11-1labibah Amil Farah-Perbedaan Hadits Nabi Dari Segi Kualitas
11-1labibah Amil Farah-Perbedaan Hadits Nabi Dari Segi Kualitas
Hadith adalah segala yang berasal dari nabi yaitu perkataan, perbuatan,
ketetapan, budi pekerti dan sifat fisik beliau. Hadith merupakan sumber ajaran
Islam kedua setelah al-Qur’an yang dalam banyak aspeknya berbeda dengan al-
Qur’an. Umat Islam telah mempercayai hadith dari rasul sebagai pedoman ajaran
Islam selain al-Qur’an. Ajaran-ajaran Islam yang sudah tertuang di dalam ayat-
ayat al-Qur’an yang tidak dijelaskan ketentuan hukumnya, tidak dijelaskan cara
mengamalkannya atau menurut petunjuk ayat mutlak dalam al-Qur’an yang masih
belum dikhususkan. Oleh karenanya hadith diperlukan agar bisa menjelaskan
permasalahan tersebut.2
Kedudukan hadith dalam sumber ajaran hukum Islam juga sangat penting
mengingat fungsinya sebagai penjelas dan memperkuat isi al-Qur’an.
Terkodifikasinya al-Qur’an yang dijaga otentisitasnya oleh Allah dan kuantitasnya
lebih sedikit dibandingkan dengan hadith nabi. Sementara hadith nabi kondisinya
tidak demikian.3 Menurut ilmu hadith, hadith, sunnah dan khabar, serta segala
sesuatu yang berasal dari rasul baik berupa perkataan perilaku dan keputusan
dinyatakan benar karena merupakan riwayat rasul. Kehujjahan hadith sebagai
sumber ajaran agama Islam datang dari hadith sendiri. Hal ini dapat ditemukan di
1
Q.S. al-Hasyr: 7.
2
Ilyas Daud, “Penulisan Kitab Al-Jami’ Al-Azhar Fi Hadith An-Nabi Al-Anwar Karya Al-
Manawi”, Jurnal Al-Ulum, vol. 11, no. 2 (Desember 2011), 386.
3
Suryadi, “Pentingnya Memahami Hadis dengan Mempertimbangkan Setting Historis Perspektif
Yusuf Qaradawi”, Jurnal Living Hadis, vol. 1, no. 1 (Mei 2016), 31.
1
beberapa hadith yang diriwayatkan para perawi yang menyatakan bahwa rasul
bersabda:4
“Dari Ibnu Abbas, bahwasannya rasul berkhutbah di hadapan manusia pada haji
wadha’, “Wahai manusia sesungguhnya aku telah meninggalkan di tengah-tengah
kalian yang jika kalian berpegang teguh padanya niscaya engkau tidak akan
tersesat selamanya; yaitu al-Qur’an dan hadith.”
Selain itu karena dulu pernah terjadi penundaan dalam penulisan dan
pengkodifikasian hadith pada masa rasul karena takut tercampur aduk antara
hadith dengan al-Qur’an, merupakan salah satu alasan bahwa para ulama perlu
4
Wahyudin Darmalaksana, et. al., “Kontroversi Hadis Sebagai Sumber Islam”, Jurnal Ilmiah dan
Sosial Budaya, vol. 2, no. 2 (Desember 2017), 250.
5
Ibid., 247.
6
Hardivizon, “Metode Pembelajaran Rasulullah saw. : Telaah Kualitas dan Makna Hadis”,
Belajea: Jurnal Pendidikan Islam vol. 2, no. 2 (2017), 102.
2
melakukan penelitian terhadap hadith baik dari segi sanad-nya maupun matan-
nya. Oleh karena itu kita harus memahami hadith dari segi kualitasnya. 7
1. Hadith Shahih
7
Damanhuri, “Penelusuran Akar Hadits”, Jurnal Ilmiah Peuradeun, vol. 2, no. 3 (September
2014), 99.
8
Ahmad Muzayyin, “Kualitas Hadis Ditentukan oleh Kualitas Terendah Rawi dalam Sanad”,
Jurnal Al-Muta’aliyah STAI Darul Kamal NW Kembang Kerang, vol. 1, no. 1 (2017), 240.
9
Idri, et. al.,Studi Hadith, (Surabaya: UIN SUNAN AMPEL Press, 2014), 157.
10
Siti Aisyah, “Metode Hadith Shahih Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani”, (Skripsi—
UIN Sultan Syarif Kasim, Riau, 2015), 27.
11
Ibid.
12
Ibid.
3
Imam Ibnu al-Shalah dalam kitabnya yang berjudul ‘Ulum al-Hadith yang
lebih dikenal dengan nama Muqaddimah Ibn al-Shalah mengartikan hadith dengan
hadith yang disandarkan kepada rasul yang sanadnya bersambung, diriwayatkan
oleh perawi yang ‘adl dan dhabit hingga akhir sanadnya, tidak mengandung
syuzuz dan tidak terdapat‘illat.13 Sedangkan al-Baghawi menyatakan pendapat
yang agak berbeda dengan pendapat para ulama yang lain. Al-Baghawi
berpendapat bahwa hadith shahih adalah hadith yang perawinya adalah syaikhani
yang orang awam kenal adalah Imam Bukhari dan Imam Muslim atau salah satu
di antara keduanya. Dengan kata lain, al-Baghawi berpendapat bahwa hadith
shahih adalah hadith yang diriwayatkan oleh kedua atau salah satu di antara Imam
Bukhari dan Imam Muslim.14
15
Sanad hadith yang bersangkutan harus bersambung (ittishal sanad).
Yang dimaksud dengan sanad yang bersambung adalah tiap-tiap perawi dalam
mata rantai hadith menerima riwayat hadith dari perawi terdekat sebelumnya.
Tersambungnya sanad itu harus terjadi sejak penghimpun hadith dalam kitabnya
hingga pada perawi pertama dari kalangan sahabat yang menerima hadith yang
berkaitan dari rasul. Artinya, hadith tersebut harus tersambung dari perawi
terakhir atau bisa juga disebut dengan mukharrij hingga pada nabi Muhammad.
13
Ibid.
14
Ainul Azhari et. al., “Ragam Makna Kesahihan Hadis”, Jurnal Living Hadis, vol. 3, no. 1 (Mei
2018), 168.
15
Johar Arifin, “Pendekatan Ulama Hadith dan Ulama Fiqih dalam Menelaah Kontroversial
Hadith”, Jurnal Ushuluddin, vol. 22, no. 2 (Juli, 2014), 148.
4
Hadith yang sanad-nya tersambung memiliki beberapa istilah yang
merupakan pendapat dari ulama yang berbeda, yaitu yang pertama adalah hadith
musnad yang berarti disandarkan pada rasul. Namun menurut Ibnu Abdul Barr
sanad hadith musnad ada yang tersambung (muttashil) dan ada pula yang
terputus (munqathi’). Dan pendapatnya ini juga disetujui oleh mayoritas ulama.16
Istilah kedua yang biasanya dipakai untuk hadith yang sanad-nya
tersambung adalah muttashil dan mawshul. Menurut al-Nawawi dan Ibnu al-
Shalah hadith yang dimaksud dengan hadith muttashil dan mawshul adalah hasith
tersambung sanad-nya baik yang tersambung hingga rasul maupun yang
tersambung sampai sahabat rasul saja.17
Para ulama biasanya melakukan penelitian untuk mengetahui tersambung
atau tidaknya suatu sanad hadith. Menurut M. Syuhudi Ismail, tata kerja
penelitian yang dilakukan ulama adalah:18
a. Mencatat seluruh nama perawi dalam sanad yang diteliti
b. Mempelajari biografi perawi melalui kitab-kitab Rijal al-Hadith, seperti Tahdzib
al-Tahdzib, Tahdzib al-Kamal dan kitab al-Kasyif. Langkah ini diperlukan untuk
oleh para ulama untuk mengetahui apakah perawi yang bersangkutan dikenal
sebagai orang yang tsiqah dan tidak menyembunyikan kecacatannya (tadlis).
c. Adah al-tahammul wa ada’ al-hadith. Meneliti kata-kata (haddatsani,
haddatsana, akhbarani, akhbarana, sami’tu, ‘an, anna) yang menghubungkan
antara perawi dengan perawi terdekat dalam sanad.
Seluruh periwayat dalam hadith itu harus adil dan dhabit. Terdapat
perbedaan pendapat di antara para ulama tentang kriteria-kriteria yang memenuhi
golongan adil. Menurut Ibnu al-Shalah ada 5 kriteria yang harus dipenuhi agar
perawi dapat disebut sebagai perawi yang adil, di antaranya adalah beragama
Islam, berakal, baligh, bukang orang yang suka berbuat dosa dan menjaga maruah
yang menurut al-Harawi maruah adalah mengamalkan akhlaq terpuji dan
menjauhi perilaku yang tercela.19
16
Siti Aisyah, “Metode Hadith Shahih Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani”, 28.
17
Ibid., 29.
18
Ibid., 30.
19
Ibid., 31.
5
Al-Hakim berpendapat bahwa perawi disebut adil apabila perawi tersebut
beragama Islam, tidak berbuat maksiat dan tidak melakukan bid’ah. Apabila
digabungkan, syarat-syarat perawi yang adil adalah beragama Islam, mukallaf,
bertakwa dan menjaga sikap maruah.20
Dhabit secara sederhana memiliki arti kekuatan hafalan. Maksud dari
dhabit bukan hanya tentang kekuatan hafalan perawinya saja. Akan tetapi,
kekuatan hafalan catatannya juga termasuk. Adil dan dhabit memiliki keterkaitan
yang sangat erat. Apabila seorang perawi yang adil dan memiliki kepribadian
yang sangat baik, informasinya tidak akan diterima apabila ia tidak mampu
menjaga informasi tersebut. Begitu pula sebaliknya. Jika seorang perawi memiliki
kekuatan hafalan yang kuat baik ingatan maupun tulisannya namun dia tidak
memiliki perangai yang baik seperti tidak jujur, berbuat maksiat maka tidak akan
ada yang mau menerima informasi yang ia sampaikan.21
Menurut pendapat para ulama ada beberapa cara yang harus dilakukan
untuk mengetahui tingkat dhabit seorang perawi, yaitu melalui kesaksian para
ulama, yang kedua dapat dilihat melalui kesesuaian hadith yang ia riwayatkan
dengan hadith yang diriwayatkan oleh perawi lain yang terkenal dengan ke-
dhabit-annya, ketiga perawi masih dinyatakan dhabit apabila hanya melakukan
sedikit kesalahan. Kalau perawi sudah sering melakukan kesalahan, maka tidak
bisa disebut dhabit lagi.
Sanad dan matan-nya harus terhindar dari kejanggalan (syuzuz) dan cacat
(‘illat). Al-Syafi’i berpendapat sebuah hadith dikatakan mengandung syuzuz
apabila memiliki lebih dari satu sanad, seluruh perawinya tsiqah dan matan
ataupun sanad-nya mengandung pertentangan. Contoh dari hadith shahih ini
adalah hadith tentang seorang anak yang baru lahir itu suci yang artinya 22:
“Telah bercerita kepada kami ‘Abdan telah mengabarkan pada kami ‘Abdullah
telah mengabarkan pada kami Yunus dari al-Zuhri telah mengabarkan kepada
saya Abu Salamah bin ‘Abdul Rahman bahwa Abu Hurairah radiallah ‘anh
berkata : Telah bersabda Rasulullah saw.: “Tidak ada seorang anak pun yang
20
Ibid.
21
Ibid., 32.
22
Idri, et. al.,Studi Hadith, 157.
6
terlahir kecuali dia dilahirkan dalam keadaan suci. Maka kedua orangtuanyalah
yang akan menjadikan anak itu sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi sebagaimana
binatang ternah yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna. Apakah
kalian melihat ada cacat padanya.” Kemudian Abu Hurairah mengutip firman
Allah yang bunyinya “Sebagai fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah swt.. Itulah agama yang
lurus” (QS. Ar-Rum: 30). 23
Abu Hurairah memiliki nama lengkap Abdul Rahman bin Shakr dan wafat
di Madinah pada 51 H. Dia adalah orang yang terjamin keadilannya karena hidup
di jaman sahabat masih hidup. Abu Salamah yang bernama lengkap ‘Abd Allah
bin ‘Abd al-Rahman bin ‘Auf merupakan generasi tabi’in yang dinilai sebagai
periwayat yang tsiqah. Al-Zuhri (Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri)
merupakan generasi tabi’ al-tabi’in. ia dipuji sebagai periwayat yang faqih,
hafiz dan mutqin. Yunus (Yunus bin Yazid bin Abi al-Najad), ia dipuji sebagai
periwayat yang tsiqah .’Abdullah (‘Abdullah bin Mubarak bin Wadih) ia dinilai
sebagai periwayat yang tsiqah, hafidz, imam dan ma’mun.24
23
Ibid., 158.
24
Ibid., 158-159.
25
Ibid., 159.
7
dan “illat. Contoh dari hadith shahih li idzatihi adalah hadith riwayat al-Bukhari
dari Jabir bin ‘Abdullah tentang doa setelah adzan yang artinya:
Semua perawi dalam hadith yang diriwayatkan Jabir bin Abdullah ini
dinilai tsiqah karena mata rantainya dinilai adil dan dhabit yang sempurna. Dan
juga karena dari perawi pertamanya hingga ke akhir sanadnya bersambung atau
muttasil dan sampai kepada nabi Muhammad saw. sehingga hadith ini derajatnya
masuk ke hadith shahih.
“Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Ahzam dan Abu Badr abbad bin al-
Walid keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abbad
al-Hunai dari Ayyub al-Sikhtiyani dari Khalid bin Duraik dari Ibnu Umar bahwa
nabi Muhammad saw. bersabda: “Barang siapa mencari ilmu untuk selain Allah,
26
Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Ismail al-Bukhari “Sahih al-Bukhari”, kitab al-azan bab al-du’a
‘inda al-nida’, hadith nomor 579. Dikutip dalam Idri, et. al.,Studi Hadith, 160.
27
Ibid., 163.
8
atau dengannya ia ingin mencari selain ridha Allah, hendaklah ia menempatkan
tempat duduknya di neraka.”” 28
Dalam sanadnya ini Ibnu Majah menggunakan jalur Zaid bin Ahzam dan
Abbad bin al-Walid sedangkan at-Tirmidzi menggunakan jalur ‘Ali bin Nasr al-
Jauhari dalam sanadnya. Zaid bin Ahzam adalah seorang periwayat yang tsiqah
menurut penilaian Abu Hatim an-Nasa’i, ad-Daruqutni, Maslamah dan Ibnu Hajar
al-Aslaqani.29
Sementara itu, Abbad bin al-Walid yang digunakan jalurnya oleh Ibnu
Majah dinilah tsiqah oleh Ibnu Hibban dan oleh Ibnu Hatim dinilai saduq. Akan
tetapi, karena dua jalur tersebut juga melalui Muhammad bin ‘Abbad al-Huna’i,
maka derajat hadithnya menjadi hasan. Namun mengingat adanya tiga jalur yang
keseluruhannya berderajat hasan, maka derajat hadith tersebut terangkat menjadi
shahih li ghofili.30
2. Hadith Hasan
Secara bahasa hadith hasan berasal dari kata al-jamālu yang memiliki arti
indah. Kata hasan sendiri memiliki arti mempesona, yang disenangi dan
dipandang indah. Hadith hasan adalah hadith yang bersambung sanadnya dengan
periwayat perawinya adalah orang yang adil dan dhabit serta selamat dari syuzuz
(kejanggalan) dan ‘illat (cacat). Letak perbedaan antara hadith hasan dengan
hadith shahih adalah nilai ke-dhabitan-nya. Jika hadith shahih dhabit-nya
sempurna, maka hadith hasan dhabitnya kurang sempurna dibandingkan hadith
shahih. Yang mana dalam hadith hasan, dhabit yang terkait dengan aspek hapalan
dan tulisannya kurang sempurna.31
28
Ibnu Majah, “Sunan Ibnu Majah” (Beirut: Dar al-Fikr,t.th.), kitab mukaddimah, bab al-intifa’ bi
al-‘ilm wa al-amal bih. Hadith nomor 254. Dikutip dalam Idri, et. al.,Studi Hadith, 164
29
Ibid.
30
Ibid.
31
Ibid.
9
perawi sebanyak 50:50 yang artinya tingkat ke-tsiqah-annya kurang dari 60
persen. 32
Menurut Imam at-Tirmidzi hadith hasan adalah setiap hadith yang pada
mata rantainya tidak terdapat perawi yang tertuduh melakukan dusta pada hadith
yang ia riwayatkan, tidak pula terdapat syuzuz dan hadith itu diriwayatkan melalui
jalan lain. Hadith hasan masih bisa dibagi menjadi dua macam yaitu hadith hasan
li idzatihi yang mana sudah sesuai dengan pengertian hadith hasan itu sendiri dan
hadith hasan li ghofili. 33
Istilah hadith hasan pertama kali diperkenalkan oleh Imam Turmudzi yang
mana dalam kitabnya ia sering menggunakan kata shahih hasan yang oleh
sebagian ulama masih diperdebatkan kualitas dari hadith tersebut. Ada yang
mengatakan bahwa kualitas hadith tersebut hasan tapi ada juga yang menyatakan
bahwa kualitas hadith tersebut berada di antara hadith shahih dan hadith hasan.
Contoh dari hadith hasan adalah berikut yang memiliki arti: 34
32
Chairul Akhmad, “Tentang Mushthalah Hadits”, Republika (20 Januari 2012).
33
Ibid, 165.
34
Syamsuez Salihima, “Historiografi Hadis Hasan dan Daif”, Jurnal Adabiyah, vol. 10, no. 2
(2010), 215.
10
“Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Nashr bin ‘Ali, telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin ‘Abbad al-Huna’i, telah menceritakan kepada kami
Ali bin al-Mubarak dari Ayyub al-Sakhtiyani dari Khalid bin Duraik dari Ibn
Umar dari Nabi saw. bersabda: “ Barang siapa belajar ilmu untuk selain Allah swt.
atau menginginkan selain Allah swt. maka hendaklah ia menempati tempat
duduknya kelak di neraka.”35
Alasan utama mengapa hadith ini termasuk dalam hadith hasan adalah
terletak pada kualitas seorang rawi yang bernama Muhammad bin ‘Abbad al-
Huna’i. Semua rawi pada hadith di atas dinilai tsiqah oleh para kritikus hadith
kecuali nama Muhammad bin ‘Abbad al-Huna’i yang dinilai saduq. Berdasarkan
penjelasan al-Suyuti dalam Tadrib al-Rawi bahwa redaksi penilaian keterjaminan
rawi ada 4 level, yaitu : 36
a.) Tsiqah, mutqin, sabat, hujjah, adil-hafiz atau dhabit. Mutqin biasanya
digunakan untuk orang yang menghapalkan al-Qur’an yang kekuatan hapalan
dan bacaannya sangat bagus.
b.) Shaduq, mahalluh al-sidq atau la ba’sa bih. Mahalluh al-sidq memiliki arti bahwa
perawi adalah memiliki sifat jujur yang ia terapkan pada kenyataan yang terjadi pada
kehidupan keseharian sebagai manusia. Sedangkan la ba’sa bih memiliki arti bahwa
perawi tersebut tidak memiliki cacat. Ibnu Mu’in berpendapat bahwa perawi itu dapat
dipercaya.
c.) Syaikh artinya dia adalah orang yang dapat dipercaya dan riwayat-riwayatnya bisa
diterima.
d.) Salih al-hadith
Analisis sanad dari hadith di atas menunjukkan bahwa Muhammad bin ‘Abbad
al-Huna’i menempati level kedua dalam penilaian kredibilitas rawi yang mana bisa
disimpulkan bahwa hadithnya merupakan hadith hasan.37
35
Abu Isa al-Tirmidzi, “Sunan al –Tirmidzi” (Mesir: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001), kitab ilmu,
bab ma ja’ a fi yatlub bi ilmih al-dunya. Hadith nomor 2579. Dikutip dalam Idri, et. al.,Studi
Hadith, 166.
36
al-Suyuti, “Tadrib al-Rawi”, 233. Dikutip dalam Idri, et. al.,Studi Hadith, 168.
37
Idri, et. al.,Studi Hadith, 168.
11
Hadith hasan menurut Ibnu Khuzaimah, al-Hakim dan Ibn Hibban, hadith ini bisa
digunakan sebagai hujjah dengan syarat hadith hasan yang bersangkutan tidak
bertentangan dengan hadith shahih. Di sisi lain, Ibnu Araby dan Imam Bukhori
menyatakan bahwa hadith dhaif sama sekali tidak bisa digunakan sebagai hujjah, dalil
dalam penentuan hukum.38
“Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hujr telah menceritakan kepada kami Hafs bin
Ghiyas dari al-Hajjaj dari ‘Atiyah dari Ibn Umar dia berkata: “Saya shalat Dzuhur
bersama nabi saw. dua raka’at dan setelahnya dua raka’at dalam sebuah perjalanan” Abu
Isa berkata hadith ini merupakan hadith hasan.
“ Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid al-Muharibi yakni al-Kufi
telah menceritakan kepada kami Ali bin Hasyim dari Ibnu Abu Laila dari ‘Atiyah dan
Nafi’ dari Ibnu Umar dia berkata, saya shalat bersama nabi saw. waktu mukim dan waktu
safar, dan saya shalat bersama beliau waktu mukim sebanyak empat raka’at dan
setelahnya dua raka’at, saya juga shalat Dzuhur bersama beliau waktu safar sebanyak dua
raka’at dan setelahnya sua raka’at, Shalat Ashar dua raka’at bersama dan beliau tidak
mengerjakan dua raka’at setelahnya (ashar), Beliau shalat Maghrib tiga raka’at, beliau
tidak menguranginya baik waktu mukim atau safar, ia merupakan witirnya siang,
setelahnya beliau melaksanakan dua raka’at. Abu Isa berkata, ini adalah hadith hasan,
saya pernah mendengar Muhammad berkata, saya tidak pernah mendapati riwayat Ibn
38
Salihima, “Hadis Hasan dan Daif”, 217.
39
Nur al-Din ‘Itr, Ulum al-Hadith, II/33. Dikutip dalam Idri, et. al.,Studi Hadith, 171.
12
Abi Laila yang lebih menakjubkanku daripada hadith ini, padahal saya tidak pernah
mengambil satu pun riwayat darinya.” 40
Pada hadith pertama ada perawi bernama al-Hajjaj seorang faqih yang hapal
banyak hadith. Namun al-Hajjaj adalah seorang mudallis yang banyak salah, tidak kuat
hapalannya hadithnya ditinggalkan dan tidak bisa dibuat hujjah.41 Juga ada ‘Atiyyah
yang temasuk dalam jejeran rawi yang lemah.
Analisis sanad menunjukkan bahwasannya hadith pertama termasuk ke dalam
hadith dhaif. Namun. Karena adanya riwayat lain berupa hadith kedua yang melewati
jalur Ibn Abi Laila yang merupakan seorang faqih terhormat namun hapalannya
diragukan oleh ulama hadith. Dengan demikian at-Tirmidzi menilai hadith tersebut
42
sebagai hadith hasan li ghofili.
3. Hadith Dhaif
Secara umum, hadith dhaif biasanya didefinisikan sebagai hadith yang tidak
memenuhi syarat-syarat hadith shahih dan hadith hasan.43 Secara khusus, hadith dhaif
adalah hadith yang terputus sanad-nya atau di antara periwayatnya ada yang cacat, atau
matan-nya bertentangan dengan akal sehat, dalil yang tingkatannya lebih tinggi, yaitu
riwayat-riwayat mutawatir , tujuan pokok ajaran Islam dan fakta sejarah yang telah tegas,
atau redaksinya tidak menggambarkan sabda kenabian.
Para ulama tidak selalu memiliki pemikiran yang sama dalam menentukan
kualitas suatu hadith. Ada beberapa ulama yang mengatakan bahwa kualitas suatu hadith
tersebut adalah shahih ataupun hasan. Namun di sisi lain, ada pula ulama yang
menganggap bahwa hadith yang bersangkutan adalah hadith dhaif. Hal ini mungkin saja
terjadi karena perbedaan tingkat pengetahuan tiap-tiap ulama akan sifat atau kepribadian
seorang perawi dan sebab lainnya adalah karena mereka memiliki kriteria yang berbeda
dalam menentukan kualitas suatu hadith.44
40
Abu Isa al-Tirmidzi, “Sunan al –Tirmidzi” (Mesir: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001), kitab al-
jum’ah, Bab shalat tatawwu’ fi al-safar. Hadith nomor 506. Dikutip dalam Idri, et. al.,Studi Hadith,
170 – 171.
41
Ibn Hajar al-Aslaqani, Tahzib at-Tahzib, II/70. Dikutip dalam Idri, et. al.,Studi Hadith, 171.
42
Nur al-Din ‘Itr, Ulum al-Hadith, II/36.
43
Muhy al-Din ibn Syarf al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taysir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi,
1985), 31 Dikutip dalam Idri, et. al., Studi Hadith,171.
44
Salihima, “Historiografi Hadis”, 217.
13
Kedudukan hadith dhaif sebagai hujjah. Para ulama juga memiliki pendapat
yang berbeda tentang hal ini. Yaitu di antaranya Imam Bukhori, Imam Muslim, Abu
Bakan bin Araby dan Ibnu Hazm menyatakan bahwa hadith dhaif sama sekali tidak
diperbolehkan untuk mengamalkannya ataupun dijadikan hujjah. Baik untuk masalah
yang berhubungan dengan keutamaan amal dan begitu pula untuk masalah hukum.45
Keutamaan amal (fadhahilul a’mal) menurut Prof. T.M. Hasbi bukan arti dalam
penentuan suatu hukum sunnah. Akan tetapi yang dimaksud dari keutamaan amal adalah
kegunaan atau faedah dari suatu perbuatan. Adapun dalam penetapan hukum, para ulama
telah bersepakat untuk melarang penggunaan hadith dhaif sebagai hujjah dan dalil.46
Sedangkan pendapat yang dipelopori oleh Imam Ahmad ibn Hambal, Ibu Hajar
al-Asqalani, dan Abdur Rahman ibn Mahdi menyatakan bahwa hadith dhaif bisa
dijadikan hujjah hanya dalam masalah keutamaan amal dengan syarat yaitu perawi yang
meriwayatkan hadith dhaif tersebut tidak terlalu lemah, masalah yang dikemukakan
dalam hadith memiliki dasar di dalam al-Qur’an dan hadith shahih lalu yang terakhir
tidak bertolak belakang dengan dalil yang lebih kuat.47 Berikut adalah contoh hadith dhaif
:
“Ibnu Abbas berkata : Orang-orang Islam tidak mau memandang kea rah Abu Sufyan dan
tidak mau duduk bersama dengannya. Maka Abu Sufyan berkata kepada nabi : ‘Wahai
nabi Allah, berikan saya tiga hal’. Nabi menjawab: ‘ Ya’. Abu Sufyan berkata: ‘ Saya
memiliki seorang wanita Arab yang paling elok dan paling cantik, yaitu Ummu Habibah
binti Abu Sufyan, saya ingin mengawinkan anda dengannya.’ Nabi menjawab ‘Ya’ Abu
Sufyan berkata lagi: Saya ingin Muawwiyah bin Abi Sufyan dijadikan sekretaris pribadi
anda. Nabi menjawab ‘Ya’. Kata Abu Sufyan; ‘ Saya minta anda memerintahkan saya
memerangi orang-orang kafir sebagaimana dahulu saya telah memerangi orang-orang
Islam’. Nabi menjawab ‘Ya’.”48
Teks hadith tersebut menjelaskan peristiwa tentang Abu Sufyan meminta agar
nabi Muhammad saw. menerima tiga usulannya. Pertama, Abu Sufyan meminta
Rasulullah agar menikah dengan anaknya, yaitu Ummu Habibah. Kedua, Abu Sufyan
45
Ibid.
46
Ibid.
47
Ibid.
48
Muslin Ibn al-Hajjaj,Sahih Muslim, kitab al-fadha’il bab min fadhail Abi Sufyan, hadith nomor
4557. Dikutip dalam Idri, et. al.,Studi Hadith, 172.
14
meminta Rasulullah agar mengangkat Muawiyah menjadi sekretaris pribadinya. Ketiga,
ia meminta agar dirinya disertakan dalam perang melawan orang kafir.
Hadith tersebut jelas bertentangan dengan fakta karena nabi Muhammad saw.
menikah dengan Ummu Habibah jauh sebelum penaklukan kota Mekkah, mengingat
hadith ini menggambarkan peristiwa pada penaklukan kota Mekkah dan begitu pula
dengan permintaan lainnya juga bertentangan dengan fakta yang terjadi pada masa itu.
Hadith dhaif yang disebabkan oleh terputusnya sanad terbagi menjadi 7 bagian, yaitu 49 :
a.) Mu’allaq merupakan hadith yang gugur rawinya atau lebih awal dari sanad.
b.) Mu’dali adalah hadith yang gugur rawi-rawinya , dua orang atau lebih berturut-turut.
c.) Munqati’ adalah hadith yang gugur rawinya sebelum sahabat di satu tempat atau gugur
dua orang pada dua tempat secara berturut-turut.
d.) Mudallas adalah hadith yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa
hadith itu tidak ternodai.
e.) Mursal adalah hadith yang gugur dari akhir sanadnya setela tabi’in.
f.) Mu’annan
g.) Mu’an’an
Sedangkan hadith dhaif yang disebabkan oleh cacatnya periwayat (rawi) dibagi
menjadi : 50
a.) Maudhu’ adalah hadith yang diciptakan oleh seorang pendusta yang dinisbahkan
kepada Rasulullah saw. secara palsu dan dusta baik disengaja maupun tidak.
b.) Matruk adalah hadith yang dalam periwayatannya diriwayatkan oleh orang yang
tertuduh dusta dalam hal hadith.
c.) Munkar merupakan hadith yang dalam periwayatannya diriwayatkan oleh orangy
yang banyak melakukan kesalahan, banyak kelengahannya atau jelas kefasikannya
yang bukan karena dusta.
d.) Ma’ruf adalah hadith yang perawinya adalah orang ttsiqah.
e.) Ma’lul adalah hadith yang setelah diteliti ternyata terdapat salah sangka perawi
dengan menganggap sanadnya bersambung dengan hadith yang munqathi’.
49
Ibid.
50
Ibid.
15
f.) Mudraj merupakan hadith yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadith atas
perkiraan bahwa hadith tersebut merupakan hadith.
g.) Maqlub adalah hadith yang (mukhalafah) menyalahi hadith lain dalam artian
mendahulukan atau mengakhirkan.
h.) Mudtarib adalah hadith yang mukhalafahnya terjadi dengan pergantian pada satu segi
perawi.
Ada beberapa sebab terjadinya dhaif dalam kategori kedua ini, yaitu kecacatan
rawi dalam segi adilnya di antaranya: 51
a.) Sering berbohong. Perawi tersebut diketahui serinng berbohong dalam ucapan sehari-
harinya akan tetapi kita tidak tahu apakah ia berbohong ketika meriwayatkan hadith.
Konsekuensinya, hadith yang diriwayatkan menjadi hadith matruk.
b.) Fasiq. Seorang perawi pernah melakukan doa besar atau secara terus-menerus
melakukan dosa kecil.
c.) Perawi melakukan bid’ah baik dalam keyakinan maupun perbuatan.
d.) Tidak dikenali (jahalal al-‘ain). Perawi tidak dikenal atau tidak ada yang mengetahui
perilakunya.
Selain itu ada juga penyebab hadith menjadi dhaif karena kecacatan rawi dalam
segi kedhabitan, di antaranya : 52
a.) Hafalan sangat buruk sehingga sering melakukan kesalahan (fahsy al-ghalat)
dibanding yang benar dalam periwayatan hadithnya.
b.) Sering lupa (ghaflah).
c.) Ragu-ragu (wahm). Rawi sering salah sangka dalam periwayatan hadith misal atsar
yang mauquf menjadi hadith yang marfu’, mengira hadith munqathi’ adalah muttasil.
d.) Berbeda dengan riwayat orang-orang yang terpercaya (mukhalafah al-tsiqqah).
51
Muhammad Alvin Nur Choironi, “Sebab-Sebab Hadith Menjadi Dhaif”, NU Online (29 Maret
2019).
52
Ibid.
16