Anda di halaman 1dari 20

Blog Pak Heri

Sharing Kuliah di Luar Negeri, Menggapai Asa Meraih Mimpi

Menu Skip to content

Fiqh Shalat 4 Madzhab

8 Replies

Oleh: Heri Akhmadi, M.A.

Tulisan saya mengenai “Fiqh Sholat 4 Madzhab” ini saya buat bukan karena saya ahli fiqh atau ustadz,
meski saya pernah 6 (enam) tahun “mondok” di Ponpes MWI Karangduwur Petanahan Kebumen. Tapi
tulisan ini saya dedikasikan justeru yang pertama untuk diri saya sendiri. Karena saya ingat apa kata guru
saya dulu waktu “mondok”, bahwa dalam hal ibadah kita tidak seharusnya selalu “taqlid” (mengikuti
tanpa tahu dasarnya) pada seorang guru/ustadz atau kyai, karena taqlid itu hanya kepada Rasul. SAW.
Tetapi seharusnya “ittiba”, yaitu mengikuti dengan memahami dalil/dasarnya.

Untuk itu, tulisan tentang “Fiqh Sholat 4 Madzhab” ini adalah bagian dari upaya kecil saya untuk keluar
dari zona taqlid menuju zona ittiba‘. Semoga upaya kecil ini dapat menjadi awal dari saya untuk lebih
memahami dasar saya dalam beribadah. Banyak yang masih kurang tentunya karena keterbatasan ilmu
dan referansi saya. Masukan dari teman-teman pembaca dan para ustadz atau kyai tentu saya sangat
harapkan dengan tangan terbuka. Demikian, selamat membaca semoga bermanfaat…

“Pengantar”

Dakwah yang hanya berpegang kepada satu pendapat ulama, tanpa memberi ruang bagi pendapat
ulama lain, akan melahirkan jamaah bersikap fanatik dengan klaim kebenaran mutlak atas pendapatnya,
dan langsung menganggap bid’ah serta sesat pemikiran ulama yang tidak sehaluan dengan pikirannya.
Terkadang, dengan dalih berpegang kepada hadits sahih, mereka berani memvonis pendapat yang lain
itu tidak mengikut sunnah Nabi. Padahal, penilaian tentang sahih atau lemahnya (dha’if) sebuah hadits
itu tidak terlepas dari perbedaan metodologi penilaian yang digunakan para ulama. Hadits yang lemah
menurut satu ulama, bisa saja sahih menurut penilaian ulama yang lain. Diantaranya dalam praktek
sholat.
Shalat merupakan rukun kedua dari lima rukun Islam. Umat Islam sepakat bahwa menjalankan ibadah
shalat 5 waktu (subuh, dhuhur, ashar, maghrib, dan isya’) adalah kewajiban. Tapi ternyata banyak
perbedaan pada teknis pelaksanaan dari menjalankan ibadah shalat itu, meskipun hukumnya sama-sama
wajib.

Semua orang Islam sepakat bahwa orang yang menentang kewajiban shalat wajib lima waktu atau
meragukannya, ia bukan termasuk orang Islam, sekalipun ia mengucapkan syahadat, karena shalat
termasuk salah satu rukun Islam. (Mughniyah; Fikih 4 Madzhab 2001). Namun para ulama mazhab
berbeda pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan, dan
ia meyakini bahwa shalat itu wajib. (Mughniyah; 2001) Syafi’i, Maliki dan Hambali : Harus dibunuh,
Hanafi : ia aharus ditahan selama-lamanya, atau sampai ia shalat. (Mughniyah; 2001)

Berikut ini pendapat 4 Imam Madzhab (Maliki, Hambali, Hanafi dan Syafi’i) terkait rukun-rukun dan
fardhu-fardhu shalat :

1. NIAT

Semua ulama mazhab sepakat bahwa mengungkapkan niat dengan kata-kata tidaklah diminta.
(Mughniyah; 2001). Ibnu Qayyim berpendapat dalam bukunya Zadul Ma’ad, sebagaimana yang
dijelaskan dalam jilid pertama dari buku Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, sebagai berikut : Nabi
Muhammad saw bila menegakkan shalat, beliau langsung mengucapkan “Allahu akbar” dan beliau tidak
mengucapkan apa-apa sebelumnya, dan tidak melafalkan niat sama sekali.

2. TAKBIRATUL IHRAM

Shalat tidak akan sempurna tanpa takbiratul ihram. Nama takbiratul ihram ini berdasarkan sabda
Rasulullah saw :“Kunci shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu selain
perbuatan-perbuatan shalat) adalah takbir, dan penghalalnya adalah salam.”

Maliki dan Hambali :

kalimat takbiratul ihram adalah “Allah Akbar” (Allah Maha Besar) tidak boleh menggunakan katakata
lainnya.
Hanafi :

boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti “Allah Al-
A’dzam” dan “Allahu Al-Ajall” (Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia). (Mughniyah; 2001)

Syafi’i :

boleh mengganti “Allahu Akbar” dengan ”Allahu Al-Akbar”, ditambah dengan alif dan lam pada kata
“Akbar”. (Mughniyah; 2001)

Mengenai bahasa pengucapan takbirotul ikrom

Syafi’i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah wajib,walaupun
orang yang shalat itu adalah orang ajam (bukan orang Arab).

Hanafi : Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahasa Arab.

Semua ulama mazhab sepakat : syarat takbiratul ihram adalah semua yang disyaratkan dalamshalat.
Kalau bisa melkitakannya dengan berdiri; dan dalam mengucapkan kata “Allahu Akbar” ituharus didengar
sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli.(Mughniyah; 2001)

3. BERDIRI

semua ulama mazhab sepakat bahwa berdiri dalam shalat fardhu itu wajib sejak mulai dari takbiratul
ihram sampai ruku’, harus tegap, bila tidak mampu ia boleh shalat dengan duduk. Bila tidak mampu
duduk, ia boleh shalat dengan miring pada bagian kanan, seperti letak orang yang meninggal di liang
lahat, menghadapi kiblat di hadapan badannya, menurut kesepakatan semua ulama mazhab selain
Hanafi.

Hanafi berpendapat : siapa yang tidak bisa duduk, ia boleh shalat terlentang dan menghadap kiblat
dengan dua kakinya sehingga isyaratnya dalam ruku’ dan sujud tetap menghadap kiblat. . Hanafi : bila
sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah shalat baginya, hanya ia harus
melaksanakannya (meng-qadha’-nya) bila telah sembuh dan hilang sesuatu yang menghalanginya.
(Mughniyah;2001)

Syafi’i dan Hambali :


Dan bila tidak mampu miring ke kanan, maka menurut Syafi’i dan Hambali ia boleh shalat terlentang dan
kepalanya menghadap ke kiblat. Bila tidak mampu juga, ia harus mengisyaratkan dengan kepalanya atau
dengan kelopak matanya.

Syafi’i dan Hambali :shalat itu tidaklah gugur dalam keadaan apa pun. Maka bila tidak mampu
mengisyaratkan dengan kelopak matanya (kedipan mata), maka ia harus shalat dengan hatinya dan
menggerakkan lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk menggerakkan
lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melkitakan shalat di dalam hatinya selama akalnya
masih berfungsi.

Maliki :

bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalat terhadapnya dan tidak diwajibkan mengqadha’-nya.
(Mughniyah; 2001)

4. Membaca AL-FATIHAH

Hanafi :

membaca Al-Fatihah dalam shalat fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari AlQuran
itu boleh, berdasarkan Al-Quran surat Muzammil ayat 20 : (Mughniyah; 2001). ”Bacalah apa yang mudah
bagimu dari Al-Quran,” (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 122, dan Mizanul Sya’rani, dalam bab
shifatus shalah).

Boleh meninggalkan basmalah, karena ia tidak termasuk bagian dari surat. Dan tidak disunnahkan
membacanya dengan keras atau pelan. Orang yang shalat sendiri ia boleh memilih apakah mau didengar
sendiri (membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca dengan keras), dan
bila suka membaca dengan sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya. Dalam shalat itu tidak ada qunut
kecuali pada shalat witir. Sedangkan menyilangkan dua tangan adalah sunnah bukan wajib. Bagi lelaki
adalah lebih utama bila meletakkan telapak tangannya yang kanan di atas belakang telapak tangan yang
kiri di bawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih utama adalah meletakkan dua tangannya di
atas dadanya. (Mughniyah; 2001)

Syafi’i :

membaca Al-Fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat pertama
maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah. Basmalah itu
merupakan bagian dari surat, yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apa pun. Dan harus dibaca
dengan suara keras pada shalat subuh, dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, selain
rakaat tersebut harus dibaca dengan pelan. Pada sholat subuh disunnahkan membaca qunut setelah
mengangkat kepalanya dari ruku’ pad rakaat kedua sebagaimana juga disunnahkan membaca surat Al-
Quran setelah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama saja. Sedangkan menyilangkan dua
tangan bukanlah wajib, hanya disunnahkan bagi lelaki dan wanita. Dan yang paling utama adalah
meletakkan telapak tangannya yang kanan di belakang telapak tangannya yang kiri di bawah dadanya
tapi di atas pusar dan agak miring ke kiri. (Mughniyah; 2001)

Maliki :

membaca Al-Fatihah itu harus pada setiap rakaat, tak ada bedanya, baik pada rakaat-rakaat pertama
maupun pada rakaat-rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah, sebagaimana
pendapat Syafi’i, dan disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah Al-Fatihah pada dua rakaat yang
pertama.

Basmalah bukan termasuk bagian dari surat, bahkan disunnahkan untuk ditinggalkan. Disunnahkan
menyaringkan bacaan pad shalat subuh dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, serta
qunut pada shalat subuh saja. Sedangkan menyilangkan kedua tangan adalah boleh, tetapi disunnahkan
untuk mengulurkan dua tangan pada shalat fardhu. (Mughniyah; 2001)

Hambali :

wajib membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunnahkan membaca surat AlQuran
pada dua rakaat yang pertama. Dan pada shalat subuh, serta dua rakaat pertama pada shalat maghrib
dan isya’ disunnahkan membacanya dengan nyaring.

Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara membacanya harus pelan-pelan dan tidak boleh
dengan keras. Qunut hanya pada shalat witir bukan pada shalat-shalat lainnya. Sedangkan menyilangkan
dua tangan disunahkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan telapak
tangannya yang kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan di bawah pusar.

Empat mazhab menyatakan bahwa membaca amin adalah sunnah, berdasarkan hadits Abu Hurairah,
bahwa Rasulullah saw bersabda : kalau ingin mengucapkan Ghairil maghdzubi ’alaihim waladzdzaallin,
maka kalian harus mengucapkan amin.”

5. RUKU’
Semua ulama mazhab sepakat bahwa ruku’ adalah wajib di dalam shalat. Namun mereka berbeda
pendapat tentang wajib atau tidaknya ber-thuma’ninah di dalam ruku’, yakni ketika ruku’ semua anggota
badan harus diam, tidak bergerak.

Hanafi :

yang diwajibkan hanya semata-mata membungkukkan badan dengan lurus, dan tidak wajib thuma’ninah.
Mazhab-mazhab yang lain : wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang shalat itu berada
pada dua lututnya dan juga diwajibkan ber-thuma’ninah dan diam (tidak

bergerak) ketika ruku’.

Syafi’i, Hanafi, dan Maliki :

tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya disunnahkan saja mengucapkan :

Subhaana rabbiyal ’adziim (”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”)

Hambali :

membaca tasbih ketika ruku’ adalah wajib. Kalimatnya menurut Hambali :

Subhaana rabbiyal ’adziim (”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”)

6. I’TIDAL

Hanafi : tidak wajib mengangkat kepala dari ruku’ yakni i’tidal (dalam keadaan berdiri).

Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu makruh. Mazhab-mazhab yang lain : wajib mengangkat
kepalanya dan ber-i’tidal, serta disunnahkan membaca tasmi’, yaitu mengucapkan : Sami’allahuliman
hamidah (”Allah mendengar orang yang memuji-Nya”)

7. SUJUD
Semua ulama mazhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilkitakan dua kali pada setipa rakaat. Mereka
berbeda pendapat tentang batasnya. (Mughniyah; 2001)

Maliki, Syafi’i, dan Hanafi : yang wajib (menempel) hanya dahi, sedangkan yang lain-lainnya adalah
sunnah.

Hambali :

yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh (dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan ibu jari dua kaki)
secara sempurna. Bahkan Hambali menambahi hidung, sehingga menjadi delapan.

Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma’ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku’. Maka
mazhab yang mewajibkannya di dalam ruku’ juga mewajibkannya di dalam sujud. Hanafi : tidak
diwajibkan duduk di antara dua sujud itu. Mazhab-mazhab yang lain : wajib duduk di antara dua sujud.
(Mughniyah; 2001)

8. TAHIYYAT

Tahiyyat di dalam shalat dibagi menjadi dua bagian :

pertama yaitu tahiyyat yang terjadi setelah dua rakaat pertama dari shalat maghrib, isya’, dzuhur, dan
ashar dan tidak diakhiri dengan salam. Yang kedua adalah tahiyyat yang diakhiri dengan salam, baik pada
shalat yang dua rakaat, tiga, atau empat rakaat. (Mughniyah; 2001)

Tahiyyat Awal

Hambali : tahiyyat pertama itu wajib. Mazhab-mazhab lain : hanya sunnah.

Tahiyyat Akhir

Hanafi : hanya sunnah, bukan wajib. Kalimat (lafadz) tahiyyat :

Attahiyatu lillahi washolawaatu waththoyyibaatu wassalaamu

”Kehormatan itu kepunyaan Allah, shalawat dan kebaikan serta salam sejahtera”

’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh


”Kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”

Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin

”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”

Asyhadu anlaa ilaaha illallah

”Kita bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”

Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh

”Dan kita bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”

Maliki ;

Hukumnya hanya sunnah, bukan wajib. Kalimat (lafadz) tahiyyat :

Attahiyyatu lillaahi azzaakiyaatu lillaahi aththoyyibaatu ashsholawaatu lillah

”Kehormatan itu kepunyaan Allah, kesucian bagi Allah, kebaikan dan shalawat juga bagi Allah”

Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh

”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”

Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin

”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”

Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah

”Kita bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya”

Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh

”Dan kita bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”

Syafi’i :

Hukumnya wajib. Kalimat (lafadz) tahiyyat :

Attahiyyatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaatu lillaah

”Kehormatan, barakah-barakah, shalawat, dan kebaikan adalah kepunyaan Allah”


Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh

”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”

Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin

”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”

Asyhadu anlaa ilaaha illallah

”Kita bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”

Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh

”Dan kita bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”

Hambali :

Hukumnya wajib. Kalimat (lafadz) tahiyyat :

Attahiyyatu lillahi washsholawaatu waththoyyibaatu

”Kehormatan itu kepunyaan Allah, juga shalawat dan kebaikan”

Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh

”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”

Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin

”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”

Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah

”Kita bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya”

Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh

”Dan kita bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”

Allahumma sholli ’alaa muhammad

”Ya Allah, berikanlah shalawat kepada muhammad”

9. Mengucapkan SALAM
Menurut empat mazhab, kalimatnya sama yaitu :

Assalaamu’alaikum warahmatullaah

”Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah tercurah kepada kalian”

Syafi’i, Maliki, dan Hambali : mengucapkan salam adalah wajib. Hanafi : tidak wajib. (Bidayatul Mujtahid,
Jilid I, halaman 126).

Hambali : wajib mengucapkan salam dua kali, sedangkan yang lain hanya mencukupkan satu kali saja
yang wajib.

10. TERTIB

Diwajibkan tertib antara bagian-bagian shalat. Maka takbiratul Ihram wajib didahulukan dari bacaan Al-
Quran (salam atau Al-Fatihah), sedangkan membaca Al-Fatihah wajib didahulukan dari ruku’, dan ruku’
didahulukan daru sujud, begitu seterusnya.

Berturut-turut

diwajibkan mengerjakan bagian-bagian shalat secara berurutan dan langsung, juga antara satu bagian
dengan bagian yang lain. Artinya membaca Al-Fatihah langsung setelah bertakbir tanpa ada selingan.
Dan mulai ruku’ setelah membaca Al-Fatihah atau ayat Al-Quran, tanpa selingan, begitu seterusnya. Juga
tidak boleh ada selingan lain, antara ayat-ayat, kalimat-kalimat, dan huruf-huruf.

Jogja, 29 April 2016.

Daftar Pustaka

As’ad, Aliy. 1980. ”Fathul Mu’in”. Kudus: Menara Kudus.

Mughniyah, Muhammad Jawad. 2001. ”Fiqih Lima Mazhab”. Jakarta: Lentera.

Muttaqin, Zainal, dkk. 1987. ”Pendidikan Agama Islam Fiqh”. Semarang: PT Karya tiga Putra.

Rasjid, Sulaiman. 2010. ”Fiqh Islam”. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Ridlwan, Dahlan, dkk. 2005. ”Fiqh”. Jakarta : Media Ilmu.

Rifa’i, Mohammad. 1976. ”Risalah Tuntunan Shalat Lengkap”. Semarang : PT. Karya Toha Putra.
http://riau.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=13571

http://jejakjejakjejak.wordpress.com/2011/07/27/

BIOGRAFI

Sebagai muslim Indonesia, tentu mayoritas kita tidak asing dengan Imam al-Syafi’i. Ia merupakan pendiri
Mazhab Syafii. Mazhab ini cukup banyak dianut di Indonesia, bahkan bisa dibilang mayoritas di
Indonesia.

Nama lengkap pendiri mazhab ini adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Saib
bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib. Nama terakhir adalah kakek dari Rasulullah.

Imam Syafii lahir dari rahim seorang ibu yang salehah, serta dari ayah yang terkenal kesabaran dan
keikhlasannya. Bahkan Syafi’ bin Saib, kakek buyutnya, merupakan sahabat Rasulullah SAW. Nama al-
Syafi’i, yang akrab di telinga kita, diambil dari nama kakek buyutnya tersebut. Sedangkan ibunya
merupakan perempuan keturunan Ali bin Abi Thalib RA dari jalur Sayyidina Husein RA.

Idris, ayah Imam al-Syafi’i adalah seorang pemuda asal Makkah yang merantau ke Gaza, Palestina. Di
Gaza ia bertemu dengan Fatimah binti Ubadillah, seorang perempuan salehah dari kaum Azdi. Idris
menikah dengan Fatimah binti Ubaidillah, dengan tanpa sengaja. Pasalnya, saat itu Idris sedang dihukum
ayah Fatimah karena tidak sengaja memakan buah delima milik ayah Fatimah yang hanyut di sungai.

Harapannya, kelak, agar ayah Fatimah mau mengikhlaskan buah tersebut, Idris rela menjadi buruh ayah
Fatimah hingga beberapa tahun tanpa digaji. Keikhlasan Idris inilah yang membuat ayah Fatimah
menjatuhkan pilihan kepadanya sebagai menantu.

Buah cinta dari keduanya lahir pada tahun 150 H. Saat itu, bertepatan dengan wafatnya dua ulama
besar: Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, pendiri Mazhab Hanafi yang wafat di Irak dan Imam Ibn
Jureij al-Makky, seorang mufti Hijaz yang wafat di Makkah. Hal ini disebut sebagai salah satu firasat
bahwa bayi yang lahir tersebut akan menggantikan dua ulama yang telah meninggal, baik dalam
keilmuan dan kesalehan.

Kehidupan bahagia Idris, Fatimah dan jabang bayi tidak berjalan bahagia. Idris, ayah Imam al-Syafi’i
meninggal dunia dalam usia yang relatif muda. Fatimah harus berjuang sendiri mengasuh buah hati
dalam kondisi ekonomi yang cukup memprihatinkan.

Sadar dengan kondisi dirinya saat itu, Fatimah kemudian membawa bayinya yang masih berumur dua
tahun ke Makkah, kota asal ayahnya. Ia ingin putra semata wayangnya tumbuh besar di tanah kelahiran
ayahnya.

Minat Keilmuan Imam al-Syafi’i: dari Sastra, Fikih hingga Hadis.

Jika keilmuan yang berkembang di Irak adalah filsafat dan melahirkan para tokoh yang beraliran
rasionalis seperti Abu Hanifah, beda halnya dengan Makkah, tempat Imam al-Syafii tumbuh remaja. Di
Makkah justru sedang berkembang ilmu kesusasteraan. Bahkan Makkah menjadi salah satu tujuan
favorit bagi para penuntut ilmu sastra Arab.

Tinggal di lingkungan yang dihuni para ulama sastra, tidak disia-siakan oleh Imam al-Syafii. Ia sangat
menggandrungi prosa dan syair-syair Arab klasik. Masa mudanya di Makkah ia habiskan untuk mencari
naskah-naskah sastra, berkeliling ke kabilah-kabilah badui padang pasir, seperti kabilah Hudzel (salah
satu kabilah yang terkenal sebagai ahli sastra) untuk belajar sastra. Bahkan ia rela menetap beberapa
hari di kabilah-kabilah tersebut demi mempelajari sastra Arab.

Hobinya belajar sastra Arab ini secara tidak langsung memudahkan ia memahami Alquran dan hadis.
Kedua hal ini penting sekali dalam proses berijtihad dan menggali hukum syariat. Karena memahami
Alquran maupun hadis dibutuhkan kepiawaian dalam memahami Alquran yang diturunkan dalam bahasa
Arab yang fasih dan murni.

Kepiawaian al-Syafii dalam bidang sastra ini akhirnya menjadikannya mahir dalam menggubah syair-syair
Arab. Syair-syair karya Imam al-Syafii tersebut kemudian dikumpulkan oleh Syekh Yusuf Muhammad al-
Biqa’i dan jadilah buku kecil berjudul Diwan al-Syafi’i yang memuat sekitar 150an syair karya al-Syafii
yang terserak dalam karya-karyanya.
Menurut al-Hamawi dalam Irsyad al-Arib fi Ma’rifah al-Adib, ketertarikan Imam al-Syafii terhadap sastra
Arab nyatanya hanya menjadikannya bersyair dan berdendang sehari-harinya. Hingga pada suatu hari ia
bertemu dengan Mus’ab bin Abdullah bin Zubair dan menganjurkannya untuk belajar fikih dan hadis.

Tidak hanya Mus’ab, Imam Muslim bin Khalid, guru Imam al-Syafi’i yang lain juga menganjurkannya
untuk belajar fikih.

“Alangkah baiknya jika kecerdasanmu itu digunakan untuk mempelajari ilmu fikih, hal ini lebih baik
bagimu,” nasihat Imam Muslim bin Khalid kepada Imam al-Syafi’i.

Ucapan tersebut diakui sendiri oleh al-Syafii sebagai pelecut semangatnya untuk belajar ilmu fikih dan
hadis. Ia pun belajar kepada dua ulama besar Makkah saat itu: Imam Sufyan bin Uyainah, pakar hadis
dan Muslim bin Khalid al-Zanji, pakar fikih Mekkah.

Hijrah demi Ilmu

Hijrah yang dimaksud dalam hal ini bukan hijrah dalam arti tobat, sebagaimana yang sering digunakan
saat ini. Hijrah dalam hal ini adalah berpindah dari satu daerah ke daerah lain. Sebagaimana hijrahnya
nabi dari Makkah ke Yatsrib, Madinah.

Selain hijrah ke Madinah pada tahun 170 H untuk belajar langsung kepada Imam Dar al-Hijrah, yakni
Imam Malik bin Anas, Imam al-Syafii juga berkunjung ke Irak dan Kufah untuk belajar kepada murid-
murid Imam Abu Hanifah, sebelum akhirnya kembali lagi ke Madinah menemani Imam Malik hingga
wafat pada tahun 179 H.

Bahkan Imam al-Syafi’i terhitung berkunjung ke Irak sebanyak tiga kali. Selain Irak, Ia juga pernah
berkunjung ke Persia, Turki dan Ramlah (Palestina), hingga akhirnya menetap dan wafat di Mesir.
Kesempatan Imam al-Syafii untuk berkunjung ke berbagai kota ini tak ayal membantunya mengetahui
budaya serta adat istiadat yang berlaku di kota-kota tersebut. Hal ini secara tidak langsung menjadi
referensi Imam al-Syafii untuk membangun fatwa-fatwa dalam mazhabnya kelak.

Kegemaran Imam al-Syafi’i dalam berhijrah dari kota ke kota ini didokumentasikannya dalam beberapa
bait syair tentang anjuran untuk berhijrah, di antaranya:

“Musafirlah! Engkau akan menemukan sahabat baru pengganti sahabat-sahabat lama yang engkau
tinggalkan. Dan bekerjalah yang giat! Karena kenikmatan hidup akan tercapai dengan bekerja keras.”

“Singa jika tidak keluar dari sarangnya, ia tidak akan mendapatkan makanan. Begitu juga dengan anak
panah, jika tidak meluncur dari busurnya, anak panah tersebut tidak akan mengenai sasaran.”

Rangkaian hijrah Imam al-Syafii tersebut menghasilkan ‘permata’ yang tidak ternilai harganya. Menurut
Syekh Ali Jum’ah, Imam al-Syafii menulis lebih dari 30 karya monumental. Sayangnya, tidak semuanya
sampai di tangan kita. Beberapa kitab hilang dan beberapa kitab masih dalam proses pengetikan dan
pentahqiqan (koreksi).

Salah satu karya hebatnya adalah kitab al-Risalah, yang disebut-sebut sebagai kitab ushul fikih pertama
yang ditulis secara sistematis. Berkat al-Risalah juga, Imam al-Syafi’i dijuluki sebagai Nasir al-Sunnah
(pembela sunnah).

Dituduh sebagai pengikut dan penyebar faham Syiah

Ketika Imam al-Syafi’i menjadi mufti di Yaman, fitnah kejam melanda dirinya. Saat itu ia difitnah sebagai
pendukung partai Syiah yang sedang gencar-gencarnya mengancam eksistensi negara dan khalifah saat
itu.

Hal ini tentu maklum, karena khalifah saat itu adalah Harun al-Rasyid adalah bagian dari Dinasti
Abbasiyah, dinasti yang berseteru dengan kelompok Syiah. Imam al-Syafii pun dijebloskan ke dalam
penjara dan hampir dihukum mati, karena diisukan berkomplot untuk menumbangkan khalifah.
Namun Imam al-Syafii mencoba berdiskusi dengan Khalifah Harun al-Rasyid. Sebagaimana dikisahkan
oleh al-Hamawi, Imam al-Syafii ditanya tiga hal, meliputi pemahaman terhadap Alquran, keilmuan
astronomi dan nasab kaum Arab.

Tak disangka, jawaban yang diberikan oleh Imam al-Syafi’i cukup mengena di hati khalifah, sekaligus
menjadi bantahan atas tuduhan sebagai pengikut Syiah yang dialamatkan kepadanya. Ia dibebaskan dan
diberi hadiah 5 ribu dinar, bahkan khalifah memintanya secara khusus untuk mengajarnya.

Imam al-Syafi’i menghabiskan waktunya untuk mengajar di Mesir. Menurut al-Dzahabi dalam Siyar A’lam
al-Nubala’ dengan mengutip kaul al-Rabi’ bin Sulaiman, Imam al-Syafii membagi malamnya menjadi tiga:
sepertiga pertama digunakan untuk menulis, sepertiga kedua digunakan untuk shalat malam, dan
sepertiga terakhir digunakan untuk tidur. Imam al-Syafii wafat pada 30 Rajab 204 H. dalam usia 54 tahun.

PENGAMBILAN HUKUm

Metode Imam Syafi’i dalam Menetapkan Hukum

Dalam mengistinbathkan (mengambil dan menetapkan) suatu hukum, Imām al-Syāfi’i dalam bukunya al-
Risalah menjelaskan. Bahwa ia memakai lima dasar: al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas dan Istidlal. Kelima
dasar ini yang kemudian dikenal sebagai dasar-dasar mazhab Syafi’i. Dasar pertama dan utama dalam
menetapkan hukum adalah al-Qur’an, kalau suatu masalah tidak menghendaki makna lafzi barulah ia
mengambil makna majazi (kiasan), kalau dalam al-Qur’an tidak ditemukan hukumnya, ia beralih pada
Sunnah Nabi s.a.w. Sunnah yang dipakai adalah Sunnah yang nilai kuantitasnya mutawatir (perawinya
banyak) maupun ahad (perawinya satu orang), Sunnah yang nilai kualitasnya sahih maupun hasan,
bahkan sunnah da`if.

Adapun syarat-syarat untuk semua sunnah da`if adalah: tidak terlalu lemah, dibenarkan oleh kaidah
umum atau dasar kulli (umum) dari nas, tidak bertentangan dengan dalil yang kuat atau sahih dan hadis
tersebut bukan untuk menetapkan halal dan haram atau masalah keimanan, melainkan sekedar untuk
keutamaan amal (fada’il al-‘amal) atau untuk himbauan (targib) dan anjuran (tarhib).[1]

Dalam pandangan Imām al-Syāfi’i hadis mempunyai kedudukan yang begitu tinggi bahkan disebut-sebut
salah seorang yang meletakkan hadis setingkat dengan al-Qur’an dalam kedudukannya sebagai sumber
hukum Islam yang harus diamalkan. Karena, menurutnya, hadis itu mempunyai kaitan yang sangat erat
dengan al-Qur’an. Bahkan menurutnya, setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah s.a.w. pada hakikatnya
merupakan hasil pemahaman yang ia peroleh dari memahami al-Qur’an.[2]

Satu hal yang perlu diketahui bahwa Imām al-Syāfi’i tidak bersikap fanatik terhadap pendapat-
pendapatnya, hal ini nampak pada suatu ketika ia pernah berkata: “Demi Allah aku tidak peduli apakah
kebenaran itu nampak melalui lidahku atau melalui lidah orang lain.”[3]

Adapun penjelasan dari masing-masing sumber hukum tersebut adalah sebagai berikut:

1. Al-Qur’an

Sebagaimana imam-imam lainya Imām al-Syāfi’i menempatkan al-Qur’an pada urutan pertama, karena
tidak ada sesuatu kekuatan pun yang dapat menolak keontetikan al-Qur’an. Sekalipun sebagian
hukumnya harus diakui masih ada yang bersifat zanni, sehingga dalam penafsirannya terdapat
perbedaan pendapat.

Dalam pemahaman Imām al-Syāfi’i atas al-Qur’an, ia memperkenalkan konsep al-bayan. Melalui konsep
al-bayan ini, ia kemudian mengklafikasikan dilalah nas atas ‘amm dan khas. Sehingga ada dilalah `amm
dengan maksud `amm, ada pula dilalah ‘amm dengan dua maksud ‘amm dan khas, dan ada pula dilalah
‘amm dengan maksud khas.

Klasifikasi lain adalah dilalah tertentu yang maknanya ditentukan oleh konteksnya, ada juga dilalah yang
redaksinya menunjuk arti implisit bukan eksplisit, bahkan ada pernyataan ‘amm yang secara spesifik
ditunjukkan oleh sunnah bahwa maksudnya khusus.[4]
2. Al-Sunnah

Menurut Imam al-Syafi`i yang dimaksud adalah al-Hadis.[5] Al-Sunnah selain sebagai sumber yang kedua
setelah al-Qur’an juga sebagai pelengkap yang menginterpretasikan isi kandungan al-Qur’an, sehingga
kedudukan al-Sunnah atas al-Qur’an sebagai berikut:

a. Ta`kid, menguatkan dan mengokohkan al-Qur’an.

b. Tabyin, menjelaskan maksud nas al-Qur’an.

c. Tasbit, menetapkan hukum yang tidak ada ketentuan nasnya dalam al-Qur’an.[6]

d. Dilalah-dilalah al-Sunnah meskipun hukumnya berdiri sendiri tidak ada yang bertentangan dengan
dilalah nas al-Qur’an, karena al-Sunnah selain bersumber pada wahyu juga ada faktor lain yang
menyebabkan keontetikkan al-Sunnah yaitu terpeliharanya Nabi dari dosa dan kekeliruan sejak kecil.

Dalam implementasinya, Imām al-Syāfi’i memakai metode, apabila di dalam al-Qur’an tidak ditemukan
dalil yang dicari maka menggunakan hadis mutawatir. Namun jika tidak ditemukan dalam hadis
mutawatir baru ia menggunakan hadis ahad. Meskipun begitu, ia tidak menempatkan hadis ahad sejajar
dengan al-Qur’an dan juga hadis mutawatir.

Pandangan Imām al-Syāfi’i Tentang Hadis Ahad

a. Perawi dapat dipercaya keagamaannya dan juga tidak menerima hadis dari orang yang tidak dipercaya.

b. Perawinya dabit.

c. Perawinya berakal dalam artinya bisa memahami apa yang diriwayatkan.

d. Hadis yang diriwayatkan tidak menyalahi ahli hadis yang juga meriwayatkan.

Dalam masalah hadis mursal Imām al-Syāfi’i menetapkan dua syarat:


a. Mursal yang disampaikan oleh tabi`in yang berjumpa dengan sahabat.

b. Ada petunjuk yang menguatkan sanad mursal itu.[7]

Adapun dalam menanggapi pertentangan al-Sunnah dengan al-Sunnah Imam al-Syafi’i membagi kepada
dua bagian:

a. Ikhtilaf yang dapat diketahui nasikh-mansukhnya, maka diamalkanlah yang nasikh.

b. Ikhtilaf yang tidak dikeahui nasikh-mansukhnya.

Dalam ikhtilaf yang terakhir di atas, Imam al-Syafi’i membaginya dalam dua kategori:

a. Ikhtilaf yang dapat dipertemukan.

b. Ikhtilaf yang tidak dapat dipertemukan.

Adapun jika terjadi suatu pertentangan yang tidak dapat dipertemukan, dalam hal ini, ia menempuh cara
berikut ini:

a. Menentukan mana yang lebih dulu dan mana yang baru kemudian, dan yang terdahulu dianggap
mansukh, sehingga harus dapat diketahui asbab al-wurudnya.

b. Jika tidak diketemukan maka harus dipilih salah satu yang terkuat berdasarkan sanad-sanadnya.[8]

3. Ijma’ Dalam Pandangan Imam Syafi’i

Ijma’ menurut Imām al-Syāfi’i adalah kesepakatan para ‘ulama’ diseluruh dunia Islam, bukan hanya
disuatu negeri tertentu dan bukan pula ijma` kaum tertentu saja. Namun Imam al-Syafi`i tetap
berpedoman bahwa ijma` sahabat adalah ijma’ yang paling kuat.

Imām al-Syāfi’i mendefinisikan ijma’ sebagai konsensus ulama dimasa tertentu atas suatu perkara
berdasarkan riwayat Rasul. Karena menurutnya mereka tidak mungkin sepakat dalam perkara yang
bertentangan dengan al-Sunnah.[9]
Imām al-Syāfi’i membagi ijma’ menjadi dua yaitu ijma’ sarih dan ijma’ sukuti. Namum yang paling
diterima olehnya adalah ijma’ sarih sebagai dalil hukum. Hal ini menurutnya, dikarenakan kesepakatan
itu disandarkan kepada nas, dan berasal dari secara tegas dan jelas sehingga tidak mengandung
keraguan. Sedangkan ijma’ sukuti ditolaknya karena tidak merupakan kesepakatan semua mujtahid. Dan
diamnya mujtahid menurutnya, belum tentu mengindikasikan persetujuannya.

Melihat kondisi kehidupan para ulama dimasanya yang telah terjadi ikhtilaf dikalangan mereka, maka
menurutnya, ijma` hanya terjadi dalam pokok-pokok fardu dan yang telah mempunyai dasar atau sumber
hukum.[10]

4. Qiyas Menurut IMam SYafi’i

Muhammad Abu Zahrah menjelaskan bahwa ulama yang pertama kali mengkaji qiyas (merumuskan
kaidah-kaidah dan dasar-dasarnya) adalah Imām al-Syāfi’i.[11] Dengan demikian Imām al-Syāfi’i
menjadikan qiyas sebagai hujjah ke empat setelah al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ dalam menetapkan
hukum Islam.[12] Ia menempatkan qiyas setelah ijma`, karena ijma’ merupakan ijtihad kolektif
sedangkan qiyas merupakan ijtihad individual.

Syarat-syarat qiyas yang dapat diamalkan menurut Imām al-Syāfi’i adalah sebagai berikut:

a. Orang itu harus mengetahui dan mengusai bahasa arab.

b. Mengetahui hukum al-Qur’an, faraid, uslub, nasikh-mansukh, ‘amm-khas, dan petunjuk dilalah nas.

c. Mengetahui Sunnah, qaul sahabat, ijma` dan ikhtilaf dikalangan ulama.

d. Mempunyai pikiran sehat dan prediksi bagus, sehingga mampu membedakan masalah-masalah yang
mirip hukumnya.[13]

5. Istidlal Imam Syafi’i

Bila Imām al-Syāfi’i tidak mendapatkan keputusan hukum dari ijma` dan tidak ada jalan dari qiyas, maka
barulah ia mengambil dengan jalan istidlal, mencari alasan, bersandarkan atas kaidah-kaidah agama,
meski itu dari ahli kitab yang terakhir yang disebut “syar`u man qablana” dan tidak sekali-kali
mempergunakan pendapat atau buah pikiran manusia, juga ia tidak mau mengambil hukum dengan cara
istihsan, seperti yang biasa dikerjakan oleh ulama dari pengikut Imam Abu Hanifah di Bagdad dan lain-
lainnya.[14]

[1] Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Risalah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.). hlm. 508.

[2] Ibid., hlm. 508.

[3] Yusuf al-Qardawi, Fiqh Perbedaan Pendapat antar Gerakan Islam, cet. ke-4 (Jakarta: Rabbani Press,
2002), hlm. 190.

[4] M. Idris al-Syafi`i, al-Risalah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.) hlm.21-23.

[5] Ibid., hlm. 180.

[6] Ibid, hlm. 190.

[7] Huzaimah T.Y., Pengantar Perbandigan Mazhab, (Jakarta: logos Wacana Ilmu,1999), hlm. 130.

[8] Ibid., hlm. 130.

[9] Muhammad bin Idris al-Syafi`i, al-Risalah, hlm.472.

[10] T.M. Hasbi al-Shidieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, (Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra),
hlm. 28.

[11] Abu Zahrah, al-Syafi`i Hayatuhu wa Asruhu wa Ara’uhu wa Fiqhuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1418 H. /
1997), hlm.298.

[12] Huzaimah T.Y., Pengantar…, hlm. 130.

[13] M. Idris al-Syafi`i, Risalah, hlm.510-511.

[14] Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 245.

Anda mungkin juga menyukai