Anda di halaman 1dari 75

TUGAS PBL

PENURUNAN KESADARAN

Disusun oleh : KELOMPOK 16

1. Hamdani Rahmatillah 17700119


2. Tiara Ardiyanti 18700075

3. Sonia Engelina Anwar 18700077

4. Hilaria Sintiche Kilmas 18700079

5. Kiswati Rozi Permatasari 18700081

6. Nadya Andrea Perdana 18700083

7. Bangga Nusantara Putra 18700085

8. Dwi Puspita Ningrum 18700087

PEMBIMBING TUTOR : dr. Nugroho Eko Wirawan Budianto, M.Si

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

TAHUN AKADEMIK 2019/2020


KATA PENGANTAR

Puji syukur para penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME atas Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga para penulis dapat menyelesaikan makalah skenario 3 ini
dengan judul “Penurunan Kesadaran”. Dengan begitu tugas makalah untuk kegiatan
SGD atau Small Group Discussion Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya
Kusuma Surabaya ini dapat terselesaikan sebagai tugas kelompok. Mengingat
terbatasnya waktu dan kemampuan yang para penulis miliki, maka para penulis
menyadari tugas ini masih membutuhkan kritik yang membangun. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang sifatnya membangun, sangat kami harapkan demi
kesempurnaan tugas ini. Maka melalui kesempatan ini, perkenankan para penulis
menyampaikan ucapan terimakasih. Semoga Tuhan YME melimpahkan semua
bantuan dan keikhlasan yang telah membantu kami dalam menyusun tugas makalah
ini.

Surabaya, 16 November 2019

Tim Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... 2
BAB I
SKENARIO 2..................................................................................................... 4
BAB II
KATA KUNCI ................................................................................................... 5
BAB III
PROBLEM DAN TUJUAN .............................................................................. 6
BAB IV ............................................................................................................... 7
PEMBAHASAN ................................................................................................ 7
BAB V ............................................................................................................... 62
HIPOTESIS AWAL ........................................................................................ 62
BAB VI ............................................................................................................. 63
ANALISIS DARI DIFFERENTIAL DIAGNOSIS ...................................... 63
BAB VII............................................................................................................ 67
HIPOTESIS AKHIR (DIAGNOSIS)............................................................. 67
BAB VIII .......................................................................................................... 61
MEKANISME DIAGNOSIS .......................................................................... 61
BAB IX ............................................................................................................. 62
STRATEGI MENYELESAIKAN MASALAH ............................................ 62
BAB X ............................................................................................................... 63
PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI .............................................................. 63
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 65
BAB I
SKENARIO 3:
PENURUNAN KESADARAN

Seorang perempuan berusia 57 Tahun datang ke rumah sakit diantar oleh


keluarganya dengan keluhan penurunan kesadaran sejak tiga jam yang
lalu. Menurut keluarganya, pasien tidak sadar ketika dibangunkan 2 jam
yang lalu dan terdengar mengorok. Sebelumnya pasien mengeluh lemas,
sempoyongan dan suka berkeringan dingin pasien mengeluh lemas sejak
satu minggu yang lalu.
BAB II
KATA KUNCI
Setelah membaca dan memahami skenario 3 yang berjudul “Penurunan
Kesadaran” dapat di temukan beberapa kata kunci sebagai berikut :
1. Penurunan Kesadaran
2. Lemas
3. Keringat dingin
BAB III

PROBLEM DAN TUJUAN


3.1 Latar Belakang

1. Apa saja yang menyebabkan Ibu ini mengalami penurunan


kesadaran?

2. Penyakit apa saja yang menyebabkan melatarbelakangi penurunan


kesadaran?

3. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus tersebut?

4. Bagaimana cara mengedukasi pasien dan keluarga pasien?

3.2 Tujuan

1. Untuk mengetahui penyebab Ibu tersebut mengalami penurunan


kesadaran.

2. Untuk mengetahui jenis penyakit yang melatarbelakangi penurunan


kesadaran.

3. Untuk mengetahui penatalaksaan yang tepat.

4. Untuk mengetahui dan menjelaskan dengan benar kepada pasien dan


keluarganya.
BAB IV

PEMBAHASAN
❖ Hiperglikemia
Hiperglikemia merupakan pengertian dari suatu kondisi ketika kadar glukosa
darah meningkat melebihi batas normalnya. Hiperglikemia menjadi salah satu gejala
awal seseorang mengalami gangguan metabolik yaitu diabetes mellitus (Kementerian
Kesehatan RI, 2014). Data Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan bahwa jumlah
penderita diabetes dengan ciri khusus yaitu kondisi hiperglikemia di Indonesia semakin
meningkat sejak tahun 2007 yaitu sebesar 5,7% menjadi 6,8% di tahun 2013.
Hiperglikemia dapat disebabkan oleh ketidakmampuan pankreas dalam menghasilkan
insulin maupun ketidakmampuan tubuh dalam menggunakan insulin yang dihasilkan
dengan baik (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
❖ Anatomi dan Fisiologi Pankreas
Pankreas manusia secara anatomi letaknya menempel pada duodenum dan
terdapat kurang lebih 200.000 – 1.800.000 pulau Langerhans. Dalam pulau langerhans
jumlah sel beta normal pada manusia antara 60% - 80% dari populasi sel Pulau
Langerhans. Pankreas berwarna putih keabuan hingga kemerahan. Organ ini
merupakan kelenjar majemuk yang terdiri atas jaringan eksokrin dan jaringan endokrin.
Jaringan eksokrin menghasilkan enzim-enzim pankreas seperti amylase, peptidase dan
lipase, sedangkan jaringan endokrin menghasilkan hormon-hormon seperti insulin,
glukagon dan somatostatin (Dolensek, Rupnik & Stozer, 2015).
Pulau Langerhans mempunyai 4 macam sel yaitu (Dolensek, Rupnik & Stozer, 2015):
a. Sel Alfa : sekresi glukagon

b. Sel Beta : sekresi insulin

c. Sel delta : sekresi somatostatin

d. Sel Pankreatik
Hubungan yang erat antar sel-sel yang ada pada pulau Langerhans
menyebabkan pengaturan secara langsung sekresi hormon dari jenis hormon yang lain.
Terdapat hubungan umpan balik negatif langsung antara konsentrasi gula darah dan
kecepatan sekresi sel alfa, tetapi hubungan tersebut berlawanan arah dengan efek gula
darah pada sel beta. Kadar gula darah akan dipertahankan pada nilai normal oleh peran
antagonis hormon insulin dan glukagon, akan tetapi hormon somatostatin menghambat
sekresi keduanya (Dolensek, Rupnik & Stozer, 2015).
A) Insulin
Insulin (bahasa latin insula, “pulau”, karena diproduksi di pulau-pulau
Langerhans di pankreas) adalah sebuah hormon yang terdiri dari 2 rantai polipeptida
yang mengatur metabolisme karbohidrat (glukosa glikogen). Dua rantai
dihubungkan oleh ikatan disulfida pada posisi 7 dan 20 di rantai A dan posisi 7 dan 19
di rantai B (Guyton & Hall, 2012).
2.2.1 Fisiologi Pengaturan Sekresi Insulin
Peningkatan kadar glukosa darah dalam tubuh akan menimbulkan respons
tubuh berupa peningkatan sekresi insulin. Bila sejumlah besar insulin
disekresikan oleh pankreas, kecepatan pengangkutan glukosa ke sebagian
besar sel akan meningkat sampai 10 kali lipat atau lebih dibandingkan
dengan kecepatan tanpa adanya sekresi insulin. Sebaliknya jumlah glukosa
yang dapat berdifusi ke sebagian besar sel tubuh tanpa adanya insulin,
terlalu sedikit untukkeadaan normal, dengan pengecualian di sel hati dan
sel otak (Guyton & Hall, 2012).

(The New Zealand Institute of Health and Fitness, 2007)


Gambar 2.2Mekanisme Insulin Dalam Menyimpan Glukosa Darah ke
Dalam Sel
Pada kadar normal glukosa darah puasa sebesar 80-90 mg/100ml, kecepatan
sekresi insulin akan sangat minimum yakni 25mg/menit/kg berat badan.
Namun ketika glukosa darah tiba-tiba meningkat 2-3 kali dari kadar normal
maka sekresi insulin akan meningkat yang berlangsung melalui 2 tahap
(Guyton & Hall, 2012) :
1. Ketika kadar glukosa darah meningkat maka dalam waktu 3-5 menit
kadar insulin plasama akan meningkat 10 kali lipat karena sekresi
insulin yang sudah terbentuk lebih dahulu oleh sel-sel beta pulau
langerhans. Namun, pada menit ke 5-10 kecepatan sekresi insulin mulai
menurun sampai kira-kira setengah dari nilai normalnya.
2. Kira-kira 15 menit kemudian sekresi insulin mulai meningkat kembali
untuk kedua kalinya yang disebabkan adanya tambahan pelepasan
insulin yang sudah lebih dulu terbentuk oleh adanya aktivasi beberapa
sistem enzim yang mensintesis dan melepaskan insulin baru dari sel
beta.
• Jenis-jenis penyakit yang berhubungan
Tinjauan Umum DM
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya (American Diabetes Association, 2013).
2.3.1 Diagnosis
Diagnosis klinis DM ditegakkan bila ada gejala khas DM seperti poliuria,
polidipsia, polifagia dan menurunnya berat badan yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya. Alur penegakkan diagnosis DM dapat dilihat pada
skema yang ada di gambar bawah ini (Ndraha, 2014) :
Gambar 2.3
Langkah Diagnostik DM dan Gangguan Toleransi Glukosa
2.3.2 Klasifikasi
Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association
2013
(ADA 2013) :

No. Klasifikasi Etologi


Diabetes

• Adanya destruksi sel beta


pankreas karena auotoimun.
• Menentukan seksresi insulin
1 DM tipe I sedikit atau tidak sama sekali
dapat menggunakan level protein
c-peptida yang jumlahnya sedikit
atau tidak terdeteksi sama sekali.
• Manifestasi klinik pertama dari
DM tipe 1 adalah ketoasidosis.

• Terjadi hiperinsulinemia yang


merupakan menurunnya
kemampuan insulin untuk
merangsang pengambilan glukosa
2 DM tipe II oleh jaringan perifer dan untuk
menghambat produksi glukosa
oleh hati.
• Sel beta pankreas mengalami
desensitisasi terhadap adanya
glukosa.
• Onset DM tipe 2 terjadi perlahan-
lahan sehingga gejalanya
asimptomatik dan biasanya
terdiagnosis setelah terjadi
komplikasi.

• Defek genetik fungsi sel beta


• Defek genetik kerja insulin
• Penyakit eksokrin pankreas
3 DM tipe lain • Penyakit metabolik endokrin lain
• Iatrogenik
• Infeksi virus
• Penyakit autoimun
• Kelainan genetik lain

4 DM gestasional
• Terjadi selama masa kehamilan
dimana intoleransi glukosa
didapati pertama kali pada masa
kehamilan (Trimester 2 & 3).
• Meningkatnya komplikasi
perinatal.
• Memiliki resiko lebih besar untuk
menderita DM yang menetap
dalam jangka waktu 5-10 tahun
setelah melahirkan.

2.3.3 Patofisiologi DM
a) DM Tipe 1
DM tipe 1 atau biasa disebut dengan diabetes melitus yang tergantung
insulin (IDDM). Pada IDDM terdapat kekurangan insulin absolut sehingga
pada pasien IDDM membutuhkan suplai insulin dari luar. Keadaan ini
disebabkan karena sel beta pankreasmengalami lesi akibat dari mekanisme
autoimun, yang pada keadaan tertentu dipicu oleh infeksi virus. Pulau
pankreas diinfiltrasi oleh limfosit T dan ditemukan autoantibodi terhadap
jaringan pulau yaitu ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies) dan
autoantibodi insulin (IAA). ICCA pada beberapa kasus dapat dideteksi
selama bertahun-tahun sebelum onset penyakit. Ketika sel beta mati, maka
ICCA akan menghilang kembali. Sekitar 80% pasien membentuk antibodi
terhadap glutamat dekarboksilase yang diekspresikan di sel beta. IDDM
lebih sering terjadi pada pembawa antigen HLA tertentu (HLA-DR3 dan
HLA-DR4), hal ini menunjukkan terdapat faktor predisposisi genetik
(Silbernagl dan Lang, 2014).
b) DM Tipe 2
DM tipe 2 atau bisa disebut juga dengan diabetes melitus yang tidak
tergantung insulin (NIDDM). NIDDM merupakan diabetes yang paling
sering terjadi dan terdapat defisiensi insulin relatif. Pelepasan insulin dapat
normal atau bahkan biasanya meningkat, tetapi organ target memiliki
sensitivitas yang berkurang terhadap insulin (Silbernagl dan Lang, 2014).
Pasien NIDDM biasanya memiliki berat badan berlebih yang terjadi
karena disposisi genetik, asupan makanan yang terlalu banyak dan aktivitas
fisik yang terlalu sedikit. Ketidakseimbangan tersebut meningkatkan
konsentrasi asam lemak di dalam darah yang selanjutnya akan menurunkan
penggunaan glukosa di otot dan jaringan lemak. Akibatnya, akan terjadi
resistensi insulin yangmemaksa untuk meningkatkan pelepasan insulin.
Karena menurunnya regulasi pada reseptor, resistensi insulin akan semakin
meningkat. Sehingga, obesitas merupakan pemicu yang penting namun
bukan satu-satunya penyebab NIDDM, karena faktor disposisi genetik
meupakan faktor yang lebih penting.
Seringnya pelepasan insulin yang tidak pernah normal, maka beberapa
gen telah diidentifikasi sebagai gen yang meningkatkan terjadinya obesitas
dan NIDDM. Diantara beberapa faktor tersebut, kelainan genetik pada
protein yang memisahkan rangkaian di mitokondria membatasi
penggunaan substrat. Oleh karena itu, jika faktor disposisi genetiknya kuat
maka resiko mengalami NIDDM dapat terjadi pada usia muda (Silbernagl
dan Lang, 2014).
Adanya penurunan sensitivitas terhadap insulin mempengaruhi efek
insulin pada metabolisme glukosa, sedangkan pengaruhnya pada
metabolisme lemak dan protein tetap dipertahankan dengan baik. Jadi
NIDDM lebih cenderung menyebabkan hiperglikemia berat tanpa disertai
metabolisme lemak. Defisiensi insulin relatif juga dapat disebabkan oleh
autoantibodi terhadap reseptor insulin atau transmisi intrasel. Tanpa
adanya disposisi genetik, diabetes dapat terjadi pada perjalanan penyakit
lain, seperti pankreatitis dengan kerusakan sel beta atau kerusakan toksik
pada sel beta. DM ditingkatkan oleh peningkatan pelepasan hormon
antagonis, diantaranya somatotropin,glukokortikoid, epinefrin,
progesteron, dan koriomamotropin, ACTH, hormon tiroid dan glukagon.
Infeksi yang cukup berat dapat meningkatkan pelepasan beberapa hormon
yang telah disebutkan diatas sehingga meningkatkan manifestasi DM.
Somatostatinoma dapat menyebabkan diabetes karena somatostatin yag
disekresikan dapat menghabat pelepasan insulin (Silbernagl dan Lang,
2014).
c) Diabetes Tipe Lain
Berdasarkan American Diabetes Association (2013) yang menyatakan
bahwa diabetes dapat berkembang menjadi diabetes sekunder yang
disebabkan oleh beberapa hal seperti diabetes yang disebabkan karena
neoplasma, penyakit pankreas, penyakit yang berhubungan dengan sistem
endokrin ataupun konsumsi obat-obatan tertentu. Selain itu, kegagalan
sistem endokrin dalam tubuh yang mempengaruhi produksi hormon
counterregulatory seperti Acromegaly, Cushing’s syndrome, dan
Hyperthyroidism dapat berkembang menjadi diabetes sekunder. Tidak
hanya itu saja, namun beberapa penyebab lain seperti sindroma genetik lain
yang diantaranya adalah sindroma Down, Klinefelter, Turner, Huntington,
Chorea, Prader Willi juga dapat berkembang menjadi diabetes sekunder
atau termasuk diabetes tipe lain (American Diabetes Association, 2013).
d) Diabetes Gestasional
1. Peranan Unit Feto-Plasenta
Diabetes gestasional disebabkan adanya peningkatan resistensi insulin
dan penurunan sensitivitas insulin selamakehamilan yang merupakan
efek dari meningkatnya hormon yang dihasilkan selama kehamilan,
seperti estrogen, progesteron, kortisol dan laktogen dalam sirkulasi
maternal. Sehingga semakin meningkatnya usia kehamilan, resistensi
insulin semakin besar. Plasenta mensintesa progesteron dan
pregnenolone. Progesteron sebagai sumber pembentukan kortisol dan
kortikosteron di kelenjar adrenal janin. Peningkatan kortisol selama
kehamilan normal menyebabkan penurunan toleransi glukosa.
Sedangkan pregnenolone ini merupakan sumber pembentuk estrogen,
dimana hormone ini mempengaruhi fungsi sel β pankreas.Selain
estrogen dan progesterone, Human placental lactogen (hPL) merupakan
produk dari gen hPL-A dan hPL-B yang disekresikan ke sirkulasi
maternal dan janin. Hormon hPL ini akan terpengaruh oleh kadar
glukosa dan akan meningkat 10x lipat, yang menandakan kondisi
hipoglikemia.
Hormon ini menstimulasi lipolisis, yang menyebabkan tingginya kadar
asam lemak dalam sirkulasi, ditujukan untuk membentuk glukosa yang
dibutuhkan oleh janin. Asam lemak ini berfungsi antagonis dengan
fungsi insulin, sehingga terjadi hambatan penyimpanan glukosa dalam
sel (Kaaja dan Ronnemaa, 2009).
2. Peranan Jaringan Adipose
Adipositokin, yang merupakan produk dari jaringan adiposa diduga
berperan dalam regulasi metabolisme maternal dan resitensi insulin
selama kehamilan. Adipositokin, termasuk leptin,adiponektin, Tumor
Necrosis Factor- alpha, IL-6, resistin, visfatin dan apelin ini diproduksi
intrauterine. Adiponektin ini mempunyai efek sensitisasi insulin dengan
cara menurunkan trigliserida jaringan yang mengganggu aktivasi
insulin-stimulated phosphatidylinositol 3- kinase dan translokasi
Glucose transporter 4 (GLUT-4) serta uptake glukosa. Selain itu, TNF-
alpha juga merupakan predictor dari resistensi insulin selama kehamilan
dan ditemukan konsntrasinya rendah pada awal kehamilan, dan menjadi
tinggi pada akhir kehamilan. Hal ini sejalan dengan sensitivitas insulin
yang terus menurun pada akhir kehamilan. Sebagai tambahan, TNF-
alpha ini juga menurunkan kadar adiponektin di adiposit (Kaaja dan
Ronnemaa, 2009).
2.3.4 Komplikasi
Pada DM yang tidak terkendali atau tidak segera ditangani dapat terjadi
komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler kronik, baik
mikroangiopati maupun makroangiopati. Di Amerika Serikat, DM
merupakan penyebab utama dari end-stage renal disease (ESRD),
nontraumatic lowering amputation, dan adult blindness. Sejak ditemukan
banyak obat untuk menurunkan glukosa darah, terutama setelah insulin
ditemukan, angka kematian penderita diabetes akibat komplikasi akut
menurun drastis. Kelangsungan hidup penderita diabetes lebih panjang dan
diabetes dapat dikontrol lebih lama. Komplikasi kronis akibat diabetes
yang tidak terkendali dapat menyebabkan kerusakan organ-organ tubuh
diantaranya (Ndraha, 2014)
• Kerusakan saraf (neuropati)

• Kerusakan mata (retinopati)

• Kerusakan ginjal (nefropati)

• Penyakit jantung koroner


• Stroke

• Hipertensi

• Penyakit paru

• Infeksi

• Gangguan saluran cerna

• Penyakit pembuluh darah perifer

• Gangguan pada hati


Gejala Klinis

Komplikasi penyakit diabetes yang satu ini sering kali tidak menunjukkan gejala berarti
sampai glukosa darah melonjak lebih dari 200 miligram per desiliter (mg/dL), atau 11
milimol per liter (mmol/L).

Namun, beberapa tanda atau gejala yang mungkin terjadi jika Anda mengalami
hiperglikemia adalah:

❖ Sering buang air kecil.


❖ Sering haus.
❖ Sering merasa lapar berlebihan.
❖ Penglihatan kabur.
❖ Lemas, lesu, dan tidak bertenaga.
❖ Sakit kepala.
❖ HIPOGLIKEMI
Hipoglikemia adalah keadaan dengan kadar glukosa darah sewaktu dibawah 60 mg/dl,
kadar gula atau glukosa di dalam tubuh lebih rendah dari kebutuhan tubuh . Faktor
yang memudahkan hipoglikemia antara lain kelebihan dosis insulin pada pengidap
diabetes dependen-insulin per-oral maupun perIV, penggunaan sulfonylurea,
kurangnya konsumsi makanan yang cukup, latihan fisik yang berlebih, dan situasi
stress .
Gejala-gejala hipoglikemia terdiri dari tiga fase yaitu fase sub luminal dengan kadar
gula darah 60-50 mg/dl gejala rasa lapar tiba-tiba. Fase kedua adalah aktivasi dengan
kadar gula darah 50-20 mg/dl yang muncul gejala adrenergik seperti palpitasi, keringat
berlebihan, tremor, ketakutan, mual, muntah. Fase ketiga yaitu neurologi dengan kadar
gula darah glukosa yang paling rendah. Kombinasi dari ketiadaan glukosa dan respon
epinefrin yang lemah dapat menyebabkan gejala klinis ketidak sempurnaan pengaturan
glukosa yang meningkatkan resiko hipoglikemi berat. Penurunan respon epinefrin pada
hipoglikemi adalah sebuah tanda dari lemahnya respon saraf otonom yang dapat
menyebabkan gejala klinis ketidaksadaran pada hipoglikemi. (Noor, 2012)
Selain itu, pada pasien dengan hipoglikemia terjadi kematian jaringan yang disebabkan
karena kekurangan oksigen pada jaringan tersebut yang bahkan dapat mengancam
kehidupan. Keadaan ini terjadi karena adanya gangguan pada hematologi/ hemoglobin
yang berperan sebagai transport oksigen. Hemoglobin yang kekurangan glukosa akan
mempengaruhi kualitas transport oksigen. Terapi oksigen adalah memasukkan oksigen
tambahan dari luar ke paru melalui saluran pernafasan dengan menggunakan alat sesuai
kebutuhan. (Noor, 2012)
Bila tidak tertolong penderita akan tidak sadarkan diri. Koma ini disebut koma
hipoglikemik , yaitu kekurangan glukosa di dalam darah. Hal ini disebabkan karena
obat anti diabetes yang diminum dengan dosis terlalu tinggi, atau penderita terlambat
makan, atau bisa juga karena latihan fisik yang berlebihan. Serangan hipoglikemia ini
berbahaya, bila sering terjadi atau terjadi dalam waktu yang lama, dapat menyebabkan
kerusakan otak yang permanen atau bahkan kematian. ditandai dengan nafsu makan
menurun, minum banyak, kencing banyak, disusul rasa mual, muntah, napas penderita
cepat dan dalam, berbau aseton, sering disertai panas badan karena bila ada infeksi dan
penderita koma diabetik . Timbulnya komplikasi diabetik jangka panjang karena
kelainan kronik metabolism disebabkan oleh insufisiensi sekresi insulin. Komplikasi
diabetik dapat juga dikurangi atau dicegah jika pengobatan diabetes cukup efektif
untuk membawa kadar glukosa ke dalam kisaran normal seperti yang diindikasikan
oleh hemoglobin glikat (Rizka,2009)
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI OTAK
Susunan Saraf pusat
1. Medula Spinalis
a. Otak besar
b. Otak kecil
2. Otak
3. Batang otak
Susunan saraf perifer
1. Susunan saraf somatic
Susunan saraf yang mempunyai
peranan spesifik untuk mengatur
aktivitas otot sadar atau serat lintang.
2. Susunan saraf otonom
Susunan saraf yang mempunyai
peranan penting memengaruhi pekerjaan otot involunter (otot polos) seperti
jantung, hati, pancreas, jalan pencernaan, kelenjar dan lain-lain.
a. Susunan saraf simpatis
b. Susunan saraf parasimpatis
Otak
Otak terletak dalam rongga kranium (tengkorak) berkembang dari sebuah
tabung yang mulanya memperhatikan tiga gejala pembesaran otak awal.
a. Otak depan menjadi hemisfer serebri, korpus striatum, thalamus, serta
hipotalamus.
b. Otak tengah, tegmentum, krus serebrium, korpus kuadrigeminus.
c. Otak belakang, menjadi pons varoli, medulla oblongata, dan serebelum.
a) Serebrum
Pada otak besar ditemukan beberapa lobus yaitu:
1. Lobus frontalis, adalah bagian dari serebrum yang terletak di depan sulkus
sentralis.
2. Lobus parietalis, terdapat di depan sulkus sentralis dan dibelakang oleh korako-
oksipitalis.
3. Lobus temporalis, terdapat
dibawah lateral dari fisura serebralis
dan di depan lobus oksipitalis.
4. Oksipitalis yang mengisi bagian
belakang dari serebrum.

Korteks serebri selain dibagi dalam


lobus dapat juga dibagi menurut fungsi
dan banyaknya area. Campbel
membagi bentuk korteks serebri menjadi 20 area. Secara umum korteks serebri
dibagi menjadi empat bagian:
1. Korteks sensoris. Pusat sensasi umum primer suatu hemisfer serebri yang
mengurus bagian badan, luas daerah korteks yang menangani suatu alat atau
bagian tubuh bergantung pada fungsi alat yang bersangkutan. Di samping itu
juga korteks sensoris bagian fisura lateralis menangani bagian tubuh bilateral
lebih dominan.
2. Korteks asosiasi. Tiap indra manusia, korteks asosiasi sendiri merupakan
kemampuan otak manusia dalam bidang intelektual, ingatan, berpikir,
rangsangan yang diterima diolah dan disimpan serta dihubungkan dengan daya
yang lain. Bagian anterior lobus temporalis mempunyai hubungan dengan
fungsi luhur dan disebut psikokorteks.
3. Korteks motoris menerima impuls dari korteks sensoris, fungsi utamanya
adalah kontribusi pada traktur piramidalis yang mengatur bagian tubuh
kontralateral.
Korteks pre-frontal terletak pada lobus frontalis berhubungan dengan sikap
mental dan kepribadian.
Fungsi serebrum
1. Mengingat pengalaman yang lalu.
2. Pusat persarafan yang menangani, aktivitas mental, akal, intelegensi,
keinginan, dan memori.
3. Pusat menangis, buang air besar, dan buang air kecil.
b) Batang otak
Batang otak terdiri dari:
1. Diensefalon, ialah bagian
otak yang paling rostral, dan
tertanam di antara ke-dua
belahan otak besar
(haemispherium cerebri).
Diantara diensefalon dan
mesencephalon, batang otak
membengkok hampir sembilah
puluh derajat kearah ventral.
Kumpulan dari sel saraf yang terdapat di bagian depan lobus temporalis terdapat
kapsula interna dengan sudut menghadap kesamping. Fungsi dari diensefalon:
a. Vasokonstriktor, mengecilkan pembuluh darah
b. Respiratori, membantu proses persarafan.
c. Mengontrol kegiatan refleks.
d. Membantu kerja jantung.
2. Mesensefalon, atap dari mesensefalon terdiri dari empat bagian yang menonjol
ke atas. Dua di sebelah atas disebut korpus kuadrigeminus superior dan dua di
sebelah bawah disebut korpus kuadrigeminus inferior. Serat saraf
okulomotorius berjalan ke ventral di bagian medial. Serat nervus troklearis
berjalan ke arah dorsal menyilang garis tengah ke sisi lain. Fungsinya:
a. Membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata.
b. Memutar mata dan pusat pergerakan mata.
3. Pons varoli, brakium pontis yang menghubungkan mesensefalon dengan pons
varoli dengan serebelum, terletak di depan serebelum di antara otak tengah dan
medula oblongata. Disini terdapat premotoksid yang mengatur gerakan
pernapasan dan refleks. Fungsinya:
a. Penghubung antara kedua bagian serebelum dan juga antara medula
oblongata dengan serebelum atau otak besar.
b. Pusat saraf nervus trigeminus.
4. Medula oblongata merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah yang
menghubungkan pons varoli dengan medula spinalis. Bagian bawah medula
oblongata merupakan persambungan medula spinalis ke atas, bagian atas
medula oblongata yang melebar disebut kanalis sentralis di daerah tengah
bagian ventral medula oblongata. Fungsi medula oblongata:
a. Mengontrol kerja jantung.
b. Mengecilkan pembuluh darah (vasokonstriktor).
c. Pusat pernapasan.
d. Mengontrol kegiatan refleks
c) Serebelum
Serebelum (otak kecil) terletak
pada bagian bawah dan belakang
tengkorak dipisahkan dengan
serebrum oleh fisura transversalis
dibelakangi oleh pons varoli dan di
atas medula oblongata. Organ ini
banyak menerima serabut aferen
sensoris, merupakan pusat
koordinasi dan integrasi.
Bentuknya oval, bagian yang
mengecil pada sentral disebut vermis dan bagian yang melebar pada lateral disebut
hemisfer. Serebelum berhubungan dengan batang otak melalui pendunkulus
serebri inferior (korpus retiformi) permukaan luar serebelum berlipat-lipat
menyerupai serebelum tetapi lipatannya lebih kecil dan lebih teratur. Permukaan
serebelum ini mengandung zat kelabu.
Korteks serebelum dibentuk oleh subtansia grisea, terdiri dari tiga lapisan
yaitu granular luar, lapisan purkinye, lapisan granular dalam. Serabut saraf yang
masuk dan yang keluar dari serebrum harus melewati serebelum
Fungsi serebelum
1. Arkhioserebelum (vestibuloserebelum), serabut aferen berasal dari telinga dalam yang
diteruskan oleh nervus VIII (auditorius) untuk keseimbangan dan rangsangan pendengaran
ke otak.
2. Paleaserebelum (spinoserebelum. Sebagai pusat penerima impuls dari reseptor sensasi
umum medula spinalis dan nervus vagus (N. trigeminus) kelopak mata, rahang atas, dan
bawah serta otot pengunyah.
3. Neoserebelum (pontoserebelum). Korteks serebelum menerima informasi tentang
gerakan yang sedang dan yang akan dikerjakan dan mengaturgerakan sisi badan.
d) Saraf otak
Urutan saraf Nama Saraf Sifat Saraf Memberikan saraf untuk
dan fungsi
I Nervus olfaktorius Sensorik Hidung, sebagai alat penciuman
II Nervus optikus Sensorik Bola mata, untuk penglihatan
III Nervus Motorik Penggerak bola mata dan
okulomotoris mengangkat kelopak mata
IV Nervus troklearis Motorik Mata, memutar mata dan
penggerak bola mata
V Nervus trigeminus Motorik dan sensorik -

N. Oftalmikus Motorik dan sensorik Kulit kepala dan kelopak mata


atas
N. Maksilaris Sensorik Rahang atas, palatum dan
hidung
N. Mandibularis Motorik dan sensorik Rahang bawah dan lidah
VI Nervus abdusen Motorik Mata, penggoyang sisi mata
VII Nervus fasialis Motorik dan Sensorik Otot lidah, menggerakkan lidah
dan selaput lendir rongga mulut
VIII Nervus auditorius Sensorik Telinga, rangsangan
pendengaran
IX Nervus vagus Sensorik dan motorik Faring, tonsil, dan lidah,
rangsangan citarasa
X Nervus vagus Sensorik dan motorik Faring, laring, paru-paru dan
esophagus
XI Nervus asesorius Motorik Leher, otot leher
XII Nervus hipoglosus Motorik Lidah, citarasa, dan otot lidah
e) Saraf otonom
Saraf Simpatis
Saraf ini terletak di depan kolumna vertebra dan berhubungan dengan
sumsum tulang belakang melalui serabut – serabut saraf. Sistem simpatis terdiri
dari 3 bagian, yaitu :
1. Kornu anterior segmen torakalis ke – 1 sampai ke-12 dan segmen lumbalis 1-3
terdapat nucleus vegetative yang berisi kumpulan – kumpulan sel saraf
simpatis. Sel saraf simpatis ini mempunyai serabut – serabut preganglion yang
keluar dari kornu anterior bersama- sama dengan radiks anterior dan nucleus
spinalis. Setelah keluar dari foramen intervertebralis, serabut – serabut
preganglion ini segera memusnahkan diri dari nucleus spinalis dan masuk ke
trunkus simpatikus serabut. Serabut preganglion ini membentuk sinap terhadap
sel – sel simpatis yang ada dalam trunkus simpatikus. Tetapi ada pula serabut –
serabut preganglion setelah berada di dalam trunkus simpatikus terus keluar
lagi dengan terlebih dahulu membentuk sinaps menuju ganglion – ganglion /
pleksus simpatikus.

2. Trunkus simpatikus beserta cabang – cabangnya. Di sebelah kiri dan kanan


vertebra terdapat barisan ganglion saraf simpatikus yang membujur di
sepanjang vertebra. Barisan ganglion – ganglion saraf simpatikus ini disebut
trunkus simpatikus. Ganglion – ganglion ini berisi sel saraf simpatis. Antara
ganglion satu dengan ganglion lainnya, atas, bawah, kiri, kanan, dihubungkan
oleh saraf simpatis yang keluar masuk ke dalam ganglion – ganglion itu. Hali
ini menyebabkan sepasang trunkus simpatikus juga menerima serabut – serabut
saraf yang datang dari kornu anterior. Trunkus simpatikus di bagi menjadi 4
bagian yaitu :

a. Trunkus simpatikus servikalis.


Terdiri dari 3 pasang ganglion. Dari ganglion – ganglion ini keluar cabang –
cabang saraf simpatis yang menuju ke jantung dari arteri karotis. Disekitar
arteri karotis membentuk pleksus. Dari pleksus ini keluar cabang – cabang
yang menuju ke atas cabang lain mempersarafi pembuluh darah serta organ
– organ yang terletak di kepala. Misalnya faring, kelenjar ludah, kelenjar
lakrimalis, otot – otot dilatators, pupil mata, dan sebagainya.
b. Trunkus simpatikus torakalis.
Terdiri dari 10-11 ganglion, dari ganglion ini keluar cabang – cabang
simpatis seperti cabang yang mensarafi organ – organ di dalam toraks ( mis,
orta, paru – paru, bronkus, esophagus, dsb ) dan cabang – cabang yang
menembus diafragma dan masuk ke dalam abdomen, Cabang ini dalam
rongga abdomen mensarafi organ – organ di dalamnya.
c. Trunkus simpatikus lumbalis.
Bercabang – cabang menuju ke dalam abdomen, juga ikut membentuk pleksus
solare yang bercabang – cabang ke dalam pelvis untuk turut membentuk
pleksus pelvini.
d. Trunkus simpatikus pelvis. Bercabang cabang ke dalam pelvis untuk
membentuk pleksus pelvini.
3. Pleksus simpatikus beserta cabang cabangnya. Di dalam abdomen, pelvis,
toraks, serta di dekat organ – organ yang dipersarafi oleh saraf simpatis (
otonom ).
Umumnya terdapat pleksus – pleksus yang dibentuk oleh saraf simpatis /
ganglion yaitu pleksus/ganglion simpatikus.
Ganglion lainnya ( simpatis ) berhubungan dengan rangkaian dua ganglion
besar, ini bersama serabutnya membentuk pleksus – pleksus simpatis :
1. Pleksus kardio, terletak dekat dasar jantung serta mengarahkan cabangnya
ke daerah tersebut dan paru – paru
2. Pleksus seliaka, terletak di sebelah belakang lambung dan mempersarafi
organ – organ dalam rongga abdomen
3. Pleksus mesentrikus ( pleksus higratrikus ), terletak depan sacrum dan
mencapai organ – organ pelvis

Tabel 10-2 Organ tubuh dan system pengendalian ganda


Organ Rangsangan simpatis Rangsangan
parasimpatis
Jantung Denyut dipercepat Denyut dipercepat
Arteri koronari Dilatasi Konstriksi
Pembuluh darah perifer Vasokonstriksi Vasodilatasi
Tekanan darah Naik Turun
Bronkus Dilatasi Konstriksi
Kelenjar ludah Sekresi berkurang Sekresi bertambah
Kelenjar lakrimalis Sekresi berkurang Sekresi bertambah
Pupil mata Dilatasi Konstriksi
Sistem pencernaan makanan Peristaltik berkurang Peristaltik bertambah
(SPM) Sekresi berkurang Sekresi bertambah
Kelenjar – kelenjar SPM Ekskresi bertambah Ekskresi berkurang
Kelenjar keringat
Fungsi serabut saraf simpatis
1. Mensarafi otot jantung
2. Mensarafi pembuluh darah dan otot tak sadar
3. Mempersarafi semua alat dalam seperti lambung, pancreas dan usus
4. Melayani serabut motorik sekretorik pada kelenjar keringat
5. Serabut motorik pada otot tak sadar dalam kulit
6. Mempertahankan tonus semua otot sadar.
Sistem Parasimpatis
Saraf cranial otonom adalah saraf cranial 3, 7, 9, dan 10. Saraf ini
merupakan penghubung, melalui serabut – serabut parasimpatis dalam perjalanan
keluar dari otak menuju organ – organ sebagian dikendalikan oleh serabut –
serabut menuju iris. Dan dengan demikian merangsang gerakan – gerakan saraf ke
-3 yaitu saraf okulomotorik. Saraf simpatis sacral keluar dari sumsum tulang
belakang melalui daerah sacral. Saraf – saraf ini membentuk urat saraf pada alat –
alat dalam pelvis dan bersama saraf – saraf simpatis membentuk pleksus yang
mempersarafi kolon rectum dan kandung kemih. Refleks miksi juga menghilang
bila saraf sensorik kandung kemih mengalami gangguan. System pengendalian
ganda ( simpatis dan parasimpatis ). Sebagian kecil organ dan kelenjar memiliki
satu sumber persarafan yaitu simpatis atau parasimpatis. Sebagian besar organ
memiliki persarafan ganda yaitu : menerima beberapa serabut dari saraf otonom
sacral atau cranial. Kelenjar organ dirangsang oleh sekelompok urat saraf ( masing
– masing bekerja berlawanan ). Dengan demikian penyesuaian antara aktivitas dan
tempat istirahat tetap dipertahankan. Demikian pula jantung menerima serabut –
serabut ekselevator dari saraf simpatis dan serabut inhibitor dari nervus vagus.
Saluran pencernaan memiliki urat saraf ekselevator dan inhibitor yang
mempercepaT dan memperlambat peristaltic berturut – turut.
Fungsi serabut parasimpatis :
1. Merangsang sekresi kelenjar air mata, kelenjar sublingualis, submandibularis,
dan kelenjar – kelenjar dalam mukosa rongga hidung.
2. Mmepersarafi kelenjar air mata dan mukosa rongga hidung, berpusat di nuclei
lakrimalis, saraf – sarafnya keluar bersama nervus fasialis.
3. Mempersarafi kelenjar ludah ( sublingualis dan submandibularis ), berpusat di
nucleus salivatorius superior, saraf – saraf ini mengikuti nervus VII
4. Mempersarafi parotis yang berpusat di nucleus salivatoris inferior di dalam
medulla oblongata, saraf ini mengikuti nervus IX
5. Mempersarafi sebagian besar alat tubuh yaitu jantung, paru – paru,
gastrointestinum, ginjal, pancreas, limfa, hepar, dan kelenjar suprarenalis yang
berpusat pada nucleus dorsalis nervus X
6. Mempersarafi kolon desendens, sigmoid, rectum, vesika urinaria dan alat
kelamin, berpusat di sacral II, III, IV.
7. Miksi dan defekasi pada dasarnya adalah suatu reflex yang berpusat di kornu
lateralis medulla spinalis bagian sacral. Bila kandung kemih dan rectum tegang
miksi dan defekasi secara reflex. Pada orang dewasa reflex ini dapat
dikendalikan oleh kehendak. Saraf yang berpengaruh menghambat ini berasal
dari korteks di daerah lotus parasentralis yang berjalan dalam traktus
piramidalis.
B. DEFINISI STROKE

Stroke merupakan penyebab cacat nomor satu dan penyebab kematian


nomor dua di dunia. Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan yang
mendunia dan semakin penting, dengan dua pertiga stroke terjadi di negara-
negara yang sedang berkembang (Feigin, 2006). Di Indonesia, diperkirakan
setiap tahun terjadi 500.000 penduduk terkena serangan stroke, sekitar 2,5 %
atau 125.000 orang meninggal, dan sisanya cacat ringan maupun berat. Jumlah
penderita stroke cenderung terus meningkat setiap tahun, bukan hanya
menyerang penduduk usia tua, tetapi juga dialami oleh mereka yang berusia
muda dan produktif hal ini akibat gaya dan pola hidup masyarakat yang tidak
sehat, seperti malas bergerak, makanan berlemak dan kolesterol tinggi,
sehingga banyak diantara mereka mengidap penyakit yang menjadi pemicu
timbulnya serangan stroke. Saat ini serangan stroke lebih banyak dipicu oleh
adanya hipertensi yang disebut sebagai silent killer, diabetes melittus, obesitas
dan berbagai gangguan kesehatan yang terkait dengan penyakit degeneratif.
Secara ekonomi, dampak dari insiden ini prevalensi dan akibat kecacatan
karena stroke akan memberikan pengaruh terhadap menurunnya produktivitas
dan kemampuan ekonomi masyarakat dan bangsa (Yastroki, 2009). Gangguan
peredaran darah diotak (GPDO) atau dikenal dengan CVA ( Cerebro Vaskuar
Accident) adalah gangguan fungsi syaraf yang disebabkan oleh gangguan aliran
darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak ( dalam beberapa detik)
atau secara cepat ( dalam beberapa jam ) dengan gejala atau tanda yang sesuai
dengan daerah yang terganggu.(Harsono,1996, hal 67). Stroke menurut World
Health Organization (WHO) adalah disfungsi neurologi akut yang disebabkan
oleh gangguan aliran darah yang timbul secara mendadak sesuai dengan tanda
dan gejala daerah lokal pada otak yang terganggu. Sindrom neurologi akut yang
disebabkan oleh gangguan aliran darah yang timbul secara hemiparesis
sekunder semacam gangguan aliran darah. Stroke atau cedera cerebrovaskuler
adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah
ke bagian otak sering ini adalah kulminasi penyakit serebrovaskuler selama
beberapa tahun. (Smeltzer C. Suzanne,2002, hal 2131). Penyakit ini merupakan
peringkat ketiga penyebab kematian di United State. Akibat stroke pada setiap
tingkat umur tapi yang paling sering pada usia antara 75 – 85 tahun. (Long. C,
Barbara;1996, hal 176).
C. KLASIFIKASI STROKE
Klasifikasi stroke terbagi menjadi 2 macam, yaitu:
a. Stroke hemoragik: salah satu pembuluh darah di otak (aneurisma,
mikroaneurisma, kelainan pembuluh darah kongenital) pecah atau robek
b. Stroke non hemoragik/ iskemik stroke:Terjadi akibat obstruksi atau bekuan
di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum
STROKE HEMORAGIK
Pecahnya pembuluh darah serebral diotak dan terjadinya pendarahan diotak
disaat seseorang sedang melakukan aktifitas. Stoke hemoragik dapat dibagi 2 :
1. Perdarahan intra serebral (PIS)

Pendarahan intra serebral mempunyai gejala prodromal,kecuali nyeri


kepala pada hipertensi. Serangan sering kali pada siang hari.mual dan muntah
sering terdapat pada serangan permulaan serangan hemiparesis/hemiplegi
terjadi pada sejak kesadaran menurun dan cepat coma (65% terjadi kurang dari
setengah jam dan 12% terjadi setelah 2 jam sampai 19 hari.
2. Perdarahan serebral anachroid (PSA)

Gejala nyeri kepala hebat dan akut kesadaran sering terganggu dan
sangat bervariasi.ada gejala, tanda rangsangan meningeal. edema pupil bila ada
pendarahan subhilaloid karena pecahnya aneurisma.
STROKE NON-HEMORAGIK (stroke iskemik, infark otak, penyumbatan)
EPIDEMIOLOGI
Stroke Non Hemoragik adalah masalah neurologik primer di AS dan di
dunia. Meskipunupaya pencegahan telah menimbulkan penurunan pada insiden
beberapa tahun terakhir,stroke adalah peringkat ketiga penyebab kematian,
dengan laju mortalitas 18 % sampai 37% untuk stroke pertama dan sebesr 62 % untuk
stroke selanjutnya. Terdapat kira-kira 2juta orang bertahan hidup dari stroke yang
mempunyai beberapa kecacatan; dari angka ini,40% memerlukan bantuan
dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.( Smeltzer C. Suzanne,2002, hal
2131).Penyakit ini merupakan peringkat ketiga penyebab kematian di United
State. Akibatstroke pada setiap tingkat umur tapi yang paling sering pada usia
antara 75 ± 85 tahun.(Long. C, Barbara;1996, hal 176). Stroke adalah penyebab cacat
nomor satu dan penyebab kematian nomor dua di dunia. Penyakit ini telah
menjadi masalah kesehatan yang mendunia dan semakin penting, dengan dua
pertiga stroke sekarang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang.(
Feigin, Valery. Stroke Panduan Bergambar Tentang Pencegahan dan
Pemulihan Stroke. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer. 2006.) Menurut taksiran
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 20,5 juta jiwa di dunia sudah
terjangkit stroke pada tahun 2001. Dari jumlah itu 5,5 juta telah meninggal
dunia. Penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5 juta
kasus stroke di dunia.( Sutrisno, Alfred. Stroke? You Must Know Before you
Get It!. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2007. Hal: 1-13)Di Amerika
Serikat, stroke menempati posisi ketiga sebagai penyakit utama yang
menyebabkan kematian. Posisi di atasnya dipegang penyakit jantung dan
kanker. Di negeri Paman Sam ini, setiap tahun terdapat laporan 700.000 kasus
stroke. Sebanyak 500.000 diantaranya kasus serangan pertama, sedangkan
200.000 kasus lainnya berupa stroke berulang. Sebanyak 75 persen penderita
stroke menderita lumpuh dan kehilangan pekerjaan.(Sutrisno, Alfred. Stroke?
You Must Know Before you Get It!. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
2007. Hal: 1-13) Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah
jantung dan kanker. Sebanyak 28,5 persen penderita stroke meninggal dunia.
Sisanya menderita kelumpuhan sebagian maupun total. Hanya 15 persen saja
yang dapat sembuh total dari serangan stroke dan kecacatan.
ETIOLOGI

Beberapa keadaan dibawah ini dapat menyebabkan stroke antara lain :

1. Thrombosis Cerebral

Thrombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi


sehingga menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapa menimbulkan
oedema dan kongesti di sekitarnya.Thrombosis biasanya terjadi pada orang
tua yang sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena
penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat
menyebabkan iskemi serebral.Tanda dan gejala neurologis seringkali
memburuk pada 48 jam sete;ah thrombosis.

Beberapa keadaan dibawah ini dapat menyebabkan thrombosis otak :

a. Atherosklerosis

Atherosklerosis adalah mengerasnya pembuluh darah serta


berkurangnya kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh darah.
Manifestasi klinis atherosklerosis bermacam-macam. Kerusakan dapat
terjadi melalui mekanisme berikut :

• Lumen arteri menyempit dan mengakibatkan berkurangnya aliran


darah.
• Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadi thrombosis.
• Merupakan tempat terbentuknya thrombus, kemudian melepaskan
kepingan thrombus (embolus)
• Dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma kemudian robek
dan terjadi perdarahan.
b. Hypercoagulasi pada polysitemia

Darah bertambah kental , peningkatan viskositas /hematokrit


meningkat dapat melambatkan aliran darah serebral.

c. Arteritis( radang pada arteri )


2. Emboli

Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh


bekuan darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari
thrombus di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral.
Emboli tersebut berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30
detik. Beberapa keadaan dibawah ini dapat menimbulkan emboli :

a. Katup-katup jantung yang rusak akibat Rheumatik Heart


Desease.(RHD)
b. Myokard infark
c. Fibrilasi, Keadaan aritmia menyebabkan berbagai bentuk
pengosongan ventrikel sehingga darah terbentuk gumpalan kecil dan
sewaktu-waktu kosong sama sekali dengan mengeluarkan embolus-
embolus kecil.
d. Endokarditis oleh bakteri dan non bakteri, menyebabkan terbentuknya
gumpalan-gumpalan pada endocardium.
• Klasifikasi Stroke Iskemik/non hemoragik
Berdasarkan perjalanan klinisnya stroke non-hemoragik dikelompokkan
menjadi 4, yaitu (Junaidi,2004) :
1. Transient Ischemic Attack (TIA) membaik dalam 24 jam tidak
menyebabkan infak jaringan.
2. Reversible Ischemic Neurologic Defisit (RIND); Variasi TIA dengan tanda
neurologis lebih dari 24 jam
3. Progressing Stroke atau Stroke in evolution
4. Completed Stroke atau stroke komplit

PERBEDAAN STROKE HEMORAGIK DAN STROKE NON-HEMORAGIK


Gejala Klinis Stroke Hemoragik Stroke Non
PIS PSA Hemoragik
1. Gejala defisit lokal Berat Ringan Berat/ringan
2. SIS sebelumnya Amat jarang - +/ biasa
3. Permulaan (onset) Menit/jam 1-2 menit Pelan (jam/hari)
4. Nyeri kepala Hebat Sangat hebat Ringan/ tak ada
5. Muntah pada awalnya Sering Sering Tidak, kecuali lesi
di batang otak
6. Hipertensi Hampir selalu Biasanya tidak Sering kali
7. Kesadaran Bisa hilang Bisa hilang sebentar Dapat hilang
8. Kaku kuduk Jarang Bisa ada pada Tidak ada
permulaan
9. Hemiparesis Sering sejak awal Tidak ada Sering dari awal
10. Deviasi mata Bisa ada Tidak ada mungkin ada
11. Gangguan bicara Sering Jarang Sering
12. Likuor Sering berdarah Selalu berdarah Jernih
13. Perdarahan Subhialoid Tak ada Bisa ada Tak ada

14. Paresis/gangguan N III - Mungkin (+) -

Stillwell, susan. 2011. pedoman keperawatan kritis. Jakarta : EGC

MANIFESTASI KLINIS

Oklusi yang disebabkan oleh trombus atau emboli mempunyai perbedaan.


Pada trombus gejala lebih bertahap. Biasanya terdapat gejala prodormal yang
minor. Stroke akibat trombus biasanya terjadi pada saat tidur, baik pada malam
hari maupun pagi hari. Gejala baru dirasakan saat bangun dari tidur dan penderita
yang langsung terjatuh karena belum menyadari kelainan yang terjadi. Sementara
stroke akibat emboli dapat terjadi kapan saja, bangun dari tidur untuk ke kamar
mandi adalah saat-saat yang berbahaya.
Trombosis pada arteri jarang sekali menyebabkan sakit kepala. Namun bila
sakit kepala timbul biasanya sesuai dengan lokasi trombus, pada oklusi arteri
karotis, sakit kepala terjadi sesuai pada sisi yang tersumbat. Penurunan kesadaran
yang terjadi akibat trombus disebabkan oleh paralisis fungsi secara keseluruhan.
Penurunan kesadaran juga dapat disebabkan oleh kejang yang terjadi akibat edema
sekunder danancaman herniasi batang otak.
Bila arteri karotis komunis tersumbat, maka pada palpasi di leher tidak
teraba denyut nadi. Pada oklusi arteri karotis interna, denyut arteri karotis komunis
biasanya teraba di daerah arteri karotis interna di leher. Adanya bruit dapat
menunjukkan adanya sumbatan di arteri karotis interna. Namun bila sumbatan
sangat besar sehingga tidak ada aliran darah, maka bruit tidak akan terdengar. Bila
bruit juga terdengar pada mata ipsilateral maka dapat dipastikan sumbatan berada
di arteri tersebut.
Oklusi trungkus yang melibatkan hemisfer dominan menyebabkan afasia
global. Sementara bila melibatkan hemisfer yang tidak dominan akan
menyebabkan gangguan persepsi (anosognia) dan fungsi bahasa yang berkurang
secara kualitatif. Oklusi yang mengenai cabang superior akan menyebabkan defisit
kontralateral yang melibatkan ekstremitas atas dan wajah dan sebagian
kontralateral tungkai dan kaki. Dan oklusi yang mengenai cabang inferior hemisfer
dominan akan mengakibatkan afasia Wernicke. Infark pada hemisfer yang tidak
dominan akan menyebabkan quadrantanopsia superior atau hemiaopsia homonim.
Oklusi pada cabang inferior kanan juga dapat menyebabkan neglect visual kiri.
Dan kerusakan lobus temporal pada akhirnya akan menyebabkan agitasi dan
confusional state
Hemisfer kiri merupakan hemisfer yang dominan untuk bicara dan bahasa
pada hampir 95% individu yang kinan. Infark yang terjadi pada hemisfer ini akan
menyebabkan terjadinya gangguan bahasa dan praksi, tergantung dimana lesi
iskemi terjadi. Sementara oklusi pada hemisfer kanan akan menyebabkan defisit
motorik dan perilaku abnormal. Dan pada akhirnya mempengaruhi afek atensi
yang menyebabkan terjadinya impersistence dan neglect.

• Gejala-gejala neurologi yang timbul biasanya bergantung pada arteri yang


tersumbat.

1. Arteri serebri media (MCA)

Gejala-gejalanya antara lain hemiparese kontralateral, hipestesi


kontralateral, hemianopsia ipsilateral, agnosia, afasia, dan disfagia, Deviasi
kedua mata ke arah lesi. Karena MCA memperdarahi motorik ekstremitas
atas maka kelemahan tungkai atas dan wajah biasanya lebih berat daripada
tungkai bawah.

2. Arteri serebri anterior


Umumnya menyerang lobus frontalis sehingga menyebabkan gangguan
bicara, timbulnya refleks primitive (grasping dan sucking reflex),
penurunan tingkat kesadaran, kelemahan kontralateral (tungkai bawah
lebih berat dari pada tungkai atas), defisit sensorik kontralateral, demensia,
dan inkontinensia uri.

3. Arteri serebri posterior

Menimbulkan gejalah seperti hemianopsia homonymous kontralateral,


kebutaan kortikal, agnosia visual, penurunan tingkat kesadaran,
hemiparese kontralateral, gangguan memori.

4. Arteri vertebrobasiler (sirkulasi posterior)

Umumnya sulit dideteksi karena menyebabkan deficit nervus kranialis,


serebellar, batang otak yang luas. Gejalah yang timbul antara lain vertigo,
nistagmus, diplopia, sinkop, ataksia, peningkatan refleks tendon, tanda
Babynski bilateral, tanda serebellar, disfagia, disatria, dan rasa tebal pada
wajah. Tanda khas pada stroke jenis ini adalah temuan klinis yang saling
berseberangan (defisit nervus kranialis ipsilateral dan deficit motorik
kontralateral).

5. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior)

Gejala yang ada umumnya unilateral. Lokasi lesi yang paling sering adalah
bifurkasio arteri karotis komunis menjadi arteri karotis interna dan
eksterna. Adapun cabang-cabang dari arteri karotis interna adalah arteri
oftalmika (manifestasinya adalah buta satu mata yang episodik biasa
disebut amaurosis fugaks), komunikans posterior, karoidea anterior, serebri
anterior dan media sehingga gejala pada oklusi arteri serebri anterior dan
media pun dapat timbul.

6. Lakunar stroke

Lakunar stroke timbul akibat adanya oklusi pada arteri perforans kecil di
daerah subkortikal profunda otak. Diameter infark biasanya 2-20 mm.
Gejala yang timbul adalah hemiparese motorik saja, sensorik saja, atau
ataksia. Stroke jenis ini biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit
pembuluh darah kecil seperti diabetes dan hipertensi.

KOMPLIKASI
Komplikasi stroke menurut Satyanegara (1998):

a. Komplikasi Dini (0-48 jam pertama)

1. Edema serebri: defisit neurologis cenderung memberat,


dapatmengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial, herniasi, dan
akhirnyamenimbulkan kematian.
2. Infark miokard: penyebab kematian mendadak pada stroke stadium
awal.

b. Komplikasi Jangka pendek (1-14 hari pertama)

1. Pneumonia: Akibat immobilisasi lama


2. Infark miokard
3. Emboli paru: Cenderung terjadi 7 -14 hari pasca stroke, seringkali
padasaat penderitamulai mobilisasi.
4. Stroke rekuren: Dapat terjadi pada setiap saat.
c. Komplikasi Jangka panjang

Stroke rekuren, infark miokard, gangguan vaskular lain: penyakit vaskular


perifer.

Menurut Smeltzer (2001), komplikasi yang terjadi pada pasien


strokeyaitu:
1. Hipoksia serebral

Diminimalakan dengan memberikan oksigenasi darah adekuat ke


otak. Fungsi otak tergantung pada ketersediaan O2 yang dikirimkan ke
jaringan. Pemberian O2 suplemen dan mempertahankan hemoglobin dan
hematokrit pada tingkat dapat diterima akan membantu dalam
mempertahankan hemoglobin dan hematrokit pada tingkat dapat diterima
akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan adekuat.
2. Aliran darah serebral

Bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan intregitas


pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat ( cairan intravena) harus
menjamin penurunan vikosis darah dan memperbaiki aliran darah serebral
dan potensi meluasnya area cedera.
3. Embolisme serebral

Dapat terjadi setelah infark miokard / fibrilasi atrium / dapat berasal


dari katup jantung protestik. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke
otak dan selanjutnya menurunkan aliran darah serebral. Disritmia dapat
mengakibtakan curah jantung tidak konsisten dan penghentian trombul
lokal. Selain itu disritmia dapat menyebabkan embolus serebral dan harus
diperbaiki.
FAKTOR RESIKO

Menurut Smaelzier 2001 faktor resiko yang sering teridentifikasi, yaitu ;

1. Hipertensi

Hipertensi merupakan factor resiko terjadinya stroke baik non


perdarahan atau perdarahan, dan juga menjadi factor terjadinya gangguan
jantung yang menjadi penyebab munculnya emboli otak. Hipertensi sangat
berpengaruh pada peredaran darah otak, karena menyebabkan terjadinya
penebalan dan remodeling pembuluh darah hingga memperkecil
diameternya. Perubahan ini menaikkan tahanan vaskuler dan memicu
terjadinya artherosclerosis, hipertensi juga merubah kemampuan sel2
endotel untuk melepas zat vasoaktif dan menimbulkan kenaikkan tonus otot
dan menyebabkan mudah terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah, selain
itu hipertensi jugamengganggu mekanisme autoregulasi pembuluh darah
otak, yang mengatur kestabilan cerebral blood flow, yakni jika terjadi
perubahan tekanan perfusion ke otak yaitu diantara 70-150 mm Hg.
Hipertensi yang menahun merubah rentang autoregulasi hingga tekanan
perfussi menurun hingga otak lebih mudah terkena gangguan aliran
darah/ischaemi.
Hipertensi juga menyebabkan terjadinya atherosclerosis, karena
merupakan proinflammatory dan bersama radikal bebas otot halus
pembuluh darah berproliferasi dan mengoksidasi low density lipoprotein,
mengaktifkan makrofag dan monosit bermigrasi keluar. Disamping
angiotensin II meningkat pada pasien hipertensi dan diduga berperanan
langsung dalam terjadinya artherosclerosis, melalui proses
pertumbuhan/penebalan otot halus, dan aktivitas lipoksigenase hingga
menghasilkan suatu reaksi radang dan oksidasi low density lipoprotein.
Hal ini memicu terjadinya artherosclerosis.

2. Aneurisma pembuluh darah cerebral

Adanya kelainan pembuluh darah yakni berupa penebalan pada satu tempat
yang diikuti oleh penipisan di tempat lain. Pada daerah penipisan dengan
maneuver tertentu dapat menimbulkan perdarahan.

3. Kelainan jantung / penyakit jantung

Antara 3‐4% penderita infark miokardial di kemudian hari mengalami strok


embolik. Risiko terbesar berada dalam satu bulan setelah terjadi infark
miokardial. Aterosklerosis mendasari terjadinya infark miokardial maupun
strok iskemik. Infark miokardial akan menimbulkan kerusakan pada dinding
jantung ataupun fibrilasi atrium yang menetap; keduanya memudahkan
terjadinya trombus yang pada suatu saat dapat terlepas atau pecah dan
berubah menjadi emboli untuk kemudian masuk ke dalam aliran darah otak

4. Diabetes mellitus (DM)

Diabetes mellitus meningkatkan risiko strok sebanyak 1‐3 kali lipat


dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami diabetes mellitus.
Diabetes mellitus meningkatkan risiko strok melalui beberapa mekanisme
yang saling berkaitan, yang bermuara pada terbentuknya plaque
aterosklerotik. Plaque pada diabetes mellitus banyak dijumpai di cabang‐
cabang arteri serebral yang kecil. Plaque tersebut akan menyempitkan
diameter pembuluh darah kecil yang kemudian dapat menimbulkan
strok.Pada penderita diabetes mellitus, terjadi hiperviskositas darah,
kerusakan kronik aliran darah otak dan autoregulasi, deformabilitas sel darah
merah dan putih yang menurun, disfungsi sel endotel, hiperkoagulabilitas,
terganggunya sintesa prostasiklin yang menyebabkan meningkatnya
agregasi trombosit dan kemungkinan disfungsi otot polos arterioler kortikal
dan endotelium yang penting untuk kolatera

5. Usia lanjut

Kemunduran sistem pembuluh darah meningkat seiring dengan


bertambahnya usia hingga makin bertambah usia makin tinggi kemungkinan
mendapat strok. Dalam statistik faktor ini menjadi 2 x lipat setelah usia 55
tahun. Dari berbagai penelitian, diketahui bahwa semakin tua usia, semakin
besar pula risiko terkena strok. Hal ini berkaitan dengan adanya proses
degenerasi (penuan) yang terjadi secara alamiah dan pada umumnya pada
orang lanjut usia, pembuluh darahnya lebih kaku oleh sebab adanya
plak (atherosklerosis)

6. Policitemia

Pada policitemia viskositas darah meningkat dan aliran darah menjadi


lambat sehingga perfusi otak menurun.

7. Peningkatan kolesterol (lipid total)

Kolesterol merupakan faktor risiko stroke yang secara konsisten dilaporkan


dari berbagai hasil penelitian. Kolesterol LDL yang tinggi, kolesterol HDL
yang rendah, dan rasio kolesterol LDL dan HDL yang tinggi dihubungkan
dengan peningkatan risiko terkena stroke. Hal ini akan diperkuat bila ada
faktor risiko stroke yang lain (misalnya: hipertensi, merokok, obesitas).
Hubungan antara kolesterol dan stroke tergambarkan pula dalam berbagai
penelitian terapi kolesterol. Keberhasilan terapi penurunan kadar kolesterol
darah akan menurunkan risiko stroke dan penyakit jantung sebesar 60%.
Penurunan kadar koleserol darah akan menghambat proses atherosclerosis
(pengerasan diniding pembuluh darah arteri). Perkembangan atherosclerosis
dapat dihambat pada sebagian besar pasien yang menjalani terapi selama 2
tahun. Kadar kolesterol darah yang tidak terkendali akan meningkatkan
risiko stroke. Pasien berusia 40 tahun-an yang memiliki kadar kolesterol
LDL tinggi akan memiliki risiko sebesar 52% untuk mengalami serangan
jantung dan stroke pada usia diatas 50 tahun (Lang, 2005).

8. Obesitas

Pada obesitas dapat terjadi hipertensi dan peningkatan kadar kolesterol


sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada pembuluh darah, salah
satunya pembuluh drah otak.

9. Perokok

Studi terbaru menunjukkan hubungan yang signifikan antara merokok dan


stroke. Perokok memiliki risiko terkena stroke akibat gumpalan darah lepas
(stroke iskemik) 2 kali lipat lebih besar, sedangkan risiko stroke akibat
pembuluh darah pecah (hemorrhagic stroke) risikonya meningkat 4 kali
lipat. Dr Pipe menuturkan risiko ini karena rokok menyebabkan
penumpukan kotoran pada bagian dalam pembuluh darah (aterosklerosis),
kondisi ini memberikan kemungkinan yang lebih besar terhadap
pembentukan bekuan atau gumpalan. Perokok punya kesempatan lebih besar
mengalami komplikasi dan stroke berulang. Pasien yang mengalami stroke
ringan 10 kali lebih mungkin mengalami stroke besar terutama jika mereka
terus merokok.
PEMERIKSAAN STROKE NON HEMORAGIK

a. Anamnesis

Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami defisit


neurologi akut (baik fokal maupun global) atau penurunan tingkat kesadaran.
Tidak terdapat tanda atau gejala yang dapat membedakan stroke hemoragik dan
non hemoragik meskipun gejalah seperti mual muntah, sakit kepala dan
perubahan tingkat kesadaran lebih sering terjadi pada stroke hemoragik.
Beberapa gejalah umum yang terjadi pada stroke meliputi hemiparese,
monoparese, atau qudriparese, hilangnya penglihatan monokuler atau
binokuler, diplopia, disartria, ataksia, vertigo, afasia, atau penurunan kesadaran
tiba-tiba. Meskipun gejala-gejala tersebut dapat muncul sendiri namun
umumnya muncul secara bersamaan. Penentuan waktu terjadinya gejala-gejala
tersebut juga penting untuk menentukan perlu tidaknya pemberian terapi
trombolitik. Beberapa faktor dapat mengganggu dalam mencari gejala atau
onset stroke seperti:

− Stroke terjadi saat pasien sedang tertidur sehingga kelainan tidak


didapatkan hingga pasien bangun (wake up stroke).
− Stroke mengakibatkan seseorang sangat tidak mampu untuk mencari
pertolongan.
− Penderita atau penolong tidak mengetahui gejala-gejala stroke.
− Terdapat beberapa kelainan yang gejalanya menyerupai stroke seperti
kejang, infeksi sistemik, tumor serebral, subdural hematom, ensefalitis,
dan hiponatremia.
b. Pemeriksaan Fisik

Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke


ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai
stroke, dan menentukan beratnya defisit neurologi yang dialami. Pemeriksaan
fisik harus mencakup pemeriksaaan kepala dan leher untuk mencari tanda
trauma, infeksi, dan iritasi menings. Pemeriksaan terhadap faktor
kardiovaskuler penyebab stroke membutuhkan pemeriksaan fundus okuler
(retinopati, emboli, perdarahan), jantung (ritmik ireguler, bising), dan vaskuler
perifer (palpasi arteri karotis, radial, dan femoralis). Pasien dengan gangguan
kesadaran harus dipastikan mampu untuk menjaga jalan napasnya sendiri.
c. Pemeriksaan Neurologi

Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi gejalah stroke,


memisahkan stroke dengan kelainan lain yang memiliki gejalah seperti stroke,
dan menyediakan informasi neurologi untuk mengetahui keberhasilan terapi.
Komponen penting dalam pemeriksaan neurologi mencakup pemeriksaan
status mental dan tingkat kesadaran, pemeriksaan nervus kranial, fungsi
motorik dan sensorik, fungsi serebral, gait, dan refleks tendon profunda.
Tengkorak dan tulang belakang pun harus diperiksa dan tanda-tanda
meningimus pun harus dicari. Adanya kelemahan otot wajah pada stroke harus
dibedakan dengan Bell’s palsy di mana pada Bell’s palsy biasanya ditemukan
pasien yang tidak mampu mengangkat alis atau mengerutkan dahinya.

d. Pemeriksaan Penunjang

A) Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran dan


mungkin pula menunjukkan faktor resiko stroke seperti polisitemia,
trombositosis, trombositopenia, dan leukemia). Pemeriksaan ini pun dapat
menunjukkan kemungkinan penyakit yang sedang diderita saat ini seperti
anemia.

Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainan


yang memiliki gejalah seperti stoke (hipoglikemia, hiponatremia) atau dapat
pula menunjukka penyakit yang diderita pasien saat ini (diabetes, gangguan
ginjal).

Pemeriksaan koagulasi dapat menunjukkan kemungkinan koagulopati


pada pasien. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna jika digunakan terapi
trombolitik dan antikoagulan.
Biomarker jantung juga penting karena eratnya hubungan antara stroke
dengan penyakit jantung koroner. Penelitian lain juga mengindikasikan adanya
hubungan anatara peningkatan enzim jantung dengan hasih yang buruk dari
stroke.

B) Pemeriksaan Radiologi
a. CT scan kepala non kontras

Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke


hemoragik dan stroke non hemoragik secara tepat kerena pasien stroke
non hemoragik memerlukan pemberian trombolitik sesegera mungkin.
Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna untuk menentukan distribusi
anatomi dari stroke dan mengeliminasi kemungkinan adanya kelainan
lain yang gejalahnya mirip dengan stroke (hematoma, neoplasma,
abses).

Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus


dipahami. Setelah 6-12 jam setelah stroke terbentuk daerah hipodense
regional yang menandakan terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam
terdapat daerah hipodense yang luas di otak maka diperlukan
pertimbangan ulang mengenai waktu terjadinya stroke. Tanda lain
terjadinya stroke non hemoragik adalah adanya insular ribbon sign,
hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus, dan hilangnya
perberdaan gray-white matter.

b. CT perfussion

Modalitas ini merupakan modalitas baru yang berguna untuk


mengidentifikasi daerah awal terjadinya iskemik. Dengan melanjutkan
pemeriksaan scan setelah kontras, perfusi dari region otak dapat diukur.
Adanya hipoatenuasi menunjukkan terjadinya iskemik di daerah
tersebut.
c. CT angiografi (CTA)

Pemeriksaan CT scan non kontras dapat dilanjutkan dengan CT


angiografi (CTA). Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi defek
pengisian arteri serebral yang menunjukkan lesi spesifik dari pembuluh
darah penyebab stroke. Selain itu, CTA juga dapat memperkirakan
jumlah perfusi karena daerah yang mengalami hipoperfusi memberikan
gambaran hipodense.

d. MR angiografi (MRA)

MRA juga terbukti dapat mengidentifikasi lesi vaskuler dan


oklusi lebih awal pada stroke akut. Sayangnya, pemerikasaan ini dan
pemeriksaan MRI lainnya memerlukan biaya yang tidak sedikit serta
waktu pemeriksaan yang agak panjang.

Protokol MRI memiliki banyak kegunaan untuk pada stroke


akut. MR T1 dan T2 standar dapat dikombinasikan dengan protokol lain
seperti diffusion-weighted imaging (DWI) dan perfussion-weighted
imaging (PWI) untuk meningkatkan sensitivitas agar dapat mendeteksi
stroke non hemoragik akut. DWI dapat mendeteksi iskemik lebih cepat
daripada CT scan dan MRI. Selain itu, DWI juga dapat mendeteksi
iskemik pada daerah kecil. PWI dapat mengukur langsung perfusi
daerah di otak dengan cara yang serupa dengan CT perfusion. Kontras
dimasukkan dan beberapa gambar dinilai dari waktu ke waktu serta
dibandingkan.

e. USG, ECG, EKG, Chest X-Ray

Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika dicurigai


stenosis atau oklusi arteri karotis maka dapat dilakukan pemeriksaan
dupleks karotis. USG transkranial dopler berguna untuk mengevaluasi
anatomi vaskuler proksimal lebih lanjut termasuk di antaranya MCA,
arteri karotis intrakranial, dan arteri vertebrobasiler. Pemeriksaan ECG
(ekhokardiografi) dilakukan pada semua pasien dengan stroke non
hemoragik yang dicurigai mengalami emboli kardiogenik.
Transesofageal ECG diperlukan untuk mendeteksi diseksi aorta
thorasik. Selain itu, modalitas ini juga lebih akurat untuk
mengidentifikasi trombi pada atrium kiri. Modalitas lain yang juga
berguna untuk mendeteksi kelainan jantung adalah EKG dan foto
thoraks.

PENATALAKSANAAN STROKE NON HEMORAGIK

Stroke merupakan kondisi emergensi yang membutuhkan penanganan


segera. Begitu stroke menyerang, maka akan terjadi kerusakan mayor dalam 3 jam
pertama. Oleh karena itu, sebagian besar obat-obatan yang efektif tidak bisa
bermanfaat bahkan tidak diberikan sama sekali setelah 3 jam. Dalam kondisi
normal, aliran darah otak orang dewasa adalah 50-60 ml/100gram otak/menit.
Pada otak yang mengalami iskemik, terdapat area infark yang terdiri dari ischemic
core (inti iskemik) dan penumbra atau area yang mengelilingi ischemic core. Pada
area ischemic core, aliran darah amat rendah (0-20 ml/100g/menit). Sedangkan di
daerah sekelilingnya, atau penumbra, aliran darah berkurang di bawah normal (20-
50 ml/100 g/menit).Konsep tentang area penumbra merupakan dasar dalam
penatalaksanaan stroke iskemik.Terdapat periode yang dikenal sebagai "window
therapy" (jendela terapi), yaitu 6 jam setelah awitan. Bila ditangani dengan baik
dan tepat, maka daerah penumbra akan dapat diselamatkan sehingga infark tidak
bertambah luas.
1. Penatalaksanaan Umum

a. Airway and breathing

Pasien dengan GCS ≤ 8 atau memiliki jalan napas yang tidak adekuat atau paten
memerlukan intubasi (memasukkan pipa jalan nafas buatan kedalam trachea
melalui mulut.). Jika terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
(TIK) maka pemberian induksi dilakukan untuk mencegah efek samping dari
intubasi. Pada kasus dimana kemungkinan terjadinya herniasi otak besar maka
target pCO2 arteri adalah 32-36 mmHg. Dapat pula diberikan manitol intravena
untuk mengurangi edema serebri. Pasien harus mendapatkan bantuan oksigen
jika pulse oxymetri atau pemeriksaan analisa gas darah menunjukkan terjadinya
hipoksia. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan hipoksia pada stroke non
hemoragik adalah adanya obstruksi jalan napas parsial, hipoventilasi,
atelektasis ataupun GERD.

b. Circulation

Pasien dengan stroke non hemoragik membutuhkan terapi intravena dan


pengawasan jantung. Pasien dengan stroke akut berisiko tinggi mengalami
aritmia jantung dan peningkatan biomarker jantung. Sebaliknya, atrial fibrilasi
juga dapat menyebabkan terjadinya stroke.
c. Pengontrolan gula darah

Beberapa data menunjukkan bahwa hiperglikemia berat terkait dengan


prognosis yang kurang baik dan menghambat reperfusi pada trombolisis. Pasien
dengan normoglokemik tidak boleh diberikan cairan intravena yang
mengandung glukosa dalam jumlah besar karena dapat menyebabkan
hiperglikemia dan memicu iskemik serebral eksaserbasi. Pengontrolan gula
darah harus dilakukan secara ketat dengan pemberian insulin. Target gula darah
yang harus dicapai adalah 90-140 mg/dl. Pengawasan terhadap gula darah ini
harus dilanjutkan hingga pasien pulang untuk mengantisipasi terjadinya
hipoglikemi akibat pemberian insulin.

d. Posisi kepala pasien

Penelitian telah membuktikan bahwa tekanan perfusi serebral lebih


maksimal jika pasien dalam pasien supinasi. Sayangnya, berbaring telentang
dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial padahal hal tersebut tidak
dianjurkan pada kasus stroke. Oleh karena itu, pasien stroke diposisikan
telentang dengan kepala ditinggikan sekitar 30-45 derajat.

e. Pengontrolan tekanan darah

Pada keadaan dimana aliran darah kurang seperti pada stroke atau
peningkatan TIK, pembuluh darah otak tidak memiliki kemampuan
vasoregulator sehingga hanya bergantung pada maen arterial pressure (MAP)
dan cardiac output (CO) untuk mempertahankan aliran darah otak. Oleh karena
itu, usaha agresif untuk menurunkan tekanan darah dapat berakibat turunnya
tekanan perfusi yang nantinya akan semakin memperberat iskemik. Di sisi lain
didapatkan bahwa pemberian terapi anti hipertensi diperlukan jika pasien
memiliki tekanan darah yang ekstrim (sistole lebih dari 220 mmHg dan diastole
lebih dari 120 mmHg) atau pasien direncanakan untuk mendapatkan terapi
trombolitik.
AHA/ASA merekomendasikan pengontrolan tekanan darah pada pasien
stroke non hemoragik adalah sebagai berikut:

• Jika pasien tidak direncanakan untuk mendapatkan terapi trombolitik

− Tekanan darah sistolik kurang dari 220 mmHg, dan tekanan


darah diastolik kurang dari 120 mmHg tanpa adanya gangguan
organ end-diastolic maka tekanan darah harus diawasi (tanpa
adanya intervensi) dan gejala stroke (terapi simptomatik) serta
komplikasinya harus ditangani.

− Untuk pasien dengan TD sistolik di atas 220 mmHg atau


diastolik antara 120-140 mmHg maka pasien dapat diberikan
labetolol (10-20 mmHg IV selama 1-2 menit jika tidak ada
kontraindikasi. Dosis dapat ditingkatkan atau diulang setiap 10
menit hingga mencapai dosis maksiamal 300 mg. Sebagai
alternatif dapat diberikan nicardipine (5 mg/jam IV infus awal)
yang dititrasi hingga mencapai efek yang diinginkan dengan
menambahkan 2,5 mg/jam setiap 5 menit hingga mencapai dosis
maksimal 15 mg/jam. Pilihan terakhir (TD diastolik > 140)dapat
diberikan nitroprusside 0,5 mcg/kgBB/menit/IV via syringe
pump. Target pencapaian terapi ini adalah nilai tekanan darah
berkurang 10-15 persen.

• Pada pasien yang akan mendapatkan terapi trombolitik

− TD sistolik lebih 185 mmHg, dan diastolik lebih dari 110 mmHg
maka dibutuhkan antihipertensi. Pengawasan dan pengontrolan
tekanan darah selama dan setelah pemberian trombolitik agar
tidak terjadi komplikasi perdarahan. Preparat antihipertensi yang
dapat diberikan adalah labetolol (10-20 mmHg/IV selama 1-2
menit dapat diulang satu kali). Alternatif obat yang dapat
digunakan adalah nicardipine infuse 5 mg/jam yang dititrasi
hingga dosis maksimal 15 mg/jam.

Pengawasan terhadap tekanan darah adalah penting. Tekanan darah


harus diperiksa setiap 15 menit selama 2 jam pertama, setiap 30 menit selama
6 jam berikutnya, dan setiap jam selama 16 jam terakhir. Target terapi adalah
tekanan darah berkurang 10-15 persen dari nilai awal.

Untuk mengontrol tekanan darah selama opname maka agen berikut


dapat diberikan.

• TD sistolik 180-230 mmHg dan diastolik 105-120 mmHg maka dapat


diberikan labetolol 10 mg IV selama 1-2 menit yang dapat diulang selama
10-20 menit hingga maksimal 300 mg atau jika diberikan lewat infuse
hingga 2-8 mg/menit.

• TD sistolik lebih dari 230 mmHg atau diastolik 121-140 mmHg dapat
diberikan labetolol dengan dosis diatas atau nicardipine infuse 5 mg/jam
hingga dosis maksimal 15mg/jam.

• Penggunaan nifedipin sublingual untuk mengurangi TD dihindari karena


dapat menyebabkan hipotensi ekstrim.

f. Pengontrolan demam

Antipiretik diindikasikan pada pasien stroke yang mengalami demam


karena hipertermia (utamanya pada 12-24 jam setelah onset) dapat
menyebabkan trauma neuronal iskemik. Sebuah penelitian eksprimen
menunjukkan bahwa hipotermia otak ringan dapat berfungsi sebagai
neuroprotektor.

g. Pengontrolan edema serebri

Edema serebri terjadi pada 15 persen pasien dengan stroke non


hemoragik dan mencapai puncak keparahan 72-96 jam setelah onset stroke.
Hiperventilasi dan pemberian manitol rutin digunakan untuk mengurangi
tekanan intrakranial dengan cepat.

h. Pengontrolan kejang

Kejang terjadi pada 2-23 persen pasien dalam 24 jam pertama setelah
onset. Meskipun profilaksis kejang tidak diindikasikan, pencegahan terhadap
sekuel kejang dengan menggunakan preparat antiepileptik tetap
direkomendasikan

2. Penatalaksanaan Khusus

a. Terapi Trombolitik

Tissue plasminogen activator (recombinant t-PA) yang diberikan secara


intravena akan mengubah plasminogen menjadi plasmin yaitu enzim proteolitik
yang mampu menghidrolisa fibrin, fibrinogen dan protein pembekuan lainnya.

Pada penelitian NINDS (National Institute of Neurological Disorders and


Stroke) di Amerika Serikat, rt-PA diberikan dalam waktu tidak lebih dari 3 jam
setelah onset stroke, dalam dosis 0,9 mg/kg (maksimal 90 mg) dan 10% dari dosis
tersebut diberikan secara bolus IV sedang sisanya diberikan dalam tempo 1 jam.
Tiga bulan setelah pemberian rt-PA didapati pasien tidak mengalami cacat atau
hanya minimal. Efek samping dari rt-PA ini adalah perdarahan intraserebral,
yang diperkirakan sekitar 6%. Penggunaan rt-PA di Amerika Serikat telah
mendapat pengakuan FDA pada tahun 1996.

Tetapi pada penelitian random dari European Coorperative Acute Stroke


Study (ECASS) pada 620 pasien dengan dosis t-PA 1,1 mg/kg (maksimal 100
mg) diberikan secara IV dalam waktu tidak lebih dari 6 jam setelah onset.
Memperlihatkan adanya perbaikan fungsi neurologik tapi secara keseluruhan
hasil dari penelitian ini dinyatakan kurang menguntungkan. Tetapi pada
penelitian kedua (ECASS II) pada 800 pasien menggunakan dosis 0,9 mg/kg
diberikan dalam waktu tidak lebih dari 6 jam sesudah onset. Hasilnya lebih
sedikit pasien yang meninggal atau cacat dengan pemberian rt-PA dan
perdarahan intraserebral dijumpai sebesar 8,8%. Tetapi rt-PA belum mendapat
ijin untuk digunakan di Eropa.

Kontroversi mengenai manfaat rt-PA masih berlanjut, JM Mardlaw dkk


mengatakan bahwa terapi trombolisis perlu penelitian random dalam skala besar
sebab resikonya sangat besar sedang manfaatnya kurang jelas. Lagi pula jendela
waktu untuk terapi tersebut masih kurang jelas dan secara objektif belum terbukti
rt-PA lebih aman dari streptokinase. Sedang penelitian dari The Multicenter
Acute Stroke Trial-Europe Study Group (MAST-E) dengan menggunakan
streptokinase 1,5 juta unit dalam waktu satu jam. Jendela waktu 6 jam setelah
onset, ternyata meningkatkan mortalitas. Sehingga penggunaan streptokinase
untuk stroke iskemik akut tidak dianjurkan.

(emedicine.medscape.com)

b. Antikoagulan

Warfarin dan heparin sering digunakan pada TIA dan stroke yang
mengancam. Suatu fakta yang jelas adalah antikoagulan tidak banyak artinya
bilamana stroke telah terjadi, baik apakah stroke itu berupa infark lakuner atau
infark massif dengan hemiplegia. Keadaan yang memerlukan penggunaan
heparin adalah trombosis arteri basilaris, trombosis arteri karotisdan infark
serebral akibat kardioemboli. Pada keadaan yang terakhir ini perlu diwaspadai
terjadinya perdarahan intraserebral karena pemberian heparin tersebut.

1) Warfarin

Segera diabsorpsi dari gastrointestinal. Terkait dengan protein plasma.


Waktu paro plasma: 44 jam. Dimetabolisir di hati, ekskresi: lewat urin. Dosis:
40 mg (loading dose), diikuti setelah 48 jam dengan 3-10 mg/hari, tergantung
PT. Reaksi yang merugikan: hemoragi, terutama ren dan gastrointestinal.
2) Heparin

Merupakan acidic mucopolysaccharide, sangat terionisir. Normal


terdapat pada mast cells. Cepat bereaksi dengan protein plasma yang terlibat
dalam proses pembekuan darah. Heparin mempunyai efek vasodilatasi ringan.
Heparin melepas lipoprotein lipase. Dimetabolisir di hati, ekskresi lewat urin.
Wakto paro plasma: 50-150 menit. Diberikan tiap 4-6 jam atau infus kontinu.
Dosis biasa: 500 mg (50.000 unit) per hari. Bolus initial 50 mg diikuti infus
250 mg dalam 1 liter garam fisiologis atau glukose. Dosis disesuaikan
dengan Whole Blood Clotting Time. Nilai normal: 5-7 menit, dan level
terapetik heparin: memanjang sampai 15 menit. Reaksi yang merugikan:
hemoragi, alopesia, osteoporosis dan diare. Kontraindikasi: sesuai dengan
antikoagulan oral. Apabila pemberian obat dihentikan segala sesuatunya dapat
kembali normal. Akan tetapi kemungkinan perlu diberi protamine
sulphute dengan intravenous lambat untuk menetralisir. Dalam setengah jam
pertama, 1 mg protamin diperlukan untuk tiap 1 mg heparin (100 unit).

c. Hemoreologi

Pada stroke iskemik terjadi perubahan hemoreologi yaitu peningkatan


hematokrit, berkurangnya fleksibilitas eritrosit, aktivitas trombosit,
peningkatan kadar fibrinogen dan aggregasi abnormal eritrosit, keadaan ini
menimbulkan gangguan pada aliran darah. Pentoxyfilline merupakan obat yang
mempengaruhi hemoreologi yaitu memperbaiki mikrosirkulasi dan oksigenasi
jaringan dengan cara: meningkatkan fleksibilitas eritrosit, menghambat
aggregasi trombosit dan menurunkan kadar fibrinogen plasma. Dengan
demikian eritrosit akan mengurangi viskositas darah.Pentoxyfilline diberikan
dalam dosis 16/kg/hari, maksimum 1200 mg/hari dalam jendela waktu 12 jam
sesudah onset.
d. Antiplatelet (Antiaggregasi Trombosit)

- Aspirin

Obat ini menghambat sklooksigenase, dengan cara menurunkan


sintesis atau mengurangi lepasnya senyawa yang mendorong adhesi seperti
thromboxane A2. Aspirin merupakan obat pilihan untuk pencegahan stroke.
Dosis yang dipakai bermacam-macam, mulai dari 50 mg/hari, 80 mg/hari
samapi 1.300 mg/hari. Obat ini sering dikombinasikan dengan dipiridamol.
Suatu penelitian di Eropa (ESPE) memakai dosis aspirin 975 mg/hari
dikombinasi dengan dipiridamol 225 mg/hari dengan hasil yang efikasius.

Dosis lain yang diakui efektif ialah: 625 mg 2 kali sehari. Aspirin
harus diminum terus, kecuali bila terjadi reaksi yang merugikan.
Konsentrasi puncak tercapai 2 jam sesudah diminum. Cepat diabsorpsi,
konsentrasi di otak rendah. Hidrolise ke asam salisilat terjadi cepat, tetapi
tetap aktif. Ikatan protein plasma: 50-80 persen. Waktu paro (half
time) plasma: 4 jam. Metabolisme secara konjugasi (dengan glucuronic acid
dan glycine). Ekskresi lewat urine, tergantung pH. Sekitar 85 persen dari
obat yang diberikan dibuang lewat urin pada suasana alkalis. Reaksi yang
merugikan: nyeri epigastrik, muntah, perdarahan, hipoprotrombinemia dan
diduga: sindrom Reye.

Alasan mereka yang tidak menggunakan dosis rendah aspirin antara


lain adalah kemungkinan terjadi “resistensi aspirin” pada dosis rendah. Hal
ini memungkinkan platelet untuk menghasilkan12-hydroxy-
eicosatetraenoic acid, hasil samping kreasi asam arakhidonat intraplatelet
(lipid – oksigenase). Sintesis senyawa ini tidak dipengaruhi oleh dosis
rendah aspirin, walaupun penghambatan pada tromboksan A2 terjadi
dengan dosis rendah aspirin.
Aspirin mengurangi agregasi platelet dosis aspirin 300-600 mg
(belakangan ada yang memakai 150 mg) mampu secara permanen merusak
pembentukan agregasi platelet. Sayang ada yang mendapatkan bukti bahwa
aspirin tidak efektif untuk wanita.
- Tiklopidin (ticlopidine) dan klopidogrel (clopidogrel)

Pasien yang tidak tahan aspirin atau gagal dengan terapi aspirin,
dapat menggunakan tiklopidin atau clopidogrel. Obat ini bereaksi dengan
mencegah aktivasi platelet, agregasi, dan melepaskan granul platelet,
mengganggu fungsi membran platelet dengan penghambatan ikatan
fibrinogen-platelet yang diperantarai oleh ADP dan antraksi platelet-
platelet. Menurut suatu studi, angka fatalitas dan nonfatalitas stroke dalam
3 tahun dan dalam 10 persen untuk grup tiklopidin dan 13 persen untuk grup
aspirin. Resiko relatif berkurang 21 persen dengan penggunaan tiklopidin.

Setyaningsih at al, (1988) telah melakukan studi meta-analisis


terhadap terapi tiklopidin untuk prevensi sekunder stroke iskemik.
Berdasarkan sejumlah 7 studi terapi tiklopidin, disimpulkan bahwa efikasi
tiklopidin lebih baik daripada plasebo, aspirin maupun indofen dalam
mencegah serangan ulang stroke iskemik.

Efek samping tiklopidin adalah diare (12,5 persen) dan netropenia


(2,4 persen). Bila obat dihentikan akan reversibel. Pantau jumlah sel darah
putih tiap 15 hari selama 3 bulan. Komplikas yang lebih serius, teyapi
jarang, adalah pur-pura trombositopenia trombotik dan anemia aplastik.

e. Terapi Neuroprotektif

Terapi neuroprotektif diharapkan meningkatkan ketahanan neuron yang


iskemik dan sel-sel glia di sekitar inti iskemik dengan memperbaiki fungsi sel
yang terganggu akibat oklusi dan reperfusi. Berdasarkan pada kaskade iskemik
dan jendela waktu yang potensial untuk reversibilitas daerah penumbra maka
berbagai terapi neuroprotektif telah dievaluasi pada binatang percobaan
maupun pada manusia.
f. Pembedahan

Indikasi pembedahan pada completed stroke sangat dibatasi. Jika


kondisi pasien semakin buruk akibat penekanan batang otak yang diikuti infark
serebral maka pemindahan dari jaringan yang mengalami infark harus
dilakukan.

- Karotis Endarterektomi

Prosedur ini mencakup pemindahan trombus dari


arteri karotis interna yang mengalami stenosis.
Pada pasien yang mengalami stroke di daerah
sirkulasi anterior atau yang mengalami stenosis
arteri karotis interna yang sedang hingga berat.
Karotis Endarterektomi adalah prosedur bedah
untuk membersihkan plak dan membuka arteri
karotis yang menyempit di leher. Endarterektomi
dan aspirin lebih baik digunakan daripada
penggunaan aspirin saja untuk mencegah stroke.

Endarterektomi tidak dapat digunakan untuk stroke di daerah


vertebrobasiler atau oklusi karotis lengkap. Angka mortalitas akibat
prosedur karotis endarterektomi berkisar 1-5 persen. (Simon, Harvey.
Stroke – Surgery)

- Angioplasti dan Sten Intraluminal

Pemasangan angioplasti transluminal pada arteri karotis dan


vertebral serta pemasangan sten metal tubuler untuk menjaga patensi lumen
pada stenosis arteri serebri masih dalam penelitian. Suatu penelitian
menyebutkan bahwa angioplasti lebih aman dilaksanakan dibandingkan
endarterektomi namun juga memiliki resiko untuk terjadi restenosis lebih
besar.
Carotid angioplasty dan stenting (CAS) digunakan sebagai
alternative dari carotid endarterectoomi untuk beberapa pasien. CAS
berdasarkan pada prinsip yang sama seperti angioplasty untuk penyakit
jantung.

• Sebuah kateter tube yang sangat kecil di insersikan ke dalam arteri


di lipatan paha

• Melalui system sirkulasi sampai mencapai area yang tersumbat di


arteri karotis

• Dapat juga mengahancurkan bekuan dengan mengembangkan balon


kecil didalam dindng pembuluh darah (angioplasty)

• Setelah menggembungkan balon sementara waktu, dokter biasanya


meninggalkan kawat berbentuk sirkular (stent) ke dalam pembuluh
darah untuk menjaga agar pembuluh darah tetap terbuka. (Simon,
Harvey. Stroke – Surgery)
BAB V

HIPOTESIS AWAL

5.1. Hipotesis Awal


Berdasarkan skenario 3 ”Penurunan Kesadaran” dapat diketahui beberapa
kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu :
1. Hipoglikemia
2. Serangan Stroke (CVA)
3. Hiperglikemia
BAB VI

ANALISIS

DARI DIFFERENTIAL
DIAGNOSIS

Hipoglikemia Serangan Stroke (CVA) Hiperglikemia

Gejala 1. Merasa lapar 1. Nyeri kepala 1. Lemas, lesu


Klinis tiba-tiba 2. Mual dan Muntah dan tidak
2. Keringat dingin 3. Kesadaran menurun bertenaga
berlebihan 4. Edema pupil 2. Sering haus
3. Tremor 5. Gangguan berbicara dan merasa
4. Ketakutan 6. Hipertensi lapar
5. Kadar glukosa 7. Kaku kuduk berlebihan
darah rendah 8. Hemiparesis 3. Penglihatan
6. Mual dan kabur
muntah 4. Sakit kepala
7. Kehilangan 5. Sering buang
kesadaran atau air kecil
melemahnya 6. Mual dan
respon syaraf muntah
otonom 7. Kehilangan
8. Gangguan kesadaran
penglihatan 8. Peningkatan
kerentanan
terhadap
infeksi,
seperti
sariawan

Pemeriksaan 1. Tremor 1. Terdapat tanda trauma, 1. Takikardia


Fisik 2. Palpitasi infeksi & iritasi 2. Dehidrasi
3. Ansietas meningimus pada kepala 3. Hipotensi
4. Takikardia & leher 4. Takipnea
5. Peningkatan 2. Adanya retinopati, 5. Pernafasan
tekanan darah emboli, perdarahan pada Kussmaul
sistolik fundus 6. Distres
6. Peningkatan 3. Jantung memiliki ritmik pernafasan
produksi irregular & bising 7. Nafas bau
keringat & 4. Memiliki gangguan pada 8. Nyeri tekan perut
parestesia pernafasan (mirip dengan
7. Penurunan 5. Adanya kelemahan otot pankreatitis akut)
suplai glukosa wajah atau Bell’s Palsy 9. Letargi/koma
ke system saraf
pusat (amnesia, 6. Vaskuler perifer berupa
pandangan palpasi arteri karotis,
buram, kejang radial & femoralis
hingga 7. Status mental dan tingkat
kehilangan kesadaran
kesadaran) 8. Nervus kranial dan
tulang belakang
9. Motorik & sensorik
10. Serebal Gait
11. Refleks tendon profunda

Pemeriksaan 1. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan


Penunjang kadar laboratorium berupa : kadar
glukosa • Darah rutin glukosa
darah (polisitemia, darah (puasa,
2. Tes fungsi trombositosis, sewaktu, atau
ginjal trombositopemia, 2 jam setelah
3. Tes fungsi leukimia bahkan makan) dan
hati anemia) HbA1C
4. Kadar C- • Kimia 2. Tes toleransi
peptide (hipoglikemia, glukosa oral
hyponatremia, (OGTT)
diabetes mellitus 3. Pemeriksaan
hingga gangguan Hemoglobin
pada ginjal) A1C
• Koagulasi (hemoglobin
(koagulopati) glycosolated)
• Biomarker
jantung (penyakit
jantung koroner)
2. Pemeriksaan radiologi
berupa :
• CT Scan kepala non-
kontras
• CT perfusion
• CT angiografi (CTA)
• CT angiografi
(MRA)
• USG, ECG, EKG,
Chest X-Ray
BAB VII

HIPOTESIS AKHIR
(DIAGNOSIS)
Berdasarkan skenario yang ada dan analisa terhadap gejala klinis hingga
pemeriksaan penunjang pada Ny. Tuti berumur 57 tahun, maka hipotesis akhir atau
diagnosis dari kasus ini adalah Penurunan Kesadaran et causa Hipoglikemia karena
adanya hasil laboratorium dimana kadar glukosa darah sejumlah 21 mg/dl, yang
merupakan kategori dibawah batas normal atau kurang glukosa alias hipoglikemia, seta
adanya riwayat hipertensi, kolesterol, asam urat, asma dan stroke pada tahun 2008 dan
2010.
BAB VIII
MEKANISME DIAGNOSIS

1. Penurunan kesadaran et causa Hipoglikemia


1. Penurunan 2. Serangan Stroke (CVA)
kesadaran 3. Penurunan kesadaran et causa Hiperglikemia
2. Lemah
3. Keringat dingin
Differential Diagnosis

Pemeriksaan Penunjang: Pemeriksaan Fisik:


1. Pemeriksaan Darah 1. Kesadaran : Compos Mentis
Lengkap 2. Vital Sign
a. HB : 13,6 g/dl a. Tensi : 180/80 mmHg
b. Hematokrit : 39 % b. Nadi : 108 x/menit
c. Trombosit : c. RR : 26 x/menit
437.000 per d. Suhu : 36,2oC
mikroliter (mcL) e. GCS : 122
d. GDN : 21 mg/dl 3. Akral hangat
e. SGOT : 36 u/L a. Tidak ada oedema
f. SGPT : 30 u/L b. Tidak ada cyanosis (-)
4. Kepala : -
5. Telinga : -
Diagnosis Akhir
6. Mata : a (-) / i (-)
a. Ada reflek cahaya (+)
7. Leher :
Penurunan a. Pembesaran KGB (-)
kesadaran et causa
b. Pembesaran Tiroid (-)
Hipoglikemia
8. Torax (-)
9. Perkusi (-)
10. Auskultasi (-)
11. Jantung, palpasi teraba iktus
cordis di ICS 5, batas atas
pada ICS 3 parasternal
sinistra
BAB IX
STRATEGI MENYELESAIKAN MASALAH
9.1 Pranatalaksaan
Pada keadaan hipoglikemia, tentunya harus diberi energi tambahan yang lain seperti
karbohidrat, protein, lemak dan lain-lain. Karbohidrat bisa didapat dari roti, nasi,
kentang, singkong. Protein bisa didapat dari susu, keju, yogurt dan lemak bisa didapat
dari ikan salmon, alpukat, bayam dan kubis. Makanan-makanan tersebut bisa
menaikkan gula darah dalam tubuh sehingga hipoglikemia bisa diatasi.

9.2 Prinsip Tindakan Medis


Tidak ada pengobatan spesifik yang dapat dilakukan untuk mengobati hipoglikemia,
hanya perlu memasukkan asupan gizi yang seimbang kedalam tubuh dan harus disertai
dengan olahraga, minum air putih yang cukup, istirahat yang cukup, dan menghindari
keadaan perut kosong.
BAB X

PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI

10.1 Cara Penyampaian Prognosis kepada Pasien atau Keluarga Pasien


Prognosis pada kasus hypoglikemia yaitu baik, karena hypoglikemia dapat dicega
dengan mengontrol kadar gula darah agar tidak terlalu rendah, bisa dengan cara
menjaga agar perut tidak kosong, yaitu dengan mengkonsumsi makanan yang bergizi
seimbang.
10.2 Tanda Untuk Merujuk Pasien
Tanda bagi penderita untuk dirujuk kedokter biasanya ia mengalami diabetes militus
dan disertai dengan hipoglikemia. Bagi penderita diabetes, sebaiknya melakukan
konsultasi dengan dokter penyakit dalam minimal 2 kali dalam setahun, untuk evaluasi
pengobatan yang sudah dilakukan dan mendeteksi komplikasi akibat
diabetes secepatnya. Pada penderita diabetes yang mengalami keluhan hipoglikemia,
segera makan permen atau minum sirup untuk meningkatkan kadar gula darah. Bila
keluhan tidak berkurang, segera ke IGD rumah sakit. Bila Anda bukan penderita
diabetes, dan mengalami gejala gula darah rendah, segeralah berkonsultasi dengan
dokter.
10.3 Peran Pasien atau Keluarga untuk Penyembuhan
Peran pasien ataupun keluarga sangat penting untuk penyembuhan glikemia, peran
keluarga bisa untuk memonitor aktivitas pasien agar tetap ingat untuk mengontrol
kadar gula darah agar tidak terlalu rendah.
10.4 Pencegahan Penyakit
1. Jangan melewatkan atau menunda makan. Gula darah bisa mmenurun jika Anda
secara dramatis mengubah waktu dan jumlah makanan yang Anda makan. Akibatnya,
akan lebih sulit bagi Anda untuk mengendalikan kadar gula darah. Maka dari itu, patuhi
jadwal sarapan, makan siang, dan makan malam.
2. Rutin cek gula darah. Hal ini penting dilakukan untuk memastikan jika gula darah
Anda berada dalam kisaran yang normal. Rutin melakukan cek gula darah juga dapat
membantu mencegah memburuknya gejala diabetes, apabila Anda memiliki riwayat
penyakit tersebut.
3. Mengenali tanda dan gejala saat glukosa Anda rendah. Hal ini dapat membantu Anda
dan tim perawatan kesehatan untuk menangani hipoglikemia dengan cepat dan
menemukan cara untuk mencegahnya.
4. Selalu siap sedia stok camilan sehat bergizi di dalam tas untuk berjaga-jaga kala
situasi darurat menghampiri. Pilih sumber makanan tinggi protein dan karbohidrat
(seperti biskuit gandum oles selai kacang atau keju batangan. biskuit) untuk membantu
meningkatkan kadar gula darah sebelum menurun terlalu rendah.
5. Hindari makanan yang kaya akan gula karena selain dapat meningkatkan kadar gula
darah dengan cepat tapi juga dapat menyebabkan penurunan gula darah dengan cepat
pada orang dengan hipoglikemia reaktif.
6. Hindari minum alkohol secara berlebihan. Alkohol dapat memengaruhi kemampuan
tubuh untuk melepaskan glukosa. Oleh sebab itu, Anda tidak dianjurkan untuk minum
alkohol secara berlebihan. Apalagi jika perut Anda dalam keadaan kosong (belum
makan).
10.5 Komplikasi
Hipoglikemia dapat menimbulkan komplikasi berupa perubahan inflamasi,
kardiovaskuler, dan neurologis akut. Hipoglikemia pada individu dengan diabetes
mellitus tipe 1 (T1DM) maupun individu sehat dapat menimbulkan peningkatan adhesi
platelet monosit, aktivasi platelet, dan sejumlah penanda inflamasi (CD-40, IL-6, dan
hsCRP). Namun, belum diketahui apakah perubahan penanda inflamasi tersebut
berkaitan dengan peningkatan morbiditas dan mortalit
DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association 2013. Diagnosis and Classification of Diabetes
Mellitus. Diab Care. Diakses pada tanggal 14 November 2019.
Feigin, Valery. Stroke Panduan Bergambar Tentang Pencegahan dan Pemulihan
Stroke. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer. 2006. Diakses pada tanggal 14
November 2019
Guyton A.C., Hall J.E.2012. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 11. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC.H. Diakses pada tanggal 14 November 2019.
Harsono. 1996. Buku Ajar : Neorologi Klinis. Yogyakarta : Gajah Mada University
Press Sjahrial Rasad.2008. Radiologi Diagnostik. Edisi dua Simon,
Harvey. Stroke – Surgery. Harvard Medical School. [Online]. Diakses pada
tanggal 14 November 2019
Kaaja R, Ronnemaa T. 2009, “Gestational Diabetes: Pathogenesis and Consequences
to Mother and Offspring”, Rev Diabet Stud. Diakses pada tanggal 14
November 2019.
Khoirunnisa I. 2017.” Anatomi dan Fisiologi Pankreas”
<http://eprints.umm.ac.id/41188/3/jiptummpp-gdl-inaskhoiru-47045-3-
bab2.pdf> Diakses pada 14 november 2019
Ndraha S., 2014. Diabetes Melitus Tipe II dan Tatalaksana Terkini. Medicinus 9.
Diakses pada tanggal 14 November 2019.
Nur , Rizka. 2009. EVALUASI KEPATUHAN PASIEN PENGOBATAN OBAT
HIPOGLIKEMIK ORAL BAGI PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE
2 PADA PASIEN RAWAT JALAN DI RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Diakses pada tanggal 15 November 2019.
Prince,sylfia A. 2006. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit Vol. 2, Edisi
6. Jakarta: EGC. Diakses pada tanggal 14 November 2019.
Rachmi, Noor. 2012. ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA NY. Y
DENGAN DIABETES MELLITUS TIPE II (HIPOGLIKEMI) DI
INSTALASI GAWAT DARURAT RSUD SRAGEN. Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Diakses pada tanggal 15 November 2019.
Rahajeng E, Tum S.2009.Prevalensi Hipertensi dan Determinannya di Indonesia.
Majalah Kedokteran Indonesia.
Saifudin, AB. 2003. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta
Salvador Cruz-Flores, MD, MPH. Ischemic Stroke in Emergency Medicine Treatment
& Management. Diakses pada tanggal 14 November 2019
Silbernagl S., Lang F. 2014. Teks & Atlas Berwarna Patofisilogi, EGC, Jakarta.
Diakses pada tanggal 14 November 2019.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Diakses pada tanggal 14 November 2019

Anda mungkin juga menyukai