Anda di halaman 1dari 51

MAKALAH

AGAMA ISLAM
Sumber ajaran islam: hadits, sunnah, dan Ijtihad

Disusun Oleh :
MLIA-1D
KELOMPOK 6
Waldi Fickri (1930130)
Kalimatu Alifya (1930129)

Dosen :
Salman Assahary

PROGRAM STUDI MANAJEMEN LOGISTIK INDUSTRI AGRO


POLITEKNIK ATI PADANG
KEMENTRIAN PERINDUSTRIAN RI
2020
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah atas segala limpahan karunia Allah SWT. Atas izin-
Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Tak lupa pula kami
kirimkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
Beserta keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh ummatnya yang senantiasa
istiqomah hingga akhir zaman.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok mata
kuliah Pendidikan Agama Islam berjudul Sumber ajaran islam hadits, sunnah, dan
Ijtihad.
Dalam penyelesaian makalah ini, kami mendapatkan bantuan serta
bimbingan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kami haturkan
terima kasih kepada.
1. Salman Assahary., selaku dosen mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
2. Waldi Fickri, kalimatu alifya selaku kelompok yang telah membantu
penulis dalam membuat makalah
Akhirul kalam, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik konstruktif demi perbaikan
makalah di masa mendatang. Harapan penulis semoga makalah ini bermanfaat dan
memenuhi harapan berbagai pihak. Amiin.

Padang, Februari 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................


DAFTAR ISI ...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
1. Latar Belakang .....................................................................................
2. Rumusan Masalah ................................................................................
3. Tujuan ..................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................
A. Hadits ...................................................................................................
1. Pengertian Hadits ..........................................................................
2. Kedudukan Hadits .........................................................................
3. Fungsi Hadits.................................................................................
4. Hadits Yang Dilihat Dari Banyak Sedikitnya Perawi ...................
5. Pembagian hadits menurut kualitasnya .........................................
6. Perawi Hadits ................................................................................
7. Kedudukan Hadits .........................................................................
8. Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an ............................................
B. Sunnah ..................................................................................................
1. Defenisi Sunnah ............................................................................
2. Kedudukan As-Sunnah ..................................................................
3. Fungsi As-Sunnah Dan Keterkaitannya Dengan Al-Quran ..........
C. Ijtihad ...................................................................................................
1. Pengertian ijtihad...........................................................................
2. Syarat-Syarat Menjadi Ijtihad (Mujtahid) .....................................
3. Fungsi Ijtihad.................................................................................
4. Manfaat Ijtihad ..............................................................................
5. Macam-Macam Ijtihad ..................................................................
6. Tingkatan-Tingkatan Ijtihad ..........................................................
BAB III PENUTUP ........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Al Quran dan hadits merupakan pedoman bagi seluruh umat islam di dunia
yang mengatur kehidupan mereka. “Aku tinggalkan dua warisan,selama kedua-
duanya kamu pegang teguh maka kamu tidak akan sesat selama-lamanya,yaitu Al-
qur`an dan Sunnah RasulNya (hadits) " itulah perkataan nabi untuk seluruh umat
manusia.
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw, diyakini dapat
menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Di
dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu
menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang seluas-
luasnya.
Islam merupakan agama yang membawa kedamaian, rasa persaudaraan,
cinta kasih, dan tolong menolong. Agama yang telah di ridhai oleh Allah swt.
kepada hambanya. dalam Al Quran, semua Nabi memilih islam sebagai agama
mereka untuk mencapai tujuan akhir dari kehidupan mereka, yaitu kehidupan
akhirat.
Dalam makalah ini penulis akan menjabarkan tentang penjelasan tentang
sumber ajaran islam yaitu Hadist, Sunnah, dan Ijtihad .

2. Rumusan Masalah
a. Apa yang di maksud dengan Hadits?
b. Apa yang di maksud dengan Sunnah?
c. Apa yang di maksud dengan Ijtihad?

3. Tujuan
a. pembaca dapat menambah wawasan tetang agama islam
b. mengetahui yang di maksud dengan Hadist/sunnah dan Ijtihad
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits
1. Pengertian Hadits
a. Secara Terminologi
Ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam
memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri ada
juga beberapa definisi yang antara satu sama lain agak berbeda.
Ada yang mendefinisikan hadits, adalah :
"Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya".
Ulama hadits menerangkan bahwa yang termasuk "hal ihwal", ialah
segala pemberitaan tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan
dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-
kebiasa
anya.
Ulama ahli hadits yang lain merumuskan pengertian hadits dengan :
"Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".
Ulama hadits yang lain juga mendefiniskan hadits sebagai berikut :
"Sesuatu yang didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".
Dari ketiga pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan
para ahli hadits dalam mendefinisikan hadits. Kasamaan dalam
mendefinisikan hadits ialah hadits dengan segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan.
Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari
perumusan definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal
atau sifat Nabi sebagai komponen hadits, ada yang tidak menyebut.
Kemudian ada ahli hadits yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit
sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits.
Tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam
aqwal (perkataan nabi) atau afal ( perbuatan nabi).
Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai
berikut :
"Segala perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk
penetapan hukum syara'".
Berdasarkan rumusan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun
ahli ushul, terdapat persamaan yaitu ;
"memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu yang disandarkan
kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung-nyinggung perilaku dan
ucapan sahabat atau tabi'in. Perbedaan mereka terletak pada cakupan
definisinya. Definisi dari ahli hadits mencakup segala sesuatu yang
disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, dan taqrir (ketetapan nabi muhammad).
Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul hanya menyangkut
aspek perkataan Nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk
menetapkan hukum syara'.
b. Secara Etimologi
Hadis atau al- hadits menurut bahasa adalah al- jadid yang
artinya (sesuatu yang baru) artinya yang berarti menunjukkan kepada
waktu yang dekat atau waktu yang singkat seperti
ْ ‫ْث العَ ْه ِد فِى أْ ِإل‬
‫س ََل ِم‬ ُ ‫( َح ِدي‬orang yang baru masuk/ memeluk islam).
Hadis juga sering disebut dengan al- khabar, yang berarti berita,
yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang
kepada orang lain, sama maknanya dengan hadis.
c. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
Sabda, perbuatan, takrir (ketetapan) Nabi Muhammad SAW
yang diriwayatkan atau diceritakan oleh sahabat untuk menjelaskan
dan menentukan hukum islam

2. Kedudukan Hadits
Dalam kedudukannya sebagai penjelas, hadits kadang-kadang
memperluas hukum dalam Al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di
luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Quran.
Kedudukan Hadits sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang
menjelaskan hukum Al-Quran, tidak diragukan lagi dan dapat di terima
oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi di tugaskan Allah
SWT. Namun dalam kedudukan hadits sebagai dalil yang berdiri sendiri
dan sebagai sumber kedua setelah Al-Quran, menjadi bahan
perbincangan dikalangan ulama. Perbincangan ini muncul di sebabkan
oleh keterangan Allah sendiri yang menjelaskan bahwa Al-Quran atau
ajaran Islam itu telah sempurna. Oleh karenanya tidak perlu lagi
ditambah oleh sumber lain.
Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai
sumber atau dalil kedua setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan
untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam. Jumhur ulama
mengemukakan alasannya dengan beberapa dalil, di antaranya :
Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat mentaati Rasul.
Ketaatan kepada rasull sering dirangkaikan dengan keharusan mentaati
Allah ; seperti yang tersebut dalam surat An-Nisa : 59 :
artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya),
Bahkan dalam tempat lain Al-Quran mengatakan bahwa oang yang
mentaati Rasul berarti mentaati Allah, sebagaimana tersebut dalam surat
An-Nisa : 80:
Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia
telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu),
Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.
Yang dimaksud dengan mentaati Rasul dalam ayat-ayat tersebut
adalah mengikuti apa-apa yang dilakukan atau dilakukan oleh Rasul
sebagaimana tercakup dalam Sunnahnya.
Dari ayat diatas jelaslah bahwa Hadits itu adalah juga wahyu. Bla
wahyu mempunyai kekuatan sebagai dalil hukum, maka hadits pun
mempunyai kekuatan hukum untuk dipatuhi. Kekuatan hadits sebagai
sumber hukum ditentukan oleh dua segi: pertama, dari segi kebenaran
materinya dan keduadari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum.
Dari segi kebenaran materinya kekuatan hadits mengikuti kebenaran
pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat, yaitu: mutawatir, masyhur,
danahad sebagaimana dijelaskan diatas.
Khabar mutawatir ditinjau dari segi kuantitas sahabat yang
meiwayatkannya dari Nabi dan juga kuantitas yang meriwayatkannya
dari sahabat dan seterusnya adalah qath i dalam arti diyakini
kebenarannya bahwa hadits itu benar dari Nabi. Meskipun jumlah hadits
mutawatir ini tidak banyak namun mempunyai kekuatan sebagai dalil
sebagaimana kekuatan Al-Qur’an. Khabar mutawatir mempunyai
kekuatan tertinggi di dalam periwayatan dan menghasilkan kebenaran
tentang apa yang diberitakan secara mutawatir sebagaima kebenaran
yang muncul dari hasil pengamatan. Para ulama sepakat mengatakan
bahwa khabar mutawatir menghasilkan ilmu yakin meskipun mereka
berbeda pendapat dalam menetapkan cara sampai kepada ilmu yakin itu
secara tanpa memerlukan pembuktian atau memerlukan pembuktian
kebenarannya. Untuk sampainya khabar mutawatir itu kepada ilmu yakin
harus terpenuhi syarat-syarat tertentu. Di antaranya syarat-syarat itu
disepakati oleh ulama dan syarat lainnya diperselisihkan. Syarat-syarat
yang disepakati ada yang menyangkut pembawa berita.

3. Fungsi Hadits
Dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar
ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang
secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari hadits.
Dengan demikian fungsi hadits yang utama adalah untuk menjelaskan
Al-Qur’an. Hal ini telah sesuai dengan penjelasan Allah dalam surat An-
Nahl :64
Artinya: Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini,
melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang
mereka perselisihkan itu.
Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum
fiqh, maka Hadits disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai
bayani dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, ia menjalankan fungsi
senagai berikut :
Menguatkan dan mengaskan hukum-hukumyang tersebut dalam Al-
Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits
hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam Al-Qur’an.
Umpanya Firman Allah dalam surat Al-Baqarah :110 yang artinya :
“ Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat “ ayat itu dikuatkan oleh
sabda Nabi yang artinya :
“ Islam itu didirikan dengan lima pondasi : kesaksian bahwa tidak ada
tuhan selain Allah dan muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat,
menunaikan zakat.
Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an
dalam hal :
Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secari garis besar.
Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur’an
Contoh menjelaskan arti kata dalam Al-Qur’an umpamanya kata shalat
yang masih samar artinya, karena dapat saja shalat itu berarti do’a
sebagaimana yang biasa dipahami secara umum waktu itu. Kemudian
Nabi melakukan serangkaian perbuatan, yang terdiri dari ucapan dan
pebuatan secara jelas yang dimulai dari takbiratul ihram dan berakhir
dengan salam. Sesudah itu Nabi bersabda :inilah shalat itu, kerjakanlah
shalat sebagimana kamu melihat saya mengerjakan shalat.
Menetapkan suatu hukum dalam hadits yang secara jelas tidak terdapat
dalam Al-Qur’an. Dengan demikian kelihatan bahwa Hadits menetapkan
sendiri hukumyang tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits
dalam bentuk ini disebut itsbat. Sebenarnya bila diperhatikan dengan
teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan hadits itu pada hakikatnya
adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung Al-Qur’an atau
memperluas apa yang disebutkan Al-Qur’an secara terbatas. Umpamanya
Allah SWT mengharamkan memakan bangkai, darah, dan daging babi.
Larangan Nabi ini menurut lahirnya dapat dikatakan sebagai hhukum
baru yang ditetapkan oleh Nabi, karena memang apa yang diharamkan
Nabi ini secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Tetapi kalau
dipahami lebih lanjut larangan Nabi itu hanyalah sebagai penjelasan
terhadap larangan Al-Qur’anlah memakan sesuatu yang kotor.

4. Hadits Yang Dilihat Dari Banyak Sedikitnya Perawi


a. Hadits Mutawatir
1) Ta’rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-
iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain. Sedangkan
menurut istilah ialah:
“Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh
sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka
berkumpul dan bersepakat untuk dusta.”
Artinya:
“Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah
rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta,
hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak
terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.”
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala
berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera,
seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji
maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh
orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat
mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan
haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis
itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian
hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus
dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut.
Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi
menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau
mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan
pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya.
Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang
yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara
mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak
mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah
secara mutawatir.

2) Syarat-Syarat Hadits Mutawatir


Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus
berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya
bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil
pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa- peristiwa yang
lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil
tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh
pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir
walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang
banyak.
b. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat
mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama
berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak
memungkinkan bersepakat dusta.
Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul
Azmi.
Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal
tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang
orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-
orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya
40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:“Wahai nabi
cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi
penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat
(lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits
mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak
jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa
hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang
demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa
mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas
tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang
menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang
dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya
sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan
ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits
mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-
Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir
Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin
Jafar Al-Khattani (1345 H).

3) Faedah Hadits Mutawatir


Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan
untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan
mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti), dengan
seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar
menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan
oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap
rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak
diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai
ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh
karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan
semua hadits mutawatir.
Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti
tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri
dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu
daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).

4) Pembagian Hadits Mutawatir


Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
1. Hadits Mutawatir Lafzi
Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi
antara lain :
“Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para
rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya.”
Pengertian lain hadits mutawatir lafzi adalah :
“Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh
sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi.”
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :
“Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang sengaja
berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki
tempat duduk di neraka.”
Silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut :
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas
diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi
dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits
itu diterima 200 sahabat.
2. Hadits mutawatir maknawi
Hadits mutawatir maknawi adalah :
Artinya :
“Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat
diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum.”
Artinya:
“Hadis yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa
menghiraukan perbedaan pada lafaz.”
Jadi hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang
para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis
tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam
maknanya.
Contoh :
Artinya :
“Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau
dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa’ dan beliau
mengangkat tangannya, sehingga nampak putih- putih kedua
ketiaknya.” (HR. Bukhari Muslim)
Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak,
yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-
beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam
ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :
Artinya :
“Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua
pundak beliau.”
3. Hadis Mutawatir Amali
Hadis Mutawatir Amali adalah :
Artinya :
“Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal
dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin
bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk
melakukannya atau serupa dengan itu.”
Contoh :
Kita melihat dimana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan
jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa
hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan
kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW
melakukannya atau memerintahkannya demikian.
Di samping pembagian hadis mutawatir sebagimana tersebut di
atas, juga ulama yang membagi hadis mutawatir menjadi 2
(dua) macam saja. Mereka memasukkan hadis mutawatir amali
ke dalam mutawatir maknawi. Oleh karenanya hadis mutawatir
hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi.
b. Hadits Ahad
Hadis ahad adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang, dua
orang atau lebih yang tidak mencapai tingkatan mutawatir. Dan
hukumnya wajib diamalkan apabila memenuhi syarat-syarat qabul-
nya sebuah hadis ahad tersebut. Hadis ahad terbagi tiga yaitu :
1) Hadis Ahad Masyhur, yaitu hadis yang diriwayatkan tiga orang
atau lebih (dalam suatu thabaqahnya) namun tidak mencapai
derajat mutawatir. Hadis masyhur disebut juga hadis mustafidh
walaupun terdapat perbedaan, yaitu hadis mustafidh jumlah
rawinya tiga orang atau lebih, mulai dari tabaqat pertama hinggah
thabaqat akhir. sedangkan hadis masyhur jumlah rawinya untuk
tiap thabaqat tidak harus tiga orang, bahkan sebuah hadis yang
diriwayatkan seorang rawi pada awalnya tetapi pada thabaqat
selanjutnya diriwayatkan banyak orang, juga termasuk hadis
masyhur. Hadis masyhur ada yang shahih dan ada yang dhaif
karena ke-shahihan sebuah hadis masyhur tidaklah identik dengan
ke-masyhuran-nya tetapi ke-shahih-an hadis ditentukan oleh rawi,
sanad dan matannya.
2) Hadis Ahad ‘Aziz, yaitu hadis yang diriwayatkan dua orang pada
setiap thabaqat rawinya, atau hadis yang diriwayatkan oleh
kurang dari dua orang dari dua orang perawi pertama. Bahkan
menurut Ibn Hibban bahwa jika sebuah hadis terdapat di
dalamnya dua orang rawi pada salah satu thabaqatnya maka hadis
tersebut juga dinamakan hadis ‘aziz, dengan alasan bahwa tidak
satupun hadis yang diriwayatkan oleh dua orang. Dua orang pada
setiap thabaqatnya.
3) Hadis Ahad Gharib, yaitu hadis yang terdapat di antara mata
rantai perawinya satu orang (penyendirian). Hadis gharib terbagi
dua yaitu :
a. Hadis Gharib Mutlak, yaitu hadis yang terdapat penyendirian
sanad menurut jumlah personilnya.
b. Hadis Gharib Nusbi, yaitu hadis yang terdapat penyendirian
dalam sifat, tempat tinggal, atau golongan tertentu misalnya
antara ayah dan anak.
c. Hadis ahad dari segi kualitasnya juga dibagi tiga bagian yaitu
hadis shahih, hadis hasan dan hadis dha’if. Namun dalam
pembahasan selanjutnya penulis hanya akan mengemukakan
hadis shahih dan hadis hasan serta hukum pengamalannya.
(lihat pada referensi terkait)

5. Pembagian hadits menurut kualitasnya


a. Hadits Shahih
1) Pengertian Hadits Shahih
Kata shahîh secara etimologi dari kata shahha, yashihhu, shuhhan wa
shihhatan wa shahhâhan. Yang menurut bahasa berarti sehat, yang
selamat, yang benar, yang sah, dan yang sempurna yang merupakan
lawan dari saqim (sakit).
Menurut ‘ulama ahli hadits, definisi hadits shahih secara terminologi
adalah:

‫ما رواه عدل تام الضبط متصل مسند غير معلل وال شاذ‬
“Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna
kedhabitannnya, bersambung terus sanadnya kepada Nabi s.a.w.,
tidak ber-illat (ada sesuatu yang cacat) dan tidak syadz (bersalahan
riwayat itu dengan riwayat yang lebih raih dari padanya).”[1]
Al-‘Iraqi juga mengemukakan definisi yang hampir sama, akan
tetapi dalam dua syarat ia memberikan penekanan khusus dengan
menambahkan kata-kata lainnya, yaitu: pertama, pada ke-dhabit--an
ia menyebutkan dhabit al-fuad (kekuatan ingatan/kecerdasan).
Artinya ia menekankan kekuatan menghafal hadits, yang berbeda
dengan dhabit al-kitab; dan kedua, pada ‘illat, ia menyebutkan ‘illat
qodihah (‘illat yang merusak atau mencacatkan)
2) Syarat-syarat Hadits Shahih
Berdasarkan beberapa definisi hadits shahih maka sebagaimana
dikemukakan oleh para ‘ulama hadits, diketahui ada lima syarat yang
harus dipenuhi, diantaranya:
a. ‫ اتصال السند‬artinya hadits shahih adalah hadits yang musnad (hadits
yang lagsung marfu’ kepada Nabi saw)
b. ‫ العدل‬artinya diriwayatkan oleh tokoh sanad hadits yang bersifat
adil
c. ‫ الضبط‬semua perawinya dhabith, artinya perawi hadits tersebut
memiliki ketelitian dalam menerima hadits, memahami apa yang
ia dengar, serta mampu mengingat dan menghafalnya sejak ia
menerima hadits.
d. ‫ غير شاذ‬hadits shahih bukanlah hadits yang syadz (kontroversial)
atau sejahtera dari keganjilan (tidak bertentangan dengan riwayat
yang lebih rajih).
e. ‫ غير معال‬hadits shihih bukan hadits yang terkena ‘illat (cacat).
Kelima persyaratan di atas merupakan tolak ukur untuk menentukan
suatu hadits itu sebagai hadits shahih. Apabila kelima syarat
terpenuhi secara sempurna, maka hadits tersebut dinamai hadits
Shahih Lidzatihi.
3) Macam-macam Hadits Shahih
Para ‘ulama membagi hadits shahih menjadi dua, yaitu Shahih
Lidzatihi dan Shahih Lighairihi.
a. Shahih Lidzatihi
Hadits Shahih Lidzatihi adalah hadits yang dirinya sendiri telah
memenuhi kriteria ke-shahih-an sebagaiman disebutkan di atas, dan
tidak memerlukan penguat dari yang lainnya.
Contoh hadits Shahih Lidzatihi:
Diberitahukan oleh Ibn Umar bahwasannya Nabi s.a.w. bersabda:
‫ شهادة ان الاله اال هللا وان محمدا رسول هللا واقام الصالة وايتاء‬:‫بني اإلسالم على خمس‬
‫الزكاة وصوم رمضان والحج‬
b. Shahih Lighairihi
Hadits Shahih Lighairihi adalah hadits yang keshahihannya dibantu
oleh adanya keterangan lain. Hadits kategori ini pada mulanya
memiliki kelemahan pada aspek ke-dhabit-an perawinya (qalil adh-
dhabth). Di antara perawinya ada yang kurang sempurna
kedhabitannya, sehingga dianggap tidak memenuhi syarat untuk
dikategorikan untuk menduduki derajat hadits Shahih Lidzatihi
Contoh hadits Shahih Lighairihi
Diberitakan oleh Abu Hurairah r.a:
‫ لوال ان اشق على امتى المرتهم بالسواك عند كل صالة‬:‫ان رسل هللا ص م قال‬
Contoh di atas merupakan hasil penelitian para ‘ulama yang dinukil
oleh Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya Pokok-
pokok Ilmu Dirayah Hadits
4) Hukum dan Ke-hujjah-an Hadits Shahih
Para ‘ulama hadits, demikian juga para ‘ulama Ushul Fiqh dan
Fuqaha, sepakat menyatakan bahwa hukum hadits shahih adalah
wajib untuk menerima dan mengamalkannya. Hadits shahih adalah
hujjah dan dalil penetapan hukum syara’, oleh karenanya tidak ada
alasan bagi setiap muslim untuk meninggalkannya

b. Hadits Hasan
1) Pengertian Hadits Hasan
Hasan berasal dari kata hasuna, yahsunu, yang berarti baik. Menurut
Ath-Thibi Hadits hasan adalah:
‫مسند من قرب من درجة الثقه اومرسل ثقة وروي كالهما من غير وجه وسلم من شذوذ‬
‫وعلة‬
“Hadits musnad (muttasil dan marfu’) yang sanad-sanadnya
mendekati derajat tsiqah, atau hadits mursal yang sanadnya tsiqah,
akan tetapi pada keduanya ada perawi lain. Hadits itu terhindar dari
syudzudz dan ‘illat.”
Mengenai istilah, telah terjadi perselisihan di antara para ‘ulama,
karena hadits hasan terletak di antara hadits shahih dan hadits dha’if.
Hadits hasan ialah hadits yang sanadnya bersambung, yang
diriwayatkan oleh orang yang adil tetapi kurang sedikit dhabith,
tidak terdapat di dalamnya suatu kejanggalan dan tidak juga terdapat
cacat.
2) Syarat-syarat Hadits Hasan
Syarat-syarat hadits hasan sama seperti halnya hadits shahih, dengan
melihat pengertian hadits hasan itu sendiri, yang berbeda hanya
bidang hafalannya. Untuk hadits hasan, hafalan rawi ada yang
kurang sedikit bila dibandingkan dengan hadits shahih.
3) Macam-macam Hadits Hasan
Seperti halnya hadits shahih, hadits hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
hadits hasan lidzatihi dan hadits hasan lighairihi.
a. Hadits hasan lidzatihi
Hadits hasan lidzatihi ialah hadits yang bersambung-sambung
sanadnya dengan orang yang adil yang kurang kuat hafalannya dan
tidak terdapat padanya syudzudz dan ‘illat.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi dan
Abu Hurairah, bahwasannya Rasul bersabda:
‫لوال ان اشق على امتى ال مرتهم بالسواك عند كل صالة‬
“Sekiranya tidak aku memberatkan umatku, tentulah aku
memerintahkan mereka beristiwak di tiap-tiap shalat”.
b. Hadits hasan lighairihi
Hadits hasan lighairihi adalah hadits yang di dadalam isnadnya
terdapat orang yang tidak diketahui keadaannya, tidak bisa
dipastikan kelayakan atau tidaknya. Namun ia bukan orang yang
lengah yang banyak berbuat salah dan tidak pula berbuat dusta.
Sedangkan matannya didukung oleh muttabi’ atau syahidz.
Contoh hadits hasan lighairihi:
‫ نعم فاجاز‬:‫ارضيت من نفسك ومالك بنعلين؟ قالت‬
“Apakah engkau suka menyerahkan diri engkau dan harta engkau
dengan hanya sepasang sepatu? Perempuan tersebut menjawab: ya,
maka Nabi s.a.w. membernarkannya
Dalam keterangan beberapa buku ada yang mempersingkat bahwa
hadits hasan lidzatihi (hasan dengan sendirinya) dan hadits hasan
lighairihi (hasan dengan topangan hadits lain).
4) Hukum dan Kehujjahan Hadits Hasan
Para Imam ahli hadits mengatakan, bahwa hadits hasan sama dengan
hadits shahih, walaupun hadits hasan itu lebih kurang dari hadits
shahih dari segi kekuatan. Karena itu, segolongan ‘ulama
mengatakan, bahwa hadits itu berada di bawah hadits shahih. Dan
walaupun demikian hadits hasan dapat diterima dan dipergunakan
sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan dibidang hukum atau
bidang aqidah, pendapat inilah yang paling banyak dianut.

c. Hadits Dha’if
1. Pengertian Hadits Dha’if
Hadits dha’if menempati urutan ketiga dalam pembagian hadits
menurut kualitas haditsnya. Atau yang paling tepat hadits yang
padanya tidak terdapat ciri hadits shahih dan hasan.
Kata dha’if secara bahasa adalah lawan dari al-Qowiy, yang berarti
lemah, Hadis Dha’if ini adalah Hadis mardud, yaitu Hadis yang diolak
dan tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam menetapkan suatu
hukum
Sedang menurut istilah, Ibnu Shalah memberikan definisi :
‫ما لم يجمع صفات الصحيح والصفات الحسن‬
Artinya: “Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat
hasan”.
Zinuddin Al-Traqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan
kalimat yang seharusnnya dihindarkan, menurut dia cukup:
‫ما لم يجمع صفات الحسن‬
Artinya: “yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan”
Karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan sudah
barang tentu tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih
Para ‘ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if :
‫الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح وال صفات الحديث‬
Artinya:
“hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits
shahih dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan
Hadits dha’if juga dikatakan hadits mardud (yang ditolak) karena
tidak adanya sesuatu syarat-syarat yang menerimanya. Tegasnya
hadits dha’if adalah hadits yang didapati padanya sesuatu yang
menolaknya. Definisi hadits dha’if adalah: “hadits yang kehilangan
satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits
hasan”.

2. Macam-macam Hadits Dha’if


Jenis Hadis Dha’if sangat banyak dan tidak cukup jika dijelaskan
secara keseluruhan dalam makalah ini, untuk itu penulis berusaha
untuk memilah menjadi tiga macam hadits dha’if berdasarkan:
a. Hadits dha’if disebabkan oleh terputusnya sanad
1) Hadits Mursal
Kata “Mursal” secara etimologi diambil dari kata “irsal” yang
berarti “Melepaskan”, adapun pengertian hadits mursal secara
terminologi ialah hadits yang dimarfu’kan oleh tabi’in kepada Nabi
Saw. Artinya, seorang tabi’in secara langsung mengatakan,
“bahwasanya Rasulullah Saw bersabda…..”
Maksud dari definisi diatas dapat dipahami bahwa seorang tabi’in
mengatakan Rasulullah saw berkata demikian, dan sebagainya,
sementara Tabi’in tersebut jelas tidak bertemu dengan Rasulullah
saw. Dalam hal ini Tabi’in tersebut menghilangkan sahabat sebagai
generasi perantara antara Rasulullahh saw dengan tabi’in.
Definisi seperti inilah yang banyak digunakan oleh ahli Hadits,
hanya mereka tidak memberikan batasan antara tabi’in kecil dan
besar. Namun ada juga sebagian ‘ulama hadits yang memberikan
batasan Hadits Mursal ini hanya dimarfu’kan kepada tabi’i besar
saja karena periwayatan tabi’i besar adalah sahabat dan Hadits
yang dimarfu’kan kepada tabi’i yang kecil termasuk Hadits
Munqati’.
Sebagai contoh, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik
dalam kitab Al-Muwqaththa’, dari Zaid bin Aslam, dari Atha’ bin
Yasar, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
‫ان سدة الحر من فيح جهنم‬
“sesungguhnya cuaca yang sangat panas itu bagian dari uap neraka
Jahannam”
Contoh yang lain adalah, Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
dalam kitab Shahihnya pada bagian “jual beli” (kitab al-buyu’) dia
berkata : “telah menceritakan kepadaku Muhammad Ibnu Rafi’,
telah menceritakan kepada kami Hujjain, telah menceritakan
kepada kami al-Laits, dari Uqail dari Ibnu Shihab dari Ibnu Ssaid
ibnu Musayyab, bahwa Rasulullah saw melarang menjual kurma
yang masih berada dipohon, dengan kurma yang sudah
dikeringkan.”
Said bin Musayyab adalah seorang tabi’i besar. Dia meriwayatkan
Hadits ini tanpa menyebutkan perawi (sahabat) yang menjadi
perantara antara dirinya dengan Rasulullah saw. Dalam hal ini Ibnu
Musyayyab telah menggugurkan akhir dari perawinya yaitu sahabat.
Bisa saja selain dari sahabat yang digugurkannya ada tabi’i lain
yang juga digugurkannya.
Klasifikasi Hadits Mursal:
Sebagaimana diterangkan bahwa Hadits mursal adalah hadits yang
jalan sanadnya menggugurkan perawi yang terakhir yaitu sahabat
yang langsung menerima hadis tersebut dari Rasulullah saw.
Diitinjau dari segi siapa yang menggugurkan dan dari sifat-sifatnya,
maka hadis mursal ini terdiri dari tiga bagian:
1. Mursal Shahabi, yaitu: Pemberitaan sahabat yang disandarkan
kepada Rasulullah saw tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan
sendiri apa yang ia beritakan, lantaran disaat Rasulullah saw masih
hidup ia masih kecil atau terbelakang masuk Islamnya.[11] Hadis
Mursal shahabi ini tidak dipermasalahkan apabila seluruh perawi
dalam sanadnya termasuk dalam kategori adil, sehingga
kemajhulannya tidak bersifat negatif.
2. Mursal Khafi’ yaitu: Hadits yang diriwayatkan oleh tabi’i namun
tabi’i yang meriwayatkan hadits tersebut hidup sezaman dengan
sahabat tetapi tidak pernah mendengar ataupun menyaksikan hadits
langsung dari Rasulullah saw.
3. Mursal Jali, yaitu: apabila penggugurannya dilakukan oleh rawi
(tabi’i) dapat diketahui jelas sekali oleh umum, bahwa orang yang
menggugurkan tersebut tidak pernah hidup sezaman dengan orang
yang digugurkannya atau yang menerima berita langsung dari
Rasulullah saw
2) Hadits Munqati
Hadits munqati menurut bahasa artinya terputus. Menurut sebagian
para ulama hadits, hadits munqati’ ialah hadits yang mana di dalam
sanadnya terdapat seseorang yang tidak disebutkan namanya oleh rawi,
misalnya perkataan seorang rawi, “dari seorang laki-laki”. Sedang
menurut para ‘ulama lain bahwa hadits muntaqi’ ialah hadits yang
dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang gugur (tidak disebutkan)
dari rawi-rawi sebelum sahabat, baik dalam satu atau beberapa tempat,
namun rawi yang gugur itu tetap satu dengan syarat bukan pada
permulaan sanad
Definisi lain menyebutkan hadis munqati’ adalah hadits yang dalam
sanadnya gugur seorang perawi dalam satu tempat atau lebih atau di
dalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham. Dari segi
gugurnya perawi, ia sama dengan hadits mursal hanya saja jika hadits
mursal dibatasi dengan gugurnya sahabat, sementara dalam hadits
munqati’ tidak ada batasan seperti itu. Jadi bila terdapat gugurnya
perawi baik diawal, di tengah ataupun diakhir pada suatu hadits maka
dia disebut dengan hadits munqati’.
3) Hadits Mudallas
Hadits mudallas menurut bahasa, berarti hadits yang sulit dipahami.
Kata mudallas adalah isim maf’ul dari dallasa yang berarti gelap atau
berbaur dengan gelap. Menurut ilmu hadits, mudallas adalah hadits
yang diriwayatkan seorang rawi dari orang yang hidup semasanya,
namun ia tidak pernah bertemu dengan orang yang diriwayatkannya
tersebut dan tidak mendengarnya darinya karena kesamaran
mendengarkannya
Para ‘ulama memberi batasan hadits mudallas adalah hadits yang
gugur dua orang rawinya atau lebih secara beriringan dalam sanadnya,
contohnya: “telah sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah Saw bersabda:
(‫للمملك طعامه وكسوته بالمعروف )رواه مالك‬
Artinya:
“Budak itu harus diberi makanan dan pakayan secara baik”. (HR.
Malik)
4) Hadits Muallaq
Hadits muallaq menurut bahasa berarti hadits yang tergantung. Dari
segi istilah, hadits muallaq adalah hadits yang gugur satu rawi atau
lebih diawal sanad. Contoh: Bukhari berkata, kata Malik, dari Zuhri,
dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
‫التقاضلوابين األنبياء‬
Artinya:
“Janganlah kamu melebihkan sebagian Nabi dan sebagian yang lain”.
(HR. Bukhari)[16]
5) Hadits mu’dhal
Hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang sanadnya atau
lebih secara berturut-turut.
Menurut kesimpulan di atas tadi dapat diambil kesimpulan bahwa
hadits dha’if karena gugurnya rawi artinya tidak adanya satu, dua,
atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik
pada permulaan, pertengahan, maupun diakhir sanad.

b. Hadits dha’if ditinjau dari segi cacatnya perawi


1) Hadits Maudhu’
Hadits maudhu’ ialah hadits yang bukan hadits Rasulullah saw tapi
disandarkan kepada beliau oleh orang secara dusta dan sengaja atau
secara keliru tanpa sengaja. Contoh:
‫اليدخل ولد الزنا الجنة الي سبع ابتاء‬
Artinya:
“Anak jin tidak masuk surga hingga tujuh turunan”.
2) Hadits Matruk
Hadits matruk ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi,
yang menurut penilaian seluruh ahli hadits terdapat catatan
pribadinya sebagai seorang rawi yang dha’if. Contoh: hadits riwayat
Amr bin Syamr, dari Jabir Al-Ju’fi, dari Haris, dari Ali. Dalam hal
ini Amr termasuk orang yang haditsnya ditinggalkan.
Hadis matruk adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan dan
diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta dalam periwayatan
hadits, dalam hadits nabawi, atau sering berdusta dalam
pembicaraannya atau terlihat jelas kefasikannya, melalui perbuatan
ataupun kata-kata, serta sering kali salah atau lupa. Misalnya hadits
Amr bin Samar dari jabir al-Jafiy.
Yang dimaksud dengan rawi tertuduh dusta yaitu seorang rawi yang
dalam pembicaraan selalu berdusta, tetapi belum dapat dibuktikan
bahwa ia berdusta dalam membuat hadits. Adapun orang yang
berdusta di luar pembuatan hadits ditolak periwayatannya.
3) Hadits Munkar
Hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dha’if
yang berbeda dengan riwayat rawi yang tsigah (terpercaya). Contoh:
‫من اقام الصالة واتي الزكاة وحج وصام وقري الضيق ودخل الجنة‬.
Artinya:
“Barang siapa mendirikan shalat, menunaikan zakat, melakukan haji,
berpuasa, dan menjamu tamu, maka dia masuk surga”.
Hadits munkar adalah hadits yang perawinya sangat cacat dalam
kadar sangat keliru atau nyata kefasikannya. Para ‘ulama hadits
memberikan definisi yang berfariasi tentang hadits munkar ini. Di
antaranya ada dua definisi yang selalu digunakan, yaitu:
a. Hadits yang terdapat pada sanadnya seorang perawi yang sangat
keliru, atau sering kali lupa dan terlihat kefasikannya secara nyata.
b. Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dha’if yang hadits
tersebut berlawanan dengan yang diriwayatkan oleh perawi yang
tsiqoh.
4) Hadits Muallal
Muallal menurut istilah para ahli hadits ialah hadits yang di
dalamnya terdapat cacat yang tersembunyi, yang bisa mengakibatkan
cacatnya hadits itu, namun dari sisi lahirnya cacat tersebut tidak
tampak. Contoh:
‫ البيعان بالخيار مالم يتفرقا‬: ‫قال رسول هللا صلي هللا عليه وسلم‬
Artinya:
“Rasulullah bersabda: penjual dan pembeli boleh berikhtiar, selama
mereka masih belum berpisah”
Hadits Muallal adalah hadits yang cacat karena perawinya al-Wahm,
yaitu hanya persangkaan atau dugaan yang tidak mempunyai
landasan yang kuat. Umpamanya, seorang perawi yang menduga
suatu sanad adalah muttashil (bersambung) yang sebenarnya adalah
munqathi’ (terputus), atau dia mengirsalkan yang mutthasil, dan
memauqufkan yang maru’ dan sebagainya.
5) Hadits Mudraj
Hadits mudraj adalah hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya
bukan bagian hadits itu. Contoh:
‫ والزعيم الحميل لمن أمن بي واسلم‬،‫ انا زعيم‬:‫قال رسول هللا صلي هللا عليه وسلم‬
(‫وجاهدفي سبيل هللا يبيت في ريض الجنة )رواه النسائ‬
Artinya:
“Rasulullah saw bersabda: saya itu adalah Zaim dan Zaim itu adalah
penanggungjawab dari orang yang beriman kepadaku, taat dan
berjuang di jalan Allah, dia bertempat tinggal di dalam surga.” (HR.
Nasa’i)
Idraj berarti memasukkan Sesuatu kepada suatu yang lainnya dan
menggabungkannya kepada yang lain itu, dengan kata lain hadits
mudraj adalah hadits yang di dalamnya terdapat kata-kata tambahan
yang bukan dari bagian hadits tersebut. Hadits mudraj ada dua yaitu :
Mudraj Isnad: seorang perawi menambahkan kalimat-kalimat dari
dirinya sendiri saat mengemukakan sebuah hadits disebabkan oleh
suatu perkara sehingga orang yang meriwayatkan selanjutnya
menganggap apa yang diucapkannya adalah juga bagian dari hadits
tersebut.
Mudraj Matan: sesuatu yang dimasukkan ke dalam matan suatu
hadits yang bukan merupakan matan dari hadits tersebut, tanpa ada
pemisahan di antaranya (yaitu antara matan hadits dan sesuatu yang
dimasukkan tersebut). Atau memasukkan suatu perkataan dari
perawi kedalam matan suatu hadits, sehingga diduga perkataan
tersebut berasalah dari perkataan Rasulullah saw.
6) Hadits Maqlub
Hadits maqlub ialah hadits yang di dalamnya terdapat perubahan,
baik dalam sanad maupun matannya, baik yang disebabkan
pergantian lafadz lain atau disebabkan susunan kata yang terbalik,
contoh:
‫إذا سجد احدكم فال يبرك كمايبرك البعير وليضع يديه قبل وكبته‬
Artinya:
“ Apabila salah seorang kamu sujud, jangan menderum seperti
menderumnya seekor unta, melainkan hendaknya meletakkan kedua
tangannya sebelum meletakkan kedua lututnya,” (HR. Al- Turmudji,
dan mengatakannya hadits ini gharib)
Hadits maqlub yaitu hadits yang lafadz matannya tertukar pada salah
seorang perawi pada salah seorang perawi atau seseorang pada
sanadnya. Kemudian didahulukan dalam penyebutannya, yang
seharusnya disebut belakangan atau mengakhirkan penyebutannya,
yang seharusnya didahulukan atau dengan diletakkannya sesuatu
pada tempat yang lain.

7) Hadits Syadz
Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi
yang terpercaya, yang berbeda dalam matan atau sanadnya dengan
riwayat rawi yang relatif lebih terpercaya, serta tidak mungkin
dikompromikan antara keduanya. Contoh: hadits syadz dalam matan
adalah hadits yang diriwayatkan oleh muslim, dari Nubaisyah Al-
Hudzali, dia berkata, Rasulullah bersabda:
‫ايام التشريق ايام اكل وشرب‬
Artinya:
“Hari-hari tasyrik adalah hari-hari makan dan minum
8) Hadits Mudhtharib
Hadits Mudhtharib adalah Hadits yang diriwayatkan dalam bentuk
yang berbeda yang masing-masing sama kuat.
9) Hadis Mushahhaf
Hadis Mushahhaf yaitu hadits yang dirubah kalimatnya, yang tidak
diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqot, baik secara lafadz
maupun makna hadits ini ada yang berubah sanadnya dan adapula
berubah matannya.
Jadi, kesimpulan bahwa hadits yang cacat rawi dan matan atau
kedua-duanya digolongkan hadits dha’if yang terbagi menjadi tujuh,
yaitu: hadits maudu’ (palsu), hadits matruk (yang ditinggalkan) atau
hadits matruh (yang dibuang), hadits munkar (yang diingkari), hadits
muallal (terkena ‘illat), hadits mudraj (yang dimasuki sisipan), hadits
maqlub (yang diputar balik), dan hadits syadz (yang ganjil), hadits
Mudhtharib, dan hadits mushahhaf.

c. Hadits dha’if ditinjau dari sifat matannya


Para ahli hadits memasukkan ke dalam kelompok hadits dha’if dari sudut
penyandarannya ini adalah hadits mauquf dan hadits maqhthu’.
1) Hadits mauquf
Hadits mauquf adalah hadits yang diriwayatkan dari para sahabat baik
berupa perkataan, perbuatan, atau taqrirnya. Periwayatannya baik
bersambung atau tidak.
2) Hadits maqthu’
Hadits maqthu’ adalah hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan
disandarkan kepadanya, baik perkataan maupun perbuatannya. Dengan
kata lain bahwa hadits maqthu’ adalah perkataan atau perbuatan tabi’in.
3. Hukum dan Kehujjahan Hadits Dha’if
Hadits dha’if ada kalanya tidak bisa ditolerir kedha’iffannya, misalnya
karena kemaudhu’annya, ada juga yang bisa tertutupi kedha’iffannya
(karena ada faktor yang lainnya). Untuk yang pertama tersebut,
berdasarkan kesepakatan para ‘ulama hadits, tidak diperbolehkan
mengamalkannya baik dalam penetapan hukum-hukum, akidah maupun
fadhail al ‘amal.
Sementara untuk jenis yang kedua dalam hal kehujjahannya hadits dha’if
tersebut, ada yang berpendapat menolak secara mutlak baik unuk
penetapan hukum-hukum, akidah maupun fadhail al ‘amal dengan alasan
karena hadits dha’if ini tidak dapat dipastikan datang dari Rosulullah saw.
Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Imam al-Bukhari, Imam
Muslim, dan Abu Bakr ibnu al-‘Arabi.
Sementara bagi kelompok yang membolehkan beramal dengan hadits
dha’if ini secara mutlak adalah Imam Abu Hanifah, an-Nasa’i dan juga
Abu Daud. Mereka berpendapat bahwa megamalkan hadits dha’if ini
lebih disukai dibandingkan mendasarkan pendapatnya kepada akal
pikiran atau qiyas. Imam ibnu Hambal, Abd al-Rahman ibn Al-Mahdi
dan Abdullah ibn al-mubarak menerima pengalaman hadits dha’if sebatas
fadhail al-‘amal saja, tidak termasuk urusan penetapan hukum seperti
halal dan haram atau masalah akidah.
Sementara As-Suyuti sendiri cenderung membolehkan beramal dengan
hadits dha’if termasuk dalam masalah hukum dengan maksud ikhtiyath.
Ia mendasarkan pada pendapat Abu Daud, Imam ibn Hambal yang
berpendapat bahwa itu lebih baik dibanding menggunakan akal atau rasio
atau pendapat seseorang.
Dalam keterangan lain, ada tiga pendapat ‘ulama tentang pengamalan
dan penggunaan hadits dha’if:
Hadits Dha’if tidak diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadhail
maupun ahkam dan ini merupakan pendapat kebanyakan ‘ulama
termasuk Imam Bukhari dan Muslim.
Hadits Dha’if bisa diamalkan secara mutlak, ini merupakan pendapat
Abu Daud dan Imam Ahmad yang lebih mengutamakan Hadis Dha’if
dibandingkan ra’yu seseorang.
Hadits Dha’if dapat digunakan dalam masalah fadhail mawa’iz atau
sejenis dengan memenuhi kriteria yang ada

6. Perawi Hadits
a. Imam Bukhari (194-256 H/ 773-835 M)
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al
Bukhari bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah. Beliau
dilahirkan di Bukhara, Uzbekistan setelah Shalat Jumat, pada tanggal
13 Syawal 194 H/810 M. Muhadditsin ini sangat wara’, banyak
membaca Al Qur’an siang malam serta, gemar berbuat kebajikan.
Sejak umur 10 tahun, dia sudah mempunyai hafalan hadits yang tidak
sedikit jumlahnya. Beliau telah menulis Kitab Hadits yang memuat
600.000 hadits kemudian beliau pilih lagi menjadi 100.000 hadits
shahih dan 1000 hadits TIDAK shahih.
Shahih al-Bukhari adalah karya utama Imam Bukhari. Judul lengkap
buku beliau ini adalah Al-Jami’ ash-Shahih al- Musnad al-Mukhtashar
min Umūri Rasūlillah Shallallahu ’alayhi wa Sallam wa Ayyamihi
(Jami’us Shahih), yakni kumpulan hadits-hadits shahih. Beliau
menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk menyusun bukunya ini.
Beliau memperoleh hadits dari beberapa hafizh, antara lain Maky bin
Ibrahim, Abdullah bin Usman Al Marwazy, Abdullah bin Musa Al
Abbasy, Abu Ashim As Syaibany dan Muhammad bin Abdullah Al
Anshari. Karya-karya lainnya antara lain:
· Qadlayas Shahabah Wat Tabi’in
· At Tarikhul Kabir
· At Tarikhul Ausath
· Al ‘Adabul Munfarid
· Birrul Walidain.
Dalam kitab jami’nya, beliau menuliskan 6.397 buah hadits, dengan
yang terulang. Yang muallaq sejumlah 1.341 buah, dan yang mutabi’
384 buah, jadi seluruhnya berjumlah 8.122 buah. Beliau wafat pada
malam Sabtu selesai shalat Isya’, tepat pada malam Idul Fitri tahun
252 H/870 M dan dikebumikan di Khirtank, kampung yang tidak jauh
dari Samarkand.

b. Imam Muslim (204-261 H/ 783-840 M)


Beliau mempunyai nama lengkap Abul Husain Muslim bin Al Hajaj
Al Qusyairy. Beliau dilahirkan di Nisabur, Iran tahun 204 H/820 M.
Dia adalah muhadditsin dan hafidz yang terpercaya. Dia pergi ke
berbagai kota untuk berguru hadits kepada Yahya bin Yahya, Ishaq
bin Rahawaih, Muhammad bin Mahran, Abu Hasan, Ibnu Hanbal,
Abdullah bin Maslamah, Yazid bin Mansur dan Abu Mas’ad, Amir
bin Sawad, Harmalah bin Yahya, Qatadah bin Sa’id, Al Qa’naby,
Ismail bin Abi Uwais, Muhammad bin Al Mutsanna, Muhammad bin
Rumhi dan lain-lain. Dalam bidang hadits, beliau memiliki karya
Jami’ush Shahih. Jumhur ulama mengakui kitab Shahih Muslim
adalah secermat-cermat isnadnya dan sekurang-kurang perulangannya.
Kitab ini berisikan 7.273 buah hadits, termasuk dengan yang terulang.
Karya lainnya ialah:
· Musnadul Kabir (Kitab yang menerangkan tentang nama-nama
rijalul hadits)
· Al Jami’ul Kabir
· Kitabul ‘ilal wa kitabu auhamil muhadditsin
· Kitabut Tamyiz
· Kitab man laisa lahu illa rawin wahidun
· Kitabut thabaqatut tabi’in
· Kitabul Muhadiramin
Beliau wafat pada hari Minggu, Rajab tahun 261 H/875 M dan
dikebumikan pada hari Senin di Nisabur.
menulis Kitab Shahih Muslim yang terdiri dari 7180 Hadits . Guru-
guru beliau: Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Bukhari. Adapun
murid murid beliau: Imam at-Tirmidzi, Abū Hatim ar-Razi dan Abū
Bakr bin Khuzaimah termasuk. Buku beliau memiliki derajat tertinggi
di dalam pengkategorisasian (tabwib).
Kedua Ulama Ahli hadits ini biasa disebut dengan As Syaikhani
(‫ ) الشيخان‬dan kedua kitab Shahih beliau berdua disebut Shahihain
(‫ )الصحيحين‬sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh mereka berdua
dari sumber sahabat yang sama disebut muttafaq ‘alaih (‫) متفق عليه‬
c. Imam Abu Dawud (202-275 H/ 817-889 M)
Nama lengkapnya adalah Abu Dawud Sulaiman bin Al Asy’ats bin
Ishaq bin Basyir bin Syidad bin Amr bin Amran Al Azdi As Sijistani.
Ia dilahirkan di Sijistan (antara Iran dan Afganistan) pada 202 H/817
M. Ia seorang ulama, hafizh (penghafal Al Qur’an) dan ahli dalam
berbagai ilmu pengetahuan tentang ke-Islaman khususnya dalam
bidang ilmu fiqih dan hadits. Dia berguru kepada para pakar hadits,
seperti: Ibnu Amr Ad Darir, Qa’nabi, Abi Al Walid At Tayalisi,
Sulaiman bin Harb, Imam Hambali, Yahya bin Ma’in, Qutaibah bin
Sa’id, Utsman bin Abi Syaibah, Abdullah bin Maslamah, Musaddad
bin Marjuq, Abdullah bin Muhammad An Nafili, Muhammad bin
Basyar, Zuhair bin Harb, Ubaidillah bin Umar bin Maisarah, Abu
bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Mutsanna, dan Muhammad
bin Al Ala.
Abu Dawud menghasilkan sebuah karya terbaiknya yaitu Kitab Sunan
Abi Dawud. Kitab ini dinilai sebagai kitab standar peringkat 2 (kedua)
dalam bidang hadits setelah kitab standar peringkat pertama yaitu
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Dalam kitabnya tersebut Abu
Dawud mengumpulkan 4.800 buah hadits dari 500.000 hadits yang ia
catat dan hafal. Karangan Abu Dawud yang berjumlah 20 judul dan
tidak kurang dari 13 judul kitab telah mengulas karya tersebut dalam
bentuk syarh (komentar), mukhtasar (ringkasan), tahzib (revisi) dll.
Beliau tinggal dan menetap di Basra dan akhirnya wafat di Basrah
pada tahun 275 H/889 M dalam usia 73 tahun. Buku beliau ini,
utamanya menggabungkan antara riwayat-riwayat yang berkaitan
dengan ahkam dengan ringkasan (mukhtasar) permasalahan fiqih yang
berkaitan dengan hukum. Bukunya tersusun dari 4.800 ahadits. Al
Khathaby mengomentari bahwa Kitab Sunan Abu Dawud itu adalah
kitab yang lebih banyak fiqih-nya daripada Kitab As Shahihain.
d. Imam At-Tirmidzi (209-279 H/ 824-892 M)
Beliau mempunyai nama lengkap Abu Isa Muhammad bin Isa bin
Saurah at Tirmidzi bin Musa bin Dahhak As Sulami Al Buqi. Ia lahir
di Termez, Tadzikistan pada bulan Dzulhijah 209 H/824 M. Ia
merupakan ilmuwan Islam, pengumpul hadits kanonik (standar buku).
Abu Ya’la Al Khalili, seorang ahli hadits menyatakan bahwa At
Tirmidzi adalah seorang Siqah (terpercaya) dan hal ini disepakati oleh
para ulama. Ibnu Hibban Al Busti (ahli hadits) mengakui kemampuan
At Tirmdzi dalam hal menghafal, menghimpun dan menyusun hadits.
At Tirmidzi adalah seorang murid dari Imam Bukhari dan beberapa
guru lainnya seperti: Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Musa. Kitab beliau
yang terkenal, Jami’ at-Tirmidzi menyebutkan seputar permasalahan
fiqh dengan penjelasan yang terperinci.
Beliau juga memiliki kitab Ilalul Hadits. Pada usia 70 tahun, ia
meninggal di tempat kelahirannya Termez pada akhir Rajab tahun 279
H/892 M.

e. Imam An-Nasa’i (215-303 H/ 830-915 M)


An-Nasa’i memiliki nama lengkap Abu Abdir Rahman Ahmad bin
Syu’aib an-Nasa’i bin Ali bin Bahr bin Sinan. Sedangkan nama
panggilannya adalah Abu Abdul Rahman An-Nasa’i. Beliau lahir di
Nasa’, Khurasan 215 H/830 M. Seorang ahli hadits ini memilih Mesir
sebagai tempat menyiarkan hadits-hadits. Beliau mempunyai keahlian
dalam bidang hadits dan ahli fiqih dalam mazhab Syafi’i. Di kota
Damaskus ia menulis kitab Khasais Ali ibn Abi Thalib (Keistimewaan
Ali bin Abi Thalib). Sedangkan karya-karyanya yang lain yaitu:
· As Sunan Al Kubra (Sunan-sunan yang Agung).
· As Sunan Al Mujtaba (Sunan-sunan Pilihan).
· Kitab At Tamyiz (Pembeda)
· Kitab Ad Du’afa (Tentang Orang-orang Kecil).
· Khasais Amir Al Mu’minin Ali ibn Abi Thalib.
· Manasik Al Hajj (Cara Ibadah Haji).
· Tafsir
Dari kitab-kitab tersebut, As-Sunan Al Kubra merupakan karya
terbesarnya. Beliau memiliki guru-guru dalam bidang hadits antara
lain: Qutaibah bin Sya’id, Ishaq bin Ibrahim, Ahmad bin Abdul Amru
bin Ali, Hamid bin Mas’adah, Imran bin Musa, Muhammad bin
Maslamah, Ali bin Hajar, Muhammad bin Mansyur, Ya’kub bin
Ibrahim, dan Haris bin Miskin.
An-Nasa’i meninggal dunia di kota Ramlah, Palestina dan dikuburkan
di antara Shafa dan Marwah di Mekah pada hari Senin, 13 Safar tahun
303 H/915 M dalam usia 88 tahun

f. Imam Ibnu Majah (209-273 H/ 824-887 M)


Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin
Majah al-Qadziani Ar Raba’i Al Qazwani. Beliau lahir di Qazwin,
Iran 209 H/824 M. Majah adalah nama gelar (Laqab) bagi Yazid,
ayahnya yang dikenal juga dengan nama Majah Maula Rab’at. Ada
juga pendapat yang menyebutkan bahwa Majah adalah kakeknya Ibnu
Majah. Ibnu Majah memiliki keahlian dalam bidang hadits, ahli tafsir
dan ahli sejarah Islam. Ada 2 (dua) keahliannya dalam bidang tafsir
yaitu tafsir Al Qur’an Al Karim dan At Tarikh.
Pada usia 21 tahun dia mulai mengadakan perjalanan untuk
mengumpulkan hadits. Dengan cara tersebut dia telah mendapatkan
hadits-hadits dari para ulama terkenal yang mana juga sebagai
gurunya seperti Abu Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin
Abdullah bin Numaayr, Hisyam bin Ammar, Ahmad bin Al Azhar,
Basyar bin Adam serta para pengikut Imam Malik dan Al Layss.
Karya utama Ibnu majah dalam bidang hadits adalah Sunan Ibnu
Majah yang dikenal sebagai salah satu dari enam kitab kumpulan
hadits yang terkenal dengan julukan Al Kutub As Sittah (kitab yang
enam). Lima kitab hadits yang lain dari kumpulan tersebut adalah
Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan At
Tirmidzi dan Sunan An Nasa’i (disebut dengan Sunan, karena kitab
ini mengandung ahadits yang menyinggung masalah
duniawi/mu’amalah).
Ibnu Majah wafat di tempat kelahirannya Qazwin hari Selasa, tanggal
20 Ramadhan 273 H/18 Pebruari 887 M dalam usia 64 tahun.

g. Imam Ahmad (164-241 H/ 780-855 M)


Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah bin Muhammad bin Hanbal
Al Marwazy. Dia adalah ulama hadits terkenal kelahiran Baghdad.
Dia dilahirkan pada bulan Rabiul Awal, tahun 164 H/780 M. Beliau
terkenal sebagai salah seorang pendiri madzhab yang dikenal dengan
nama Hanabilah (Hanbaly). Beliau mulai mencari hadits sejak
berumur 16 tahun hingga merantau ke kota-kota di Timur Tengah.
Dari perantauan inilah, beliau mendapatkan guru-guru kenamaan,
antara lain: Sufyan bin ‘Uyainah, Ibrahim bin Sa’ad, Yahya bin
Qaththan. Dan beliau adalah salah seorang murid Imam As Syafi’i
yang paling setia.
Dia merupakan seorang ahli hadits yang diakui kewara’an dan
kezuhudannya. Menurut Abu Zur’ah, beliau mempunyai tulisan
sebanyak 12 macam yang dikuasai di luar kepala. Beliau juga
mempunyai hafalan matan hadits sebanyak 1.000.000 buah. Karya
beliau yang sangat gemilang adalah Musnadul Kabir. Kitab ini
berisikan 40.000 buah hadits yang 10.000 di antaranya merupakan
hadits ulangan. Karya beliau yang paling utama adalah Musnad
Ahmad yang tersusun dari 30.000 ahadits dalam 24 juz.
Beliau pulang ke rahmatullah pada hari Jumat Rabiul Awal, 241
H/855 M di Baghdad dan dikebumikan di Marwaz yang mana
jenazahnya diantar oleh 800.000 orang laki-laki dan 60.000 orang
perempuan
7. Kedudukan Hadits
Dalam kedudukannya sebagai penjelas, hadits kadang-kadang
memperluas hukum dalam Al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di
luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Quran.
Kedudukan Hadits sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang
menjelaskan hukum Al-Quran, tidak diragukan lagi dan dapat di terima
oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi di tugaskan Allah
SWT. Namun dalam kedudukan hadits sebagai dalil yang berdiri sendiri
dan sebagai sumber kedua setelah Al-Quran, menjadi bahan
perbincangan dikalangan ulama. Perbincangan ini muncul di sebabkan
oleh keterangan Allah sendiri yang menjelaskan bahwa Al-Quran atau
ajaran Islam itu telah sempurna. Oleh karenanya tidak perlu lagi
ditambah oleh sumber lain.
Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai
sumber atau dalil kedua setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan
untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam. Jumhur ulama
mengemukakan alasannya dengan beberapa dalil, di antaranya :
Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat mentaati Rasul.
Ketaatan kepada rasull sering dirangkaikan dengan keharusan mentaati
Allah ; seperti yang tersebut dalam surat An-Nisa : 59 :
artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya),
Bahkan dalam tempat lain Al-Quran mengatakan bahwa oang yang
mentaati Rasul berarti mentaati Allah, sebagaimana tersebut dalam surat
An-Nisa : 80:
Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia
telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu),
Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.
Yang dimaksud dengan mentaati Rasul dalam ayat-ayat tersebut
adalah mengikuti apa-apa yang dilakukan atau dilakukan oleh Rasul
sebagaimana tercakup dalam Sunnahnya.
Dari ayat diatas jelaslah bahwa Hadits itu adalah juga wahyu. Bla
wahyu mempunyai kekuatan sebagai dalil hukum, maka hadits pun
mempunyai kekuatan hukum untuk dipatuhi. Kekuatan hadits sebagai
sumber hukum ditentukan oleh dua segi: pertama, dari segi kebenaran
materinya dan keduadari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum.
Dari segi kebenaran materinya kekuatan hadits mengikuti kebenaran
pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat, yaitu: mutawatir, masyhur,
danahad sebagaimana dijelaskan diatas.
Khabar mutawatir ditinjau dari segi kuantitas sahabat yang
meiwayatkannya dari Nabi dan juga kuantitas yang meriwayatkannya
dari sahabat dan seterusnya adalah qath i dalam arti diyakini
kebenarannya bahwa hadits itu benar dari Nabi. Meskipun jumlah hadits
mutawatir ini tidak banyak namun mempunyai kekuatan sebagai dalil
sebagaimana kekuatan Al-Qur’an. Khabar mutawatir mempunyai
kekuatan tertinggi di dalam periwayatan dan menghasilkan kebenaran
tentang apa yang diberitakan secara mutawatir sebagaima kebenaran
yang muncul dari hasil pengamatan. Para ulama sepakat mengatakan
bahwa khabar mutawatir menghasilkan ilmu yakin meskipun mereka
berbeda pendapat dalam menetapkan cara sampai kepada ilmu yakin itu
secara tanpa memerlukan pembuktian atau memerlukan pembuktian
kebenarannya. Untuk sampainya khabar mutawatir itu kepada ilmu yakin
harus terpenuhi syarat-syarat tertentu. Di antaranya syarat-syarat itu
disepakati oleh ulama dan syarat lainnya diperselisihkan. Syarat-syarat
yang disepakati ada yang menyangkut pembawa berita.

8. Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an


Bila kita lihat dari fungsinya hubungan Hadits dengan Al-Qur’an
sangatlah berkaitan. Karena pada dasarnya Hadits berfungsi menjelaskan
hukum-hukum dalam Al-Qur’an dalam segala bentuknya sebagaimana
disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan hukum dalam Al-Qur’an
adalah untuk diamalkan, karena dalam pengalaman itulah terletak tujuan
yang digariskan. Tetapi pengalaman hukum Allah diberi penjelasan oleh
Nabi. Dengan demikian bertujuan supaya hukum-hukum yang ditetapkan
Allah dalam Al-Qur’an secara sempurna dapat dilaksanakan oleh umat.
Sebagaimana dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan
bahwa sebagian besar ayat hukum dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk
garis besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa
penjelasan dari hadits. Dengan demikian keterkaitan hadits dengan Al-
Qur’an yang utama adalah berfungsi untuk menjelaskan Al-Qur’an.
Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum
fiqh, maka hadits disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai
bayani maka dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, Hadits menjalankan
fungsi sebagai berikut :
Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam
Al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits
hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam Al-Qur’an.
Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-
Qur’an dalam hal :
Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara garis
besar
Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara
umum
Memperluas maksud dari suatu yang tersebut dalam Al-Qur’an
Contoh Hadits yang merinci ayat Al-Qur’an yang masih garis besar,
umpamanya tentang waktu-waktu shalat yang masih secara garis besar
disebutkan dalam surat An-Nisa : 103
Artinya : sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman.
Contoh hadits yang membatasi maksud ayat Al-Qur’an yang
adatang dalam bentuk umum, umpamanya hak kewarisan anak laki-laki
dan anak perempuan dalam surat An-Nisa :11:
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuan.
Ayat itu dibatasi atau dikhususkan kepada anak-anak yang ia
bukan penyebab kematian ayahnya.
Contoh Hadits memperluas apa yang dimaksud oleh Al-Qur’an,
umpamanya firman Allah yang melarang seorang laki-laki memadu dua
orang wanita yang bersaudara dalam surat An-Nisa ayat 23 yang artinya :
“ dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau”. (Q.S An-
Nisa :23)

B. Sunnah
1. Defenisi Sunnah
Secara bahasa (etimologi), Sunnah (‫ ) سنة‬berarti kebiasaan atau yang
biasa dilakukan. Dalam islam, mengacu pada kebiasaan-kebiasaan
Rasulullah SAW dalam menjali kehidupannya. Sedangkan menurut
istilah (terminologi), As-sunnah merupakan segala hal yang bersumber
nabi Muhammad SAW, baik perbuatan (fi’il), ucapan (qaul), ilmu,aqidah,
atau ketetapan (taqrir) lainnya.
a. Menurut ulama fuqaha (ahli fiqih), sunnah didefinisikan sebagai
segala sesuatu perbuatan (amalan) yang dianjurkan oleh syariat
untuk diikuti umat muslim, namun hukumnya tidak sampai derajat
wajib. Dalam artian, perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat
pahala, namun bila ditinggalkan tidak berdosa. Sunnah dalam hal ini
mencakup amalan yang dianjurkan (mustahab), terdiri dari sunnah
muakadah (seperti puasa senin-kamis) dan sunnah yang tidak
muakadah (sholat 2 rakaat sebelum sholat magrib).
b. Menurut ulama aqidah, sunnah berarti amal perbuatan yang
tuntunannya bersumber dari Nabi Muhammad SAW, bukan sesuatu
yang dilebih-lebihkan atau diadakan sendiri menurut keyakinan
(bid’ah).
c. Menurut pakar hadist (muhadditsun), sunnah adalah segala sesuatu
(perbuatan, perkataan, ataupun ketetapan) yang disandarkan kepada
nabi Muhammad SAW, baik sebelum diutus menjadi rasul maupun
sesudahnya.
d. Menurut ahli ushul, sunnah merupakan hal-hal yang bersumber dari
Rasulullah SAW selain Al-Quran, baik berupa ucapan, perbuatan,
ketetapan yang bisa dijadikan dalil bagi hukum syara’.
Syariat yang telah sempurna ini adalah sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam makna umum. Adapun sunnah itu sendiri,
terbagi menjadi empat definisi:

a. Pertama
Sesungguhnya, segala sesuatu yang terdapat di dalam Al-Kitab (Al-
Quran –pen) dan As-Sunnah (hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam) adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia
merupakan sebuah jalan yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Di antara contoh definisi ini adalah sabda beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
َ ‫سنَّتِ ْي فَلَي‬
((‫ْس ِمنِ ْي‬ ُ ‫ب َع ْن‬
َ ‫)) َم ْن َر ِغ‬
“Barangsiapa yang menolak sunnahku maka dia bukanlah bagian dariku.”
(H.R. Bukhari [5063] dan Muslim [1401])
b. Kedua
Sunnah yang bermakna “al-hadits”. Hal tersebut jika digandengkan
dengan “Al-Kitab”. Di antara contohnya adalah sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
(( ُ‫صلَّى هللا‬ َ ‫سنَّةَ َن ِب ِي ِه‬ َ ‫ ِكت‬:‫َضلُّ ْوا أ َ َبدًا‬
ُ ‫َاب هللاِ َو‬ ِ ‫ص ْمت ُ ْم ِب ِه فَلَ ْن ت‬ ُ َّ‫َيا أَيُّ َها الن‬
َ َ ‫اس قَدْ ت ََر ْكتُ ِف ْي ُك ْم َما ِإ ِن ا ْعت‬
‫سلَّ َم‬
َ ‫)) َعلَ ْي ِه َو‬
“Wahai sekalian manusia, sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian
sesuatu yang jika kalian berpegang teguh dengannya maka kalian kalian
tidak akan tersesat selamanya: (yaitu) Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
((‫س َّنتِ ْي‬ َ ‫ ِكت‬:‫َضلُّ ْوا بَ ْعدَ ُه َما‬
ُ ‫َاب هللاِ َو‬ ِ ‫ش ْيئَي ِْن لَ ْن ت‬
َ ‫)) ِإنِ ْي قَدْ ت ََر ْكتُ فِ ْي ُك ْم‬
“Sesungguhnya telah aku tinggalkan dua hal bagi kalian sehingga kalian
tidak akan tersesat selamanya setelah berpegang teguh dengan kedua hal
tersebut: (yaitu) Kitabullah dan sunnahku.”
Kedua hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Mustadrak
beliau (I/93).
Di antara bentuk kata “sunnah” yang bermakna “al-hadits” adalah
perkataan sebagian ulama dalam menyebutkan beberapa permasalahan,
“Dan ini adalah sebuah permasalahan yang berdasarkan dalil Al-Kitab,
as-sunnah, dan ijma’ para ulama.”
c. Ketiga
Sunnah pun dapat didefinisikan sebagai lawan dari bid’ah. Di antara
contoh penggunaannya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah,
(( ، َ‫الرا ِش ِديْن‬َّ َ‫اء ْال َم ْهد ِِي ْين‬
ِ َ‫س َّن ِة ْال ُخلَف‬ ُ ‫ فَ َع َل ْي ُك ْم ِب‬،‫اخ ِتالَفًا َك ِثي ًْرا‬
ُ ‫س َّن ِت ْي َو‬ ْ ‫س َي َرى‬ َ َ‫ش ِم ْن ُك ْم ف‬
ْ ‫فَإِنَّهُ َم ْن َي ِع‬
ٌ‫عة‬َ ْ‫ َو ُك َّل بِد‬،ٌ‫ت اْأل ُ ُم ْو ِر؛ فَإ ِ َّن ُك َّل ُمحْ دَث َ ٍة بِدْ َعة‬ِ ‫ َو إِيَّا ُك ْم َو ُمحْ دَثَا‬،ِ‫اجذ‬ ِ ‫س ُك ْوا بِ َها َو َعض ُّْوا َعلَ ْي َها بِانَّ َو‬
َّ ‫ت َ َم‬
ٌ‫ضالَلَة‬َ ))
“Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang tetap hidup (setelah
kematianku –pen), niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka,
berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur
rasyidin yang memperoleh petunjuk dan berilmu. Gigitlah sunnah
tersebut dengan gigi geraham kalian, serta berhati-hatilah terhadap
perkara-perkara baru yang dibuat-buat. Sungguh, setiap perkara baru
yang dibuat-buat adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat!” (Hadits ini
dikeluarkan oleh Abu Daud [4607] -–lafal hadits ini adalah milik beliau–,
dikeluarkan pula oleh At-Tirmidzi [2676] dan Ibnu Majah [43—44]; At-
Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih”)
Di antara contoh penerapan istilah “sunnah” yang bermakna “lawan dari
bid’ah” adalah sebagian ulama hadits zaman dahulu yang menyebut
buku-buku karya mereka dalam bidang akidah dengan nama “As-
Sunnah”, semisal As-Sunnah karya Muhammad bin Nashir Al-Marwazii,
As-Sunnah karya Ibnu Abii ‘Aashim, As-Sunnah karya Al-Laalikaa`i,
dan selainnya. Dalam kitab Sunan karya Abu Daud pun terdapat bab
berjudul “As-Sunnah” yang memuat banyak hadits tentang akidah.
d. Keempat
Sunnah pun dapat bermakna “mandub” dan “mustahab”, yaitu segala
sesuatu yang diperintahkan dalam bentuk anjuran, bukan dalam bentuk
pewajiban. Definisi ini digunakan oleh para ahli fikih. Di antara
contohnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ِ ‫ش َّق َعلَى أ ُ َّمتِ ْي َأل َ َم ْرت ُ ُه ْم ِبالس َِو‬
َ ‫اك ِع ْندَ ُك ِل‬
((ٍ‫صالَة‬ ُ َ ‫))لَ ْوالَ أ َ ْن أ‬
“Seandainya bukan karena takut memberatkan umatku, niscaya akan
kuperintahkan mereka untuk melakukan siwak setiap hendak
melaksanakan shalat.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari [887] dan Muslim
[252])

2. Fungsi As-Sunnah Dan Keterkaitannya Dengan Al-Quran


َ‫اس َما نُ ِز َل ِإلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّ ُه ْم َيتَ َف َّك ُرون‬ ِ َ‫…وأ َ ْنزَ ْلنَا ِإلَيْك‬..
ِ َّ‫الذ ْك َر ِلت ُ َب ِينَ ِللن‬ َ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkan. (Q.S. al Nahl : 44)
Dari ayat diatas, terdapat makna tersirat yang menunjukkan bahwa Nabi
Muhammad SAW telah diberikan tugas oleh Allah SWT untuk
menerangkan ayat-ayat Al-Quran lebih terperinci kepada umat manusia.
Nah, cara rasul memberikan penjelasan-penjelasan tersebut yaitu lewat
sunnahnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa as sunnah
merupakan penjelas dari Al-Quran.
Lebih lengkapnya, berikut beberapa fungsi as-sunnah terhadap Al-Quran:
a. Memperkuat hukum dalam Al-Quran
Segala jenis hukum, syariat, dan hal-hal yang menyangkut muamalah
kehidupan, semuanya telah ditulis dalam Al-Quran secara sempurna.
Seperti halnya hukum shalat, puasa, zakat, larangan melakukan riba’,
mencuri, membunuh, dan sebagainya. Nah, keberadaan As-sunnah disini
memperkuat hukum-hukum yang telah disebuatkan di Al-Quran.
Misalnya saja untuk melakukan shalat, seseorang harus berwudhu
terlebih dahulu
” Rasulullah saw bersabda: tidak di terima salat seorang yang berhadats
sebelum ia berwudhu ” (HR Bukhari )
b. Menjelaskan atau merinci isi Al-Quran
As sunnah juga berperan untuk menjelaskan atau merinci
(menspesifikan) ayat-ayat Al-Quran yang masih bersifat umum.
Misalnya saja, Al-Quran menuliskan kewajiban untuk berhaji bagi umat
yang mampu. Maka As-sunnah memperjelas tata cara manasik haji yang
benar sesuai ajaran Rasulullah SAW.

c. Menetapkan hukum baru yang tidak dimuat dalam Al-Quran


Adakalanya As-sunnah menetapkan hukum baru, dimana hukum tersebut
tidak terdapat dalam al-Qur’an. Contohnya perihal larangan mengenakan
kain sutera dan cincin emas bagi laki-laki.
Penetapan hukum baru di as-sunnah tentunya tidak boleh asal-asalan.
Hukum itu harus benar-benar berdasarkan tuntunan Nabi Muhammad
SAW dan sesuai syariat islam. Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
“Apa-apa yang telah disunnahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang tidak terdapat pada Kitabullah, maka hal itu merupakan
hukum Allah juga.

3. Kedudukan As-Sunnah
Seluruh ulama dan umat muslim telah menyepakati bahwa kedudukan
As-sunnah dalam islam adalah sebagai hukum kedua setelah Al-Quran.
Keputusan ini juga didasarkan atas firman Allah SWT dalam surat Al-
Hasyr ayat 7:
ِ ‫شدِيد ُ ْال ِعقَا‬
‫ب‬ َّ ‫سو ُل فَ ُخذُوهُ َو َما نَ َها ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنت َ ُهوا َواتَّقُوا‬
َّ ‫َّللاَ إِ َّن‬
َ َ‫َّللا‬ َّ ‫َو َما آَت َا ُك ُم‬
ُ ‫الر‬
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya” (Al-Hasyr 59:7)
As sunnah adalah tuntunan yang berasal dari Rasulullah SAW. Dan Allah
SWT memerintahkan kita untuk menerima apa-apa yang diberikan Rasul
serta meninggalkan yang dilarangnya. Sebab Nabi sendiri adalah utusan
Allah SWT yang memiliki kepribadian mengagumkan. Maka dari itu,
Allah menjadikan Rasulullah sebagai suri tauladan bagi seluruh umat.
َّ ‫َّللاَ َو ْاليَ ْو َم ْاْل ِخ َر َوذَك ََر‬
ً ِ‫َّللاَ َكث‬
‫يرا‬ َ ‫َّللاِ أُس َْوة ٌ َح‬
َّ ‫سنَةٌ ِل َم ْن َكانَ يَ ْر ُجو‬ ُ ‫لَقَدْ َكانَ لَ ُك ْم فِي َر‬
َّ ‫سو ِل‬
“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah Saw, itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Q.S AL-
Ahzab:21)
Kesimpulannya, al-Quran dan As-sunnah merupakan sumber hukum
islam yang harus diikuti oleh umat manusia agar memperoleh petunjuk di
dunia dan kebahagiaan di akhirat.

C. Ijtihad
1. Pengertian ijtihad
Ijtihad adalah suatu usaha yang sungguh-sungguh yang sebenarnya bisa
dilakukan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk
memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis
dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun
pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya
dilakukan para ahli agama Islam.
Tujuan ijtihad yaitu untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan
hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu
waktu tertentu.
Pengertian ijtihad menurut bahasa adalah bersungguh-sungguh dalam
mencurahkan pikiran. Sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah adalah
mencurahkan seluruh tenaga dan pikiran dengan sungguh-sungguh dalam
menetapkan hukum syariat. Jadi, Ijtihad bisa terjadi jika pekerjaan yang
dilakukan terdapat unsur-unsur kesulitan.
Orang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid. Orang yang
melakukan ijtihad (mujtahid) harus benar-benar orang yang taat dan
memahami benar isi Al-Qur’an dan hadis.

2. Syarat-Syarat Menjadi Ijtihad (Mujtahid)


Adapun syarat menjadi mujtahid diantaranya yaitu:
a. Mengetahui ayat dan sunnah yang berhubungan dengan hukum.
b. Mengetahui masalah-masalah yang telah di ijma’kan oleh para
ahlinya
c. Mengetahui Nasikh dan Mansukh.
d. Mengetahui bahasa arab dan ilmu-ilmunya dengan sempurna.
e. Mengetahui ushul fiqh
f. Mengetahui dengan jelas rahasia-rahasia tasyrie’
(Asrarusyayari’ah).
g. Mengetahui kaidah-kaidah ushul fiqh
h. Mengetahui seluk beluk qiyas.

3. Fungsi Ijtihad
Fungsi ijtihad adalah untuk mendapatkan solusi hukum, jika terdapat suatu
masalah yang harus diterapkan hukumnya, namun tidak dijumpai pada Al-
Qur’an dan Hadist.
Meski Al-Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak
berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al-
Quran maupun Al-Hadist. Selain itu, ada perbedaan keadaan pada saat
turunnya Al-Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat
masalah baru akan terus berkembang dan dibutuhkan aturan-aturan
turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama
sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat
tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji
apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya
dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan
tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan
dalam Al-Quran atau Al-Hadits. Tapi jika persoalan tersebut merupakan
perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al-Quran dan
Al-Hadist, pada saat itulah maka umat Islam membutuhkan ketetapan
Ijtihad. Akan tetapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang
mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.

4. Manfaat Ijtihad
Adapun manfaat ijtihad, diantaranya yaitu:
a. Dapat mengetahui hukumnya, dari setiap permasalahan baru yang
dialami oleh umat muslim, sehingga hukum islam selalu
berkembang dan mampu menjawab tantangan.
b. Dapat menyesuaikan hukum berdasarkan perubahan zaman, waktu
dan keadaan
c. Menetapkan fatwa terhadap permasalah-permasalah yang tidak
terkait dengan halal atau haram.
d. Dapat membantu umat muslim dalam menghapi masalah yang
belum ada hukumnya secara islam.

5. Macam-Macam Ijtihad
a. Ijma'(Kesepakatan)
Pengertian ijma adalah kesepakatan para ulama untuk menetapkan hukum
agama berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist dalam perkara yang terjadi.
Hasil Ijma berupa Fatwa berupa keputuan yang diambil secara bersama
para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti oleh seluruh
umat.
b. Qiyas
Pengertian qiyas adalah menggabungkan atau menyamakan artinya
menetapkan hukum dalam suatu perkara baru yang belum pernah masa
sebelumnya tapi memiliki kesamaan seperti sebab, manfaat, bahaya dan
berbagai aspek dalam perkara sebelumnya sehingga dihukumi sama. Ijma
dan Qiyas adalah sifat darurat dimana ada yang belum ditetapkan
sebelumnya.
c. Maslahah Mursalah
Pengertian Maslahah Mursalah adalah cara menetapkan hukum yang
berdasarkan atas pertimbangan kegunaan dan manfaatnya.
d. Sududz Dzariah
Pengertian sududz dzariah adalah memutuskan suatu yang mubah makruh
atau haram demi kepentingan umat.
e. Istishab
Pengertian istishab adalah tindakan dalam menetapkan suatu ketetapan
sampai ada alasan yang mengubahnya.
f. Urf
Pengertian urf adalah tindakan dalam menentukan masih bolehkah adat-
istiadat dan kebebasan masyarakat setempat dapat berjalan selama tidak
bertentangan dengan aturan prinsipal Al-Qur’an dan Hadist.
g. Istihsan
Pengertian istihsan adalah tindakan dengan meninggalkan satu hukum
kepada hukum lainnya disebabkan adanya suatu dalil syara’ yang
mengharuskan untuk meninggalkannya.

6. Tingkatan-Tingkatan Ijtihad
a. Ijtihad Muthlaq
Ijtihad Muthlaq adalah kegiatan seorang mujtahid yang bersifat mandiri
dalam berijtihad dan menemukan ‘illah-‘illah hukum dan ketentuan
hukumnya dari nash Al-Qur’an dan sunnah, dengan menggunakan
rumusan kaidah-kaidah dan tujuan-tujuan syara’, serta setelah lebih dahulu
mendalami persoalan hukum, dengan bantuan disiplin-disiplin ilmu.
b. Ijtihad fi al-Madzhab
Ijtihad fi al-Madzhab adalah suatu kegiatan ijtihad yang dilakukan seorang
ulama mengenai hukum syara’, dengan menggunakan metode istinbath
hukum yang telah dirumuskan oleh imam mazhab, baik yang berkaitan
dengan masalah-masalah hukum syara’ yang tidak terdapat dalam kitab
imam mazhabnya, meneliti pendapat paling kuat yang terdapat di dalam
mazhab tersebut, maupun untuk memfatwakan hukum yang diperlukan
masyarakat. Secara lebih sempit, ijtihad fi al-Madzhab ini dikelompokkan
menjadi 3 (tiga) tingkatan, diantaranya yaitu:
a. Ijtihad at-Takhrij, yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan seorang
mujtahid dalam mazhab tertentu untuk melahirkan hukum syara’
yang tidak terdapat dalam kumpulan hasil ijtihad imam mazhabnya,
dengan berpegang kepada kaidah-kaidah atau rumusan-rumusan
hukum imam mazhabnya. Pada tingkatan ini kegiatan ijtihad
terbatas hanya pada masalah-masalah yang belum pernah
difatwakan imam mazhabnya, ataupun yang belum pernah
difatwakan oleh murid-murid imam mazhabnya.
b. Ijtihad at-Takhrij, yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan untuk
memilah pendapat yang dipandang lebih kuat di antara pendapat-
pendapat imam mazhabnya, atau antara pendapat imam dan
pendapat murid-murid imam mazhab, atau antara pendapat imam
mazhabnya dan pendapat imam mazhab lainnya. Kegiatan ulama
pada tingkatan ini hanya melakukan pemilahan pendapat, dan tidak
melakukan istinbath hukum syara’.
c. Ijtihad al-Futya, yaitu kegiatan ijtihad dalam bentuk menguasai
seluk-beluk pendapat hukum imam mazhab dan ulama mazhab
yang dianutnya, dan memfatwakan pendapat tersebut kepada
masyarakat. Kegiatan yang dilakukan ulama pada tingkatan ini
terbatas hanya pada memfatwakan pendapat hukum mazhab yang
dianutnya, dan sama sekali tidak melakukan istinbath hukum dan
tidak pula memilah pendapat yang ada di dalamnya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

\
DAFTAR PUSTAKA

https://sumbar.kemenag.go.id/v2/post/1952/pengertian-kedudukan-dan-
fungsi-hadits.html

https://www.kaskus.co.id/thread/51e8da4f8027cfe607000006/mengenal-
para-imam-perawi-hadits/

https://muslimah.or.id/1168-definisi-sunnah.html

https://dalamislam.com/landasan-agama/fungsi-as-sunnah-terhadap-al-quran

Anda mungkin juga menyukai