Perpajakan
Pph Pasal 21,22,23,PPN,PPNBM,PBB,BPHTB,BEA MATERAI
NAMA:
MAYA NURMASARI 5551180151
REVA WATI 5551180170
Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21
Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21) adalah pajak penghasilan atas penghasilan berupa gaji,
upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.
1. Pegawai tetap.
2. Tenaga lepas (seniman, olahragawan, penceramah, pemberi jasa, pengelola proyek, peserta
perlombaan, petugas dinas luar asuransi), distributor MLM/direct selling dan kegiatan
sejenis.
3. Penerima pensiun, mantan pegawai, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang
menerima Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua.
4. Penerima honorarium.
5. Penerima upah.
6. Tenaga ahli (Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai, dan
Aktuaris).
7. Peserta Kegiatan.
1. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-
orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal
bersama mereka, dengan syarat:
o bukan warga negara Indonesia dan
o di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan
timbal balik;
2. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri
Keuangan sepanjang bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau
kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.
1. penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai atau penerima pensiun secara teratur
berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota
dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang
sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan isteri, tunjangan anak, tunjangan
kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transpot, tunjangan pajak,
tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, beasiswa, premi asuransi yang
dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apa pun;
2. penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai, penerima pensiun atau mantan pegawai
secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari
raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang
sifatnya tidak tetap;
3. upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan yang diterima atau diperoleh
pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, serta uang saku harian atau mingguan yang
diterima peserta pendidikan, pelatihan, atau pemagangan yang merupakan calon pegawai;
4. uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, uang pesangon,
dan pembayaran lain sejenis sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja;
5. honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
komisi, beasiswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, terdiri
atas:
1. tenaga ahli (Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai, dan
Aktuaris)
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, crew film, foto model, peragawan/peragawati, pemain
drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
3. olahragawan;
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial;
7. agen iklan;
8. pengawas, pengelola proyek, anggota dan pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan,
dan peserta sidang atau rapat;
9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan;
10. peserta perlombaan;
11. petugas penjaja barang dagangan;
12. petugas dinas luar asuransi;
13. peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan bukan pegawai atau bukan sebagai
calon pegawai;
6. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis
lainnya.
7. Gaji, gaji kehormatan, tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji dan honorarium
atau imbalan lain yang bersifat tidak tetap yang diterima oleh Pejabat Negara, Pegawai
Negeri Sipil serta uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan
uang pensiun yang diterima oleh pensiunan termasuk janda/duda atau anak-anaknya.
Ketentuan Lainnya
1. Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 baik diminta maupun
tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai
pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima Jaminan Hari Tua, penerima uang
pesangon, dan penerima dana pensiun.
2. Pemotong PPh Pasal 21 wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 tahunan (form
1721-A1 atau 1721-A2) kepada pegawai tetap, termasuk penerima pensiun bulanan dalam
waktu dua bulan setelah tahun takwim berakhir.
3. Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim, maka
Bukti Pemotongan (form 1721-A1 atau 1721-A2) diberikan oleh pemberi kerja selambat-
lambatnya satu bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun.
4. Penerima penghasilan wajib menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong Pajak PPh
Pasal 21 yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim atau
pada permulaan menjadi Subyek Pajak dalam negeri.
Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21
1. Pegawai tetap, penerima pensiun bulanan, pegawai tidak tetap, pemagang dan calon
pegawai, serta distributor MLM/direct selling dan kegiatan sejenis, dikenakan tarif Pasal
17 Undang-undang PPh dikalikan dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP). PKP dihitung
berdasarkan sebagai berikut:
1. Pegawai Tetap: Penghasilan bruto dikurangi biaya jabatan (5% dari penghasilan
bruto, maksimum Rp 6.000.000 setahun atau Rp 500.000 sebulan); dikurangi iuran
pensiun/iuran jaminan hari tua, dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
2. Penerima Pensiun Bulanan: Penghasilan bruto dikurangi biaya pensiun (5% dari
penghasilan bruto, maksimum Rp 2.400.000 setahun atau Rp 200.000 sebulan);
dikurangi PTKP.
3. Pegawai tidak tetap, pemagang, calon pegawai: Penghasilan bruto dikurangi PTKP
yang diterima atau diperoleh untuk jumlah yang disetahunkan.
4. Distributor MLM/direct selling dan kegiatan sejenis: penghasilan bruto tiap bulan
dikurangi PTKP per bulan.
2. Penerima honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan, komisi, bea siswa, dan
pembayaran lain sebagai imbalan atas jasa dan kegiatan yang jumlahnya dihitung tidak atas
dasar banyaknya hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa atau kegiatan; mantan
pegawai yang menerima jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus; peserta program
pensiun yang menarik dananya pada dana pensiun; dikenakan tarif berdasarkan Pasal 17
Undang-undang PPh dikalikan dengan penghasilan bruto.
3. Tenaga Ahli yang melakukan pekerjaan bebas (pengacara, akuntan, arsitek, dokter,
konsultan, notaris, penilai dan aktuaris) dikenakan tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-
undang PPh x 50% dari perkiraan penghasilan bruto dikurangi PTKP perbulan.
4. Pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang, dan calon pegawai, serta pegawai tidak
tetap lainnya yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan
dan uang saku harian yang besarnya melebihi Rp 150.000 sehari tetapi dalam satu bulan
takwim jumlahnya tidak melebihi Rp 1.320.000 atau tidak dibayarkan secara bulanan,
maka PPh Pasal 21 yang terutang dalam sehari adalah dengan menerapkan tarif 5% dari
penghasilan bruto setelah dikurangi Rp 150.000. Bila dalam satu bulan takwim jumlahnya
melebihi Rp 1.320.000, maka besarnya PTKP yang dapat dikurangkan untuk satu hari
adalah sesuai dengan jumlah PTKP sebenarnya dari penerima penghasilan yang
bersangkutan dibagi 360.
5. Penerima pesangon, tebusan pensiun, Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang
dibayarkan sekaligus dikenakan tarif PPh final sebagai berikut:
1. 0% dari penghasilan bruto sampai dengan Rp 25.000.000 (dikecualikan dari
pemotongan pajak).
2. 5% dari penghasilan bruto di atas Rp 25.000.000 s.d. Rp 50.000.000.
3. 10% dari penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000 s.d. Rp 100.000.000.
4. 15% dari penghasilan bruto di atas Rp 100.000.000 s.d. Rp 200.000.000.
5. 25% dari penghasilan bruto di atas Rp 200.000.000.
6. Pejabat Negara, PNS, anggota TNI/Polri yang menerima honorarium dan imbalan lain yang
sumber dananya berasal dari Keuangan Negara atau Keuangan Daerah dipotong PPh Pasal
21 dengan tarif 15% dari penghasilan bruto dan bersifat final, kecuali yang dibayarkan
kepada PNS Gol. II/d ke bawah, anggota TNI/Polri berpangkat Peltu atau Aiptu ke bawah.
Merupakan pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan yang dipungut oleh:
Pemungut Pajak
1. Bank Devisa dan Direktorat Jendral Bea Cukai, atas impor barang
2. Direktorat Jendral Perbendaharaan, yang melakukan pembayaran ats pembelian barang.
3. Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan pembelian
barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan/atau belanja daerah
(APBD), kecuali badan badan tersebut dalam butir 4.
4. Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perum Badan Urusan Logistik
(BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN),
PT Garuda Indonesia, PT Krakatau Steel, PT Pertamina, dan Bank Bank BUMN yang
melakukan pembelian barang yang dananya bersumber dari APBN mupun non – APBN
5. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri
baja, industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan
hasil produksinya didalam negeri.
6. Produsen atau Importir bahan bakar minyak, gas dan pelumas atas penjualan bahan bakar
minyak, gas dan pelumas.
7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan
perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jendral Pajak atas pembelian bahan bahan untuk
keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
8. Wajib pajak yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Objek Pemungut PPh Pasal 22
Kendaraan bermotor rada empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan,
jeep, sport utility vehicle (SUV), multiporpose vehicle (MPV), minibus dan sejenisnya
dengan harga lebih dari RP.5.000.000.000 (lima meliar rupiah) dan dengan kapasitas
silinder lebih dari 3.000 cc
1. Impor barang
2. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh Direktorat Jendral
Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik ditingkat Pusat maupun Pemerintah
Daerah
3. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan Badan Usaha Milik Negara dan
Badan Usaha Milik Daerah yang dananya dari belanja negara dan atau belanja
daerah
4. Penjualan hasil produksi di dalam negeri yang dilakukan oleh badan usahayang
bergerak dibidang industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja dan
industri otomotif
5. Penjualan hasil produksi yang dilakukan oleh Pertamina dan badan usaha selain
Pertamina yang bergerak dibidang bahan bakar minak jenis premix dan gas.
6. Pembelian bahan – bahan untuk keperluan industri atau ekspor industri dan
eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkembunan, pertanian, dan
perikanan dai pedagang pengumpul.
7. Penjualan baran yang tergolong sangat mewah, yang dimaksud barang sangat
mewah adalah sebagai berikut:
Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp.20.0000.0000.000
(dua puluh meliar rupiah).
Kapal Pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp10.000.000.000
(sepuluh meliar rupiah)
Rumah besarta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih
dari Rp10.000.000.000 (Sepuluh Meliar Rupiah) dan luas bangunan lebi
dari 500m2 (lima ratus meter persegi)
Apartemen, Kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau
pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000 (Sepuluh Meliar Rupiah)
dan/atau luas bangunan 400m2 (empat ratus meter persegi).
Kendaraan bermotor rada empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang
berupa sedan, jeep, sport utility vehicle (SUV), multiporpose vehicle
(MPV), minibus dan sejenisnya dengan harga lebih dari RP.5.000.000.000
(lima meliar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc
Cara Menghitung PPh Pasal 22
1. Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), tarif pemungutannya sebesar 2,5% dari
nilai impor
2. Yang tidak menggunakan Angka Pengenal Impor (API), tarif pemungutannya sebesar 7,5
% dari nilai impor
3. Yang tidak dikuasai, tarif pemungutannya sebesar 7,5% dari harga jual lelang.
Catatan:
Yang dimaksud denga nilai impor adalah berupa uang yang digunakan sebagai dasar perhitungan
bea masuk. Nilai impor dihitung sebesar Cost Insuranse and Freigh (CIF) + bea masuk + pengutan
pabean lainnya.
Contoh 1.
1. DELL, memiliki nomor API melakukan impor komputer dari Amerika Serikat dengan
perincian sebagai berikut:
Pungutan
– Bea masuk 20% US$.5.000,00
Contoh 2
Seperti no 1 diatas akan tetapi PT Dell tidak memiliki nomor API , maka perhitungan PPh Pasal
22 adalah sebagai berikut:
Atas pembelian barang yang dananya dari belanja negara atau belanja daerah dikenakan
pemungutan PPh 22 sebesar 1,5% dari harga pembelian.
1. Pembayaran atas penyerahan barang (bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah) yang
meliputi jumlah kurang dari Rp.2000.000,00
2. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, dan
benda- benda pos
3. Pembayaran / pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor Perbendaharan dan Kas
Negara
Contoh3
PT Bangun Maju melakukan penjualan lemari arsip kepada Departemen Dalam Negeri seniali
Rp.220.000.000,00 pembayaran dilakukan oleh Bendaharawan Departemen Dalam Negeri. Dalam
kontrak penjualan dengan pemerintah yang didanai dari APBN/APBD, biasanya harga jual sudah
termasuk Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%
Besarnya PPh 22 atas penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih di dalam
negeri adalah sebesar 0,45% dari dasar pengenaan pajak (DPP)
Penjualan kendaraan bermotor yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 atas industri
otomotif adalah penjualan kendaraan kepada :
Instansi pemerintah
Korps diplomatik
Bukan Subjek Pajak
Besarnya PPh 22 yang wajib dipungut oleh industri rokok pada saat penjualan rokok di dalam
negeri adalah 0,15% dari harga bandrol (pita cukai), dan bersifat final.
Besarnya PPh 22 yang wajib dipungut oleh industri kertas pada saat penjualan kertas di dalam
negeri adalah 0,1% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai
Besarnya PPh 22 yang wajib dipungut pasar oleh industri semen pada saat penjualan semen dalam
negeri adalah 0,25% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) pajak Pertambahan Nilai
Yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 adalah penjualan semen dalam negeri PT
Indosement, PT Semen Cibinong, dan PT Semen Nusantara kepada distributor utama/tunggalnya
7. Atas Penjualan Hasil Produksi Industri Baja di Dalam Negeri
Besarnya PPh 22 yang wajib dipungut pasar oleh industri Baja pada saat hasil produksinya dalam
negeri adalah 0,3% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) pajak Pertambahan Nilai
8. Atas Pembelian Bahan Bahan Untuk Keperluan Industri atau Ekspor oleh industri yang
Bergerak dalam Sektor Perhutanan, Perkebunan, Pertanian, dan Perikanan dari Pedagang
Pengumpul
Besarnya PPh pasal 22 yang wajib dipungut oleh industri atau eksportir yang bergerak dalam
sektor perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak
adalah sebesar 0,25% dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai
9. Cara menghitung PPh Pasal 22 yang di pungut oleh Pertamina dan Badan Usaha Selain
Pertamina
Besarnya PPh 22 yang wajib dipungut oleh pertamina dan badan usaha lainnya yang bergerak
dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT dan gas atas penjualan hasil produksinya
adalah sebagai berikut:
1. Atas penebusan premium, solar, premix/super TT oleh SPBU swastanisasi adalah 0,3%
dari penjualan
2. Atas penebusan premium, solar, premix/super TT oleh SPBU Pertamina adalah 0,25% dari
penjualan
Catatan:
Pemungutan PPh 22 ini bersifat final ats penyerahan/penjualan hasil produksi kepada
penyalur/agennya. Sedangkan penjualan kepada pembeli lainnya (misalnya pabrikan)
pemungutannya tidak bersifat final, sehingga PPh pasal 22-nya diperhitungkan sebagai kredit
pajak.
Besarnya PPh pasal 22 atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah adalah sebesar 5%
(lima persen) dari harga jual tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPN dan PPnBM)
Besarnya PPh 22 yang dipungut terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif yang diterapkan Wajib pajak yang dapat
menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak. Kepemilikan NPWP dapat dibuktikan oleh WP, antara
lain dengan cara menunjukkan karta NPWP
PPh pasal 23
pihak penerima penghasilan yang terkena potongan PPh 23, Anda bisa melihat daftar di bawah ini.
a. Badan pemerintah
c. Penyelenggaraan kegiatan
f. Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri tertentu yang ditunjuk Direktur Jenderal Pajak sesuai
dengan KEP-50/PJ/1994, di antaranya:
Akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), kecuali camat,
pengacara, dan konsultan yang melakukan pekerjaan bebas.
Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan atas
pembayaran berupa sewa.
Wajib pajak orang pribadi ini hanya melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas sewa selain
tanah dan bangunan saja.
a. Wajib Pajak (WP) dalam negeri dalam hal ini bisa orang pribadi atau badan
Dari daftar di atas, sudah diketahui siapa yang diperbolehkan melakukan pemotongan terhadap
PPh Pasal 23 dan siapa saja yang harus terkena pemotongan pajak penghasilan PPh 23. Kemudian
penghasilan apa saja yang akan dikenakan PPh Pasal 23?
Secara umum, hampir semua penghasilan bisa dikenakan ketentuan PPh Pasal 23. Rincian
detailnya bisa dilihat di bawah ini.
1. Dividen
2. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian
utang
3. Royalti
4. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan
(PPh), yaitu penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri orang pribadi yang
berasal dari penyelenggara kegiatan sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan
5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dari penghasilan
lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai PPh sebagaimana dimaksudkan
dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang (UU) PPh
6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan
jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU PPh.
PPh Pasal 23 juga mengatur beberapa penghasilan yang tidak dikenakan pajak dengan rincian
daftar berikut ini:
3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP dalam
negeri, koperasi, dan BUMN/BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
berkedudukan di Indonesia dengan syarat:
Setelah mengetahui penghasilan apa saja yang bisa dikenakan PPh Pasal 23, Anda juga harus
memahami berapa tarif yang dikenakan kepada Wajib Pajak. Berikut ini penjelasannya.
Tarif dari pajak penghasilan (PPh Pasal 23) dikenakan atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau
jumlah bruto dari penghasilan. Di dalam PPh Pasal 23, terdapat dua jenis tarif yang diberlakukan,
yaitu 15% dan 2% tergantung dari objek pajaknya. Di bawah ini adalah tarif dan objek pajak yang
terkena PPh Pasal 23 yang berlaku di Indonesia.
a. dividen kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi dikenakan final, bunga, dan royalti;
b. hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.
2. Dikenakan 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.
3. Dikenakan 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, dan jasa konsultan.
a. Jasa penilai;
b. Jasa aktuaris;
c. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
d. Jasa hukum;
e. Jasa arsitektur;
g. Jasa perancang;
5. Untuk yang tidak ber-NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 23.
6. Yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang
dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh
badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau
bentuk usaha tetap. Tidak termasuk:
a. Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan WP penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja
yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;
c. Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan kepada pihak
ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan pihak ketiga disertai dengan perjanjian tertulis);
1. PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran, disediakan untuk dibayar,
atau telah jatuh tempo pembayarannya, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
2. PPh Pasal 23 disetor Pemotong Pajak paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah
bulan saat terutang pajak.
3. SPT Masa disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling lambat 20 hari setelah masa
pajak berakhir.
Apabila jatuh tempo batas akhir pelaporan atau penyetoran PPh Pasal 23 bertepatan dengan hari
libur, termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada
hari kerja berikutnya.
Untuk memahami lebih mudah tentang bagaimana perhitungan PPh Pasal 23, ilustrasi di
bawah ini akan menjelaskannya kepada Anda. Penghitungan PPh Pasal 23 menggunakan
tarif dikalikan dengan jumlah bruto.
PT Insan Media Print adalah perusahaan yang bergerak di bidang penerbitan buku dan percetakan.
Perusahaan ini melakukan sejumlah pembayaran yang terkait dengan PPh Pasal 23 kepada
beberapa pihak dengan rincian:
2. Pembayaran bunga pinjaman kepada BRI dengan NPWP 03.111.222.2.541.000 untuk bulan
September sebesar Rp1.500.000.
Jadi, perhitungan pajak penghasilan (PPh Pasal 23) untuk PT Insan Media Print adalah
sebagai berikut:
2. Untuk pembayaran atas bunga pinjaman pada BRI, tidak dikenakan PPh Pasal 23. Sebab
termasuk penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada bank dan merupakan pengecualian
terhadap PPh Pasal 23.
PPh Pasal 23 juga mengatur beberapa hal lain yang bisa menjadi referensi Anda dalam melakukan
pembayaran pajak.
Pembayaran yang dilakukan pihak pemotong bisa dilakukan dengan cara membuat ID Billing
terlebih dahulu untuk kemudian membayarnya melalui bank yang telah disetujui Kementerian
Keuangan. Sementara jatuh temponya adalah tanggal 10, satu bulan setelah bulan terutang PPh
Pasal 23.
Sebagai bukti bahwa PPh Pasal 23 sudah dipotong, pihak pemotong wajib memberikan bukti
potong (rangkap pertama) yang sudah dilengkapi pihak yang dikenakan pajak tersebut.
Pelaporan dilakukan pihak pemotong dengan cara mengisi SPT Masa PPh Pasal 23. Lalu bisa
melaporkannya melalui fitur lapor pajak online. Jatuh tempo pelaporan adalah tanggal 20, sebulan
setelah bulan terutang PPh Pasal 23.
Dengan memahami ketentuan PPh Pasal 23 di atas, pemahaman Anda tentang segala hal terkait
pajak yang berasal dari modal, penyerahan jasa, hadiah, dan penghargaan akan semakin lengkap.
Selama ini yang umum diketahui adalah PPh Pasal 21 sebagai pajak yang dikenakan.
Pengertian PPN (Pajak Pertambahan Nilai)
PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi dalam negeri oleh Wajib Pajak Orang Pribadi,
Badan, dan Pemerintah. Dalam penerapannya, Badan atau perorangan yang membayar pajak ini
tidak diwajibkan untuk menyetorkan langsung ke kas negara, melainkan lewat pihak yang
memotong PPN.
Pajak Pertambahan Nilai bersifat objektif, tidak kumulatif, dan merupakan pajak tidak langsung.
Subjek pajaknya terdiri dari Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan non PKP, harus dipahami subjek
pajak ini berbeda dengan Wajib Pajak. Subjek pajak belum memiliki kewajiban untuk membayar
pajak sedangkan Wajib Pajak sudah memiliki kewajiban untuk membayar pajak.
Terdapat tiga kali perubahan Undang-Undang PPN di Indonesia. Adapun perubahan yang terjadi
disebabkan karena adanya pergantian model pemungutan pajak dan peraturan perundang-
undangan agar bisa lebih sederhana dan adil untuk masyarakat. Berikut adalah perubahan UU PPN
di Indonesia:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah diciptakan untuk mengatur tentang PPN dan PPnBM dan disahkan pada 1 April
1985.
Setelah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983, terdapat perubahan kedua yaitu Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Perubahan ini dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan sistem perpajakan yang tepat
untuk masyarakat juga untuk meningkatkan penerimaan negara.
Perubahan ketiga adalah Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Untuk melengkapi kekurangan
pada Undang-Undang PPN sebelumnya, Undang-Undang ini bertujuan memberikan keadilan
hukum dan keamanan bagi negara dan masyarakat dengan sistem perpajakan yang jauh lebih
sederhana. Sampai tahun 2018 ini, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 masih digunakan.
Secara teknis, mekanisme yang berlaku terhadap PPN di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. PKP yang melakukan penyerahan BKP/JKP wajib memungut PPN dari pembeli/penerima
BKP/JKP yang bersangkutan sebesar 10% dari Harga Jual atau penggantian, dan membuat
Faktur Pajak sebagai bukti pemungutannya.
2. PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak tersebut merupakan Pajak Keluaran bagi PKP
Penjual BKP/JKP, yang sifatnya sebagai pajak yang harus dibayar (utang pajak).
3. Pada waktu PKP di atas melakukan pembelian/perolehan BKP/JKP yang dikenakan PPN,
PPN tersebut merupakan Pajak Masukan yang sifatnya sebagai pajak yang dibayar di
muka, sepanjang BKP/JKP yang dibeli tersebut berhubungan langsung dengan kegiatan
usahanya.
4. Untuk setiap Masa Pajak (setiap bulan), apabila jumlah Pajak Keluaran lebih besar
daripada Pajak Masukan, maka selisihnya harus disetor ke Kas Negara paling lama akhir
bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai disampaikan. Dan sebaliknya, apabila jumlah Pajak Masukan
lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka selisih tersebut dapat dikompensasi ke masa
pajak berikutnya. Restitusi hanya dapat diajukan pada akhir tahun buku. Hanya PKP yang
disebutkan dalam Pasal 9 ayat (4b) UU Nomor 42 Tahun 2009 saja yang dapat mengajukan
restitusi untuk setiap Masa Pajak.
5. PKP di atas wajib menyampaikan SPT Masa PPN setiap bulan ke Kantor Pelayanan Pajak
terkait paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.
1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BPK) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah Pabean
yang dilakukan oleh pengusaha.
2. Impor Barang Kena Pajak.
3. Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean.
4. Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
5. Ekspor Barang Kena Pajak berwujud atau tidak berwujud dan ekspor Jasa Kena Pajak oleh
Pengusaha Kena Pajak (PKP).
6. Kegiatan Membangun Sendiri bangunan dengan luas lebih dari 200m2 yang dilakukan di
luar lingkungan perusahaan dan/atau pekerjaan oleh Orang Pribadi atau Badan yang
hasilnya digunakan sendiri atau pihak lain.
7. Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang
pajak masukan yang dibayar pada saat perolehan aktiva tersebut boleh dikreditkan.
b. Barang atau Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
1. Barang hasil pertambangan atau pengeboran (minyak mentah, asbes, batu bara, gas bumi,
dan lain-lain).
2. Barang Kebutuhan Pokok (beras, jagung, susu, daging, kedelai, sayuran, dan lainnya).
3. Makanan dan minuman yang disajikan di rumah makan atau restoran.
4. Uang dan emas batangan.
5. Jasa pelayanan medis, pelayanan sosial, jasa keuangan, asuransi, pendidikan dan
sebagainya.
Untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai digunakan nilai
yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sendiri terdiri dari:
1. Harga Jual
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta
oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak.
2. Penggantian
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud.
3. Nilai Impor
Nilai Impor adalah uang yang digunakan sebagai dasar penghitungan Bea Masuk ditambah
pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak.
4. Nilai Ekspor
Nilai Ekspor adalah uang atau biaya yang diminta oleh eksportir.
5. Nilai Lain
Nilai Lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak yang diatur
oleh Menteri Keuangan.
DPP PPN (Dasar Pengenaan Pajak PPN) yang diatur dalam Pasal 9 ayat 1 sebagai berikut:
a. Untuk penyerahan BKP atau pemanfaatan BKP tidak berwujud, DPP-nya adalah jumlah harga
jual.
b. Untuk pengimporan BKP, DPP-nya adalah nilai impor (definisi nilai impor lihat Pasal 1 angka
20 UU PPN).
Perhitungan PPN yang terutang dilakukan dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Dasar
Pengenaan Pajak (DPP). Proses perhitungan tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Contoh Kasus:
Seorang PKP bernama Gaby menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp25.000.000.
PPN sebesar Rp2.500.000 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha
Kena Pajak Gaby.
Pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terdapat beberapa objek yang termuat di dalamnya seperti
PPN dalam sektor ekspor dan impor Barang Kena Pajak (BKP). Selain itu juga pemanfaatan Jasa
Kena Pajak (JKP) baik dari dalam maupun luar Daerah Pabean atau Pajak Pertambahan Nilai atas
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean maupun PPN Jasa Luar Negeri.
a. Ketentuan Aturan PPN Jasa Luar Negeri
Selanjutnya, terdapat aturan tentang batasan untuk transaksi Jasa Kena Pajak dari luar negeri yang
diatur dalam pasal 4 Ayat 1 SE-147/PJ/2010, bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan
dikenakan atas Jasa Luar Negeri dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Penyerahan dilakukan oleh Orang Pribadi atau Badan yang bertempat tinggal di luar
Daerah Pabean.
2. Pengenaan Jasa Luar Negeri dapat dilakukan di dalam maupun di luar Daerah Pabean,
selama kegiatan pemanfaatan jasa tidak menyebabkan Orang Pribadi atau Badan yang
bertempat tinggal di luar Daerah Pabean menjadi subjek pajak dalam negeri.
3. Aktivitas pemanfaatan Jasa Luar Negeri dilakukan di dalam Daerah Pabean.
4. Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar negeri dimanfaatkan oleh siapapun dalam Daerah Pabean.
5. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Jasa Luar Negeri tidak melihat status
penggunanya, baik Orang Pribadi maupun Badan, atau telah menjadi Pengusaha Kena
Pajak (PKP) maupun belum.
Pajak Pertambahan Nilai Jasa Luar Negeri bisa terutang, sebab terjadi ketika pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sedang dalam proses pembayaran atau baru saja dimulai.
Dengan catatan pembayaran tersebut diterima sebelum penyerahan Jasa Luar Negeri.
1. Waktu pemanfaatan jasa merupakan saat dimana Jasa Luar Negeri tersebut digunakan
secara nyata digunakan oleh pihak yang berkepentingan.
2. Jasa Luar Negeri dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya.
3. Terjadi penggantian Jasa Kena Pajak ditagih oleh pihak yang menyerahkan.
4. Harga perolehan Jasa Kena Pajak dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh
pengguna.Ditandatanganinya kontrak dan perjanjian yang telah ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
5. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang terutang atas penggunaan Jasa Luar Negeri harus
disetor paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
Cara menghitung PPN atas Jasa Luar Negeri yaitu 10% x jumlah yang seharusnya dibayarkan
kepada pihak yang menyerahkan Jasa Luar Negeri. Selain itu, cara tersebut dapat diterapkan antara
pihak pemberi Jasa Luar Negeri dan pihak penerima sesuai kesepakatan.
Contoh Kasus
Perusahaan Mutiara Rezeki memiliki beban untuk membayar jasa tenaga ahli dari Cina yang telah
memberikan pelatihan pengembangan personality pada perusahaannya. Harta tenaga ahli tersebut
adalah sebesar Rp600.000.000.
Sementara tenaga ahli yang disebutkan meminta jumlah gaji yang diterima harus jumlah bersih
termasuk potongan Pajak Pertambahan Nilai. Sehingga dalam hal ini, Anda dapat menerapkan
rumus kedua yaitu 10/110 x Rp600.000.000,- untuk menetapkan jumlah Pajak Pertambahan Nilai
yang menjadi beban dan harus Anda bayarkan untuk jasa tenaga kerja ahli tersebut.
PPnBM
1. Pengertian
Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) merupakan pungutan resmi tambahan selain PPN
atas :
penyerahan BKP yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh PKP yang menghasilkan B
KP tersebut di dalam Daerah Pabean atau atas impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah.
2.Karakteristik PPnBM
Report this ad
– Kendaraan Bermotor, diatur lebih lanjut dengan KMK Nomor 569/KMK.04/2000 yangtelah
diubah terakhir dengan No. 355/KMK.03/2003 dan
Pabrikan Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau badan yang menghasilkankendaraan
bermotor atau menyuruh orang pribadi atau badan lain menghasilkankendaraan bermotor.
Menghasilkan berarti merakit kendaraan bermotor dan ataumengubah kendaraan sasis atau
kendaraan angkutan orang (penumpang) atau kendaraan double cabin.
CONTOH:
Report this ad
tahun 1993 yang telah tua dengan badan (body) kendaraan yang lebih baru. Untukitu, ia membawa
kendaraan tersebut ke perusahaan karoseri untuk dilakukanperubahan. Atas pengubahan
kendaraan sebagaimana dimaksud di atas, tidaktermasuk dalam pengertian pengubahan kendaraan
sasis menjadi kendaraanpengangkutan orang yang dikenakan PPn BM
PT “ZYX” mengimpor kendaraan bermotor dalam bentuk CKD untuk dirakit sendiri
1. dikenakan PPn BM
2. Tidak dikenakan PPn BM
3. Dibebaskan dari PPn BM
Impor kendaraan CBU berupa kendaraan pengangkutan orang sampai dengan 15 (lima
belas)orang termasuk pengemudi, kendaraan Double Cabin, Kendaraan khusus, kendaraan
bermotor roda2 (dua) dengan kapasitas silinder lebih dari 250 cc.
Penyerahan kendaraan hasil perakitan/produksi di dalam Daerah Pabean berupa
Kendaraanpengangkutan orang sampai dengan 15 ( lima belas) orang termasuk pengemudi,
kendaraan DoubleCabin, Kendaraan khusus, kendaraan bermotor beroda 2 (dua) dengan
kapasitas silinder lebih dari250 CC.
Report this ad
1.Kendaraan CKD;
2.Kendaraan sasis;
4.Kendaraan bermotor roda 2 (dua) dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 250 CC
5.Kendaraan bermotor untuk pengangkutan 16 (enam belas) orang atau lebih termasuk pengemudi.
PP No. 145 Tahun 2000 Jo PP No. 60 Tahun 2001 Jo PP No. 7 Tahun 2002 Jo PP No. 43 Tahun
2003 KMK Nomor 569/KMK.04/2000 Jo460/KMK.03/2001 Jo 140/KMK.03/2002
Report this ad
station wagon,
dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semidiesel), dengan sistem 1 (satu)
gandar penggerak (4×2), dengan kapasitas isi silinder tidak lebih dari1500 cc.
2. Kendaraan Bermotor dengan Tarif PPn BM 20%
3. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk
pengemudiselain sedan atau
station wagon,
dengan motor bakar nyala api atau nyala kompresi (diesel atausemi diesel), dengan sistem 1 (satu)
gandar penggerak (4×2), dengan kapasitas isi silinder lebih dari1500 cc sampai dengan 2500 cc;b.
Kendaraan bermotor dengan kabin ganda
(Double Cabin)
dalam bentuk kendaraan bak terbukaatau bak tertutup, dengan penumpang lebih dari 3 (tiga) orang
termasuk pengemudi, dengan motorbakar cetus ipi atau nyala kompresi (diesel/semi diesel),
dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4×2) atau degan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4×4),
dengan semua kapasitas isi silinder, denganmassa total tidak lebih dari 5 (lima) ton.
dengan motor bakar cetus api atau nyalakompresi (diesel /semi diesel) dengan kapasitas isi silinder
sampai dengan 1500 cc;
Report this ad
dengan motor bakar cetus api atau nyalakompresi (diesel /semi diesel) dengan system 2 (dua)
gandar penggerak (4×4), dengan kapasitas isisilinder sampai dengan 1500 cc.
dan selain sedan atau station wagon dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4×4),dengan
kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan 2500 cc.
a.Kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silindernya lebih dari 250 cc sampai
dengan500 cc;b.Kendaraan khusus yang dibuat untuk perjalanan di atas salju, di pantai, di gunung,
dan kendaraansemacam itu.
Report this ad
station wagon dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4×2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar
penggerak (4×4)dengan kapasitas isi silinder lebih dari 3000 cc;
d.Trailer, semi trailer dari tipe caravan, untuk perumahan atau kemah.
Kendaraan bermotor yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
adalah:
Report this ad
Report this ad
1.Nama penjual
2.Nama pembeli
1. Izin usaha dan izin trayek yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang(untukkendaraan
angkutan umum selain taksi) atau Persetujuan Prinsip Yang dikeluarkanPemda
setempat(untuk taksi);
2. Khusus untuk kendaraan bermotor impor harus dilengkapi dengan
-Invoice
-Dokumen pembayaran yang berupa Letter Of Credit atau bukti transfer lainnyayang berkaitan
dengan pembayaran tersebut
Report this ad
(1)Nama Penjual
-Invoice;
-Dokkumen pembayaran yang berupa Letter Of Credit (L/C) atau bukti transferatau bukti lainnya
yang berkaitan dengan pembayaran tersebut.
Berdasarkan pasal 7 Kep. DJP nomor KEP-229/PJ/2003 ini apabila kendaraanbermotor yang
dibebaskan dari pengenaan PPnBM dalam jangka waktu 5 tahun sejak impordipindahtangankan
atau diubah peruntukannya sehingga tidak sesuai dengan tujuan semula,maka PPnBm yang telah
dibayarkan wajib dibayarkan ke kas Negara dalam jangka waktu 1(satu) bulan sejak Barang Kena
Pajak tersebut dipindahtangankan atau diubah peruntukannya.Apabila dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) PajakPenjualan Barang Mewah yang terutang
tersebut tidak atau kurang dibayar, Direktur Jenderal Pajakmenerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar (SKPKB) ditambah sanksi sesuai dengan ketentuanyanga berlaku
1.Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang
dikenakanPajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif 10% (sepuluh persen), adalah :
Kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas, dan pesawat
penerimasiaran televisi;
Kelompok peralatan dan perlengkapan olahraga, yaitu perlengkapan memancing dengan
nilaiimpor atau jual Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) per buah atau lebih;
Kelompok mesin pengatur suhu udara, yaitu Mesin pengatur suhu udara, terdiri dari kipas
yangdijalankan dengan motor dan elemen untuk mengubah suhu atau kelembaban udara,
termasukmesin-mesin tersebut yang tidak dapat mengatur kelembaban udara secara
terpisah, dari tipe jendela atau dinding, dengan kapasitas pendingin di atas 1 PK sampai
dengan 2 PK.;
Kelompok alat perekam atau reproduksi gambar, pesawat penerima siaran radio.
Kelompok alat fotografi, alat sinematografi, dan perlengkapannya.
2.Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang
dikenakanPajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif 20% (dua puluh persen), adalah :
Kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas, selain yang disebut
dalam ayat (1);
Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium,town house,
dansejenisnya;
Kelompok pesawat penerima siaran televisi, dan antena serta reflektor antena, selain yang
disebutdalam ayat (1);
Kelompok mesin pengatur suhu udara, mesin pencuci piring, mesin pengering,
pesawatelektromagnetik, dan instrumen musik selain yang disebut dalam ayat (1);
Kelompok wangi-wangian;
Report this ad
3.Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang
dikenakanPajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif 30% (tiga puluh persen), adalah :
1. Kelompok kapal atau kendaraan air lainnya, sampan dan kano, kecuali untuk keperluan
negaraatau angkutan umum;b. Kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga selain yang
disebut dalam ayat (1).
4.Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang
dikenakanPajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif 40% (empat puluh persen), adalah :
Report this ad
5.Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang
dikenakanPajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif 50% (lima puluh persen), adalah :
6.Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang
dikenakanPajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif 75% (tujuh puluh lima persen), adalah
:
1. Kelompok minuman yang mengandung alkohol selain yang dimaksud dalam ayat (4);
2. Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu mulia dan atau
mutiaraatau campuran daripadanya;
c.Kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum.
RESTITUSI PPnBM
Report this ad
-Invoice
Report this ad
-Invoice
Report this ad
-Invoice
Untuk menghitung PPn dan PPnBM yang terutang atas penyerahan BKP Yang TergolongMewah,
perlu diperhatikan sesuai dengan karakterisriknya, yaitu:
Sebelum 1 Januari 2001, rumusan harga Jual Pasal 1 huruf o UU PPN 1984 menyatakan
bahwauntuk menghitung PPN yang terutang dihitung dari DPP yang ditetapkan berdasarkan
hargabarang setelah dikurangi dengan unsur PPnBM yang terkandung di dalamnya.
Rumusan “Harga Jual” dalam Pasal 1 huruf o tersebut kemudian diubah menjadi Pasal 1 angka 18
UU PPN 1984 sejak 1 Januari 2001 sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut: “Harga Jual adalah
nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual
karenapenyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut
menurutundang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak”.
Artinya,PPnBMdapat ditambahkan ke dalam harga BKP yang bersangkutan (HPP) atau
dibebankan sebagai biayasesuai dengan ketentuan UU PPh yaitu dapat dibebankan atau disusutkan
langsung.
Report this ad
Jumlah Rp220.000.000,00
Keuntungan Rp 20.000.000,00
PPN Rp 25.000.000,00P
Jumlah Rp400.000.000,00
Report this ad
Keuntungan Rp20.000.000,00
Jumlah Rp434.500.000,00
PPn BM yang dipungut pada lini sebelumnya dimasukkan dalam DPP PPN.
Keuntungan Rp20.000.000,00
PPN Rp41.500.000,00
Jumlah Rp456.500.000,00
PPn BM yang dipungut pada lini sebelumnya dimasukkan dalam DPP PPN.
Keuntungan Rp20.000.000,00
Report this ad
PPN Rp29.000.000,00
Jumlah Rp319.000.000,00
PPN Rp20.000.000,00
Jumlah Rp320.000.000,00
Penyerahan KB Eks Impor CBU oleh Importir :
Keuntungan Rp20.000.000,00
PPN Rp32.000.000,00
Jumlah Rp352.000.000,00
PPn BM yang dipungut pada lini sebelumnya dimasukkan dalam DPP PPN.
Report this ad
PPN Rp 9.000.000,00
Jumlah Rp99.000.000,00
Atas penyerahan Sasis tidak terutang PPn BM.Penyerahan Kendaraan Bermotor Eks Sasis oleh
Distributor/Dealer/Showroom :
Keuntungan Rp 10.000.000,00
PPN Rp 11.000.000,00
Dalam hal pihak yang menyuruh melakukan pengubahan Kendaraan bermotor bukan
Distributor,Dealer, Sub Dealer/Showroom.DPP PPn BM sebesar Harga beli Sasis + Biaya
Karoseri.DPP PPN = Biaya Karoseri.
Misalnya:
Harga beli sasis yang akan diubah menjadi van adalah Rp90.000.000,00
PPN Rp 1.000.000,00
Jumlah Rp31.000.000,00
Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Permukaan bumi meliputi
tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa rawa. Tambak perairan) serta laut wilayah repubilk
indonesia
Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk
melaporkan data objek menurut ketentuan undang undang pajak bumi dan bangunan.
Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) adalah surat yang digunakan oleh Direktorat
Jendral Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terhutang kepada wajib pajak. Direktorat
Jendral Pajak menerbitkan SPPT berdasarkan SPOP.
Nilai Jual Objek Pajak
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah bunga rata rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang
terjadi secara wajar, bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Objek Pajak ditentukan
melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai
Objek Pajak Pengganti.
Letak
Peruntukan
Pemanfaatan
Kondisi lingkungan dan lain lain
Objek pajak yang tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan adalah Pajak yang:
1. Digunakan semeata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak untuk mencari
keuntungan, antara lain:
1. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu
2. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
pengembalaan yang dikuasai oleh desa dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak
3. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik
4. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh
menteri keuangan
Catatan:
Yang dimaksud dengan tidak untuk memperoleh keuntungan adalah bahwa objek pajak itu
diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata nyatanya tidak ditujukan untuk mencari
keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga
dari yayasan/badan yang bergerak dalam ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan
nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik negarasesuai pasal 2 undang
undang no.5 tahun 1967 tentang ketentuan pokok pokok kehutanan.
4. Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk menyelenggarakan pemerintahan,
penentuan pengenaan pajkanya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Yang dimaksud dengan objek pajak adalah objek pajak yang dimiliki/dikuasai/digunakan oleh
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pajak bumi dan
bangunan adalah pajak negara yang sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah
yang antara lain digunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh pemerintah pusat
dan pemerintah daerah. Oleh sebab itu wajar pemerintah pusat juga ikut membiayai penyedian
fasilitas tersebut melalui pembayaran PBB.
Mengenai bumi atau bangunan milik perseorangan dan atau bukan yang digunakan negara,
kewajiban perpajakannya tergantung pada perjanjian yang diadakan.
5. Besarnya nilai jual objek pajak tidak kena pajak (NJOPTKP) ditetapkan untuk masing
masing kabupaten/kota dengan besar setinggi-tingginya Rp.12.000.000 (dua belas juga
rupiah) untuk setiap wajib pajak. Apabila seorang wajib pajak mempunyai beberapa objek
pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya satu objek pajak yang nilainya terbesar, sedangkan
objek pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak atas nama Menteri Keuangan menetapkan
besarnya NJOPTKP dengan mempertimbangkan pendapatan (gubernur,/bupati/walikota
(pemerintah daerah) setempat.
1. Seorang wajib pajak mempunyai objek pajak berupa bumi dengan nilai Rp.4000.000,00
dan besarnya NJOPTKP untuk Objek Pajak Wilayah tersebut adalah Rp.6000.000,00,
maka objek pajak tersebut tidak dapat dikenakan pajak bumi dan bangunan
2. Seorang wajib pajak mempunyai objek pajak berupa bumi dan bangunan di desa A dan
desa B dengan nilai sebagai berikut:
Desa A
Desa B
Dengan data tersebut diatas, maka NJOP dari dua desa tersebut yang mempunyai nilai paling besar,
yaitu desa A . maka NJOP untuk perhitungan PBB adalah:
NJOPTPK Rp.10.000.000,00
NJOPTPK Rp,00
1. Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu
hak atas bumi dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai dan
memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian tanda pembayaran / pelunasan
pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak
2. Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no.1 yang dikenakan kewajiban membayar
pajak menjadi wajib pajak
3. Dalam hal suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jendral Pajak
dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no. 1 sebagai wajib pajak
Hal ini berarti memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menentukan subjek wajib
pajak, apabilia suatu objek pajak belum jelas wajib pajaknya.
4. Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam no.3 dapat memberikan
keterangan secara tertulis kepada Direktur Jendral Pajak bahwa ia buka wajib pajak
terhadap objek pajak dimaksud.
5. Bila keterangan yang diajukan oleh wajib pajak dalam no.4 disetujui, maka Direktur
Jendral Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak sebagaimana dalam no.3 dalam
jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keteragan dimaksud.
6. Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jendral Pajak
mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya
7. Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan
sebagaimana no.4 Direktur Jendral Pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan
yang diajukan dianggap disetujui
Apabila Direktur Jendral Pajak tidak memberikan keputusan dalam 1 (satu) bulan sejak tanggal
diterimanya keterangan dari wajib pajak, maka ketetapan sebagai wajib pajak gugur dengan
sendirinya dan berhak mendapatkan keputusan pencabutan penetapan sebagai wajib pajak.
Tarif PBB
Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5% (nol koma lima puluh persen)
Dalam menetapkan nilai jual, kepala kantor wilayah direktorat jendral pajak atas nama menteri
keuangan dengan mempertimbangan pendapat gubernur/bupati/walikota (pemerintah daerah)
setempat serta memperhatikan asas self assesment. Yang dimaksud (assesment value) adalah nilai
jual yang dipergunakan sebagai dasar perhitungan pajak, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai
jual sebenarnya.
Contoh
1. Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp.2000.000,00 persentase misalnya 20%, maka
besarnya = 20% x Rp.2000.000,00 = Rp.400.000,00
2. Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp.2.000.000.000,00 persentase misalnya 40%, maka
besarnya 40% x 2.000.000.000,00 = Rp.800.000.000,00
Untuk perekonomian saat ini , terutama untuk tidak terlalu membebani wajib pajak di daerah
pedesaan, tetapi dengan memperhatikan penerimaan, khususnya bagi pemerintah daerah, maka
ditetapkan besarnya persentase untuk menentukan besarnya NJPK
Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan NJKP
Contoh:
Wajib Pajak A mempunyai sebidang tanah dan bangunan yang NJOP-nya RP.20.000.000,00 dan
NJOPTKP untuk daerah tersebut RP.12.0.000.000,00, maka besarnya pajak yang terutang adalah
= Rp.8000,00
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pungutan atas perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau
peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang pribadi
atau badan.
Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta bangunan di atasnya
sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, Undang-undang Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lainnya.
Dasar pengenaan atas bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dari nilai perolehan objek pajak
dengan besaran tarif sebesar 5% dari nilai perolehan objek pajak Pada awalnya, BPHTB dipungut
oleh pemerintah pusat, tetapi sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), mulai 1 Januari 2011, BPHTB dialihkan menjadi
pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota.
BPHTB 0% diberikan jika pembeli tanah atau bangunan merupakan wajib pajak orang pribadi
yang berdomisili di DKI Jakarta paling tidak 2 tahun berturut-turut, belum mempunyai rumah
sebelumnya dan Nilai Perolehan Objek Pajak sampai dengan Rp 2.000.000.000 (Dua Milyar
Rupiah).
Karakteristik
Bea meterai tidak diperlukan nomor identitas baik untuk wajib pajak maupun objek pajak.
Pembayaran bea meterai terjadi terlebih dahulu daripada saat terutang.
Waktu pembayaran dapat dilakukan secara insidentil dan tidak terikat waktu.
Objek bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
Pada dasarnya objek dari bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah setiap upaya
pemindahan hak atau pemberian hak atas tanah dan bangunan. Objek bea perolehan hak atas tanah
dan bangunan dapat dijabarkan sebagai berikut:
Pemindahan hak:
Jual beli
Tukar menukar
Hibah
Hibah wasiat
Waris
Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain
Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
Penunjukan pembeli pada lelang
Pelaksanaan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap
Penggabungan usaha
Peleburan usaha
Pemekaran usaha
Hadiah.
Pemberian hak baru karena:
kelanjutan pelepasan hak
di luar pelepasan hak
Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan ini berlaku bagi kepemilikan dengan status Sertifikat
Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Milik atas Satuan Rumah
Susun, dan Hak Pengelolaan.
Subjek bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
Pihak yang terkena kewajiban melunasi bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah orang
pribadi dan badan hukumSelain itu terdapat pihak yang dikecualikan dari kewajiban melunasi bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan, yaitu:
Perwakilan diplomatik dan konsulat dengan asas timbal balik
Negara untuk melaksanakan kepentingan umum
Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri untuk
menjalankan fungsinya
Orang pribadi atau badan, karena konversi hak atas tanah dan bangunan dengan tidak ada
perubahan nama
Orang pribadi atau badan yang diperoleh dari wakaf
Orang pribadi atau badan yang diperuntukan untuk kepentingan ibadah.
Bea materai
Bea materai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang bersifat perdata dan dokumen untuk
digunakan di pengadilan. Nilai bea meterai yang berlaku saat ini Rp. 3.000,00 dan Rp. 6.000,00
yang disesuaikan dengan nilai dokumen dan penggunaan dokumen.
Pengertian bea materai lainnya yaitu:
Bea materai adalah pengenaan pajak terhadap dokumen berupa kertas yang menurut Undang-
Undang menjadi objek bea materai.
Bea Materai adalah pajak tidak langsung yang dipungut secara insidental jika dibuat dokumen
yang disebut oleh Undang-Undang Bea Meterai 1985 atas suatu keadaan, perbuatan, atau peristiwa
dalam masyarakat.
UU No. 13 Tahun 1985, disebut juga dengan undang-undang bea materai, karena undang-undang
tersebut menjelaskan mengenai dasar hukum pengenaan bea materai. Dokumen yang dikenai bea
materai yaitu dokumen dalam bentuk surat yang memuat jumlah uang, seperti kwitansi maupun
dokumen yang bersifat perdata.
Fungsi Bea Materai
Menurut Pasal 1 ayat 1 UU No. 13 tentang Bea Materai, fungsi bea materai adalah pajak dokumen
yang dibebankan oleh negara untuk dokumen tertentu. Jadi dapat disimpulkan, fungsi materai tidak
menentukan sah atau tidaknya suatu perjanjian. Namun, jika surat pernyataan atau perjanjian
dimaksudkan sebagai alat bukti di pengadilan maka harus dilunasi materau yang terutang.
Subjek Bea Materai
Berikut ini subjek bea materai, diantaranya:
a. Pihak yang menerima atau mendapat manfaat dokumen, kecuali pihak yang bersangkutan
menentukan lain.
b. Dalam hal dokumen dibuat sepihak, seperti kwitansi, bea meterai terutang oleh penerima
kwitansi.
c. Dalam hal dokumen dibuat oleh dua pihak atau lebih, seperti surat perjanjian dibawah tangan,
maka masing-masing pihak terutang bea materai.
Objek Bea Materai
Pada dasarnya, objek bea materai yaitu berupa dokumen yang menyatakan nominal hingga jumlah
tertentu, dokumen yang bersifat perdata dan dokumen yang digunakan di pengadilan. Adapun
objek bea materai, diantaranya:
a. Surat perjanjian dan surat-surat lain yang dibuat dengan tujuan sebagai pembuktian mengenai
perbuatan,kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata
b.Akta notaris beserta salinannya
c. Akta pejabat pembuat akta tanah beserta rangkapnya
d. Surat berharga
e. Efek
f. Dokumen yang digunakan untuk pembuktian di pengadilan
Objek Yang Tidak Dikenakan Bea Materai
Objek yang tidak dikenai bea materai adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi internal
perusahaan, berkaitan dengan pembayaran pajak dan juga dokumen negara. Berikut dokumen yang
tidak termasuk objek bea materai, diantaranya yaitu:
a. Dokumen yang berupa:
surat penyimpanan barang
konosemen
surat angkutan penumpang dan barang
keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen surat penyimpanan barang, konosemen,
dan surat angkutan penumpang dan barang
bukti untuk pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim
surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim
surat lainnya yang bisa disamakan dengan surat di atas
b. Segala bentuk ijazah
c. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan dan pembayaran lainnya yang ada
kaitannya dengan hubungan kerja serta surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran
itu.
d. Tanda bukti penerimaan uang negara dan kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
e. Kwitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan
dengan itu ke kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
f. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.
g. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh
bank, koperasi dan badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut.
h. Surat gadai yang diberikan Perum Pegadaian.
i. Tanda pembagian
keuntungan atau bunga dan Efek, dengan nama dan bentuk apapun
Tarif Bea Materai
Berikut beberapa tarif bea materai:
1. Tarif bea materai Rp. 6.000,00 yaitu untuk dokumen berupa:
a. Surat Perjanjian dan surat lainnya yang dibuat dengan tujuan sebagai alat pembuktian
mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat pendata.
b. Akta notaris termasuk salinannya.
c. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek yang harga nominalnya lebih dari
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
d. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, yakni:
surat biasa dan surat kerumahtanggaan.
surat yang tadinya tidak dikenakan bea meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk
tujuan lain atau digunakan oleh orang lain selain dan maksud semula.
2. Untuk dokumen yang menyatakan nominal uang dengan batasan, seperti:
Nominal hingga Rp250.000, tidak dikenakan bea materai
Nominal antara Rp250.000, hingga Rp1.000.000, dikenakan bea mterai Rp3.000,-
Nominal diatas Rp 1.000.000, dikenakan bea materai Rp 6.000,
3. Cek dan Bilyet Giro dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000, tanpa batas
pengenaan besarnya harga nominal.
4. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang memiliki harga nominal hingga Rp1.000.000,
dikenakan Bea Meterai Rp 3.000, sedangkan yang memiliki harga nominal lebih dari Rp
1.000.000, dikenakan Bea Meterai Rp6.000,-
5. Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat kolektif
yang memiliki jumlah harga nominal hingga dengan Rp1.000.000, dikenakan Bea Meterai Rp
3.000, sedangkan yang memiliki harga nominal lebih dan Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai
dengan tarif sebesar Rp6.000,-.