Saya merefleksikan Injil Markus 9:30-37 yang menampilkan pertengkaran di antara murid tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Yesus duduk dan memanggil kedua belas murid itu. Yang ingin menjadi yang terdahulu, harus menjadi yang terakhir dan pelayan dari semuanya. Simbol sekaligus kesimpulan dari seruan Yesus adalah seorang anak kecil. Bahkan saya secara pribadi pun masih kesulitan untuk memahami kata-kata Yesus ini. Persis karena bukan sekedar kata-kata belaka. Kita tidak bisa menaruh harapan terlalu banyak pada kata- kata saja. Bagi saya, Yesus hendak menyingkapkan sesuatu yang lebih dalam. Dengan menempatkan pertentangan terdahulu-terakhir, terbesar-terkecil, Yesus membalik harapan para murid. Semakin kita melayani orang lain lebih sungguh, kita tidak akan kehilangan apapun, sebab kasih selalu memberi yang terbaik. Kalau hal ini belum cukup untuk dipahami, kita diajak untuk membuka memori pembasuhan kaki di malam sebelum sengsara. Sebagai satu komunitas, kita merupakan persekutuan orang-orang yang telah dipermandikan dan tunduk pada perintah Roh. Ada tali-tali rohani yang mengikat kita sebagai satu komunitas, di bawah bimbingan pastor rektor. Semangat komunitas yang sejati memang perlu juga ditelisik di dalam baris-baris tulisan Don Bosco. Artikel 49 konstitusi kita menegaskan bahwa hidup dan bekerja bersama bagi kita merupakan syarat fundamental dan jalan yang pasti untuk menunaikan panggilan kita. Saya dipanggil untuk memandang sama saudara bukan dari tugas maupun jabatannya semata, melainkan sebagai pribadi. Pribadi yang memiliki panggilan yang unik. Demikian pula orang lain dipanggil untuk melihat diriku dengan cara yang serupa. Dengan demikian, kita mengasihi satu sama lain sehingga pada gilirannya bisa berbagi apa yang kita miliki. Saya akan membagikan refleksi atas pengalaman saya semasa sakit. Saya menyampaikan terima kasih atas perhatian pastor rektor, bruder, dan para frater yang telah memperhatikan saya dengan baik selama masa-masa sakit. Dalam pengalaman sakit itu, saya menyadari secara lebih intens cinta kasih persaudaraan dan semangat kekeluargaan. Saya akan membagikan percakapan saya dengan beberapa pengunjung. Ada seorang suster yang mengalami sakit serupa dengan saya. Beberapa teman suster itu mengatakan bahwa pada religius laki-laki dan perempuan memiliki kekhasan dalam menanggapi sakit. Menurut mereka, kebanyakan pastor, bruder, dan frater melewati sebagian besar masa-masa sakit itu sendirian saja, termasuk saya. Opini seperti itu ada benar dan salahnya. Sebab, meskipun saya tidak ditemani setiap saat seperti halnya pengunjung yang lain, tetapi bagi saya perhatian dari sama saudara itu lebih dari cukup. Kepada salah seorang perawat yang bertanya kepada saya, “frater kok sendirian,” saya menjawab, “tenang, ada Bunda Maria.” Saat berada di tempat tidur karena sakit, saya masih sempat mendaraskan rosario, sekalipun pada saat operasi. Namun yang lebih menyentuh saya adalah ketika keluar dari ruang operasi, Bruder Mikoli sudah menunggu di depan kamar bedah. Dari tanggal 7-10 Januari, sama saudara selalu datang berkunjung. Bahkan dengan sesama orang sakit, kami bisa melakukan video call saat sama- sama tidak bisa bangun dari tempat tidur. Saat menjalani masa pemulihan di rumah, sama saudara memperhatikan saya dengan mengantarkan makanan, minuman, bahkan mencucikan pakaian saat kondisi saya belum memungkinkan. Lewat pengalaman-pengalaman itulah, saya semakin menyadari bahwa kita hidup bersama sebagai saudara supaya bisa menanggung suka, duka, kecemasan, dan harapan satu sama lain. Ideal komunitas adalah sehati dan sejiwa. Untuk mewujudkan hal ini, Don Bosco sendiri mengatakan bahwa pematuhan dengan tepat peraturan-peraturan rumah merupakan fondasi utama. Jadwal yang teratur mengarahkan setiap anggota supaya tetap seirama. Dalam tugasnya yang beraneka ragam, setiap orang mengambil bagian dalam hidup komunitas. Dengan harapan, komunitas kita semakin menjadi persekutuan para murid Yesus dan anak-anak Don Bosco. Kemuliaan...