Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Dosen Pembimbing:
Rini Ambarwati
Disusun Oleh :
JURUSAN KEPERAWATAN
2019/2020
BAB 1
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
PENDAHULUAN
1. KWASHIORKOR
Kwashiorkor sering juga diistilahkan sebagai busung lapar atau HO.
Penampilan anak-anak penderita HO umumnya sangat khas, terutama bagian
perut yang menonjol. Berat badannya jauh di bawah berat normal. Edema stadium
berat maupun ringan biasanya menyertai penderita ini. Beberapa ciri lain yang
menyertai di antaranya:
a. Perubahan mental menyolok. Banyak menangis, pada stadium lanjut anak
terlihat sangat pasif.
b. Penderita nampak lemah dan ingin selalu terbaring.
c. Anemia.
d. Diare dengan feses cair yang banyak mengandung asam laktat karena
berkurangnya produksi laktase dan enzim penting lainnya.
e. Kelainan kulit yang khas, dimulai dengan titik merah menyerupai petechia
( perdarahan kecil yang timbul sebagai titik berwarna merah keunguan, pada
kulit maupun selaput lendir, Red. ), yang lambat laun kemudian menghitam.
Setelah mengelupas, terlihat kemerahan dengan batas menghitam. Kelainan
ini biasanya dijumpai di kulit sekitar punggung, pantat, dan sebagainya.
f. Pembesaran hati. Bahkan saat rebahan, pembesaran ini dapat diraba dari
luar tubuh, terasa licin dan kenyal.
2. MARASMUS
Kasus marasmik atau malnutrisi berat karena kurang karbohidrat disertai
tangan dan kaki bengkak, perut buncit, rambut rontok dan patah, gangguan kulit.
Pada umumnya penderita tampak lemah sering digendong, rewel dan banyak
menangis. Pada stadium lanjut anak tampak apatis atau kesadaran yang menurun
Marasmik adalah bentuk malnutrisi primer karena kekurangan karbohidrat.
Gejala yang timbul diantaranya muka berkerut terlihat tua, tidak terlihat lemak
dan otot di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah
berwarna kemerahan dan terjadi pembesaran hati, sangat kurus karena kehilangan
sebagian lemak dan otot . Anak-anak penderita marasmus secara fisik mudah
dikenali. Penderita marasmus berat akan menunjukkan perubahan mental, bahkan
hilang kesadaran. Dalam stadium yang lebih ringan, anak umumnya jadi lebih
cengeng dan gampang menangis karena selalu merasa lapar. Ketidakseimbangan
elektrolit juga terdeteksi dalam keadaan marasmus. Upaya rehidrasi ( pemberian
cairan elektrolit ) atau transfusi darah pada periode ini dapat mengakibatkan
aritmia ( tidak teraturnya denyut jantung ) bahkan terhentinya denyut jantung.
Karena itu, monitoring klinik harus dilakukan seksama.
Ada pun ciri-ciri lainnya adalah:
a. Berat badannya kurang dari 60% berat anak normal seusianya.
b. Kulit terlihat kering, dingin dan mengendur.
c. Beberapa di antaranya memiliki rambut yang mudah rontok.
d. Tulang-tulang terlihat jelas menonjol.
e. Sering menderita diare atau konstipasi.
f. Tekanan darah cenderung rendah dibanding anak normal, dengan kadar
hemoglobin yang juga lebih rendah dari semestinya.
g. Anak tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit
h. Wajah seperti orang tua, cengeng, rewel, perut cekung, dan kulit keriput
3. MARASMIK-KWASHIORKOR
Penyakit ini merupakan gabungan dari marasmus dan kwashirkor dengan
gabungan gejala yang menyertai :
a. Berat badan penderita hanya berkisar di angka 60% dari berat normal.
Gejala khas kedua penyakit tersebut nampak jelas, seperti edema, kelainan
rambut, kelainan kulit dan sebagainya.
b. Tubuh mengandung lebih banyak cairan, karena berkurangnya lemak dan
otot.
c. Kalium dalam tubuh menurun drastis sehingga menyebabkan gangguan
metabolic seperti gangguan pada ginjal dan pankreas.
d. Mineral lain dalam tubuh pun mengalami gangguan, seperti meningkatnya
kadar natrium dan fosfor inorganik serta menurunnya kadar magnesium.
Gejala klinis Kwashiorkor-Marasmus tidak lain adalah kombinasi dari gejala-
gejala masing-masing penyakit tersebut.
Penyebab gizi buruk di daerah pedesaan atau daerah miskin lainnya sering
disebut malnutrisi primer, yang disebabkan karena masalah ekonomi dan
rendahnya pengetahuan. Gejala klinis malnutrisi primer sangat bervariasi
tergantung derajat dan lamanya kekurangan energi dan protein, umur penderita
dan adanya gejala kekurangan vitamin dan mineral lainnya. Kasus tersebut sering
dijumpai pada anak usia 9 bulan hingga 5 tahun. Pertumbuhan yang terganggu
dapat dilihat dari kenaikkan berat badan terhenti atau menurun, ukuran lengan atas
menurun, pertumbuhan tulang ( maturasi ) terlambat, perbandingan berat terhadap
tinggi menurun. Gejala dan tanda klinis yang tampak adalah anemia ringan,
aktifitas berkurang, kadang di dapatkan gangguan kulit dan rambut. Pada
penderita malnutrisi primer dapat mempengaruhi metabolisme di otak sehingga
mengganggu pembentukan DNA di susunan saraf. berpengaruh terhadap
perkembangan mental dan kecerdasan anak. Mortalitas atau kejadian kematian
dapat terjadi pada penderita malnutri primer yang berat.
MALNUTRISI SEKUNDER
2.4. Interaksi antara Host, Agent, dan Environment dalam Penyakit Gizi
Buruk
1. Agent
Agent adalah penyebab utama terjadinya suatu penyakit. Dalam hal ini
yang menjadi agent adalah zat-zat gizi yang terkandung dalam
makanan, akibat terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi, keluarga
miskin, ketidaktahuan orang tua atas pemberian gizi yang baik bagi anak,
faktor penyakit bawaan pada anak, faktor ketersediaan pangan yang bergizi
dan terjangkau oleh masyarakat, perilaku dan budaya dalam pengolahan
pangan dan pengasuhan asuh anak, serta pengelolaan yang buruk dan
perawatan kesehatan yang tidak memadai.
2. Host
Host adalah manusia yang kemungkinan terpapar atau beresiko terhadap
suatu penyakit. Dalam gizi buruk manusia berperan sebagai host atau pejamu.
Dalam hal ini yang rentan terkena penyakit gizi buruk adalah balita. Karena
balita daya tahan tubuhnya masih rentan.
3. Environment
Environment atau lingkungan meliputi lingkungan sosial, lingkungan
biologi, dan lingkungan fisik. Lingkungan sosial yang mempengaruhi host
adalah ekonomi rendah sehingga host tidak mampu mengkonsumsi makanan
yang bergizi. Lingkungan biologi yang mempengaruhi adalah sanitasi atau air
bersih yang tidak memadai. Dan lingkungan fisik yang mempengaruhi adalah
keadaan rumah yang kurang baik.
Penyakit ini disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah keluarga
miskin. Keluarga miskin sangat erat hubunganya dengan ekonomi rendah,
sehingga host dengan kondisi ekonomi rendah untuk memenuhi kebutuhan
pangan hanya seadanya tidak memperhatikan zat-zat gizi yang terkandung
dalam makanan ditambah dengan sanitasi atau air bersih yang tidak
memadahi dan keadaan rumah yang kurang baik. Hal ini menyebabkan host
rentan terkena penyakit gizi buruk terutama balita, karena balita daya tahan
tubuhnya masih rentan.
1. Fase Rentan
Terjadi karena tidak adanya kesimbanganan antara host, agent, dan
environment. Misalnya host memakan makanan yang kurang zat gizinya
sehingga zat gizi didalam tubuh host lama kelamaan berkurang.
2. Fase Presymtomatic
Saat zat gizi dalam tubuh host berkurang maka akan terjadi
perubahan faali dan metabolis.
3. Fase Klinik
a. Kwashiorkor
b. Marasmus
c. Marasmus-Kwashiorkor
4. Fase Terminal
Penanggulangannya secara intensif dan hasilnya ada empat
kemungkinan yaitu sembuh, cacat, sakit kronis dan kematian.
Gizi buruk merupakan penyakit tidak menular. Host dapat mengalami gizi
buruk karena terpengaruh banyak faktor dan diantara banyak faktor tidak ada yang
dominan, semuanya saling berkaitan baik memperkuat maupun melemahkan.
Sehingga model epidemiologi yang digunakan penyakit gizi buruk adalah web
causation atau jaring-jaring sebab akibat.
1. Asupan Gizi
Banyaknya produk suplemen vitamin yang kini beredar secara bebas
bisa berdampak baik sekaligus berdampak buruk. suatu produk suplemen
harus menjalani uji klinis dulu sebelum dipasarkan. kita tidak terlena begitu
saja dengan rayuan iklan yang terlalu bombastis. Tapi di sisi lain produk
suplemen yang memang bisa dipercaya kebenarannya sangat berguna bagi
kebanyakan orang yang tidak sempat mendapatkan gizi tersebut dari makanan
sehari-hari.
Lebih baik kalau berbagai kebutuhan gizi didapat dari makanan
langsung, bukan asupan atau suplemen yang dijual bebas. Sebab tak seorang
pun yang bisa menjamin keamanannya, Kecuali kalau asupan itu memang
dianjurkan oleh dokter atau didapat dari dokter. Anak usia 0-2 tahun
sebaiknya mendapatkan Air Susu Ibu (ASI). ASI mengandung semua zat
yang dibutuhkan dalam perkembangan otak anak. Air susu ibu cocok sekali
untuk memenuhi kebutuhan bayi dalam segala hal Banyak produk susu
kaleng atau susu formula mengandung asam linoleat, DHA dan sebagainya.
ASI juga mengandung zat anti efeksi.
Untuk memulihkan kondisi Balita pada status normal, dibutuhkan
asupan susu yang mudah diserap tubuh yakni Entrasol. Tiap Balita
diharuskan mengkonsumsi 60 kotak susu, dimana dalam hitungan 90 hari
berat badan anak kembali normal. Kriteria yang dicantumkan antara lain:
biasa makan beraneka ragam makanan (makan 2-3 kali sehari dengan
makanan pokok, sayur, dan lauk pauk), selalu memantau kesehatan anggota
keluarga, biasanya menggunakan garam beryodium, dan khusus ibu hamil,
didukung untuk memenuhi kebutuhan ASI bayi minimal sampai 4 bulan
setelah kelahiran. Kriteria ini tentunya masih sulit dipenuhi oleh masyarakat
Indonesia.
2. Langkah Pengobatan
Pengobatan pada penderita MEP tentu saja harus disesuaikan dengan
tingkatannya. Penderita kurang gizi stadium ringan, contohnya, diatasi dengan
perbaikan gizi. Dalam sehari anak-anak ini harus mendapat masukan protein
sekitar 2-3 gram atau setara dengan 100-150 Kkal. Langkah penanganan harus
didasarkan pada penyebab serta kemungkinan pemecahnya.
Sedangkan pengobatan MEP berat cenderung lebih kompleks karena masing-
masing penyakit yang menyertai harus diobati satu per satu. Penderita pun
sebaiknya dirawat di rumah sakit untuk mendapat perhatian medis secara penuh.
Sejalan dengan pengobatan penyakit penyerta maupun infeksinya, status gizi anak
tersebut terus diperbaiki hingga sembuh. Memulihkan keadaan gizinya dengan
cara mengobati penyakit penyerta, peningkatan taraf gizi, dan mencegah gejala
atau kekambuhan dari gizi buruk.
2.7. Prevalensi
Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menyatakan, berbagai upaya
intervensi perbaikan gizi yang dilakukan pemerintah berhasil menurunkan jumlah
kasus gizi kurang dan gizi buruk balita dalam beberapa tahun terakhir.
"Capaiannya sudah signifikan, tapi memang belum bisa langsung membuatnya
jadi tidak ada karena untuk itu memang butuh waktu lama," katanya. Ia
menjelaskan, penanganan gizi buruk membutuhkan dana yang cukup besar,
sehingga perlu dukungan dana dari pemerintah pusat. Kasus gizi buruk dan gizi
kurang pada balita yang pada 2004 sebanyak 5,1 juta telah turun menjadi 4,4 juta
pada 2005 dan kembali turun menjadi 4,2 juta pada 2006. "Tahun 2007 angkanya
juga turun lagi menjadi 4,1 juta.
Mengalami penurunan bermakna dalam tiga tahun terakhir. Menurut
Laporan Kasus Gizi Buruk Dinas Kesehatan Provinsi yang disampaikan ke
Departemen Kesehatan pada 2005, jumlah kasus gizi buruk pada balita yang
ditemukan dan ditangani sebanyak 76.178 kemudian turun menjadi 50.106 pada
2006 dan turun lagi menjadi 39.080 pada 2007. Jumlah temuan kegiatan
surveilans itu lebih rendah dibandingkan dengan target penemuan kasus gizi
buruk pada balita yang pada 2005 seharusnya sebanyak 180.000 kasus, 94.000
kasus pada 2006 dan 75.000 kasus pada 2007.
Guna menurunkan jumlah kasus gizi buruk seperti yang telah ditargetkan,
yakni menjadi 20 persen dari total balita pada 2009, pemerintah telah melakukan
upaya penanggulangan masalah gizi jangka pendek, menengah dan panjang.
Targetnya tahun 2009 bisa turun menjadi 20 persen dari jumlah balita, upaya
jangka pendeknya antara lain perawatan kasus sesuai prosedur di rumah sakit
secara gratis, pemberian makanan bergizi tinggi bagi balita dari keluarga kurang
mampu dan surveilans kasus secara periodik melalui Posyandu, serta pemberian
makanan pendamping ASI gratis bagi bayi usia 6-24 bulan dari keluarga kurang
mampu.
Jangka menengah memberdayakan masyarakat untuk memperbaiki pola
asuh pemeliharaan bayi seperti promosi pemberian ASI eksklusif selama enam
bulan dan penimbangan berat badan bayi secara rutin untuk deteksi dini kasus,
pemerintah juga berusaha meningkatkan akses pelayanan kesehatan dan gizi yang
bermutu melalui pembentukan Pos Kesehatan Desa, penempatan bidan di desa,
peningkatan kemampuan tenaga kesehatan, penguatan Puskesmas dan
pembentukan tim kesehatan keliling di daerah terpencil.
Setiap tahun juga telah meningkatkan alokasi anggaran untuk perbaikan
gizi. Jika pada 2005 alokasi dana untuk perbaikan gizi hanya Rp175 miliar, maka
2006 ditingkatkan menjadi Rp582 miliar dan kembali ditingkatkan menjadi
Rp600 miliar pada 2007. "Tahun 2008 ini besaran anggarannya masih dibahas,
tapi dipastikan tidak akan lebih rendah dari Rp600 miliar," Dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara 2008 pemerintah mengalokasikan 2,3 persen
untuk biaya kesehatan. Dengan strategi dan langkah yang telah diterapkan,
pemerintah optimistis bisa menurunkan kasus gizi buruk dan kurang pada balita
sesuai target.
Pencegahan primer :
1. Promosi kesehatan :
a. Penyuluhan gizi masyarakat baik di Puskesmas maupun di luar
Puskesmas tentang pentingnya vitamin A dan zat besi dan sumber
makanan yang mengandung zat tersebut serta tentang pentingnya ASI
eksklusif.
2. Proteksi Spesifik :
a. Pemberian kapsul vitamin A untuk mencegah kekurangan vitamin
A pada bayi, balita dan ibu nifas serta pemberian tablet Fe untuk
mencegah anemia pada ibu hamil. Tablet Fe diberikan secara rutin
kepada bumil melalui bidan desa yang sudah ditunjuk sehingga
tidak perlu lagi ke puskesmas.
Pencegahan sekunder
1. Deteksi Dini :
a. Pemantauan tumbuh kembang balita (penimbangan dan pelayanan
terpadu) di Posyandu setiap bulan.
b. Pemantauan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), kurang
energi kalori (KEK), kurang energi protein (KEP) dan pemantauan
status gizi (PSG).
c. Pemantauan pola konsumsi pangan keluarga.
d. Pemantauan bumil KEK dari saat hamil hingga melahirkan.
e. Pemantauan garam beryodium dan distribusi kapsul yodium.
f. Pemeriksaan Hemoglobin (Hb) dan berat badan (BB) pada ibu
hamil secara rutin.
2. Pengobatan Tepat :
a. Pengobatan kasus gizi buruk, kunjungan rumah bila menemukan
kasus.
b. Memberikan bahan makanan kepada keluarga dengan anggota gizi
kurang.
Pencegahan tersier
BAB 3
TINJAUAN KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA
3.1 Kasus
Keluarga Tn.D (37 Tahun) memiliki istri yang bernama Ny.E yang berusia 34
tahun, mempunyai 2 orang anak. Anak pertama bernama An.S berusia 9 tahun
yang sedang duduk di bangku sekolah dasar dan anak ke 2 bernama Balita F
berusia 25 bulan. Balita F menderita gizi kurang. Setiap bulan Balita F dibawa
ke posyandu oleh ibunya. Berat badan balita.F 8.2 Kg. Ny.E mengatakan
bahwa Balita.F susah jika diberi makan nasi. Dia hanya mau memakan
makanan yang manis, gorengan dan makanan ringan saja.
Tn. H
Ny. Tn. Y
67 th Ny.
S Y
Paru-paru
DM asam urat
Ny. Tn.A Ny.E Tn. D
P 37 th Tn.w
38 36 th 34 th
32th
An.S
Blt.f
9th 2th
Gizi kurang
Dapur Jamban
Kamar Kamarr
Ruang Tamu
Kandang
Ayam
3. Struktur Peran
Tn. D berperan sebagai kepala keluarga, Ny. S juga berperan sebagai
Ibu rumah tangga. Biasanya Ny. S bekerja mengurus segala kebutuhan
suami dan kedua anaknya mulai dari memasak, mencuci dan
mengasuh anak balitanya mulai dari pagi hari sampai sore hari.
4. Nilai dan norma keluarga
Di dalam keluarga tidak ada nilai maupun norma yang bertentangan
dengan kesehatan. Keluarga menganggap kesehatan itu sangatlah
penting.
5. Fungsi Keluarga
a) Fungsi Afektif
Tn.D merupakan keluarga yang menyenangkan meskipun hidup dalam
keadaan ekonomi yang kurang dari cukup. Ny.E istrinya dan kedua
anaknya yang selalu menghormati dan menyayangi mereka. Tn.D
selalu mengajarkan kepada anaknya untuk menghormati orang yang
lebih tua dan saling menyayangi satu sama lain.
b) Fungsi Sosialisasi
Keluarga Tn.D mengatakan bahwa cara menanamkan hubungan
interaksi sosial pada anaknya dengan tetangga dan masyarakat yaitu
dengan menganjurkan anaknya berpartisipasi dalam lingkungan
sekitar misalnya jika di RW mereka selalu ada perlombaan Tn.D
selalu menganjurkan anaknya untuk mengikuti lomba tersebut.
c) Fungsi Perawatan Kesehatan
a. Kemampuan keluarga mengenal masalah kesehatan
Keluarga mengetahui jika ada anggota keluarga yang menderita gizi
kurang. Tn.D dan Ny.E mengetahui bahwa anak ke 2 nya menderita
gizi kurang setelah rutin menimbang BB nya di posyandu dekat
rumahnya. Keluarga belum mengetahui penyebab dan bagaimana
upaya agar anaknya tersebut mau makan nasi atau makanan pokok
lainnya tidak hanya makanan manis yang anaknya sukai saja.
b. Kemampuan keluarga untuk mengambil keputusan untuk mengatasi
masalah kesehatan
Keluarga belum mampu mengambil keputusan untuk mengatasi
masalah kesehatannya karena belum mengetahui banyak tentang
masalah penyakit yang dialami balita.F.
c. Kemampuan keluarga melakukan perawatan
Keluarga belum mampu merawat anggota keluarga yang menderita
gizi buruk, karena keluarga saja kebingungan karena anaknya susah
untuk disuruh makan nasi dan makanan pokok lainnya. Yang
keluarganya ketahui hanya banyak makan makanan saja tanpa tahu
makanan yang seimbang untuk balita.
d. Kemampuan keluarga memodifikasi lingkungan
Keluarga belum mampu memodifikasi lingkungan, lingkungan di
rumahnya kurang sehat. Di depan rumahnya terdapat kandang ayam
dan jambannya pun tidak sehat
e. Kemampuan keluarga memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan
Keluarga selalu memanfatkan fasilitas kesehatan untuk mengatasi
masalah kesehatan yang dialami oleh anaknya, tetapi terkadang
keluarga mempunyai kesulitan ekonomi jika berobat ke puskesmas
karena keluarga tidak mempunyai asuransi, BPJS ataupun jamkesmas.
1. Fungsi reproduksi
Tn. D memiliki 2 orang anak, dimana anak pertamanya yang bernama
An.S belum mengalami menstruasi karena umurnya yang masih 9
tahun. Istrinya Ny. S belum mengalami menopause.
2. Fungsi Ekonomi
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap harinya keluarga Tn.D
termasuk kurang dari cukup karena Tn.D seorang pemancing yang
gaji per bulannya tidak tentu.
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
Ketidakseriusan pemerintah terlihat jelas ketika penanganan kasus gizi
buruk terlambat seharusnya penanganan pelayanan kesehatan dilakukan disaat
penderita gizi buruk belum mencapai tahap membahayakan. Setelah kasus gizi
buruk merebak barulah pemerintah melakukan tindakan ( serius ). Keseriusan
pemerintah tidak ada artinya apabila tidak didukung masyarakat itu sendiri.
Sebab, perilaku masyarakat yang sudah membudaya selama ini adalah, anak-anak
yang menderita penyakit kurang mendapatkan perhatian orang tua. Anak-anak itu
hanya diberi makan seadanya, tanpa peduli akan kadar gizi dalam makanan yang
diberikan. Apalagi kalau persediaan pangan keluarga sudah menipis. Tanpa data
dan informasi yang cermat dan lengkap sebaiknya jangan terlalu cepat
menyimpulkan bahwa adanya gizi buruk identik dengan kemiskinan.