Anda di halaman 1dari 10

REFERAT

ILMU PENYAKIT DALAM

“HEMATEMESIS MELENA”

Oleh :

Radhita Sylvia Putri

201610330311063
FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2020
BAB I PENDAHULUAN

Hematemesis (muntah darah segar atau berwarna kehitaman) dan melena


(buang air besar darah yang berwarna kehitaman) adalah keadaan dimana terjadi
perdarahan saluran cerna atas atau SCBA (upper gastrointestinal tract). Kejadian
ini menyebabkan kematian 8-14% yang merupakan kejadian gawat darurat.
Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah kehilangan darah yang berada di
dalam lumen saluran cerna mulai dari esofagus sampai dengan duodenum (dengan
batas anatomik di ligamentum treitz).

Penyebab tersering SCBA adalah perdarahan ulkus peptikum sebesar


31%-67% dari semua kasus penyebab SCBA. Selain itu, gastritis erosif,
perdarahan variceal, esofagitis, keganasan dan robekan Mallory-Weiss aalah
penyebab SCBA.

Di Indonesia, terdapat perbedaan distribusi data yang ditemukan. Pada data


lama didapatkan bahwa kurang lebih 70% penyebab dari perdarahan SCBA
adalah varises esofagus yang pecah. Namun, dikarenakan semakin meningkatnya
pelayanan rumah sakit terhadap penyakit hati kronis dan dikarenakan
bertambahnya populasi usia lanjut, maka kejadian perdarahan ulkus peptikum
akan semakin meningkat. Data yang didapatkan dari RS Bangli bahwa penyebab
SCBA terbanyak adalah perdarahan ulkus peptikum, lalu gastritis erosive
(Marcelus Simandbrata K, et.al, 2012)

Untuk memeriksa perdarahan saluran cerna atas dapat dilakukan pemeriksaan


endoskopi sebagai penegakan diagnosis selain itu untuk mencari penyebab dari
perdarahan saluran cerna atas.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan saluran makanan


proksimal dari Ligaentum Trietz. Gejala perdarahan saluran cerna atas dapat
berupa hematemesis (muntah darah segar atau berwarna kehitaman) atau melena
(buang air besar berwana kehitaman dengan bau yang khas). (Adi,2017)

Perdarahan saluran cerna atas yaitu perdarahan yang berasal dari dalam lumen
bagian proksimal ligamen trietz, mulai dari jejenum proksimal, duodenum, gaster
dan esofagus. Hal ini mengakibatkan hematemesis (muntah darah) dan melena
(tinja yang berwarna kehitaman). (Richter,2017

EPIDEMIOLOGI

Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu kasus kegawatan di bidang


gastroenterologi yang saat ini masih menjadi permasalahan di bidang kesehatan
dan perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir tidak terdapat perubahan
angka kejadian meskipun telah dicapai kemajuan dalam pengelolaan atau terapi
yang diberikan. Peningkatan insidensi di sebagian negara berhubungan dengan
penggunaan aspirin dan obat antiinflamasi non steroid (OAINS). Selain itu,
prevalensi perdarahan SCBA sangat bervariasi berdasarkan umur, jenis kelamin
dan beberapa faktor lainnya. Hasil akhir berupa perdarahan ulang dan kematian
merupakan akibat dari penatalaksanaan yang kurang adekuat.

Di Amerika Serikat angka kejadiannya berkisar antara 50-150 per 100.000


penduduk per tahun. Angka kematiannya bervariasi antara 4-14% tergantung pada
kondisi pasien dan penanganan yang tepat.2,3 Umumnya 80% dari kasus dapat
berhenti dengan sendirinya. 10% kasus membutuhkan prosedur intervensi untuk
mengontrol perdarahan. (Richter,2017)
ETIOLOGI

PATOFISIOLOGI

Pada orang yang sudah lanjut usia pembentukan musin berkurang sehingga
rentan terkena gastritis dan perdarahan saluran cerna. OAINS dan obat antiplatelet
dapat mempengaruhi proteksi sel (sitoproteksi) yang umumnya dibentuk oleh
prostaglandin atau mengurangi sekresi bikarbonat yang menyebabkan
meningkatnya perlukaan mukosa gaster. Infeksi Helicobacter pylori yang
predominan di antrum akan meningkatkan sekresi asam lambung dengan
konsekuensi terjadinya tukak duodenum. Inflamasi pada antrum akan
menstimulasi sekresi gastrin yang merangsang sel parietal untuk meningkatkan
sekresi lambung. Perlukaan sel secara langsung juga dapat disebabkan konsumsi
alkohol yang berlebih. Alkohol merangsang sekresi asam sehingga menyebabkan
perlukaan mukosa saluran cerna. Penggunaan zat-zat penghambat mitosis pada
terapi radiasi dan kemoterapi menyebabkan kerusakan mukosa menyeluruh karena
hilangnya kemampuan regenerasi sel. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit komorbid pada perdarahan
SCBA dan menjadi faktor risiko perdarahan SCBA. (Aji,2017)

DIAGNOSIS

Anamnesis

Yang perlu ditekankan pada anamsesis adalah kapan waktu terjadinya


perdarahan, perkiraan darah yang keluar, riwayat perdarahan sebelumnya, riwayat
perdarahan dalam keluarga, ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain,
penggunaan obatobatan terutama anti inflamasi non steroid, penggunaan obat
antiplatelet, kebiasaan minum alkohol, kemungkinan adanya penyakit hati kronik,
diabetes mellitus, demam tifoid, gagal ginjal, hipertensi dan riwayat transfusi
sebelumnya.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan tekanan darah sederhana dapat memperkirakan seberapa banyak


pasien kehilangan darah. Kenaikan nadi >20 kali permenit dan tekanan sistolik
turun >10 mmHg menandakan telah banyak kehilangan darah.

Pemeriksaan Penunjang
1. NGT

Pemasangan NGT dan inspeksi aspirat dapat digunakan pada penilaian awal kasus.
Aspirat warna merah terang, pasien memerlukan pemeriksaan endoskopi segera
baik untuk evaluasi maupun perawatan intensif. Jika cairan aspirat berwarna seperti
kopi, maka diperlukan rawat inap dan pemeriksaan endoskopi dalam 24 jam
pertama. Meskipun demikian aspirat normal tidak dapat menyingkirkan perdarahan
SCBA

2. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium penunjang awal ditujukan untuk menilai kadar


hemoglobin, fungsi hemostasis, fungsi hati dan kimia dasar yang berhubungan
dengan status haemodinamik. Pemeriksaan kadar haemoglobin dan hematokrit
dilakukan secara serial (setiap 6-8 jam) agar dapat dilakukan antisipasi transfusi
secara lebih tepat serta untuk memantau lajunya proses perdarahan.

3. Pemeriksaan Endoskopi

Endoskopi merupakan pemeriksaan pilihan utama untuk diagnosis, dengan


akurasi diagnosis > 90%.Waktu yang paling tepat untuk pemeriksaan endoskopi
tergantung pada derajat berat dan dugaan sumber perdarahan. Dalam 24 jam
pertama pemeriksaan endoskopi merupakan standar perawatan yang
direkomendasikan. Pasien dengan perdarahan yang terus berlangsung, gagal
dihentikan dengan terapi suportif membutuhkan pemeriksaan endoskopi dini
(urgent endoscopy) untuk diagnosis dan terapi melalui teknik endoskopi. Tujuan
pemeriksaan endoskopi selain menemukan penyebab serta asal perdarahan, juga
untuk menentukan aktivitas perdarahan. (Aji,2017)

TATALAKSANA

1. Resusitasi

Jenis cairan resusitasi, kebutuhan transfuse darah, tergantung derajat perdarahan


dan kondisi klinis pasien. Cairan kristaloid dengan akses perifer dapat diberikan
pada perdarahan ringan sampai sedang tanpa gangguan hemodinamik.
2. Stratifikasi risiko dan penatalaksanaan preendoskopi

Untuk memprediksi risiko perdarahan ulang dan kematian dapat diguanakan


sistem skoring Rockall

3. Terapi obat

PPI (Proton Pump inhibitor) merupakan pilihan utama dalam pengobatan


perdarahan SCBA non variseal. Beberapa studi melaporkan efektifitas PPI dalam
menghentikan perdarahan karena ulkus peptikum dan mencegah perdarahan
berulang. PPI memiliki dua mekanisme kerja yaitu menghambat H+ /K+ATPase
dan enzim karbonik anhidrase mukosa lambung manusia. Hambatan pada H +
/K+ATPase menyebabkan sekresi asam lambung dihambat dan pH lambung
meningkat.Hambatan pada pada enzim karbonik anhidrase terjadi perbaikan
vaskuler, peningkatan mikrosirkulasi lambung, dan meningkatkan aliran
darahmukosa lambung. PPI yang tersedia di Indonesia antara lain omeprazol,
lansoprazole, pantoprazole, rabeprazole, dan esomeprazole. PPI intravena mampu
mensupresi asam lebih kuat dan lama tanpa mempunyai efek samping toleransi.
Studi Randomized Controlled Trial (RCT) menunjukkan PPI efektif jika diberikan
dengan dosis tinggi intravena selama 72 jam setelah terapi endoskopi pada
perdarahan pada ulkus dengan stigmata endoskopi risiko tinggi misalnya, lesi
tampak pembuluh darah dengan atau tanpa perdarahan akut.

KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat timbul terkait perdarahan SCBA adalah kematian dan
perdarahan ulang (Ramaekers dkk, 2016). Angka kematian terkait perdarahan
SCBA hingga saat ini masih cukup tinggi, yaitu 10-20%, namun hal ini sudah
jauh lebih baik dibandingkan sebelum tahun 1995, yaitu sebesar 33-50%.
Kejadian perdarahan ulang pada perdarahan SCBA adalah sebesar 5-15%.
DAFTAR PUSTAKA

Richter, J.M. & K.J. Isselbacher. 2017. Perdarahan Saluran Makanan :


dalam Harrison (Prinsip Ilmu Penyakit Dalam) Jilid I. Jakarta : EGC. h.
259 – 62.
Aji, Pangestu. 2017. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keenam Jilid 1, h.
1873-1880. Internal Publishing. Jakarta
Ramakaers, R. 2016. The Predictive Value of Preendoscopic Risk Scores to
Predict Adverse Outcomes in Emergency Department Patients With Upper
Gastrointestinal Bleeding: A Systematic Review. Journal of NCBI vol 23 no.11
h.1218-1227

Anda mungkin juga menyukai