Nikmatus Sholihah,2005 ).

Bahkan jika kita menengok masa lalu di Indonesia sendiri sudah ada wanita yang pernah menjabat
menjadi Presiden RI yaitu Megawati Soekarno Putri.
Analisis gender adalah proses yang dibangun secara sistemmatis untuk mengidentifikasi dan
memahami pembagian kerja/peran laki-laki dan perempuan, akses dan control terhadap sumber
daya pembangunan, partisipasi dalam proses pembangunan, dan manfaat yang mereka nikmati,
pola hubungan antara laki-laki dan perempuan yang timpang, yang di dalam pelaksanaannya
memperhatikan faktor-faktor lainnya seperti kelas sosial, ras, dan suku bangsa.

Sehingga dalam upaya mengatasi masalah gender dan pemberdayaan perempuan antara lain:

a. Meningkatkan peran perempuan dalam bidang politik dan pengambilan keputusan

b. Meningkatkan taraf pendidikan dan kesehatan serta bidang Pembangunan lainnya untuk
mempertinggi kualitas hidup dan sumber daya kaum perempuan

c. Meningkatkan gerakan anti kekerasan terhadap perempuan dan anak

d. Meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan perempuan

https://nurkholifahhh17.blogspot.com/2016/12/artikel-masalah-gender.html
akalah KESETARAAN GENDER

KESETARAAN GENDER DAN PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR

A. PENGERTIAN KESETARAAN
Kesetaraan berasal dari kata setara atau sederajat. Jadi, kesetaraan juga dapat disebut
kesederajatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sederajat artinya sama tingkatan
(kedudukan, pangkat). Dengan demikian, kesetaraan atau kesederajatan menunjukkan adanya
tingkatan yan sama, kedudukan yang sama, tidak lebih tinggi atau tidak lebih rendah antara satu
sama lain.

Kesetaraan manusia bermakna bahwa manusia sebagai mahkluk Tuhan memiliki tingkat atau
kedudukan yang sama. Tingkatan atau kedudukan yang sama itu bersumber dari pandangan bahwa
semua manusia tanpa dibedakan adalah diciptakan dengan kedudukan yang sama, yaitu sebagai
makhluk mulia dan tinggi derajatnya dibanding makhluk lain.

Dihadapan Tuhan, semua manusia adalah sama derajat, kedudukan, atau tingkatannya. Yang
membedakan nantinya adalah tingkat ketakwaan manusia tersebut terhadap Tuhan.

Persamaan atau tingkatan manusia ini berimplikasi pada adanya pengakuan akan kesetaraan
atau kesederajatan manusia. Jadi, kesetaraan atau kesederajatan tidak sekedar bermakna adanya
persamaan kedudukan manusia. Kesederajatan adalah suatu sikap mengakui adanya persamaan
derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban sebagai sesama manusia. Implikasi selanjutnya
adalah perlunya jaminan akan hak-hak itu agar setiap manusia bisa merealisasikan serta perlunya
merumuskan sejumlah kewajiban-kewajiban agar semua bisa melaksanakan agar tercipta tertib
kehidupan.

Berkaitan dengan dua konsep di atas, maka dalam keragaman diperlukan adanya kesetaraan
atau kesederajatan. Artinya, meskipun individu maupun masyarakat adalah beragam dan berbeda-
beda, tetapi mereka memiliki dan diakui akan kedudukan, hak-hak dan kewajiban yang sama sebagai
sesama baik dalam kehidupan pribadi maupun kemasyarakatan. Terlebih lagi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, jaminan atau kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dari berbagai
ragam masyarakat di dalamnya amat diperlukan.

B. PENGERTIAN GENDER
Kata gender berasal dari bahasa Inggris, berarti jenis kelamin. Dalam Webster’s New World, gender
diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah
laku”.

Sedangkan dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah “suatu konsep
kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan
karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat”.

“Gender merujuk pada peranan dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang diciptakan dalam
keluarga, masyarakat dan budaya”(UNESCO, 2007).
Begitu pula pemahaman konsep gender menurut HT.Wilson (1998) yang memandang gender sebagai
“suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan
kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan”.

Seiring dengan pengertian Gender menurut Yanti Muhtar (2002), bahwa Gender dapat diartikan
sebagai “jenis kelamin sosial atau konotasi masyarakat untuk menentukan peran sosial berdasarkan jenis
kelamin”.

Sementara Mansour Fakih (2008:8) mendefinisikan gender sebagai “suatu sifat yang melekat pada
kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural”.

Dari beberapa definisi tentang gender yang telah diungkapkan diatas dapat dikatakan bahwa gender
merupakan jenis kelamin sosial, yang berbeda dengan jenis kelamin biologis. Dikatakan sebagai jenis kelamin
sosial karena merupakan tuntutan masyarakat yang sudah menjadi budaya dan norma sosial masyarakat yang
melekat pada kaum laki-laki dan perempuan dan membedakan antara peran jenis kelamin laki–laki dan
perempuan.

C. PENGERTIAN KESETARAAN GENDER


Kesetaraan gender adalah suatu kondisi dimana semua manusia (baik laki-laki maupun
perempuan) bebas mengembangkan kemampuan personal mereka dan membuat pilihan-pilihan
tanpa dibatasi oleh stereotype, peran gender yang kaku. Hal ini bukan berarti bahwa perempuan dan
laki-laki harus selalu sama, tetapi hak, tanggung jawab dan kesempatannya tidak dipengaruhi oleh
apakah mereka dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan (Unesco, 2002).

Kesetaraan gender adalah tidak adanya diskriminasi berdasarkan jenis kelamin seseorang
dalam memperoleh kesempatan dan alokasi sumber daya, manfaat atau dalam mengakses
pelayanan.

Berbeda halnya dengan keadilan gender merupakan keadilan pendistribusian manfaat dan
tanggung jawab perempuan dan laki-laki. Konsep yang mengenali adanya perbedaan kebutuhan dan
kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, yang harus diidentifikasi dan diatasi dengan cara
memperbaiki ketidakseimbangan antara jenis kelamin. Masalah gender muncul bila ditemukan
perbedaan hak, peran dan tanggung jawab karena adanya nilai-nilai sosial budaya yang tidak
menguntungkan salah satu jenis kelamin (lazimnya perempuan).

Untuk itu perlu dilakukan rekontruksi sosial sehingga nilai-nilai sosial budaya yang tidak
menguntungkan tersebut dapat dihilangkan. Sehingga masalah kesehatan reproduksi yang erat
kaitannya dengan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender dapat dihindari, khususnya kematian
ibu dan anak yang masih tinggi di Indonesia.

Pembahasan dalam topik isu gender ini dimaksudkan untuk memberikan informasi sehingga
dapat mengembangkan ide-ide kreatif dan inovatif yang disesuaikan dengan sosial, budaya, kondisi
dan situasi di wilayah setempat untuk megatasi masalah kesehatan reproduksi remaja.

D. DISKRIMINASI

Diskriminasi termasuk pembedaan berdasar pada ras, etnis, warna kulit, jenis kelamin, orientasi seksual,
agama, aliran politik, disabilitas atau HIV/AIDS yang mengakibatkan perlakuan yang tidak sama.
Ada diskriminasi yang langsung dan yang tidak langsung. Bukan hanya perlakuan yang sengaja. Diskriminasi
yang tidak langsung adalah praktek-praktek yang tampak netral tetapi menghasilkan perlakuan yang tidak
sama terhadap seseorang dengan karakteristik tertentu.

Pelecehan dapat dianggap sebagai bentuk diskriminasi jika didasarkan pada ciri atau sifat yang diskriminatif.

Indonesia telah meratifikasi dua konvensi ILO mengenai diskriminasi: Konvensi Pengupahan yang Sama No.
100 tahun 1957 (K100) dan Konvensi Diskriminasi Sehubungan Pekerjaan dan Jabatan No. 111 tahun 1958
(K111).

Contoh: Selama proses penerimaan pegawai baru, manajemen sebaiknya tidak bertanya pertanyaan pribadi
yang tidak relevan kepada pelamar, seperti menanyakan asal usul dirinya beserta keluarga, agama yang
dianut, status pernikahan, status kehamilan, ataupun menanyakan apakah telah memiliki anak. Meskipun
informasi hanya sekedar ditanyakan sebagian dari perbincangan saat wawancara dan tidak dimaksudkan
untuk mendiskriminasikan orang-orang dengan karakteristik tertentu, namun akan memberikan kesan
terdapat diskriminasi pada hal-hal tertentu kepada calon pegawai, maka dari itu tidaklah pantas dilakukan.

E. STUDI KASUS
Kiai Masyhurat Lebih Hebat dari Syekh Puji, 5 Istri Dinikahi di Bawah Umur

LENTENG, SUMENEP. Pujiono Cahyo Widianto atau Syekh Puji yang namanya mencuat belakangan ini
akibat menikahi bocah di bawah umur tampaknya bukan apa-apa bagi Masyhurat Usman, seorang kiai
tenar di Kabupaten Sumenep,

Pulau Madura. Jika Syekh Puji (pemilik Ponpes Miftakhul Jannah, Semarang) menikahi seorang saja
bocah putri di bawah umur, KH Masyhurat memiliki lima istri yang dinikahinya saat mereka masih di
bawah umur. Total jumlah istri KH Masyhurat yang kini berusia 57 tahun itu sebanyak 10 orang.

Kemarin Surya mengunjungi kediaman KH Masyhurat di Dusun Tarebung, Desa Lenteng Barat,
Kecamatan Lenteng, Sumenep. Surya ditemui oleh santri kepercayaannya, Mujiburrahman (yang
dipanggil Jibur), dan seorang istri KH Masyhurat karena kebetulan sang kiai sedang pergi ke luar kota.

Menurut Jibur, dari 10 istri KH Masyhurat Usman, lima di antaranya dipersunting saat para perempuan
itu masih berumur antara 12 dan 17 tahun. Sebagian besar orangtua perempuan yang dipinang oleh
KH Masyhurat itu ikhlas dan merelakan anaknya dikawini sang kiai.

“Bukan hanya orangtua yang menerima dan ikhlas memiliki menantu Abah Masyhurat, anak-anak
perempuan itu pun senang hati menerima pinangan Abah,” tandas Jibur, Kamis (30/10/08).

Menurut Jibur, yang dinikahi KH Masyhurat saat masih di bawah umur adalah Ernawati (ketika kelas
VI SD), Hindun (dikawini tatkala kelas 1 SMP), Maskiyah ketika masih 15 tahun, Sahama dinikahi saat
kelas IV madrasah ibtidaiyah (setingkat SD) dalam usia 10 tahun, dan Linda Yusniah dinikahi saat belum
genap 17 tahun.

Menurut Jibur, pernikahan kiai kharismatik itu untuk membantu mereka yang lemah, baik dalam
agama maupun dalam kehidupan ekonomi.

Setelah dinikahi KH Masyhurat, para istri di bawah umur itu sudah naik haji semua. Dari 10 istri kiai
itu, tinggal seorang yang belum bergelar hajah.

“Pernikahan Nabi Muhammad SAW dan Aisyah RA menjadi salah satu rujukannya. Dan, dibolehkan
mengawini perempuan yang sudah haid karena sudah dianggap akil balik. Bahkan, belum haid
sekalipun dapat dinikahkan, asal tidak boleh digauli dulu sebelum haid,” kata Jibur.
Namun, saat ditanya apakah setelah perkawinan itu para istri di bawah umur tersebut langsung digauli
oleh KH Masyhurat, Jibur mengaku tidak tahu secara pasti. Cuma dia melihat, istri-istri sang kiai yang
dikawini dalam usia dini tersebut tidak langsung punya anak sampai bertahun-tahun. Kini para istri KH
Masyhurat yang dinikahi saat masih di bawah umur itu, berusia rata-rata 25 tahun.

“Kiai kan pasti tahu bagaimana memperlakukan istri yang masih di bawah umur karena ilmu kiai kan
sudah tinggi. Tidak mungkin beliau mengeksploitasi anak-anak,” kata Jibur.

Komentar Jibur juga dibenarkan Hajah Maskiyah, istri kelima KH Masyhurat. Menurut Hajah Maskiyah,
perkawinan di bawah umur tidak perlu diperdebatkan. Yang penting orangtua dan anak yang akan
dinikahkan setuju dan sudah dinyatakan akil balik atau setidaknya sudah mengalami haid.

“Yang sangat penting, sang suami bertanggung jawab menafkahi istrinya, baik secara lahir maupun
batin,” ujar Hajah Maskiyah yang saat dikawini KH Masyhurat berumur 15 tahun.

Hajah Maskiyah menambahkan, istri-istri KH Masyhurat yang berjumlah 10 orang sebagian besar
dinikahi sebelum usia mereka 20 tahun. Bahkan, salah satu istri KH Masyhurat, yakni Hajah Sahama,
dikawin saat dia masih duduk di kelas IV madrasah ibtidaiyah dan berumur sekitar 10 tahun.

“Tak satu pun di antara kami mengeluhkan adanya masalah baik lahir maupun batin. Kami semua kini
hidup rukun dan tenang dalam satu kompleks rumah laksana saudara,” tutur Hajah Maskiyah dengan
bangga.

Namun, ada juga istri KH Masyhurat yang sudah tua saat dinikahi, yaitu istri terakhir KH Masyhurat,
yakni Hajah Zubaidah yang dikawin sewaktu dia telah berumur 45 tahun. “Jadi, kiai kawin bukan
karena nafsu, melainkan ibadah dan dakwah,” ucap Hajah Maskiyah.

Saat ditemui Surya beberapa waktu lalu, KH Masyhurat mengatakan bahwa perkawinan merupakan
urusan pribadi atau hak azasi tiap-tiap individu. Bagi dirinya, poligami (perkawinan dengan banyak
istri) itu demi mengikuti sunah rasul sepanjang memiliki kemampuan secara ekonomi dan bisa berbuat
adil, baik lahir maupun batin, kepada para istri.

KH Masyurat menegaskan, dirinya melakukan pernikahan dengan motif ibadah, bahkan demi
kepentingan penyebaran (syiar) agama Islam, bukan karena dorongan nafsu birahi.

“Intinya untuk menyebarkan agama, yakni Islam. Salah cara untuk menyebarkan agama Islam dengan
cara memperbanyak keturunan,” tutur KH Masyhurat yang kini memiliki 24 orang anak.

F. PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR


Mengingat masih tingginya “4 T” (Terlalu Muda, Terlalu tua, Terlalu Banyak, Terlalu Sering
untuk hamil dan bersalin) yang berhubungan dengan penyebab kematian ibu dan anak kondisi ini
sesungguhnya dapat dicegah dan tidak terjadi kematian yang sia-sia. Selain itu masalah kesehatan
lainnya seperti penularan dan penyebaran HIV/AIDS.

Masalah kesehatan reproduksi remaja selain berdampak secara fisik, juga dapat
berpengaruh terhadap kesehatan mental dan emosi, keadaan ekonomi dan kesejahteraan sosial
dalam jangka panjang. Dampak jangka panjang tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap
keluarga, masyarakat dan bangsa akhirnya.

Permasalahan prioritas kesehatan reproduksi pada remaja dapat dikelompokkan sebagai


berikut:
a. Kehamilan tidak dikehendaki, yang seringkali menjurus kepada aborsi yang tidak aman dan
komplikasinya

b. Kehamilan dan persalinan usia muda yang menambah risiko kesakitan dan kematian ibu dan bayi

c. Masalah Penyakit Menular Seksual termasuk infeksi HIV/AIDS

d. Tindak kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, pelecehan seksual dan transaksi seks komersial.

Kehamilan remaja kurang dari 20 tahun menyumbangkan risiko kematian ibu dan bayi 2
hingga 4 kali lebih tinggi dibanding kehamilan pada ibu berusia 20 – 35 tahun.

Pusat penelitian Kesehatan UI mengadakan penelitian di Manado dan Bitung ( 1997),


menunjukkan bahwa 6% dari 400 pelajar SMU puteri dan 20% dari 400 pelajar SMU putera pernah
melakukan hubungan seksual.

Survei Depkes (1995/1996) pada remaja usia 13 - 19 tahun di Jawa barat (1189) dan di Bali
(922) mendapatkan 7% dan 5 % remaja putri di Jawa Barat dan Bali mengaku pernah terlambat haid
atau hamil.

Di Yogyakarta, menurut data sekunder tahun 1996/1997, dari 10.981 pengunjung klinik KB
ditemukan 19,3% yang datang dengan kehamilan yang tidak dikehendaki dan telah melakukan
tindakan pengguguran yang disengaja sendiri secara tidak aman. Sekitar 2% diantaranya
berusia kurang dari 22 tahun. Dari data PKBI sumbar tahun 1997 ditemukan bahwa remaja yang
telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah mengakui kebanyakan melakukannya pertama
kali pada usia antara 15 – 18 tahun.

Masih banyak isu gender lainnya yang terkait dengan kesehatan reproduksi
remaja, diantaranya sunat pada perempuan, kekerasan terhadap perempuan/dalam rumah tangga,
perlecehan seksual/pemerkosaan, perdagangan manusia/perempuan, pernikahan di bawah umur
dan sebagainya.

Makalah ini akan membahas mengenai fakta perempuan sebagai korban ketidaksetaraan
gender dari kasus yang diangkat adalah pernikahan di bawah umur.

Padahal, perkara nikah di bawah umur bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Praktek ini
sudah lama terjadi dengan begitu banyak pelaku. Tidak di kota besar tidak di pedalaman.
Sebabnyapun bervariasi, karena masalah ekonomi, rendahnya pendidikan, pemahaman budaya dan
nilai-nilai agama tertentu, karena hamil terlebih dahulu (kecelakaan atau populer dengan
istilah married by accident) dan lain sebagainya. Selain menimbulkan masalah sosial, nikah di bawah
umur bisa menimbulkan masalah hukum.

Pernikahan Kiai Masyhurat menikahi 5 Istri di bawah umur membuka ruang kontroversi
bahwa perkara nikah di bawah umur ternyata disikapi secara berbeda oleh hukum adat, hukum
Islam, serta hukum nasional dan hukum internasional. Kenyataan ini melahirkan, minimal dua
masalah hukum. Pertama, harmoninasi hukum antar sistem hukum yang satu dengan sistem hukum
lain. Kedua, tantangan terhadap legislasi hukum perkawinan di Indonesia terkait dengan perkawinan
di bawah umur.

Hukum Perkawinan
Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa
Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 tahun. Namun penyimpangan terhadap batas usia tersebut dapat terjadi ketika
ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan ataupun pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang
tua dari pihak pria maupun pihak wanita (vide pasal 7 ayat 2).

Undang-Undang yang sama menyebutkan bahwa perkawinan harus didasarkan atas


persetujuan kedua calon mempelai dan izin dari orangua diharuskan bagi mempelai yang belum
berusia 21 tahun

Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang disebarluaskan melalui Inpres No. 1 Tahun 1991 memuat
perihal yang kurang lebih sama. Pada pasal 15, KHI menyebutkan bahwa batas usia perkawinan sama
seperti pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974, namun dengan tambahan alasan: untuk kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga.

Maka, secara eksplisit tidak tercantum jelas larangan untuk menikah di bawah umur.
Penyimpangan terhadapnya dapat dimungkinkan dengan adanya izin dari pengadilan atau pejabat
yang berkompeten.

Namun demikian perkawinan di bawah umur dapat dicegah dan dibatalkan. Pasal 60 KHI
menyebutkan pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon istri tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan
perundang-undangan. Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon
mempelai, suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon istri
atau calon suami, serta pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan (vide pasal 62, 63, dan
64 KHI) .

KHI juga menyebutkan perkawinan dapat dibatalkan antara lain bila melanggar batas umur
perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 (vide pasal 71).

Para pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah:

1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri

2. Suami atau isteri

3. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-Undang

4. Para pihak berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan
menurut hukum Islam dan peraturan perundangan-undangan (vide pasal 73).

Hukum Islam, dalam hal ini Al Qur`an dan hadits tidak menyebutkan secara spesifik tentang
usia minimum untuk menikah. Persyaratan umum yang lazim dikenal adalah sudah baligh, berakal
sehat, mampu membedakan yang baik dengan yang buruk sehingga dapat memberikan
persetujuannya untuk menikah. Pasal 16 KHI menyebutkan bahwa: Perkawinan didasarkan atas
persetujuan calon mempelai. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan
tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat, tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama
tidak ada penolakan yang tegas.
Sama halnya dengan hukum adat. Hukum adat Indonesia, yang berbeda dari satu wilayah
dengan wilayah lain, adalah hukum kebiasaan tak tertulis yang tak mengenal pembakuan umur
seseorang dianggap layak untuk menikah. Biasanya seorang anak dinikahkan ketika ia dianggap telah
mencapai fase atau peristiwa tertentu dalam kehidupannya. Dan ini seringkali tidak terkait dengan
umur tertentu.

Instrumen HAM

Instrumen Hak Asasi Manusia, baik yang bersifat internasional (international human rights
law) ataupun yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah RI tidak menyebutkan secara eksplisit tentang
batas usia perkawinan. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child 1990 yang telah
diratifikasi melalui Keppres No. 36 Tahun 1990) tidak menyebutkan usia minimal pernikahan selain
menyebutkan bahwa yang disebut anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Juga setiap
negara peserta konvensi diwajibkan melindungi dan menghadirkan legislasi yang ramah anak,
melindungi anak dan dalam kerangka kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child).

Konvensi tentang Kesepakatan untuk Menikah, Umur Minimum Menikah dan Pencatatan
Pernikahan (Convention on Consent to Marriage, Minimum Age for Marriage and Registration of
Marriages) 1964 menyebutkan bahwa negara peserta konvensi ini akan mengupayakan lahirnya
legislasi untuk mengatur permasalahan umur minimum untuk menikah dan bahwasanya pernikahan
yang dilakukan di luar umur minimum yang ditetapkan adalah tidak berkekuatan hukum, terkecuali
otoritas yang berwenang menetapkan dispensasi tertentu dengan alasan yang wajar dengan
mengedepankan kepentingan pasangan yang akan menikah.

Indonesia belum menjadi negara pihak dari Konvensi 1964 tersebut, namun telah
menetapkan usia minimum pernikahan melalui UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, alias
sepuluh tahun setelah Konvensi tersebut lahir.

UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai instrumen HAM juga tidak
menyebutkan secara eksplisit tentang usia minimum menikah selain menegaskan bahwa anak
adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Disebutkan pula, penyelenggaraan perlindungan
anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi:

a. Non diskriminasi

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan

d. Penghargaan terhadap pendapat anak.

Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak
Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera (vide pasal 3).
Terkait pernikahan di bawah umur, pasal 26 (1) huruf (c ) UU Perlindungan Anak 2002
menyebutkan bahwa: Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : (c ) mencegah
terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Kriminalisasi Nikah di Bawah Umur

Merujuk pada hukum perkawinan Islam Indonesia, sudah nyata bahwa perkawinan di
Indonesia harus memenuhi ketentuan batas usia minimum. Yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun
bagi wanita. Kendati demikian, pelanggaran terhadapnya tidak serta merta dapat ditindak. Begitu
banyak terjadi perkawinan di bawah umur, dan tak pernah ataupun minim terdengar ada
kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut, kendati pasal 288 KUHP telah menyebutkan
bahwa barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila
mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, Jika
mengakibatkan luka-luka berat diancam pidana penjara paling lama delapan tahun dan jika
mengakibatkan mati diancam pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Perkawinan adalah masalah perdata. Kalaupun terjadi tindak pidana dalam perkawinan
seperti disebut pasal 288 KUHP, seringkali penyelesaiannya secara perdata atau tidak diselesaikan
sama sekali. Sebab, terkait dengan rahasia ataupun kehormatan rumah tangga. Seringkali pihak istri
atau keluarganya tidak melaporkan kekerasan tersebut entah karena alasan takut, aib keluarga, atau
kesulitan dalam menghadirkan alat bukti.

Langkah paling maju yang dapat dilakukan untuk menekan laju pernikahan di bawah umur
adalah dengan mencegah atau membatalkan perkawinan jenis tersebut. Namun sekali lagi, perlu ada
keberatan dari salah satu mempelai, keluarga, ataupun pejabat pengawas perkawinan. Apabila
pasangan mempelai dan juga keluarga tak keberatan maka tindakan yang paling mungkin dilakukan
adalah tidak mencatatkan pernikahannya di hadapan Kantor Pencatat Nikah (KUA atau
Kantor Catatan Sipil). Otomatis pernikahan yang tidak tercatat di lembaga pencatat nikah adalah
pernikahan yang tidak berkekuatan hukum, kendati barangkali dapat disebut sah menurut keyakinan
agama masing-masing pasangan.

Pasal 20 dan 21 UU No. 1 tahun 1974 cukup tegas dalam masalah ini. Disebutkan bahwa
pegawai pencatat pernikahan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan
perkawinan bila ia mengetahui antara lain adanya pelanggaran dari ketentuan batas umur minimum
pernikahan.

Namun perkawinan yang tak dicatatkan juga bukan tanpa resiko. Yang mengalami kerugian
utama adalah pihak istri dan anak-anak yang dilahirkannya. Karena, apabila ia tak memiliki dokumen
pernikahannya, seperti surat nikah, maka ia akan kesulitan mengklaim hak-haknya selaku istri terkait
dengan masalah perceraian, kewarisan, tunjangan keluarga, dan lain-lain.

Tantangan Legislasi dan Harmonisasi Hukum Perkawinan


Pernikahan Kiai Masyhurat yang menikahi 5 Istri di bawah umur seperti menampar wajah
pembuat hukum dan aparat hukum negeri ini. Karena kasus ini sebenarnya bukan yang pertama dan
bukan juga yang terakhir. Kasus ini hanyalah satu kasus yang mengemuka dari ribuan kasus lainnya
yang mengendap di bawah permukaan laksana gunung es.

Praktik nikah di bawah umur juga mengisyaratkan bahwa hukum perkawinan Indonesia
nyaris seperti hukum yang tak bergigi, karena begitu banyak terjadi pelanggaran terhadapnya tanpa
dapat ditegakkan secara hukum.

Tidak hanya masalah nikah di bawah umur. Pelanggaran terhadap hukum perkawinan juga
terjadi pada kasus pernikahan poligami, pernikahan di bawah tangan, perceraian di bawah tangan,
pelanggaran hak-hak mantan isteri, mantan suami ataupun anak-anak dalam perceraian, dan lain-
lain.

Begitu banyak terjadi pernikahan poligami yang dilakukan tanpa izin pengadilan agama dan
tanpa memenuhi syarat-syarat alternatif dan kumulatif seperti yang ditetapkan UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Begitu banyak terjadi perceraian yang terjadi di luar pengadilan
(perceraian di bawah tangan). Begitu banyak hak-hak mantan isteri dan anak-anak yang diabaikan
ketika terjadi perceraian. Dan begitu banyak pula terjadi perkawinan yang berlangsung tanpa
tercatat di kantor pencatat nikah (apakah Kantor Urusan Agama ataupun Kantor Catatan Sipil) alias
lazim disebut perkawinan di bawah tangan.

Memang, urusan perkawinan adalah urusan keperdataan. Urusan pribadi warganegara. Hal
mana membuat banyak pihak mempertanyakan, kenapa masalah perkawinan harus diatur oleh
negara, bukankah perkawinan berada dalam ranah privat?

Urusan perkawinan memang berada dalam wilayah keperdataan. Namun peristiwa tersebut
adalah peristiwa hukum yang jelas menimbulkan sebab akibat dan hak-hak kewajiban para pihak.
Maka, pengaturan dari negara tetap perlu. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sudah mencoba
mengatur dengan meng-unifikasi hukum perkawinan. Hukum agama dan hukum adat diakomodasi
dalam UU tersebut, disamping hukum perdata Barat. Dan sungguh ini bukan perkara yang gampang,
karena selamanya unifikasi di wilayah hukum pribadi dan hukum keluarga adalah sesuatu yang sulit.
Indonesia adalah negara yang kaya dengan pluralitas hukum dan pluralitas sosial budaya.

Apabila perkawinan tidak diatur oleh negara akan berpotensi lahirnya ketidakadilan bagi
pihak-pihak tertentu, utamanya bagi perempuan dan anak-anak yang dilahirkan. Dan akhirnya akan
merembet pada keluarga luas, lingkungan, masyarakat, hingga akhirnya menjadi problem negara
juga. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga No. 23 tahun 2004 lahir antara
lain karena maraknya fenomena kekerasan dalam perkawinan.

Namun apabila negara mengatur terlalu banyak, dapat juga berpotensi pemaksaan hukum
dan sentralisasi hukum negara. Perlu ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan, mana
masalah perkawinanan yang perlu diatur hukum negara dan mana yang tidak. Untuk tidak
mencederai hak-hak sipil warganegara dalam wilayah perkawinan yang tak perlu dikelola oleh
negara.

Dan inilah tantangan untuk hukum perkawinan kontemporer. Mampukah pembuat hukum
dan aparat hukum mengkritisi dan melahirkan legislasi di wilayah hukum perkawinan yang menjamin
perlindungan hukum bagi semua pihak dan pada saat bersamaan tetap melahirkan
keadilan? Kemudian, mampukah pembuat hukum dan aparat hukum mengharmoniskan perbedaan
klausul di berbagai sistem hukum perkawinan terkait dengan masalah-masalah perkawinan
kontemporer?

Merevisi UU No. 1 Tahun 1974 adalah satu alternatif dan tidaklah terlalu ambisius. Namun
juga bukan satu-satunya cara. Perlu dipikirkan harmonisasi dan lahirnya legislasi yang dapat
mengakomodasi semua sistem hukum yang hidup tanpa harus mencederai hak-hak sipil masyarakat
dalam wilayah hukum perkawinan.
https://amanimidwife.blogspot.com/2014/03/makalah-kesetaraan-gender.html
Pendahuluan

Laki-laki dan perempuan berada di muka bumi ini mempunyai tugasnya masing-
masing. Tugas itu bisa berupa tugas alami atau kodrati dan tugas yang melekat
padanya karena bangunan atau konstruksi sosial, adat, agama dan masyarakat di
mana mereka huni. Masing-masing ada jatahnya.

Berpijak pada analisis gender yang bertujuan untuk menghapus kesalahpahaman


masyarakat tentang dua kata “gender dan sex” juga bertujuan untuk menghilangkan
ketidakadilan gender (gender inequality). Ketidakadilan gender berdampak buruk
terutama terhadap perempuan yang sering dirugikan akibat kesalahpahaman
tersebut.

Sosialisasi gender yang telah berlangsung di tengah masyarakat dalam waktu yang
tidak sedikit mengakibatkan menancapnya pemahaman, bahkan keyakinan, bahwa
apa yang dilakukan perempuan dan laki-laki serta perannya dalam masyarakat
merupakan hal yang kodrati. Oleh karena itu, pandangan umum masyarakat tentang
perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan sudah tidak bisa dipertukarkan.

Dalam makalah ini kami bermaksud membahas tentang pandangan sebelah mata
terhadap keberadaan dan peran perempuan atau ketidakadilan gender yang terjadi
di tengah-tengah masyarakat serta mengurai sedikit berbagai macamnya.

Ketidakadilan Gender (Gender Inequality)

Perbedaan gender sesunggunhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak


melahirkan ketidakadilan gender (Gender Inequality).[1] Ketidakadilan gender
merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi
korban dari sistem tersebut.[2] Ketidakadilan gender itu menurut para feminis
akibat dari kesalahpahaman terhadap konsep gender yang disamakan dengan
konsep seks.[3]
Perbedaan gender mengakibatkan ketidakadilan. Ketidakadilan tyersebut bisa
disimpulkan dari manifestasi ketidakadilan tersebut yakni: Marginalisasi,
subordinasi, stereotipe, kekerasan (violence) dan beban kerja lebih panjang dan
lebih banyak (burden) atau (double burden). Berikut kita uraikan masing-masing
dari bentuk ketidakadilan gender tersebut.

 Marginalisasi:
Marginalisasi artinya : suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin
yang mengakibatkan kemiskinan.

Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang atau kelompok.
Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender. Misalnya dengan
anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan, maka
ketika mereka bekerja diluar rumah (sector public), seringkali dinilai dengan
anggapan tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung
proses pemiskinan dengan alasan gender.

Contoh :

1) Guru TK, perawat, pekerja konveksi, buruh pabrik, pembantu rumah tangga
dinilai sebagai pekerja rendah, sehingga berpengaruh pada tingkat gaji/upah yang
diterima.

2) Masih banyaknya pekerja perempuan dipabrik yang rentan terhadap PHK


dikarenakan tidak mempunyai ikatan formal dari perusahaan tempat bekerja karena
alasan-alasan gender, seperti sebagai pencari nafkah tambahan, pekerja sambilan
dan juga alasan factor reproduksinya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan
menyusui.

3) Perubahan dari sistem pertanian tradisional kepada sistem pertanian modern


dengan menggunakan mesin-mesin traktor telah memarjinalkan pekerja
perempuan.

 Subordinasi

Subordinasi Artinya : suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang
dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain.

Telah diketahui, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, telah memisahkan dan


memilah-milah peran-peran gender, laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap
bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau reproduksi,
sementara laki-laki dalam urusan public atau produksi.

Pertanyaannya adalah, apakah peran dan fungsi dalam urusan domestic dan
reproduksi mendapat penghargaan yang sama dengan peran publik dan produksi?
Jika jawabannya “tidak sama”, maka itu berarti peran dan fungsi public laki-laki.
Sepanjang penghargaan social terhadap peran domestic dan reproduksi berbeda
dengan peran publik dan reproduksi, sepanjang itu pula ketidakadilan masih
berlangsung.

Contoh :
1. Masih sedikitnya jumlah perempuan yang bekerja pada posisi atau peran
pengambil keputusan atau penentu kebijakan disbanding laki-laki.
2. Dalam pengupahan, perempuan yang menikah dianggap sebagai lajang, karena
mendapat nafkah dari suami dan terkadang terkena potongan pajak.
3. Masih sedikitnya jumlah keterwakilan perempuan dalam dunia politik (anggota
legislative dan eksekutif ).

 Sterotipe atau Pelabelan Negatif

Semua bentuk ketidakadilan gender diatas sebenarnya berpangkal pada satu sumber
kekeliruan yang sama, yaitu stereotype gender laki-laki dan perempuan.Stereotype
itu sendiri berarti pemberian citra bakuatau label/cap kepada seseorang atau
kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat.
Pelabelan umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali
digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok
atas kelompok lainnya.Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang
timpang atau tidak seimbang yang bertujuan untuk menaklukkan atau menguasai
pihak lain.Pelabelan negative juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender.
Namun seringkali pelabelan negative ditimpakan kepada perempuan.
Contoh :

a) Perempuan dianggap cengeng, suka digoda.

b) Perempuan tidak rasional, emosional.

c) Perempuan tidak bisa mengambil keputusan penting.

d) Perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah tambahan.

e) Laki-laki sebagai pencari nafkah utama.

 Kekerasan

Kekerasan (violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang
dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat
atau negara terhadap jenis kelamin lainnya. Peran gender telah membedakan
karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminism dan laki-laki
maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki
dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap
lembut, lemah, penurut dan sebagainya.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun ternyata
pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan
bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan
semena-mena, berupa tindakan kekerasan.

Contoh :

1. Kekerasan fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya
di dalam rumah tangga.
2. Pemukulan, penyiksaan dan perkosaan yang mengakibatkan perasaan tersiksa
dan tertekan. Perkosaan juga bisa terjadi dalam rumah tangga karena
konsekuensi tertententu yang dibebankan kepada istri untuk harus melayani
suaminya. Hal ini bisa terjadi karena konstruksi yang melekatinya.
3. Pelecehan seksual (molestation), yaitu jenis kekerasan yang terselubung dengan
cara memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan tanpa
kerelaan si pemilik tubuh.
4. Eksploitasi seks terhadap perempuan dan pornografi.
5. Genital mutilation: penyunatan terhadap anak perempuan. Hal ini terjadi karena
alasan untuk mengontrol perempuan.
6. Prostitution: pelacuran. Pelacuran dilarang oleh pemerintah tetapi juga dipungut
pajak darinya. Inilah bentuk ketidakadilan yang diakibatkan oleh sistem tertentu
dan pekerjaan pelacuran juga dianggap rendah.

 Beban ganda (double burden):

Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis
kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya.

Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis dan permanen.
Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja diwilayah public,
namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah domestic.
Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah mensubstitusikan pekerjaan
tersebut kepada perempuan lain, seperti pembantu rumah tangga atau anggota
keluarga perempuan lainnya. Namun demikian, tanggung jawabnya masih tetap
berada di pundak perempuan. Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat
ganda.

Segala bentuk ketidakadilan gender tersebut di atas termanifestasikan dalam banyak


tingkatan yaitu di tingkat negara, tempat kerja, organisasi, adat istiadat masyarakat
dan rumah tangga.

Tidak ada prioritas atau anggapan bahwa bentuk ketidakadilan satu lebih utama atau
berbahaya dari bentuk yang lain. Bentuk-bentuk ketidakadilan tersebut saling
berhubungan, misalnya seorang perempuan yang dianggap emosional dan dianggap
cocok untuk menempati suatu bentuk pekerjaan tertentu, maka juga bisa melahirkan
subordinasi.
Perbedaan gender akan melahirkan ketidakadilan yang saling berhubungan dengan
perbedaan tersebut berikut tabelnya analisanya:

Keyakinan Gender Bentuk Ketidakadilan Gender


Perempuan: lembut dan bersifat Tidak boleh menjadi manajer atau
emosional pemimpin sebuah institusi
Perempuan: pekerjaan utamanya di
rumah dan kalau bekerja hanya Dibayar lebih rendah dan tidak perlu
membantu suami (tambahan) kedudukan yang tinggi/penting
Cocok menjadi pemimpin dan tidak
Lelaki: berwatak tegas dan rasional pantas kerja dirumah dan memasak

Sosialisasi perbedaan gender yang berlagsung lama dan akhirnya melahirkan


keyakinan yang melekat pada pandangan dan anggapan yang dari suatu masyarakat
tertentu adalah faktor penting yang mengakibatkan ketidakadilan tersebut maka bisa
digambarkan berikut:

Marginalisasi
Beban
Ganda

Globalisasi merupakan tantangan tersendiri bagi usaha untiuk meniadakan


ketidakadilan ini. Televisi adalah bentuk nyata dari arus globalisasi tersebut di mana
televisi seakan menjadi transformasi nilai. Penayangan iklan-iklan tertentu yang
berlebihan adalah sumber pemicunya. Contoh nyata adalah iklan produk susu yang
mengakibatkan ASI dipandang tidak begitu penting dalam perkembangan anak,
padahal sebaliknya. Contoh lain adalah iklan yang mempertontonkan gambar-
gambar wanita yang vulgar. Gamba-gambar tersebut merupakan salah satu bentuk
pornografi. Iklan-iklan produk tertentu juga sering menggunakan model perempuan
yang dianggap cocok dengan karakter produk mereka, misalnya kelembutan,
keanggunan dan kelincahah.

Di sisi lain para ahli dari kalangan akademis maupun non akademis
menyelenggarakan acara seminar guna meluruskan kesalahpahaman tentang konsep
gender dan sex yang menimbulkan ketidakadilan seperti seminar yang diadakan oleh
Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dengan menghadirkan Guru Besar,
Prof Dr Markamah, dalam seminar Sastra Nasional Pembelajaran Sastra
Berperspektif Kesetaraan Gender.

Kesimpulan
Perbedaan gender bukanlah masalah sepanjang perbedaan ini tidak
menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan. Oleh karena itu, perlu adanya
pemahaman yang tuntas mengenai konsep gender dan sex. Karena konsep gender
yang telah melekat dalam masyarakat dengan proses yang panjang, maka pelurusan
pemahaman juga membutuhkan waktu yang tidak singkat.
Referensi
Abdullah, Irwan, Sangkan Paran Gender,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997.
Gandhi, Mahatma, Woman and Social Injustice, terj. Siti Farida (Perempuan dan
Ketidakadilan Sosial),Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006.
Ilyas, Yunahar, Feminisme Dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Nugroho, Riant, Gender dan Strategi Pengarusutamaannya Di
Indonesia,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008.
http://harianjoglosemar.com/berita/persepsi-gender-salah-timbulan-ketidakadilan-
gender-14142.html
http://atwarbajari.wordpress.com/2008/04/17/wanita-dan-iklan-tv-ketidakadilan-
gender/

https://sofyaneffendi.wordpress.com/2011/07/26/macam-macam-ketidakadilan-gender/
Isu Gender : Sejarah Dan
Perkembangannya
By
Admin
-
May 15, 2012
7
69555

Oleh: Dinar Dewi Kania

PENDAHULUAN

Gerakan feminis pada mulanya adalah gerak sekelompok aktivis perempuan


barat, yang kemudian lambat laun menjadi gelombang akademik di
universitas-universitas, termasuk negara-negara Islam, melalui program
”woman studies”. Gerakan perempuan telah mendapat
“restu” dari Perserikatan Bangsa Bangsa perempuan dengan
dikeluarkannya CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Againts Women). Negara dan lembaga serta organisasi-
organisasi di dunia terus mendukung gerakan-gerakan perempuan ,
walaupun menurut Khan dukungan tersebut memiliki efek negatif bagi
gerakan perempuan (baca-feminisme) karena aktivis perempuan telah
kehilangan sudut pandang politik (political edge) dan juga untuk beberapa
kasus telah kehilangan komitmennya.[1]

Meskipun demikian, gerak kaum feminis di dunia Islam justru menunjukan


tingkat agresivitas yang mengkhawatirkan. Dalam dua dekade terakhir ini
perempuan pakistan telah menjadi target gerakan feminis. Pada tahun 1975
pemerintah Pakistan mendorong perempuan untuk mengikuti pemikiran
feminisme, walaupun pada tahun 1977 ketika proses islamisasi dan
militerisasi telah berhasil membendung pemikiran ini, tetapi pada tahun
1980, gerakan feminis kembali bermunculan di Pakistan secara
signifikan. Indonesia mengalami nasib serupa dengan Pakistan. kesetaran
jender disosialisasikan dengan gencar dan sistematis ke seluruh dunia
melalui media, ormas, LSM, lembaga pendidikan formal dan non formal.
Wilayah gerakan kaum feminis begitu luas, dari tingkat internasional sampai
menjangkau institusi masyarakat yang terkecil, yaitu RT. Dengan
mengatasnamakan HAM, para aktivis perempuan kemudian berusaha
mempengaruhi pemerintah dalam masalah kebijakan sampai teknis
operasional. Usaha mereka sepertinya mulai menampakan hasil dengan
diratifikasinya isi CEDAW sehingga keluarlah UU no. 7 tahun 1984.
Kemudian Pemerintah Indonesia telah mengesahkan undang-undang nomor
23 tahun 2004 tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga), UU Perlindungan Anak , dan mereka berupaya melakukan legalisasi
aborsi melalui amandemen UU Kesehatan. Dalam bidang politik, feminis
berada dibelakang keluarnya UU Pemilu tahun 2008 tentang kuota caleg
perempuan sebanyak 30 persen.

Bagaimanakah sebenarnya awal kemunculan gerakan feminis di Barat?


Benarkah gerakan feminis menawaran solusi bagi berbagai permasalahan
yang dialami kaum perempuan? Tulisan ini bertujuan untuk membuktikan
bahwa feminisme yang mengusung isu jender, lahir dari latar belakang
kultural-historis yang dialami dunia Barat. Walaupun beberapa tokoh
feminis bersikukuh bahwa jender bukan merupakan konsep Barat, tetapi
berasal dari konstruksi linguistik dari pelbagai bahasa yang memberi kata
sandang tertentu untuk memberikan perbedaan jenis kelamin perempuan
dan laki-laki.[2] Namun kenyataannya, jender identik dengan gerakan
feminis, dan feminisme adalah jender.

BARAT DAN PEREMPUAN

Untuk mengetahui bagaimana feminisme itu lahir dan berkembang, kita


harus melihat kondisi Barat (dalam hal ini Eropa) pada abad pertengahan,
yaitu masa ketika suara-suara feminis mulai terdengar. Pada Abad
pertengahan, gereja berperan sebagai sentral kekuatan, dan Paus sebagai
pemimpin gereja, menempatkan dirinya sebagai pusat dan sumber
kekuasaan. Sampai abad ke-17, gereja masih tetap mempertahankan posisi
hegemoninya, sehingga berbagai hal yang dapat menggoyahkan otoritas dan
legitimasi gereja, dianggap seabagai heresy dan dihadapkan ke Mahkamah
Inkuisisi.[3] Nasib perempuan barat tak luput dari kekejian doktrin-doktrin
gereja yang ekstrim dan tidak sesuai dengan kodrat manusia.

Menurut McKay, pada dekade 1560 dan 1648 merupakan penurunan status
perempuan di masyarakat Eropa. Reformasi yang dilakukan para pembaharu
gereja tidak banyak membantu nasib perempuan. Studi-studi spiritual
kemudian dilakukan untuk memperbaharui konsep Saint Paul’s tentang
perempuan, yaitu perempuan dianggap sebagai sumber dosa dan merupakan
makhluk kelas dua di dunia ini. Walaupun beberapa pendapat pribadi dan
hukum publik yang berhubungan degan status perempuan di barat cukup
bervariasi, tetapi terdapat bukti-bukti kuat yang mengindikasikan bahwa
perempuan telah dianggap sebagai makluk inferior. Sebagian besar
perempuan diperlakukan sebagai anak kecil-dewasa yang bisa digoda atau
dianggap sangat tidak rasional. Bahkan pada tahun 1595, seorang profesor
dari Wittenberg University melakukan perdebatan serius mengenai apakah
perempuan itu manusia atau bukan. Pelacuran merebak dan dilegalkan oleh
negara. Perempuan menikah di abad pertengahan juga tidak memiliki hak
untuk bercerai dari suaminya dengan alasan apapun. [4]
Maududi berpendapat, ada dua doktrin dasar gereja yang membuat
kedudukan perempuan di barat abad pertengahan tak ubahnya seperti
binatang. Pertama, gereja menganggap wanita sebagai ibu dari dosa yang
berakar dari setan jahat. Wanitalah yang menjerumuskan lelaki ke dalam
dosa dan kejahatan, dan menuntunya ke neraka. Tertullian (150M) sebagai
Bapak Gereja pertama menyatakan doktrin kristen tentang wanita sebagai
berikut :

Wanita yang membukakan pintu bagi masuknya godaan setan dan


membimbing kaum pria ke pohon terlarang untuk melanggar hukum Tuhan,
dan mebuat laki-laki menjadi jahat serta menjadi bayangan Tuhan.

St John Chrysostom (345M-407M) seorang bapak Gereja bangsa Yunani


berkata :

Wanita adalah setan yang tidak bisa dihindari, suatu kejahatan dan bencana
yang abadi dan menarik, sebuah resiko rumah tangga dan ketika
beruntungan yang cantik.[5]

Tetapi, konsep utuh tentang perempuan dalam doktrin kristen dimulai


dengan ditulisnya buku Summa Theologia oleh Thomas Aquinas antara
tahun 1266 dan 1272. Dalam tulisannya Aquinas sepakat dengan
Aristoteles, bahwa perempuan adalah laki-laki yang cacat atau memiliki
kekurangan (defect male). Menurut Aquinas, bagi para filsuf, perempuan
adalah laki-laki yang diharamkan, dia diciptakan dari laki-laki dan bukan
dari binatang. Sedangkan Immanuel Kant berpendapat bahwa perempuan
mempunyai perasaan kuat tentang kecantikan, keanggunan, dan
sebagainya, tetapi kurang dalam aspek kognitif, dan tidak dapat
memutuskan tindakan mroral. [6]

Doktrin gereja lainnya yang menentang kodrat manusia dan memberatkan


kaum wanita adalah menganggap hubugan seksual antara pria dan wanita
adalah peristiwa kotor walaupun mereka sudah dalam ikatan perkawinan
sah. Hal ini berimplikasi bahwa menghindari perkawinan adalah
simbol kesucian dan kemurnian serta ketinggian moral. Jika seorang pria
menginginkan hidup dalam lingkungan agama yang bersih dan murni, maka
lelaki tersebut tidak diperbolehkan menikah, atau mereka harus berpisah
dari serta istrinya, mengasingkan diri dan berpantang melakukan hubungan
badani.[7] Kehidupan keras yang dialami oleh perempuan-perempuan pada
saat Gereja memerintah Eropa tertuang dalam essai Francis Bacon yang
berjudul Marriage and single Life (Kehidupan Perkawinan dan Kehidupan
Sendiri) pada tahun 1612.

Pada awal mula Abad Pencerahan yaitu abad ke 17, saat Bacon menulisnya
esainya yang kondisi perempuan Inggris pada saat itu mengalami kehidupan
yang sulit dan keras. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan Ratu Elizabeth. Saat
itu yang bertindak sebagai penguasa adalah Raja James I, dan ternyata ia
sangat membenci perempuan. Pembunuhan dan pembakaran terhadap
perempuan-perempuan yang dituduh sebagai ”nenek sihir”, yang dipelopori
oleh para pendeta, pada dasarnya merupakan ekspresi anti perempuan.
Hukuman yang brutal dijatuhkan kepada seorang perempuan yang
melanggar perintah suaminya. Tradisi ini mengembangkan pemikiran bahwa
perempuan menyimpan bibit-bibit ”keburukan” sehingga harus terus
menerus di awasi dan ditertibkan oleh anggota keluarnya yang laki-laki atau
suaminya bila ia sudah menikah. Pemikiran ini membawa konsekuensi bagi
pemikiran lainnya seperti ide bahwa lebih baik seorang laki-laki tinggal
sendiri, tidak menikah dan jauh dari perempuan. Hidup tanpa nikah ini
merupakan kehidupan ideal laki-laki, jauh dari pengaruh buruk dan beban
anak-anak sehingga laki-laki bisa berkonsentrasi pada dunia publiknya.
Pemikiran-pemikiran seperti ini tercermin dalam karya Francis Bacon. [8]

Jelaslah, penindasan terhadap perempuan barat di bawah pemerintahan


gereja membuat suara-suara perempuan yang menginginkan kebebasan
semakin menggema di mana-mana. Perempuan barat, menjadi makhluk
lemah dan tidak berdaya dilihat dari hampir seluruh aspek kehidupan. Hal
itulah yang kemudian mendorong para perempuan barat bergerak
untuk mendapatkan kembali hak individu dan hak sipil mereka yang
terampas selama ratusan tahun.

GERAKAN PEREMPUAN (WOMAN MOVEMENT)


Latar belakang perempuan barat yang kelam akhirnya memunculkan
gerakan-gerakan perempuan yang menuntut hak dan kesetaraan dengan
kaum laki-laki. Gerakan perempuan memunculkan sejumlah tokoh
perempuan, sebut saja Susan B. Anthony dan Elizabeth Cady Staton, yang
memiliki surat kabar sendiri yaitu The Revolution. Melalui surat kabar ini
perempuan-perempuan itu menuliskan pemikiran mereka yang
mempersoalkan masalah perceraian, prostitusi dan peran gereja dalam
mensubordinasi perempuan.[9]

Sebelum feminis digunakan sebagai ungkapan umum dalam bahasa inggris,


kata-kata seperti “womanism, the woman movement, atau woman
questions telah digunakan terlebih dulu.[10]. Kata “feminist” pertama kali
ditemukan pada awal abad ke 19 oleh seorang sosialis berkebangsaan
Perancis, yaitu Charles Fourier. Ide yang diusungnya adalah transformasi
perempuan oleh masyarakat berdasarkan saling ketergantungan dan
kerjasama, bukan pada kompetisi dan mencari keuntungan. Pemikirannnya
ini mempengaruhi banyak perempuan dan mengkombinasikan antara
emansipasi pribadi dengan emansipasi sosial.

Revolusi yang terjadi di Eropa membuat gerakan perempuan mendapatkan


kesempatan untuk ikut menyuarakan kepentingan mereka. Pada Revolusi
Puritan di Inggris Raya pada abad 17, kaum perempuan puritan berusaha
untuk mendefinisikan ulang area aktivitas perempuan dengan menarik
legitimasi dari doktrin-doktrin yang menjadi otoritas bapak, laki-laki, pendeta
dan pemimpin politik. Revolusi Puritan telah menghasilkan ferment dimana
semua bentuk hierarki ditulis oleh semua anggota sekte yang radikal di
Inggris Raya.[11] Pada tahun 1890, kata feminis digunakan untuk
mendeskripsikan kampanye perempuan pada pemilihan
umum ketika banyak organisasi telah didirikan di Inggris untuk
menyebarkan ide liberal tentang hak individual perempuan. [12]

Revolusi Perancis (1789) juga telah memberi pengaruh besar pada gerakan
perempuan di Barat. Kaum perempuan saat itu terus bergerak
memanfaatkan gejolak politik di tengah revolusi yang mengusung isu liberty,
equality dan fratenity. Pada bulan oktober 1789 perempuan – perempuan
pasar di Perancis berjalan dari Versailles yang diikuti oleh pasukan keamanan
nasional. Roti hilang dari pasaran, para perempuan miskin kemudian
melakukan aksi masa menuntut Raja agar mengontrol harga dan konsumsi
dan menyediakan roti murah bagi rakyat. Di Perancis. Saat itu masyarakat
terpecah menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok moderat yang masih
menghendaki Konsitusi Monarki dan kelompok radikal yang mengingikan
Monariki berakhir. Gerakan perempuan aktif mendukung kelompok radikal
yang mendukung ide-ide Republik, walaupun kemudian akhirnya mereka
terlibat dalam pertikaian politik antar faksi-faksi yang ada. Dan akhirnya
pada tahun 1792, kaum perempuan memperoleh hak untuk bisa bercerai
dengan suaminya. [13]

Dua feminis yang terkemuka, Lucretia Mott dan Elizabeth Cady Stanton,
pada tahun 1848 mengorganisir pertemuan akbar Konvensi Hak-Hak
Perempuan di Seneca Falls yang dihadiri oleh 300 peserta laki-laki dan
perempuan. Pertemuan itu kemudian menghasilkan deklarasi yang
menuntut reformasi hukum-hukum perkawinan, perceraian, properti dan
anak. Di dalam deklarasi tersebut mereka memberi penekanan kepada hak
perempuan untuk berbicara dan berpendapat di dunia publik. Konvensi di
Seneca Falls merupakan bentuk protes kaum perempuan terhadap
pertemuan akbar konvensi penghapusan perbudakan sedunia pada taun
1840, dimana kaum perempuan tidak diberi kesempatan untuk
mengemukakan pendapatnya. [14]

Pada awal abad 20 “Feminisme” digunakan di Amerika dan Eropa untuk


mendeskripsikan elemen khusus dalam pergerakan perempuan yang
menekankan pada keistimewaaan” dan perbedaan perempuan, dari pada
mencari kesetaraan. Feminisme digunakan untuk mendeskripsikan tidak
hanya kampanye politik untuk pemilihan umum tetapi juga hak ekonomi dan
sosial, seperti pembayaran yang setara (equal pay) sampai KB atau (birth
control). Dari sekitar perang dunia I, beberapa perempuan muda
meyakinkan bahwa feminisme saja tidak cukup, kemudian mereka
menyebut diri mereka sendiri sebagai feminis sosialis. Kaum sosialis
perempuan yang lain menentang feminisme. Mereka melihat feminisme
hanya mengespresikan secara eklusif kepentingan perempuan kelas
menengah dan professional.[15]

Kaum Feminis kemudian mengembangkan konsep jender pada tahun 1970


sebagai alat untuk mengenali bahwa perempuan tidak dihubungkan dengan
laki-laki di setiap budaya dan bahwa kedudukan perempuan di
masyarakat pada akhirnya berbeda-beda.[16] Kemudian wacana jender
diperkenalkan oleh sekelompok feminis di London pada awal tahun
1977. Sejak itu para feminis mengusung konsep gender equality atau
kesetaraan jender sebagai mainstream gerakan mereka. Jender menurut
Unger adalah, “a term used to encompass the social expectations associated
with feminity and msculinity.“ Para feminis berpendapat jender merupakan
konstruk sosial, dan berbeda dengan “sex“ yang merujuk pada anatomi
biologis. Jender dipengaruhi oleh kondisi sosial-budaya, agama, dan hukum
yang berlaku di masyarakat serta faktor-faktor lainnya. Lips
berpendapat, jender tidak hanya terdiri dari dua jenis, yaitu feminin dan
maskulin, seperti umumnya diketahui oleh masyarakat luas. Tetapi beliau
mengakui adanya jender ketiga yang bersifat cair dan bisa berubah-ubah,
dan telah dikenal oleh masyarakat pada berbagai macam budaya yang
berbeda. Jender ketiga ini tidak bisa dikategorikan sebagai feminin atau
maskulin, tetapi mereka adalah kaum homoseksual dan transvestite
(seseorang yang senang berpakaian jender lainnya).[17]

DASAR PEMIKIRAN DAN ISU-ISU FEMINISME

Pada mulanya para feminis menggunakan isu “hak“ dan “kesetaraan“


perempuan sebagai landasan perjuangannya, tetapi feminisme akhir 1960-an
mengunakan istilah “penindasan” dan “kebebasan” yang kemudian
feminisme menyatakan dirinya sebagai ”gerakan pembebasan
perempuan”. Secara umum kelahiran Feminisme dibagi menjadi tiga
gelombang (wave) yang mengangkat isu yang berbeda-beda.

Gelombang pertama ini ditandai dengan publikasi Mary Wollstonecraft


yang berjudul ”Vindication of the Rights of Women” tahun 1792
Wollstronecraft mendeskripsikan bahwa kerusakan psikologis dan ekonomi
yang dialami perempuan disebabkan oleh ketergantungan perempuan secara
ekonomi kepada laki-laki dan peminggiran perempuan dari ruang
publik. [18] Ada dua tokoh lainnya seperti Sejourner Truth, dan Elizabeth
Cady Stanton. Perhatian feminis gelombang pertama adalah
memperoleh hak-hak politik dan kesempatan ekonomi yang setara bagi
kaum perempuan. Feminis berargumentasi bahwa perempuan memiliki
kapasitas rasio yang sama dengan laki-laki. Aksi politik feminis yang dimotori
oleh kaum feminis liberal telah membawa perubahan pada kondisi
perempuan saat itu. Perempuan berhasil mendapatkan hak pilihnya dalam
pemilu pada tahun 1920, dan bukan hanya itu, kaum feminis berhasil
memenangkan hak kepemilikan bagi perempuan, kebebasan reproduksi yang
lebih dan akses yang lebih besar dalam bidang pendidikan dan
profesional.[19]

Teori-Teori Feminisme Gelombang Pertama

Dasar Pemikiran Isu-Isu Feminis Tokoh Feminis & Karyanya

Mary Wollstonecraft : A
Manusia adalah otonom yang Vindication Rights of The
dipimpin oleh akal (reason). Woman (1779), John Stuart
Dengan akal manusia mampu Akses pendidikan Mill & Harriet Taylor : Early
Feminisme untuk memahami prinsip- Kebijakan negara yang Essay on Marriage and
Liberal prinsip moralitas, kebebasan bias gender. Hak-hak Divorce (1832),
individu. Prinsip-prinsip ini sipil, politik. Enfranchisement of Women
juga menjamin hak-hak (1851). Betty Friedan : The
individu. Feminine Mistique (1974),
The Second Stage (1981)

Adanya seksisme, Kate Millet :Sexual Politics


masyarakat patriarki. (1970). Shulamith Firestone ;
Hak-hak reproduksi. The Dialectic of Sex (1970).
Hubungan kekuasaan Marilyn French : Beyond
Sistem seks/jender merupakan
Feminisme antra perempuan dan Power (1985). Mary Daly :
dasar penindasan terhadap
Radikal laki-laki (power Beyond God the Father
perempuan
relationships). Toward a Philosophy of
Dikotomi Women’s Liberation (1973).
Private/Public. Ann Koedt : The Myth of the
Lesbianisme Virginal Orgasm (1970)
Dasar Pemikiran Isu-Isu Feminis Tokoh Feminis & Karyanya

Materialisme Historis Marx Friederich Engels : The Origin


yang mengatakan bahwa of The Family, Private
Ketimpangan ekonomi.
modus produksi kehidupan Property and the State (1845).
Kepemilikan property.
material mengkondisikan Margareth Benston : The
Feminisme Keluarga dan
proses umum kehidupan sosial, Political Economy of
Marxis/ kehidupan domestik di
politik dan intelektual. Bukan Women’s Liberation (1960).
Sosialis bawah kapitalisme.
kesadaran yang menentukan Mararosa Dalla Costa & Selma
Kampanye pengupahan
eksistensi seseorang tetapi James : The Power of Women
kerja domestik.
eksistensi sosial mereka yang and the Subversion of
menentukan kesaaran mereka. Community (1972).

Sumber : Gadis Arivia, 2002

Gelombang feminis kedua pada tahun 1949 ditandai dengan munculnya


publikasi dari Simone de Beauvoir’s The Second Sex. Beauvior
berargumentasi bahwa perebedaan gender bukan berakar dari biologi, tetapi
memang sengaja diciptakan untuk memperkuat penindasan terhadap kaum
perempuan. Pernyataan ini terefleksikan dari pernyataan klasiknya, ”(o)ne is
not born, but rather becomes a woman;…. It is civilization as a whole that
produce this creature… which is described as feminine.” Bagi feminis
gelombang ke-2 kesetaran politik dan hukum tidak cukup untuk mengakhiri
penindasan terhadap kaum perempuan. Dalam sudut pandang mereka ,
penindasan sexist tidak hanya berakar pada hukum dan politk, tetapi
penyebabnya emmbeded pada setiap aspek dari kehidupan sosial manusia ,
termasuk ekonomi, politik dan sosial arrangements, serta norma-norma,
kebiasaan, interaksi sehari-hari dan hubungan relasi personal. Mereka
berpendapat bahwa feminisme harus mendapatkan kesetaraan ekonomi
secara penuh bagi perempuan, dan bukan hanya sebatas untuk bertahan
secara ekonomi. Feminis gelombang kedua juga mulai menggugat institusi
pernikahan, motherhood, hubungan lawan jenis (heteresexual relationships),
seksualitas perempuan dan lain-lain. Mereka berjuang keras untuk merubah
secara radikal setiap aspek dari kehidupan pribadi dan politik.[20]

Teori-Teori Feminisme Gelombang Kedua


Tokoh
Dasar Pemikiran Isu-Isu Feminis Feminis &
Karyanya

Drama psikoseksual Oedipus dan


Penjelasan mendasar kompleksitas kastrasi (Freud).
penindasan perempuan Egosentrisme laki-laki yang menganggap
Feminisme
terletak pada psyche perempuan menderita ”penis envy” Karen Horney:
Psikoanalisa
perempuan, cara Reinterpretasi Oedipus kompleks. Dual
perempuan berpikir. Parenting. Feminisme Gender-etika
perempuan.

Konsep ada dari Jean Simone de


Analisa ketertindasan perempuan karena
Feminisme Paul Satre :Etre-en-soi, Beauvoir : The
dianggap sebagai ”other” dalam cara
Eksistensialisme Etre-pour-soi, Etre- Second Sex
beradanya di entre-pour-les-autres
Pour-les-autres (1949)

Sumber : Gadis Arivia, 2002

Feminis gelombang ketiga dimulai pada tahun 1980 oleh feminis yang
menginginkan keragamaan perempuan (women’s diversity) atau keragaman
secara umum., secara khusus dalam teori feminis dan politik. Sebagai
contoh perempuan kulit berwarna dipertahankan ketika dahulu pengalaman,
kepentingan dan perhatian mereka tidak terwakili oleh feminis gelompang
kedua yang didominasi oleh wanita kulit putih kelas menengah. Sebagai
contoh ketertindasan perempuan perempuan putih kelas menengah berbeda
secara signifikan dengan penindasan yang dialami oleh perempuan kulit
hitam Amerika. Ketertindasan kaum perempuan heteresexual berbeda
dengan ketertindasan yang dialami oleh kaum lesbi, dan sebagainya.

Teori-Teori Feminis Gelombang Ketiga

Tokoh/Pemikiran dan
Dasar Pemikiran Isu-isu Feminis
Karya Feminis

”Otherness” dari perempuan Helene Cixious, ”L ’ecriture


Seperti aliran
yang dilontarkan oleh Simone Feminine”. Luce Irigaray,
postmoderenisme
Feminisme de Beauvoir, merupakan “Speculum”-refleksi
menolak pemikiran
Postmoderen sesuatu yang lebih dari perempuan. Julia Kristeva,
phalogosentris (ide-ide
kondisi inferioritas dan “to be able to “play”
yang dikuasai oleh logos
ketertindasan tetapi juga between semiontic and
absolut yakni ”laki-laki”
merupakan cara berada, cara symbolic realm.”
Tokoh/Pemikiran dan
Dasar Pemikiran Isu-isu Feminis
Karya Feminis

berreferensi pada berpikir, berbicara, LindaNicholson, “Femini


phallus) keterbukaan, pluralitas, sme Postmodern”.
diversitas dan perbedaan

Audre Lorde :Age, Race,


Class and Sex : Women
Redefining Difference
(1995).
Pemindasan terhadap Alice Walker : Coming
perempuan tidak dapat hanya Apart (1991).
dijelaskan lewat patriarki Angela Y Davis : Women,
tetapi ada keterhubungan Race and Class (1981).
Sejalan dengan filsafat
masalah dengan ras, etnisitas, Charlotte Bunch : Prospects
Feminisme postmoderen tetapi lebih
dsb, (interlocking system). Di For Global Feminism
Multikultural menekankan kajian
dalam Feminisme Global (1985).
kultural.
bukan saja ras dan etnisitas, Susan Brownmiller : Against
tetapi juga hasil kolonialisme Our Will : Men, Women and
dan dikotomi ”dunia pertama” Rape (1976).
dan ”dunia ketiga” Susan Bordo : Feminism,
Postmodernism, and Gender-
Skepticsm (1990).
Maria Mies ; The Need for a
New Vision (1993).

Sumber : Gadis Arivia, 2002

FEMINISME DALAM TIMBANGAN

Isu kesetaran dan kebebasaan yang diperjuangkan kaum feminis merupakan


konsep abstrak, bias dan absurd karena sampai saat ini para feminis sendiri
belum sepakat mengenai kesetaraan dan kebebasan seperti apa yang
diinginkan kaum perempuan. Terminlogi ”Feminis” sendiri memiliki beragam
definisi berdasarkan latar belakang sejarahnya.[21] Walaupun pada awal
kemunculanya feminisme tampak seperti gerakan reaktif terhadap
penindasan gereja, tetapi perkembangannya dikemudian hari
memperlihatkan akar dari gerakan ini adalah paham relativisme yang
menganggap bahwa benar atau salah, baik atau buruk, senantiasa berubah-
ubah dan tidak bersifat mutlak, tergantung pada individu, lingkungan
maupun kondisi sosial.
Salah satu efek dari paham relativisme yang dianut oleh kaum feminis,
adalah menyuburkan praktik-praktik homoseksual di
dalam masyarakat, karena apa yang dulu dianggap salah, kini dengan
dalih penghormatan terhadap HAM, telah berubah menjadi sebuah
kebenaran. Di Barat, pasangan lesbi kini dapat menikah secara legal dan
diakui oleh negara secara sah. Para feminis radikal berpendapat dominasi
laki-laki berpusat dari seksualitas, karena dalam hubungan heteroseksual,
perempuan menjadi pihak yang tersubordinarsi Tetapi dengan menjadi
lesbi, perempuan memiliki kontrol yang sama dan tidak ada dominasi dalam
hubungan seksual diantara mereka . Hal itu tertuang dalam pernyataaan
Charlotte Bunch (1978),

THE LESBIAN IS MOST CLEARLY THE ANTITHESIS OF


PATRIARCHY-AN OFFENSE TO ITS BASIC TENETS. IT IS
WOMAN-HATING; WE ARE WOMAN-LOVING. IT DEMANS
FEMALE OBEDIENCE AND DOCILITY; WE SEEK
STRENGHT, ASSERTIVENESS, AND DIGNITY FOR
WOMEN. IT BASES POWER AND DEFINES ROLES ON
ONE’S GENDER AND OTHER PHYSICAL ATTRIBUTES; WE
OPERATE OUTSIDE GENDER-DEFINED ROLES AND SEEK
A NEW BASIS FOR DEFINING POWER AND
RELATIONSHIP.[22]
(Lesbian adalah antitesis paling jelas dari patriarki yang menyerang doktrin
dasarnya. Patriarki adalah pembenci perempuan, sedangkan kami pencinta
perempuan. Patriarki menuntut kepatuhan dan kepasivan perempuan, kami
mencari kekuatan, keasertivan dan harga diri bagi wanita. Patriarki
didasarkan atas kekuatan dan pembagian peran sebuah jender dan atribut-
atribut fisik lainnya, kami bekerja diluar pembagian peran jender dan
mencari fondasi baru untuk …. kekuatan dan hubungan.)

Garnets berpendapat kaum lesbian pada umumnya mengalami perasaaan


bebas dari ikatan hambatan-hambatan peran jender. Pasangan lesbian
memiliki kemampuan untuk menciptakan pola hubungan baru dan dapat
mengurangi kekuatan yang tidak berimbang yang kadang ditemukan
dihubungan tradisional heteroseksual.[23] Begitulah kira-kira pandangan
para feminis terhadap kaum lesbian. Ketika ajaran agama menentang
dengan keras penyimpangan moral semacam itu, para aktivis feminis justru
menyuarakan dengan lantang pembelaan terhadap praktik lesbian melalui
tokoh-tokoh agama atas nama ’kebebasan“.

Gerakan feminis juga memunculkan masalah-masalah sosial baru yang


membuat peradaban Barat berada di ambang kehancuran. Isu
kebebasan telah membuat perzinahan diakui sebagai hak individu dan
negara tidak boleh memberikan sangsi hukum bagi para pelakunya. Kaum
perempuan Barat banyak yang memilih untuk tidak menikah dan
menganggap pernikahan sebagai bentuk pengekangan terhadap kebebasan
mereka. Penemuan alat kontrasepsi dan dilegalkannya praktik aborsi telah
menjadikan perempuan barat terjerumus dalam pergaulan bebas tanpa takut
resiko memiliki anak di luar pernikahan. Bagi perempuan yang masih
memiliki sedikit hati nurani kemudian memilih untuk menjadi single
parents walau konsekuensinya anak-anak itu terlahir dan tumbuh tanpa
mengenal sosok ayahnya. Saat ini, eksploitasi terhadap kaum perempuan
dan anak-anak semakin merajalela, yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Gerakan feminis pada akhirnya telah menjauhkan perempuan dari


kehangatan sebuah keluarga. Kaum perempuan terlalu sibuk mengejar karir
dan bersaing dengan laki-laki untuk membuktikan eksistensi mereka. Banyak
dari mereka kemudian mengalami alienasi, depresi dan masalah psikologis
lainnya, karena melawan naluri dan kodrat sebagai perempuan. Masyarakat
Baratpun akhirnya tersadar dari kekeliruannya dan gerakan feminis dituding
sebagai biang kerok atas kehancuran moral yang menimpa kaum perempuan
sehingga gerakan ini berangsur-angsur surut dan kini hanya tinggal wacana
saja.

PENUTUP

Melihat latar belakang sejarah, konsep dan isu-isu feminisme, perempuan di


dunia Islam sebenarnya tak perlu silau oleh pemikiran-pemikiran kaum
feminis. Isu hak dan kesetaraan yang diagung-agungkan barat, muncul
karena penolakan perempuan barat terhadap dokrin gereja yang
memarginalkan kaum perempuan selama berabad-abad. Doktrin gereja
telah pengekangan hak-hak perempuan untuk mengembangkan diri dan
memiliki akses kepada pendidikan. Begitu juga dengan hak-hak sipil
perempuan yang terpinggirkan karena perempuan dipandang sebagai
masyarakat kelas dua. Tentunya hal-hal tersebut tidak ditemui dalam ajaran
dan doktrin-doktrin Islam. Agama Islam sejak abad ke-7 M telah
menepatkan perempuan dalam posisi yang begitu mulia, seperti pendapat
beberapa wanita Barat yang memeluk agama Islam karena tertarik oleh
keadilan dan kemuliaannya. Annie Besants berkata tentang wanita Islam,
”Sesungguhnya kaum wanita dalam naungan Islam jauh lebih merdeka
dibandingkan dalam mazhab-mazhab lain. Islam lebih melindungi hak-hak
wanita daripada agama Masehi. Sementara kaum wanita Inggris tidak
memperoleh hak kepemilikan-kecuali sejak 20 tahun yang lalu-Islam telah
memberikan sejak saat pertama.” [24]

Isu ”kebebasan” telah membuat perempuan barat mengingkari kodrat


mereka sebagai perempuan Melihat problematika sosial yang melanda
masyarakat Barat saat ini, terutama kaum perempuannya, sungguh naif jika
masih ada saja orang-orang yang menganggap bahwa feminisme dapat
memberikan solusi bagi permasalahan perempuan di dunia Islam. Kita
sepatutnya merasa iba kepada Barat karena tanpa sadar mereka telah
menjadi korban ideologi yang merusak tatanan sosial kemasyarakatan dan
mencabut nilai-nilai religius dari peradaban mereka.

[1] Suki Ali,et all (ed), Global Feminist Politics ; Identities in Changing
World, Routledge, New York, 2000, hal. 5.

[2] Endang W. Ramli, dalam Khofifah Indar Parawansa, Mengukur


Paradigma, Menembus Tradisi, Pustaka LP3ES, Jakarta, 2006, hal.xxvii

[3] Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam, Gema
Insani Press, 2004, hal 158-159
[4] McKay, John P, Bennet D. Hill and John Buckler, A History of Western
Society, Second Edition, Houghton Mifflin Company, Boston, 1983, hal. 437
s/d 541

[5] Maududi, Abul A’la, Al-Hijab, Gema Risalah Press, Cetakan Kedelapan,
Bandung, 1995, hal. 23.

[6] Gadis Arivia, Pembongkaran Wacana Seksis Filsafat Menuju Filsafat


berperspektif Feminis, Disertasi, Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya, Depok, 2002, hal. 95.

[7] Maududi, hal. 23-24.

[8] Ibid, hal. 52.

[9] Gadis Arivia, hal. 20.

[10]Rowbotham, Sheila, Women in Movement: Feminism and social action,


Rountledge, New York, 1992, hal. 11.

[11] Ibid, hal 8.

[12] Ibid, hal 19.

[13] Ibid, hal. 27-29.

[14] Gadis Arivia, hal.114.

[15] Rowbotham, Sheila, hal. 9.

[16] Ibid, hal.12.

[17] Lips, Hilary M, A New Psychology of Women;Gender, Culture, and


Ethnicity, Second Edition, McGrawHill, New York, 2003, hal. 6-7.
[18] Rowbotham, Sheila, hal 8.

[19] Cudd, Ann E. and Robin O. Andreasen (ed), Feminist Theory; A


Philosophical Anthology , Blackwell Publishing Ltd, Cornwall, 2005, hal. 7.

[20] Ibid, hal 8.

[21] Beasley, Chris, What is Feminisme ? An Introduction to Feminist Theory,


Sage Publications, NSW, 1999, hal. 27.

[22] Chrisler, Joan C, et all, (ed), Lectures on the Psychology of Women,


Second Edition, Mc Grawhill, Boston, 2000, hal. 174-175.

[23] Ibid, hal. 174.

[24] Ahmad Muhammad Jamal, Jejak Sukses 30 Wanita Beriman, Pustakan


Progressif, Surabaya, 1991, hal.1.

Komentari Artikel Ini

https://thisisgender.com/isu-gender-sejarah-dan-perkembangannya/
KESEHATAN REPRODUKSI SEX DAN GENDER
Nama: Nining Fatria Ningsih (201110104210)
Prodi: D4 Kebidanan Aanvullen

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gender mempengaruhi setiap aspek kehidupan kita, dari bagaimana kita merasakan tentang diri
kita dan menetapkan tujuan kita dalam pendidikan, kesempatan rekreasi dan bekerja serta sifat
dan tingkat partisipasi kami dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan. Ini memiliki dampak yang
kuat pada cara bagaimana kita menjalankan agama kita dengan cara kita berpakaian, cara
kita mengungkapkan perasaan kita dan sifat dari semua hubungan kita dengan orang lain.
Isu gender telah menjadi bahasan analisis sosial, menjadi pkok bahasan dalam wacan
pedebatan mengenai perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam perbinaangan
mengenai pembangunan dan perubahan sosial. Bahkan,beberapa waktu terakhir ini, berbagia
tulisan, baik di media massa maupun buku-buku, seminar, diskusi, dan sebagainya banyak
membahas tentang protes dan gugatan yang terkait dengan ketidak adilan dan diskriminasi
terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan dan diskriminasi itu terjadi hampir di semua bidang,
mulai dari tingkat internasional, negara, keagamaan, sosial, budaya, ekonomi, bahkan sampai
tingkat rumah tangga.
Gender dipersoalkan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung
jawab, hak dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.
Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih
perlakuan akan akses, partisipai, serta kontrol dalam hasil pembangunan laki-laki dan
perempuan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan, kami dapat merumuskan suatu masalah yaitu
bagaimana gender yang terjadi dalam kehidupan.
C. Tujuan
1. Dapat mengetahui pengertian gender
2. Dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi gender
3. Dapat mengetahui perbedaan seks dan gender
4. Dapat mengetahui kaitan seks dan gender
5. Dapat mengetahui isu gender
6. Dapat mengetahui dampak gender
7. Dapat mengetahui peran dan fungsi bidan terhadap gender
8. Dapat mengetahui kebijakan pemerintah terhadap gender

BAB II
ISI
1. Pengertian Gender
Dari wikipedia bahasa Indonesia dijelaskan bahwa gender merupakan aspek hubungan
sosial yang dihubungkan dengan diferensiasi seksualpada manusia.
Menurut WHO (2001) gender adalah perbedaan status dan peran antara perempuan dan
laki-laki yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan nilai budaya yang berlaku dalam
periode waktu tertentu.
Heddy Shri ahimsa Putra (2000) menegaskan bahwa istilah gender dapat dibedakan
kedalam beberapa pengertian berikut ini: gender sebagai salah satu istilah asing dengan makna
tertentu, gender sebagai suatu fenomena sosial budaya, gender sebagai suatu kesadaran sosial,
gender sebagai persoalan sosial budaya, gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, gender
sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.
Menurut Kementrian Kesehatan RI (2009) secara sederhana gender yaitu peranan,
perilaku dan kegiatan yang dikonstruksikan secara sosial, yang dianggap oleh masyarakat
sesuai untuk laki-laki atau perempuan.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi gender
Masalah gender atau pemilahan peran sosial laki-laki dan perempuan merupakan hasil
dari konstruksi sosial dan budaya melalui pembiasaan, sosialisasi, budaya dan pewarisan
budaya sejak anak dilahirkan ke dunia yang dipengaruhi oleh waktu dan tempat (Suryadi dan
Idris, 2004).
Pada prinsipnya gender bisa berbeda dan dipengaruhi oleh waktu dan tempat sehingga
tidak bisa berlaku universal dan tetap menetap (Suryadi dan Idris, 2004).
Dalam kehidupan kita sehari-hari cukup banyak kondisi yang terjadi serta
memberikan pengaruh pada cara pandang kita terhadap laki-laki dan perempuan yang
kemudian membentuk takaran tertentu bagi laki-laki dan perempuan untuk bertindak. Beberapa
kondisi yang mempengaruhi penerapan jender yang keliru:
a. Adat-adat lokal
Banyak sekali adat lokal yang memberikan kekuasaan pada laki-laki untuk memiliki
perempuan sehingga ketika masih muda perempuan adalah milik ayahnya, setelah menikah
menjadi milik suaminya, dan ketika tua menjadi milik anak laki-lakinya.
b. Materi pendidikan formal sejak dini
Banyak sekali materi dalam pendidikan yang kita jalani memberikan kontribusi terhadap
pola pandang jender melalui contoh dalam buku pelajaran yang terkadang bias jender.
Misalnya penuturan tentang peran laki-laki dan perempuan dalam keluarga. “Ayah pergi ke
kantor, ibu memasak di dapur.” “Budi membantu Ayah di ladang, Wati membantu ibu di
dapur.”
c. Pendidikan dalam rumah
Permasalahan jender dalam keluarga yang mensosialisasi nilai-nilai yang berbeda untuk
anak laki-laki dan anak perempuan. “Anwar bercita-cita menjadi dokter, Fatimah bercita-cita
menjadi perawat.” “Andi adalah sorang pilot yang gagah, Dewi adalah seorang pramugari yang
cantik.”
d. Pendidikan umum masyarakat
Sosialisasi dan penyebaran informasi media massa yang mensosialisasikan konsep jender
yang sering merugikan perempuan. Misalnya, sinetron yang menggambarkan bahwa
perempuanlah yang mengundang terjadinya kekerasan (seksual) karena berpakaian seronok
dan mengundang.
3. Perbedaan seks dan gender
Secara sederhana seks dan gender dapat dibedakan sebagai berikut:
No Seks Gender
1 Seks merupakan jenis kelamin Gender merupakan sifat dan
fisik karakteristik yang dilekatkan
kepada
laki-laki dan perempuan secara
sosial.
2 Seks adalah biologis merupakan Gender adalah konstruksi sosial
bawaan sejak lahir masyarakat.
3 Seks diberi oleh Tuhan Gender ditentukan oleh manusia
4 Penggolongan seks adalah laki- Penggolongan gender adalah
laki, maskulin, feminin dan androgini
perempuan dan interseks

Karakteristik seks yang primer adalah bagian tubuh manusia yang berperan penting
dalam reproduksi misalnya: perempuan memiliki serviks, klitoris, tuba fallopi, indung telur,
uterus, vagina, dan vulva. Sementara laki-laki mempunyai epididimis, penis, prostat, skortum,
vesikula seminalis dan testis.
Mencakup proses reproduksi, fungsi‐fungsi dan sistem reproduksi di semua
tahap kehidupan. Kesehatan reproduksi berimplikasi bahwa orang akan mendapatkan
kehidupan seks yang bertanggungjawab, memuaskan, dan aman; dan mereka mendapat
kemampuan untuk reproduksi dan kebebasan untuk menentukan, kapan dan bagaimana
bereproduksi. Secara implisit berarti laki‐laki dan perempuan mempunyai hak untuk diberitahu
dan mendapat akses untuk:
 Metode fertilitas yang aman, efektif, dapat dijangkau, dan dapat diterima sesuai dengan pilihan
mereka
 Mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak yang memungkinkan wanita mendapatkan
keamanan ketika hamil dan melahirkan, dan menyediakan layanan agar pasangan mendapat
kesempatan yang paling baik untuk melahirkan bayi yang sehat
Penggolongan sederhana jenis kelamin adalah laki-laki, perempuan dan interseks. Seks
(jenis kelamin) pada dasarnya ditentukan oleh alat kelamin bagian luar kelamin, alat reproduksi
bagian dalam, kromosom, hormon dan berbagai karakteristik tambahan lainnya, misalnya:
payudara, rambut muka dan rambut bagian tubuh lainnya. Semua karakteristik ini dapat diukur
dengan menggunakan teknologi yang tepat. Penggolongan gender adalah maskulin, feminin
dan androgini. Gender merujuk pada peranan, perilaku dan kegiatan yang dikontruksikan
secara
sosial yang dianggap oleh masyarakat sesuai untuk laki-laki atau perempuan. Konsep gender
berubah bersamaan dengan waktu dan berbeda antara satu budaya dengan budaya
lainnya. Gender berbicara tentang peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional yang
dibentuk oleh masyarakat. Seorang laki-laki diharapkan memiliki bentuk fisik yang besar dan
mempunyai
karakteristik yang tegas dan rasional. Sementara perempuan diharapkan memiliki bentuk fisik
yang langsing, cantik dan bersih serta mengambil peran sebagai tokoh di belakang layar dan
penurut. Androgini merupakan kata berasal dari Yunani yang berarti laki-laki dan perempuan.
Androgini merujuk pada percampuran antara karakteristik, sosial dan fisik, laki-laki dan
perempuan dimana tidak ada karakteristik yang dominan. Komponen seks tidaklah berbeda
jauh antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Sementara itu komponen gender
berbeda secara signifikan. Contoh dari karakteristik gender adalah:
a. Laki-laki merokok dipandang biasa, sementara perempuan merokok dipandang aneh.
b. Perempuan dianggap pengemudi mobil yang lebih buruk dibandingkan lakilaki.
c. Perempuan dipandang lebih cocok melakukan pekerjaan rumah dibandingkan laki-laki.
d. Tenaga kerja perempuan dipandang lebih murah dari pada tenaga kerja laki-laki.

4. Kaitan seks dan gender


Ada orang yang berpendapat bahwa identitas gender mereka berbeda dengan jenis
kelamin yang mereka miliki, misalnya transjender (secara fisik berhubungan dengan alat
kelaminnya), termasuk di dalamnya transeksual dan interseks. Transgender sering mengalami
masalah karena masyarakat memaksa, misalnya melalui sanksi sosial agar setiap individu
mengadopsi peran sosial (disebut dengan peran gender) tertentu yang sejalan dengan jenis
kelaminnya.
Salah satu persoalan yang dirasakan oleh interseks adalah memiliki kromosom yang
berbeda, yaitu XXY, yang tidak tercermin dari alat kelamin luar mereka. Orang seperti ini
mungkin berpenampilan luar seperti jenis kelamin tertentu tetapi mereka merasa bagian dari
kelompok lainnya. Penyebab keadaan transjender ini belum diketahui secara pasti, memang
banyak spekulasi tetapi belum ada teori psikologi yang terbukti akurat bahkan untuk sejumlah
kecil
kaum transjender. Teori yang berdasarkan pada perbedaan jenis kelamin dari otak masih
terbilang baru dan belum terbukti secara ilmiah karena saat ini para ilmuwan perlu melakukan
analisa yang memilah-milah struktur otak bagian dalam. Saat ini hanya tersedia sedikit otak
untuk dianalisis.

5. Isu-isu gender
Beberapa istilah yang ditemukan dalam isu gender antara lain yaitu:
a. Marjinalisasi
Adalah proses peminggiran terhadap seseorang atau kelompok yang mengakibatkan
kemiskinan secara ekonomi ataupun secara sosial. Proses peminggiran ini lebih banyak dialami
oleh perempuan. Salah satu contoh adalah ketika revolusi hijau tahun 1970-an diberlakukan
dimana tenaga manusia diganti dengan tenaga mesin. Di sektor-sektor pertanian dan
perkebunan misalnya, perempuan yang bekerja di sektor tersebut harus kehilangan mata
pencahariannya sehingga ia mengalami emiskinan, secara ekonomi maupun sosial. Dari situasi
tersebut banyak orang yang melakukan urbanisasi dan bekerja di sektor rumah tangga,
perburuhan dengan keterampilan dan pendidikan terbatas. Ketidak siapan pendidikan/
keterampilan berimplikasi pada terjadinya perdagangan manusia.
b. Subordinasi
Diletakkan di bawah yang lain, dalam arti: kekuasaan, otoritas atau urutan mana yang
lebih penting. Berada dibawah kekuasaan atau otoritas orang lain. Dalam diskusi jender hal ini
mengacu pada status perempuan yang dipandang lebih rendah daripada laki-laki. Subordinasi
ini bersumber pada masih kuatnya anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang irrasional
dan emosional sehingga tidak mampu memimpin dan harus selalu di bawah kekuasaan
kaum laki-laki.

c. Stereotip
Cara pandang yang melekatkan predikat/ identitas/ label/ sebutan/ cap tertentu kepada
seseorang atau kelompok tertentu dengan tujuan melemahkan/mengabaikan posisi dan
keberadaan orang tersebut. Stereotip juga berarti adalah pelabelan negatif terhadap jenis
kelamin tertentu. Karena konsep gender menempatkan perempuan lebih rendah dibandingkan
laki-laki, maka label yang biasanya dilekatkan pada perempuan adalah perempuan lebih
emosional dan tidak mampu berpikir jernih. Pelabelan ini menyebabkan perempuan sukar
untuk meningkatkan kepercayaan dirinya.
d. Kekerasan
Yaitu suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau negara dengantujuan unt uk
menyakiti dan merendahkan perempuan baik itu di sector domestik maupun publik, karena
posisinya. Bentuk-bentuk yang dialami oleh perempuan adalah kekerasan fisik, mental, seksual
& ekonomi. Kekerasan yang meliputi kekerasan fisik (pemukulan), psikis (perbuatan yang
menyebabkan ketakutan, hilangnya percaya diri, dan hilangnya kemampuan untuk bertindak)
dan seksual (pemaksaan suami terhadap istri untuk berhubungan seksual).
e. Beban ganda
Ada anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak
cocok untuk menjadi kepala rumah tangga karena itu perempuan ditempatkan di sektor
domestik dan mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mengepel lantai,
mencuci, mencari air untuk mandi hingga memelihara anak. Di kalangan keluarga miskin,
beban yang sangat berat ini harus ditanggung oleh perempuan sendiri. Beban ini akan terasa
lebih apabila perempuan harus bekerja produktif untuk mendapatkan penghasilan dan
melakukan pekerjaan social seperti gotong royong di komunitasnya. Akan tetapi walaupun
perempuan sudah bekerja hampir 24 jam setiap harinya, pekerjaan reproduksi dan social yang
mereka lakukan tidak mempunyai nilai, sementara pekerjaan produksi yang mereka lakukan
dikatakan sifatnya hanya membantu saja. Dengan kata lain, perempuan hanya mendapatkan
beban tetapi tidak mendapatkan keuntungan dari pekerjaan tersebut
f. Diskriminasi
Perbedaan perlakuan terhadap seseorang atau kelompok orang dikarenakan jenis
kelamin, ras, agama, status sosial atau suku. Misalnya salah satu bentuk diskriminasi berbasis
gender adalah pemberian keistimewaan kepada anak laki-laki untuk mendapat pendidikan lebih
tinggi bandingkan anak perempuan. Atau pemberian upah buruh laki-laki lebih tinggi
dibandingkan perempuan untuk suatu jenis pekerjaan yang sama.
g. Ekspresi gender
Segala hal yang kita lakukan untuk mengkomunikasikan jenis kelamin atau jender kita pada
orang lain, misalnya: cara berpakaian, potongan rambut, kesopanan, cara berbicara, peran saat
kita berinteraksi dan sebagainya. Komunikasi ini mungkin disengaja maupun tidak. Ekspresi
jender juga sering disebut sebagai jender sosial karena berkaitan dengan cara kita berinteraksi
dengan orang lain. Cara kita mengekspresikan jender mungkin mengalami penekanan saat kita
masih anak-anak, yang ditunjukkan dari cara berpakaian di sekolah atau di tempat kerja.
Ekspresi jender merupakan suatu kontinum dimana maskulin di satu sisi dan feminin di sisi
lainnya, diantara keduanya adalah androgini. Ekspresi jender sangat bervariasi, bahkan pada
satu individu tergantung pada situasinya.
Bias gender adalah prasangka, berupa pemikiran atau tindakan, berdasarkan pola
pandang bahwa perempuan tidak setara dengan laki-laki. Nasib seorang anak ditentukan secara
sederhana apakah ayahnya menyumbangkan kromosom X atau kromosom Y, pakaian
berwarna pink atau biru, mainan boneka atau pistolpistolan, kepala keluarga atau pengurus
rumah tangga, sunat perempuan atau sistem patriaki, tua-tua keladi atau perawan tua. Semua
itu berkaitan dengan bias jender.
Faktanya adalah orang diperlakukan secara berbeda hanya karena jenis kelamin mereka
yang berbeda. Bias jender tertanam sangat kuat dalam system kemasyarakatan dan dimulai saat
pasangan merencanakan anak mereka. Saat ini ilmu pengetahuan sangat maju sehingga
meningkatkan kemungkinan bagi pasangan untuk memperoleh jenis kelamin anak sesuai
dengan keinginannya. Di beberapa daerah di Indonesia, kelahiran bayi laki-laki disambut
dengan upacara yang meriah dan suka cita sementara kelahiran anak perempuan disambut
sekedarnya saja. Sampai saat ini masih terlihat keluarga yang mempunyai 4 atau 5 anak
perempuan karena ingin mempunyai anak laki-laki.
Anak perempuan mengalami bias gender dalam setiap tahap kehidupan mereka. Anak
perempuan biasanya diharuskan berada di rumah pada jam 8 malam, sementara aturan ini tidak
berlaku untuk anak laki-laki. Orangtua sering berdalih dengan mengatakan: “Bukannya saya
tidak mempercayai Nina tetapi tetangga akan bergosip tentang Nina bila ia sering keluar
malam. Saya tidak ingin orang lain mengatakan sesuatu yang buruk tentang anak perempuan
saya. Hal ini berbeda dengan anak laki-laki karena orang tidak akan membicarakan mereka,
selain itu mereka lebih sering menentang.”
Tingginya AKI di Indonesia karena lemahnya posisi tawar perempuan dalam kesehatan
reproduksi
 Hak mendapat informasi tentang kesehatan reproduksi
 Hak menentukan kapan dan jarak antar kehamilan/kelahiran, menentukan jumlah anak,
 Hak pelayanan keluarga berencana
Ada beberapa isu gender dalam perundang-undangan seperti:
Kebijakan tentang Kekerasan terhadap Perempuan
 KUHP berkaitan dengan Penganiayaan terhadap isteri. KUHP tidak mengenal
konsep kekerasan berbasis gender, atau tindakan-tindakan kejahatan yang dilakukan karena
jenis kelamin perempuan.
 KUHP berkaitan dengan Perkosaan
Perkosaan terhadap isteri dalam perkawinan (marital rape) tidak dikenal dalam KUHP berarti
KUHP mengadopsi pandangan masyarakat bahwa fungsi isteri adalah melayani suami.
 UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan
UU ini mengadopsi ideology patriarki yang tercermin dalam ketentuan tentang status
kewarganegaraan anak yang lahir dari perkawinan campuran , yaitu megikuti kewarganegaraan
ayahnya.
6. Dampak gender
Ada beberapa dampak yang terjadi akibat adanya gender yaitu:
a. Perempuan tidak dapat memperoleh kesempatan yang sama untuk seperti laki-laki, dalam
bidang pendidikan, pekerjaan, kehidupan berpolitik dan ekonomi.
b. Perbedaan biologis ini dijadikan dasar untuk memisahkan tugas perempuan dan laki-laki baik
di rumah maupun dalam ranah publik sehingga ada yang namanya pekerjaan perempuan dan
pekerjaan laki-laki.
c. Sifat hubungan ideal laki‐laki perempuan tidak mengutamakan relasi yang sejajar, tetapi
didasarkan pada rantai hirarkis yang terstruktur menurut ideologi gender paternalistik.
d. Kekerasan fisik terhadap perempuan menyebabkan dan melestarikan subordinasi yaitu
fenomena yg merata dan tidak mengenal batas wilayah.
e. Ketidakbedayaan perempuan dalam proses pertumbuhan penduduk (terbukti dengan tingginya
AKI)
f. Masalah perempuan adalah masalah yang ada di sekeliling kita dan merupakan masalah sosial
tetapi tidak dianggap penting karena dianggap sudah sewajarnya perempuan mengalami
perlakuan-perlakuan tidak adil tersebut. Di sisi lain banyak perempuan yang merupakan
korban, tidak pernah menganggap ketidakadilan yang mereka terima sebagai masalah.

7. Peran dan fungsi bidan terhadap gender


a. Bidan pelaksana
Yaitu memberiakn pelayanan dasar kesehatan reproduksi wanita yang berkaitan dengan
gender.
b. Bidan pengelola
Yaitu mengembangkan pelayanan dasar khususnya kesehatan reproduksi yang berkaitan
dengan gender melalui pengkajian kebutuhan kesehatan perempuan baik fisik, psikis, social
dan spiritual dan menyusun rencana sesuai hasil kajian serta berpatisipasi dalam
tim/kepengurusan organisasi pemberdayaan perempuan
c. Bidan pendidik
Yaitu memberikan pendidikan dan penyuluhan tentang kesehatan reproduksi dan gender
agar mengetahui hak-haknya dalam mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi, hak
menentukan kapan dan jarak antar kehamilan/kelahiran, menentukan jumlah anak, hak
pelayanan keluarga berencana dan sebagainya.
d. Bidan penelitian
Yaitu mengidentifikasi kebutuhan investigasi kesehatan reproduksi dan gender. Menyusun
rencana kerja pelatihan.Melaksanakan investigasi sesuai dengan rencana.Mengolah dan
menginterprestasikan data hasil investigasi. Menyusun laporan hasil investigasi dan tindak
lanjut. Memanfaatkan hasil investigasi untuk meningkatkan dan mengembangkan program
kerja atau pelayanan kesehatan reproduksi dan gender.
e. Bidan advokasi
Yaitu member dukungan terhadap program-program yang dapat meningkatkan kesehatan
perempuan yang telah terlaksana.
f. Bidan pemberdaya
Yaitu melalu pengadaan PIKRR, karang taruna.
8. Kebijakan pemerintah terhadap gender
Dalam GBHN 1999-2004 menetapkan dua arah kebijakan pemberdayaan
perempuan yakni pertama meningkatkan kedudukan dan peranan
perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang
diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan
gender. Kedua meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan
tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai historis perjuangan
perempuan dalam rangka melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta
kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
UU No.23 tahun 2004 tentang penhapusan KDRT yaitu Kekerasan dalam Rumah
Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Inpres No.9/2000 tentang peran pengarusutamaan gender yaitu Strategi pembangunan
yang dilakukan dengan cara mengintegrasikan pengalaman, aspirasi,kebutuhan dan
kepentingan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan
evaluasi dari seluruh kebijakan, program dan kegiatan di bidang pembangunan. Proses yang
memasukkan analisis gender ke dalam program dan kegiatan dari instansi pemerintah dan
organisasi kemasyarakatan mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan
evaluasi dari seluruh kebijakan, program dan kegiatan instansi pemerintah dan organisasi
kemasyarakatan.

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan di atas dapat disimpulakn yaitu:
a. Gender adalah satu komponen dari system gender/jenis kelamin yang merujuk pada
seperangkat aturan dimana masyarakat mentransformasikan seksualitas biologis ke dalam
produk aktivitas manusia, dan dimana transformasi kebutuhan (akan produk aktivitas manusia)
ini dapat dipuaskan.
b. Ada beberapa factor kondisi yang mempengaruhi gender dalam kehidupan yaitu Adat-adat
lokal, Materi pendidikan formal sejak dini, Pendidikan dalam rumah, Pendidikan umum
masyarakat. Hampir semua masyarakat mempunyai sistem gender, meskipun komponen
dan kerjanya system gender ini bervariasi dari satu masyarakat ke masyarakat lain.
c. Ada banyak isu-isu gender yang terjadi dalam kehidupan terutama dalam kehidupan
perempuan yang dikanl dalam beberapa istilah yaitu antara lain marjinalisasi, streotip,
subordinasi, beban ganda, kekerasan, diskriminasi gender dll.
d. Secara sederhana seks dan gender memiliki perbedaan yaitu Seks merupakan jenis kelamin
fisik, Seks adalah biologis merupakan, bawaan sejak lahir, Seks diberi oleh Tuhan,
Penggolongan seks adalah laki-laki, perempuan dan interseks. Sedangkan gender yaitu
merupakan sifat dan karakteristik yang dilekatkan kepada laki-laki dan perempuan secara
sosial, Gender adalah konstruksi social masyarakat dan ditentukan oleh manusia,
penggolongan gender adalah maskulin, feminin dan androgini.
e. Gender banyak memberiakn dampak negative terhadap kehidupan perempuan baik dalam
social, penididikan, politik serta ketidakbedayaan perempuan dalam proses pertumbuhan
penduduk terbukti dengan tingginya AKI.
f. Beberapa kebijakan pemerintah terhadap gender yaitu antaranya Inpren No.9/2000 tentang
pengarusutamaan gender, UU No.23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT, GBHN 1999-
2004 tentang kebijakan pemberdayaan perempuan dan meningkatkan kualitas peran dan
kemandirian organisasi perempuan.
2. Saran
Dalam mengembankan peran dan fungsi sebagai bidan perlu memahami secara baik
masalah-masalah yang terjadi pada perempuan khususnya kesehatan reproduksi perempuan
secara holistic serta mampu mengatasi dan memberikan pelayanan/asuhan yang sesuai dengan
masalah yang dihadapi serta mampu menerapkan sikap professional dalam asuhan.
Daftar Pustaka

Estiwidani, Meilani, Widyasih, Widyastuti, Konsep Kebidanan. Yogyakarta, 2008.


Kementrian Kesehatan RI.2008. Modul Kesehatan Reproduksi.
Diposting 8th December 2011 oleh Bidan Pendidik D4 Stikes 'Aisyiyah Yogyakarta

https://bidanpendidikd4.blogspot.com/2011/12/kesehatan-reproduksi-sex-dan-gender.html

Anda mungkin juga menyukai