Ganguan Pada Sistem Pengindraan Pada Mat
Ganguan Pada Sistem Pengindraan Pada Mat
Disusun Oleh :
ALVI ZULFIAR
ENCEP MOHAMAD RIDWAN
FANZA KANKA
Dengan segala kerendahan hati, puja puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang
telah melimpahkan karuniaNya, sehingga mendapat petunjuk dan kesabaran dalam
menyelesaikan tugas makalah ini. Tidak lupa shalawat dan salam semoga Allah SWT
curahkan selalu kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari
alam kegelapan menuju alam yang diridhoiNya.
Makalah ini berisi sedikit pengetahuan tentang kesehatan melalui pembahasan
sistem pengindraan(Indra Penglihatan dan Indra Pendengaran) yang nantinya diharap dapat
menambah pengetahuan pembaca tentang Ilmu Kesehatan(Keperawatan).
Selama pembuatan makalah ini, telah banyak arahan dan petunjuk yang didapat
dari dosen pengajar mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah 1. Namun dalam penulisan
makalah ini, mungkin jauh dari apa yang dinamakan sempurna karena masih dalam tahap
belajar. Oleh sebab itu, dengan senang hati atas saran dan kritiknya untuk disusun
selanjutnya.
Demikianlah makalah sederhana ini disusun, mudah-mudahan bermanfaat bagi
kita semua.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
F. Iris(Pupil)
1. Konjungtivitis Gonokokal
2. Konjungtivitis Vernalis
4. Gejala
5. Pencegahan
a. Konjungtivitis mudah menular, karena itu sebelum dan
sesudah membersihkan atau mengoleskan obat, penderita
harus mencuci tangannya bersih-bersih.
b. Usahakan untuk tidak menyentuh mata yang sehat
sesudah menangani mata yang sakit.
c. Jangan menggunakan handuk atau lap bersama-sama
dengan penghuni rumah lainnya.
d. Gunakan lensa kontak sesuai dengan petunjuk dari
dokter dan pabrik pembuatnya.
2.2. Uveitis
2.2.1. ETIOLOGI
a. Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan badan siliar
yang dapat berjalan akut maupun kronis. Penyebab dari
iritis tidak dapat diketahui dengan melihat gambaran
klinisnya saja. Iritis dan iridisiklitis dapat merupakan suatu
manifestasi klinik reaksi imunologik terlambat, dini atau sel
mediated terhadap jaringan uvea anterior. Uveitis anterior
dapat disebabkan oleh gangguan sistemik di tempat lain,
yang secara hematogen dapat menjalar ke mata atau timbul
reaksi alergi mata.5
b. Penyebab uveitis anterior diantaranya yaitu: idiopatik;
penyakit sistemik yang berhubungan dengan HLA-B27
seperti; ankylosing spondilitis, sindrom Reiter, penyakit
crohn’s, Psoriasis, herpes zoster/ herpes simpleks, sifilis,
penyakit lyme, inflammatory bowel disease; Juvenile
idiopathic arthritis; Sarcoidosis, trauma dan infeksi.
2.2.2. ANATOMI FISIOLOGI
a. Uvea terdiri dari : iris, badan siliaris (corpus siliaria) dan
koroid. Bagian ini adalah lapisan vascular tengah mata dan
dilindungi oleh kornea dan sklera. Bagian ini juga ikut
memasok darah ke retina. Iris dan badan siliaris disebut
juga uvea anterior sedangkan koroid disebut uvea posterior.
b. Irisadalah lanjutan dari badan siliar ke anterior dan
merupakan diafragma yang membagi bola mata menjadi 2
segmen, yaitu segmen anterior dan segmen posterior, di
tengah-tengahnya berlubang yang disebut pupil. Iris
membagi bilik mata depan (camera oculi anterior) dan bilik
mata posterior (camera oculi posterior).Iris mempunyai
kemampuan mengatur secara otomatis masuknya sinar ke
dalam bola mata.
c. Secara histologis iris terdiri dari stroma yang jarang
diantaranya terdapat lekukan-lekukan dipermukaan anterior
yang berjalan radier yang dinamakan kripa. Didalam stroma
terdapat sel-sel pigmen yang bercabang, banyak pembuluh
darah dan saraf.
2.2.3.PATOFISIOLOGI
Skin Test, yaitu Mantoux test, untuk Tbc, Pathergy test, untuk
Bechet’s disease akan terjadi peningkatan sensivitas kulit terhadap
trauma jarum pada pasien bila disuntikkan 0,1 ml saline intradermal
dalam 18-24 jam kemudian terjadi reaksi pustulasi. Pemeriksaan-
pemeriksaan tersebut diperlukan untuk mengetahui etiologi secara
spesifik, bila dicurigai adanya kecurigaan penyakit sistemik, Uveitis
rekuren, Uveitus bilateral, Uveitis berat, Uveitis posterior dan
Onsetnya muda.
2.5.3. KOMPLIKASI
2.5.4. PENATALAKSANAAN
a. Kortikosteroid
BAB III
3. OTITIS MEDIA AKUT
a. Tonsilitis
b. Rhinitis dan sinusitis kronis
c. Nasal allergi
d. Tumor nasopharing
e. Deformitas (Cleft palate)
f. Prematuritas
g. Sosial ekonomi yang rendah
h. Patofisiologi
dema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel
epitelsuperficial, serta terbentuknya eksudat yang purulen di kavum
timpani,menyebabkan membrane timpani menonjol (bulging) ke arah
liang telingaluar.
Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu
meningkat,serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat.Apabila tekanan nanah
di kavum timpani tidak berkurang, maka terjadiiskemia, akibat
tekanan pada kepiler-kepiler, serta timbul tromboflebitis pada vena-vena
kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis ini pada membran
timpani terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan berwarna
kekuningan. Di tempat ini akan terjadi rupture.Bila tidak dilakukan
insisi membrane timpani (miringotomi) pada stadiumini, maka
kemungkinan besar membrane timpani akan rupture dan nanahkeluar ke liang
telinga luar.Dengan melakukan miringotomi, luka insisi akan menutup
kembali,sedangkan apabila terjadi rupture, maka lubang tempat
rupture tidak mudah tertutup kembali.
d. Stadium Perforasi
OMSK terdiri atas OMSK tipe aman dan tipe bahaya. Kedua
tipe ini dapat bersifat aktif(keluar cairan) atau tidak aktif (kering).
Penatalaksanaan OMSK dapat berupa pengobatan atau operasi.
Tujuan operasi pada OMSK tipe bahaya terutama untuk mencegah
komplikasi.
Gambar 1. Gendang telinga normal/ utuh Gambar 2. Gendang
telinga berlubang
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN PENDERITA OTITIS
MEDIA KRONIK DAN SISTEM PENGINDRAAN
PENGLIHATAN
1. PENGKAJIAN
1.1. Pengumpulan data
1.2. 1.Riwayat
a. Identitas Pasien
b. Riwayat adanya kelainan nyeri
c. Riwayat infeksi saluran nafas atas yang berulang
d. Riwayat alergi
e. OMA berkurang
1.2.Pengkajian Fisik
a. Nyeri telinga
b. Perasaan penuh dan penurunan pendengaran
c. Suhu Meningkat
d. Malaise
e. Nausea Vomiting
f. Vertigo
g. Ortore
h. Pemeriksaan dengan otoskop tentang stadium
1.3. Pengkajian Psikososial
a. Nyeri otore berpengaruh pada interaksi
b. Aktifitas terbatas
c. Takut menghadapi tindakan pembedahan
1.4. Pemeriksaan Laboratorium
1.5. pemeriksaan Diagnostik
a. Tes Audiometri : pendengaran menurun
b. X ray : terhadap kondisi patologi Misal : Cholesteatoma,
kekaburan mastoid
1.6. Pemeriksaan pendengaran
a. Tes suara bisikan
b. Tes garputala
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
2.1. Nyeri berhubungaan dengan proses peradangan
2.2. Gangguan berkomunikasi berhubungan dengan
efek kehilangan pendengaran
2.3. Perubahan persepsi/sensoris berhubungan dnegan
obstruksi, infeksi di telinga tengah atau kerusakan di
saraf pendengaran.
2.4. Cemas berhubuangan dengan prosedur operasi,
diagnosis, prognosis, anestesi, nyeri, hilangnya fungsi,
kemungkinan penurunan pendengaran lebih besar setelah
operasi.
2.5. Resiko tinggi trauma berhubungaan dengan
gangguan presepsi pendengaran
2.6. Kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan dan
pencegahan kekambuhan
3. Diagnosa Keperawatan
3.1. Nyeri berhubungaan dengan proses peradangan
4. Tujuan
4.1. Nyeri yang dirasakan klien berkurang
4.2. Kriteria hasil
4.3. Klien mengungkapkan bahwa rasa nyeri
berkurang.
4.4. Klien mampu melakukan metode pengalihan
suasana.
5. Intervensi Keperawatan
5.1. Ajarkan Klien untuk mengalihkan suasana dengan
melakukan metode relaksasi saat nyeri yang teramat
sangat muncul, relaksasi yang seperti menarik nafas
panjang.
Rasional :
Rasional :
Posisi yang sesuai akan membuat klien merasa lebih
nyaman.
5.4. Untuk kolaborasi, beri aspirin/analgesik sesuai
instruki, beri sedatif sesuai indikasi
Rasional :
Analgesik merupakan pereda nyeri yang efektif pada
pasien untuk mengurangi sensasi nyeri dari dalam.
Pemeriksaan visus, kaji visus klien dan catat derajad pandangan perifer
klien karena jika terdapat secret yang menempel pada kornea dapat
menimbulkan kemunduran visus/melihat halo.
2.3. Diagnosis dan Intervensi Keperawatan
2.3.1. Gangguan rasa nyaman yang berhubungan dengan edema dan iritasi
konjungtiva ditandai dengan peningkatan eksudasi, fotofobia lakrimasi
dan rasa nyeri.
2.4. Tujuan, klien akan :
2.4.1. Melakukan tindakan untuk mengurangi nyeri/fotofobia/eksudasi.
2.4.2. Menunjukkan perbaikan keluhan.
2.5. Intervensi Keperawatan :
2.5.1. Kompres tepi palpebral (mata dalam keadaan tertutup)dengan larutan
salin kurang lebih selama 3 menit.Rasional: melepaskan eksudat yang
lengket pada tepi palpebral.
2.5.2. Usap eksudat secara perlahan dengan kapas yang sudah dibasahi salin
dan setiap pengusap hanya dipakai satu kali.Rasional: Membersihkan
palpebral dari eksudat tanpa menimbulkan nyeri dan meminimalkan
penyebaran mikroorganisme.
2.5.3. Beritahu klien agar tidak menutup mata yag sakit.Rasional: Mata
tertutup merupakan media terbaik bagi pertumbuhan mikroorganisme.
2.5.4. Anjurkan klien menggunakan kacamata (gelap).Rasional: Pada klien
fotofobi, kacamata gelap dapat menurunkan cahaya yang masuk pada
mata sehingga sensitivitas terhadap cahaya menurun. Pada
konjungtivitis alergi, kacamata dapat mengurangi ekspose terhadap
allergen atau mencegah iritasi lingkungan.
2.5.5. Anjurkan pada klien wanita konjungtivitis alergi agar menghindari atau
mengurangi penggunaan tatarias hingga semua gejala konjungtivitis
hilang. Bantu klien mengidentifikasi sumber allergen yang lain.
Tekankan pentingnya kacamata pelindung bagi klien yang bekerja
dengan bahan kimia iritan.Rasional: Mengurangi expose allergen atau
iritan.
2.5.6. Kaji kemampuan klien menggunakan obat mata dan ajarkan klien cara
menggunakan obat tetes mata atau salep mata.Rasional: Mengurangi
resiko kesalahan penggunaan obat mata.
2.6. Kolaborasi dalam pemberian:
2.6.1. Antibiotik.Rasional: Mempercepat penyembuhan pada konjungtivitis
infektif dan mencegah infeksi sekunder pada konjungtivitis viral. Tetes
mata diberikan pada siang hari dan salep mata diberikan pada malam
hari untuk mengurangi lengketnya kelopak mata pada pagi hari.
2.6.2. Analgesik ringan seperti asetaminofen.Rasional: mengurangi nyeri
seperti nyeri periorbital pada konjungtivitis viral.
2.6.3. Vasokonstriktor seperti nafazolin.Rasional: Mengurangi dilatasi
pembuluh darah pada konjungtivitis alergi.
2.6.4. Antihistamin oral.
Resiko tinggi penuaran penyakit pada mata yang lain atau pada orang
lain yang berhubungan dengan keterbatasan pengetahuan klien tentang
penyakit.
2.7. Tujuan, klien akan:
2.7.1 Mempunyai pengetahuan yang adekuat tentang tindakan
pencegahan penularan.
2.7.2 Melakukan tindakan pencegahan penularan penyakit.
2.7.3 Tidak terjadi penularan penyakit pada mata yang lain atau orang
lain.
2.8. Intervensi keperawatan
2.8.1 Beritahu klien untuk mencegah pertukaran sarung tangan, handuk
dan bantal dengan anggota keluarga yang lain. Klien sebaiknya
menggunakan tisu, bukan saputangan dan tissue ini harus dibuang
setelah pemakaian satu kali saja.Rasional: Meminimalkan resiko
penyebaran infeksi.
2.8.2 Ingatkan klien untuk tidak menggosok mata yang sakit atau kontak
sembarangan dengan mata.Rasional: Menghindari penyebaran
infeksi pada mata yang lain dan pada orang lain.
2.8.3 Beritahu klien tentang tekhnik cuci tangan yang tepat.Anjurkan
klien untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan
pengobatan dan gunakan saputangan atau handuk bersih. Beritahu
klien untuk menggunakan tetes atau salep mata dengan benar tanpa
menyentuhkan ujung botol pada mata/bulu mata klien. Rasional:
Prinsip higienis perlu ditekankan pada klien untuk mencegah
replikasi kuman sehinnga penyebaran infeksi dapat dicegah.
2.8.4 Bersihkan alat yang digunakan untuk memeriksa klien.Rasional:
Mencegah infeksi silang pada klien yang lain.
2.8.5 Resiko tinggi cedera yang berhubungan dengan penurunan lapang
pandang.
2.8.6 Intervensi keperawatan:
2.8.7 Bersihkan secret mata dengan cara yang benar.Rasional: Sekret
mata akan membuat pandangan kabur.
2.8.8 Perhatikan keluhan pengelihatan kabur yang dapat terjadi setelah
penggunaan tetes mata dan salep mata.Rasional: Memberikan
informasi pada klien agar tidak melakukan aktivitas berbahaya
sesaat setelah penggunaan obat mata.
2.8.9 Gunakan kacamata gelap.Rasional: Mengurangi fotofobia yang
dapat mengganggu pengelihatan klien.
2.9. Evaluasi
2.9.1. Fokus evaluasi adalah:
Resolusi infeksi
Klien mempunyai pengetahuan yang adekuat tentang tindakan
mengontrol ketidaknyamanan,infeksi dan medikasi.
BAB V
PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Tonsilitis
b. Rhinitis dan sinusitis kronis
c. Nasal allergi
d. Tumor nasopharing
e. Deformitas (Cleft palate)
f. Prematuritas
g. Sosial ekonomi yang rendah
DAFTAR PUSTAKA
1. Gunawan wasisdi, Gambaran Klinis Uveitis Anterior Akua pada HLA B27
Positif, FKUGM, Yogyakarta
2. Ilyas Sidarta, Uveitis Anterior, Ilmu Penyakit Mata, ed II, FKUI, Jakarta:
2002
3. Wijana Nana, Uvea, Ilmu Penyakit Mata, hal 126-127
4. K George Roger, MD, Uveitis, Nongranulomatous. www emedicine.co.id,
Accessed. June th. 2005:1-3
5. Vaughan G Daniel, anatomi dan Embriologi Mata, Oftalmologi Umum ed
14, Widya Medika, Jakarta: 2000 hal8-9
6. Pedoman Diagnosis dan Terapi, Lab/UPF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung
dan
7. www.emedicine.com
8. http;//www.google.com