Anda di halaman 1dari 10

PENDIDIKAN KARAKTER ABAD 21 MELALUI

LITERASI SASTRA

Sri Widayati dan


Dian Rifia Syaifudin

Abstract
Twenty first century does not only bring the change upon the machine but also to the
nation character. In this century, Indonesia suffers moral degradation which is quite
bad. Much positive value of the nation disappeared. In order to fix the positive value of
the nation, character education is needed which is integrated through literature
literacy. Literature has moral value as well as cognitive aspect, affective, and
psychomotor. Those three aspects have important role to reveal students’ behavior
which targeted. Jujur Prananto’s short story entitled “Sang Pahlawan” is a short story
which can be used as a text solution to integrate positive and qualified character value
toward the students.
Kata Kunci: pendidikan karakter, abad 21, literasi, cerpen.

Pendahuluan
Dunia saat ini memasuki abad 21, yaitu abad yang mendunia/globalisasi. Pada abad
tersebut banyak sekali terjadi perubahan pola hidup masyarakat yang tentunya tidak sama dengan
pola hidup masyarakat sebelumnya. Abad 21 ditengarai adanya perkembangan teknologi
informasi yang sangat pesat. Banyak pekerjaan yang mulai tergantikan dengan mesin, baik
mesin produksi maupun mesin komputer. Kemajuan teknologi pada abad 21 telah merasuki
berbagai sendi kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Di dunia pendidikan, abad 21 yang serba
digital telah membawa perubahan yang signifikan. Anak-anak tidak lagi tertarik membaca buku
sehingga kegiatan literasi (baca-tulis) tidak lagi menarik. Akibatnya, tingkat literasi (membaca)
di Indonesia sangat memprihatinkan. Jika anak-anak sebelum abad 21 suka membaca, tidak
demikian halnya dengan anak-anak yang hidup di era digital. Mereka lebih senang
bermain game dan sangat aktif di dunia media sosial (medsos) melalui gawainya.
Kehidupan pada abad 21 tidak hanya membawa perubahan pada mesin, tetapi juga
perubahan pada karakter bangsa. Di abad 21 atau era milenial tersebut, bangsa Indonesia
mengalami dekadensi moral yang cukup parah. Banyak nilai karakter bangsa yang hilang.
Generasi muda selaku penerus bangsa justru muncul dengan perilaku yang mengabaikan masalah
etika dan moral. Ini merupakan dampak dari adanya globalisasi. Sebagian besar masyarakat kita,
khususnya kaum muda lebih suka pada hal-hal yang berbau barat sehingga nilai-nilai ketimuran,
seperti sopan santun, tanggung jawab, bekerja sama, hilang begitu saja. Hal ini dapat
mengakibatkan hilangnya identitas serta jati diri generasi abad 21 sebagai penerus bangsa. Oleh
karena itu, pendidikan pada abad 21 sebaiknya bukan hanya berfokus pada pembelajaran yang
berbasis teknologi, melainkan juga pembelajaran yang berfokus pada nilai-nilai karakter.
Bangsa Indonesia tentunya bukan hanya memerlukan generasi yang cerdas secara
intelektual, melainkan juga generasi yang memiliki karakter dan akhlak yang mulia. Untuk
mencapai hal tersebut paling tidak harus ada keteladanan dari guru, orang tua, para pejabat, dan
para public figure. Mereka-mereka inilah yang harus ikut bertanggung jawab atas nasib bangsa
Indonesia ke depannya. Bangsa ini akan hancur dan tidak berkarakter jika tidak ada lagi orang
yang bisa diteladani. Salahudin dan Irwanto (2017:34) mengatakan bahwa bangsa Indonesia
telah mengalami bermacam-macam krisis, seperti krisis akhlak/moral, ekonomi, hukum, sosial,
dan politik. Berbagai krisis yang dialami bangsa Indonesia tersebut, tentu saja lambat laun dapat
menghancurkan kehidupan bangsa ini. Berkaitan dengan hal tersebut, Lickona (dalam Salahudin
dan Irwanto, 2017:35) mengatakan bahwa ada sepuluh tanda kehancuran bangsa, yaitu: a)
adanya peningkatan tindak kekerasan pada kaum remaja, b) adanya pemakaian kata-kata yang
kurang pantas, c) adanya pengaruh peer group yang kuat dalam tindak kekerasan, d) adanya
peningkatan tingkah laku yang merusak diri, e) pedoman moral yang semakin tidak jelas, f)
semangat kerja yang semakin turun, g) hilangnya penghargaan terhadap guru maupun orang tua
h) tanggung jawab seseorang maupun masyarakat yang semakin kurang, i) tumbuhnya budaya
tidak jujur, j) munculnya rasa curiga dan rasa benci antarsesama.

Kesepuluh tanda kehancuran yang disampaikan Lickona di atas sudah tampak nyata pada
bangsa ini. Jika masalah-masalah itu tidak segera diatasi, kehancuran bangsa ini akan segera
terjadi. Bertolak dari permasalahan tersebut, sudah sepatutnya dilakukan berbagai upaya yang
dapat membangun karakter bangsa yang sudah jatuh terperosok ke jurang kehancuran. Dengan
demikian, supaya karakter bangsa tidak jatuh lebih dalam lagi diperlukan pendidikan karakter.
yang salah satu caranya dengan menginternalisasi nilai karakter/moral melalui literasi sastra.
Pendidikan Karakter untuk Generasi Abad 21
Pendidikan karakter pada dasarnya adalah usaha untuk menanamkan perilaku unggul
bagi peserta didik. Wujud penanaman perilaku tersebut dapat berupa pengetahuan tentang
perilaku yang baik, serta kesadaran untuk melakukan hal-hal yang baik. Pelaksanaan perilaku
dilakukan pada diri sendiri, antarsesama manusia, pada Tuhan YME, lingkungan, ataupun
kebangsaan. Jika nilai-nilai itu dilaksanakan dengan baik, akan hadir manusia dengan karakter
unggul. Salahudin dan dan Irwanto (2013:5) mengatakan bahwa tema besar yang harus
diwujudkan dalam pembangunan karakter bangsa dan pendidikan karakter, yaitu terbangunnya
generasi muda yang memiliki kejujuran, kecerdasan, ketangguhan, serta kepedulian. Selanjutnya
Sudrajat (dalam Zubaidi, 2017:375) mengatakan bahwa diperlukan empat strategi untuk
menumbuhkan nilai moral/karakter di lingkungan akademisi, yaitu melalui
pendidikan/pengajaran, keteladanan/contoh, penguatan, dan pembiasaan melakukan perbuatan
yang baik.. Lickona (dalam Wibowo, 2013:15) mengatakan bahwa pendidikan karakter/moral
berisi tiga unsur utama, yaitu mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan kebaikan, mencintai
kebaikan, dan melaksanakan/mempraktikkan kebaikan.
Dari beberapa pernyataan di atas disimpulkan bahwa pendidikan karakter, yaitu usaha
untuk menanamkan karakter luhur serta menanamkan kebiasaan pada peserta didik sehingga
tumbuh kesadaran untuk menerapkan kebajikan. Pendidikan karakter akan terealisasi dengan
baik jika komponen-komponen, seperti pengajaran, keteladan, penguatan, dan pembiasaan benar-
benar dilaksanakan oleh pihak-pihak tertentu, seperti guru, orang tua, para pejabat. Dengan
demkian, peserta didik bukan hanya mengetahui apa itu kebaikan, melainkan juga mampu
mencintai dan bahkan mampu mempraktikkan kebaikan atau mengaktualisasikan dalam
kehidupannya.
Komitmen pada nilai-nilai kebaikan serta mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-
hari ternyata mulai pudar dan hilang pada generasi abad 21. Generasi pada abad tersebut lebih
menyukai hal-hal yang berasal dari budaya barat daripada yang berasal dari timur (Indonesia).
Oleh karenanya, untuk mengembalikan nilai yang sudah sejak lama dimiliki bangsa ini maka
pendidikan karakter yang harus dilakukan di abad ke-21, yaitu peserta didik diharapkan bukan
hanya memahami dan menghayati, melainkan juga mampu mengamalkan nilai budaya yang
memang sudah ada atau tumbuh di Indonesia sejak lama. Nilai budaya yang dimaksud, antara
lain: gotong royong, santun, ramah, toleransi, saling menghormati/menghargai.
Untuk menciptakan generasi bangsa yang mampu mengamalkan nilai-nilai budaya yang
memang sudah sejak lama dimiliki bangsa Indonesia, tentunya diperlukan pendidikan karakter
yang salah satunya dapat dilakukan di lembaga pendidikan. Di tempat tersebut tentu saja
keteladanan harus diawali dengan contoh yang diberikan para guru kepada siswa. Guru adalah
figur yang akan menjadi contoh atau anutan bagi para siswa. Jika guru berkarakter baik, tentu
siswa akan meniru, begitu pun sebaliknya. Hal ini diperkuat dengan pendapat Komara
(2018a:18) bahwa lembaga pendidikan memiliki tugas yang sangat urgen, yaitu sebagai
communities of character dalam pendidikan karakter. Melalui lembaga tersebut dikembangkan
pendidikan karakter lewat pembelajaran, pembiasaan, ataupun melalui kegiatan nonfomal di luar
jam pelajaran. Proses tersebut dilakukan dengan cara bekerja sama dengan keluarga maupun
masyarakat.
Pendidikan karakter yang dilaksanakan di sebuah lembaga pendidikan mempunyai
tujuan untuk mewujudkan peserta didik yang memiliki karakter luhur. Selain itu, peserta didik
diharapkan memiliki kemampuan menilai baik-buruk dan kemampuan mempraktikkan serta
menebar kebaikan dengan lingkungan masyarakat yang ada di sekitarnya. Tentu untuk mencapai
hal yang diinginkan tersebut diperlukan revolusi mental, yaitu usaha untuk mengembalikan
karakter bangsa ini ke karakter yang luhur, seperti santun, berbudi pekerti, jujur, dan
bertanggung jawab. Dengan demkian, pendidikan karakter yang tepat untuk generasi abad 21,
salah satunya melalui literasi sastra. Sastra dapat digunakan sebagai solusi untuk memecahkan
masalah tersebut.

Pendidikan Karakter dan Literasi Sastra


Guna mengatasi adanya krisis moral yang berkepanjangan di negeri ini, perlu
diimplementasikan nilai-nilai pendidikan karakter melalui budaya literasi. Budaya tersebut
memiliki peran untuk menciptakan masyarakat yang cerdas, yaitu cerdas secara intelektual,
emosional maupun spiritual. Oleh karenanya, budaya literasi perlu diimplementasikan dari
tingkat PAUD sampai perguruan tinggi.
Literasi secara umum dimaknai sebagai membaca dan menulis. Haryanti (dalam
Mursalin, 2017:33) mengatakan bahwa literasi adalah keberaksaraan, yaitu kemampuan menulis
dan membaca. Literasi merupakan salah satu aktivitas yang sangat penting karena sebagian besar
proses pendidikan bergantung pada kemampuan dan kesadaran literasi. Budaya literasi yang
tertanam dalam diri peserta didik dapat memengaruhi tingkat keberhasilan mereka, baik di
sekolah maupun dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, pendidikan bagi generasi abad
21 bukan lagi sebagai gagasan, tetapi harus diwujudkan dalam kegiatan pembelajaran/budaya
literasi. Melalui budaya literasi diharapkan generasi muda selain menjadi generasi yang maju dan
tidak kalah dengan bangsa lain, juga dapat terlepas dari keterpurukan nilai-nilai moral. Oleh
karenanya, nilai moral perlu dimiliki peserta didik melalui budaya literasi, terutama literasi
sastra.
Komara (2018b:2) mengatakan bahwa ada beberapa nilai yang secara umum menjadi
fokus dikembangkannya pelaksanaan pendidikan karakter pada diri siswa. Nilai-nilai umum
yang dimaksud, antara lain, yaitu tanggung jawab, berani, bebas, setara, peduli, jujur, adil,
apresiatif, baik, murah hati, penuh prinsip. Berbagai nilai tersebut dapat diinternalisasikan
dalam diri peserta didik melalui literasi sastra.
Herfanda (dalam Harsanti 2017:625) mengatakan bahwa sastra mempunyai kemampuan
untuk mengubah masyarakat/bangsa ke arah yang lebih baik. Sastra dapat menguatkan rasa cinta
terhadap tanah air. Bahkan, sastra dapat dijadikan sumber inspirasi dan motivasi munculnya
kekuatan moral. Sastra dapat membawa perubahan sosial-budaya masyarakat dari keadaan yang
terpuruk ke keadaan yang lebih baik. Pendapat Herfanda tersebut tentunya dapat diterima karena
pada dasarnya sastra yang baik biasanya berisi berbagai nilai moral yang dapat membawa peserta
didik ke arah moral/karakter yang luhur. Hal ini disebabkan di dalam sastra ada tokoh atau figur
yang dapat dicontoh oleh peserta didik. Siswa akan lebih mudah meniru kalau ada contoh yang
konkret. Jadi, guru dapat menyuruh siswa membaca karya sastra sampai tuntas.
Selanjutnya Nurhayati (dalam Wibowo, 2013:19—20) mengatakan bahwa ada
keterkaitan yang erat antara pembelajaran sastra dengan pendidikan karakter. Karya sastra
berisi nilai hidup maupun kehidupan yang secara langsung berkaitan dengan terbentuknya
karakter seseorang. Karya sastra dapat berperan untuk mengembangkan berbagai hal, seperti
aspek pengetahuan/kognitif, sikap/afektif, aktivitas fisik/psikomotorik, kepribadian dan pribadi
sosial. Firmansyah (dalam Wibowo, 2013:20) mengatakan bahwa sastra bukan hanya bermanfaat
untuk membentuk kepribadian seseorang, melainkan juga dapat memperhalus budi seseorang
maupun masyarakat. Dengan kata lain, sastra dapat membentuk manusia yang beradab.
Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah disampaikan, dapat dikatakan bahwa karya
seni/sastra memiliki pengaruh yang kuat terhadap terbentuknya karakter/moral peserta didik,
maupun masyarakat pada umumnya. Sastra tidak hanya memenuhi aspek kognitif/pengetahuan,
tetapi juga yang utama dapat memenuhi aspek afektif/sikap. Aspek ini dalam kehidupan sangat
penting di abad 21 karena seperti yang terlihat selama ini, pendidikan yang selalu menekankan
pada pengetahuan/aspek kognitif, nyatanya tidak mampu membuat bangsa ini semakin baik
karakternya. Dengan demikian, penekanan terhadap aspek afektif harus diutamakan karena
aspek ini akan menjadi solusi terhadap carut-marutnya karakter bangsa ini. Solusi tersebut tidak
hanya dalam pendidikan, tetapi juga seluruh aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini.
Aspek afektif ini selanjutnya diikuti dengan kemampuan untuk menerapkan dalam kehidupan
sehari-hari (psikomotorik).
Di Indonesia biasanya keberhasilan peserta didik diukur dan dinilai dari kemampuannya
di bidang kognitif. Namun, penilaian tersebut ternyata tidak bisa membuat negri ini menjadi
lebih baik/kondusif. Di negri ini banyak orang pandai dari sisi kognitif, tetapi tidak pandai dari
sisi sikap, terutama sikap yang berkaitan moral. Hal ini ditandai dengan maraknya tindakan
amoral, seperti korupsi, nepotisme, suap-menyuap, penipuan. Maraknya berbagai kasus tersebut
memperlihatkan bahwa negri ini seolah-olah tidak beradab/bermoral. Moral bangsa ini semakin
terhapus karena banyak orang yang sepatutnya menjadi teladan, justru menjadi pelaku perbuatan-
perbuatan yang tidak bermoral.
Di Indonesia banyak sekali dijumpai orang-orang yang memiliki kecerdasan secara
intelektual, tetapi tidak banyak yang memiliki kecerdasan secara emosional maupun spiritual.
Hal ini tampak nyata pada generasi muda yang hidup di era sekarang. Mereka lebih
mengutamakan kecerdasan intelektual dan mengabaikan kecerdasan yang lain. Padahal
pendidikan yang diharapkan untuk saat ini, yaitu pendidikan yang mampu membuat generasi
muda menjadi manusia yang beretika, bermoral, dan bersikap baik. Oleh karena itu, untuk
mewujudkan pendidikan yang diinginkan, sastra dapat dipakai sebagai bahan pmbelajaran di
sekolah. Sastra dapat digunakan sebagai alat untuk menginternalisasi nilai-nilai luhur karena
sastra sarat dengan nilai-nilai moral.
Nurgiyantoro, (2010:321—322) mengatakan bahwa karya sastra yang berbentuk fiksi
(novel, novelet, dan cerpen) selalu menyampaikan pesan moral yang berkaitan dengan sifat-sifat
luhur manusia. Sifat-sifat luhur tersebut pada dasarnya bersifat umum, yaitu sifat yang diyakini
kebenarannya oleh manusia pada umumnya. Karya fiksi yang di dalamnya ada unsur tokoh dan
penokohan dapat digunakan sebagai objek material pendidikan karakter. Dalam proses
pembelajaran, peserta didik diarahkan agar dapat mengungkapkan dan meneladani karakter
tokoh yang baik atau yang sesuai dengan objek-material pendidikan karakter itu sendiri.
Untuk menginternalisasi nilai karakter/moral yang ada di dalam karya sastra, peserta
didik diwajibkan membaca karya-karya sastra literer/bermutu sampai tuntas. Hal ini bertujuan
agar terbentuk dan terlatih kebiasaan peserta didik untuk membaca buku. Harsanti, (2017:633)
mengatakan bahwa dengan membiasakan membaca, peserta didik dapat meningkatkan
pemahaman dan pengertian tentang manusia dan kemanusiaan. Dengan membaca, peserta didik
pun akan memeroleh ide-ide baru, pengetahuan yang berkaitan dengan sosial budaya maupun
nilai moral. Selain itu, membaca sastra dapat memupuk tumbuhnya cipta, rasa dan karsa, serta
terbinanya watak dan kepribadian peserta didik.
Karya seni/sastra yang akan disampaikan kepada peserta didik tentunya harus
disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan kondisi psikologis/kejiwaan siswa. Untuk siswa
tingkat SMA misalnya, tentu karya-karya seperti yang ditulis oleh Ahmad Tohari,
Habiburahman, Agus Noor, Jujur Prananto, N.H. Dini, Asma Nadia, dan pengarang-
pengarang lainnya dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran sastra. Peserta didik
diwajibkan serta dibiasakan membaca karya-karya pengarang tersebut. Melalui karya-karya
itu, peserta didik dapat memeroleh berbagai nilai moral, seperti kejujuran, tanggung jawab,
bekerja keras, disiplin. Misalnya cerpen karya Jujur Prananto yang berjudul “Sang Pahlawan”
dapat digunakan sebagai media untuk menginternalisasi nilai-nilai moral pada peserta didik.
Cerpen ‘Sang Pahlawan’ terdapat di dalam kumpulan cerpen yang berjudul Parmin. Dalam
cerpen “Sang Pahlawan” diceritakan seorang tokoh bernama Kadirin yang bekerja di sebuah
perusahaan. Dia seorang yang jujur, dapat dipercaya, dan bertanggung jawab. Pada suatu
ketika dia diutus oleh atasannya untuk memberikan uang kepada Pak Baskara sebagai mitra
dari perusahaan tempat ia bekerja. Saat mengantar uang, ia dihadang oleh kawan-kawan
sekantornya untuk menyerahkan uang yang dibawanya kepada mereka. Uang yang dibawa
Kadirin dianggap sebagai uang tunjangan hari raya yang tidak dibayarkan kepada mereka
sehingga mereka nekat untuk mengambil dari tangan Kadirin, seperti tampak dalam kutipan
berikut.
“Saya ini sudah tua dan bodoh, Dik. Bekerja di perusahaan sudah hampir dua
puluh tahun sejak berdiri hingga kini, dan tetap jadi kurir di departemen
keuangan. Satu-satunya modal yang saya miliki cuma jaminan kepercayaan.
Nah kalau sekarang saya ditugaskan mengantarkan uang ini ke Pak Baskara
tetapi kemudian saya serahkan ke Dik Molana, berarti saya akan membuang
begitu saja modal yang saya pertahankan selama bertahun-tahun”
“Ya memang. Untuk jadi pahlawan perlu pengorbanan.”
“Bagaimana kalau saya tidak mau jadi pahlawan?”
“Pak Kadirin boleh tidak mau jadi pahlawan, tetapi akan dengan sendirinya
jadi pahlawan kalau mau berkorban demi teman-teman.
“Wah tolong jangan campur-adukan antara soal berkorban dengan urusan
kewajiban saya sebagai karyawan.
“Udah deh. Sudah jelas ini bagian dari perbuatan ilegal kok didukung.”
“Maaf adik-adik. Demi tugas, saya tetap merasa keberatan (hlm.4)

Melalui kutipan di atas tampak karakter Pak Kadirin yang jujur, dapat
dipercaya, bertanggung jawab, dan memiliki prinsip yang kuat. Pak Kadirin
merupakan seorang karyawan di departemen keuangan. Ia bekerja sudah dua puluh
tahun lamanya sebagai kurir tanpa cela. Dia tidak pernah melakukan perbuatan
negatif, seperti korupsi atau merugikan orang lain demi kepentingan pribadi. Hal ini
menandakan bahwa Kadirin sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran yang saat
ini sangat langka didapatkan. Saat dia dihadang oleh kawan-kawan sekantornya untuk
menyerahkan uang yang dipercayakan untuk disampaikan kepada Pak Baskara, ia tetap
kuat pada pendiriannya untuk tidak memberikan uang yang dibawa kepada teman-
temannya. Kadirin adalah tokoh yang dapat dipercara dan bertanggung jawab atas
amanah yang diberikan kepadanya. Dia tidak mau jadi pahlawan bagi kawan-
kawannya maupun dirinya selama perbuatan yang dilakukan tidak benar. Ia tidak
bangga menjadi pahlawan meski perbuatan yang dilakukan akan menguntungkan
kawan-kawannya maupun dirinya. Dia tidak mau berkorban dan bekerja sama untuk
pekerjaan yang dianggap melanggar aturan ataupun moral.
Karakter yang dimiliki Kadirin pada cerpen ‘Sang Pahlawan’ itu tentu sangat
jarang ditemukan di era milenial. Di era tersebut justru banyak orang memanfaatkan
kesempatan untuk memperkaya diri. Hal seperti itu tampak pada generasi di abad 21,
mereka lebih suka hal-hal yang bersifat pragmatis, instan, tidak suka bekerja keras,
kurang disiplin, dan kurang bertanggung jawab terhadap hal-hal yang dilakukan.
Kejujuran pun sudah menjadi hal yang langka di negeri ini. Hal ini terbukti dengan
adanya korupsi yang semakin menggurita.
Nilai-nilai luhur yang dimiliki bangsa ini dari tahun ke tahun semakin pudar.
Kondisi ini tentunya akan berdampak pada kehancuran akibat semakin buruknya moral
bangsa ini. Generasi abad 21 yang hidup dengan teknologi canggih di era milineal
tidak membuat bangsa ini semakin baik, tetapi justru sebaliknya. Kecanggihan
teknologi justru digunakan sebagai ajang untuk menipu, memfitnah, dan melakukan
tindakan yang tidak terpuji, seperti tawuran, menyebar berita hoax, melakukan sex
bebas. Oleh karena itu, untuk mengembalikan kondisi bangsa Indonesia ke nilai-nilai
luhur perlu dilakukan pendidikan karakter melalui literasi sastra.
Sastra yang berisi berbagai moral, seperti yang dicontohkan melalui cerpen
Jujur Prananto dapat dijadikan sebagai media pendidikan karakter. Melalui crpen
tersebut peserta didik mendapat pengetahuan tentang perilaku tokoh Kadirin yang baik
(aspek kognitif) lalu meniru perilaku tersebut (aspek afektif) kemudian mempraktikkan
perilaku tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari (aspek psikomotorik). Kalau
dibiasakan membaca karya sastra yang bermutu, tentu lambat-laun karakter peserta
didik akan lebih baik. Sayangnya pembiasaan membaca karya sastra belum dilakukan
secara optimal oleh para guru sehingga degradasi moral belum teratasi sesuai yang
diinginkan masyarakat, bangsa, dan negara.

Simpulan
Komitmen pada nilai-nilai luhur serta mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari
perlu dilakukan oleh generasi yang hidup pada abad 21 jika tidak ingin terjadi kehancuran
bangsa. Generasi abad 21 merupakan generasi yang tidak dapat dilepaskan dari teknologi
informasi. Canggihnya teknologi di era tersebut memudahkan seseorang mengakses segala
sesuatu dari belahan dunia mana pun. Sayangnya yang sering diakses lebih banyak hal-hal yang
bersifat negatif daripada yang positf. Inilah yang menyebabkan kondisi bangsa ini semakin
terpuruk. Degradasi moral dan carut-marutnya karakter bangsa ini telah menyebabkan bangsa ini
jauh dari nilai-nilai luhur warisan budaya masa lalu. Oleh karena itu, pendidikan karakter sangat
perlu dilakukan untuk memulihkan serta mengembalikan nilai-nilai luhur warisan budaya kepada
peserta didik.
Literasi sastra merupakan salah satu media yang dapat digunakan untuk pendidikan
karakter. Dengan pembiasaan membaca karya sastra, peserta didik akan mendapat berbagai nilai
luhur yang terwujud melalui figur tokoh. Biasanya peserta didik akan mudah meniru karakter
seseorang jika ada sosok yang nyata. Cerpen ‘Sang Pahlawan’ karya Jujur Prananto dapat
digunakan sebagai salah satu solusi wacana untuk menginternalisasikan nilai-nilai karakter
unggul pada peserta didik. Dengan demikian, untuk mengembalikan nilai-nilai yang sudah sejak
lama dimiliki bangsa ini maka pendidikan karakter yang harus dilakukan di abad ke-21, yaitu
dengan menggiatkan literasi sastra. Selain literasi sastra, peran orang tua, guru, pejabat pun tidak
kalah penting bagi pembentukan karakter generasi abad 21. Mereka adalah figur yang secara
konkret dan langsung mudah ditiru karakternya oleh anak-anak penerus bangsa. Oleh karenanya
diharapkan dari mereka adanya contoh perilaku yang positif bagi anak bangsa.
.

Daftar Rujukan
Harsanti, Arni Gemilang. 2017. Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Sastra. Dalam
Prosiding Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia dalam konteks Global. Univ
Jember: Program Studi PBSI FKIP.

Komara, Endang. 2018a. Penguatan Pendidikan Karakter dan Pembelajaran Abad 21. Dalam
Sipatohoenan: South East Asian Journal for Youth, Sports & Health Education, Vol. 4
(1): 18.

Komara, Endang. 2018b. Pendidikan Karakter dan Pembelajaran Abad 21. (Daring). Tersedia:
http://endangkomarasblog.blogspot.com/2018/11/pendidikan-karakter-dan-
pembelajaran.html/26 Agts 2019

Mursalin. 2017. Penumbuhan Budaya Literasi dengan Penerapan Ilmu Keterampilan Berbahasa
(Membaca dan Menulis). Jurnal Cals. Vol. 3 (1):35

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Prananto, Jujur. 2002. Kumpulan Cerpen Parmin. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Salahudin, Anas dan Irwanto Alkrienciehie. 2017. Pendidikan Karakter: Pendidikan Berbasis
Agama & Budaya Bangsa. Bandung: CV Pustaka Setia.

Wibowo, Agus. 2013. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra: Internalisasi Nilai-nilai Karakter
Melalui Pengajaran Sastra.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Zubaedi. 2017. Strategi Taktis Pendidikan Karakter (Untuk PAUD dan Sekolah). Depok:
Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai