Anda di halaman 1dari 35

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Evaluasi Pembelajaran

1. Definisi Evaluasi Pembelajaran

Banyak sekali definisi mengenai evaluasi yang dikemukakan oleh

para ahli evaluasi. Namun evaluasi sendiri berasal dari kata evaluation

(bahasa Inggris), yang berarti suatu tindakan atau suatu proses untuk

menentukan nilai sesuatu. Menurut istilah evaluasi berarti kegiatan yang

terencana untuk mengetahui keadaan suatu objek dengan menggunakan

instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur tertentu guna

memperoleh kesimpulan. Menurut Bloom, et al sebagaimana dikutip

Daryanto (2007: 1), “Evaluasi adalah pengumpulan kenyataan secara

sistematis untuk menetapkan apakah dalam kenyataannya terjadi

perubahan dalam diri siswa dan menetapkan sejauh mana tingkat

perubahan dalam pribadi siswa”.

Sementara menurut Tyler sebagaimana dikutip oleh Arikunto (2009:

3), “Evaluasi merupakan sebuah proses mengumpulkan data untuk

mengetahui sejauh mana, dalam hal apa, dan bagian mana tujuan

pendidikan sudah tercapai”. Selanjutnya menurut Arikunto (2009: 2)

mengatakan bahwa “Evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan

informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut

digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil

sebuah keputusan”.
7

Berdasarkan pemaparan mengenai definisi evaluasi dari beberapa

pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah suatu proses dalam

kegiatan pengumpulan data, menanalisis data dan menyajikan data

menggunakan langkah langkah yang sistematis yang dilakukan oleh orang

yang ahli untuk mendapatkan informasi tentang suatu hal yang akan

menjadi masukan bagi pengambilan keputusan atau kebijakan.

Pembelajaran merupakan aktivitas yang paling utama. Ini berarti bahwa

keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung pada

bagaimana proses pembelajaran dapat berlangsung secara efektif. Kata

pembelajaran merupakan terjemahan dari istilah instructional, yang

mempunyai pengertian semua events yang mempunyai pengaruh langsung

kepada proses belajar manusia. Kata pembelajaran sering dihubungkan

dengan kegiatan belajar mengajar di kelas formal maupun non formal.

Menurut Gagne dan Briggs sebagaimana dikutip Abdulhak dan Sirodjudin

(2006: 5) membatasi pembelajaran sebagai suatu rangkaian kejadian yang

mempengaruhi peserta didik sedemikian rupa sehingga proses belajarnya

dapat berlangsung dengan mudah. Sementara Knowles mendefinisikan

pembelajaran sebagai cara pengorganisasian peserta didik untuk mencapai

tujuan pendidikan. Dari pengertian pembelajaran tersebut dapat

disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu rangkaian kegiatan

pengorganisasian yang mempengaruhi peserta didik untuk mencapai

tujuan pendidikan sehingga terjadi perubahan perilaku berdasarkan

pengalaman yang diperolehnya.


8

Pada awalnya evaluasi hanya dikaitkan dengan prestasi belajar,

namun kini memiliki pengertian yang lebih luas. Sehingga Sudjana (2007:

210) mengemukakan bahwa definisi evaluasi pembelajaran pelatihan

adalah sebagai proses menentukan nilai tentang perilaku peserta pelatihan

pada sebelum mengikuti, saat mengikuti dan atau setelah mengikuti

pelatihan.

2. Tujuan, Fungsi dan Prinsip Evaluasi Pembelajaran

Tujuan utama melakukan evaluasi pembelajaran adalah untuk

mendapatkan informasi yang akurat mengenai tingkat pencapaian tujuan

instruksional oleh peserta didik sehingga dapat diupayakan tindak

lanjutnya. Secara umum, tujuan evaluasi pembelajaran adalah untuk

mengetahui efektivitas proses pembelajaran yang telah dilaksanakan.

Secara khusus, tujuan evaluasi adalah untuk mengetahui tingkat

penguasaan peserta didik terhadap kompetensi yang telah ditetapkan;

mengetahui kesulitan-kesulitan yang dialami peserta didik dalam proses

belajar, sehingga dapat dilakukan diagnosis dan kemungkinan memberikan

remedial teaching; dan mengetahui efisiensi dan efektifitas strategi

pembelajaran yang digunakan guru, baik yang menyangkut metode, media

maupun sumber belajar.

Menurut Mujiman (2009: 140), tujuan evaluasi adalah untuk

mengukur keberhasilan programdalam segi hasil belajar dan kualitas hasil

penyelenggaraan. Selain itu evaluasi juga memiliki tujuan untuk

mengetahui sejauhmana efektifitas cara dan proses yang ditempuh untuk


9

mencapai tujuan tersebut Fungsi dari evaluasi pembelajaran sendiri adalah

pertama, evaluasi berfungsi selektif, yaitu untuk mengadakan seleksi

terhadap peserta didik. Kedua, evaluasi berfungsi sebagai diagnostic utuk

mengetahui kelebihan serta kelemahan peserta didik. Ketiga, evaluasi

berfungsi sebagai penempatan, yaitu untuk dapat menentukan dengan pasti

penempatan peserta didik pada suatu kelompok. Serta yang keempat,

evaluasi berfungsi sebagai pengukuran keberhasilan. Hal ini dimaksudkan

untuk mengetahui sejauhmana suatu program berhasil diterapkan.

Dalam melakukan evaluasi, terdapat prinsip-prinsip yang harus

diperhatikan. Betapapun baiknya prosedur dan teknik evaluasi yang

digunakan apabila tidak dipadukan dengan prinsip penunjangnya maka

hasil evaluasi akan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Prinsip-prinsip

tersebut adalah pertama, keterpaduan. Prinsip ini mengandung maksud

bahwa evaluasi memiliki hubungan triangulasi antara tujuan pembelajaran,

kegiatan pembelajaran dan evaluasi. Prinsip yang kedua, keterlibatan

siswa. Maksudnya untuk mengetahui keberhasilan peserta didik dalam

pembelajaran dibutuhkan evaluasi. Ketiga, prinsip koherensi, maksudnya

adalah evaluasi dilakukan berkaitan dengan materi yang telah disajikan.

Yang keempat, prinsip pedagogis, maksudnya adalah evaluasi juga harus

merupakan upaya perbaikan sikap dan tingkah laku ditinjau dari segi

pedagogis. Dan yang terakhir adalah prinsip akuntabilitas. Maksudnya

adalah hasil evaluasi harus disampaikan pada pihak-pihak yang

berkepentingan. Prinsip prinsip tersebut jika diterapkan dalam kegiatan


10

evaluasi pembelajaran, maka hasil yang didapatkan dalam evaluasi

tersebut sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

3. Jenis-Jenis Evaluasi Pembelajaran

Terdapat beberapa jenis evaluasi berdasarkan ruang lingkupnya.

jenis-jenis evaluasi tersebut ditinjau berdasarkan tujuan, berdasarkan

sasaran, berdasarkan lingkup kegiatan pembelajaran, serta berdasarkan

objek dan subjek evaluasi.

Pertama, jenis evaluasi berdasarkan tujuan diantaranya terdiri dari

evaluasi diagnostik, evaluasi selektif, evaluasi penempatan, evaluasi

formatif serta evaluasi sumatif. Evaluasi diagnostik adalah evaluasi yang

di tujukan untuk menelaah kelemahan-kelemahan siswa beserta faktor-

faktor penyebabnya. Sedangkan evaluasi selektif adalah evaluasi yang di

gunakan untuk memilih siwa yang paling tepat sesuai dengan kriteria

program kegiatan tertentu. Selanjutnya evaluasi penempatan adalah

evaluasi yang digunakan untuk menempatkan siswa dalam program

pendidikan tertentu yang sesuai dengan karakteristik siswa. Dan evaluasi

formatif adalah evaluasi yang dilaksanakan untuk memperbaiki dan

meningkatan proses belajar dan mengajar. Serta evaluasi sumatif adalah

evaluasi yang dilakukan untuk menentukan hasil dan kemajuan belajar

siswa.

Kedua, Jenis evaluasi berdasarkan sasaran terdiri dari evaluasi

konteks, evaluasi input, evaluasi proses, evaluasi hasil serta evaluasi

outcome. Evaluasi konteks adalah evaluasi yang ditujukan untuk


11

mengukur konteks program baik mengenai rasional tujuan, latar belakang

program, maupun kebutuhan-kebutuhan yang muncul dalam perencanaan.

Evaluasi input adalah evaluasi yang diarahkan untuk mengetahui input

baik sumber daya maupun strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan.

Evaluasi proses adalah evaluasi yang di tujukan untuk melihat proses

pelaksanaan, baik mengenai kalancaran proses, kesesuaian dengan

rencana, faktor pendukung dan faktor hambatan yang muncul dalam

proses pelaksanaan, dan sejenisnya. Evaluasi hasil atau produk adalah

evaluasi yang diarahkan untuk melihat hasil program yang dicapai sebagai

dasar untuk menentukan keputusan akhir, diperbaiki, dimodifikasi,

ditingkatkan atau dihentikan. Dan yang terakhir evaluasi outcome atau

lulusan adalah evaluasi yang diarahkan untuk melihat hasil belajar siswa

lebih lanjut, yakni evaluasi lulusan setelah terjun ke masyarakat.

Ketiga, jenis evaluasi berdasarkan lingkup kegiatan pembelajaran

terdiri dari evaluasi program pembelajaran, evaluasi proses pembelajaran,

serta evaluasi hasil pembelajaran. Evaluasi program pembelajaran adalah

evaluasi yang mencakup terhadap tujuan pembelajaran, isi program

pembelajaran, strategi belajar mengajar, serta aspek-aspek program

pembelajaran yang lain. Evaluasi proses pembelajaran adalah evaluasi

yang mencakup kesesuaian antara peoses pembelajaran dengan garis-garis

besar program pembelajaran yang di tetapkan, kemampuan guru dalam

melaksanakan proses pembelajaran, dan kemampuan siswa dalam

mengikuti proses pembelajaran. Evaluasi hasil pembelajaran adalah


12

evaluasi hasil belajar mencakup tingkat penguasaan siswa terhadap tujuan

pembelajaran yang ditetapkan, baik umum maupun khusus, ditinjau dalam

aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Terakhir adalah jenis evaluasi berdasarkan objek dan subjek

evaluasi. Berdasarkan objek evaluasi, dibedakan menjadi evaluasi input,

evaluasi tnsformasi, dan evaluasi output. Evaluasi input adalah evaluasi

terhadap siswa mencakup kemampuan kepribadian, sikap, dan keyakinan.

Evaluasi transformasi adalah evaluasi terhadap unsur-unsur transformasi

proses pembelajaran antara lain materi, media, metode dan lain-lain.

Sedangkan evaluasi output adalah evaluasi terhadap lulusan yang mengacu

pada ketercapaian hasil pembelajaran. Selain itu, jenis evaluasi

berdasarkan subjek adalah evaluasi internal yaitu evaluasi yang dilakukan

oleh orang dalam lembaga sebagai evaluator dan evaluasi eksternal yaitu

evaluasi yang dilakukan oleh orang luar lembaga sebagai evaluator.

Apapun jenis evaluasi pembelajaran yang digunakan dalam evaluasi,

semuanya memiliki tujuan yang sama yaitu memeberikan informasi yang

akurat mengenai kegiatan pembelajaran yang dilakukan peserta didik.

4. Teknik-Teknik Evaluasi Pembelajaran

Teknik evaluasi adalah cara yang dilakukan untuk melakukaan

evaluasi. Secara garis besar teknik evaluasi pembelajaran dapat

digolongkan menjadi dua bagian, yaitu teknik non-tes dan teknik tes. Para

ahli berpendapat bahwa dalam mengadakan evaluasi terhadap hasil belajar,

kita harus menggunakan teknik tes dan nontes, sebab hasil-hasil pelajaran
13

bersifat aneka ragam. Pengetahuan teoritis dapat diukur dengan

menggunakan teknik tes. Keterampilan dapat diukur dengan menggunakan

tes perbuatan. Adapun perubahan sikap dan petumbuhan peserta didik

dalam psikologi hanya dapat diukur dengan teknik nontes.

a. Teknik Non-Tes

Teknik penilaian non-tes berarti melaksanakan penilain dengan

tidak mengunakan tes. Teknik penilaian ini umumnya untuk menilai

kepribadian secara menyeluruh meliputi sikap, tingkah laku, sifat, sikap

sosial, ucapan, riwayat hidup dan lain-lain. Teknik non-tes terdiri dari

observasi, wawancara, angket, daftar cocok (check list), skala bertingkat

(rating scale), dan riwayat hidup.

Pertama, observasi. Observasi adalah suatu teknik yang

dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan secara teliti serta

pencatatan secara sistematis.Observasi di bagi menjadi tiga macam,

yaitu observasi partisipatif, observasi sistematis dan observasi

eksperimental. Observasi partisipatif adalah observasi dimana orang

yang mengobservasi (observer) ikut ambil bagian alam kegiatan yang

dilakukan oleh objek yang diamatinya. Observasi sistematis adalah

observasi yang sebelum dilakukan, observer sudah mengatur sruktur

yang berisi kategori atau kriteria, masalah yang akan diamati.

Sedangkan observasi eksperimental adalah observasi yang dilakukan

secara nonpartisipatif tetapi sistematis.


14

Kedua, wawancara. Wawancara adalah suatu cara yang

digunakan untuk mendapatkan jawaban dari responden dengan jalan

tanya jawab sepihak. Ada dua jenis wawancara yang dapat pergunakan

sebagai alat evaluasi, yaitu wawancara terpimpin dan wawancara bebas.

Wawancara terpimpin adalah wawancara yang dilakukan oleh subjek

evaluasi dengan cara mengajukan pertanyaan yang telah disusun

terlebih dahulu sehingga responden tidak memiliki kebebasan dalam

mengutarakan pendapatnya. Wawancara bebas adalah wawancara yang

member kebebasan bagi responden dalam mengutarakan pendapatnya.

Ketiga, angket. Pada dasarnya angket adalah sebuah daftar

pertanyaan yang harus diisi oleh orang yang akan diukur. Angket

ditinjau dari segi siapa yang menjawab terbagi menjadi angket langsung

dan angket tidak langsung. Sementara ditinjau dari segi cara menjawab

terdiri dari angket terbuka dan angket tertutup.

Keempat, daftar cocok (check list). Adalah deretan pernyataan

dimana responden yang dievaluasi tinggal membubuhkan tanda cocok

( √ ) ditempat yang telah disediakan. Kelima, skala bertingkat (rating

scale). Skala bertingkat (rating scale) adalah skala yang

menggambarkan suatu nilai yang berbentuk angka terhadap suatu hasil

pertimbangan. Keenam, riwayat hidup. Riwayat hidup adalah gambaran

tentang keadaan seseorang selama dalam masa kehidupannya.

b. Teknik Tes
15

Tes adalah suatu teknik atau cara dalam rangka melaksanakan

kegiatan evaluasi, yang didalamnya terdapat berbagai item atau

serangkaian tugas yang harus dikerjakan atau dijawab oleh peserta

didik, kemudian pekerjaan dan jawaban itu menghasilkan nilai tentang

perilaku peserta didik tersebut.

Menurut Indrakusuma sebagaimana dikutip Arikunto (2009: 32),

“Tes adalah suatu alat atu prosedur yang sistematis dan objektif untuk

memperoleh data-data atau keterangan-keteranagn yang diinginkan

tentang seseorang, dengan cara yang boleh dikatakan tepat dan cepat”.

Selanjutnya, Bukhori sebagaimana dikutip Arikunto (2009: 32)

mengemukakan bahwa “Tes ialah suatu percobaan yang diadakan untuk

mengetahui ada atau tidaknya hasil-hasil pelajaran tertentu pada

seorang murid atau kelompok murid”.

Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa tes

adalah suatu kegiatan evaluasi yang prosesnya sistematis dan objektif

untuk mengumpulkan informasi perkembangan peserta didik mengenai

perubahan sikap dan perilaku. Tes bertujuan untuk mengukur dan

memberikan penilaian terhadap hasil belajar yang dicapai oleh peserta

didik meliputi kesanggupan mental, penguasaan hasil belajar,

ketrampilan, koordinasi, motorik dan bakat baik individu/kelompok.

Jenis-jenis tes dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Tes

berdasarkan jumlah peserta dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu tes

kelompok dan tes perorangan.


16

Dilihat dari sudut penyusunannya, tes hasil belajar dapat

dibedakan atas dua jenis, yaitu tes buatan guru (teacher-made test) dan

tes yang distandardisasi (standardized test). Ditinjau dari segi

kegunaannya tes dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu tes diagnostik, tes

formatif dan tes sumatif. Pertama, tes diagnostik. Tes diagnostik adalah

tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan siswa

sehingga berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut dapat dilakukan

pemberian perlakuan yang tepat. Kedua, tes formatif. Dari kata form

yang merupakan dasar dari istilah formatif maka evaluasi formatif

dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana peserta didik telah

terbentuk setelah mengikuti suatu program tertentu. Manfaat tes

formatif bagi peserta didik adalah digunakan untuk mengetahui

pebguasaan materi oleh peserta didik, sebagai penguatan, sebagai usaha

perbaikan, serta sebagai diagnosis. Sementara bagi guru/fasilitator/

widyaiswara tes formatif bermanfaat untuk mengetahui sejauhmana

materi yang disampaikan telah diterima oleh peserta didik, serta sebagai

diagnosis. Ketiga, tes sumatif. Tes sumatif dilaksanakan setelah

berakhirnya pemberian sekelompok program atau sebuah program yang

lebih besar. Tes sumatif diberikan dengan maksud untuk menetapkan

apakah seorang peserta didik berhasil mencapai tujuan instruksional

yang telah ditetapkan atau tidak. Tujuan tes sumatif adalah untuk

menentukan angka berdasarkan tingkatan hasil belajar peserta didik.

Manfaat tes sumatif adalah untuk menentukan nilai, menentukan


17

kelanjutan peserta didik mengikuti program selanjutnya, serta mengisi

catatan kemajuan belajar. Selanjutnya adalah mengenai bentuk-bentuk

tes. Dalam evaluasi pembelajaran pelatihan ada beberapa macam

bentuk tes, diantaranya adalah tes uraian, tes objektif, bentuk soal atau

pertanyaan berstruktur, serta bentuk lembaran pendapat. Dibawah ini

akan diuraikan mengenai bentuk-bentuk tes.

Tes uraian. Tes uraian apabila direncanakan dan disusun dengan

baik akan sangat berguna untuk mengukur ketepatan berpikir. Namun

memiliki kelemahan yaitu keterbatasan bahan pelatihan yang dinilai dan

kesulitan dalam memeriksa hasil jawaban. Untuk mengatasi kesulitan

dalam pemeriksaan hasil tes uraian adalah dengan memeriksa semua

jawaban soal kemudian membandingkannya antara satu dengan yang

lainnya serta diikuti dengan pemberian skor.

Tes objektif. Bentuk-bentuk tes objektif adalah jawaban singkat,

benar-salah, menjodohkan dan pilihan berganda. Bentuk soal jawaban

singkat dianggap tepat untuk mengukur pengetahuan yang berhubungan

dengan istilah, fakta, prinsip, metode, prosedur dan penafsiran

sederhana. Bentuk soal benar-salah adalah bentuk soal yang biasanya

berupa pernyataan yang digunakan untuk mengukur pengetahuan

tentang fakta, pengertian, prinsip-prinsip dan lain sebagainya.

Kelebihan bentuk soal benar salah adalah hasil jawaban dapat diperiksa

dengan cepat dan objektif, kunci jawaban dibuat dalam lembar

pemeriksaan dan soal mudah disusun. Kelemahan bentuk soal benar-


18

salah adalah ada kemungkinan peserta tes mudah menebak jawaban,

sulit mengukur tingkat pengetahuan yang lebih tinggi, serta tidak dapat

menampung semua kemampuan peserta tes. Hal-hal yang harus

diperhatikan dalam penyusunan bentuk soal benar-salah adalah hindari

penggunaan kata yang mengarahkan pada jawaban, hindari penggunaan

langsung kalimat dari buku sumber, hindari pernyataan dari pendapat

yang belum jelas kebenarannya, hindari pernyataan negatif ganda,

pernyataan disusun dalam kalimat yang relatif pendek, serta pernyataan

disusun berdasarkan buku sumber secara acak. Bentuk soal

menjodohkan.

Bentuk soal menjodohkan mencakup dua kelompok pernyataan

yang berhubungan atau paralel. Keunggulan bentuk soal menjodohkan

adalah penilaian dapat dilakukan secara cepat dan objektif, tepat untuk

mengukur kemampuan mengidentifikasi dua hal yang berhubungan,

serta dapat mengukur lingkup pokok bahasan yang luas. Sementara

kelemahannya adalah hanya digunakan untuk mengukur pengetahuan

factual dan hafalan serta relative sulit untuk menetapkan bahan tes yang

dapat mengukur pernyataan yang berhubungan. Yang harus

diperhatikan dalam penyusunan bentuk soal menjodohkan adalah

penyusunan soal diangkat dari materi yang saling berhubungan,

rumusan soal dan jawabannya mudah dipahami, jumlah alternatif

jawaban hendaknya lebih banyak, gunakan tanda yang berlainan untuk


19

pernyataan dan jawaban, serta soal dan alternatif jawaban disusun pada

lembar yang sama.

Bentuk soal pilihan berganda. Bentuk soal pilihan berganda

adalah tes yang mempunyai satu jawaban yang benar atau yang

dianggap paling tepat. Bentuk soal pilihan ganda terdiri atas stem

berupa pertanyaan atau pernyataan, option terdiri atas sejumlah pilihan

atau alternatif jawabannya, kunci jawaban berupa jawaban yang

dianggap paling benar, dan pengecoh (distractor) berupa jawaban-

jawaban lain di luar kunci jawaban. Kelebihan bentuk soal pilihan

berganda adalah cakupan soal-soal yang diujikan dapat lebih luas dari

pada bahan pembelajaran yang telah dibahas, jawaban setiap soal

disusun sudah benar atau salah, sehingga pengukurannya lebih objektif,

serta jawaban dapat diperiksa dengan mudah dan cepat. Adapaun

kekurangannya adalah tidak dapat mengukur proses berfikir, jawaban

soal dengan tebakan cukup besar, dan penyusunan soal relatif sulit.

Penyusunan soal berganda hendaknya memperhatikan sejumlah patokan

yaitu pokok pertanyaan (stem) merupakan hasil perumusan yang jelas,

penyusunan stem dan alternatif jawabannya (options) disusun secara

singkat padat dan jelas, pada setiap alternatif jawaban hanya terdapat

satu jawaban benar, pada setiap stem tidak ada pernyataan yang negatif,

options (alternatif jawaban) disusun secara logis dan jawaban pengecoh

berfungsi, jangan ada kata atau kalimat yang mengarahkan pada

jawaban, upayakan tidak menggunakan options yang menyatakan


20

“semua jawaban diatas benar atau semua jawaban diatas salah”,

rumuskan bahwa setiap option (alternatif jawaban) adalah homogen,

option berupa angka hendaknya disusun berurutan dari angka terkecil

ke angka terbesar atau sebaliknya, serta penggunaan kata atau ungkapan

tidak tentu harus dihindari dalam stem (pokok pertanyaan).

Bentuk soal atau pertanyaan berstruktur (structured questions).

Bentuk soal atau pertanyaan berstruktur adalah untuk

menghasilkan jawaban yang dapat dinilai secara objektif. Bentuk ini

sering dianggap sebagai “jembatan” antara bentuk soal uraian dan

bentuk soal tes objektif. Bentuk soal atau pertanyaan berstruktur

mencakup pengantar soal, seperangkat data dan rangkaian bagian

bagian soal. Keunggulan bentuk pertanyaan berstruktur adalah bahwa

dalam satu soal terdapat beberapa sub soal yang mengacu pada data

tertentu. Bentuk soal ini dapat mengatasi kelemahan bentuk soal uraian

dan bentuk soal objektif. Bentuk lembaran pendapat. Bentuk lembaran

pendapat digunakan untuk mengukur nilai hasil akhir pembelajaran para

peserta pelatihan dengan cara membandingkannya dengan nilai awal

pembelajaran pada saat sebelum mereka mereka mengikuti pelatihan.

Penilaian dilakukan terhadap hasil satiap aspek materi yang dipelajari.

Dengan lembaran pendapat dapat digambarkan perubahan nilai untuk

masing-masing peserta pelatihan dan nilai teratas untuk semua peserta

pelatihan. Format lembaran dapat memuat petunjuk penggunaan, nilai

sebelum dan sesudah pelatihan tentang aspek materi atu pokok bahasan
21

dalam pembelajaran, serta cara membandingkan nilai akhir dan nilai

awal.

5. Model – Model Evaluasi

a. Measurament Model

Model ini dapat dipandang sebagai model yang tertua di dalam

sejarah evaluasi dan telah banyak dikenal di dalam proses evaluasi

pendidikan. Tokoh tokoh yang evaluasi yang dipandang sebagai

pengembang model ini adalah Thorndike dan Ebel. Sesuai dengan

namanya, model ini sangat menitikberatkan peranan kegiatan

pengukuran didalam melaksanakan proses evaluasi. Pengukuran

dipandang sebagai suatu kegiatan yang ilmiah dan dapat diterapkan

dalam berbagai bidang persoalan termasuk ke dalamnya bidang

pendidikan. Pengukuran menurut model ini tidak dapat dilepaskan dari

pengertian kuantitas atau jumlah. Sehingga dengan demikian hasil

pengukuran itu selalu dinyatakan dalam bentuk bilangan.

Dijadikannya jumlah sebagai dasar dan ciri khas dalam kegiatan

pengukuran yang semakin berkembang dengan pesat, bertolak dari

suatu keyakinan yang diungkapkan oleh Thorndike yaitu bahwa

pengukuran dengan demikian dipandang sebagai kegiatan menentukan

besarnya suatu (attribute) tertentu yang dimiliki oleh objek, orang

maupun peristiwa dalam bentuk unit ukuran tertentu (Daryanto, 2007:

73).
22

Dalam bidang pendidikan, model ini telah diterapkan dalam

proses evaluasi untuk melihat dan mengungkapkan perbedaan-

perbedaan individual maupun perbedaan-perbedaan kelompok dalam

hal kemampuan serta minat dan sikap. Hasil pengukuran mengenai

aspek-aspek tingkah laku diatas digunakan untuk keperluan seleksi

siswa, bimbingan, dan perencanaan pendidikan bagi para siswa. Objek

dari kegiatan evaluasi model ini adalah tingkah laku.

Aspek tingkah laku siswa yang dinilai disini mencakup

kemampuan hasil belajar, kemampuan pembawaaan (inteligensi, bakat),

minat, sikap dan juga aspek-aspek kepribadian siswa. Model ini

menitikberatkan pada pengukuran terhadap hasil belajar yang dicapai

siswa pada setiap bidang pelajaran dengan menggunakan tes.

Sehubungan dengan itu, alat evaluasi yang lazim digunakan di dalam

model evaluasi ini adalah tes tertulis atau paper and pencil test. Secara

lebih khusus lagi, bentuk tes yang biasanya digunakan adalah bentuk tes

objektif yang soal-soalnya berupa pilihan ganda, menjodohkan, benar

salah dan sebagainya. Untuk mendapat hasil pengukuran yang setepat

mungkin ada kecenderungan dari dari model measurement ini untuk

mengembangkan alat-alat evaluasi (tes) yang baku atau standardized.

Oleh karena itu, setelah suatu tes dicobakan kepada sampel yang

cukup besar, berdasarkan data yang diperoleh, diadakan analisis untuk

menentukan validitas dan reliabilitas tes secara keseluruhan maupun

setiap soal yang terdapat di dalamnya. Mengingat salah satu tujuan


23

pengukuran adalah mengungkapkan perbedaan individual di kalangan

para siswa, dalam menganalisis soal-soal tes sangat diperhatikan

tentang tingkat kesukaran dan daya pembeda. Akhirnya, pendekatan

yang juga ditempuh oleh model ini di dalam menilai sistem pendidikan

adalah membandingkan hasil belajar yang menggunakan cara

pengajaran yang berbeda sebagai variabel bebas. Dalam evaluasi ini,

kepada dua atau lebih kelompok tersebut diberikan tes yang sama untuk

kemudian dianalisis perbedaan skor yang dicapai oleh kelompok-

kelompok tadi.

b. Congruence Model

Model yang kedua ini dapat dipandang sebagai reaksi terhadap

model yang pertama, sekalipun dalam beberapa hal masih menunjukan

adanya persamaan dengan model yang pertama. Tokoh evaluasi yang

merupakan pengembangan model ini antara lain adalah Tyler, Caroll,

and Cronbach. Tyler menggambarkan pendidikan sebagai suatu proses,

yang di dalamnya terdapat tiga hal yang perlu kita bedakan, tujuan

pendidikan, pengalaman belajar, dan penilaian terhadap hasil belajar.

Evaluasi disini dimaksudkan sebagai kegiatan untuk melihat

sejauh mana tujuan-tujuan pendidikan telah dapat dicapai siswa dalam

bentuk hasil belajar yang mereka perlihatkan pada akhir kegiatan

pendidikan. Ini berarti bahwa evaluasi itu pada dasarnya ingin

memperoleh gambaran mengenai efektivitas dari sistem pendidikan

yang bersangkutan dalam mencapai tujuannya. Jadi menurut model ini,


24

evaluasi itu tidak lain adalah usaha untuk memeriksa penyesuaian

(congruence) antara tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan dan hasil

belajar yang telah dicapai.

Hasil evaluasi yang diperoleh berguna untuk menyempurnakan

sistem bimbingan siswa dan memberikan informasi kepada pihak diluar

pendidikan mengenai hasil-hasil yang dicapai. Berhubung model

evaluasi menurut model yang kedua ini untuk memeriksa persesuaian

(congruance) antara tujuan dan hasil belajar, maka yang dijadikan objek

evaluasi adalah tingkah laku siswa. Sehubungan dengan aspek-aspek

hasil belajar yang perlu dievaluasi, model ini tidak membatasi alat

evaluasi hanya pada tes tertulis atau paper and pencil test saja.

Singkatnya, dalam menilai hasil hasil belajar yang mencakup berbagai

jenis sebagaimana yang tercantum dalam rumusan, tujuan-tujuan

pendidikan yang ingin dan perlu dicapai, model ini menganut pendirian

bahwa kemungkinan berbagai alat evaluasi perlu digunakan.

Dengan kata lain, hakikat dari tujuan-tujuan yang ingin dicapailah

yang akan menentukan jenis-jenis alat evaluasi yang akan digunakan.

Model ini menyarankan digunakannya prosedur pre dan post tes untuk

menilai hasil atau gains yang dicapai siswa sebagai akibat dari kegiatan

pendidikan yang telah diikutinya. Model ini juga tidak menyarankan

dilaksanakaannya apa yang disebut evaluasi perbandingan untuk

melihat sejauh mana kurikulum yang baru lebih efektif dari kurikulum

yang sudah ada. Bahkan, lebih jauh dari itu, model ini cenderung untuk
25

tidak menyetujui diadakannya evaluasi perbandingan ini. Karena itulah

baik Tyler maupun Cronbach lebih mengarakan peranan evaluasi pada

tujuan untuk memperbaiki kurikulum atau sistem pendidikannya.

Akhirnya, mengenai langkah-langkah yang perlu ditempuh di dalam

proses evaluasi menurut model ini, Tyler mengajukan empat langkah

pokok yaitu merumuskan atau mempertegas tujuan pengajaran,

menetapkan “test situation” yang diperlukan, menyusun alat evaluasi,

serta menggunakan hasil evaluasi.

c. Educational System Evaluation Model

Model ketiga yang akan dibahas di sini merupakan reaksi

terhadap kedua model terdahulu yang telah dibahas. Class dalam

tulisannya yang berjudul Two

Generations Of Evaluation Models menyebut model ketiga ini sebagai

Educational Systems Evaluations Model karena ketiga ruang

lingkupnya yang jauh lebih luas dari kedua model terdahulu. Tokoh-

tokoh evaluasi yang dipandang sebagai pengembang dari model yang

ketiga ini antara lain adalah Stufflebeam, Scriven, Stake dan Provus.

Model ini bertitik tolak dari pandangan, bahwa keberhasilan dari suatu

sistem pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, karakteristik anak

didik maupun lingkungan di sekitarnya, tujuan sistem dan peralatan

yang dipakai, serta prosedur dan mekanisme pelaksanaan sistem itu

sendiri. Pandangan tersebut di atas ternyata mempengaruhi konsep

evaluasi yang dikembangkan oleh model ini.


26

Evaluasi, menurut model ini dimaksudkan untuk membandingkan

performance dari berbagai dimensi sistem yang sedang dikembangkan

dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada suatu

deskripsi dan judgement mengenai sistem yang dinilai tersebut.

Ada beberapa hal di dalam isi pandangan di atas yang perlu

digarisbawahi dan diuraikan lebih lanjut, yaitu: 1) Dengan

mengemukakan “berbagai dimensi sistem”, model ini menekankan

pentingnya sistem sebagai suatu keseluruhan dijadikan objek evaluasi,

tanpa membatasi hanya pada aspek hasil yang dicapai saja. 2)

Perbandingan antara performance dan kriteria juga merupakan salah

satu inti yang penting dalam konsep evaluasi menurut model ini. 3)

Akhirnya, model ini berpandangan bahwa kegiatan evaluasi tidak hanya

berakhir pada suatu deskripsi tentang keadaan dari sistem yang telah

dinilainya, melainkan harus sampai pada suatu judgement mengenai

baik buruknya, efektif-tidaknya, sistem pendidikan yang bersangkutan.

Informasi yang diperoleh dari hasil evaluasi berfungsi sebagai

bahan atau input bagi pengambilan keputusan mengenai sistem yang

bersangkutan dalam rangka penyempurnaan sistem selama sistem

tersebut masih dalam tahap pengembangan, dan penyimpulan mengenai

kebaikan (merit, worth) dari sistem pendidikan yang bersangkutan

dibandingkan dengan sistem yang lain. Sesuai dengan pandangannya

yang pertama di atas dimensi dari sistem pendidikan yang dijadikan

objek evaluasi di dalam model yang ketiga ini lebih luas yaitu
27

mencakup dimensi peralatan atau sarana proses dan hasil atau produk

yang diperlihatkan oleh sistem yang bersangkutan. Sehubungan dengan

ruang lingkup objek evaluasi yang diajukan oleh model yang ketiga ini,

jenis-jenis data yang dikumpulkan dalam kegiatan evaluasi menurut

model ini mencakup baik data-data subjektif atau judgmental data

(pandangan guru-guru, reaksi para siswa, dan sebagainnya). Model

evaluasi ini memberikan tempat yang penting bagi judgmental data.

Kesimpulan yang dapat kita ambil mengenai ruang lingkup

evaluasi yang diajukan oleh model yang ketiga ini adalah bahwa: 1)

Objek evaluasi dalam rangka pengembangan kurikulum atau sistem

pendidikan yang mencakup sekurang-kurangnya tiga dimensi,yaitu

dimensi peralatan atau sarana, proses dan hasil yang dicapai. 2)

Sehubungan dengan hal yang di atas, jenis data yang diperlukan dalam

proses penilaian mencakup data objektif maupun data subjektif

(judgmental data). Pada model evaluasi ini, ada dua pendekatan utama

yang diajukan oleh model ketiga ini dalam pelaksanaan evaluasi yaitu

pertama, membandingkan performance setiap dimensi sistem dengan

kriteria intern dalam sistem itu sendiri; dan kedua, membandingkan

performance setiap dimensi sistem dengan kriteria ekstern di luar sistem

yang bersangkutan.

d. Illuminative Model

Sebagaimana halnya model yang ketiga, model yang keempat ini

pun dikembangkan sebagai reaksi terhadap dua model evaluasi yang


28

pertama, yaitu measure dan congruence. Penggunaan nama

Illuminative Model oleh pengembangannya didasarkan atas alasan

bahwa pengggunaan berbagai cara penilaian didalam model ini bisa

dikombinasikan akan “help illuminative problems, issues, and

significant program features”.

Model ini dikembangkan terutama di Inggris dan banyak

dikaitkan dengan pendekatan dalam bidang antropologi. Salah seorang

tokoh yang paling menonjol dalam usahanya mengembangkan model

ini adalan Makcolm Parlet. Sebagaimana telah disinggung diatas, model

yang keempat ini dikembangkan sebagai reaksi terhadap model

measure dan congruence. Kedua model ini dipandang kurang

menghasilkan suatu informasi yang tuntas dan riil mengenai sistem

pendidikan yang dinilainya. Bila model measure dan congruence lebih

berorientasi pada evaluasi secara kuantitatif dan berstruktur, model

yang keempat ini lebih menekankan pada evaluasi kualitatif dan

“terbuka”. Tujuan evaluasi menurut model yang keempat ini adalah

mengadakan studi yang cermat terhadap sistem yang bersangkutan

bagaimana pelaksanaan sistem tersebut di lapangan, bagaimana

pelaksanaan itu dipengaruhi oleh situasi sekolah tempat yang

bersangkutan dikembangkan, apa kebaikan-kebaikan dan kelemahan

kelemahannya dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi

pengalaman pengalaman belajar para siswa.


29

Sebagaimana halnya model yang ketiga, model yang keempat ini

juga mengarahkan kegiatan evaluasinya tidak hanya pada aspek hasil

belajar siswa melainkan pada aspek yang lebih luas. Objek evaluasi

yang diajukan oleh model ini mencakup latar belakang dan

pengembangan yang dialami oleh sistem yang bersangkutan, proses

pelaksanaan sistem itu sendiri, hasil belajar yang diperlihatkan oleh

para siswa, serta kesukaran-kesukaran yang dialami dari perencanaan

sampai dengan pelaksanaannya dilapangan. Disamping itu, ikut pula

dijadikan objek evaluasi di dalam model ini adalah efek samping dari

sistem yang bersangkutan seperti kebosanan yang terlihat pada siswa,

ketergantungan secara intelektual, hambatan terhadap perkembangan

sikap sosial, dan sebagainya.

Dengan kata lain, objek evaluasi dari model ini mencakup baik

kurikulum yang “terlihat” maupun kurikulum yang “tersembunyi”.

Pendekatan yang ditempuh model ini dalam evaluasi, berbeda dari apa

yang berlaku dalam evaluasi ilmu pengetahuan alam. Dengan kata lain,

model evaluasi ini mengajukan pendekatan yang merupakan alternatif

bagi apa yang disebut sebagai agricultural-botany paradigm, yang

selain digunakan dalam ilmu pengetahuan alam juga digunakan dalam

eksperimen dalam bidang psikologi. Pendekatan yang digunakan model

ini, sebagaimana telah disinggung dalam bagian permulaan, lebih

menyerupai pendekatan yang diterapkan dalam bidang antropologi

sosial, psikiatri dan jenis-jenis penelitian tertentu dibidang sosiologi.


30

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan yang

ditempuh model ini dalam melaksanakan evaluasi lebih bersifat terbuka

dan dalam melaporkan hasil evaluasi lebih banyak digunakan cara

deskriptif dalam penyajian informasinya.

B. Pendidikan Agama Islam

1. Pengertian

Pendidikan agama merupakan salah satu dari tiga subyek pelajaran

yang harus dimasukkan dalam kurikulum setiap lembaga pendidikan

formal di Indonesia. Hal ini karena kehidupan beragama merupkan salah

satu dimensi kehidupan yang diharapkan dapat terwujud secara terpadu

Dalam bahasa Indonesia, istilah pendidikan berasal dari kata “`didik”

dengan memberinya awalan “pe” dan akhiran “an”, mengandung arti

“perbuatan” (hal, cara atau sebagainya). Istilah pendidikan ini semula

berasal dari bahasa Yunani “paedagogie”, yang berarti bimbingan yang

diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian ditejemahkan dalam bahasa

Inggris “education” yang berarti pengembangan atau bimbingan.

Dalam bahasa Arab pengertian pendidikan, sering digunakan

beberapa istilah antara lain, al-ta’lim, al-tarbiyah, dan al-ta’dib, al-ta’lim

berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian pengetahuan

dan ketrampilan. Al-tarbiyah berarti mengasuh mendidik dan al-ta’dib

lebih condong pada proses mendidik yang bermuara pada penyempurnaan

akhlak/moral peserta didik. Namun, kata pendidikan ini lebih sering

diterjemahkan dengan “tarbiyah” yang berarti pendidikan.


31

Dari segi terminologis, Samsul Nizar menyimpulkan dari beberapa

pemikiran ilmuwan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar yang

dilakukan secara bertahap dan simultan (proses), terencana yang dilakukan

oleh orang yang memiliki persayaratan tertentu sebagai pendidik.

Selanjutnya kata pendidikan ini dihubungkan dengan Agama Islam, dan

menjadi satu kesatuan yang tidak dapat diartikan secara terpisah.

Pendidikan agama Islam (PAI) merupakan bagian dari pendidikan Islam

dan pendidikan Nasional, yang menjadi mata pelajaran wajib di setiap

lembaga pendidikan Islam.

Pendidikan agama Islam sebagaimana yang tertuang dalam GBPP

PAI di sekolah umum, dijelaskan bahwa pendidikan agama Islam adalah

upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk

mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran agama

Islam, dibarengi dengan tuntutan untuk menghormati penganut agama lain

dalam hubungannya dengan kerukunan  antar umat beragama hingga

terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.

Menurut Zakiyah Darajat (1987:87) pendidikan agama Islam

adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar

senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh. Lalu

menghayati tujuan, yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta

menjadikan Islam sebagai pandangan hidup.

Mata pelajaran pendidikan agama Islam secara keseluruhannya

dalam lingkup Al-Qur’an dan Al-hadits, keimanan, akhlak, fiqh/ibadah,


32

dan sejarah, sekaligus menggambarkan bahwa ruang lingkup pendidikan

agama Islam mencakup perwujudan keserasian, keselarasan dan

keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, diri sendiri, sesama

manusia, makhluk lainnya maupun lingkungannya (hablun minallah wa

hablun minannas).

Jadi pendidikan agama Islam merupakan usaha sadar yang

dilakukan pendidik dalam rangka mempersiapkan peserta didik untuk

meyakini, memahami, dan mengamalkan ajaran Islam melalui kegiatan

bimbingan, pengajaran atau pelatihan yang telah ditentukan untuk

mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Dari pengertian tersebut dapat ditemukan beberapa hal yang perlu

diperhatikan dalam pembelajaran pendidikan agama islam, yaitu berikut

ini :

a. Pendidikan Agama Islam sebagai usaha sadar, yakni suatu kegiatan

bimbingan, pengajaran dan/atau latihan yang dilakukan secara

berencana dan sadar atas tujuan yang hendak dicapai.

b. Peserta didik yang hendak disiapkan untuk mencapai tujuan, dalam arti

ada yang dibimbing, diajari dan/atau dilatih dalam peningkatan

keyakinan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan terhadap ajaran

Islam.

c. Pendidikan atau Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) yang

melakukan kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau pelatihan secara


33

sadar terhadap peserta didiknya untuk mencapai tujuan pendidikan

agama Islam.

d. Kegiatan (pembelajaran) Pendidikan Agama Islam diarahkan untuk

meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan

ajaran agama Islam dari peserta didik, yang disamping untuk

membentuk kesalehan pribadi, juga sekaligus untuk membentuk

kesalehan sosial.

2. Dasar-dasar Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam

Pelaksanaan pendidikan agama Islam di Sekolah mempunyai dasar

yang kuat. Dasar tersebut menurut Zuhairini dkk. dapat ditinjau dari

berbagai segi, yaitu :

a. Dasar Yuridis / Hukum

Dasar pelaksanaan pendidikan agama berasal dari perundang-

undangan yang secara tidak langsung dapat menjadi pegangan dalam

melaksanakan pendidikan agama di sekolah secara formal. Dasar

Yuridis formal tersebut terdiri dari tiga macam, yaitu :

1) Dasar Ideal, yaitu dasar falsafah negara Pancasila, sila pertama :

Ketuhanan Yang Maha Esa

2) Dasar Struktural/konstitusional, yaitu UUD’45 dalam Bab XI pasal

29 ayat 1 dan 2, yang berbunyi : 1) Negara berdasarkan atas

Ketuhanan Yang Maha Esa ; 2) negara menjamin kemerdekaan tiap-

tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah

menurut agama dan kepercayaan itu.


34

3) Dasar operasional, yaitu terdapat dalam Tap MPR No.IV/MPR/1973

yang kemudian dikokohkan dalam Tap MPR No.IV/MPR/1978 jo.

Ketetapan MPR Np. II/MPR/1983, diperkuat oleh Tap. MPR No.

II/MPR/1988 dan Tap. MPR No. II/MPR 1993 tentang Garis-garis

Besar Haluan Negara yang pada pokoknya menyatakan bahwa

pelaksanaan pendidikan agama secara langsung dimaksudkan dalam

kurikulum sekolah-sekolah formal, mulai dari sekolah dasar hingga

perguruan tinggi.

b. Segi Religius

Yang dimaksud dengan dasar religius/agama adalah dasar yang

bersumber dari ajaran islam baik yang tertera dalam Al Qur’an atau

Hadits Nabi.  Menurut ajaran islam pendidikan agama adalah perintah

Tuhan dan merupakan perwujudan ibadah kepada-Nya.

c. Aspek Psikologis

Psikologis adalah dasar yang berhubungan dengan aspek

kejiwaan kehidupan bermasyarakat. Hal ini didasarkan bahwa, dalam

hidupnya manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota

masyarakat seringkali dihadapkan pada hal-hal yang membuat hatinya

tidak tenang dan tidak tenteram sehingga memerlukan pegangan hidup.

Sebagaiamana telah dikemukakan oleh Zuhairini dkk bahwa : semua

manusia di dunia ini selalu membutuhkan adanya pegangan hidup

(agama). Mereka merasakan bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan

yang mengakui adanya zat Yang Maha Kuasa, ttempat mereka


35

memohon pertolongan-Nya. Hal semacam ini terjadi pada masyarakat

yang masih primitif maupun masyrakat yang sudah modern. Mereka

merasa tenang dan tentram hatinya kalau mereka dapat mendekat dan

mengabdi kepada Zat Ynag Maha Kuasa. Berdasarkan uraian ini

jelaslah bahwa untuk membuat hati tenang dan tentram ialah dengan

jalan mendekatkan diri kepada Tuhan.

3. Tujuan Pendidikan Agama Islam

Tujuan artinya sesuatu yang dituju, yaitu yang akan dicapai dengan

suatu usaha atau kegiatan. Dalam bahasa arab dinyatakan dengan ghayat

atau maqasid. Sedang dalam bahasa Inggris, istilah tujuan dinyatakan

dengan “goal atau purpose atau objective” Suatu kegiatan akan berakhir,

bila tujuannya sudah tercapai. Kalau tujuan tersebut bukan tujuan akhir,

kegiatan selanjutnya akan segera dimulai untuk mencapai tujuan

selanjutnya dan terus begitu sampai kepada tujuan akhir.

Dalam merumuskan tujuan tentunya tidak boleh menyimpang dari

ajaran Islam. Sebagaimana yang telah diungkapkan Zakiyah Darajat dalam

bukunya Metodologi Pengajaran Agama Islam menyebutkan tiga prinsip

dalam merumuskan tujuan yaitu:

a. Memelihara kebutuhan pokok hidup yang vital, seperti agama, jiwa dan

raga, keturunan, harta, akal dan kehormatan.

b. Menyempurnakan dan melengkapi kebutuhan hidup sehingga yang

diperlukan mudah didapat, kesulitan dapat diatasi dan dihilangkan.

c. Mewujudkan keindahan dan kesempurnaan dalam suatu kebutuhan.


36

Pendidikan agama Islam di sekolah / madrasah bertujuan untuk

menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan

pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, serta pengalaman

peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang

terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaannya, berbangsa dan

bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang yang lebih tinggi.

Penekanan terpenting dari ajaran agama Islam pada dasarnya adalah

hubungan antar sesama manusia yang sarat dengan nilai-nilai yang

berkaitan dengan moralitas sosial itu. Sejalan dengan hal ini, arah

pelajaran etika di dalam al Qur’an dan secara tegas di dalam hadis Nabi

mengenai diutusnya Nabi adalah untuk memperbaiki moralitas bangsa

Arab waktu itu.

Oleh karena itu, berbicara pendidikan agama islam, baik makna

maupun tujuannya haruslah mengacu pada penanaman nilai-nilai Islam

dan tidak dibenarkan melupakan etika sosial atau moralitas sosial.

Penanaman nilai-nilai ini juga dalam rangka menuai keberhasilan hidup

(hasanah) di dunia bagi anak didik yang kemudian akan mempu

membuahkan kebaikan (hasanah) di akhirat kelak.

4. Fungsi Pendidikan Agama Islam

Sebagai suatu subyek pelajaran, pendidikan agama Islam

mempunyai fungsi berbeda dengan subyek pelajaran yang lain. Ia dapat

memiliki fungsi yang bermacam-macam, sesuai dengan tujuan yang ingin

dicapai masing-masing lembaga pendidikan. Namun secara umum, Abdul


37

majid mengemukakan bahwa kurikulum pendidikan agama Islam untuk

sekolah/madrasah berfungsi sebagai berikut :

a. Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta

didik kepada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam lingkungan

keluarga. Pada dasarnya dan pertama-tama kewajiban dilakukan oleh

setiap orang tua dalam keluarga. Sekolah berfungsi untuk

menumbuhkan menanamkan keimanan dan ketakwaan dilakukanoleh

setiap orang tua dalam keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuh

kembangkankan lebih lanjut dalam diri anak melalui bimbingan,

pengajaran dan pelatihan agar keimanan dan ketakwaan tersebut dapat

berkembang secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.

b. Penanaman nilai, sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagiaan

hidup di dunia dan akhirat.

c. Penyesuaian mental, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan-

nya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat

mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam.

Penyesuaian menta, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan

lingkungannya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan

dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam.

d. Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-

kekurangan dan kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan,

pemahaman dan pengalaman ajaran dalam kehidupan sehari-hari.


38

e. Pencegahan, yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari lingkungannya

atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dirinya dan

menghambat perkembangannya menuju manusia Indonesia seutuhnya.

f. Pengajaran, tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam

nyata dan nir-nyata), sistem dan fungsionalnya.

g. Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat

khusus di bidang agama Islam agar bakat tersebut dapat berkembang

secara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan

bagi orang lain.

5. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam

Secara umum, sebagaimana tujuan pendidikan agama islam di atas,

maka dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak dituju oleh kegiatan

pembelajaran pendidikan agama Islam. Yaitu, 

a. Dimensi keimanan peserta didik terhadap ajaran agama Islam. 

b. Dimensi pemahaman atau penalaran intelektual serta keilmuan peserta

didik terhadap ajaran agama Islam.

c. Dimensi penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan peserta

didik dalam menjalankan ajaran Islam.

d. Dimensi pengamalan, dalam arti bagaimana ajaran islam yang telah di

imani, dipahami dan dihayati oleh peserta didik itu mampu

menumbuhkan motivasi dalam dirinya untuk mengamalkan ajaran

agama dan nilai-nilainya dalam kehidupan pribadinya serta


39

merealisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara.

Dengan melihat arti pendidikan islam dan ruang lingkupnya diatas,

jelaslah bahwa dengan pendidikan Islam kita berusaha untuk membentuk

manusia yang berkepribadian kuat dan baik (akhlakul karimah)

berdasarkan pada ajaran agama Islam. Oleh karena itulah, pendidikan

Islam sangat penting sebab dengan pendidikan Islam, orang tua atau guru

sebisa mungkin mengarahkan anak untuk membentuk kepribadian yang

sesuai dengan ajaran islam.

6. Pentingnya Pendidikan Agama Islam bagi Peserta Didik

Setelah kita mengetahui tujuan, fungsi maupun lapangan pendidikan

agama Islam, tentunya pendidikan agama Islam sangat penting dalam

mengarahkan potensi dan kepribadian peserta didik dalam pendidikan

Islam.  Begitu pentingnya pendidikan agama Islam di sekolah dalam

mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu pendidikan

agama islam di Indonesia dimasukkan ke dalam kurikulum nasional yang

wajib diikuti oleh semua anak didik mulai jenjang pendidikan dasar

sampai perguruan tinggi.

Bagi umat Islam tentunya pendidikan agama yang wajib diikutinya

itu adalah pendidikan agama islam. Dalam hal ini pendidikan agama Islam

mempunyai tujuan kurikuler yang merupakan penjabaran dari tujuan

pendidikan nasional sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang

Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, yaitu : Pendidikan


40

Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar

menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha

Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi

warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Mengingat betapa pentingnya pendidikan agama islam dalam

mewujudkan tujuan pendidikan Nasional, maka pendidikan agama Islam

harus diberikan dan dilaksanakan di sekolah dengan sebaik-baiknya.

Anda mungkin juga menyukai