Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

CLOSE FRACTURE FEMUR

DI SUSUN OLEH :

NAMA : NOVIYANTI ABDULLAH

NIM : PO0220217029

CI INSTITUSI CI KLINIK

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN PALU

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN POSO

TAHUN 2020
LAPORAN PENDAHULUAN
CLOSE FRACTURE FEMUR

A. KONSEP PENYAKIT
1. DEFINISI
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang
biasanya disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot,
ruptur tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh
dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang
dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat
diabsorbsinya. (Smeltzer, 2001)
Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur
dari tulang femur (Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut
Sjamsuhidajat & Jong (2005) fraktur femur adalah fraktur pada tulang
femur yang disebabkan oleh benturan atau trauma langsung maupun
tidak langsung. Fraktur femur juga didefinisikan sebagai hilangnya
kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis bisa
berupa fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan
lunak (otot, kulit, jaringan saraf dan pembuluh darah) dan fraktur
femur tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada
paha.
Dari beberapa penjelasan tentang fraktur femur di atas, dapat
disimpulkan bahwa fraktur femur merupakan suatu keadaan dimana
terjadinya kehilangan kontinuitas tulang femur yang dapat disebabkan
oleh trauma langsung maupun trauma tidak langsung disertai dengan
adanya kerusakan jaringan lunak.

2. ETIOLOGI
a. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkanoleh kekuatan yang tiba-tiba
berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran,
perubahan tempat. Bila tekanan kekuatan langsungan, tulang
dapat pada tempat yang terkena dan jaringan lunak juga pasti
akan ikut rusak serta kerusakan pada kulit.
b. Akibat kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan
benda lain akibat tekanan berulang. Hal ini sering terjadi pada
atlet, penari atau calon tentara yang berbaris atau berjalan
dalam jarak jauh.
c. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal bila tulang
tersebut lunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang sangat
rapuh.

3. TANDA DAN GEJALA


a. Nyeri
Terjadi karena adanya spasme otot tekanan dari patahan tulang
atau kerusakan jaringan sekitarnya.
b. Bengkak
Bengkak muncul dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir
pada daerah fraktur dan ekstravasi daerah jaringan sekitarnya.
c. Memar
Terjadi karena adanya ekstravasi jaringan sekitar fraktur.
d. Spasme otot
Merupakan kontraksi involunter yang terjadi disekitar fraktur.
e. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau
spasme otot, paralisis dapat terjadi karena kerusakan saraf.
f. Mobilisasi abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian yang pada kondisi
normalnya tidak terjadi pergerakan.
g. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi saat tulang
digerakkan.
h. Deformitas
Abnormal posisi tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau
trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang
ke posisi abnormal, dan menyebabkan tulang kehilangan
bentuk normalnya.
4. PATOFISIOLOGI
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
Tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit.
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak
juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya
timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast
berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat
tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru
umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel
tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat
menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan
kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan
mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan
berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun
jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment.
(Brunner & Suddarth, 2002)

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi/luasnya
fraktur/trauma
b. Scan tulang, scan CT/MRI: memperlihatkan fraktur, juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d. Hitung darah lengkap: HT mungkin meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada
sisi fraktur) perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ
jauh pada trauma multipel.
e. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk
klien ginjal.
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan
darah, transfusi multipel, atau cidera hati. Golongan darah,
dilakukan sebagai persiapan transfusi darah jika ada
kehilangan darah yang bermakna akibat cedera atau tindakan
pembedahan.

6. KOMPLIKASI
Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal
dalam beberapa jam setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi
dalam 48 jam atau lebih, dan sindrom kompartemen, yang berakibat
kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika tidak ditangani segera.
Adapun beberapa komplikasi dari fraktur femur yaitu:
a. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik
kehilangan darah eksterna maupun interna) dan kehilangan
cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak dapat terjadi pada
fraktur ekstremitas, toraks, pelvis, dan vertebra karena tulang
merupakan organ yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi
kehilangan darah dalam jumlah yang besar sebagai akibat
trauma, khususnya pada fraktur femur pelvis.
b. Emboli lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple
atau cidera remuk dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada
pria dewasa muda 20-30 tahun. Pada saat terjadi fraktur
globula lemak dapat termasuk ke dalam darah karna tekanan
sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karna
katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stres pasien akan
memobilitasi asam lemak dan memudahkan terjadiya globula
lemak dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung
dengan trombosit membentuk emboli, yang kemudian
menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok otak, paru,
ginjal dan organ lain. Awitan dan gejalanya yang sangat cepat
dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah
cidera, gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardi
dan pireksia.
c. Sindrom Kompertemen
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi
peningkatan tekanan interstisial di dalam ruangan yang
terbatas, yaitu di dalam kompartemen osteofasial yang
tertutup. Peningkatan tekanan intra kompartemen akan
mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan
oksigen jaringan, sehingga terjadi gangguan sirkulasi dan
fungsi jaringan di dalam ruangan tersebut. Ruangan tersebut
terisi oleh otot, saraf dan pembuluh darah yang dibungkus oleh
tulang dan fascia serta otot-otot individual yang dibungkus
oleh epimisium. Sindrom kompartemen ditandai dengan nyeri
yang hebat, parestesi, paresis, pucat, disertai denyut nadi yang
hilang. Secara anatomi sebagian besar kompartemen terletak di
anggota gerak dan paling sering disebabkan oleh trauma,
terutama mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai atas.
d. Nekrosis avaskular tulang
Cedera, baik fraktur maupun dislokasi, seringkali
mengakibatkan iskemia tulang yang berujung pada nekrosis
avaskular. Nekrosis avaskuler ini sering dijumpai pada kaput
femoris, bagian proksimal dari os. Scapphoid, os. Lunatum,
dan os. Talus (Suratum, 2008).
e. Atropi Otot
Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah
mencapai ukuran normal. Mengecilnya otot tersebut terjadi
karena sel-sel spesifik yaitu sel-sel parenkim yang
menjalankan fungsi otot tersebut mengecil. Pada pasien
fraktur, atrofi terjadi akibat otot yang tidak digerakkan (disuse)
sehingga metabolisme sel otot, aliran darah tidak adekuat ke
jaringan otot (Suratum, dkk, 2008).

7. PENATALAKSANAAN
Tindakan penanganan fraktur dibedakan berdasarkan bentuk
dan lokasi serta usia. Berikut adalah tindakan pertolongan awal pada
penderita fraktur :

a. Kenali ciri awal patah tulang memperhatikan riwayat trauma yang


terjadi karena benturan, terjatuh atau tertimpa benda keras yang
menjadi alasan kuat pasien mengalami fraktur.
b. Jika ditemukan luka yang terbuka, bersihkan dengan antiseptik
dan bersihkan perdarahan dengan cara dibebat atau diperban.
c. Lakukan reposisi (pengembalian tulang ke posisi semula) tetapi
hal ini tidak boleh dilakukan secara paksa dan sebaiknya
dilakukan oleh para ahli dengan cara operasi oleh ahli bedah untuk
mengembalikan tulang pada posisi semula.
d. Pertahankan daerah patah tulang dengan menggunakan bidai atau
papan dari kedua posisi tulang yang patah untuk menyangga agar
posisi tetap stabil.
e. Berikan analgetik untuk mengaurangi rasa nyeri pada sekitar
perlukaan.
f. Beri perawatan pada perlukaan fraktur baik pre operasi maupun
post operasi.

Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan


tulang ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama
masa penyembuhan patah tulang (imobilisasi). (Sjamsuhidajat & Jong, 2005)
Penatalaksanaan yang dilakukan adalah :
a. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh
bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam
(golden period). Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan :
pembersihan luka, exici, hecting situasi, antibiotik.
Ada bebearapa prinsipnya yaitu :
1) Harus ditegakkan dan ditangani dahulu akibat trauma yang
membahayakan jiwa airway, breathing, circulation.
2) Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat yang
memerlukan penanganan segera yang meliputi pembidaian,
menghentikan perdarahan dengan perban tekan, menghentikan
perdarahan besar dengan klem.
3) Pemberian antibiotika.
4) Debridement dan irigasi sempurna.
5) Stabilisasi.
6) Penutup luka.
7) Rehabilitasi.
8) Life saving
Semua penderita patah tulang terbuka harus di ingat sebagai
penderita dengan kemungkinan besar mengalami cidera
ditempat lain yang serius. Hal ini perlu ditekankan mengingat
bahwa untuk terjadinya patah tulang diperlukan suatu gaya
yang cukup kuat yang sering kali tidak hanya berakibat total,
tetapi berakibat multi organ. Untuk life saving prinsip dasar
yaitu : airway, breath and circulation.
9) Semua patah tulang terbuka dalam kasus gawat darurat.
10) Dengan terbukanya barier jaringan lunak maka patah tulang
tersebut terancam untuk terjadinya infeksi seperti kita ketahui
bahwa periode 6 jam sejak patah tulang tebuka luka yang
terjadi masih dalam stadium kontaminsi (golden periode) dan
setelah waktu tersebut luka berubah menjadi luka infeksi. Oleh
karena itu penanganan patuah tulang terbuka harus dilakukan
sebelum golden periode terlampaui agar sasaran akhir
penanganan patah tulang terbuka, tercapai walaupun ditinjau
dari segi prioritas penanganannya. Tulang secara primer
menempati urutan prioritas ke 6. Sasaran akhir di maksud
adalah mencegah sepsis, penyembuhan tulang, pulihnya
fungsi.
11) Pemberian antibiotika
Mikroba yang ada dalam luka patah tulang terbuka sangat
bervariasi tergantung dimana patah tulang ini terjadi.
Pemberian antibiotika yang tepat sukar untuk ditentukan hany
saja sebagai pemikiran dasar. Sebaliklnya antibiotika dengan
spektrum luas untuk kuman gram positif maupun negatif.
12) Debridemen dan irigasi
Debridemen untuk membuang semua jaringan mati pada darah
patah terbuka baik berupa benda asing maupun jaringan lokal
yang mati. Irigasi untuk mengurangi kepadatan kuman dengan
cara mencuci luka dengan larutan fisiologis dalam jumlah
banyak baik dengan tekanan maupun tanpa tekanan.
13) Stabilisasi.
Untuk penyembuhan luka dan tulang sangat diperlukan
stabilisasi fragmen tulang, cara stabilisasi tulang tergantung
pada derajat patah tulang terbukanya dan fasilitas yang ada.
Pada derajat 1 dan 2 dapat dipertimbangkan pemasangan
fiksasi dalam secara primer. Untuk derajat 3 dianjurkan
pemasangan fiksasi luar. Stabilisasi ini harus sempurna agar
dapat segera dilakukan langkah awal dari rahabilitasi
penderita.
b. Seluruh Fraktur
1) Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan
tindakan selanjutnya.
2) Reduksi/Manipulasi/Reposisi
3) Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi
fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang
pada kesejajarannya dan rotasfanatomis.
4) OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu
dengan cara reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open
reduction and external fixation=OREF) sehingga diperoleh
stabilisasi fraktur yang baik. Keuntungan fiksasi eksternal
adalah memungkinkan stabilisasi fraktur sekaligus menilai
jaringan lunak sekitar dalam masa penyembuhan fraktur.
Penanganan pascaoperatif yaitu perawatan luka dan pemberian
antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan
radiologik serial, darah lengkap, serta rehabilitasi berupa
latihan-latihan secara teratur dan bertahap sehingga ketiga
tujuan utama penanganan fraktur bisa tercapai, yakni union
(penyambungan tulang secara sempurna), sembuh secara
anatomis (penampakan fisik organ anggota gerak; baik,
proporsional), dan sembuh secara fungsional (tidak ada
kekakuan dan hambatan lain dalam melakukan gerakan).
5) ORIF
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan
internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi
ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap
menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini
berupa Intra Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur
tulang panjang dengan tipe fraktur tranvers.
6) Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi
fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran
yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi
eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin
dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat
digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai
interna untuk mengimobilisasi fraktur.
7) Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala
upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak.
Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai
kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran
darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah
ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan
neurovaskuler.
A.2Pathway
B. KONSEP ASKEP
1. PENGKAJIAN
a. Pemeriksaan fisik: data fokus
1) Primery survey
a) Airway: Memastikan kepatenan jalan napas tanpa
adanya sumbatan atau obstruksi,
b) Breathing: memastikan irama napas normal atau cepat,
pola napas teratur, tidak ada dyspnea, tidak ada napas
cuping hidung,dan suara napas vesikuler,
c) Circulation: nadi lemah/ tidak teraba, cepat >100x/mt,
tekanan darah dibawah normal bila terjadi syok, pucat
oleh karena perdarahan, sianosis, kaji jumlah
perdarahan dan lokasi, capillary refill >2 detik apabila
ada perdarahan.
d) Disability: kaji tingkat kesadaran sesuai GCS, respon
pupil anisokor apabila adanya diskontinuitas saraf yang
berdampak pada medulla spinalis.
e) Exposure/Environment: fraktur terbuka di femur
dekstra, luka laserasi pada wajah dan tangan, memar
pada abdomen, perut semakin menegang.

2) Secondary survey
a) Fokus Asesment
(1) Kepala: Wajah, kulit kepala dan tulang tengkorak,
mata, telinga, dan mulut. Temuan yang dianggap
kritis:
Pupil tidak simetris, midriasis tidak ada respon
terhadap cahaya ?
Patah tulang tengkorak (depresi/non depresi,
terbuka/tertutup)?
Robekan/laserasi pada kulit kepala?
Darah, muntahan atau kotoran di dalam mulut?
Cairan serebro spinal di telinga atau di hidung?
Battle sign dan racoon eyes?
(2) Leher: lihat bagian depan, trachea, vena jugularis,
otot-otot leher bagian belakang. Temuan yang
dianggap kritis: Distensi vena jugularis, deviasi
trakea atau tugging, emfisema kulit
(3) Dada: Lihat tampilan fisik, tulang rusuk,
penggunaan otot-otot asesoris, pergerakan dada,
suara paru. Temuan yang dianggap kritis: Luka
terbuka, sucking chest wound, Flail chest dengan
gerakan dada para doksikal, suara paru hilang atau
melemah, gerakan dada sangat lemah dengan pola
napas yang tidak adekuat (disertai dengan
penggunaaan otot-otot asesoris).
(4) Abdomen: Memar pada abdomen dan tampak
semakin tegang, lakukan auskultasi dan palpasi
dan perkusi pada abdomen. Temuan yang dianggap
kritis ditekuannya penurunan bising usus, nyeri
tekan pada abdomen bunyi dullness.
(5) Pelvis: Daerah pubik, Stabilitas pelvis, Krepitasi
dan nyeri tekan. Temuan yang dianggap kritis:
Pelvis yang lunak, nyeri tekan dan tidak stabil serta
pembengkakan di daerah pubik
(6) Extremitas: ditemukan fraktur terbuka di femur
dextra dan luka laserasi pada tangan. Anggota
gerak atas dan bawah, denyut nadi, fungsi motorik,
fungsi sensorik.Temuan yang dianggap kritis:
Nyeri, melemah atau menghilangnya denyut nadi,
menurun atau menghilangnya fungsi sensorik dan
motorik.
(7) Pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi suhu,
nadi, pernafasan dan tekanan darah.
(8) Pemeriksaan status kesadaran dengan penilaian
GCS (Glasgow Coma Scale): terjadi penurunan
kesadaran pada pasien.

2. DIAGNOSA
a. Nyeri akut
1) Definisi
Pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan
yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau
potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan
sedemikian rupa (International Association for the study of
Pain); awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas
ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi
atau diprediksi dan berlangsung < 6 bulan.
2) Batasan karakteristik:
Perubahan selera makan
Perubahan tekanan darah
Perubahan frekuensi jantung
Perubahan frekuensi pernapasan
Laporan isyarat
Diaforesis
Perilaku distraksi (mis. Berjalan mondar-mandir mencari
orang lain dan atau aktivitas lain, aktivitas yang berulang)
Mengekspresikan perilaku (mis. Gelisah, merengek,
menangis)
Masker wajah (mis. Mata kurang bercahaya, tampak kacau,
gerakan mata berpencar atau tetap pada satu focus
meringis)
Sikap melindungi area nyeri
Fokus menyempit (mis. gangguan persepsi nyeri, hambatan
proses berfikir, penurunan interaksi dengan orang dan
lingkungan)
Indikasi nyeri yang dapat diamati
Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
Sikap tubuh melindungi
Dilatasi pupil
Melaporkan nyeri secara verbal
Gangguan tidur
3) Faktor yang berhubungan
Agen cedera (mis. biologis, zat kimia, fisik, psikologis)

b. Hambatan mobilitas fisik


1) Definisi :
Keterbatasan dalam, pergerakan fisik mandiri dan terarah
pada tubuh atau satu ekstremitas atau lebih (sebutkan
tingkatnya) :

Tingkat 0 : mandiri total


Tingkat 1 : memerlukan penggunaan peralatan atau alat
bantu
Tingkat 2 : memerlukan bantuan dari orang lain untuk
pertolongan, pengawasan, atau pengajaran
Tingkat 3 : membutuhkan bantuan dari orang lain dan
peralatan atau alat bantu
Tingkat 4 : ketergantungan, tidak berpartisipasi dalam
aktivitas
2) Batasan karaktersitik
Objektif
Penurunan waktu reaksi
Kesulitan membolak balik tubuh
Asyik dengan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan
(misalnya peningkatan perhatian terhadap aktivitas orang
lain, perilaku mengendalikan, berfokus pada kondisi
sebelum sakit atau ketunadayaan aktivitas)
Dispnea saat beraktivitas
Perubahan cara berjalan (misalnya penurunan aktivitas dan
kecepatan berjalan, kesulitan untuk memulai berjalan,
langkah kecil, berjalan dengan menyeret kaki, pada saat
berjalan badan mengayun ke samping)
Pergerakan menyentak
Keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan
motorik halus
Keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik
kasar
Keterbatasan rentang pergerakan sendi
Tremor yang diinduksi oleh pergerakan
Ketidakstabilan postur tubuh (saat melakukan rutinitas
aktivitas kehidupan sehari-hari)
Melambatnya pergerakan
Gerakan tidak teratur atau tidak terkoordinasi
3) Faktor yang berhubungan
Intoleransi aktivitas
Perubahan metabolism selular
Ansietas
Indeks masa tubuh di atas perentil ke 75 sesuai usia
Gangguan kognitif
Konstraktur
Kepercayaan budaya tentang aktivitas sesuai usia
Fisik tidak bugar
Penurunan ketahanan tubuh
Penurunan kendali otot
Penurunan massa otot
Malnutrisi
Gangguan muskuloskeletal
Gangguan neuromuskular, nyeri
Agens obat
Penurunan kekuatan otot
Kurang pengetahuan tentang aktivitas fisik
Keadaan mood depresif
Keterlambatan perkembangan
Ketidaknyamanan
Disuse, kaku sendi
Kurang dukungan lingkungan (misal fisik atau sosial)
Keterbatasan ketahanan kardiovaskuler
Kerusakan integritas struktur tulang
Program pembatasan gerak
Keengganan memulai pergerakan
Gaya hidup monoton
Gangguan sensori perseptual

3. PERENCANAAN
No. Tujuan & Kriteria Hasil
Intervensi (NIC) Rasional
Dx (NOC)
1. Setelah dilakukan asuhan 1. Pemberian analgesik 1. Menggunakan agen-agen
keperawatan selama … x farmakologi untuk mengurangi
24 jam diharapkan pasien atau menghilangkan nyeri
tidak mengalami nyeri 2. Manajemen medikasi 2. Memfasilitasi penggunaan obat
dengan kriteria hasil : resep atau obat bebas secara
1. Memperlihatkan teknik aman dan efektif
relaksasi secara 3. Manajemen nyeri 3. Meringankan atau mengurangi
individual yang efektif nyeri sampai pada tingkat
untuk mencapai kenyamanan yang dapat
keamanan diterima oleh pasien
2. Mempertahankan 4. Manajemen sedasi 4. Memberikan sedative,
tingkat nyeri pada __ memantau respon pasien, dan
atau kurang memberikan dukungan
3. Melaporkan nyeri pada fisiologis yang dibutuhkan
penyedia layanan selama prosedur diagnostic
kesehatan atau terapeutik
4. Tidak mengalami
gangguan dalam
frekuensi pernapasan,
frekuensi jantung atau
tekanan darah
2. Setelah dilakukan asuhan Exercice therapy : ambulation
keperawatan selama … x 1. Monitoring vital sign 1. Mencegah terjadinya
24 jam diharapkan pasien sebelum/sesudah latihan penurunan kondisi atau cedera
tidak mengalami hambatan dan lihat respon pasien pada pasien saat dilakukan
mobilitas fisik dengan saat latihan tindakan.
kriteria hasil : 2. Konsultasikan dengan 2. Meningkatkan mobilitas pasien
1. Klien meningkat dalam terapi fisik tentang rencana sesuai kondisi pasien
aktivitas fisik ambulasi sesuai dengan
2. Mengerti tujuan dari kebutuhan.
peningkatan mobilitas 3. Bantu pasien untuk 3. Membantu meningkatkan
3. Memverbalisasikan menggunakan tongkat saat kekuatan dan ketahanan otot.
perasaan dalam berjalan dan cegah
meningkatkan kekuatan terhadap cedera
dan kemampuan 4. Ajarkan pasien atau tenaga 4. Mampu melakukan tindakan
berpindah kesehatan lain tentang secara mandiri dan termotivasi
4. Memperagakan teknik ambulasi untuk meningkatkan mobilitas
kemampuan alat 5. Kaji kemampuan pasien 5. Mengetahui sejauh mana
5. Bantu untuk mobilisasi dalam mobilisasi peningkatan mobilisasi.
(walker) 6. Latih pasien dalam 6. Agar pasien mampu
pemenuhan kebutuhan melakukan aktivitas secara
ADLs secara mandiri mandiri.
sesuai kemampuan
7. Dampingi dan bantu pasien 7. Meningkatkan motivasi pasien
saat mobilisasi dan bantu dalam melakukan aktivitas
pemenuhan kebutuhan sehari-hari
ADLs pasien
8. Berikan alat bantu jika 8. Mampu melakukan aktivitas
pasien memerlukan secara mandiri guna
meningkatkan mobilitas
9. Ajarkan pasien bagaimana 9. Meningkatkan kesejahteraan
merubah posisi dan berikan fisologis dam psikologis
bantuan jika diperlukan

DAFTAR PUSTAKA

Ahern, N. R & Wilkinson, J. M. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan


Edisi 9 Edisi Revisi. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

M a n s j o e r, A . ( 2 0 0 0 ) . Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2.


Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Nurarif, A. H & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda NIC-NOC Edisi Revisi Jilid 2.
Yogyakarta: Penerbit Mediaction.

Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi II. Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai