Anda di halaman 1dari 6

Kaidah ke-11

‫المشقة تجلب التيسر‬


Kesulitan akan menarik kepada kemudahan.
Contoh kaidah :
 Seorang bernama Godril yang sedang sakit parah merasa kesulitan untuk berdiri ketika
shalat fardhu, maka ia diperbolehkan shalat dengan duduk. Begitu juga ketika ia merasa
kesulitan shalat dengan duduk, maka diperbolehkan melakukan shalat dengan tidur
terlentang.
 Seseorang yang karena sesuatu hal, sakit parah misalnya, merasa kesulitan untuk
menggunakan air dalam berwudhu, maka ia diperbolehkan bertayamum.
 Pendapat Imam Syafi'i tentang diperbolehkannya seorang wanita yang bepergian tanpa
didampingi wali untuk menyerahkan perkaranya kepada laki-laki lain”.
Kaidah yang semakna dengan kaidah di atas, antara lain:
Perkataan Imam al-Syafi'i:
‫االمر اذا ضاق اتسع‬
Sesuatu, ketika sulit, maka hukumnya menjadi luas (ringan).
Perkataan sebagian ulama:
‫االشياء اذا ضاقت اتسع‬
Ketika keadaan menjadisempit maka hukumnya menjadi luas.
Allah SWT. berfirman dalam QS. Al-Baqarah (2): 185.
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
KERINGANAN HUKUM SYARA
Keringanan hukum syara’ (takhfifat al-syar'i), meliputi 7 macam, yaitu:
1. Takhfif Isqat, yaitu keringanan dengan menggugurkan. Seperti menggugurkan
kewajiban menunaikan ibadah haji, umrah dan shalat jumat karena adanya 'uzdur
(halangan).
2. Takhfif Tanqis, yaitu keringanan dengan mengurangi. Seperti diperbolehkannya
menqashar shalat.
3. Takhfif Ibdal, yaitu keringanan dengan mengganti. Seperti mengganti wudhu dan
mandi dengan tayammum, berdiri dengan duduk, tidur terlentang dan memberi isyarat
dalam shalat dan mengganti puasa dengan memberi makanan.
4. Takhfif Taqdim, yaitu keringanan dengan mendahulukan waktu pelaksanaan. Seperti
dalam shalat jama' taqdim, mendahulukan zakat sebelum khaul (satu tahun),
mendahulukan zakat fitrah sebelum akhir Ramadhan.
5. Takhfif Takhir, yaitu keringanan dengan mengakhirkan waktu pelaksanaan. Seperti
dalam shalat jama' ta’khir, mengakhirkan puasa Ramadhan bagi yang sakit dan orang
dalam perjalanan dan mengakhirkan shalat karena menolong orang yang tenggelam.
6. Takhfif Tarkhis, yaitu keringanan dengan kemurahan Seperti diperbolehkannya
menggunakan khamr (arak) untuk berobat.
7. Takhfif Taghyir, yaitu keringanan dengan perubahan. Seperti merubah urutan shalat
dalam keadaan takut (khauf).

Kaidah ke-12
‫االشياء اذا اتسع ضاقت‬
Sesuatu yang dalam keadaan lapang maka hukumnya menjadi sempit.
Contoh kaidah :
Sedikit gerakan dalam shalat karena adanya gangguan masih ditoleransi, sedangkan banyak
bergerak tanpa adanya kebutuhan tidak diperbolehkan.
Dari dua kaidah sebelumnya (kaidah ke-11 dan ke-12) Al-Gazali membuat sintesa
(perpaduan) menjadi satu kaidah berikut ini:
‫كل ما تجوز حده انعكس الى ضده‬
Setiap sesuatu yang melampaui batas kewajaran memiliki hukum sebaliknya.

Kaidah ke-13
‫الضرر يزال‬
Bahaya harus dihilangkan.
Contoh kaidah:
 Diperbolehkan bagi seorang pembeli memilih (khiyar) karena adanya 'aib (cacat) pada
barang yang dijual.
 Diperbolehkannya merusak pernikahan (faskh al-nikah) bagi laki-laki dan perempuan
karena adanya 'aib.
Kaidah ke-14
‫الضررال يزال بالضرر‬
Bahaya tidak dapat dihilangkan dengan bahaya lainnya.
Contoh kaidah:
Mbah Yoto dan Lutfi adalah dua orang yang sedang kelaparan, keduanya sangat
membutuhkan makanan untuk meneruskan nafasnya. Mbah Yoto, saking tidak tahannya
menahan lapar nekat mengambil getuk Asminah (asli produk gintungan) kepunyaan Lutfi yang
kebetulan dibeli sebelumnya di warung Syarof CS. Tindakan mbah Yoto walaupun dalam
keadaan yang sangat menghawatirkan baginya tidak bisa dibenarkan karena Lutfi juga
mengalami nasib yang sama dengannya, yaitu kelaparan.

Kaidah ke-15
‫الضرورات تبيح المحظورات‬
Kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang.
Contoh kaidah:
Ketika dalam perjalan dari Sumatra ke pondok pesantren An-Nawawi, ditengah-tengah
hutan Kasyfurrahman alias Rahman dihadang oleh segerombolan begal, semua bekal Rahman
ludes dirampas oleh mereka yang tak berperasaan -sayangnya Rahman tidak bisa seperti syekh
Abdul Qadir al-Jailany yang bisa menyadarkan para begal- karenanya mereka pergi tanpa
memperdulikan nasib Rahman nantinya, lama-kelamaan Rahman merasa kelaparan dan dia
tidak bisa membeli makanan karena bekalnya sudah tidak ada lagi, tiba-tiba tampak dihadapan
Rahman seekor babi dengan bergeleng-geleng dan menggerak-gerakkan ekornya seakan-akan
mengejek si-Rahman yang sedang kelaparan tersebut. Namun malang juga nasib si babi hutan
itu. Rahman bertindak sigap dengan melempar babi tersebut dengan sebatang kayu runcing
yang dipegangnya. Kemudian tanpa pikir panjang, Rahman langsung menguliti babi tersebut
dan kemudian makan dagingnya untuk sekedar mengobati rasa lapar. Tindakan Rahman
memakan daging babi dalam kondisi kelaparan tersebut diperbolehkan. Karena kondisi darurat
memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang.
Kaidah lain yang kandungan maknanya sama adalah kaidah berikut:
‫ال حرام مع الضرورة وال كراهة مع الحاجة‬
Tidak ada kata haram dalam kondisi darurat dan tidak ada kata makruh ketika ada hajat
Kaidah ke-16
‫ما ابيح للضرورة يقدر بقدرها‬
Sesuatu yang diperbolehkan karena keadaan darurat harus disesuaikan dengan kadar
daruratnya.
Contoh kaidah:
 Dengan melihat contoh pertama pada kaidah sebelumnya, berarti Rahman yang dalam
kondisi darurat hanya diperbolehkan memakan daging babi tangkapannya itu sekira
cukup untuk menolong dirinya agar bisa terus menghirup udara dunia. selebihnya
(melebihi kadar kecukupan dengan ketentuan tersebut) tidak diperbolehkan.
 Sulitnya shalat jumat untuk dilakukan pada satu tempat, maka shalat jumat boleh
dilaksanakan pada dua tempat. Ketika dua tempat sudah dianggap cukup maka tidak
diperbolehkan dilakukan pada tiga tempat.

Kaidah ke-17
‫الحجة قد تنزل منزلة الضرورة‬
Kebutuhan (hajat) terkadang menempati posisi darurat.
Contoh kaidah:
 Diperbolehkannya Ji'alah (sayembara berhadiah) dan Hiwalah (pemindahan hutang
piutang) karena sudah menjadi kebutuhan umum.
 Diperbolehkan memandang wanita selain mahram karena adanya hajat dalam
muamalah atau karena khithbah (lamaran).

Kaidah ke-18
‫اذا تعارض المفسدتان رعي اعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما‬
Ketika dihadapkan pada dua mafsadah (kerusakan) maka tinggalkanlah mafsadah yang lebih
besar dengan mengerjakan yang lebih ringan.
Contoh kaidah:
 Diperbolehkannya membedah perut wanita (hamil) yang mati jika bayi yang
dikandungnya diharapkan masih hidup.
 Tidak perbolehkannya minum khamr dan berjudi karena bahaya yang ditimbulkannya
lebih besar daripada manfaat yang bisa kita ambil.
 Disyariatkan hukum qishas, had dan menbunuh begal, karena manfaatnya (timbulnya
rasa aman bagi masyarakat) lebih besar daripada bahayanya.
 Diperbolehkannya seorang yang bernama Junaidi yang kelaparan, padahal ia tidak
memiliki cukup uang untuk membeli makanan, untuk mengambil makanan Eko Setello
yang tidak lapar dengan sedikit paksaan.

Kaidah ke-19
‫درء المفاسد مقدم على جلب المصالح‬
Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.
Contoh kaidah:
 Berkumur dan mengisap air kedalam hidung ketika berwudhu merupakan sesuatu yang
disunatkan, namun dimakruhkan bagi orang yang berpuasa karena untuk menjaga
masuknya air yang dapat membatalkan puasanya.
 Meresapkan air kesela-sela rambut saat membasuh kepala dalam bersuci merupakan
sesuatu yang disunatkan, namun makruh dilakukan oleh orang yang sedang ihram
karena untuk menjaga agar rambutnya agar tidak rontok.

Kaidah ke-20
‫االصل فى االبضاع التحريم‬
Hukum asal farji adalah haram.
Contoh kaidah:
Ketika seorang perempuan sedang berkumpul dengan beberapa temannya dalam
sebuah perkumpulan majlis taklim, maka laki-laki yang menjadi saudara perempuan tersebut
dilarang melakukan ijtihad untuk memilih salah satu dari mereka menjadi istrinya. Termasuk
dalam persyaratan ijtihad adalah asalnya yang mubah, sehingga oleh karenanya perlu diperkuat
dengan ijtihad. Sedangkan dalam situasi itu, dengan jumlah perempuan yang terbatas, dengan
mudah dapat diketahui nama saudara perempuannya yang haram dinikahi dan mana yang
bukan. Berbeda ketika jumlah perempuan itu banyak dan tidak dapat dihitung, maka terdapat
kemurahan, sehingga oleh karenanya, pintu pernikahan tidak tertutup dan pintu terbukanya
kesempatan berbuat zina.
Contoh lainnya, ada seseorang mewakilkan (al-muwakkil) kepada orang lain untuk
membeli jariyah (budak perempuan) dengan menyebut cirri-cirinya. Ternyata, sebelum sempat
menyerahkan jariyah yang dibelinya tersebut, orang yang telah mewakili (wakil) tersebut
meninggal. Maka sebelum ada penjelasan yang menghalalkan, jariyah itu belum halal bagi
muwakkil karena walaupun memiliki cirri-ciri yang disebutkannya, dikhawatirkan wakil
membeli jariyah untuk dirinya sendiri.
Allah SWT. berfirman QS. Al-Mukminun (23) 5-7.
Artinya:
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau
budak yang mereka miliki Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa.
Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui
batas.”
Lebih jelasnya sesuai dengan ayat quran tersebut bahwa seorang budak halal bagi
tuannya tetapi berhubung belum ada indikasi yang jelas mengenai kehalalannya sebagaimana
contoh di atas maka budak tersebut belum halal bagi muwakkil (orang yang mewakilkan).

Anda mungkin juga menyukai