AGAMA ISLAM
Sumber ajaran islam: hadits, sunnah, dan Ijtihad
Disusun Oleh :
MLIA-1D
KELOMPOK 6
Waldi Fickri (1930130)
Kalimatu Alifya (1930129)
Dosen :
Salman Assahary
Syukur Alhamdulillah atas segala limpahan karunia Allah SWT. Atas izin-
Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Tak lupa pula kami
kirimkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
Beserta keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh ummatnya yang senantiasa
istiqomah hingga akhir zaman.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok mata
kuliah Pendidikan Agama Islam berjudul Sumber ajaran islam hadits, sunnah, dan
Ijtihad.
Dalam penyelesaian makalah ini, kami mendapatkan bantuan serta
bimbingan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kami haturkan
terima kasih kepada.
1. Salman Assahary., selaku dosen mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
2. Waldi Fickri, kalimatu alifya selaku kelompok yang telah membantu
penulis dalam membuat makalah
Akhirul kalam, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik konstruktif demi perbaikan
makalah di masa mendatang. Harapan penulis semoga makalah ini bermanfaat dan
memenuhi harapan berbagai pihak. Amiin.
Penulis
DAFTAR ISI
2. Rumusan Masalah
a. Apa yang di maksud dengan Hadits?
b. Apa yang di maksud dengan Sunnah?
c. Apa yang di maksud dengan Ijtihad?
3. Tujuan
a. pembaca dapat menambah wawasan tetang agama islam
b. mengetahui yang di maksud dengan Hadist/sunnah dan Ijtihad
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits
1. Pengertian Hadits
a. Secara Terminologi
Ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam
memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri ada
juga beberapa definisi yang antara satu sama lain agak berbeda.
Ada yang mendefinisikan hadits, adalah :
"Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya".
Ulama hadits menerangkan bahwa yang termasuk "hal ihwal", ialah
segala pemberitaan tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan
dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-
kebiasa
anya.
Ulama ahli hadits yang lain merumuskan pengertian hadits dengan :
"Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".
Ulama hadits yang lain juga mendefiniskan hadits sebagai berikut :
"Sesuatu yang didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".
Dari ketiga pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan
para ahli hadits dalam mendefinisikan hadits. Kasamaan dalam
mendefinisikan hadits ialah hadits dengan segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan.
Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari
perumusan definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal
atau sifat Nabi sebagai komponen hadits, ada yang tidak menyebut.
Kemudian ada ahli hadits yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit
sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits.
Tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam
aqwal (perkataan nabi) atau afal ( perbuatan nabi).
Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai
berikut :
"Segala perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk
penetapan hukum syara'".
Berdasarkan rumusan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun
ahli ushul, terdapat persamaan yaitu ;
"memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu yang disandarkan
kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung-nyinggung perilaku dan
ucapan sahabat atau tabi'in. Perbedaan mereka terletak pada cakupan
definisinya. Definisi dari ahli hadits mencakup segala sesuatu yang
disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, dan taqrir (ketetapan nabi muhammad).
Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul hanya menyangkut
aspek perkataan Nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk
menetapkan hukum syara'.
b. Secara Etimologi
Hadis atau al- hadits menurut bahasa adalah al- jadid yang
artinya (sesuatu yang baru) artinya yang berarti menunjukkan kepada
waktu yang dekat atau waktu yang singkat seperti
ْ ْث العَ ْه ِد فِى أْ ِإل
س ََل ِم ُ ( َح ِديorang yang baru masuk/ memeluk islam).
Hadis juga sering disebut dengan al- khabar, yang berarti berita,
yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang
kepada orang lain, sama maknanya dengan hadis.
c. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
Sabda, perbuatan, takrir (ketetapan) Nabi Muhammad SAW
yang diriwayatkan atau diceritakan oleh sahabat untuk menjelaskan
dan menentukan hukum islam
2. Kedudukan Hadits
Dalam kedudukannya sebagai penjelas, hadits kadang-kadang
memperluas hukum dalam Al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di
luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Quran.
Kedudukan Hadits sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang
menjelaskan hukum Al-Quran, tidak diragukan lagi dan dapat di terima
oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi di tugaskan Allah
SWT. Namun dalam kedudukan hadits sebagai dalil yang berdiri sendiri
dan sebagai sumber kedua setelah Al-Quran, menjadi bahan
perbincangan dikalangan ulama. Perbincangan ini muncul di sebabkan
oleh keterangan Allah sendiri yang menjelaskan bahwa Al-Quran atau
ajaran Islam itu telah sempurna. Oleh karenanya tidak perlu lagi
ditambah oleh sumber lain.
Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai
sumber atau dalil kedua setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan
untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam. Jumhur ulama
mengemukakan alasannya dengan beberapa dalil, di antaranya :
Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat mentaati Rasul.
Ketaatan kepada rasull sering dirangkaikan dengan keharusan mentaati
Allah ; seperti yang tersebut dalam surat An-Nisa : 59 :
artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya),
Bahkan dalam tempat lain Al-Quran mengatakan bahwa oang yang
mentaati Rasul berarti mentaati Allah, sebagaimana tersebut dalam surat
An-Nisa : 80:
Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia
telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu),
Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.
Yang dimaksud dengan mentaati Rasul dalam ayat-ayat tersebut
adalah mengikuti apa-apa yang dilakukan atau dilakukan oleh Rasul
sebagaimana tercakup dalam Sunnahnya.
Dari ayat diatas jelaslah bahwa Hadits itu adalah juga wahyu. Bla
wahyu mempunyai kekuatan sebagai dalil hukum, maka hadits pun
mempunyai kekuatan hukum untuk dipatuhi. Kekuatan hadits sebagai
sumber hukum ditentukan oleh dua segi: pertama, dari segi kebenaran
materinya dan keduadari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum.
Dari segi kebenaran materinya kekuatan hadits mengikuti kebenaran
pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat, yaitu: mutawatir, masyhur,
danahad sebagaimana dijelaskan diatas.
Khabar mutawatir ditinjau dari segi kuantitas sahabat yang
meiwayatkannya dari Nabi dan juga kuantitas yang meriwayatkannya
dari sahabat dan seterusnya adalah qath i dalam arti diyakini
kebenarannya bahwa hadits itu benar dari Nabi. Meskipun jumlah hadits
mutawatir ini tidak banyak namun mempunyai kekuatan sebagai dalil
sebagaimana kekuatan Al-Qur’an. Khabar mutawatir mempunyai
kekuatan tertinggi di dalam periwayatan dan menghasilkan kebenaran
tentang apa yang diberitakan secara mutawatir sebagaima kebenaran
yang muncul dari hasil pengamatan. Para ulama sepakat mengatakan
bahwa khabar mutawatir menghasilkan ilmu yakin meskipun mereka
berbeda pendapat dalam menetapkan cara sampai kepada ilmu yakin itu
secara tanpa memerlukan pembuktian atau memerlukan pembuktian
kebenarannya. Untuk sampainya khabar mutawatir itu kepada ilmu yakin
harus terpenuhi syarat-syarat tertentu. Di antaranya syarat-syarat itu
disepakati oleh ulama dan syarat lainnya diperselisihkan. Syarat-syarat
yang disepakati ada yang menyangkut pembawa berita.
3. Fungsi Hadits
Dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar
ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang
secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari hadits.
Dengan demikian fungsi hadits yang utama adalah untuk menjelaskan
Al-Qur’an. Hal ini telah sesuai dengan penjelasan Allah dalam surat An-
Nahl :64
Artinya: Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini,
melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang
mereka perselisihkan itu.
Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum
fiqh, maka Hadits disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai
bayani dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, ia menjalankan fungsi
senagai berikut :
Menguatkan dan mengaskan hukum-hukumyang tersebut dalam Al-
Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits
hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam Al-Qur’an.
Umpanya Firman Allah dalam surat Al-Baqarah :110 yang artinya :
“ Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat “ ayat itu dikuatkan oleh
sabda Nabi yang artinya :
“ Islam itu didirikan dengan lima pondasi : kesaksian bahwa tidak ada
tuhan selain Allah dan muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat,
menunaikan zakat.
Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an
dalam hal :
Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secari garis besar.
Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur’an
Contoh menjelaskan arti kata dalam Al-Qur’an umpamanya kata shalat
yang masih samar artinya, karena dapat saja shalat itu berarti do’a
sebagaimana yang biasa dipahami secara umum waktu itu. Kemudian
Nabi melakukan serangkaian perbuatan, yang terdiri dari ucapan dan
pebuatan secara jelas yang dimulai dari takbiratul ihram dan berakhir
dengan salam. Sesudah itu Nabi bersabda :inilah shalat itu, kerjakanlah
shalat sebagimana kamu melihat saya mengerjakan shalat.
Menetapkan suatu hukum dalam hadits yang secara jelas tidak terdapat
dalam Al-Qur’an. Dengan demikian kelihatan bahwa Hadits menetapkan
sendiri hukumyang tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits
dalam bentuk ini disebut itsbat. Sebenarnya bila diperhatikan dengan
teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan hadits itu pada hakikatnya
adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung Al-Qur’an atau
memperluas apa yang disebutkan Al-Qur’an secara terbatas. Umpamanya
Allah SWT mengharamkan memakan bangkai, darah, dan daging babi.
Larangan Nabi ini menurut lahirnya dapat dikatakan sebagai hhukum
baru yang ditetapkan oleh Nabi, karena memang apa yang diharamkan
Nabi ini secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Tetapi kalau
dipahami lebih lanjut larangan Nabi itu hanyalah sebagai penjelasan
terhadap larangan Al-Qur’anlah memakan sesuatu yang kotor.
ما رواه عدل تام الضبط متصل مسند غير معلل وال شاذ
“Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna
kedhabitannnya, bersambung terus sanadnya kepada Nabi s.a.w.,
tidak ber-illat (ada sesuatu yang cacat) dan tidak syadz (bersalahan
riwayat itu dengan riwayat yang lebih raih dari padanya).”[1]
Al-‘Iraqi juga mengemukakan definisi yang hampir sama, akan
tetapi dalam dua syarat ia memberikan penekanan khusus dengan
menambahkan kata-kata lainnya, yaitu: pertama, pada ke-dhabit--an
ia menyebutkan dhabit al-fuad (kekuatan ingatan/kecerdasan).
Artinya ia menekankan kekuatan menghafal hadits, yang berbeda
dengan dhabit al-kitab; dan kedua, pada ‘illat, ia menyebutkan ‘illat
qodihah (‘illat yang merusak atau mencacatkan)
2) Syarat-syarat Hadits Shahih
Berdasarkan beberapa definisi hadits shahih maka sebagaimana
dikemukakan oleh para ‘ulama hadits, diketahui ada lima syarat yang
harus dipenuhi, diantaranya:
a. اتصال السندartinya hadits shahih adalah hadits yang musnad (hadits
yang lagsung marfu’ kepada Nabi saw)
b. العدلartinya diriwayatkan oleh tokoh sanad hadits yang bersifat
adil
c. الضبطsemua perawinya dhabith, artinya perawi hadits tersebut
memiliki ketelitian dalam menerima hadits, memahami apa yang
ia dengar, serta mampu mengingat dan menghafalnya sejak ia
menerima hadits.
d. غير شاذhadits shahih bukanlah hadits yang syadz (kontroversial)
atau sejahtera dari keganjilan (tidak bertentangan dengan riwayat
yang lebih rajih).
e. غير معالhadits shihih bukan hadits yang terkena ‘illat (cacat).
Kelima persyaratan di atas merupakan tolak ukur untuk menentukan
suatu hadits itu sebagai hadits shahih. Apabila kelima syarat
terpenuhi secara sempurna, maka hadits tersebut dinamai hadits
Shahih Lidzatihi.
3) Macam-macam Hadits Shahih
Para ‘ulama membagi hadits shahih menjadi dua, yaitu Shahih
Lidzatihi dan Shahih Lighairihi.
a. Shahih Lidzatihi
Hadits Shahih Lidzatihi adalah hadits yang dirinya sendiri telah
memenuhi kriteria ke-shahih-an sebagaiman disebutkan di atas, dan
tidak memerlukan penguat dari yang lainnya.
Contoh hadits Shahih Lidzatihi:
Diberitahukan oleh Ibn Umar bahwasannya Nabi s.a.w. bersabda:
شهادة ان الاله اال هللا وان محمدا رسول هللا واقام الصالة وايتاء:بني اإلسالم على خمس
الزكاة وصوم رمضان والحج
b. Shahih Lighairihi
Hadits Shahih Lighairihi adalah hadits yang keshahihannya dibantu
oleh adanya keterangan lain. Hadits kategori ini pada mulanya
memiliki kelemahan pada aspek ke-dhabit-an perawinya (qalil adh-
dhabth). Di antara perawinya ada yang kurang sempurna
kedhabitannya, sehingga dianggap tidak memenuhi syarat untuk
dikategorikan untuk menduduki derajat hadits Shahih Lidzatihi
Contoh hadits Shahih Lighairihi
Diberitakan oleh Abu Hurairah r.a:
لوال ان اشق على امتى المرتهم بالسواك عند كل صالة:ان رسل هللا ص م قال
Contoh di atas merupakan hasil penelitian para ‘ulama yang dinukil
oleh Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya Pokok-
pokok Ilmu Dirayah Hadits
4) Hukum dan Ke-hujjah-an Hadits Shahih
Para ‘ulama hadits, demikian juga para ‘ulama Ushul Fiqh dan
Fuqaha, sepakat menyatakan bahwa hukum hadits shahih adalah
wajib untuk menerima dan mengamalkannya. Hadits shahih adalah
hujjah dan dalil penetapan hukum syara’, oleh karenanya tidak ada
alasan bagi setiap muslim untuk meninggalkannya
b. Hadits Hasan
1) Pengertian Hadits Hasan
Hasan berasal dari kata hasuna, yahsunu, yang berarti baik. Menurut
Ath-Thibi Hadits hasan adalah:
مسند من قرب من درجة الثقه اومرسل ثقة وروي كالهما من غير وجه وسلم من شذوذ
وعلة
“Hadits musnad (muttasil dan marfu’) yang sanad-sanadnya
mendekati derajat tsiqah, atau hadits mursal yang sanadnya tsiqah,
akan tetapi pada keduanya ada perawi lain. Hadits itu terhindar dari
syudzudz dan ‘illat.”
Mengenai istilah, telah terjadi perselisihan di antara para ‘ulama,
karena hadits hasan terletak di antara hadits shahih dan hadits dha’if.
Hadits hasan ialah hadits yang sanadnya bersambung, yang
diriwayatkan oleh orang yang adil tetapi kurang sedikit dhabith,
tidak terdapat di dalamnya suatu kejanggalan dan tidak juga terdapat
cacat.
2) Syarat-syarat Hadits Hasan
Syarat-syarat hadits hasan sama seperti halnya hadits shahih, dengan
melihat pengertian hadits hasan itu sendiri, yang berbeda hanya
bidang hafalannya. Untuk hadits hasan, hafalan rawi ada yang
kurang sedikit bila dibandingkan dengan hadits shahih.
3) Macam-macam Hadits Hasan
Seperti halnya hadits shahih, hadits hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
hadits hasan lidzatihi dan hadits hasan lighairihi.
a. Hadits hasan lidzatihi
Hadits hasan lidzatihi ialah hadits yang bersambung-sambung
sanadnya dengan orang yang adil yang kurang kuat hafalannya dan
tidak terdapat padanya syudzudz dan ‘illat.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi dan
Abu Hurairah, bahwasannya Rasul bersabda:
لوال ان اشق على امتى ال مرتهم بالسواك عند كل صالة
“Sekiranya tidak aku memberatkan umatku, tentulah aku
memerintahkan mereka beristiwak di tiap-tiap shalat”.
b. Hadits hasan lighairihi
Hadits hasan lighairihi adalah hadits yang di dadalam isnadnya
terdapat orang yang tidak diketahui keadaannya, tidak bisa
dipastikan kelayakan atau tidaknya. Namun ia bukan orang yang
lengah yang banyak berbuat salah dan tidak pula berbuat dusta.
Sedangkan matannya didukung oleh muttabi’ atau syahidz.
Contoh hadits hasan lighairihi:
نعم فاجاز:ارضيت من نفسك ومالك بنعلين؟ قالت
“Apakah engkau suka menyerahkan diri engkau dan harta engkau
dengan hanya sepasang sepatu? Perempuan tersebut menjawab: ya,
maka Nabi s.a.w. membernarkannya
Dalam keterangan beberapa buku ada yang mempersingkat bahwa
hadits hasan lidzatihi (hasan dengan sendirinya) dan hadits hasan
lighairihi (hasan dengan topangan hadits lain).
4) Hukum dan Kehujjahan Hadits Hasan
Para Imam ahli hadits mengatakan, bahwa hadits hasan sama dengan
hadits shahih, walaupun hadits hasan itu lebih kurang dari hadits
shahih dari segi kekuatan. Karena itu, segolongan ‘ulama
mengatakan, bahwa hadits itu berada di bawah hadits shahih. Dan
walaupun demikian hadits hasan dapat diterima dan dipergunakan
sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan dibidang hukum atau
bidang aqidah, pendapat inilah yang paling banyak dianut.
c. Hadits Dha’if
1. Pengertian Hadits Dha’if
Hadits dha’if menempati urutan ketiga dalam pembagian hadits
menurut kualitas haditsnya. Atau yang paling tepat hadits yang
padanya tidak terdapat ciri hadits shahih dan hasan.
Kata dha’if secara bahasa adalah lawan dari al-Qowiy, yang berarti
lemah, Hadis Dha’if ini adalah Hadis mardud, yaitu Hadis yang diolak
dan tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam menetapkan suatu
hukum
Sedang menurut istilah, Ibnu Shalah memberikan definisi :
ما لم يجمع صفات الصحيح والصفات الحسن
Artinya: “Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat
hasan”.
Zinuddin Al-Traqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan
kalimat yang seharusnnya dihindarkan, menurut dia cukup:
ما لم يجمع صفات الحسن
Artinya: “yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan”
Karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan sudah
barang tentu tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih
Para ‘ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if :
الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح وال صفات الحديث
Artinya:
“hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits
shahih dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan
Hadits dha’if juga dikatakan hadits mardud (yang ditolak) karena
tidak adanya sesuatu syarat-syarat yang menerimanya. Tegasnya
hadits dha’if adalah hadits yang didapati padanya sesuatu yang
menolaknya. Definisi hadits dha’if adalah: “hadits yang kehilangan
satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits
hasan”.
7) Hadits Syadz
Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi
yang terpercaya, yang berbeda dalam matan atau sanadnya dengan
riwayat rawi yang relatif lebih terpercaya, serta tidak mungkin
dikompromikan antara keduanya. Contoh: hadits syadz dalam matan
adalah hadits yang diriwayatkan oleh muslim, dari Nubaisyah Al-
Hudzali, dia berkata, Rasulullah bersabda:
ايام التشريق ايام اكل وشرب
Artinya:
“Hari-hari tasyrik adalah hari-hari makan dan minum
8) Hadits Mudhtharib
Hadits Mudhtharib adalah Hadits yang diriwayatkan dalam bentuk
yang berbeda yang masing-masing sama kuat.
9) Hadis Mushahhaf
Hadis Mushahhaf yaitu hadits yang dirubah kalimatnya, yang tidak
diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqot, baik secara lafadz
maupun makna hadits ini ada yang berubah sanadnya dan adapula
berubah matannya.
Jadi, kesimpulan bahwa hadits yang cacat rawi dan matan atau
kedua-duanya digolongkan hadits dha’if yang terbagi menjadi tujuh,
yaitu: hadits maudu’ (palsu), hadits matruk (yang ditinggalkan) atau
hadits matruh (yang dibuang), hadits munkar (yang diingkari), hadits
muallal (terkena ‘illat), hadits mudraj (yang dimasuki sisipan), hadits
maqlub (yang diputar balik), dan hadits syadz (yang ganjil), hadits
Mudhtharib, dan hadits mushahhaf.
6. Perawi Hadits
a. Imam Bukhari (194-256 H/ 773-835 M)
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al
Bukhari bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah. Beliau
dilahirkan di Bukhara, Uzbekistan setelah Shalat Jumat, pada tanggal
13 Syawal 194 H/810 M. Muhadditsin ini sangat wara’, banyak
membaca Al Qur’an siang malam serta, gemar berbuat kebajikan.
Sejak umur 10 tahun, dia sudah mempunyai hafalan hadits yang tidak
sedikit jumlahnya. Beliau telah menulis Kitab Hadits yang memuat
600.000 hadits kemudian beliau pilih lagi menjadi 100.000 hadits
shahih dan 1000 hadits TIDAK shahih.
Shahih al-Bukhari adalah karya utama Imam Bukhari. Judul lengkap
buku beliau ini adalah Al-Jami’ ash-Shahih al- Musnad al-Mukhtashar
min Umūri Rasūlillah Shallallahu ’alayhi wa Sallam wa Ayyamihi
(Jami’us Shahih), yakni kumpulan hadits-hadits shahih. Beliau
menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk menyusun bukunya ini.
Beliau memperoleh hadits dari beberapa hafizh, antara lain Maky bin
Ibrahim, Abdullah bin Usman Al Marwazy, Abdullah bin Musa Al
Abbasy, Abu Ashim As Syaibany dan Muhammad bin Abdullah Al
Anshari. Karya-karya lainnya antara lain:
· Qadlayas Shahabah Wat Tabi’in
· At Tarikhul Kabir
· At Tarikhul Ausath
· Al ‘Adabul Munfarid
· Birrul Walidain.
Dalam kitab jami’nya, beliau menuliskan 6.397 buah hadits, dengan
yang terulang. Yang muallaq sejumlah 1.341 buah, dan yang mutabi’
384 buah, jadi seluruhnya berjumlah 8.122 buah. Beliau wafat pada
malam Sabtu selesai shalat Isya’, tepat pada malam Idul Fitri tahun
252 H/870 M dan dikebumikan di Khirtank, kampung yang tidak jauh
dari Samarkand.
B. Sunnah
1. Defenisi Sunnah
Secara bahasa (etimologi), Sunnah ( ) سنةberarti kebiasaan atau yang
biasa dilakukan. Dalam islam, mengacu pada kebiasaan-kebiasaan
Rasulullah SAW dalam menjali kehidupannya. Sedangkan menurut
istilah (terminologi), As-sunnah merupakan segala hal yang bersumber
nabi Muhammad SAW, baik perbuatan (fi’il), ucapan (qaul), ilmu,aqidah,
atau ketetapan (taqrir) lainnya.
a. Menurut ulama fuqaha (ahli fiqih), sunnah didefinisikan sebagai
segala sesuatu perbuatan (amalan) yang dianjurkan oleh syariat
untuk diikuti umat muslim, namun hukumnya tidak sampai derajat
wajib. Dalam artian, perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat
pahala, namun bila ditinggalkan tidak berdosa. Sunnah dalam hal ini
mencakup amalan yang dianjurkan (mustahab), terdiri dari sunnah
muakadah (seperti puasa senin-kamis) dan sunnah yang tidak
muakadah (sholat 2 rakaat sebelum sholat magrib).
b. Menurut ulama aqidah, sunnah berarti amal perbuatan yang
tuntunannya bersumber dari Nabi Muhammad SAW, bukan sesuatu
yang dilebih-lebihkan atau diadakan sendiri menurut keyakinan
(bid’ah).
c. Menurut pakar hadist (muhadditsun), sunnah adalah segala sesuatu
(perbuatan, perkataan, ataupun ketetapan) yang disandarkan kepada
nabi Muhammad SAW, baik sebelum diutus menjadi rasul maupun
sesudahnya.
d. Menurut ahli ushul, sunnah merupakan hal-hal yang bersumber dari
Rasulullah SAW selain Al-Quran, baik berupa ucapan, perbuatan,
ketetapan yang bisa dijadikan dalil bagi hukum syara’.
Syariat yang telah sempurna ini adalah sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam makna umum. Adapun sunnah itu sendiri,
terbagi menjadi empat definisi:
a. Pertama
Sesungguhnya, segala sesuatu yang terdapat di dalam Al-Kitab (Al-
Quran –pen) dan As-Sunnah (hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam) adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia
merupakan sebuah jalan yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Di antara contoh definisi ini adalah sabda beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
َ سنَّتِ ْي فَلَي
((ْس ِمنِ ْي ُ ب َع ْن
َ )) َم ْن َر ِغ
“Barangsiapa yang menolak sunnahku maka dia bukanlah bagian dariku.”
(H.R. Bukhari [5063] dan Muslim [1401])
b. Kedua
Sunnah yang bermakna “al-hadits”. Hal tersebut jika digandengkan
dengan “Al-Kitab”. Di antara contohnya adalah sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
(( ُصلَّى هللا َ سنَّةَ َن ِب ِي ِه َ ِكت:َضلُّ ْوا أ َ َبدًا
ُ َاب هللاِ َو ِ ص ْمت ُ ْم ِب ِه فَلَ ْن ت ُ ََّيا أَيُّ َها الن
َ َ اس قَدْ ت ََر ْكتُ ِف ْي ُك ْم َما ِإ ِن ا ْعت
سلَّ َم
َ )) َعلَ ْي ِه َو
“Wahai sekalian manusia, sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian
sesuatu yang jika kalian berpegang teguh dengannya maka kalian kalian
tidak akan tersesat selamanya: (yaitu) Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
((س َّنتِ ْي َ ِكت:َضلُّ ْوا بَ ْعدَ ُه َما
ُ َاب هللاِ َو ِ ش ْيئَي ِْن لَ ْن ت
َ )) ِإنِ ْي قَدْ ت ََر ْكتُ فِ ْي ُك ْم
“Sesungguhnya telah aku tinggalkan dua hal bagi kalian sehingga kalian
tidak akan tersesat selamanya setelah berpegang teguh dengan kedua hal
tersebut: (yaitu) Kitabullah dan sunnahku.”
Kedua hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Mustadrak
beliau (I/93).
Di antara bentuk kata “sunnah” yang bermakna “al-hadits” adalah
perkataan sebagian ulama dalam menyebutkan beberapa permasalahan,
“Dan ini adalah sebuah permasalahan yang berdasarkan dalil Al-Kitab,
as-sunnah, dan ijma’ para ulama.”
c. Ketiga
Sunnah pun dapat didefinisikan sebagai lawan dari bid’ah. Di antara
contoh penggunaannya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah,
(( ، َالرا ِش ِديْنَّ َاء ْال َم ْهد ِِي ْين
ِ َس َّن ِة ْال ُخلَف ُ فَ َع َل ْي ُك ْم ِب،اخ ِتالَفًا َك ِثي ًْرا
ُ س َّن ِت ْي َو ْ س َي َرى َ َش ِم ْن ُك ْم ف
ْ فَإِنَّهُ َم ْن َي ِع
ٌعةَ ْ َو ُك َّل بِد،ٌت اْأل ُ ُم ْو ِر؛ فَإ ِ َّن ُك َّل ُمحْ دَث َ ٍة بِدْ َعةِ َو إِيَّا ُك ْم َو ُمحْ دَثَا،ِاجذ ِ س ُك ْوا بِ َها َو َعض ُّْوا َعلَ ْي َها بِانَّ َو
َّ ت َ َم
ٌضالَلَةَ ))
“Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang tetap hidup (setelah
kematianku –pen), niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka,
berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur
rasyidin yang memperoleh petunjuk dan berilmu. Gigitlah sunnah
tersebut dengan gigi geraham kalian, serta berhati-hatilah terhadap
perkara-perkara baru yang dibuat-buat. Sungguh, setiap perkara baru
yang dibuat-buat adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat!” (Hadits ini
dikeluarkan oleh Abu Daud [4607] -–lafal hadits ini adalah milik beliau–,
dikeluarkan pula oleh At-Tirmidzi [2676] dan Ibnu Majah [43—44]; At-
Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih”)
Di antara contoh penerapan istilah “sunnah” yang bermakna “lawan dari
bid’ah” adalah sebagian ulama hadits zaman dahulu yang menyebut
buku-buku karya mereka dalam bidang akidah dengan nama “As-
Sunnah”, semisal As-Sunnah karya Muhammad bin Nashir Al-Marwazii,
As-Sunnah karya Ibnu Abii ‘Aashim, As-Sunnah karya Al-Laalikaa`i,
dan selainnya. Dalam kitab Sunan karya Abu Daud pun terdapat bab
berjudul “As-Sunnah” yang memuat banyak hadits tentang akidah.
d. Keempat
Sunnah pun dapat bermakna “mandub” dan “mustahab”, yaitu segala
sesuatu yang diperintahkan dalam bentuk anjuran, bukan dalam bentuk
pewajiban. Definisi ini digunakan oleh para ahli fikih. Di antara
contohnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ِ ش َّق َعلَى أ ُ َّمتِ ْي َأل َ َم ْرت ُ ُه ْم ِبالس َِو
َ اك ِع ْندَ ُك ِل
((ٍصالَة ُ َ ))لَ ْوالَ أ َ ْن أ
“Seandainya bukan karena takut memberatkan umatku, niscaya akan
kuperintahkan mereka untuk melakukan siwak setiap hendak
melaksanakan shalat.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari [887] dan Muslim
[252])
3. Kedudukan As-Sunnah
Seluruh ulama dan umat muslim telah menyepakati bahwa kedudukan
As-sunnah dalam islam adalah sebagai hukum kedua setelah Al-Quran.
Keputusan ini juga didasarkan atas firman Allah SWT dalam surat Al-
Hasyr ayat 7:
ِ شدِيد ُ ْال ِعقَا
ب َّ سو ُل فَ ُخذُوهُ َو َما نَ َها ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنت َ ُهوا َواتَّقُوا
َّ َّللاَ إِ َّن
َ ََّللا َّ َو َما آَت َا ُك ُم
ُ الر
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya” (Al-Hasyr 59:7)
As sunnah adalah tuntunan yang berasal dari Rasulullah SAW. Dan Allah
SWT memerintahkan kita untuk menerima apa-apa yang diberikan Rasul
serta meninggalkan yang dilarangnya. Sebab Nabi sendiri adalah utusan
Allah SWT yang memiliki kepribadian mengagumkan. Maka dari itu,
Allah menjadikan Rasulullah sebagai suri tauladan bagi seluruh umat.
َّ َّللاَ َو ْاليَ ْو َم ْاْل ِخ َر َوذَك ََر
ً َِّللاَ َكث
يرا َ َّللاِ أُس َْوة ٌ َح
َّ سنَةٌ ِل َم ْن َكانَ يَ ْر ُجو ُ لَقَدْ َكانَ لَ ُك ْم فِي َر
َّ سو ِل
“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah Saw, itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Q.S AL-
Ahzab:21)
Kesimpulannya, al-Quran dan As-sunnah merupakan sumber hukum
islam yang harus diikuti oleh umat manusia agar memperoleh petunjuk di
dunia dan kebahagiaan di akhirat.
C. Ijtihad
1. Pengertian ijtihad
Ijtihad adalah suatu usaha yang sungguh-sungguh yang sebenarnya bisa
dilakukan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk
memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis
dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun
pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya
dilakukan para ahli agama Islam.
Tujuan ijtihad yaitu untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan
hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu
waktu tertentu.
Pengertian ijtihad menurut bahasa adalah bersungguh-sungguh dalam
mencurahkan pikiran. Sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah adalah
mencurahkan seluruh tenaga dan pikiran dengan sungguh-sungguh dalam
menetapkan hukum syariat. Jadi, Ijtihad bisa terjadi jika pekerjaan yang
dilakukan terdapat unsur-unsur kesulitan.
Orang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid. Orang yang
melakukan ijtihad (mujtahid) harus benar-benar orang yang taat dan
memahami benar isi Al-Qur’an dan hadis.
3. Fungsi Ijtihad
Fungsi ijtihad adalah untuk mendapatkan solusi hukum, jika terdapat suatu
masalah yang harus diterapkan hukumnya, namun tidak dijumpai pada Al-
Qur’an dan Hadist.
Meski Al-Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak
berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al-
Quran maupun Al-Hadist. Selain itu, ada perbedaan keadaan pada saat
turunnya Al-Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat
masalah baru akan terus berkembang dan dibutuhkan aturan-aturan
turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama
sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat
tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji
apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya
dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan
tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan
dalam Al-Quran atau Al-Hadits. Tapi jika persoalan tersebut merupakan
perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al-Quran dan
Al-Hadist, pada saat itulah maka umat Islam membutuhkan ketetapan
Ijtihad. Akan tetapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang
mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
4. Manfaat Ijtihad
Adapun manfaat ijtihad, diantaranya yaitu:
a. Dapat mengetahui hukumnya, dari setiap permasalahan baru yang
dialami oleh umat muslim, sehingga hukum islam selalu
berkembang dan mampu menjawab tantangan.
b. Dapat menyesuaikan hukum berdasarkan perubahan zaman, waktu
dan keadaan
c. Menetapkan fatwa terhadap permasalah-permasalah yang tidak
terkait dengan halal atau haram.
d. Dapat membantu umat muslim dalam menghapi masalah yang
belum ada hukumnya secara islam.
5. Macam-Macam Ijtihad
a. Ijma'(Kesepakatan)
Pengertian ijma adalah kesepakatan para ulama untuk menetapkan hukum
agama berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist dalam perkara yang terjadi.
Hasil Ijma berupa Fatwa berupa keputuan yang diambil secara bersama
para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti oleh seluruh
umat.
b. Qiyas
Pengertian qiyas adalah menggabungkan atau menyamakan artinya
menetapkan hukum dalam suatu perkara baru yang belum pernah masa
sebelumnya tapi memiliki kesamaan seperti sebab, manfaat, bahaya dan
berbagai aspek dalam perkara sebelumnya sehingga dihukumi sama. Ijma
dan Qiyas adalah sifat darurat dimana ada yang belum ditetapkan
sebelumnya.
c. Maslahah Mursalah
Pengertian Maslahah Mursalah adalah cara menetapkan hukum yang
berdasarkan atas pertimbangan kegunaan dan manfaatnya.
d. Sududz Dzariah
Pengertian sududz dzariah adalah memutuskan suatu yang mubah makruh
atau haram demi kepentingan umat.
e. Istishab
Pengertian istishab adalah tindakan dalam menetapkan suatu ketetapan
sampai ada alasan yang mengubahnya.
f. Urf
Pengertian urf adalah tindakan dalam menentukan masih bolehkah adat-
istiadat dan kebebasan masyarakat setempat dapat berjalan selama tidak
bertentangan dengan aturan prinsipal Al-Qur’an dan Hadist.
g. Istihsan
Pengertian istihsan adalah tindakan dengan meninggalkan satu hukum
kepada hukum lainnya disebabkan adanya suatu dalil syara’ yang
mengharuskan untuk meninggalkannya.
6. Tingkatan-Tingkatan Ijtihad
a. Ijtihad Muthlaq
Ijtihad Muthlaq adalah kegiatan seorang mujtahid yang bersifat mandiri
dalam berijtihad dan menemukan ‘illah-‘illah hukum dan ketentuan
hukumnya dari nash Al-Qur’an dan sunnah, dengan menggunakan
rumusan kaidah-kaidah dan tujuan-tujuan syara’, serta setelah lebih dahulu
mendalami persoalan hukum, dengan bantuan disiplin-disiplin ilmu.
b. Ijtihad fi al-Madzhab
Ijtihad fi al-Madzhab adalah suatu kegiatan ijtihad yang dilakukan seorang
ulama mengenai hukum syara’, dengan menggunakan metode istinbath
hukum yang telah dirumuskan oleh imam mazhab, baik yang berkaitan
dengan masalah-masalah hukum syara’ yang tidak terdapat dalam kitab
imam mazhabnya, meneliti pendapat paling kuat yang terdapat di dalam
mazhab tersebut, maupun untuk memfatwakan hukum yang diperlukan
masyarakat. Secara lebih sempit, ijtihad fi al-Madzhab ini dikelompokkan
menjadi 3 (tiga) tingkatan, diantaranya yaitu:
a. Ijtihad at-Takhrij, yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan seorang
mujtahid dalam mazhab tertentu untuk melahirkan hukum syara’
yang tidak terdapat dalam kumpulan hasil ijtihad imam mazhabnya,
dengan berpegang kepada kaidah-kaidah atau rumusan-rumusan
hukum imam mazhabnya. Pada tingkatan ini kegiatan ijtihad
terbatas hanya pada masalah-masalah yang belum pernah
difatwakan imam mazhabnya, ataupun yang belum pernah
difatwakan oleh murid-murid imam mazhabnya.
b. Ijtihad at-Takhrij, yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan untuk
memilah pendapat yang dipandang lebih kuat di antara pendapat-
pendapat imam mazhabnya, atau antara pendapat imam dan
pendapat murid-murid imam mazhab, atau antara pendapat imam
mazhabnya dan pendapat imam mazhab lainnya. Kegiatan ulama
pada tingkatan ini hanya melakukan pemilahan pendapat, dan tidak
melakukan istinbath hukum syara’.
c. Ijtihad al-Futya, yaitu kegiatan ijtihad dalam bentuk menguasai
seluk-beluk pendapat hukum imam mazhab dan ulama mazhab
yang dianutnya, dan memfatwakan pendapat tersebut kepada
masyarakat. Kegiatan yang dilakukan ulama pada tingkatan ini
terbatas hanya pada memfatwakan pendapat hukum mazhab yang
dianutnya, dan sama sekali tidak melakukan istinbath hukum dan
tidak pula memilah pendapat yang ada di dalamnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
\
DAFTAR PUSTAKA
https://sumbar.kemenag.go.id/v2/post/1952/pengertian-kedudukan-dan-
fungsi-hadits.html
https://www.kaskus.co.id/thread/51e8da4f8027cfe607000006/mengenal-
para-imam-perawi-hadits/
https://muslimah.or.id/1168-definisi-sunnah.html
https://dalamislam.com/landasan-agama/fungsi-as-sunnah-terhadap-al-quran