Anda di halaman 1dari 9

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya didasari oleh
keinginan untuk hidup berbangsa dan bernegara secara demokratis.
Terdapat alasan lain yang mendukung untuk dilakukannya perubahan itu, yaitu :
Pertama, bahwa UUD 1945 pada hakekatnya belum pernah ditetapkan sebagai konstitusi RI
yang resmi oleh badan perwakilan pilihan rakyat, kecuali kesepakatan pada tanggal 18 Agustus 1945
oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada
masa pemerintahan Orde Baru Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang anggotanya sebagian
besar adalah Golonga Karya pernah menetapkan TAP MPR yang di dalamnya mengatur tentang
referendum terhadap UUD 1945. Di dalam kepemimpinan Era Orde Baru itu dikatakan merupakan
rekayasa oleh Rezim Soeharto yang telah melakukan amandemen konstitusi dengan cara yang
bertentangan dengan UUD 1945 sendiri.
Kedua, UUD 1945 terlalu bersifat executive heavy yang cenderung diktator. Melihat
pemerintaha masa era Presiden Soekarno yang cenderung diktator dengan domokrasi terpimpinnya
merupakan suatu gambaran bahwa UUD 1945 yang memberi peluang terjadinya pemerintahan yang
diktator. Dengan kekuasaan yang diberikan oleh UUD 1945 maka akan memberi ruang gerak untuk
penguasa cenderung bersifat diktator, absolute dalam memerintah bahkan memusatkan kekuasaan
secara sentralistik.
Ketiga, UUD 1945 tidak sesuai dengan perkembangan praktek kenegaraan sekarang, UUD
1945 dianggap terlalu sederhana, banyak kelemahan dan kekurangannya sehingga cenderung multi
tafsir. Berbicara kelemahan UUD 1945 yang dimaksud maka sifat executive heavy adalah salah satu
contohnya dalam pelaksanaan UUD 1945.Karena sistemnya yang eksecutive heavy sehingga
penafsiran konstitusi yang dianggab benar adalah penafsiran yang dibuat atau dianut oleh presiden.
Selain ketiga alasan tersebut perubahan UUD 1945 juga dipengaruhi oleh keinginan untuk
melaksanakan kebudayaan berbangsa dan bernegara secara demokratis. Agar dapat tercapai maka
harus dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar yang menimbulkan sistem politik yang
otoriter. Dengan melakukan perubahan terhadap UUD 1945 maka sistem politik yang demokratis
dapat terwujud.
Sebelum diamandemen, UUD 1945 mengatur kedudukan lembaga tertinggi dan lembaga
tinggi negara, serta hubungan antar lembaga-lembaga tersebut. Undang-Undang Dasar merupakan
hukum tertinggi, kemudian kedaulatan rakyat diberikan seluruhnya kepada MPR (Lembaga
Tertinggi). MPR mendistribusikan kekuasaannya (distribution of power) kepada 5 Lembaga Tinggi
yang sejajar kedudukannya, yaitu Mahkamah Agung (MA), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Pada tanggal 21 Mei 1998 presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden
setelah terjadi gelombang unjuk rasa besar-besaran, yang dimotori oleh manusia, pemuda, dan
berbagai komponen bangsa lainnya, di Jakarta dan di daerah-daerah. Berhentinya presiden soeharto
di tengah krisis ekonomi dan moneter yang sangat memberatkan kehidupan masyarakat Indonesia
menjadi awal dimulanya era reformasi di tanah air .

Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen)


terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa
Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat),
kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat
menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara
negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan
negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara
hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.
Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945,
tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal
sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan
presidensiil Di Indonesia pengaturan sistem ketatanegaraan diatur dalam Undang-Undang Dasar
1945, Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Sedangkan kewenangan kekuasaan berada di tingkat
nasional sampai kelompok masyarakat terendah yang meliputi MPR, DPR, Presiden dan Wakil
Presiden, Menteri, MA, MK, BPK, DPA, Gubernur, Bupati/ Walikota, sampai tingkat RT.

Lembaga-lembaga yang berkuasa ini berfungsi sebagai perwakilan dari suara dan tangan rakyat,
sebab Indonesia menganut sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi, pemilik kekuasaan tertinggi
dalam negara adalah rakyat. Kekuasaan bahkan diidealkan penyelenggaraannya bersama-sama
dengan rakyat.
Pada kurun waktu tahun 1999-2002, Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami empat kali
perubahan (amandemen). Perubahan (amandemen) Undang-Undang Dasar 1945 ini, telah membawa
implikasi terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Dengan berubahnya sistem ketatanegaraan
Indonesia, maka berubah pula susunan lembaga-lembaga negara yang ada.

Sistem ketatanegaraan Indonesia sesudah Amandemen UUD 1945, dapat dijelaskan


sebagai berikut: Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan
(separation of power) kepada 6 lembaga negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu
Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan
Mahkamah Konstitusi (MK).

TUJUAN
1. Untuk mengetahui latar belakang amandemen UUD 1945.
2. Untuk mengetahui system ketatanegaraan Indonesia sebagaimana terkandung dalam
UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen.

PEMBAHASAN
Salah satu tuntutan dari gerakan reformasi tahun 1998 adalah melakukan perubahan atau
amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Secara fundamental amandemen Undang-
Undang Dasar 1945 telah mengubah format kelembagaan negara, dan kemudian secara simultan
terjadinya pergeseran kekuasaan dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.
Ini berarti semenjak dilakukannya perubahan UUD 1945 struktur ketatanegaraan Indonesia
telah berubah secara signifikan, bahkan beberapa kalangan menilai perubahan UUD 1945 dalam
batasan-batasan tertentu cenderung radikal. Sehubungan dengan amandemen UUD 1945 itu,
Asshiddiqie (2005), berpandangan bahwa sebagai buah dari reformasi nasional tahun 1998,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengalami perubahan yang
dilaksanakan dalam satu rangkaian empat tahap, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.
Melalui perubahan-perubahan itu, pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Undang
Undang Dasar 1945 telah mengalami pergeseran dan perubahan mendasar, sehingga mengubah
pula corak dan format kelembagaan serta mekanisme Setelah terjadi gelombang reformasi di
Indonesia struktur dan kewenangan lembaga negara mulai ditata ulang dengan melakukan
perubahan terhadap UUD 1945. Pecahnya reformasi dikarenakan keinginan kuat dari bangsa
Indonesia untuk keluar dari praktek pelaksanaan sistem pemerintahan yang sentralistik dan
otoriterPemerintahan Soeharto yang lebih dari 30 tahun berkuasa dianggap telah
mengekang kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Sehingga ada keinginan untuk
melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara secara demokratis. Agar keinginan tersebut
dapat diwujudkan maka harus dilakukan melalui reformasi. Reformasi yang yarus dilakukan
terlebih dahulu adalah reformasi konstitusi agar sistem politiknya tidak lagi otoriter tetapi bersifat
demokratis.
Dengan jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun 1998 telah menimbulkan
kerisis ketatanegaraan di Indonesia yang memberi dampak luas terhadap stabilitas politik,
keamanan dan bidang lainnya. Salah satu penyebab kerisis itu adalah UUD 1945 yang tidak mampu
untuk mengantisipasi penyelewengan-penyelewengan dalam praktek penyelenggaraan negara.
Dengan jatuhnya pemerintahan Soeharto tersebutlah memberi peluang untuk melakukan perubahan
mendasar pada UUD 1945.
Langkah pertama yang dilakukan adalah merubah kedudukan dan kewenangan masing-
masing lembaga negara, MPR yang dulunya lembaga tertinggi sekarang menjadi lembaga tinggi
yang sejajar dengan lembaga negara yang lain begitu juga dengan kewenangan dan kedudukan
presiden yang dulunya memiliki kekuasaan legislatif sekarang kekuasaan legislatif tersebut
dikembalikan ke DPR. Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar sebagaimana yang dulunya
termuat dalam TAP MPR Nomor IV/1983 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan
Rakyat yang telah dirubah beberapa kali dan terakhir dirubah dengan TAP MPR Nomor VII/1998
menyatakan bahwa Perubahan Undang Undang Dasar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal
37 UUD 1945. Dalam Pasal 37 disebutkan bahwa untuk melakukan perubahan Undang-Unang
Dasar sekurang-kurangnya harus dihadiri dan disetujui 2/3 anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Dalam TAP MPR Nomor IV/1983 tentang Referendum, setelah Majelis setuju dengan
usulan referendum maka presiden sebagai mandataris melaksanakan referendum sesuai dengan
undang-undangnya. TAP MPR No. VII tahun 1998 yang merupakan perubahan dari TAP MPR No.
I/MPR/1983 dan terakhir diubah dengan Tap MPR No. I/1998 dalam pasal 1 ayat (14)-nya
menghapus Pasal 105, 106 dan 10712 yang mengatur kewenangan Presiden/Mandataris untuk
melakukan referendum. Dengan dihapusnya pasal pasal tersebut maka kekuasaan legislatif yang
dimiliki oleh presiden yang diatur dalam TAP MPR Nomor I/1983, dikembalikan kepada Majelis
sehingga terjadi pergeseran kekuasaan dari eksekutif ke Majelis. presiden dalam TAP MPR Nomor
VII/1998 hanya wajib hadir dalam rapat paripurna penyampaian pandangan umum terhadap laporan
Pertanggungjawaban Presiden/Mandataris. Terjadinya perubahan mendasar dalam struktur
ketatanegaraan, juga menandakan adanya perubahan paradigma dalam sistem kekuasaan negara
yang dianut, yaitu dari paradigma dengan sistem pembagian kekuasaan (distribution/division of
powers) secara vertikal yang berpuncak pada kekuasaan tertinggi berada pada Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebelum perubahan UUD 1945, menjadi sistem pemisahan
kekuasaan (separation of powers) secara horisontal setelah perubahan UUD 1945. Dianutnya sistem
pemisahan kekuasaan (separation of powers) bersifat horisontal untuk mempertegas kedudukan dan
fungsi kekuasaan negara dipisah dengan menganut prinsip checks and balances yang diwujudkan ke
dalam tiga cabang kekuasaan negara, yaitu kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR, kekuasaan
eksekutif dipegang oleh Presiden dan kekuasaan kehakiman dipegang oleh lembaga
peradilan. Atas dasar tuntutan itulah, Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami perubahan
mendasar sejak dari perubahan tahap pertama pada tahun 1999 sampai ke perubahan tahap keempat
pada tahun 2002. Perubahan-perubahan itu meliputi materi yang sangat banyak, sehingga
mencakup lebih dari 3 (tiga) kali lipat jumlah materi muatan asli UUD 1945. Jika naskah asli UUD
1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan, kini jumlah materi
muatan UUD 1945 seluruhnya mencakup 199 butir ketentuan. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa meskipun namanya tetap merupakan UUD 1945, tetapi dari sudut isinya UUD 1945 pasca
Perubahan Keempat tahun 2002 sekarang ini sudah dapat dikatakan merupakan Konstitusi baru
sama sekali dengan nama resmi “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Perlunya perubahan UUD 1945 itu semata-mata karena kelemahan kelemahan yang terkandung
dalam UUD 1945 itu sendiri. Di satu sisi kelemahan-kelemahan UUD 1945 itu harus dilihat sebagai
penyebab utama tidak demokratisnya Indonesia selama kurun waktu penggunaan UUD itu,
sementara pada sisi lainnya kelemahan-kelemahan itu telah memberi legitimasi bagi
penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga kepresidenan.
Mahfud MD (2001: 155-157), memaparkan empat (4) kelemahan dasar dalam
UUD 1945 (sebelum amandemen) yaitu; pertama, UUD membangun sistem politik yang executive
heavy dengan memberi porsi yang besar kepada kekuasaan Presiden tanpa adanya mekanisme
checks and balances yang memadai; kedua, UUD 1945 telalu banyak memberi atribusi dan delegasi
kewenangan kepada Presiden untuk mengatur lagi hal-hal penting dengan undang-undang maupun
dengan Peraturan Pemerintah; ketiga, UUD 1945 memuat beberapa pasal yang ambigu atau multi
tafsir sehingga bisa ditafsirkan dengan bermacam-macam tafsir, tetapi tafsir yang harus diterima
tafsir yang dibuat oleh Presiden; dan keempat, UUD 1945 lebih mengutamakan semangat
penyelenggaraan negara daripada sistemnya.
Setelah perubahan tahap keempat UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami
perubahan-perubahan mendasar. Perubahan-perubahan itu mempengaruhi struktur dan mekanisme
struktural organ-organ negara yang tidak dapat lagi dijelaskan menurut cara berpikir lama. Banyak
pokok-pokok pikiran baru diadopsikan ke dalam substansi UUD 1945. Empat diantaranya adalah
(a) penegasan dianutnya cita demokrasi dan nomokrasi secara sekaligus dan saling melengkapi
secara komplementer; (b) pemisahan kekuasaan dan prinsip “checks and balances” (c) pemurnian
sistem pemerintah presidential; dan (d) penguatan cita persatuan dan keragaman dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (Asshiddiqie, 2003: 12).
Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan hanya mengenal enam lembaga
tinggi/tertinggi negara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Presiden, Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Pertimbangan Agung.
Perubahan UUD 1945 telah melahirkan perubahan yang mendasar dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, seperti perubahan yang bersifat peralihan kekuasaan, perubahan yang bersifat penegasan
pembatasan kekuasaan, perubahan yang bersifat pengembangan kekuasaan.
Perubahan mengenai kedudukan, susunan dan kekuasaan lembaga negara, pembentukan
lembaga-lembaga negara baru dan meniadakan lembaga negara yang sudah ada, serta perubahan
terhadap sistem pengisian jabatan lembaga-lembaga negara.Berdasarkan ketentuan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan Keempat (Tahun 2002), struktur
kelembagaan Republik Indonesia terdapat (setidaknya) 9 (sembilan) buah organ negara yang secara
langsung menerima kewenangan langsung dari Undang Undang Dasar. Kesembilan organ tersebut
adalah (i) Dewan Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan Daerah, (iii) Majelis Permusyawaratan
Rakyat, (iv) Badan Pemeriksa Keuangan, (v) Presiden, (vi) Wakil Presiden, (vii) Mahkamah
Agung, (viii) Mahkamah Konstitusi, dan (ix) Komisi Yudisial, (Asshiddiqie, 2011: 1). Masing-
masing lembaga negara ini mempunyai ruang lingkup kekuasaannya masing-masing.
Pelaksanaan kekuasaan diberikan kepada lembaga negara itu ada yang dilaksanakan secara
mandiri dan ada yang dilaksanakan bersama-sama. Perubahan UUD 1945 itu lebih melihat
perubahan yang dilakukan tidak mempertimbangkan akan munculnya polemik antar lembaga-
lembaga negara sebagai akibat dari adanya pergeseran tradisi kekuasaan, berikut terjadinya
pemangkasan jangkauan kewenangan, dan itu sangat dirasakan oleh beberapa lembaga-lembaga
negara.
Semestinya, perubahan UUD 1945 baik dari segi substansi maupun dalam
operasionalisasinya lebih mampu menciptakan suatu sistem ketatanegaraan yang dapat
dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan tata hubungan antar lembaga negara yang efektif.
Kendati demikian, mulai dari perubahan tahap pertama, kedua, ketiga dan keempat UUD1945
telah mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia secara mendasar, baik mengenai sistem
pemerintahan, sistem perwakilan dan pelaksanaan kekuasaan yudisial (Munir, 2000: 9). Perubahan
struktur ketatanegaraan ini meliputi semua cabang kekuasaan baik kekuasaan legislatif (legislative
power/pembuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (executive power/pelaksana undang-undang)
maupun kekuasaan yudikatif (judicial power/kekuasaan kehakiman).
Tujuan Perubahan UUD 1945 tersebut adalah menyempurnakan atau melengkapi aturan dasar
sebelumnya (UUD 1945 pra amendemen) dirasakan masih jauh dari sempurna (Thohari, 2004: 1-3).
Perubahan UUD 1945 telah mempertegas tugas kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia yakni untuk menyelenggarakan peradilan yang merdeka, bebas dari intervensi pihak
manapun guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Agung adalah puncak kekuasaan
kehakiman dan fungsi peradilan di Indonesia.
Menurut Asshiddiqie (2011: 21), dalam mewujudkan prinsip keadilan dan kebenaran hukum,
Mahkamah Agung menjadi puncak harapan dan aspirasi seluruh rakyat Indonesia. Mahkamah
Agung juga berperan penting dalam melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang. Melalui kewenangan ini, Mahkamah Agung – sesuai dengan prinsip “checks and
balances” berfungsi sebagai pengontrol terhadap kewenangan regulatif yang dimiliki oleh
Presiden/Pemerintah serta lembagalembaga lain yang mendapat kewenangan regulatif itu oleh
undang-undang. Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan fenomena baru dalam
ketatanegaraan di Indonesia. Sebagian besar negara demokrasi yang sudah mapan, tidak mengenal
lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri. Terkait keberadaan Mahkamah Konstitusi itu,
Asshiddiqie, et al (2002) menjelaskan sampai sekarang baru 78 negara membentuk Mahkamah ini
secara tersendiri.
Pada amendemen Ketiga UUD 1945 tahun 2001, Mahkamah Konstitusi secara resmi
ditempatkan sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia,selain Mahkamah
Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya. Pembentukan lembaga ini, merupakan salah satu
wujud nyata dari perlunya mekanisme keseimbangan dan kontrol (checks and balances) di antara
lembaga-lembaga negara. Hal ini sebagai penegasan terhadap prinsip negara hukum dan perlunya
perlindungan hak-hak asasi (hak-hak konstitusional) warga negara telah dijamin konstitusi, serta
sebagai sarana penyelesaian beberapa problem yang terjadi dalam praktik ketatanegaraan yang
sebelumnya tidak diatur dalam konstitusi.
Adapun kedudukan dan hubungan antar lembaga tertinggi dan lembaga-lembaga tinggi
negara menurut UUD 1945 sebelum diamandemen, dapat diuraikan sebagai berikut:
MPR

Sebelum perubahan UUD 1945, kedudukan MPR berdasarkan UUD 1945 merupakan
lembaga tertinggi negara dan sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. MPR
diberi kekuasaan tak terbatas (Super Power). karena “kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh MPR” dan MPR adalah “penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia” yang
berwenang menetapkan UUD, GBHN, mengangkat presiden dan wakil presiden.
· MA
Mahkamah Agung (disingkat MA) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama
dengan Mahkamah Konstitusi dan bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya.
Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.
· BPK
Badan Pemeriksa Keuangan (disingkat BPK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara. Menurut UUD 1945, BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri.
Anggota BPK dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah, dan diresmikan oleh Presiden.
Pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945 menetapkan bahwa untuk memeriksa tanggung jawab
tentang Keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan
dengan Undang-Undang. Hasil pemeriksaan itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
· DPR
Tugas dan wewenang DPR sebelum amandemen UUD 1945 adalah memberikan persetujuan
atas RUU [pasal 20 (1)], mengajukan rancangan Undang-Undang [pasal 21 (1)], Memberikan
persetujuan atas PERPU [pasal 22 (2)], dan Memberikan persetujuan atas Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara [pasal 23 (1)].
UUD 1945 tidak menyebutkan dengan jelas bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi
anggaran dan pengawasan.
· Presiden
I. Presiden memegang posisi sentral dan dominan sebagai mandataris MPR, meskipun
kedudukannya tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet”.
II. Presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tertinggi (consentration of power and
responsiblity upon the president).
III. Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang kekuasaan
legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power).
IV. Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar.
V. Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai presiden serta
mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya.
Adapun kedudukan dan hubungan antar lembaga tertinggi dan lembaga-lembaga tinggi
negara menurut UUD 1945 setelah diamandemen, dapat diuraikan sebagai berikut:
I MPR

a. a.Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti
Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK.
b. bMenghilangkan supremasi kewenangannya.
c. c.Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN.
d. d.Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden
e. e.Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
f. f.Susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilu.

II DPR

a. Posisi dan kewenangannya diperkuat.


b. Mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan DPR
hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan RUU.
c. Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah.
d. Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan
sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.

III DPD

a. Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah
dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan
golongan yang diangkat sebagai anggota MPR.
b. Keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia.
c. Dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu.
d. Mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan
daerah.

IV BPK
a. Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
b. Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah
(APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti
oleh aparat penegak hukum.
c. Berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.
d. Mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang
bersangkutan ke dalam BPK.

V Presiden

a. Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan
pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan
presidensial.
b. Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.
c. Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja.
d. Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan
DPR.
e. Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR.
f. Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi
dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan
presiden dalam masa jabatannya.

VI Mahkamah Agung

a. Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang


menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)].
b. Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah
Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.
c. Di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan
Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN).
d. Badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam
Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.

VII Mahkamah Konstitusi


a. Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the
constitution).
b. Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar
lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan
memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan
atau wakil presiden menurut UUD.
c. Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah Agung,
DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari
3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa :
I.. Setelah amandemen UUD 1945 banyak perubahan terjadi, baik dalam struktur ketatanegaraan
maupun perundang-undangan di Indonesia.
II. Tata urutan perundang-undangan Indonesia adalah UUD 1945, UU/ Perpu, PP, Peraturan
Presiden dan Perda.
III. Lembaga-lembaga Negara menurut sistem ketatanegaraan Indonesia meliputi: MPR, Presiden,
DPR, DPD, MA, MK, BPK, dan Komisi Yudisial. Lembaga pemerintahan yang bersifat khusus
meliputi BI, Kejagung, TNI, dan Polri. Lembaga khusus yang bersifat independen misalnya KPU,
KPK, Komnas HAM, dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai