Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

“Vitiligo”

Pembimbing :
dr. Ismiralda Oke., Sp.KK

Disusun Oleh :

Galih Okta Satria

1820211116

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


2019
PURWOKERTO

1
2
LEMBAR PENGESAHAN

Telah disahkan dan disetujui laporan kasus dengan judul :

“Vitiligo”

Pada tanggal, Juli 2019

Disusun untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik

di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD. Prof. Dr. Margono Soekardjo

Disusun oleh :

Zahra Tsania Yasyfa

G4A18073

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Thianti Sylviningrum, M,Pd.Ked., M.Sc., Sp.KK

NIP. 19790129 2005 012004

3
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME karena atas

keberkahannya penulis dapat menyelesaikan tugas presentasi kasus ini.


Terimakasih penulis sampaikan kepada para pengajar, fasilitator,

dan narasumber SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, dr. Thianti

Sylviningrum, M,Pd.Ked., M.Sc., Sp.KK., selaku pembimbing penulis.

Penulis menyadari presentasi kasus ini masih sangat jauh dari

kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak


Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga presentasi kasus
sangat penulis harapkan demi kesempurnaannya.
ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis yang sedang menempuh

pendidikan dan dapat dijadikan pelajaran bagi yang membacanya.

Purwokerto, Juli 2019

Penulis

4
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN 2

KATA PENGANTAR 3

DAFTAR ISI 4
I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang 5

II. LAPORAN KASUS


6
A. Identitas pasien 6
C. Status generalis
B. Anamnesis 7

D. Status dermatologi 9
9
E. Diagnosis banding
9
F. Diagnosis kerja 9
G. Pemeriksaan penunjang 10
I. Penatalaksanaan 11
H. Resume
J. Prognosis 11
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi 12
B. Etiologi 12
C. Epidemiologi
13
D. Patogenesis
E. Gambaran klinis 13

F. Penegakan Diagnosis 14

G. Penatalaksanaan 14

IV. PEMBAHASAN 15

V. KESIMPULAN 17
5
19
DAFTAR
PUSTAKA...........................................................................................
20

6
I. LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : An. K
Usia : 5 tahun
Jenis Kelamin : Islam
: Perempuan
Agama : Jawa
Suku
:-
Pendidikan

Alamat : Klapa Gading Kulon 4/2, Wangon


Tanggal Pemeriksaan : 02 Agustus 2019
Nomer Rekam Medis : 02101660

B. Anamnesis

1. Keluhan Utama

Bercak putih pada ketiak


melebar.
2. Keluhan Tambahan

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Satu bulan yang lalu, keluhan bercak putih seperti susu

muncul di sekitar pantat, sikut, mata, dan ketiak. Keluhan

bengkak, nyeri, panas, atau gatal disangkal. Kemudian pasien

diberikan obat panu namun tidak membaik. Pasien dibawa ke

Rumah
Saat Sakit Margono
ini, pasien rutinSoekardjo dan minggu
kontrol satu didianosis Vitiligo.
sekali ke poli Kulit

dan Kelamin Rumah Sakit Margono Soekardjo (RSMS) karena

vitiligo. Berdasarkan aloanamnesis, pasien mengeluhkan adanya

7
bercak putih pada ketiak yang melebar namun bercak pada

mulut, sikut, dan mata berkurang. Bercak putih semakin terlihat

jika terapapar matahari terlalu lama dan berkurang setelah rutin

disinar. Keluhan gatal, nyeri, atau panas pada bercak putih

4. disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat penyakit serupa : Umur 9 bulan

Riwayat penyakit kulit : disangkal

lainnya : disangkal

Riwayat penyakit : disangkal


Riwayat alergi
gula
Riwayat pernyakit darah tinggi
: disangkal
Riwayat penyakit kronis : disangkal

Riwayat
lainnya konsumsi imunosupresan : disangkal

5. Riwayat penyakit Keluarga

Riwayat penyakit serupa : disangkal

Riwayat alergi : ibu pasien alergi

terhadap dingin
Riwayat penyakit : disangkal
gula
Riwayat pernyakit darah tinggi : nenek dan bibi
pasien
6. Riwayat Sosial dan Ekonomi

Pasien merupakan anak pertama dari dua saudara da tinggal

bersama dengan orangtua dan adiknya di daerah pesisir pantai.

Namun, selama pengobatan sejak 1 bulan yang lalu pasien

tinggal bersama bibi dan nenek di Purwokerto untuk

memudahkan pasien kontrol. Pasien menggunakan asurasnsi

BPJS dan termasuk golongan non PBI dengan tingkat

8
perekonomian menengah atas.

C. Status Generalis

: Tampak sehat
Keadaan Umum
Kesadaran : Compos Mentis

Tanda Vital : TD : tidak diukur

Nadi : 89 x/m

Pernafasan : 20 x/m
Suhu : 36.7 C

Antopometri : BB : 20 kg

TB : 110 cm

Mata : Konjungtiva anemis mata kanan dan kiri (-),

tidak ada sklera ikterik pada mata kanan dan

kiri, lesi makula hipopigmentasi (+) pada

kelopak mata kanan.


Telinga : Tidak ada otterhea

Hidung : Tidak keluar sekret, nafas cuping hidung


(-)
: Mukosa bibir normal tidak ada sianosis, lesi
Mulut
makula hipopigmetasi (+) perioral
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid

Paru

Inspeksi : Bentuk dada simetris, pergerakan dada

simetris (tidak ada gerakan nafas yang

tertinggal), tidak ada retraksi


Palpasi : Gerakan dada simetris, vocal fremitus kanan

sama dengan kiri

9
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru

Auskultasi : Suara dasar nafas vesikuler, tidak terdapat

suara paru tambahan


Jantung

Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis pada

dinding dada sebelah kiri atas


Palpasi : Teraba ictus cordis, tidak kuat angkat di SIC

V, 2 jari medial LMC sinistra


Perkusi : Batas jantung kanan atas SIC II LPSD

Batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD

Batas jantung kiri atas SIC II LPSS


Batas jantung kiri bawah SIC V LMCS

Auskultasi : S1>S2 reguler, tidak ditemukan murmur,


tidak

ditemukan bising
Abdomen

Inspeksi : Datar

Perkusi : Timpani

Palpasi : Supel, tidak nyeri tekan

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Ekstremitas : tidak ada edem, lesi makula hipopigmentasi

(+) pada ketiak dan sikut


D. Status Dermatologis

Lokasi

Mulut, mata kiri, ketiak, sikut, dan sekita


bibir.

Efloresensi

10
Makula hipopigmentasi multipel pada regio fasialis, aksila dan

brachii dekstra.

Gambar 2.1. Foto Klinis Pasien

E. Pemeriksaan Penunjang

Tidak dilakukan

F. Diagnosis Banding

a. Vitiligo

b. Pitiriasis Versikolor

c. Pitiriasis Alba

d. Morbus Hansen

e. Hipomelanosis gutata

f. Piealdisme

11
G. Diagnosis Kerja

Vitiligo segmental

H. Pemeriksaan Usulan

a. Pemeriksaan histopatologis

I. Resume

a. Riwayat penyakit sekarang

Keluhan utama : Befrcak putih di sekitar mulut, mata kiri, sikut

dan ketiak kanan.


Onset : 1 bulan

Kualitas :-

Kuantitas :-

Memperberat : Terpapar matahari berlebihan

Memperingan : Diobati dengan fototerapi atau salep

Kronologi : Keluhan muncul di sekitar pantat, sikut, mata,

dan ketiak sejak 1 bulan terakhir. Keluhan

bengkak, nyeri, panas, atau gatal disangkal.

Pasien dirujuk ke poli RSMS.


Gejala penyerta : -

b. Riwayat penyakit dahulu: Keluhan yang serupa ada saat umur 9

bulan.
c. Riwayat penyakit keluarga: Tidak didapatkan riwayat penyakit

keluarga yang sama dengan pasien, riwayat alergi dingin pada

ibu, serta riwayat hipertensi pada nenek dan bibi.


d. Riwayat sosial dan ekonomi: Perekonomian menengah ke atas.

Pada pemeriksaan didapatkan keadaan umum pasien tampak

sehat dan kesadaran kompos mentis. Pemeriksaan fisik generalis

12
dalam batas normal. Pada kulit pasien terdapat Makula

hipopigmentasi multipel pada regio fasialis, aksila dan brachii


dekstra. Berdasarkan anamnesis, gambaran klinis, dan
pemeriksaan yang dilakukan, maka dapat ditegakkan diagnosis

vitiligo segmental.
J. Penatalaksanaan

a. Medikamentosa

Bethametason valerat 0,1-0,2% 2 kali


sehari

b. Non Medikamentosa/ edukasi

1) Menghindari
2) Fototerapi 165trauma
mJ/cm2fisik, seperti luka tajam, tumpul, atau

tekanan repetitif
3) Menghidari stres

4) Menghindari pajanan sinar matahari berlebihan

K. Prognosis

- Quo ad vitam : ad bonam

- Quo ad functionam : ad bonam

- Quo ad sanationam : ad bonam

: dubia ad bonam
- Quo ad komestikum

13
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Vitiligo merupakan penyakit depigmentasi didapat pada kulit,

membran mukosa, dan rambut yang memiliki karakteristik lesi khas

berupa makula berwarna putih susu (depigmentasi) dengan batas

jelas dan bertambah besar secara progresif akibat hilangnya

melanosit fungsional (Birlea et al., 2012; Prcic et al., 2012).


Prevalensi vitiligo di seluruh dunia yaitu sekitar 0,1-2% dari
B. Epidemiologi
populasi. Vitiligo dapat terjadi pada semua usia, mumnya berawal

pada masa anakanak atau dewasa muda, dengan onset puncak 10-

30 tahun. Penyakit kulit ini tidak dipengaruhi ras tertentu atau jenis

kelamin, namun pasien lebih banyak mencari pengobatan dengan

alasan osmetik khususnya pada kaum perempuan. Pasien dengan

riwayat keluarga vitiligo mempunyai rerata onset lebih dini untuk

menderita vitiligo. (Lukas & Sibero, 2015). Kemungkinan penderita


Studi akan
vitiligo epidemiologi
memilikimenunjukkan bahwa
anak dengan penyakit
vitiligo autoimun,
sebanyak 5%
termasuk penyakit tiroid autoimun, SLE (systemic lupus
(Soepardiman, 2010).
erythematosus) dan IBD, berkelompok pada keluarga penderita

vitiligo. Vitiligo juga terkait erat dengan berbagai penyakit autoimun

organ spesifik, seperti: penyakit tiroid, tiroiditis Hashimoto, penyakit

Addison, diabetes melitus tipe 1, hipotiroidisme primer, anemia


C. Etiologi
pernisiosa, dan alopesia aerata (Anurogo & Ikrar, 2014).
Vitiligo merupakan suatu kelainan poligenik multifaktorial

dengan patogenesis yang kompleks. Etiologi pasti penyakit ini

belum diketahui. Terdapat beberapa teori yang menjelaskan

tentang hilangnya melanosit epidermal pada vitiligo. Teori

patogenesis vitiligo yang paling berperan antara lain mekanisme

14
autoimun, sitotoksik, biokimia, oksidan-antioksidan, dan neural.

Teori konvergen menyatakan faktor stres, akumulasi bahan toksik,

autoimun, mutasi, perubahan lingkungan seluler, dan migrasi

melanosit yang terganggu, mempunyai peran dalam patogenesis.

Beberapa penelitian juga menyatakan peran genetik yang bermakna

terhadap vitiligo (Halder dan Taliaferro, 2008; Nicolaidou et al.,


Penyakit autoimun yang berkaitan dengan vitiligo antara lain
2011).
gangguan tiroid, khususnya tiroiditis Hashimoto dan penyakit Grave,

disertai dengan endokrinopati lain seperti penyakit Adison dan

diabetes melitus. Gangguan lain yang juga berkaitan dengan vitiligo

tetapi masih diperdebatkan, antara lain alopesia areata, anemia

pernisiosa, lupus eritematosus sistemik, inflammatory bowel

disease, artritis rematoid, psoriasis, dan sindrom poliglandular

autoimun. Bukti yang meyakinkan patogenesis autoimun adalah

ditemukan autoantibodi di dalam sirkulasi pasien vitiligo. Pasien

vitiligo yang disertai penyakit autoimun biasanya mempunyai kadar


D. Patogenesis
25 Patogenesis
hidroksi vitamin
dariD vitiligo
yang rendah (Halder
sampai saat dan
ini Taliaferro, 2008;
belum jelas.
Silverberg et ada
Diperkirakan al., 2010)
beberapa kemungkinan. Menurut teori mekanisme

imun seluler, terjadi destruksi melanosit pada vitiligo dapat

diperantarai secara langsung oleh autoreaktif sitologi sel T. Jumlah

sirkulasi sitotoksik limfosit CD8+ yang meningkat, reaktif terhadap

Melan-A/Mart-1 (antigen melanoma yang dikenali sel T),

glikoprotein 100, dan tirosinase. Sel T CD8+ yang teraktivasi dapat

ditemukan pada
Jumlah sel kulit sekitar
T-helper lesivitiligo
pada lesi vitiligo (Halder dan
berkurang. Taliaferro,
Transforming

growth
2008). factor-β diketahui berfungsi menghambat aktivitas vitiligo,

tetapi penyakit autoimun dapat menyebabkan T regulator


berkurang,
15
sehingga pada pasienvitiligo dapat ditemukan kadar serum

transforming growth factor-β yang merupakan produk utama T

regulator berkurang. Hal ini dapat menyebabkan imunitas seluler

meningkat, sehingga maturasi sel T regulator berkurang dan

mengakibatkan inhibisi inflamasi terganggu. Produksi sitokin

proinflamasi seperti IL-1β, IL-6, IL-8, dan TNF-α meningkat pada


Menurut hipotesis autositotoksik, metabolit toksik yang berasal
pasien vitiligo (Anstey, 2010).
dari lingkungan seperti fenol atau kuinon, atau yang berasal dari

sintesis melanin, dapat menyebabkan kerusakan melanosit pada

individu yang mempunyai suseptibilitas genetik. Defek melatonin

tanpa disertai sintesis melanin yang meningkat akan menyebabkan


Menurut teori biokimia, menyatakan bahwa disregulasi biopterin
kerusakan selular (Alikhan et al., 2014).
merupakan faktor pencetus sitotoksik melanosit dan vitiligo.

Pteridin (6R)-L-eritro 5,6,7,8 tetrahidrobiopterin (6BH4) dan (7R)-L-

eritro 5,6,7,8 tetrahidropterin (7BH4) meningkat pada vitiligo. 6BH4

merupakan kofaktor penting hidroksilase fenilalanin yang

merupakan enzim yang mengubah fenilalanin menjadi tirosinase.

6BH4 yang meningkat akibat aktivitas berlebihan enzim

GTPsiklohidrolase I atau aktivitas enzim 4a-hidroksi BH4

dehidratase yang berkurang dapat menyebabkan akumulasi 7BH4

dan H2O2. 7BH4 yang meningkat akan menghambat fenilalanin

hidroksilase. Hal ini gangguan


Menurut teori mengakibatkan
sistem 6BH4 meningkat. 6-biopterin
antioksidan-oksidan, yakni
bersifat sitotoksik
toksik radikal pada
bebas konsentrasi
dapat yang tinggi
menyebabkan (Alikhan
destruksi et al.,
melanosit.

2014). oksida nitrat yang meningkat dapat ditemukan pada


Kadar

melanosit dan serum pasien vitiligo. Nukleotida tunggal

polimorfisme pada katalase dapat mempengaruhi fungsi subunit

enzim tersebut. Akumulasi H2O2 menyebabkan aktivitas katalase


16
berkurang sehingga fungsi katalase juga berkurang. Sintesis

melanin yang terganggu, berkaitan dengan 6-biopterin yang

menghasilkan kadar H2O2 yang tinggi. Selain itu, vitiligo juga dapat

berkaitan dengan norepinefrin dan monoamin oksidase yang

meningkat, H2O2 sebagai bahan toksik, dan aktivitas glutation

peroksidase yang berkurang. Gangguan kalsium juga dapat

mempengaruhi aktivitas tioredoksin/tioredoksin reduktase dan

keseimbangan oksidatif
Menurut teori (Alikhan
neural, yakni et al., 2014;
vitiligo Halder dan
segmental Taliaferro,
sering terjadi

dengan
2008). pola dermatomal. Hal ini menyebabkan timbul suatu

hipotesis neural yang menyatakan mediator kimia tertentu dari


akhir

serabut saraf
kerusakan dapat mengakibatkan
melanosit. produksi melanindapat
Pewarnaan imunohistokimia berkurang.

menggambarkan
Disregulasi sistem neuropeptida Y sistemik
saraf lokal atau intralesi dapat
dan menyebabkan
perilesi yang

meningkat. Lesi vitiligo juga dapat memperlihatkan kadar

norepinefrin yang meningkat dan aktivitas asetilkolin esterase

parasimpatis yang menurun. Neurotransmiter dapat secara

langsung menyebabkan sitotoksik terhadap sel atau secara tidak

langsung menyebabkan vasokonstriksi lokal sehingga terjadi

hipoksia kemudian stres peroksida hidrogen. Konsentrasi

norepinefrin lokal yang tinggi dapat menyebabkan aktivitas N-metil

transferase menurun dan aktivitas tirosin hidroksilase meningkat.

Kadar katekolamin yang tinggi mungkin menyebabkan aktivitas

enzimatik katekol-o-metiltransferase intralesi meningkat, yang pada


Menurut
keadaan hipotesis
normal akanmelanositoragia, yakni teori ini menjelaskan
menetralisasi neurotransmiter dan bahan
tentang gesekan
toksik, dimana minor
bahan daniniatau
toksik stres
dapat lain dapat menyebabkan
mengakibatkan kerusakan sel
migrasi
(Alikhandan hilangnya
et al., 2014). melanosit. Gesekan ringan selama 4 menit

17
pada kulit non lesi pada pasien vitiligo dapat menyebabkan

gangguan produksi melanosit setelah 4-24 jam. Hal ini dikenal

dengan fenomena Koebner. Tenasin sebagai suatu molekul matiks

ekstraselular yang menghambat adhesi melanosit dan fibronektin,

jumlahnya meningkat pada vitiligo dan berperan dalam hilangnya

melanosit. Fenomena Koebner lebih sering terjadi pada vitiligo

generalisata daripada vitiligo segmental. Fenomena Koebner terjadi

secara klinis pada daerah tekanan atau gesekan seperti siku dan

lutut. Lesi depigmentasi pasca traumatik biasanya mempunyai

bentuk linear panjang atau artefaktual. Waktu interval fenomena

Koebner pada vitiligo bervariasi tergantung pada daerah tubuh,


jenis

trauma, atau respon koebnerisasi individu. Pada fenomena Koebner,


Sedangkan menurut hipotesis sisa melanosit yang berkurang,
beberapa faktor inflamasi yang lepas akibat trauma kulit antara lain
menyatakan bahwa perkembangan dan pertahanan melanosit
TNF- α, IL 6, Hsp70, Hsp 72, Hsp90, dan ICAM-1. Langkah
diatur oleh keratinosit yang berasal dari faktor sel induk dengan
berikutnya, beberapa autoantigen spesifik menginduksi reaksi lokal
cara terikat pada reseptor ckit membran tirosin kinase. Reseptor c-
pada kulit (Alikhan et al., 2014; Geel et al., 2011).
kit yang berkurang pada melanosit perilesi dan ekspresi faktor sel

induk dari sekitar keratinosit yang menurun dapat berperan dalam


E. Manifestasi Klinis
patogenesis vitiligo (Alikhan et al., 2014).
Pasien vitiligo tampak beberapa manifestasi klinik berupa

makula amelanotic berwarna putih susu atau seperti kapur,

biasanya berbatas tegas dan tepi dapat berlekuk. Lesi dapat dilihat

dengan pemeriksaan menggunakan lampu Wood. Lesi meluas

secara sentrifugal dan dapat timbul di semua area tubuh, termasuk

membran mukosa. Lesi awal sering timbul di area kulit yang

terpajan sinar matahari, tangan, lengan bawah, kaki, dan


wajah,
18
serta area kulit yang sering terjadi gesekan dan trauma. Vitiligo
pada wajah sering timbul di daerah perioral dan periokular. Pada

ekstremitas, lesi sering terdapat pada siku, lutut, jari, dan

pergelangan tangan fleksor (Halder dan Taliaferro, 2008).

Vitiligo dengan onset masa anak mempunyai predileksi lesi

awal yang berbeda dengan onset vitiligo lambat. Predileksi lesi

vitiligo onset masa anak antara lain kelopak mata dan ekstremitas

bawah, sedangkan daerah utama vitiligo onset lambat antara lain

ekstremitas atas, khususnya tangan. Vitiligo onset masa anak

mempunyai prevalensi yang lebih tinggi juga menderita penyakit

alergi dan prevalensi yang lebih rendah dalam hal juga menderita

penyakit tiroid. Lesi vitiligo dapat didahului terbakar matahari berat,

kehamilan, trauma pada kulit, dan atau stres emosi (Nicolaidou et

al., 2011).

19
F. Penegakan Diagnosis

a. Anamnesis
Berdasarkan anamnesis, penegakan diagnosis vitiligo adalah
sebagai berikut (Spritz, 2013; Birlea et al., 2012; Prcic et al.,
2012;

1) Timbul
Habib danbercak putih seperti susu/kapur dengan onset tidak
Raza, 2012):

sejak lahir.
2) Tidak ada gejala subjektif, kadang sedikit terasa gatal.

3) Progresivitas lesi dapat bertambah luas/menyebar atau

lambat/menetap, kadang timbul bercak sewarna putih pada

4) lesi
Bisatanpa diberikan
didapatkan pengobatan.
riwayat vitiligo pada keluarga.

5) Bisa didapatkan riwayat penyakit autoimun lain pada pasien

atau keluarga.
b. Pemeriksaan Fisik
Terdapat makula depigmentasi berbatas tegas dengan

distribusi sesuai klasifikasi sebagai berikut (Spritz, 2013; Birlea et

al., 2012; Habib dan Raza, 2012; Kim et al., 2011):

1) Vitiligo nonsegmental (VNS)/ generalisata, jenis vitiligo yang

paling umum. Lesi karakteristik berupa makula berwarna putih

susu yang berbatas jelas, asimtomatik melibatkan beberapa

regio tubuh, biasanya simetris. VNS terdiri dari vitiligo

akrofasial, vitiligo mukosal, vitiligo universalis, dan vitiligo tipe

campuran yang berhubungan dengan vitiligo segmental.

2) Vitiligo segmental (VS). tipe lesi yang biasanya muncul pada

anak-anak, berkembang dengan cepat (dalam waktu beberapa


3) minggu
Undetermined/ unclassified
atau bulan), kemudian menjadi stabil dan biasanya
a) Vitiligo fokal, tipe lesi patch yang tidak memenuhi kriteria
lebih resisten terhadap terapi. Vitiligo tipe ini sering
ditribusi segmental, dan tidak meluas/berkembang dalam
dihubungkan dengan hipotesis neurokimia.

20
waktu 2 tahun. Vitiligo tipe ini dapat berkembang menjadi

tipe VS maupun VNS.


b) Mukosal, lesi hanya terdapat di mukosa tanpa lesi di kulit.

4) Vitiligo stabil, yaitu bila memenuhi kriteria:


a) Lesi lama tidak berkembang atau bertambah luas selama 2

tahun terakhir.
b) Tidak ada lesi baru yang timbul pada periode yang sama.

c) Tidak ada riwayat fenomena Koebner baik berdasarkan

anamnesis maupun tampak secara klinis.


d) Tidak ada repigmentasi spontan atau repigmentasi setelah

terapi.
e) Tes minigrafting positif dan tidak tampak fenomena

Koebnerisasi pada lokasi donor.


Vitiligo stabil ini tidak efektif diterapi dengan berbagai

modalitas terapi, sehingga merupakan indikasi utama

pembedahan (melanocyte grafting).


a. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada vitiligo dapat dilakukan dengan

sebagai berikut (Gill et l., 2016; Kawakami dan Hashimoto, 2011):

1) Perhitungan Vitiligo Area Scoring Index (VASI) atau Vitiligo

European Task Force (VETF) untuk menentukan derajat

keparahan, serta pemilihan dan follow up terapi, yang

dievaluasi ulang secara berkala setiap 3 bulan.

2) Pemeriksaan menggunakan lampu Wood untuk mendapatkan


3) Pemeriksaan laboratorium untuk penapisan penyakit
gambaran depigmentasi
autoimun yang jelas. dan pemeriksaan fisik,
lain sesuai anamnesis

seperti anti-nuclear antibody (ANA), thyroidstimulating

hormone (TSH), free T4 (FT4), glukosa darah, dan hemoglobin.

21
G. Penatalaksanaan

a. Medikamentosa
Penatalaksanaan vitiligo pada lini pertama adalah sebagai
berikut:
1) Topikal (Djuanda, 2011)
a) Kortikosteroid topikal, seperti triamsinolon asetonid

0,01% atau flusinolon asetat 0,01% atau betametason

valerat 0,1-0,2%. Pemakaian golongan obat ini dianjurkan

tidak melebihi 3 bulan untuk menghindari efek samping.

2) b)
Fotokemoterapi
Calcineurin inhibitor, seperti takrolimus.
Pengobatan vitiligo dengan kombinasi psoralen dan

phototherapy ultraviolet A (PUVA). Psoralen yang sering

dipakai adalah metoksalen sediaan oral dengan dosis 0,3-0,6

mg/KgBB. Sedangkan PUVA


2 dimulai dengan dosis 0,5 J/cm2
dan meningkat 0,5-1 J/cm yang dapat dilakukan 2-3 kali
dalam seminggu (Djuanda, 2011).
b. Non medikamentosa (Djuanda, 2011)
1) Fototerapi dengan Narrowband ultraviolet B dengan dosis

awal 250 mJ dan ditingkatkan 10-20% setiap kali pengobatan.

Foteterapi ini dilakukan 2 kali seminggu.


c. Konseling dan Edukasi (Van et al., 2012)
1) Menghindari trauma fisik baik luka tajam, tumpul, ataupun

tekanan repetitif yang menyebabkan fenomena Koebner.

2) Menghindari stress
3) Menghindari pajanan sinar matahari berlebihan.

22
III. PEMBAHASAN

A. Penegakkan Diagnosis

Penyakit kulit yang terdapat pada pasien dalam kasus adalah

Vitiligo Segmental. Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik status

dermatologis yang mendukung ke arah diagnosis kerja Vitiligo

adalah sebagai berikut:


1. Hasil anamnesis

a. Keluhan bercak putih diawali pada sekitar mulut ketika umur

9 bulan. Hal ini sesuai dengan onset vitiligo yang tidak terjadi

sejak lahir.
b. Pasien tidak pernah mengeluhkan gejala penyerta, seperti

nyeri, gatal, ataupun panas selain terdapat bercak putih.


c. Pasien sudah memakai obat panu namun keluhan tidak

membaik.
d. Progresivitas bercak putih pada pasien dirasakan bertambah

luas namun lambat.


2. Hasil pemeriksaan fisik status dermatologis.

Eflororesensi pada kasus adalah makula hipopigmentasi

multipel ireguler pada regio fasialis, aksila dan brachii dekstra.


B. Diagnosis banding

Berdasarakan tempat lesinya, diagnosis banding untuk

penyakit vitiligo pada kasus ini adalah sebagai berikut:


1) Morbus Hansen

Morbus hansen tipe pausi basiler (PB) biasanya terjadi di

daerah
endemis, warna lesi hipopigmentasi tidak terlalu putih dan

23
biasanya
terdapat makula anestesi yang berbatas tidak tegas (Herperia,

2016).
2) Pitiriasis Versikolor

Pada pitiriasis versikolor dapat ditemukan sisik halus.

Pitiriasis versikolor ini dapat mengenai wajah, leher, badan,

lengan atas, ketiak, paha dan lipatan paha termasuk daerah

yang tertutup. Gejala penyakit ini ditandai dengan terjadinya

eritema dan skuama yang biasanya mendahului pembentukan

hipopigmentasi (Herperia, 2016).

24
3) Piebaldisme

Kelainan pigmen autosomal dominan ini terjadi sejak lahir.


Daerah yang mengalami kelainan pigmen biasanya terjadi pada

garis tengah tubuh (Djuanda et al., 2011).


4) Hipomelanosis gutata

Penyakit ini muncul pada daerah batang tubuh dan bagain

yang terpajan matahari (Djuanda et al., 2011).


5) Pitiriasis Alba

Penyakit ini dibatasi xerosis atau kulit kering dan terdapat

skuama halus. Predileksi Pitiriasis alba pada daerah yang

terpajan matahari (Djuanda et al., 2011).

25
IV. KESIMPULAN

1. Berdasarkan anamnesis, gambaran klinis, dan pemeriksaan fisik

status dermatologi yang dilakukan, maka dapat ditegakkan diagnosis

Vitiligo.
2. Vitiligo merupakan penyakit depigmentasi didapat pada kulit,

membran mukosa, dan rambut yang memiliki karakteristik lesi khas

berupa makula berwarna putih susu (depigmentasi) dengan batas

jelas dan bertambah besar secara progresif akibat hilangnya

3. melanosit fungsional.
Tata laksana vitiligo adalah kortikosteroid topikal dan fototerapi yang

fasilitas kesehatan yang menyediakan.


4. Berdasarkan faktor pencetus, edukasi pada pasien adalah

menghindari paparan matahari berlebihan, stres, dan trauma fisik

termasuk tekanan repetitif.

26
DAFTAR PUSTAKA

Alikhan A, Felsten LM, Daly M, Petronicrosic V. 2011.Vitiligo: A


Comprehensive Overview Introduction, Epidemilology, Quality Of Life,
Diagnosis, Associations, Histopathology, Etiology, and Work-Up. J
Am Acad Dermatol. 65(3):473-91.

Anurogo, D. Dan T. Ikrar. 2014. Vitiligo. CDK-220, 41(9): 666-


675.

Birlea SA, Spritz RA, Norris DA. Vitiligo. Dalam Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K, Editor. Fitzpatrick’s
Dermatology In General Medicine. Edisi Ke-8. New York: Mcgraw Hill;
2012.H.792-803.

Geel NV, Speeckaert R, Taieb A, Picardo M, Bohm M, Gawkrodger DJ, et al.


2011. Koebner’s Phenomenon In Vitiligo: European Position Paper.
Pigment Cell Melanoma Res. 24(3):564-73.

Gill L, Zarbo A, Isedeh P, Jacobsen G, Lim HW, Hamzavi I. 2016. Comorbid


Autoimmune Diseases Inpatients With Vitiligo: A Cross Sectional
Study. J Am Acad Dermatol. 74(2):295-302.

Habib A, Raza N. 2012. Clinical Pattern Of Vitiligo. Jour College Physic


Surg. 22(1):61-2.

Halder RM, Taliaferro SJ. 2008. Vitiligo. Dalam: Goldsmith L, Katz S,


Gilchrest B, Paller A, Leffell D, Wolff K,
Editor.
Fitzpatrick’sdermatology In General Medicine. Edisi Ke- 7. New York:
Mcgraw-Hill Inc.

Nicolaidou E, Antoniou C, Miniati A, Lagogianni E, Matekovits A, Stratigos A,


et al. 2011. Childhood-And Later-Onset Vitiligo Have Diverse
Epidemiologic And Clinical Characteristics. J Am Acad Dermatol.
66(6):954-8.
27
Kawakami T, Hashimoto T. 2011. Disease Severity Indexes And Treatment
Evaluation Criteria In Vitiligo. Derm Res Pract. 1(1):1-3.

Prcic S, Duran V, Katanic D. 2012. Clinical Features Of Vitiligo In Children


And Adolescent. Paediatr Today. 8(1):32-9.

Silverberg JI, Silverberg AI, Malka E, Silverberg NB. 2010. A Pilot Study
Assesing The Role Of 25 Hydroxy Vitamin D Levels In Patients With
Vitiligo Vulgaris. J Am Acad Dermatol. 62(6):937-941.

Soepardiman, Lily. 2010. Kelainan Pigmen. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit Dan
Kelamin, Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Spritz RA. 2013. Modern Vitiligo Genetics Sheds New Light On An Ancient
Disease. Jour Dermatol. 1(40):310-318.
Van Geel N, Speeckaert R, Wolf JD, Bracke S, Chevolet I, Brochez L,
Lambert J. 2012. Clinical Significance Of Koebner Phenomenon In
Vitiligo. BJD. 167(5):1017-24.

28

Anda mungkin juga menyukai