Anda di halaman 1dari 4

TOGGLE NAVIGATION

Melawan Intoleran: Semua Berawal dari Diri Sendiri


Published by KSM Eka Prasetya UI on March 2, 2017

Dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia sebagai negara kesatuan menjadi sebuah
negara yang mengusung perbedaan sebagai kekuatan nasional. Kekuatan persatuan yang
diimplementasikan dengan semangat gotong royong yang merupakan panji-panji pembangunan
bangsa dan negara menuju visi dan misi negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Namun, semboyan negara terus dibuat goyah dengan maraknya perilaku dan sikap intoleran yang
terjadi sejak masa kemerdekaan hingga masa kini. Diperlukan berbagai cara untuk
mempromosikan toleransi dan melawan perilaku dan sikap intoleran sehingga Bhinneka Tunggal
Ika terus mengalir dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.

Diperlukan berbagai cara untuk mempromosikan toleransi dan melawan perilaku dan sikap
intoleran sehingga Bhinneka Tunggal Ika terus mengalir dalam sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat.

Melawan sikap intoleran membutuhkan hukum. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan diharapkan
mampu menciptakan hukum yang melarang perilaku intoleran, dan mewadahi serta mendukung
perilaku toleransi. Lebih spesifiknya, pemerintah bertanggung jawab untuk menegakkan peraturan
HAM serta melarang dan menolak perilaku yang mengandung unsur kebencian (hate crime) dan
diskriminasi terhadap kaum minoritas, baik itu yang dilakukan oleh pemerintah, organisasi
masyarakat, maupun individual. Akses terhadap pengadilan dibutuhkan oleh korban perilaku
intoleran, beserta pendampingan untuk melalui proses hukum. Pemerintah juga harus memberikan
keadilan serta bersikap tegas dalam proses pengadilan atas perilaku intoleran. Sehingga masyarakat
tidak akan bermain hakim sendiri dan melakukan kekerasan untuk menyelesaikan perselisihan.
Hukum dibutuhkan untuk melarang dan menindak perilaku intoleran, namun tidak cukup untuk
mencegah perilaku dan sikap intoleran seseorang. Perilaku intoleran pada umumnya lahir dari
penolakan dan ketakutan, atas ketidakpahaman dalam menyikapi perbedaaan budaya, bangsa,
dan agama. Ketidakpahaman tersebut menggiring individu untuk bersikap arogan dan melebih-
lebihkan diri atau kelompoknya. Gagasan tersebut diajarkan dan dipelajari di masa kecil dari
lingkungan, baik itu sekolah, keluarga, maupun masyarakat. Oleh sebab itu, dibutuhkan pendidikan
yang mengajarkan anak untuk berpandangan terbuka dan tertarik untuk memahami perbedaan yang
ada. Terlebih untuk menghindari pemaksaan terhadap anak untuk bersikap toleran, namun
ditekankan pada realitas perbedaan yang ada. Sehingga anak dapat belajar memahami perbedaan di
kehidupan sekitar dan belajar untuk bersikap toleran tanpa harus adanya pemaksaan. Pendidikan
toleransi juga dibutuhkan semua umur, mengingat pendidikan tidak hanya di bangku sekolah saja.
Namun bisa diterapkan di rumah, organisasi masyarakat, pelatihan kerja, penegakan hukum,
hiburan masyarakat, dan lini informasi.

Akses atas informasi juga bisa menjadi alat untuk melawan perilaku intoleran. Perilaku dan sikap
intoleran akan sangat berbahaya jika digunakan untuk ambisi politik dan kekuasaan oleh individu
maupun kelompok. Politik yang bersifat memecah belah tersebut diawali dengan memanfaatkan
sentimen-sentimen di masyarakat. Pemahaman publik berpotensi disesatkan dengan pemberian
argumen-argumen yang mengandung kebencian. kebohongan atas data statistik, dan manipulasi
opini publik dengan informasi yang menyesatkan dan mengandung prasangka buruk. Langkah
untuk melawan dan meminimalisasi adanya politik pecah belah dan kebencian itu adalah dengan
mengembangkan kebijakan yang menghasilkan serta mempromosikan kebebasan pers dan pers
yang mengusung nilai-nilai pluralisme. Hal tersebut akan memberikan akses atas informasi yang
kredibel dan akuntabel kepada masyarakat. Sehingga masyarakat dapat menentukan antara fakta
dan opini, serta hal-hal yang mengandung konten SARA, untuk menghindari perilaku intoleran di
masyarakat.

Perilaku intoleran di masyarakat merupakan hasil gabungan perilaku intoleran dari tiap individu
yang merupakan anggota masyarakat.

Perilaku intoleran di masyarakat merupakan hasil gabungan perilaku intoleran dari tiap individu
yang merupakan anggota masyarakat. Banyak perilaku intoleran yang individu lakukan secara sadar
maupun tidak sadar. Perilaku intoleran yang dilakukan secara individu bisa berupa prasangka buruk,
stereotip, stigma, hinaan, maupun gurauan berbau SARA (racial jokes). Kenyataannya, perilaku
intoleran melahirkan perilaku intoleran lainnya (intolerance breeds intolerance). Maksud kalimat
tersebut ialah perilaku intoleran yang dilakukan oleh seseorang akan memunculkan keinginan untuk
membalas dendam. Untuk melawan perilaku intoleran tersebut, masing-masing individu harus
mempertimbangkan perilaku intolerannya di masyarakat yang akan menciptakan rasa saling tidak
percaya dan perselisihan. Sebuah perjalanan berawal dari satu langkah kecil. Kita harus bertanya
kepada diri kita masing-masing: Apakah saya seorang yang toleran? Masihkah saya memiliki
sterotip tentang mereka? Masihkah saya melakukan penolakan terhadap mereka yang berbeda?
Apakah saya menyalahkan ‘mereka’ atas permasalahan saya?

Kebanyakan dari masyarakat berasumsi bahwa perilaku intoleran telah mewabah secara masif
secara nasional maupun global. Namun, sedikit dari kita yang menyadari bahwa solusi atas
permasalahan nasional maupun global tersebut bermula dari tindakan yang diambil oleh masyarakat
lokal, bahkan individu sekalipun. Baik itu di lingkungan rumah, RT/RW, sekolah, lingkungan kerja,
universitas, dan lainnya. Ketika berhadapan dengan semakin maraknya perilaku intoleran,
janganlah kita menunggu pemerintah atau institusi untuk bergerak mengatasinya. Kita semua bagian
dari solusi. Perilaku intoleran bisa dilawan dengan aksi damai, tindakan yang membawa pesan arti
kehidupan pluralisme yang sebenarnya dengan semangat persatuan. Aksi damai tersebut bisa berupa
tindakan yang mengajak masyarakat untuk melawan intoleran bersama-sama, mengorganisasi
jaringan pergerakan, menunjukkan serta mendemonstrasikan solidaritas kepada korban perilaku
intoleran, menolak propaganda kebencian. Tindakan-tindakan tersebut bisa dilakukan semua orang
jika ingin mengakhiri perilaku intoleran, kerusuhan dan kebencian. Apakah kita bagian dari masalah
atau bagian dari solusi?

Referensi :

 White, Michael. 2011. Intolerance Breeds Intolerance-No Matter What Race or Religion You Are.
Diakses pada tanggal 21 Februari 2017 pukul 19.00 dari
https://www.theguardian.com/politics/blog/2011/jan/10/gabrielle-giffords-usa

 2016. Promoting Tolerance. Diakses pada 21 Februari 2017 pukul 20.00 dari
http://www.unesco.org/new/en/social-and-human-sciences/themes/fight-against-
discrimination/promoting-tolerance/

 Holmes, Kathlene, Marcus Johnson dan Jennifer Keys Adair. 2015. How to Teach Diakses pada
tanggal 21 Februari 2017 pukul 20.00 dari https://news.utexas.edu/2015/02/10/how-to-teach-
tolerance

Penulis: Irsyad Hadi Prasetyo, Anggota Departemen Kajian, Ilmu Administrasi Fiskal, FIA,
2016.
Penyunting: Puji P. Rahayu, Pengurus Inti, Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, 2014.
Ilustrasi gambar: Rendi Chevi Daffa Ulhaq, Anggota Departemen Media, Informasi, dan
Penerbitan, Teknik Elektro, FT, 2016.

Anda mungkin juga menyukai