Anda di halaman 1dari 5

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Pemphigus vulgaris berasal dari dua kata, yaitu pemphix berasal dari
bahasa Yunani yang berarti gelembung dan vulgaris berasal dari bahasa Latin
yang artinya umum. Pemfigus merupakan kelainan autoimun berupa bula atau
vesikel di kulit ataupun mukosa, berasal dari laposan suprabasal epidermis
dan disebabkan oleh proses akantolisis dan secara imunopatologi terdapat
immunoglobulin yang menyerang sel keratinosit Pemfigus dibagi menjadi
dua kelompok utama, yaitu pemfigus vulgaris bila bula muncul dari lapisan
suprabasal epidermis, dan pemfigus foliaceus bila bula muncul pada lapisan
granulosum. Pemfigus vulgaris merupakan penyakit yang jarang tetapi dapat
berakibat fatal karena risiko infeksi sekunder.
B. Epidemiologi
Prevalensi pemfigus vulgaris berkisar antara 1-4 kasus per 100.000
penduduk dengan insidesi 0,5-4 kasus per satu juta orang per tahun. Kejadian
tertinggi di dunia terdapat di Amerika Serikat dan Eropa. Penyakit ini dapat
terjadi pada seluruh kelompok usia, umumnya pada kelompok usia 50-60
tahun serta lebih banyak terjadi pada keturunan Yahudi dan Timur Tengah,
berhubungan dengan Human Leukocyte antigen (HLA) DR4 dan DR6.
Berdasarkan usia penderitanya, pemfigus vulgaris dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu childhood pempigus vulgaris jika mengenai anak kurang dari 12
tahun, juvenile pemphigus vulgaris jika mengenai anak usia 12-18 tahun.
Angka mortalitas pemfigus vulgaris mencapat 75% pada tahun pertama.
C. Etiologi dan Patogenesis
Penyebab pemfigus vulgaris adalah antibodi yang menyerang desmoglein
1 dan 3. Jika yang diserang hanya desmoglein 3, lesi yang lebih banyak
terkena adalah di mukosa. Desmoglein adalah protein yang berperan dalam
adhesi sel terutama di epidermis dan membran mukosa. Antibodi tersebut
merupajan subkelas IgG1 dan IgG4, tetapi yang patogenik adalah IgG4 yang
dapat menyebabkan proses akantolisis tanpa adanya sel komplemen atau sel
inflamasi. Pembentukan autoantibodi bersifat T-cell dependent, Th1, Th2
yang autoreaktif terjadi pada pemfigus vulgaris. Terdapat hubungan antara

1
kadar antibodi dan aktivitas penyakit. Antibodi ini dapat melewati palsenta
dan menyebabkan bula pada neonatus. Pemfigus vulgaris dapat muncul
bersamaan dengan penyakit autoimun lain seperti miastenia gravis dan SLE
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis ditandai oleh erosi lapisan mukosa dan bula di kulitdan
mukosa dengan dasar dapat berupa kulit normal atau eritema,dapat mengenai
kulit seluruh tubuh. Bulaberdinding tipis dan mudah pecah. Awalnyadapat
berisi cairan jernih, jika bertambahberat dapat berisi cairan mukopurulen
ataudarah. Pada sekitar 60% kasus lesipertama kali muncul di mulut, sisanya
munculpertama kali di kulit kepala, wajah, leher, ketiakatau genital. Lesi
tidak gatal tetapi nyeri.
Bula yang pecah akan membentuk erosi kemudian krusta, merupakan
jalan untuk infeksi sekunder yang dapat meningkatkan mortalitas. Krusta sulit
sembuh, namun jika sembuhakan membentuk lesi hiperpigmentasi tanpaskar,
karena lapisan dermis tidak terlibat.Lesi mukosa dapat merupakan satu-
satunyatanda pemfigus vulgaris sebelum adanyalesi kulit yang dapat muncul
5 bulan hingga1 tahun setelah adanya lesi mukosa. Lesi mukosa dapat
mengenai mukosa oral, mukosa hidung, konjungtiva,penis, dan mukosa
vagina. Lesi pada mulut dapat berlanjut hingga ke tenggorokan,menimbulkan
suara serak dan sulit menelan.Pada beberapa kasus dapat terjadi
esofagitismeskipun gangguan kulit terkontrol. Pada umumnya pemfigus
vulgaris mengenaimukosa terlebih dahulu sebelum lesi kulit.Kasus yang
hanya mengenai kulit tanpamengenai lapisan mukosa jarang terjadi.
E. Penegakan Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik terdapat Nikolsky sign, tanda ini sensitif tetapi
tidak spesifik. Nikolsky sign dilihat dengan cara menggosokkan tangan dari
daerah normal hingga ke lesi, hasil positif jika kulit mengelupas, menandakan
pelepasan lapisan superfisial lapisan basal epidermis. Selain itu, terdapat
Asboe-Hansen sign berupa gambaran bula yang melebar jika bagian tengah
bula ditekan.
Pemeriksaan imunologi berperan penting, pemeriksaan ELISA bersifat
spesifik, sedangkan pemeriksaaan imunofloresensi lebih sensitif. Pemeriksaan

2
antibodi juga dapat membantu menilai keberhasilan terapi, pada penderita
yang telah remisi tidak terdapat lagi antibodi.
F. Penatalaksanaan
Tatalaksana harus dilakukan segera setelah didiagnosis meskipun lesi
hanya sedikit, karena lesi akan cepat meluas dan jika tidak ditatalaksana
dengan baik prognosisnya buruk.Tatalaksana pemfigus vulgaris dibagi dalam
3 fase, yaitu fase kontrol, fase konsolidasi, dan fase maintenance
1. Fase kontrol
Fase kontrol adalah fase penyakit dapat dikontrol, terbukti dari tidak
terbentuknya lesi baru dan penyembuhan lesi yang sudah ada.
Direkomendasikan kortikosteroid dosis tinggi, umumnya prednison 100-
150 mg/hari secara sistemik, alternatif adalah deksametason 100 mg/hari.
Dosis harus di tappering off segera setelah lesi terkontrol.
Obat-obat imunosupresi, seperti azathioprin, mycophenolate mofetil,
metrotreksat, dan siklofosfamid, dikombinasi dengan kortikosteroid dosis
rendah dapat mengurangi efek samping kortikosteroid..
2. Fase konsolidasi
Fase konsolidasi adalah fase terapi untuk mengontrol penyakit
hingga sebagian besar (sekitar 80%) lesi kulit sembuh, fase ini dimulai
saat berlangsung penyembuhan kulit hingga sebagian besar lesi kulit
telah sembuh. Lama fase ini hanya beberapa minggu, jika
penyembuhanlambat dosis terapi kortikosteroid ataupun terapi adjuvan
imunosupsresan perlu ditingkatkan
3. Fase maintenance
Fase maintenance adalah fase pengobatandengan dosis terendah
yang dapat mencegahmunculnya lesi kulit baru, fase ini dimulaisaat
sebagian besar lesi telah sembuh dantidak tampak lagi lesi baru. Pada
fase inidosis kortikosteroid diturunkan bertahap,sekitar seperempat dosis
setiap satu hinggadua minggu. Penurunan yang terlalu cepatberisiko
memunculkan lesi kulit baru,penurunan yang terlalu lambat
meningkatkanrisiko efek samping kortikosteroid.

3
Obat topikal seperti sulfadiazine perak1% dapat mencegah infeksi
sekunder.Lesi mukosa dapat diberi obat kumur difenhidramin
hidroklorida. Kortikosteroid topikal dapat memberikan efek positif
padalesi minimal. Pasien harus tetap mandisetiap hari untuk mengurangi
risiko infeksisekunder, mengurangi penebalan krusta danmengurangi bau
badan.
G. Prognosis
Pemfigus vulgaris jika tidak diobati berisiko tinggi kematian,
sebagianbesar disebabkan oleh sepsis dan gangguan keseimbangan cairan
Penggunaan kortikosteroid akanmengurangi angka kematian 5% hingga
15%.Morbiditas dan mortalitas berkaitan denganberatnya penyakit, efek dosis
maksimum kortikosteroid untuk mencapai remisi, dan adanya infeksi lain.
Kasus relaps umumnya terjadi pada 2 tahun pertama.

4
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed AR, Nguyen T, Kaveri S, Spigelman ZS. First line treatment of


pemphigus vulgaris with a novel protocol in patients with contraindications to
systemic
corticosteroids and immunosuppressive agents: Preliminary retrospective study
with a seven year follow-up. Int Immunopharmacol34:25-31.

Guillen S, Khachemoune A. 2007. Pemphigus vulgaris: A short review for the


practitioner. Dermatol Nurs 19(3):269-72.

James W, Berger T, Elston D. 2011. Chronic blistering disorder. Andrew’s


disease of the skin 11th ed. Philadelphia: Elsevier

Margolis DJ. 2010. A randomized trial and the treatment of pemphigus vulgaris. J
Invest Dermatol130(8):1964–6.

Reddy VG, Ramlal G, Reddy KJ, Swetha K, Madhavi A. Pemphigus vulgaris:


Application of occlusal soft splint with topical steroid in the treatment. J Indian
Acad Oral Med Radiol23:263–6.

Rezeki S dan Titiek S. 2009. Pemphigus Vulgaris : Pentingnya Diagnosis


Dini,Penatalaksanaan Yang Komprehensif Dan Adekuat(Laporan Kasus).
Indonesian Journal of Dentistry 16(1): 1-7

Samadi Zeynab GF, Davari P, Firouz A. 2007. Opinions of Experts from Asia on
the Diagnosis and Treatment of Pemphigus Vulgaris. Indian J Med Sci 61(3):
144-151

Singh S. 2011. Evidence-based treatments for pemphigus vulgaris, pemphigus


foliaceus and bullous pemphigoid: A systematic review. Indian J Dermatol
Venereol Lepr77(4):456–69.

Stanley JR. 2008. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed. New
York: Mc Graw Hill

Stanley JR, Amagai M. 2006. Pemphigusbullous impetigo, and the staphylococcal


scalded-skin syndrome. N Engl J Med355(17):1800–10.

Wojnarwoska F, Venning V, Burge S. 2004. Rook’s textbook of dermatology. 7th


ed. Philadelphia: Blackwell Publishing.

Willian V. 2016. Pemfigus Vulgaris: Diagnosis dan Tatalaksana. CDK-247


43(12): 905-908

Anda mungkin juga menyukai