Anda di halaman 1dari 77

TEORI HUKUM

https://krisnaptik.com/polri-4/teori/teori-hukum-dan-pengertian/

Ini merupakan kumpulan handout tentang kenapa teori hukum itu ada dan apa sebenarnya teori
hukum. Bahan ini didapat dari pertemuan awal dengan Prof. Dr. Hata, SH., MH. Presentasi
Power Pointnnya dapat diunggah dalam Teori Hukum_Kuliah 1.

1. B.Arief Sidharta : “Teori Ilmu Hukum (rechtstheorie) secara umum dapat diartikan
sebagai ilmu atau disiplin hukum yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal
secara kritis  menganalisis  berbagai aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam
kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritisnya mau pun dalam pengejawantahan
praktisnya, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan
memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan
yuridis dalam kenyataan masyarakat. Obyek telaahnya adalah gejala umum dalam tatanan
hukum positif yang meliputi analisis bahan hukum, metode dalam hukum dan kritik
ideologikal terhadap hukum ( Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, 2000,h.122).
2. JJH Bruggink :” Teori hukum adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenan
dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum  dan putusan-putusan hukum, dan sistem
tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan “(HR Otje Salman et.al.”Teori
Hukum”, 2002,h.60).
3. Hans Kelsen (Satjipto Rahardjo : Hukum Dalam Jagat Ketertiban, h.8-9) :

1. The aim of a theory of law, as of any science, is to reduce chaos and multiplicity to unity.
2. Legal theory is science, not volition. It is knowledge of what the law is, not of what the
law ought to be.
3. The Law is a normative not a natural science.
4. Legal theory as a theory of norms is not concerned with  the effectiveness of legal norms.
5. A theory of law is formal, a theory of the way of ordering, changing content in a specific
way.
6. f.      The relation  of legal theory to a particular system of positive law is that of possible
to actual law.
7. b.     Tujuan teori hukum, ilmu apapun, adalah untuk mengurangi kekacauan dan
keragaman untuk persatuan.
8. c.     Teori hukum adalah ilmu, bukan kemauan. Ini adalah pengetahuan tentang apa
hukum itu, bukan dari apa yang hukum seharusnya.
9. d.     Hukum adalah normatif bukan ilmu alam.
10. e.     Teori hukum sebagai teori norma tidak peduli dengan efektivitas norma-norma
hukum.
11. f.      Sebuah teori hukum adalah formal, suatu teori cara pemesanan, konten berubah
dengan cara tertentu.
12. g.     Hubungan teori hukum untuk sistem tertentu dari hukum positif adalah bahwa
mungkin untuk hukum yang sebenarnya.
4. Perkembangn ilmu dan teknologi yang sangat pesat pada abad keduapuluh mendorong
Kelsen untuk mengangkat ilmu hukum untuk  bisa maju sederajat dengan kemajuan sains
waktu itu.
5. J H von Kirchman : ilmu hukum berdiri di atas fondasi yang subyektif karena itu sebagai
sains ia menjadi sangat goyah. Hanya dengan vonis tiga kata saja dari  pembuat undang-
undang, maka seluruh perpustakaan menjadi bubar.
6. Kelsen ingin membuktikan bahwa ilmu hukum itu tidak subyektif melainkan obyektif,
sama dengan sains  yang lain. Ia harus membangun teori yang mengatasi subyektivitas
pembuat undang-undang. A theory of law is formal. Tidak boleh mengandung muatan
nilai, kepentingan dan lain-lain.
7. Schuyt, dengan merujuk pada Holmes dan Cordozo menyarankan agar ilmu hukum
melepaskan diri dari cara menganalisa persoalan  berdasar  metode hukum yang sempit
dan selalu mencari pertolongan kepada lmu-ilmu lain.
8. Kemajuan ilmu alam, ekonomi, sosial, politik seharusnya mendorong para ahli hukum
untuk memanfaatkan kemajuan tsb.
9. Hunt (The  Sociological movement in law) : The twentieth century has produced a
movement towards the sociologically oriented study of law. The study of law can no
longer be regarded as the exclusive preserve of legal professionals, whether
practitioners or academics. There has emerged a sociological movement in law which
has had as its common and explicit goal the assault on legal exclusivism.
10. Nonet & Selznick : Hukum (di Amerika) gagal menyelesaikan persoalan hukum karena
hanya melihat ke dalam dan tidak keluar. Disarankan untuk  melakukan sintesis antara
jurisprudence dan social sciences.
11. Satjipto Rahardjo : Studi sosiologis  terhadap hukum yang menumbangkan analytical
positivism hanya merupakan simbul atau dorongan untuk  melakukan “studi saja
terhadap hukum secara lebih benar … di belakang studi sosiologis masih berderet yang
lain seperti  antropologi, sosiologi dan ekonomi….”.

Teori ilmu hukum juga bertujuan untuk menjelaskan kejadian-kejadian dalam bidang hukum dan
mencoba untuk memberikan penilaian. Menurut Radburch tugas dari teori hukum adalah
membikin jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada dasar-dasar filsafat yang
paling dalam.2)

Teori hukum merupakan kelanjutan dari usaha untuk mempelajari hukum positif. Teori hukum
menggunakan hukum positif sebagai bahan kajian dengan telaah filosofis sebagai salah satu
sarana bantuan untuk menjelaskan tentang hukum.

Teori hukum dipelajari sudah sejak zaman dahulu, para ahli hukum Yunani maupun Romawi
telah membuat pelbagai pemikiran tentang hukum sampai kepada akar-akar filsafatnya. Sebelum
abad kesembilan belas, teori hukum merupakan produk sampingan yang terpenting dari filsafat
agama, etika atau politik. Para ahli fikir hukum terbesar pada awalnya adalah ahli-ahli filsafat,
ahli-ahli agama, ahli-ahli politik. Perubahan terpenting filsafat hukum dari para pakar filsafat
atau ahli politik ke filsafat hukum dari para ahli hukum, barulah terjadi pada akhir-akhir ini.
Yaitu setelah adanya perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi teknik dan penelitian
hukum. Teori-teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori filsafat dan politik umum.
Sedangkan teori-teori hukum modern dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli
hukum sendiri. Perbedaannya terletak dalam metode dan penekanannya. Teori hukum para ahli
hukum modern seperti teori hukum para filosof ajaran skolastik, didasarkan atas keyakinan
tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri.Teori-Teori Hukum Pada
Zaman Yunani-Romawi
Plato (427-347 sebelum Masehi) beranggapan bahwa hukum itu suatu keharusan dan penting
bagi masyarakat. Sebagaimana yang dituliskannya dalam “The Republik”, hukum adalah sistem
peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat. Pelaksanaan
keadilan dipercayakan kepada para pengatur pemerintahan yang pendidikan serta kearifannya
bersumber pada ilham merupakan jaminan untuk terciptanya pemerintahan yang baik.3) Dan
pada karyanya yang telah diperbaharui Plato mulai mengusulkan “negara hukum” sebagai
alternatif suatu sistem pemerintahan yang lebih baik, dengan konsepnya mengenai negara
keadilan yang dijalankan atas dasar norma-norma tertulis atau undang-undang.
Aristoteles (384-322 sebelum Masehi) adalah murid Plato yang paling termasyur. Ia adalah
seorang pendidik putra raja yang bernama Aleksander Agung. Menurut Aristoteles hukum harus
ditaati demi keadilan, dan ini dibagi menjadi hukum alam dan hukum positif. Hukum alam
menurut Aristoteles merupakan aturan semesta alam dan sekaligus aturan hidup bersama melalui
undang-undang. Pada Aristoteles hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang berlaku
selalu dan dimana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum positif adalah semua
hukum yang ditentukan oleh penguasa negara. Hukum itu harus selalu ditaati, sekalipun ada
hukum yang tidak adil.

Aristoteles juga membedakan antara keadilan “distributif” dan keadilan “korektif” atau
“remedial”. Keadilan distributif mengacu kepada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang
sesuai dengan kedudukannya didalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap
kesederajatan dihadapan hukum (equality before the law). Keadilan jenis ini menitikberatkan
kepada kenyataan fundamental dan selalu benar, walaupun selalu dikesampingkan oleh hasrat
para filsuf hukum untuk membuktikan kebenaran pendirian politiknya, sehingga cita keadilan
secara teoritis tidak dapat memiliki isi yang tertentu sekaligus sah. Keadilan yang kedua pada
dasarnya merupakan ukuran teknik dari prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum. Dalam
mengatur hubungan hukum harus ditemukan suatu standar yang umum untuk memperbaiki
setiap akibat dari setiap tindakan, tanpa memperhatikan pelakunya dan tujuan dari perilaku-
perilaku dan obyek-obyek tersebut harus diukur melalui suatu ukuran yang obyektif.
Selanjutnya Aristoteles memberikan pembedaan terhadap keadilan abstrak dan kepatutan.
Hukum harus menyamaratakan dan banyak memerlukan kekerasan didalam penerapannya
terhadap masalah individu. Kepatutan mengurangi dan menguji kekerasan tersebut, dengan
mempertimbangkan hal yang bersifat individual.4)

Pada Abad Pertengahan

Thomas Aquinas (1225-1275) adalah seorang rohaniawan Gereja Katolik yang lahir di Italia,
belajar di Paris dan Kolin dibawah bimbingan Albertus Magnus.
Didalam membahas arti hukum, Thomas Aquinas mulai dengan membedakan antara hukum-
hukum yang berasal dari wahyu dan hukum-hukum yang dijangkau oleh akal budi manusia
sendiri. Hukum yang didapati dari wahyu disebut hukum Ilahi (ius divinum positivum). Hukum
yang diketahui berdasarkan kegiatan akal budi ada beberapa macam. Pertama-tama ada hukum
alam (ius nature), kemudian juga hukum bangsa-banga (ius gentium), akhirnya hukum positif
manusiawi (ius positivum humanum).

Tentang hukum yang berasal dari wahyu dapat dikatakan, bahwa hukum mendapat bentuknya
dalam norma-norma moral agama. Seringkali norma-norma itu sama isinya dengan norma-norma
yang umumnya berlaku dalam hidup manusia.

Untuk dapat menjelaskan hukum alam, Thomas Aquinas bertolak dari ide-ide dasar Aristoteles.
Aturan alam semesta tergantung dari Tuhan yang menciptakannya. Oleh karena itu aturan alam
ini harus berakar dalam suatu aturan abadi (lex aeterna), yang terletak dalam hakekat Allah
sendiri. Hakekat Allah itu adalah pertama-tama Budi Ilahi yang mempunyai ide mengenai segala
ciptaan. Budi Ilahi praktis membimbing segala-galanya kearah tujuannya. Semesta alam
diciptakan dan dibimbing oleh Allah, tetapi lebih-lebih manusia beserta kemampuannya untuk
memahami apa yang baik dan apa yang jahat dan kecenderungan untuk membangun hidupnya
sesuai dengan aturan alam itu. Oleh karena itu untuk hukum alam, Thomas Aquinas pertama-
tama memaksudkan aturan hidup manusia , sejauh didiktekan oleh akal budinya. Hukum alam
yang terletak dalam akal budi manusia itu (lex naturalis) tidak lain daripada suatu pertisipasi
aturan abadi dalam ciptaan rasional.
Hukum alam yang oleh akal budi manusia ditimba dari aturan alam, dapat dibagi dalam dua
golongan yaitu : hukum alam primer dan hukum alam sekunder. Hukum alam primer dapat
dirumuskan dalam norma-norma yang karena bersifat umum berlaku bagi semua manusia.
Hukum alam sekunder dapat diartikan dalam norma-norma yang selalu berlaku in abstracto, oleh
karena langsung dapat disimpulkan dari norma-norma hukum alam primer, tetapi dapat terjadi
juga adanya kekecualian berhubung adanya situasi tertentu. Thomas Aquinas membedakan
antara keadilan distributif, keadilan tukar-menukar dan keadilan legal. Keadilan distributif
menyangkut hal-hal umum. Keadilan tukar-menukar menyangkut barang yang ditukar antara
pribadi seperti misalnya jual beli. Keadilan legal menyangkut keseluruhan hukum, sehingga
dapat dikatakan bahwa kedua keadilan tadi terkandung keadilan legal.5)

Teori-Teori Pada Abad XIX dan Selanjutnya

Positivisme dan Utilitarianisme

Selama abad XIX manusia semakin sadar akan kemampuannya untuk mengubah keadaan dalam
segala bidang. Dalam abad ini pula muncul gerakan positivisme dalam ilmu hukum.
Oleh H.L.A Hart (lahir tahun 1907), seorang pengikut positivisme diajukan berbagai arti dari
positivisme sebagai berikut :6)

1. Hukum adalah perintah.


2. Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan.
Analisis yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis serta berlainan pula
dari suatu penilaian kritis.
3. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang
sudah ada terlebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan
serta moralitas.
4. Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh
penalaran rasional, pembuktian atau pengujian.
5. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari
hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Inilah yang sekarang sering kita
terima sebagai pemberian arti terhadap positivisme ini.

Berbeda dengan John Austin (1790-1859), yang menyatakan bahwa hukum adalah sejumlah
perintah yang keluar dari seorang yang berkuasa didalam negara secara memaksakan, dan
biasanya ditaati. Satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi didalam suatu negara.
Sumber-sumber yang lain disebutnya sebagai sumber yang lebih rendah (subordinate sources).
John Austin mengartikan ilmu hukum sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat
mencukupi dirinya sendiri. Menurut John Austin, tugas dari ilmu hukum hanyalah untuk
menganalisa unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern. Sekalipun diakui ada
unsur-unsur yang bersifat histeris didalamnya, namun unsur-unsur tersebut telah diabaikan dari
perhatian. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat didalam suatu negara.
Jeremy Bentham (1748-1832) adalah seorang penganut utilitarian yang menggunakan
pendekatan tersebut kedalam kawasan hukum. Dalilnya adalah bahwa manusia itu akan berbuat
dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan
menekan serendah-rendahnya penderitaan.7)Tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk
melayani kebahagiaan paling besar dari sejumlah terbesar rakyat.
Rudolph von Jhering sering disebut sebagai “social utilitarianism”. Ia mengembangkan segi-segi
positivisme dari John Austin dan menggabungkannya dengan prinsip-prinsip utilitarianisme dari
Jeremy Bentham dan John Stuart Mill.

Rudolph von Jhering memusatkan perhatian filsafat hukumnya kepada konsep tentang “tujuan”,
seperti dikatakannya didalam salah satu bukunya yaitu bahwa tujuan adalah pencipta dari seluruh
hukum, tidak ada suatu peraturan hukum yang tidak memiliki asal-usulnya pada tujuan ini, yaitu
pada motif yang praktis. Menurutnya hukum dibuat dengan sengaja oleh manusia untuk
mencapai hasil-hasil tertentu yang diinginkan. Ia mengakui bahwa hukum itu mengalami suatu
perkembangan sejarah, tetapi menolak pendapat para teoritisi aliran sejarah, bahwa hukum itu
tidak lain merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan historis murni yang tidak direncanakan dan
tidak disadari. Hukum terutama dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan ditujukan
kepada tujuan tertentu.8)

John Stuart Mill berpendapat hampir sama dengan jeremy bentham, yaitu bahwa tindakan itu
hendaklah ditujukan kepada tercapainya kebahagiaan. Standar keadilan hendaknya didasarkan
kepada kegunaannya. Akan tetapi Ia berpendapat, bahwa asal usul kesadaran akan keadilan itu
tidak ditemukan pada kegunaan, melainkan pada dua sentimen, yaitu rangsangan untuk
mempertahankan diri dan perasaan simpati. Menurut John Stuart Mill, keadilan bersumber pada
naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri,
maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita. Perasaan keadilan akan
memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual,
melainkan lebih luas dari itu, sampai kepada orang-orang lainyang kita samakan dengan diri kita
sendiri. Hakikat keadilan dengan demikian, mencakup semua persyaratan moral yang sangat
hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.9)
Teori Hukum Murni

Hans Kelsen (1881-1973),adalah pelopor aliran ini. Bukunya yang terkenal adalah Reine
Rechslehre (ajaran hukum murni).Teori hukum murni ini lazim dikaitkan dengan Mazhab Wina.
Mazhab Wina mengetengahkan dalam teori hukum pencarian pengetahuan yang murni, dalam
arti yang paling tidak mengenal kompromi, yaitu pengetahuan yang bebas dari naluri, kekerasan,
keinginan-keinginan dan sebagainya.

Teori hukum murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan
pembicaraan tentang etika. Dasar-dasar pokok teori Hans Kelsen adalah sebagai berikut :10)

1. Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan
dan meningkatkan kesatuan (unity)
2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang
hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada
3. Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam
4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan
efektifitas norma-norma hukum
5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi
yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik
6. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti
antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.

Salah satu ciri yang menonjol pada teori hukum murni adalah adanya suatu paksaan. Setiap
hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa. Negara dan hukum dinyatakan
identik, sebab negara hanya suatu sistem perilaku manusia dan pengaturan terhadap tatanan
sosial. Kekuasaan memaksa ini tidak berbeda dengan tata hukum, dengan alasan bahwa didalam
suatu masyarakat hanya satu dan bukan dua kekuasaan yang memaksa pada saat yang sama.
Bagian lain dari teori Hans Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm,
yaitu suatu dalil yang akbar yang tidak dapat ditiadakan yang menjadi tujuan dari semua jalan
hukum bagaimanapun berputar-putarnya jalan itu. Grundnorm merupakan induk untuk
melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu
Definis dan Fungsi Teori Hukum
Posted on October 26, 2013 /https://adityoariwibowo.wordpress.com/2013/10/26/1105/

Pengertian dan Ciri-ciri Teori Hukum

Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting. Teori memberikan sarana kepada kita
untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang kita bicarakan secara lebih baik. Teori
memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang
dibicarakan[1]. Terdapat keragu-raguan dari para akademisi tentang tempat dari disiplin teori hukum
dengan filsafat hukum, ilmu hukum, hukum normatif dan hukum positif. Ada yang menyamakan antara
filsafat hukum dengan teori hukum[2]. Menurut Imre Lakatos, teori adalah hasil pemikiran yang tidak
akan musnah dan hilang begitu saja ketika teori lainnya pada dasarnya merupakan keanekaragaman
dalam sebuah penelitian[3]. Teori di sini berisi[4]:

1.      Memahkotai system

2.      Terdiri atas hokum-hukum ilmiah

3.      Pernyataan-pernyataan umum yang memuat hubungan teratur antara fakta atau gejala

4.      Berfungsi untuk member eksplanasi, prediksi dan pemahaman terhadap berbagai fakta atau
gejala

Mengenai definisi teori hokum, belum adanya satu definisi yang baku. Banyak pendapat para ahli
mengenai disiplin teori hokum, antara lain:

1.      Hans Kelsen

Teori hokum adalah ilmu pengetahuan mnegenai hokum yang berlaku bukan mengenai hokum
yang seharusnya. Teori hukum yang dimaksud adalah teori hukum murni, yang disebut teori
hukum positif. Teori hukum murni, makdusnya karena ia hanya menjelaskan hukum dan
berupaya membersihkan objek penjelasan dari segala hal yang tidak bersangkut paut dengan
hukum. Sebagai teori, ia menjelaskan apa itu hukum, dan bagaimana ia ada.
2.      Friedman

Teori hokum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari esensi hokum yang berkaitan antara
filsafat hokum di satu sisi dan teori politik di sisi lain. disiplin teori hukum tidak mendapatkan
tempat sebagai ilmu yang mandiri, maka disiplin teori hukum harus mendapatkan tempat di
dalam disiplin ilmu hukum secara mandiri[5].

3.      Ian Mc Leod

Teori hokum adalah suatu yang mengarah kepada analisis teoritik secara sistematis terhadap
sifat-sifat dasar hokum, aturan-aturan hokum atau intitusi hokum secara umum.

4.      John Finch

Teori hokum adalah studi yang meliputi karakteristik esensial pada hokum dan kebiasaan yang
sifatnya umum pada sutau system hokum yang bertujuan menganalisis unsure-unsur dasar yang
membuatnya menjadi hokum dan membedakannya dari peraturan-peraturan lain.

5.      Jan Gijssels dan Mark van Hocke

Teori hokum adalah ilmu yang bersifat menerangkan atau menjelaskan tentang hokum. Teori
hukum merupakan disiplin mandiri yang perkembangannya dipengaruhi dan sangat terkait
dengan ajaran hukum umum. Mereka memandang bahwa ada kesinambungan antara Ajaran
Hukum Umum dalam dua aspek sebagai berikut[6]

 Teori hukum sebagai kelanjutan dari Aaran Hukum Umum memiliki objek disiplin mandiri,
diantara dogmatik hukum di satu sisi dan filsafat hukum di sisi lain. Dewasa ini teori hukum
diakui sebagai disiplin ketiga disamping untuk melengkapi filsafat hukum dan dogmatik hukum,
masing-masing memiliki wilayah dan nilai sendiri-sendiri.

 Teori hukum dipandang sebagai ilmu a-normatif yang bebas nilai, yang membedakan dengan
disiplin lain. 

6.      Bruggink

Teori hokum seluruh pernyataan yang saling berkaitan dengan system konseptual aturan-aturan
hokum dan putusan-putusan hokum dan system tersebut untuk sebagian yang penting
dipositifkan. Pengertian ini mempunyai makna ganda, yakni definisi teori sebagai produk dan
proses.
Ada lagi yang mengatakan bahwa teori hukum itu adalah teori tentang tertib manusia, karena ia
memberi jawab tentang apa itu hukum secara berbeda yang steategik bagi tertib dirinya, yang
mewarnai teori hukum[7].

Dengan memperhatikan pendapat para ahli, rumusan tentang disiplin teori hukum adalah sebagai
berikut[8]:

a.       Teori hukum sama pengertiannya dengan filsafat hukum;


b.      Teori hukum berbeda pengertiannya dengan filsafat hukum;
c.       Teori hukum bersinonim dengan ilmu hukum.

Dari penjelasan di atas, Lili Rasjidi dan Ira Thania Rashidi mencoba membedakan antara teori
hukum dengan filsafat hukum. Teori hukum adalah ilmu yang mempelajari pengetian-pengertian
pokok dan sistem dari hukum. Pengertian-pengertian pokok seperti itu misalnya subjek hukum,
perbuatan hukum, dan lain-lain yang memiliki pengertian yang bersifat umum dan teknis.
Pengertian-pengertian pokok ini sangat penting supaya dapat memahami sistem hukum pada
umumnya maupun pada sistem hukum positif[9].

Selanjutnya Lili Rasjidi dan Ira Thania menjelaskan bahwa teori hukum merefleksikan objek dan
metode dari berbagai bentuk ilmu hukum[10]. Terdapat dua pandangan besar mengenai teori
hukum yang bertolak belakang namun ada dalam satu realitas, seperti ungkapan gambaran
sebuah mata uang yang memiliki dua belah bagian yang berbeda. Pertama, pandangan yang
didukung oleh tiga argumen yaitu pandangna bahwa hokum sebagai suatu sistem yang pada
prinsipnya dapat diprediksi dari pengetahuan yang akurat tentang kondis sistem itu sekarang,
perilaku sistem ditentukan oleh bagian-bagian yang terkecil dari sistem itu dan teori hukum
mampu menjelaskan persoalannya sebagaimana adanya tanpa berkaitan dengan orang
(pengamat). Hal ini membawa kita kepada pandangan bahwa teori hukum itu deterministik,
reduksionis, dan realistik. Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa hukum bukanlah sebagai
suatu sistem yang teratur tetap merupakan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan
ketidakberatuan, tidak dapat diramalkan, dan bahwa hukum sangat dipengaruhi oleh [ersepsi
orang (pengamat) dalam memaknai hukum tersebut. Pandangan ini banyak dikemukakan oleh
mereka yang beraliran sosiologis dan post-modernis, dimana mereka memandang bahwa pada
setiap waktu mengalami perubahan, baik kecil maupun yang besar, evolutif maupun
revolusioner[11].

Teori hukum tidak hanya menjelaskan apa itu hukum sampai kepada hal-hal yang konkret, tetapi
juga pada persoalan yang mendasar dri hukum itu. Seperti yang dikatakan Radbruch, yang
dikutip Satjipto Rahardjo, tugas teori hukum adalah membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-
postulat hukum sampai kepada penjelasan filosofis yang tertinggi. Teori hukum akan
mempertanyakan hal-hal seperti: mengapa hukum berlaku, apa dasar kekuatan yang
mengikatnya, apa yang menjadi tujuan hukum, bagaimana hukum dipahami, apa hubungannya
dengan individu dengan masyarakat, apa yang seharusnya dilakukan oleh hukum, apakah
keadilan itu, dan bagaimana hukum yang adil[12]. Teori hukum merupakan kelanjutan dari usaha
untuk mempelajari hukum positif. Teori hukum menggunakan hukum positif sebagai bahan
kajian dengan telaah filosofis sebagai salah satu sarana bantuan untuk menjelaskan tentang
hukum. Teori hukum dipelajari sudah sejak zaman dahulu, para ahli hukum Yunani maupun
Romawi. Sebelum abad kesembilan belas, teori hukum merupakan produk sampingan yang
terpenting dari filsafat agama, etika atau politik. Para ahli fikir hukum terbesar pada awalnya
adalah ahli-ahli filsafat, ahli-ahli agama, ahli-ahli politik. Perubahan terpenting filsafat hukum
dari para pakar filsafat atau ahli politik ke filsafat hukum dari para ahli hukum, barulah terjadi
pada akhir-akhir ini. Yaitu setelah adanya perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi
teknik dan penelitian hukum. Teori-teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori filsafat
dan politik umum. Sedangkan teori-teori hukum modern dibahas dalam bahasa dan sistem
pemikiran para ahli hukum sendiri. Perbedaannya terletak dalam metode dan penekanannya.
Teori hukum para ahli hukum modern seperti teori hukum para filosof ajaran skolastik,
didasarkan atas keyakinan tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri
(Alan Banjarnahor, http://tubiwityu.typepad.com/blog/2010/02/teori-hukum.html).

Berdasarkan pengertian mengenai teori hokum di atas maka dapat disimpulkan bahwa cirri-ciri
teori hokum sebagai berikut:[13]

1.      Berpikir tentang hokum

2.      Mencari segala sesuatu tentang hokum

3.      Menanyakan yang mana yang merupakan hokum

4.      Menanyakan apa isi system hokum

5.      Tidak membentuk hokum yang ajeg

6.      Memperoleh materiilnya ilmu hokum

7.      Merupakan meta teori hokum

8.      Merupakan refleksi dari teknik hokum

9.      Cara ahli hokum berbicara hokum

10.  Berbicara hokum dari perspektif yang tidak teknis yuridis dengan bahasa yang tidak teknis
yuridis pula

11.  Menanyakan tentang dapat atau tidaknya digunakan teknis interpretasi yang logis

12.  Berbicara tentang pertimbanagan atau penalaran para ahli hokum


13.  Tidak mempermasalahkan penyelesaian mana yang paling cocok

14.  Meneliti pertimbangan para ahli hokum dan instrumentarium yang digunakan para ahli
hokum

Kebenaran Teoritik dan Kebenaran Hukum

Kebenaran teoritik dan kebenaran hukum berkaitan dengan banyaknya teori-teori hukum dengan
berbagai alirannya. Makna dari kebenaran teori dengan kebenaran hokum tidaklah sama.
Kebenaran teori merupakan dari hasil ujian dalam sintesa-sintesa yang sudah dibuat dalam teori
tersebut. Pengertian teori dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah (1) pendapat yang
dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa; asas dan hukum umum yang
menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan; (3) pendapat, cara, dan aturan untuk
melakukan sesuatu. Sedangkan teoretik atau teoretis yang sering kita sebut dengan
teoritik/teoritis, adalah berdasarkan pada teori, mengenai atau menurut teori. Arti dari kebenaran
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keadaan yang sesungguhnya. Kebenaran teoritik
adalah kebenaran yang sesuangguhnya atau sesuatu yang dianggap benar yang dilihat dari sudut
pandang pendapat para ahli, sedangkan kebenaran hukum adalah sesuatu yag dianggap benar
oleh para teoritisi tentang hukum berdasarkan aliran-aliran ilmu hukum yang mereka anut
tentang hukum itu sendiri.

Menurut pandangan aliran positivisme hokum, konsep hukum yang hendak diketengahkan
adalah hukum sebagai perintah manusia yang dibuat oleh badan yang berwenang. Ada dua
bentuk positivisme hukum, yakni Pertama positivisme yuridis, yang berarti hukum dipandang
sebagai suatu gejala tersendiri yang perlu diolah secara ilmiah. Tujuannya adalah pembentukan
struktur rasional sistem yurudis yang berlaku. Dalam positivisme yuridis, berlaku closed logical
system, yang berarti bahwa peraturan direduksikan daru undang-undang yang berlaku tanpa perlu
meminta bimbingan dari norma sosial, politik dan moral, dengan tokoh von Jhering dan Austin.
Kedua, positivisme sosiologis, hukum ditanggapi terbuka bagi kehidupan masyarakat, yang
harus diselidiki melalui metode-metode alamiah[14].

Namun pandangan ini ditentang oleh aliran-aliran hukum lain diantaranya realisme hukum.
Aliran ini berpendapat bahwa hukum itu dibentuk tidak dari penguasa, melainkan berasal hukum
yang hidup dan tumbuh bersama masyarakat. Hukum tidak dapat dipisahkan dari anasir-anasir
sosiologis, dan lebih mementingkan keadilan dalam masyarakat.  

Urgensi Teori Hukum

Teori hukum merupakan ilmu disiplin tersendiri diantara dogmatik hukum dan filsafat hukum,
yang mempunyai perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai
aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi
teoritisnya maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoretisnya maupun dalam
penerapan praktisnya, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan
memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang hukum dalam kenyataan kemasyarakatan.
Yang menjadi urgensi teori hukum adalah teori hukum memiliki kegunaan diantaranya, (1)
menjelaskan hukum dengan cara menafsirkan sesuatu arti/pengertian, sesuatu syarat atau unsur
sahnya suatu peristiwa hukum, dan hirarkhi kekuatan peraturan hukum, (2) menilai suatu
peristiwa hukum, dan (3) memprediksi tentang sesuatu yang akan terjadi. Menurut Radbruch,
teori hukum memiliki tugas: membikin jelas nilai-nilai serta postulat-postulat hukum sampai
kepada landasan filosifisnya yang tertinggi. Sedangkan Kelsen menyatakan bahwa teori hukum
berfungsi untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan. Teori hukum
merupakan ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang
seharusnya. (http://www.forumbebas.com/thread-11519.html).

Kegunaan yang lain, teori hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja, teori hukum pembangunan,
adalah mengundang banyak atensi, yang apabila dijabarkan aspek tersebut secara global adalah
sebagai berikut: Pertama, Teori Hukum Pembangunan sampai saat ini adalah teori hukum yang
diciptakan oleh orang Indonesia dengan melihat dimensi dan kultur masyarakat Indonesia. Oleh
karena itu, dengan tolok ukur dimensi teori hukum pembangunan tersebut lahir, tumbuh dan
berkembang sesuai dengan kondisi Indonesia. Hakikatnya jikalau diterapkan dalam aplikasinya
akan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat Indonesia yang pluralistik. Kedua, secara
dimensional maka Teori Hukum Pembangunan memakai kerangka acuan pada pandangan hidup
(way of live) masyarakat serta bangsa Indonesia berdasarkan asas Pancasila yang bersifat
kekeluargaan maka terhadap norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam Teori Hukum
Pembangunan tersebut relatif sudah merupakan dimensi yang meliputi structure (struktur),
culture (kultur) dan substance (substansi) Ketiga, pada dasarnya Teori Hukum Pembangunan
memberikan dasar fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law as a tool social
engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai
negara yang sedang berkembang[15].

Sumber-Sumber Teori Hukum

Berkaitan dengan sumber-sumber teori hukum, teori hukum ini bersumber pada pedapat para
sarjana hukum tentang hukum, dan bagaimana mereka memaknai hukum tergantung kepada
aliran yang mereka anut untuk menjelaskan apa itu hukum. Sebagaimana yang dijelaskan oleh
Radbruch, bahwa teori hukum membikin jelas nilai-nilai serta postulat-postulat hukum sampai
kepada landasan filosofisnya yang tertinggi[16]. Contohnya, Hans Kelsen mengajarkan teori
hukum murni, yang mengatakan bahwa teori hukum murni adalah teori hukum umum yang
berusaha menjawab bagaimana hukum itu dibuat, dan bukan menjawab pertanyaan bagaimana
seharusnya hukum itu dibuat. Ia mengatakan murni karena teori tersebut mengarahkan kognisi
(pengetahuan) pada hukum itu sendiri, karena teori tersebut menghilangkan semua yang tidak
menjadi objek kognisi yang sebenarnya ditetapkan sebagai hukum tersebut, yakni dengan
membebaskan ilmu hukum dari semua elemen asing[17].

Karl Marx yang hidup pada masa revolusi industri, mengatakan bahwa hukum itu alat legitimasi
dari kelas ekonomi tertentu. Hukum itu hanya melayani kepentingan ‘orang yang berpunya’,
yang dimaksud disini adalah pemilik modal. Teori Karl Max yang terkenal adalah hukum ada
dalam bingkai infra-struktur, supra-struktur. Infra-stuktur adalah fakta hubungan-hubungan
ekonomi masyarakat. Sedangkan supra-struktur adalah kelembagaan-kelembagaan sosial non
ekonomi, seperti hukum, agama, sistem politik, corak budaya dan sebagainya[18].
[1] Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 253

[2] Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indah Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 1

[3]Eddy O.S Hiareij, Hand Out  Mata Kuliah Teori Hukum Semester Ganjil 2010/2011,
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

[4] Ibid                                                                                                       

[5] W. Friedman,  Teori dan Filsafat Hukum. Susunan I. Telaah Kritis Atas Teori Hukum, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 1990, hlm. 1

[6]Otje Salman S, dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika
Aditama, Bandung, 2004, hlm. 54-55

[7]Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, Teori Hukum. Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang
dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 7

[8]Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, bandung, 2004,
hlm. 11

[9] Ibid, hlm. 36

[10] Ibid, hlm. 162

[11] Opcit, Otje Salman dan Anthon F. Susanto, hlm. 46-47

[12] Opcit, Satjipto Raharjo, hlm. 254

[13] Opcit, Edy O.S Hiarriej

[14] Opcit, Otje Salman dan Anthon F. Susanto, hlm. 80-81

[15] Lilik Mulyani, Teori Hukum Pembangunan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja,  Sebuah
Kajian Deskriptif Analitis, hlm. 1

[16] Opcit, Satjipto Raharjo, hlm.

[17] Hans Kelsen,, Pengantar Teori Hukum Murn, Nusa Media, Bandung, 2010, hlm. 38

[18] Opcit, Bernard L. Tanya, hlm. 97-98


Definisi dan Teori Hukum menurut Ahli
http://kiteklik.blogspot.co.id/2010/10/definisi-dan-teori-hukum-menurut-ahli.html

Definisi/pengertian tentang “hukum”,dapat kita temui dari kamus,


ensiklopedi ataupun dari suatu aturan perundang-undangan.Untuk melihat apa yang dimaksud
dengan hukum, berikut akan diurai definisi “hukum” dari beberapa aliran pemikiran dalam ilmu
hukum yang ada, sebab timbulnya perbedaan tentang sudut pandang orang tentang apa itu
“hukum” salah satunya sangat dipengaruhi oleh aliran yang melatarbelakanginya.

Aliran Sosiologis

Roscoe Pound, memaknai hukum dari dua sudut pandang, yakni:


1. Hukum dalam arti sebagai tata hukum (hubungan antara manusia dengan individu lainnya,
dan tingkah laku para individu yang mempengaruhi individu lainnya, atau tata sosial, atau tata
ekonomi).

2. Hukum dalam arti selaku kumpulan dasar-dasar kewenangan dari putusan-putusan


pengadilan dan tindakan administratif (harapan-harapan atau tuntutan-tuntutan oleh manusia
sebagai individu ataupun kelompok-kelompok manusia yang mempengaruhi hubungan mereka
atau menentukan tingkah laku mereka).
Hukum bagi Rescoe Pound adalah sebagai “Realitas Sosial” dan negara didirikan demi
kepentingan umum & hukum adalah sarana utamanya.

Jhering: Law is the sum of the condition of social life in the widest sense of the term, as secured
by the power of the states through the means of external compulsion (Hukum adalah sejumlah
kondisi kehidupan sosial dalam arti luas, yang dijamin oleh kekuasaan negara melalui cara
paksaan yang bersifat eksternal).

Bellefroid: Stelling recht is een ordening van het maatschappelijk leven, die voor een bepaalde
gemeenschap geldt en op haar gezag is vastgesteid (Hukum yang berlaku di suatu masyarakat
mengatur tata tertib masyarakat dan didasarkan atas kekuasaan yang ada di dalam masyarakat
itu).

Aliran Realis
Holmes: The prophecies of what the court will do… are what I mean by the law (apa yang
diramalkan akan diputuskan oleh pengadilan, itulah yang saya artikan sebagai hukum).

Llewellyn: What officials do about disputes is the law it self (apa yang diputuskan oleh seorang
hakim tentang suatu persengketaan, adalah hukum itu sendiri).

Salmond: Hukum dimungkinkan untuk didefinisikan sebagai kumpulan asas-asas yang diakui
dan diterapkan oleh negara di dalam peradilan. Dengan perkataan lain, hukum terdiri dari
aturan-aturan yang diakui dan dilaksanakan pada pengadilan.

Aliran Antropologi

Schapera: Law is any rule of conduct likely to be enforced by the courts (hukum adalah setiap
aturan tingkah laku yang mungkin diselenggarakan oleh pengadilan).

Gluckman: Law is the whole reservoir of rules on which judges draw for their decisions (hukum
adalah keseluruhan gudang-aturan di atas mana para hakim mendasarkan putusannya).

Bohannan: Law is that body of binding obligations which has been reinstitutionalised within the
legal institution (hukum adalah merupakan himpunan kewajiban-kewajiban yang telah
dilembagakan kembali dalam pranata hukum).

Aliran Historis

Karl von Savigny: All law is originally formed by custom and popular feeling, that is, by silently
operating forces. Law is rooted in a people’s history: the roots are fed by the consciousness, the
faith and the customs of the people (Keseluruhan hukum sungguh-sungguh terbentuk melalui
kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam.
Hukum berakar pada sejarah manusia, dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan
dan kebiasaan warga negara.

Aliran Hukum Alam

Aristoteles: Hukum adalah sesuatu yang berbeda daripada sekedar mengatur dan
mengekspressikan bentuk dari konstitusi; hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku para
hakim dan putusannya di pengadilan dan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar.

Thomas Aquinas: Hukum adalah suatu aturan atau ukuran dari tindakan-tindakan, dalam hal
mana manusia dirangsang untuk bertindak atau dikekang untuk tidak bertindak.

Jhon Locke: Hukum adalah sesuatu yang ditentukan oleh warga masyarakat pada umumnya
tentang tindakan-tindakan mereka, untuk menilai/mengadili mana yang merupakan perbuatan
yang jujur dan mana yang merupakan perbuatan yang curang.

Emmanuel Kant: Hukum adalah keseluruhan kondisi-kondisi dimana terjadi kombinasi antara
keinginan-keinginan pribadi seseorang dengan keinginan-keinginan pribadi orang lain, sesuai
dengan hukum-hukum tentang kemerdekaan.

Aliran Positivis

Jhon Austin: Hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak langsung, dari
pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang
independen, dimana otoritasnya merupakan otoritas tertinggi.

Blackstone: Hukum adalah suatu aturan tindakan-tindakan yang ditentukan oleh orang-orang
yang berkuasa bagi orang-orang yang dikuasi, untuk ditaati.

Hans Kelsen: Hukum adalah suatu perintah memaksa terhadap tingkah laku manusia. Hukum
adalah kaidah-kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi.

Teori Hukum
1. Prof Sahardjo : sebagai alat mengayomi masyarakat

2. G. Niemeyer : alat mengatur kegiatan manusia

3. L. Pospisil : alat untuk mengendalikan masyarakat kearah yang tertib

4. Roscoe Pound : Tool Of Social Engineering = alat untuk melakukan perubahan pola piker
masyarakat

5. Teori Terpadu : Four In One = hukum sebagai alat mengayomi mengatur , mengendalikan dan
mengubah masyarakat

6. Teori Etis : isi hukum semata-mata harus di tentukan oleh kesadaran etis kita (rasa etika )
mengenai apa adil dan apa yang tidak adil . aristoteles menganut teori ini dalam bukunya
rhetorica & rica necomachea berpendapat “tujuan hokum itu semata-mata untuk mewujudkan
keadilan . Menurut dia keadilan terbagi 2 jenis :

1. keadilan distributive : keadilan yang memberikan kepada setiap orang bagian sesuai
jasanya ,atas dasar prinsip kesebandingan ( bukan sama rata) 
2. keadilan komutatif : memberikan kepada setiap orang sama banyaknya tanpa mengingat
jasanya

7. Teori Utilitas : hukum bertujuan mewujudkan apa yng berfaedah , “kebahagian terbesar
untuk jumlah
terbanyak” .“The greatest happiness for the greatest number” , hukum bisa dikatakan berhasil
apabila
sebanyak mungkin dapat mewujudkan keadilan ( Jeremy Betham dalam bukunya the principles
of morals
and legislation 1780M).

Hukum dengan kekuasaan saling melengkapi,ucapan Prof . Muhtar Khusumahatmadja yang


sangat popular.“hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan , kekuasaan tanpa hukum adalah
kesewenang-wenangan. 

Kelemahan teori ETIS & UTILITAS adalah terlalu berat sebelah , terlalu mengagungkan keadilan
dengan mengabaikan kepastian hukum. Dengan terabaikannya kepastian hukum akan
terganggu ketertiban , padahal dengan terwujudnya ketertiban maka akan terwujud pula
keadilan.

Kelemahan teori ini memunculkan teori pengayoman (pendapat menteri kehakiman Suhardjo)
Teori ini berpendapat bahwa :

tujuan hukum adalah mengayomi kepentingan manusia secara aktif (mendapatkan kondisi
kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar ) dan pasip (
mengupayakan pencegahan tindakan sewenang-wenang dan penyelah gunaan
hak)Pengayoman meliputi :

1. mewujudkan ketertiban dan keteratuaran


2. mewujudkan kedamaian sejati
3. mewujudkan keadialan
4. mewujudkan kesejahteraan dan keadilan social warga masyarakat selama tidak melanggar
hak dan merugikan orang lain tanpa rasa khawatir akan :
a. secara bebas melakukan apa yang dianggap benar
b. secara bebas dapat mengembangkan bakat dan minat
c. secara bebas merasa selalu mendapat perlakuan wajar
Teori Hukum Murni
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Teori Hukum Murni (bahasa Jerman: Reine Rechtslehre) adalah sebuah buku oleh ahli teori
hukum Hans Kelsen, pertama kali diterbitkan pada tahun 1934 dan dalam pengembangan yang
sangat diperluas di "edisi kedua" (secara efektif di buku baru) pada tahun 1960. Edisi kedua
muncul dalam terjemahan bahasa Inggris pada tahun 1967, sebagai Teori Hukum Murni, [1] edisi
pertama dalam terjemahan bahasa Inggris pada tahun 1992, sebagai Pengantar Masalah Teori
Hukum. Teori yang diusulkan dalam buku ini mungkin telah menjadi teori yang paling
berpengaruh dari hukum yang dihasilkan selama abad ke-20. Hal ini, setidaknya, menjadi salah
satu poin yang tinggi dari teori hukum modernis.[2]

Hans Kelsen Pengantar Teori Hukum Murni

Dua edisi buku Kelsen dipisahkan dalam rentang dua puluh enam tahun, dan edisi kedua (1960)
hampir dua kali panjangnya dari yang pertama dalam detail tersebut dalam memperesentasikan.
Terminologi asli yang diperkenalkan dalam edisi pertama sudah hadir dalam banyak tulisan
Kelsen dari tahun 1920, dan juga menjadi sasaran diskusi di pers kritis pada dekade itu juga,
sebelum pertama kali diterbitkan pada tahun 1934. Meskipun edisi kedua secara signifikan hadir
lebih lama, dua edisi tersebut memiliki banyak kesamaan isi, dan banyak dari materi yang
dibahas dalam volume tersebut konsisten tidak hanya dengan satu sama lain, tetapi juga dengan
banyak tulisan Kelsen sebelumnya dari tahun 1910-an dan 1920-an.

Norma Dasar

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah system Norma. Norma adalah pernyataan yang
menekankan aspek “seharusnya” atau das solen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang
apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi manusia yang deliberatif.
Kelsen meyakini David Hume yang membedakan antara apa yang ada (das sein) dan apa yang
“seharusnya”, juga keyakinan Hume bahwa ada ketidakmungkinan pemunculan kesimpulan dari
kejadian faktual bagi das solen. Sehingga, Kelsen percaya bahwa hukum, yang merupakan
pernyataan-pernyataan “seharusnya” tidak bisa direduksi ke dalam aksi-aksi alamiah.

Kemudian, bagaimana mungkin untuk mengukur tindakan-tindakan dan kejadian yang bertujuan
untuk menciptakan sebuah norma legal? Kelsen menjawab dengan sederhana ; kita menilai
sebuah aturan “seharusnya” dengan memprediksinya terlebih dahulu. Saat “seharusnya” tidak
bisa diturunkan dari “kenyataan”, dan selama peraturan legal intinya merupakan pernyataan
“seharusnya”, di sana harus ada presupposition yang merupakan pengandaian.
Sebagai oposisi dari norma moral yang merupakan deduksi dari norm moral lain dengan
silogisme, norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak (act of will). Sebagaimana sebuah
tindakan hanya dapat menciptakan hukum, bagaimana pun, harus sesuai dengan norma hukum
lain yang lebih tinggi dan memberikan otorisasi atas hukum baru tersebut. Kelsen berpendapat
bahwa inilah yang dimaksud sebagai Basic Norm yang merupakan presupposition dari sebuah
validitas hukum tertinggi.

Kelsen sangat skeptis terhadap teori-teori moral kaum objektivis, termasuk Immanuel Kant.
Kedua, Kelsen tidak mengklain bahwa presupposition dari Nrma Dasar adalah sebuah kepastian
dan merupakan kognisi rasional. Bagi Kelsen, Norma Dasar adalah bersifat optional. Senada
dengan itu, berarti orang yang percaya bahwa agama adalah normatif maka ia percaya bahwa
“setiap orang harus percaya dengan perintah Tuhan”. Tetapi, tidak ada dalam sebuah nature yang
akan memaksa seseorang mengadopsi satu perspektif normatif.

Kelsen mengatakan bahkan dalam atheisme dan anarkhisme, seseorang harus melakukan
presuppose Norma Dasar. Meskipun, itu hanyalah instrumen intelektual, bukan sebuah
komitmen normatif, dan sifatnya selalu optional.

Nilai Normatif Hukum

Nilai normatif Hukum bisa diperbandingkan perbedaannya dengan nilai normatif agama. Norma
agama, sebagaimana norma moralitas, tidak tergantung kepada kepatuhan aktual dari para
pengikutnya. Tidak ada sanksi yang benar-benar langsung sebagaimana norma hukum. Misalnya
saja ketika seorang lupa untuk berdoa di malam hari, maka tidak ada instrumen langsung yang
memberikan hukuman atas ketidakpatuhannya tersebut.

Validitas dari sistem hukum bergantung dari paktik-pratik aktualnya. Dikatakannya bahwa
“perturan legal dinilai sebagai sesuatu yang valid apabila normanya efektif (yaitu secara aktual
dipraktikkan dan ditaati)”. Lebih jauh lagi, kandungan sebenarnya dari Norma Dasar juga
bergantung pada keefektifitasannya. Sebagaimana yang telah berkali-kali ditekankan oleh
Kelsen, sebuah revolusi yang sukses pastilah revolusi yang mampu mengubah kandungan isi
Norma Dasar.

Perhatian Kelsen pada aspek-aspek normatifitasan ini dipengaruhi oleh pandangan skeptis David
Hume atas objektifitasan moral, hukum, dan skema-skema evaluatif lainnya. Pandangan yang
diperoleh seseorang, utamanya dari karya-karya akhir Hans Kelsen, adalah sebuah keyakinan
adanya sistem normatif yang tidak terhitung dari melakuan presuppose atas Norma Dasar. Tetapi
tanpa adanya rasionalitas maka pilihan atas Norma Dasar tidak akan menjadi sesuatu yang kuat.
Agaknya, sulit untuk memahami bagaimana normatifitas bisa benar-benar dijelaskan dalam basis
pilihan-pilihan yang tidak berdasar.

Hans Kelsen meninggal dunia pada 19 April 1973 di Berkeley. Kelsen meninggalkan hampir 400
karya, dan beberapa dari bukunya telah diterjemahkan dalam 24 bahasa. Pengaruh Kelsen tidak
hanya dalam bidang hukum melalui Pure Theory of Law, tetapi juga dalam positivisme hukum
kritis, filsafat hokum, sosiologi, teori politik dan kritik ideology. Hans Kelsen telah menjadi
referensi penting dalam dunia pemikiran hukum. Dalam hukum internasional misalnya, Kelsen
menerbitkan Principles of International Law. Karya tersebut merupakan studi sistematik dari
aspek-aspek terpenting dari hukum internasional termasuk kemungkinan adanya pelanggaran
atasnya, sanksi-sanksi yang diberikan, retaliasi, spektrum validitas dan fungsi esensial dari
hukum internasional, pembuatan dan aplikasinya.

Catatan

1. ^ Berkeley, U. California P., 1967. The title page has correctly Pure Theory of Law, but the
paperback cover has wrongly The Pure Theory of Law. This has been corrected, for the
paperback cover as well as the hardback dustjacket, in a reprint by another publisher "by
arrangement with" the Hans Kelsen-Institut: Clark, NJ; The LawbookExchange; 2004 ISBN 978-1-
58477-578-2 (p), ISBN 978-1-58477-206-9 (h).
2. ^ Both editions will be included in forthcoming volumes in the Hans Kelsen Werke. A fuller and
more accurate translation of the second edition is also planned. The current translation, in
omitting many footnotes, obscures the extent to which the Pure Theory of Law is both
philosophically grounded and responsive to earlier theories of law.
Teori – Teori Hukum
https://gunawansriguntoro.wordpress.com/2012/01/03/teori-teori-hukum/

PENDAHULUAN

Teori hukum bertujuan untuk menjelaskan kejadian-kejadian dalam bidang hukum dan mencoba
untuk memberikan penilaian. Teori hukum dipelajari sudah sejak zaman dahulu oleh para ahli
hukum Yunani maupun Romawi dengan membuat berbagai pemikiran tentang hukum sampai
kepada akar-akar filsafatnya.

Sebelum abad ke-19, teori hukum merupakan produk sampingan yang terpenting dari filsafat
agama, etika, dan politik. Para ahli fikir hukum terbesar pada awalnya adalah ahli-ahli filsafat,
ahli-ahli agama, ahli-ahli politik. Perubahan terpenting filsafat hukum dari para pakar filsafat
atau ahli politik kepada filsafat hukum dari para ahli hukum barulah terjadi pada akhir-akhir ini
yaitu setelah adanya perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi teknik dan penelitian
hukum. Teori-teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori filsafat dan politik umum,
sedangkan teori-teori hukum modern dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli
hukum sendiri. Perbedaannya terletak dalam metode dan penekanannya. Teori hukum dari ahli
hukum modern didasarkan atas keyakinan tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang
hukum itu sendiri.

MACAM – MACAM TEORI HUKUM

1. Teori Theokrasi.

Teori Theokrasi dikemukakan oleh Friederich Stahl (Jerman). Teori ini menganggap bahwa
hukum itu adalah kemauan Tuhan, jadi yang menjadi dasar dari kekuatan hukum adalah
kepercayaan kepada Tuhan. Tinjauan tentang hukum dikaitkan dengan kepercayaan dan agama,
dimana perintah-perintah Tuhan tersebut ditulis di dalam kitab-kitab suci. Teori Theokrasi ini di
Barat diterima sampai zaman Renaissance (abad ke-17).

1. Teori Perjanjian Masyarakat (Contract Social) / Teori Kedaulatan Rakyat.

Pada abad ke-18, Jean Jacques Rousseau memperkenalkan teorinya yang disebut Perjanjian
Masyarakat (Contract Social) atau Kedaulatan Rakyat. Teori ini menganggap bahwa dasar
terjadinya suatu negara adalah perjanjian yang diadakan oleh dan antara anggota masyarakat
untuk mendirikan suatu negara. Dalam bukunya yang berjudul “Le contract social” (1972),
Rosseau mengemukakan bahwa negara bersandar atas kemauan rakyat, demikian pula halnya
semua peraturan perundang-undangan adalah penjelmaan kemauan rakyat. Orang menaati
hukum karena orang sudah berjanji menaati hukum. Penganut dari teori ini diantaranya Thomas
Hobbes, Montesquieu, dan John Locke. Hobbes menambahkan bahwa keadaan alamiah sama
sekali bukanlah keadaan yang aman, adil dan makmur. Namun sebaliknya, keadaan alamiah
merupakan suatu keadaan sosial yang kacau, tanpa hukum yang dibuat manusia secara sukarela,
tanpa pemerintah, dan tanpa ikatan-ikatan sosial antar individu. Dalam keadaan yang demikian,
yang berlaku adalah hukum rimba dimana yang terkuat adalah yang menang. Manusia seakan-
akan merupakan binatang yang senantiasa berada dalam keadaan bermusuhan, terancam oleh
sesamanya dan menjadi mangsa bagi manusia yang mempunyai fisik yang lebih kuat dari
padanya. Keadaan tersebut dilukiskan dalam peribahasa latin “homo homini lupus” (= manusia
yang satu merupakan binatang buas bagi manusia yang lain).

Dalam kepustakaan ilmu politik, dikenal ada 2 (dua) macam perjanjian masyarakat, yaitu:

– Perjanjian masyarakat yang sebenarnya (pactum uniois / pacte d’ association / social contract
proper), adalah perjanjian masyarakat dengan membentuk badan kolektif bersama yang akan
menampung individu-individu yang selanjutnya bersama-sama mengadakan perjanjian. Dengan
perjanjian inilah maka terbentuklah societas atau masyarakat manusia.

– Perjanjian pemerintahan (pactum subjectionis / pacte de gouverment / contract of government).


Bersamaan atau setelah pembentukan societas tersebut, diadakan pula perjanjian antara manusia
dengan seorang atau sekelompok orang yang dengan syarat-syarat tertentu, yang harus dihormati
dan ditaati oleh kedua belah pihak. Selanjutnya berdasarkan perjanjian ini, seseorang atau
kelompok orang tersebut diberi mandat untuk menjalankan kekuasaan atas masyarakat/rakyat.
Perjanjian ini melahirkan Pemerintahan atau Negara.

Menurut Thomas Hobbes (1588-1679), dalam pactum subjectionis rakyat telah menyerahkan
seluruh haknya pada raja dan hak yang telah diserahkan tersebut tidak dapat ditarik kembali. Jadi
menurut Hobbes, negara itu seharusnya berbentuk Kerajaan Mutlak.

Sedangkan menurut John Locke (1632-1704), dalam pactum subjectionis tidak seluruh hak
manusia yang diserahkan kepada penguasa, melainkan ada hak-hak yang diberikan oleh hukum
alam yang tetap melekat pada diri setiap manusia. Hak tersebut adalah hak asasi manusia yang
terdiri dari hak hidup, hak kemerdekaan, dan hak milik, dimana hak-hak tersebut harus
dilindungi oleh raja dan dijamin dalam Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, menurut John
Locke, negara itu seharusnya berbentuk Kerajaan yang berundang-undang dasar.

3. Teori Kedaulatan Negara.

Tokoh-tokoh teori Kedaulatan Negara adalah Jellineck (Jerman), Paul Laband (Jerman), dan
Hans Kelsen (Austria). Teori ini muncul pada abad ke-19 dan menentang teori Perjanjian
Rakyat.

Teori Kedaulatan Negara menganggap bahwa:

– Hukum adalah kehendak negara. Hukum bukan kemauan bersama anggota masyarakat, dan
negara mempunyai kekuatan tak terbatas;
– Hukum ditaati orang karena negara menghendakinya.

4. Teori Kedaulatan Hukum.

Teori Kedaulatan Hukum muncul pada abad ke-20 dan menentang teori Kedaulatan Negara.
Tokoh-tokohnya adalah Cruot (Perancis), Duguit (Perancis), dan Krabbe (Belanda). Teori ini
berpendapat bahwa:

– Hukum berasal dari perasaan hukum yang ada pada sebagian besar anggota masyarakat;

– Hukum mewujudkan perasaan hukum sebagian besar anggota masyarakat;

– Oleh karenanya hukum ditaati oleh anggota masyarakat.

 Dalam bukunya yang berjudul “Die Lehre der Rechtssouvereinteit”, Krabbe menyebutkan
bahwa:

– Rasa keadilanlah yang merupakan sumber hukum;

– Hukum hanya apa yang memenuhi rasa keadilan dari orang terbanyak;

– Peraturan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan orang terbanyak tidak dapat mengikat.
Peraturan seperti itu bukan merupakan hukum, meskipun masih ditaati orang atau dipaksakan;

– Masyarakat mempunyai perasaan bagaimana hukum itu seharusnya, dan karena itulah hukum
itu ada. Dan hanya kaidah yang timbul dari perasaan hukum yang mempunyai kewibawaan.

5. Teori Positivisme dan Utilitarianisme.

Abad ke-19, H.L.A Hart (1907), mengemukakan arti dari positivisme adalah sebagai berikut:

1. Hukum adalah perintah;


2. Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan. Analisis
yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis serta berlainan pula dari suatu
penilaian kritis;
3. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada
terlebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas.
4. Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh
penalaran rasional, pembuktian atau pengujian;
5. Hukum sebagaimana diundangkan dan ditetapkan harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang
seharusnya diciptakan atau yang diinginkan.

Namun berbeda dengan John Austin, yang menyatakan bahwa :

1. Hukum adalah sejumlah perintah yang keluar dari seorang yang berkuasa di dalam negara
secara memaksakan, dan biasanya ditaati;
2. Satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara. Sumber-sumber
yang lain disebut sebagai sumber yang lebih rendah (subordinate sources).

Menurut John Austin, ilmu hukum diartikan sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat
mencukupi dirinya sendiri, dan tugas dari ilmu hukum hanyalah untuk menganalisa unsur-unsur
yang secara nyata ada dari sistem hukum modern. Sekalipun diakui ada unsur-unsur yang
bersifat historis didalamnya, namun unsur-unsur tersebut telah diabaikan dari perhatian. Hukum
adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat di dalamsuatu negara.

Jeremy Bentham (1748-1832), seorang penganut utilitarian yang menggunakan pendekatan


tersebut ke dalam kawasan hukum, yaitu sebagai berikut:

1. Bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan
kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan;
2. Tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan paling besar dari
sejumlah terbesar rakyat.

John Stuart Mill berpendapat hampir sama dengan Jeremy Bentham, yaitu sebagai berikut:

1. Bahwa tindakan itu hendaklah ditujukan kepada tercapainya kebahagiaan;


2. Standar keadilan hendaknya didasarkan kepada kegunaannya, namum asal usul kesadaran akan
keadilan itu tidak ditemukan pada kegunaan, melainkan pada dua sentimen, yaitu rangsangan
untuk mempertahankan diri dan perasaan simpati;
3. Keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang
diderita, baik oleh diri sendiri, maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita.
Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas dasar
kepentingan individual melainkan juga kepada kepentingan orang lain yang kita samakan
dengan diri kita sendiri. Hakikat keadilan dengan demikian mencakup semua persyaratan moral
yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.

Sedangkan Rudolph von Jhering, seorang tokoh yang sering disebut sebagai “social
utilitarianism”, mengembangkan segi-segi positivisme dari John Austin dan menggabungkannya
dengan prinsip-prinsip utilitarianisme dari Jeremy Bentham dan John Stuart Mill.

Jhering memusatkan perhatian filsafat hukumnya kepada konsep tentang “tujuan”, yaitu sebagai
berikut:
1. Tujuan adalah pencipta dari seluruh hukum, tidak ada suatu peraturan hukum yang tidak
memiliki asal-usulnya pada tujuan ini, yaitu pada motif yang praktis. Menurutnya hukum dibuat
dengan sengaja oleh manusia untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diinginkan;
2. Diakui bahwa hukum itu mengalami suatu perkembangan sejarah, namun menolak pendapat
para teoritisi aliran sejarah yang menyatakan bahwa hukum itu tidak lain merupakan hasil dari
kekuatan-kekuatan historis murni yang tidak direncanakan dan tidak disadari;
3. Hukum dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan ditujukan kepada tujuan tertentu.

6. Teori Hukum Murni.

Tokoh teori Hukum Murni adalah Hans Kelsen (Austria). Bukunya yang terkenal berjudul
“Reine Rechslehre” (ajaran hukum murni). Teori hukum murni ini lazim dikaitkan dengan
Mazhab Wina. Mazhab Wina mengetengahkan teori hukum pencarian pengetahuan yang murni,
dalam arti yang paling tidak mengenal kompromi, yaitu pengetahuan yang bebas dari naluri,
kekerasan, keinginan-keinginan dan sebagainya.
Teori hukum murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan
pembicaraan tentang etika.

Dasar-dasar pokok teori Hukum Murni adalah sebagai berikut:

1. Sebagaimana tujuan dari setiap ilmu, tujuan teori Hukum murni adalah untuk mengurangi
kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity);
2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak atau keinginan, merupakan pengetahuan tentang
hukum yang ada dan bukan tentang hukum yang seharusnya ada;
3. Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam;
4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan
efektifitas norma-norma hukum;
5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, yaitu suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang
berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik;
6. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara
hukum yang mungkin dan hukum yang ada.

Salah satu ciri yang menonjol pada teori Hukum Murni adalah adanya suatu paksaan. Setiap
hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa. Negara dan hukum dinyatakan
identik, sebab negara hanya suatu sistem perilaku manusia dan pengaturan terhadap tatanan
sosial. Kekuasaan memaksa ini tidak berbeda dengan tata hukum, dengan alasan bahwa di dalam
suatu masyarakat hanya satu kekuasaan yang memaksa pada saat yang sama. Bagian lain dari
teori Hans Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm, yaitu suatu dalil
yang akbar yang tidak dapat ditiadakan yang menjadi tujuan dari semua jalan hukum
bagaimanapun berputar-putarnya jalan itu. Grundnorm merupakan induk untuk melahirkan
peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu.
KESIMPULAN

Dalam perkembangannya, teori hukum didefinisikan secara beragam antara satu tokoh dengan
tokoh yang lain. Setiap tokoh memberikan definisi hukum dari sudut pandang yang berbeda
dengan menggunakan pendekatan disiplin ilmu masing-masing. Namun dari semua teori tersebut
dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat persamaan bahwa hukum adalah sebagai suatu cara atau
sistem pengaturan tatanan sosial yang bertujuan untuk menciptakan keteraturan dalam
masyarakat.

TEORI-TEORI HUKUM MENURUT PARA AHLI

http://salimtidore.blogspot.co.id/2013/11/teori-teori-hukum-menurut-para-ahli.html

TEORI – TEORI SOSIOLOGI HUKUM


MENURUT PARA AHLI
HANS KALSEN ( TEORI HUKUM MURNI )
Teori Hukum Murni dari Hans Kelsen muncul setelah munculnya teori hukum kodrat,
pemikiran tentang moral yang disebut "the Golden Rule", mazhab sejarah hukum, mazhab
utilitarianisme hukum, mazhab sosiologi hukum, Analytical Jurisprudence dari Austin dan
mazhab realisme hukum Amerika Serikat dan Skandinavia.

Teori Hukum Murni adalah suatu teori positivistik di bidang hukum dan merupakan kritik
terhadap teori hukum kodrat, teori tradisional di bidang hukum, sosiologi hukum dan Analytical
Jurisprudence. Teori Hukum Murni juga tidak sependapat dengan pemikiran realisme hukum
Amerika Serikat. Teori Hukum Murni melepaskan hukum dari relik-relik animisme yang
menganggap alam sebagai legislator dan melepaskan hukum dari karakter ideologis
menyangkut konsep keadilan dan atau value judgment.

Dalam kritiknya terhadap sosiologi hukum dan teori tradisional di bidang hukum, Teori
Hukum Murni melepaskan hukum dari bidang empiris, pertama-tama bidang poiltik, dan juga
dari karakter ideologis menyangkut value judgment dan konsep keadilan yang dianut bidang
politik. Teori Hukum Murni memandang hukum sebagai norma pada tataran the Ought / das
Sollen, yang terpisah dari bidang empiris, karena Austin mengajarkan bahwa hukum adalah
perintah yang berada pads tataran the Is / das Seitz di bidang empiris.

Dengan demikian, Teori Hukum Murni membebaskan hukum dari anasir-anasir non-
hukum, seperti misalnya psikologi, sosiologi, etika ( filsafat moral ) dan politik. Pemurnian
hukum dari anasir-anasir non-hukurn tersebut dilakukan dengan menggunakan filsafat neo-
kantian mazhab Marburg sebagai daftar pemikirannya. Neo-kantianisme mazhab Marburg
memisahkan secara tajam antara the Ought / das Sollen dengan the Is I das Sin, dan, antara
bentuk ( Form ) dengan materi ( matter ). Sejalan dengan itu, Kelsen memisahkan secara tajam
antara norma hukum pada tataran the Ought I das Sollen dengan bidang empiris pada tataran
the Is / das Seitz, dan memisahkan secara tajam antara hukum formal dengan hukum materiil.

Teori Hukum Murni hanya mengakui hukum formal sebagai obyek kajian kognitif ilmu
hukum, sedangkan hukum materiil tidak dicakupkan dalam bidang obyek kajian ilmu hukum,
karena hukum materiil berisikan janji keadilan yang berada di bidang ideologis, yang pada
tataran praktis dilaksanakan di bidang politik. Teori Hukum Murni memusatkan kajiannya hanya
pada hukum formal berdasarkan keabsahannya, yang membentuk suatu sistem hierarki norma
hukum dengan puncak "Grundnorm".

Oleh karena kajiannya hanya menyangkut hukum formal berdasarkan keabsahan, maka
Teori Hukum Mumi hanya melihat hukum dari aspek yuridis formal semata, artinya teori
tersebut mengabaikan hukum materiil yang di dalamnya terdapat cita hukum dalam konsep
keadilan dan pertimbangan moral. Karena hanya menekankan pada aspek yuridis formal, Teori
Hukum Murni sangat potensial menimbulkan permasalahan kekuasaan berlebihan bagi organ
pembuat dan/atau pelaksana hukum, dan salah satu alternatif penyelesaian masalah tersebut
adalah diperlukannya pedoman dan/atau pembatasan lebih rinci dalam penerapan norma
hukum umum atau pembuatan norma hukum kasuistis.

Karena hukum dipisahkan dari moral, maka hukum sangat potensial mengesampingkan
atau melanggar kemanusiaan, dan agar hukum tidak melanggar kemanusiaan, hukum harus
mengambil pertimbangan dari aspek moral. Walaupun mengadung kelemahan, stufentheory
dalam Teori Hukum Murni juga membawa manfaat bagi bidang sistem tata hukum. Teori
Hukum Murni juga merupakan suatu teori negara hukum dalam suatu versi tersendiri, yang
berupaya mencegah kekuasaan totaliter pada satu sisi dan mencegah anarkisme murni pada
sisi lain.

P.NONET & P. SELZINCK ( HUKUM RESPONSIVE )


P. Nonet dan P. Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat,
yaitu:

  Hukum Represif, hukum sebagai pelayan kekuasaan represif


  Hukum Otonom, hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan
melindungi integritas dirinya
  Hukum Responsif hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan
aspirasi sosial

Pemikiran hukum progresif menurut saya tak lepas dari munculnya hukum responsive yang
dicetuskan nonet dan selznick. Hukum progresif lahir hingga melampaui eksistensi hukum
positif (hukum yang berlaku saat ini), sosiologi hukum, realisme hukum, dan seterusnya.
Pemikiran humanistik dan mekanistik (sistem) disatukan dengan jernih oleh Satjipto Rahardjo
dalam mengkonsepsikan hukum. Latar belakang Prof Tjip sebagai begawan hukum yang
mengedepankan ide sosiologi hukum dalam setiap pemikirannya. Penegakan hukum harus
diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Berbeda dengan teori murni hans kelsen yang
menghilangkan anasir non hukum dalam kajian hukum. Bahkan hukum harus bebas dari anasir
sosial maupun politik yang kerap kali menyelimuti setiap produk hukum.

Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif,


yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi
individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari
keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum tersebut bukan kehendak dari
penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya. Oleh karena itu hendaklah kita berusaha untuk
mewujudkan ide serta gagasan progresif mengenai hukum ini. Hukum dibuat untuk
kebahagiaan manusia dan manusia tidak hidup untuk mematuhi hukum.
ROBERT SEIDMAN ( THE LAW OF THE NON
TRANSFERABILITY OF Law )
Teori Robert Seidman tentang “the Law of the non transferability of law” ( hukum
tidak dapat ditransfer begitu saja dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya ). Jadi
menurut Seidman, untuk menyesuaikan diri dengan perubahan, kita tidak dapat begitu saja
mentransfer hukum asing ke dalam masyarakat kita untuk langsung diberlakukan. Mungkin saja
perangkat hukum asing itu efektif di masyarakatnya sendiri, karena antara perangkat hukum
asing itu dengan kebutuhan masyarakatnya sudah selaras, antara hukum dengan pemikiran
warga masyarakatnya serasi, namun belum tentu cocok untuk diterapkan pada masyarakat lain,
yang berbeda perangkat sosialnya, berbeda nilai-nilai sosial yang dianutnya, berbeda stratifikasi
sosialnya, berbeda taraf pemikiran warga masyarakatnya. Bekerjanya Hukum menurut R.
Seidman, antara lain :

1.    Setiap peraturan memberitahu bagaimana seorang pemegang peranan (role occupant) itu
diharapkan bertindak. Bagaimana seorang itu akan bertindak sebagai respons terhadap
peraturan merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya,
aktifitas dari lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan komplek sosial, politik dan lain-
lainnya mengenai dirinya.
2.    Bagaiman lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan
hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-
sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenali diri
mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peranan.
3.    Bagaimana para pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-
peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan komplek
kekuatan sosia, politik, ideologis dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik
yang datang dari pemegang peranan serta birokrasi.

LAWRENCE FRIEDMAN ( TRIANGULAR LEGAL SYSTEM )


Menurut Lawrence M. Friedman dalam buku Dasar-Dasar Sosiologi Hukum (Sabian
Utsman,2009:356) ada tiga elemen penting yang dapat menentukan berfungsinya suatu hukum
yaitu struktur, substansi, dan budaya hukum. Struktur hukum yang baik akan berjalan dengan
baik apabila didukung dengan substansi hukum yang baik, begitu pula sebaliknya. Kedua
elemen tersebut akan berjalan baik apabila diikuti budaya hukum yang baik dari masyarakat.
Jika budaya hukum dari masyarakat tidak dapat mendukung kedua elemen tersebut maka tidak
ada artinya. Substansi hukum meliputi : aturan, norma, & pola perilaku (hukum yang tertulis &
hukum yang berlaku – hidup dalam masyarakat).

Menurut Lawrence, tiga elemen penting yang menentukan berfungsi atau tidaknya
hukum antara lain :

1.    Struktur Hukum meliputi : tatanan daripada elemen lembaga hukum (kerangka organisasi &
tingkatan dr lembaga kepolisian, kejaksaan, kehakiman, pemasyarakatan, kepengacaraan).
2.    Budaya hukum meliputi : nilai-nilai, norma-norma & lembaga-lembaga yg menjadi dasar
daripada sikap perilaku hamba hukum.
3.    substansi hukum meliputi : peraturan - peraturan atau regulasi yang di buat oleh lembaga yang
berwenang.

JHON RAWLS ( THEORY OF JUSTICE )


Teori Keadilan (John Rawls,2006:15) menyebutkan salah satu bentuk keadilan sebagai
fairness, yaitu memandang netral kepada semua pihak yang melanggar hukum. Dapat
dipahami bahwa aparat penegak hukum harus bersikap netral kepada semuanya tanpa
memandang atribut sosial yang melekat dalam diri individu baik jabatan, nama baik ataupun
yang lainnya.

Di dalam buku “TJ”, John Rawls mencoba untuk menganalisa kembali permasalahan
mendasar dari kajian filsafat politik dengan merekonsiliasikan antara prinsip kebebasan dan
prinsip persamaan. Rawls mengakui bahwa karyanya tersebut sejalan dengan tradisi kontrak
sosial (social contract) yang pada awalnya diusung oleh pelbagai pemikir kenamaan, seperti
John Locke, Jean Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant. Namun demikian, gagasan sosial
kontrak yang dibawa oleh Rawls sedikit berbeda dengan para pendahulunya, bahkan
cenderung untuk merevitalisasi kembali teori-teori kontrak klasik yang bersifat utilitarianistik dan
intuisionistik.
Dalam hal ini, kaum utilitaris mengusung konsep keadilan sebagai suatu keadaan
dimana masyarakat dapat memperoleh kebaikan dan kebahagiaan secara sama-rata. Rawls
berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial
(social institutions). Akan tetapi, menurutnya, kebaikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat
mengesampingkan atau menggangu rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh
rasa keadilan, khususnya masyarakat lemah. Oleh karena itu, sebagian kalangan menilai cara
pandang Rawls sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”.

Secara spesifik, Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan


dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaannya yang dikenal dengan “posisi asali”
(original position) dan “selubung ketidaktahuan” (veil of ignorance). Sebagaimana pada
umumnya, setiap teori kontrak pastilah memiliki suatu hipotesis dan tidak terkecuali pada
konsep Rawls mengenai kontrak keadilan. Dirinya berusaha untuk memosisikan adanya situasi
yang sama dan setara antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat serta tidak ada pihak yang
memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, seperti misalnya kedudukan, status
sosial, tingkat kecerdasan, kemampuan, kekuatan, dan lain sebagainya. Sehingga, orang-orang
tersebut dapat melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara seimbang.

Kondisi demikianlah yang dimaksud oleh Rawls sebagai “posisi asali” yang bertumpu
pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality),
kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat
(basic structure of society). Hipotesa Rawls yang tanpa rekam historis tersebut sebenarnya
hampir serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Thomas Nagel sebagai “pandangan tidak
darimanapun (the view from nowhere), hanya saja dirinya lebih menekankan pada versi yang
sangat abstrak dari “the State of Nature”.

Sementara itu, konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan oleh Rawls bahwa


setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri,
termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep
atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang. Melalui dua teori tersebut, Rawls
mencoba menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip kesamaan yang adil. Itulah
sebabnya mengapa Rawls menyebut teorinya tersebut sebagai “justice as fairness”.

Rawls menjelaskan bahwa para pihak di dalam posisi asali masing-masing akan
mengadopsi dua prinsip keadilan utama. Pertama, setiap orang memiliki hak yang sama atas
kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas dan kompatibel dengan kebebasan-kebebasan
sejenis bagi orang lain. Kedua, ketidaksamaan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa,
sehingga: (a) diperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak
diuntungkan, dan (b) jabatan-jabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi semua orang dalam
keadaan dimana adanya persamaan kesempatan yang adil.

Prinsip pertama tersebut dikenal dengan “prinsip kebebasan yang sama” (equal liberty
principle), seperti misalnya kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat
dan mengemukakan ekspresi (freedom of speech and expression), serta kebebasan beragama
(freedom of religion). Sedangkan prinsip kedua bagian (a) disebut dengan “prinsip perbedaan”
(difference principle) dan pada bagian (b) dinamakan dengan “prinsip persamaan kesempatan”
(equal opportunity principle). “Prinsip perbedaan” pada bagian (a) berangkat dari prinsip
ketidaksamaan yang dapat dibenarkan melalui kebijaksanaan terkontrol sepanjang
menguntungkan kelompok masyarakat yang lemah. Sementara itu prinsip persamaan
kesempatan yang terkandung pada bagian (b) tidak hanya memerlukan adanya prinsip kualitas
kemampuan semata, namun juga adanya dasar kemauan dan kebutuhan dari kualitas tersebut.
Sehingga dengan kata lain, ketidaksamaan kesempatan akibat adanya perbedaan kualitas
kemampuan, kemauan, dan kebutuhan dapat dipandang sebagai suatu nilai yang adil
berdasarkan persepktif Rawls. Selain itu, prinsip pertama memerlukan persamaan atas hak dan
kewajiban dasar, sementara pada prinsip kedua berpijak dari hadirnya kondisi ketimpangan
sosial dan ekonomi yang kemudian dalam mencapai nilai-nilai keadilan dapat diperkenankan
jika memberikan manfaat bagi setiap orang, khususnya terhadap kelompok masyarakat yang
kurang beruntung (the least advantage).

DONALD BLACK ( TEORI EMPIRIS )


Hukum dapat diamati secara eksternal hukum, dengan mengumpulkan berbagai data dari luar
hukum, yang disebut dengan perilaku hukum (behavior of law), sehingga dapat memunculkan
dalil-dalil tertentu tentang hukum

Diposkan oleh agus salim tidore di 11.08


Home Teori Hukum Ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum

Ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum


Fais Yonas B.
/http://www.infohukum.id/2016/09/ilmu-hukum-teori-hukum-dan-filsafat.html
Ketiga istilah tingkatan hukum ini sangat jarang diekploitasi oleh para
akademisi hukum, padahal ketiga klasifikasi dalam hukum tersebut sangat
berguna bagi ketajaman kajian pada keberadaan hukum. Kita yang menamai
diri pegiat hukum terlalu asyik menghukumi hukum dengan bahasa kaku dan
membosankan, sehingga akibat logisnya susah untuk mendamaikan diri
dengan hukum apalagi mendamaikan realitas dengan hukum yang kerap
dianggap terlampau absurd itu.
Singkatnya, anak hukum yang baru meraba dogmatik hukum dengan seenak
perut menghakimi teori hukum sebagai kebohongan yang penuh
kepentingan, apalagi filsafat hukum yang kerap dianggap sebagai bukan
wilayah hukum karena sifat abstrak dan spekulatifnya. Inilah akibat daripada
sikap superiori tanpa kapasitas terukur atau istilah jelasnya ambisi yang
melampaui kemampuan. Oleh sebab itu, terasa perlu untuk saya sedikit
menyentil (kalau mengulas mungkin tugasnya para profesor dan kutu buku
hukum hahahha) tentang ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum.

Ilmu Hukum (dogmatik hukum)

Ilmu hukum merupakan ilmu yang mempelajari hukum khususnya hukum


positif, mungkin boleh saya katakan episteme sempit. Lingkup terbatas inilah
yang kemudian dinamakan sebagai dogmatik hukum yang berarti
mempelajari dogma-dogma atau ajaran-ajaran hukum. Ilmu hukum atau
dogmatik hukum secara wilayah sifat bertautan dengan unsur konkret
sehingga cenderung kaku.

Menurut sejarah dan peta peradaban dinamikanya, ilmu hukum lahir pada
masa setelah abad pertengahan. Yah, masa ketika rasionalisme dan
modernisme menjadi identitas peradaban dunia. Yang lebih penting lagi ilmu
hukum bercirikan dua hal penting yaitu normatif dan empiris yang tercermin
di dalam terminologi das sollen dan das sein.

Pada tatanan ilmu hukum ini, hukum secara ilmu pengetahuan hanya berada
pada tatanan yang deskriptif atau mendeskripsikan doga dan ajaran hukum
positif. Itulah mengapa pada tatanan ilmu hukum atau dogmatik hukum
selalu diawali dengan hukum adalah …..,yang tentu saja sifatnya hukum itu
definitif, tetap, sistematis dan rasional. Dengan demikian, ilmu hukum atau
dogmatik hukum merupakan hukum pada tatanan dasar yang melingkupi
kebermaknaan dengan definisi hukum yang baku, jenis-jenis hukum,
kekonkretan hukum dan hubungan hukum dengan manusia.

Teori hukum

Teori hukum merupakan dialektika keilmuan hukum yang lahir pada abad 19
menurut peta peradaban hukum (Fernando Manullang; Menggapai Hukum
Berkeadilan) yang cenderung memahami hukum bukan hanya dari kacamata
hukum semata melainkan dari luar hukum. pada prinsipnya teori hukum
memposisikan hukum sebagai sebuah tatanan yang multidispliner yang tidak
terlepas dari bidang sosial, politik, ekonomi, sejarah dan budaya. Kalau ilmu
hukum mempunyai karakter deskriptif maka teori hukum juga demikian,
hanya saja pada teori hukum tatanannya deskriptif-reflektif yaitu deskripsi
hukum sembari merekonstruksinya.

Konon, teori hukum hadir sebagai entitas yang mendamaikan antara sifat


hukum yang konkret nan kaku dan hukum dalam kajian filsafat yang abstrak
nan spekulatif. Teori hukum seperti negara dalam konsepsi Hegel yaitu
mendamaikan pertentangan antar kelas-kelas dalam negara. Oleh sebab itu,
teori hukum merupakan tatanan dan tingkatan hukum yang menerima
dogma dan ajaran hukum sembari melakukan kajian-kajian perbandingan
guna menemukan konsepsi baru yang kiranya sesuai dengan kebutuhan
manusia dan zaman. Pada tatanan ini pulalah, hukum diklasifikasikan
menurut ajaran, mazhab/aliran pemikiran dan sistemnya.

Filsafat hukum
Filsafat hukum merupakan tatanan yang abstrak dan spekulatif pada hukum,
boleh dibilang tatanan mendasar dan utopis dari keberadaan hukum.
Perkembangan filsafat hukum ini menurut pemetaan peradabannya mulai
sejak zaman Yunani Kuno hingga abad pertengahan sebelum benih-benih
moderisme bertumbuh subur. Pada filsafat hukum, hukum bergelut pada
wilayah refleksi kritis dengan memepertanyakan hingga kembali
mempertanyakan hakikat hukum “apa itu hukum”. 

Filsafat hukum sebenarnya merupakan cabang filsafat bukan cabang hukum,


karena hukum dibumikan berawal dari tindakan-tindakan pemikir Yunani
Kuno yang kerap meraba-raba mitos menjadi logos dan dipraktekkan dalam
kehidupan polis.

Filsafat hukum adalah keilmuan hukum yang berada pada wilayah


keabstrakan hukum, ia tidak boleh konkret; bukan semata karena unsur
filosofis-reflektif kritisnya melainkan lebih karena lingkupnya yang bersifat
mencari dan terus mencari hakikat hukum yang juga disadari atau tanpa
disadari kelak berguna bagi keberadaan hukum. Menurut kajian
epistemenya, filsafat hukum lebih dekat dengan unsur etika dan moral.
Itulah alasan filsafat hukum itu cenderung terlampau rasional dan juga
terlampau subyektif.

Hubungan ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum

Ketiga tatanan ini sebenarnya berhubungan mono-pluralis atau satu


kesatuan yang utuh. Ilmu hukum dengan karakteristik dogmatiknya menjadi
fundasi bagi pemahaman hukum guna memberi gambaran dasar tentang
hukum. Teori hukum dengan karakteristik multidisiplinernya menjadi
cerminan bagi hukum agar tidak tertutup dengan cabang lain seperti sosial,
politi, sejarah dan budaya.

Tujuannya, agar hukum itu selalu dinamis mengikuti manusia dan zaman.


Filsafat hukum dengan karakter abstrak dan spekulatifnya menjadi dasar
perenungan kritis bagi keberlangsungan hukum dalam dogma dan
keterkaitannya dengan bidang di luar hukum. Selain itu, agar hukum selalu
dan selalu berdialektika dengan kebutuhan dan kepentingan manusia yang
cenderung subyektif.

***

Fase - Fase Sejarah Teori Hukum

http://lawfile.blogspot.co.id/2011/05/fase-fase-sejarah-teori-hukum.html

Sejarah teori hukum ini pada hakekatnya merupakan sejarah tentang perkembangan peradaban
manusi mengatur kehidupannya. Fase-fase sejarah teori hukum ini dapat di gambarkan sbb:

1. 1800 SM

Raja Babilonia Selatan dengan menggunakan undang-undang yg dikenak dengan "Code


Chammurabi", sebagai undang-undang yg tertua dalam peradaban manusi.

2. Abad ke-5 SM

Pemikiran tentang hukum baru mendapat akarny pada zaman Yunani, abad ke-5 SM. Socrates,
Plato, Aristoteles, dan Epicurus adalah empat nama besar pemikir tentang hukum dan negara yg
tercatat sepanjang sejarah itu. Subtansi utama pemikiran mereka adalah masalah-masalah
kewajiban dan keharusan negara, keharusan adanya hukum oleh negara, masalah hukum, dan
keadilan. Intinya Negara di adakan untuk memberi keadilan yg sebesar-besarnya bagi rakyat dan
dengan hukum keadilan itu diwujudkan.

3. Zaman Romawi

Keadilan sebagai substansi utama pemikiran hukum kemudian berlanjut pada zaman Romawi.
Pada zaman ini antara lain tercatat nama Cicero (106-43 SM). Kerajaan Romawi runtuh pada
abad ke-5 sesudah masehi.

4. Abad Pertengahan (Abad ke-5 sampai dengan ke 15)

"Abad Pertengahan", disebut demikian karena peralihan antara zaman purba ke zaman modern.
Zaman pertengahan ini berlangsung selama 10 abad dari abat ke-5 s/d 15 sesudah masehi.

5. Permulaan Abad Modern


Pada zaman ini pemikiran hukum dan keadilan mendapat warna ketuhanan yang sangat padat,
terutama pengaruh agama kristen. Saat itu tercatat nama Thomas Aquinas.

6. Zaman Renaisance (Abad ke-16)

Zaman pasca pertengahan disebut zaman Renaisance, yaitu zaman saat manusia menemukan
dirinya kembali. Manusia membebaskan dirinya dari ikatan agama dan kepercayaan
kehidupannya pada kekuatan pikiran (rasio) nya. Puncaknya di Itali, zaman ini tercatat nama
Niccolo Machiavelli, menyamakan hukum dengan kekuasaan. Grotius juga menegaskan
pentingnya akal, seandainya Tuhan tidak ada atau tidak mempedulikan manusia, menurut
prinsipnya 2X2=4, dan Tuhan tidak pernah mengubahnya menjadi delapan.

7. Abad ke-17

Pemikiran hukum mendapat penguatan-penguatan rasio secara lebih tegas lagi. Hal ini terlihat
pada tajamnya perbedaan pemikiran hukum alam, yg kemudian mengakibatkan perpecahnya
aliran ini menjadi 2 aliran besar, yaitu:

 Aliran hukum alam yang irrasional, "hukum alam yg bersumber pada rasio Tuhan".
 Aliran hukum alam yang rasional, " hukum alam itu bersumber pada rasio manusia. Ada
nama-nama yg menonjol Hugo de Groot (1583-1645), Samuel von Pufendor (1632-
1694), Christian Thomasius (1655-1728), Benedictus de Spinoza (1632-1677) dan John
Locke (1632-1704).

8. Abad ke-18

Pikiran manusia sebagian di pengaruhi oleh lahirnya pendekatan-pendekatan analitis-mekanis.


Kalau abad ke-17 para ahli cenderung menerangkan sesuatu, sedang pada abad ke-18 pemikiran
hukum mengarah ke penilaian terhadap sesuatu. Nama-nama yg tercatat pada abad ini Immanuel
Kant(1724-1804) dan Jean Jacgues Rousseau (1712-1778).

9. Abad ke-19 s/d ke-20

Terjadi perubahan-perubahan besar yang bersifat revolusioner. Teori hukum mengalami


perkembangan dengan pesatnya. Pada abad ke-19 tercatat lahirnya aliran aliran filsafat hukum,
seperti mazhab sejarah dan aliran hukum positif. Sedang abad ke-20 melahirkan 2 (dua) aliran
besar, yaitu Sociological Jurisprudence dan Pragmatic Legal Realism. sebagian besar teori
hukum abad ini didominasi pendekatan analitis mekanis dan akhirnya pendekatan analitis
organis pada abad ke-20.
----------------------------------------
(Rangkuman Intisari Ilmu Hukum H. Riduan Syahrani, SH.)
Sabtu, 14 April 2012

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TEORI-TEORI HUKUM

http://christianoruwo.blogspot.co.id/2012/04/sejarah-dan-perkembangan-teori-teori.html

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TEORI-TEORI HUKUM 

(Bagian I)

A.     ZAMAN KUNO

Pada abad VI dan V SM belum ada Negara Yunani akan tetapi terdapat kota-kota yang
sudah mempunyai hidup bernegara yang teratur seperti Milete, Athena, Sparta. Kota-kota itu
kadang tergabung satu sama lain dalam suatu perserikatan kota tetapi masing-masing
berdaulat maka Kota (polis) bertepatan dengan Negara. Dalam kota semacam itu terutama di
Athena timbulah pemikiran tentang Negara dan hukum sebagaimana dialami orang-orang
dalam kota itu sendiri, tujuan pikiran itu adalah memeriksa situasi yang mereka hadapi dan
mencari garis-garis kebijaksanaan dalam membentuk suatu Negara yang baik dan sesuai
dengan kebutuhan dan cita-cita warga Negara. Pada masa itu sudah terdapat pemikir-pemikir
yang menyusun system filsafat yang lengkap dan hukum merupakan salah satu bagian dari
pandangan hidup yang menyeluruh sampai pada akhirnya mencapai puncaknya dalam abad VI
SM dalam system-sistem Plato dan Aristoteles yang sangat berpengaruh pada sejarah filsafat
sampai sekarang ini.

Pada akhir abad IV Alexander Agung menyerbu Polis-polis Negara Yunani dan juga
Negara-negara tetangga. Akhirnya kerajaannya meliputi negeri Yunani, Mesir dan seluruh
kawasan Timur Tengah sampai Sungai Indus. Melalui tentaranya Alexander menanamkan dan
menyebarkan kebudayaan Yunani di Negara-negara yang telah merebutnya bahakan setelah
kematiannya pada tahun 323 SM masih tetap dipertahankan. Selamat abad IV dan III SM
tersebar luas kemana-mana, zaman Alexander ini dikenal dengan sebutan zaman Hellenisme
(Hellas-Yunani).

Pada abad-abad yang sama kota Roma muncul sebagai kuasa dunia baru dan lama
kelamaan mengambil alih kekuasaan yang dulu direbut Alexander Agung sehingga orang-orang
Romawi terpengaruh juga dengan kebudayaan Hellenisme. Dalam kekaisaran Romawi, studi
hukum sangat diutamakan oleh karena studi itu harus menyampaikan garis-garis kebijaksanaan
yang perlu dalam mengatur hidup bersama warga dan bangsa. Studi yang tekun dan mendalam
tentang hukum itu dapat bertahan berabad-abad hingga abad V Sesudah Masehi.

Teori Filsuf Ionia1[1]

Hukum itu Tatanan Kekuatan

Teori dari barisan Filsuf pertama Yunani sebelum abad ke-6 Masehi diantaranya
Anaximander, Thales, Heraclitos, dan Empedocles dikenal sebagai teori filsuf Ionia yang
menyatakan bahwa Hukum itu Tatanan Kekuatan 2[2]. Sesuai dengan alam pemikiran kuno,
filsuf-filsuf pertama memandang manusia sebagai bagaian dari semesta alam. Dalam semesta
alam hal-hal muncul dan lenyap menurut suatu keharusan ilmiah demikian juga dengan
manusia. Keharusan alam dan hidup disebut Hukum ( Nomos)3[3]. Sebagai generasi awal
mereka sangat lekat dengan kosmologi alam dan mitis 4[4]. Kosmologi alamiah melahirkan

1[1] Disebut juga Filsuf-filsuf Pertama daam Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam
Lintas Sejarah.Hlm.20. Dalam Kepustakaan Filsuf Ionia, disebut juga sebagai Filsuf
Miletos yang merupakan kota asal para Filsuf seperti Thale-Aneximaderos
(Anaximenes)

2[2] Bernard T, Teori Hukum.Hlm.18

3[3] ibid

4[4] Manusia pada tahap ini belum dapat dinamakan subyek yang sepenuhnya
karena manusia masih merupakan suatu lingkaran terbuka dan belum mempunyai
eksistensi yang bulat. Seorang individu diresapi oleh pengaruh dari keanggotannya
dalam kelompok dan serentak dari alam raya, hanya ketika berada dalam daya
kekuatan tersebut seorang individu memperoleh identitasnya (lih.Peursen,
Strategi Kebudayaan, KAnisius 1985)
pandangan bahwa kekuatan merupakan inti tatanan alam. Manusia sebagai bagian dari alam
tidak terlepas dari kodratnya, bahkan manusia mewarisi kualitas “Dionysian” bawaan yang
cenderung liar, menerima kekajaman, dan siap menghadapi nasib yang ditimpakan oleh hidup
sebagaimana adanya. Sedangkan Mitis melahirkan kosepsi tentang kesatuan alam dan manusia.
Karena itu apapun yang dibuat manusia (termasuk Hukum) harus mencerminkan dan searah
dengan tatanan alam. Teori para filsuf Ionia tentang hukum yang mencerminkan kosmologi
diatas adalah sebagai berikut :

1.    Hukum merupakan tatanan yang dikuasai logika kekuatan, karena memang berasal dan
diperuntukan bagi manusia-manusia yang siap bersaing dalam kancah kekejaman dan nasib

2.    Tidak ada perbedaan antara aturan alam dan aturan buatan manusia, sama-sama dianggap
sebagai bagian dari logika alam yaitu logika kekuatan. Aturan alam menjiwai aturan hukum.
Hukum kodrat yang paling operasional dalam alam adalah hukum ‘survival’

Bagian filsuf Ionia, hukum adalah persoalan mengenai bagaimana manusia bisa ada,
dan tetap ada (survive). Hukum adalah rumus-rumus untuk tetap survival sehingga hidup
merupakan persoalan seerhana yakni bagaimana dapat bertahan untuk hidup (survive) ada
atau lenyap, ini berlaku bagi semua makhluk hidup.

Dalam konteks teori Heraclitos perselisihan dan perang adalah kodrat social dan hasil
perang selalu adil, ada yang kalah dan ada yang menang. Singkatnya inti keadilan adalah
pertikaian karena smeua hal berkembang lewat pertikaian. Jelaskiranya hukum berisi aturan-
aturan yang memungkinkan berlangsungnya hubungan-hubungan social dalam logika “arus
kuat-lemah”. Karena dalam setiap struktur social ada piha yang dominan, maka dimungkinkan
pula hukum menjadi alat bagi yang kuat5[5]

Teori Kaum Sofis6[6]

Hukum Sebagai Tatanan Logos

5[5] Bernad, T, op.cit.Hlm.18-20

6[6] Sofis (Sophistes) berarti seorangbijaksana atau orang yang memiliki keahlian
pada bidang tertentu, meski pada masa pasca Socrates diartikan menjadi
Sophistery yaitu orang-orang yang menipu orang lain dengan menggunakan
keahlian retorikanya)
Kaum Sofis memulai kegiatannya pada abad V SM, mereka adalah orang terpelajar yang
berkeliling di Polis-polis negeri Yunani untuk megajar pemuda-pemuda yang ingin memainkan
perannya dalam Politik Kenegaraan. Pada abad V, kebanyakan Polis Yunani sudah demokratis,
artinya sejak abad itu polis bukan lagi kepentingan para sesepuh (res patricia), melainkan telah
menjadi kepentingan umum (res publica), orang-orang yang mewakili rakyat memperhatikan
kepentingan umum.

Dapat dikatakan bahwa polis telah mempunyai aturan yang terang. Keharusan alamiah
yang tadinya gelap dan bersifat membalas dendam secara rahasia, sudah berubah artinya
menjadi hukum ynag terang melalui undang-undnag polis dan praktek hukum yang sesuai 7[7].

Sofis tidak lagi memandang kekuatan setelanjang Filsuf Ionia. Duni amateri bukan lagi
segala-galanya, ada unsure lain yang labih utama, yakni manusia yang memiliki logos dan dunia
berpusat pada manusia yang mempunyai logos itu sehingga hukum juga berpusat pada
manusia yang demikian itu. Bagi kaum sofis hukum bukan lagi melulu sebagai gejala alam
yang terlanjang, mereka mengkaitkan hukum dengan moral alam yakni logos 8[8] wujudnya
adalah Nomos9[9].

Esensi nomos sebenarnya soal kepatutan yang dapat diterima akal sehat orang waras,
nomos menjunjung keadilan, menjamin keamanan, serta mendatangkan kesejahteraan karena
nomos mengandung moral Logos, maka pelanggaran terhadap nomos perlu dihukum karena
dianggap melakukan kesombongan. Menurut salah satu eksponen Sofis yaitu Protagoras,
nomos bisa tampil dalam bentuk kebiasaan dan juga dalam bentuk Undang-undang, oleh
karena itu dalam tradisi Yunani hukum (nomos) dan Undang-undang (nomoi) sangatlah penting
untuk menata Polis.

Sama seperti filsuf Ionia Teori kaum sofis memberikan peluang eksplanasi yang cukup
besar bagi kita dalam melihat hukum

7[7] Theo Huijbers, Loc.Cit.Hlm.20-21

8[8] semacam roh illahi yang memandu manusia pada hidup yang patut

9[9] Dalam tradisi Yunani menunjukan pada kebiasaan sacral dan penentu segala
sesuatu yang baik. Nomos hanya bisa eksis dalam polis diluar itu hanya ada
kekacauan.
1.    Sebuah teori mesti dibangun berdasarkan asumsi dasar tertentu yang kemudian menajdi basis
eksplanasi (penjelasan) terhadap isi teori. Teori kaum sofis, hukum merupakan aturan hidup
terang (mencerahkan) dan dapat diandalkan menuntun pada kehidupan yang adil dan damai
tidak dibangun dari ruang kosong. Mereka mendasarkan konstruksi teoritisnya pada asumsi
dasar tenang Logos yang menunjuk pada sumber-sumber pencerahan, keadilan, kedamaian
dan hal-hal baik lainnya. Logos itula yang memungkinkan nomos yang akan menjadi sumber
aturan hukum positif.

2.    Hukum bukanlah unit yang tertutup yang lepas dari system social yang lebih besar. Hukum
(suatu aturan) menjadi tatanan yang kait mengkait denga subsistem-subsistem lain dalam
masyarkat, baik yang sifatnya abstrak maupun yang lebih empiris. Kaum sofis mengingatkan
bahwa kita tidak akan memahami secara memadai sebuah aturan hukum tanpa menyertakan
sekalian factor yang berkaitan dengan peraturan tersebut, bai yang sifatnya ideologis maupun
empiris.

3.    Hukum yang baik membutuhkan basis idealism sebagai rujukan bagi muatan dan isinya. Bagi
sofis idealism itu logos10[10]

Diposting oleh Christian Oruwo di 06.23

10[10] Bernard T, Op.Cit,


Teori Hukum Klasik dan Teori Hukum Modern
 March 20, 2015 – 22:38
 Posted in Hukum Internasional, International, Sejarah
 Tagged teori hukum
 https://ajenghapsari.wordpress.com/2015/03/20/teori-hukum-klasik-dan-teori-hukum-modern/

Teori hukum merupakan suatu proses atau aktifitas kegiatan yang bertujuan untuk memberikan
suatu penjelasan mengenai realitas maupun tatanan-tatanan hukum yang hidup dan berkembang
dalam satu kesatuan masyarakat pada umumnya. Teori hukum ini juga merupakan suatu kajian
teoritik di bidang ilmu hukum yang wujudnya berupa suatu keseluruhan pernyataan yang saling
berkaitan dengan sistem konseptual aturan-aturan maupun putusan-putusan yang lahir dari
hukum itu sendiri. Beberapa teori hukum yang ada dan berkembang dalam masyarakat
diantaranya adalah:

A. Teori Hukum Klasik.

Teori ini merupakan suatu konsep hukum yang bersumber dari religiusitas, alam dan adat
kebiasaan dari suatu masyarakat yang telah ada dan berlaku sejak dimulainya suatu kehiduapan
masyarakat sampai sekarang. Prinsip dari teori ini mangatakan bahwa hukum merupakan
seperangkat norma moral dan norma sosial yang berfungsi sebagai pengarah, sebagai control dan
merupakan ukuran terhadap perilaku manusi yang orientasinya adalah keselamatan hidup baik di
dunia maupun di akhirat.

Teori hukum klasik ini terdiri atas tiga bagian yakni :

1. Hukum agama

Teori hukum ini bersumber dari sang pencipta untuk seluruh umat manusia yang bersifat abadi
dan berlaku secara universal. Teori ini melettakan hukum sebagai suatu kesatuan stabilitas dan
dinamika yang menyangkut kehidupan dunia akhirat yang mengakomodasi suatu keadaan baik
keadaan normal maupun darurat. Konsep dari teori ini berorientasi bukan hanya pada kehidupan
duniawi saja tetapi lebih kepada kehidupan akhirat.

2. Hukum yunani-romawi
Teori ini mengatakan bahwa hukum berasal dari dewa, maka sedapatnya dikatakan bahwa
hukum itu merupakan anugrah terbesar untuk menjaga ketertiban dan ketentraman pada manusia
sebagai individu dalam kelompok masyarakat. Teori ini mengatakan bahwa hukum dan agama
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam artian bahwa nabi, pastor, pendeta, gereja
dan raja merupakan sumber hukum, pembuat hukum, pelaksana hukum, serta perangkat untuk
penegakan hukum itu sendiri.

Aristoteles mengatakan bahwa hukum merupakan pembadanan dari akal dan terbebas dari nafsu,
sehingga secara tidak langsung dapat kita katakana bahwa hukum merupakan suatu bentuk
tatanan perdamaian yang dilandaskan pada keadilan yang memerintahkan orang untuk menahan
diri dan menyerahkan penyelesaian sengketa kepada hakim. sehingga tanpa hukum pun keadilan
dapat diperoleh baik itu keadilan yang bersifat distributive maupun keadilan yang bersifat
korektif.

3. Hukum alam

Teori hukum alam mengatakan bahwa dasar dari hukum adalah alam dan inti dari alam itu
terletak pada akal tetapi akal tertinggi dan paling utama adalah tuhan sehingga tatanan hukum itu
bersifat abadi dan berlaku sacara universal. Hukum yang bersumber dari alam tersebut
merupakan penuntun perkembangan dan pelaksanaan hukum yang paling ideal serta sarat akan
nilai moralitas yang tidak memisahkan antara das sein dengan das solen.

Metode untuk menemukan hukum yang sempurnah menurut teori ini harus berisi asas-asas yang
absolut yaitu hak asasi manusia sebagai makhluk individu. Menurut Thomas Aquinas, hukum
dunia harus diatur dengan tatanan akal dan harus berketuhanan sehingga tuhan merupakan
hukum yang tertinggi, dan untuk mencapai keadilan distributive dan komutatif maka hukum
yang dibuat harus memuat 4 unsur yakni:

– Lex aeterna yakni hukum yang bersumber dari tuhan dan tujuanya untuk mengatur kehidupan
alam semesta

– Lex naturals yakni hukum itu harus memuat dan berisi tentangg insting mempertahankan
hidup, berkeluarga, mengenal tuhan, yang kemudian dikembangkan dalam kehidupan
bermasyarakat.
– Lex divina yakni hukum merupakan bentuk penjabaran dari lex aeterna yang tercantum dalam
perjanjian lama dan perjanjian baru (kitab perjanjian lama dan kitab perjanjian baru).
– Lex humana yakni hukum yang dibuat oleh manusia sabagai bentuk perwujudan dan
pengaplikasian dari ketiga unsure tersebut diatas.

B. Teori Hukum Modern.

Teori hukum modern mengatakan bahwa hukum merupakan suatu norma yang dibuat oleh
manusia dan lahir dari sebuah kesepakatan-kesepakatan antara manusia dalam sebuah bentuk
musyawarah untuk mufakat yang diproses secara otonom, logis-rasional, secara mekanis dan
teratur. Teori hukum modern ini merupakan bagian terkecil dari teori of law sehingga kajiannya
menyangkut teori hukum atau doktrin hukum yang aturan-aturan hukumnya dipositifkan atau
dikodifikasikan melalui kesepakatan legislative secara sistematis dan mekanis sehingga
melahirkan suatu tatanan hukum yang positivistik berbasis pada peraturan yang berlaku secara
netral yang juga merupakan ius constitutum.

Mengingat bahwa teori hukum modern merupakan bagian terkecil dari teori hukum, secara tidak
langsung teori ini bersifat positivisme. Pada perkembanganya teori hukum modern ini
mengalangi perbedaan pandangan sebagai akibat bahwa teori ini semula berotientasi pada
dominasi qalbu atas akal, berbalik menjadi dominasi akal atas kalbu sehingga pada
perkembanganya teori ini diklasifikasikan menjadi 2 golongan yakni :

1. Positivisme analitis.

Pada dasarnya paham ini mempunyai kesamaan dengan teori kedaulatan yang dikemukakan oleh
John Austin bahwa hukum bersal dari kehidupan yang berdaulat yakni individu, lembaga atau
sekumpulan individu yang mempunyai kapasitas untuk membentuk hukum. Paham positivisme
analitis ini disamping menempatkan konsentrasinya pada bentuk norma hukum juga
berkonsentrasi pada isi norma itu sendiri dan terpisahkan dari moralitas dan keadilan.
Positivisme analitis juga mengatakan bahwa peraturan tidak boleh berisi tuntutan yang tidak
boleh melebihi apa yang dapat dilakukan, sehingga apabila peraturan itu di buat harus di susun
dalam rumusan yang mudah dimengerti dan pelaksanaanya harus di sesuaikan dengan realitas
empirisnya.

2. Positivisme pragmatis.

Tipe positivisme pragmatis mengatakan bahwa hukum harus mampu mempu memuaskan
keinginan secara maksimal sehingga kebenaran hukum dapat ditentukan oleh fakta sosial, supaya
terwujud kepastian, keadilan, kemanfaatan hukum.

C. Perbedaan Teori Hukum Klasik dan Teori Hukum Modern

Dari kedua teori hukum diatas, maka jelas sekali bahwa kedua teori tersebut mempunya karakter
yang berbeda, baik dari pembentukan hukum, maupun sumber hukum yang kemudian ditetapkan
sebagai suatu tatanan hukum yang berlaku dalam sebuah tatanan kehidupan dalam
bermasyarakat.
Teori hukum klasik menetapkan hukum sebagai suatu aturan yang bersumber dari Tuhan atau
Dewa sehingga penerapan hukumnya tidak hanya di titik beratkan pada tercapainya kedamaian
di dunia saja, tetapi juga pada aspek akhirat. Karena mengingat bahwa hukum bersumber dari
Tuhan maka dapat dipastikan bahwa hukum tersebut bersifat pasti dan utuh sebab kebenaran
yang hakiki adalah bersumber dari Tuhan.

Sedangkan teori hukum modern menetapkan hukum dengan jalan menetapkan suatu norma yang
dibuat oleh manusia melalui musyawarah untuk mufakat dan norma-norma tersebut kemudian
dijadikan hukum positif dan dikodifikasi sebagai suatu aturan yang berlaku dan mengikat suatu
tatanan masyarakat ius constitutum yang orientasinya hanya untuk menciptakan kedamaian
dalam kehidupan bermasyarakat.

Aliran-aliran Teori Hukum


Diposkan oleh Halimatus Sa'dyah

http://halimasadyah.blogspot.co.id/2010/02/aliran-aliran-teori-hukum.html

A. Latar Belakang

Proses mempelajari teori hukum biasanya dilakukan terutama setelah seseorang yang
mempelajari ilmu hukum secara umum selesai mempelajari hukum positif, sehingga kerangka
teori hukum dapat tergambarkan secara jelas dalam proses tersebut . Proses memepelajari hukum
tersebut dilakukan manakala seseorang yang telah mempelajari hukum positif ingin mengetahui
lebih dalam akar permasalahan dalam hukum positif tersebut, proses penalaran dalam mencari
akar permasalahan tersebut akan terus menukik dalam, sehingga mencapai hakiki dari hukum itu
dan menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti : mengapa hukum itu
berlaku, apa dasar kekuatan mengikatnya, apa yang menjadi tujuan dari hukum, bagaimana
seharusnya hukum itu dipahami, apa hubungannya dengan individu dalam masyarakat, apa yang
seharusnya dilakuakan dalam hukum, apakah keadilan itu, dan abagaimanakah hukum yanga adil

Dalam konteks hukum Indonesia, terdapat banyak sekali instrumen hukum yang menjamin
kesetaraan dan keadilan bagi setap orang, kelas atas, kaum pinggiran, laki-laki, perempuan.
Namun, bagaimanakah penegakannya dalam praktik kehidupan masyarakat sehari-hari?.
Mengapa berbagai peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat diimplementasikan untuk
mendatangkan keadilan sebagaimana yang didinginkan dalam perumusannya? Pengamatan
penulis menunjukakan bahwa hukum tidak berpihak kepada mereka, terutama yang berasal dari
lapisan masyarakat miskin, kelompok ras, etnis, agama minoritas, yang pada dasarnya tidak
memiliki akses kepada kekuasaan. Tulisan ini akan membahas berbagai aliran-aliran teori
hukum, untuk dapat menjawab mengapa hukum tidak dapat diiimplementasikan dalam praktik
kehidupan sehari-hari
BAB II
PEMBAHASAN

a. Beberapa Aliran dalam Teori Hukum

1. Teori Pemikiran Yunani dan Romawi

Sebelum abad kesembilan belas, teori hukum merupakan produk sampingan yang terpenting dari
filsafat agama, etika, dan politik. Para ahli fikir hukum tebesar pada mulanya adalah ahli filsafat,
ahli-ahli agama, atau ahli-ahli politik. Perubahan terpenting filsafat hukum dari para pakar
filsafat atau ahli politik ke filsafat hukum, barulah terjadi pada akhir-akhir ini, yakni setelah
adanya perkembangan yang besar dalam penelitian, studi tekhnik dan penelitian hukum.
Era baru filsafat hukum terutama muncul sebagai akibat konfrontasi ahli hukum yang dalam
tugasnya seringkali berhadapan dengan masalah-masalah sosial. oleh karena itu, teori-teori
hukum lama dilandasi oleh teori filsafat dan politik. Sedangkano teori-teori hukum modern
dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri. Adapun perbedaannya,
teeori hukum lama dan modern, teletak pada metode penekanannya. Teori hukum para ahli
hukum modern, seperti teori hukum para filsuf ajaran skolastik, didasarkan atas keyakinan
tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri. Demikianlah para filsuf telah
berusaha membangun teori tenang hukum dan teori tentang pembuatan undang-undang, dan
mencoba mempersatukannya dengan suatu gagasan yang akhirnya memecahkan persoalan yang
sama dengan tugas menghasilkan satu yang sempurna, yang harus berdiri teguh selama-
lamanya .

Para ahli pikir romawi telah meletakkan dasar-dasar ilmu Hukum Analitis Modern, tetapi
sumbangan mereka terhadap filsafat hukum tidaklah banyak. Apa yang ada, kebanyakan dipilih
dari berbagai sumber yang sangat tua, seperti karangan Cicero dan Ceneca. Sebaliknya, dari para
ahli pikir Yunani dapat dipelajari secara sepintas perihal hukum kontrak yang modern, ganti rugi
atau hak milik. Yunani, boleh disebut sebagai sumber kancah pemikiran-pemikiran tentang
hukum sampai kepada akar-akar filsafatnya, sehingga masalah-masalah utama dalam teori
hukum sekarang dapat dikaitkan ke belakang kepada bangsa tersebut. Masalah-masalah utama
yang dibicarakan dalam teori-teori hukum telah mendapatkan perumusannya pada masa itu .
Masalah hubungan antara kedilan dan hukum positif menjadi pusat perhatian para ahli pikir
Yunani, sama halnya dengan pemikiran tentang hukum sejak saat tersebut. Pada masa-masa
sebelumnya, para pemikir alam dari Milesia beranggapan bahwa sebagai sumber hukum, alam
bebas lebih kekal dari undang-undang buatan manusia.

Tokoh –tokoh pemikir pada masa ini adalah antara lain Plato dan muridnya Aristotles. Dalam
Republik, Plato banyak menyatakan tentang pola penurunan kualitas yang mengarah pada
bentuk-bentuk degenerasi konstitusi politik. Bentuk degenerasi ini berawal dari bentuk
pemerintahan, yakni Timarsi yang berubah dari Oligarki ke demokrasi dan berakhir pada Tirani.
Timarsi adalah sistem politik yang ditandai dengan kegagalan kelas dengan penguasa, sebab
pendidikan penguasa tersebut didominasi oleh orang-orang yang memiliki keahlian perang.
Kelas penguasa terbagi semi melawan dirinya sendiri, sehingga kekuasaan jatuh ke tangan
kelompok yang agresif dan gila kehormatan.jika kekayaan dan kehormatan telah menjadi acuan
segala-galanya, maka sistem pemerintah akan berubah menjadi oligarki .

Oligarki ditandai dengan adanya kesenjangan dua kota, yakni kota kaya dan kota miskin.
Akibatnya kan banyak terjadi peperangan, sebab kota kaya akan mendominasi kota miskin. Bila
kota yang dihuni kaum miskin berhasil menggulingkan kaum kaya, maka akan menjadi bentuk
sistem politik yang disebut demokrasi. Dalam negara demokrasi setiap warga adalah penguasa
untuk dirinya sendiri atau individu menghamba kepeda kepentingan dirinya saja. Ttidak ada
kebijakan yang konsisten dan tidak ada aturan main yang jelas, sebab semua sistem pemerintah
didasarkan atas mayoritas, kemudian jika kelas miskin mengorganisasi diri, kemudian bersama-
sama menumbangkan kelas kaya, maka yang akan terjadi adalah sebuah tirani. Kerusakan negara
disebabkan oleh kerusakan psikologis ynag terjadi. Pendidikan sebagai hal esensial dari struktur
konstitusi ri negara ideal telah mengalami kerusakan psikologis. Selanjutnya akan dikaji lebih
dalam dalam poin hukum vs sratifikasi sosial

2. Aliran Hukum Alam

Aliran ini berpendapat bahwa hukum itu berlaku universal dan abadi. Menurut Friedman yang
saya kutip dari bukunya Sutikno, sejarah Hukum alam adalah sejarah umat manusia dalam
usahanya untuk menemukan apa yang dinamakan absolute justice (keadilan mutlak). Pengertian
hukum alam berubah ubah mengikuti perubahan masyarakat dan keadaan politik. Hukum alam
dalam peranan di berbagai fungsi diantaranya adalah:

A. Dipergunakannya hukum alam untuk mengubah hukum perdata Romawi yang lama menjadi
suatu sistem hukum umum yang berlaku diseluruh dunia.
B. Dipergunakannya sebagai senjata dalam perbuatan kekuasaan antara gereja dari abad
pertengahan dan kaisar-kaisar Jerman, baik oleh pihak gereja maupun oleh pihak lawannya
C. Dipergunakannya sebagai dasar hukum international dan dasar kebebasan perseorangan
terhadap pemerintahan yang absolut.

D. Dipergunakannya oleh para hakim di Amerika Serikat dalam menafsirkan konstitusi. Dengan
asas-asas hukum alam, para hakim menentang usaha negara negara yang dengan menggunakan
perundang undangan hendak membatasi kebebasan perseorangan dalam soal soal yang
menyangkut ekonomi.

E. Dipergunakan untuk mempertahankan pemerintahan yang berkuasa atau sebaliknya untuk


mengorbankan pemeberonatakan terhadap kekuasaaan yang ada.
F. Juga dipergunakan dalam waku yang berbeda-beda untuk mempertahankan segala bentuk
ideologi
G. Sebagai dasar ketertiban international, hukum alam terus menerus memberikan ilham kepada
kaum Stoa. Ilmu dan filsafat hukum Romawi, pendeta pendeta dan gereja gereja abad
pertengahan dan lain lain.

H. Dengan melalui teori-teori Locke dan Paine, hukum alam memberikan dasar kepada filsafat
perorangan dalam Konstitusi amerika Serikat dan Undang Undang dasar modern lainnya.

Melihat sumbernya, hukum alam dapat berupa :


1. Hukum alam yang bersumber dari Tuhan (irrasional) dan
2. Hukum alam yang bersumber dari rasio manusia

Hukum alam yang bersumber dari rasio Tuhan dianut misalnya oleh kaum Scholastik abad
pertengahan seperti pemikiran dari Thomas van Aquinas, gratianus (Decretum), Jhon Salisbury,
Dante, Pierre dubois, Marsilius, Padua, Johannes Huss dan lain-lain. Dalam buku-bukunya yang
sangat terkenal ”Summa Theologica” ,dan ”De Regrimene Principum’, Thomas membentangkan
pemikiran hukum alamnya yang banyak mempengaruhi gereja dan bahkan menjadi dasar
pemikiran gereja hingga kini. Seperti halnya Aristotles yang membagi hukum itu menjadi 4
(empat) golongan hukum :
 Lex aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal dan merupakan sumber
dari segala hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap manusia;
 Lex Divina, bagian dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia berdasarkan wahyu
yang diterimanya;
 Lex Naturalis, inilah yang berlaku merupakan pelaksanaan dari hukum alam, yaitu yang
merupakan penjelmaan dari lex aeterna di dalam rasio manusia;
 Lex Positivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan dari hukum alam oleh manusia
berhubung dengan syarat khusus yanag diperlukan oleh keadaan dunia

Pendasar daripada hukum alam yang rasional adalah Hugo de Groot atau Grotius yang hidup
pada tahun 1583-1645, ia mewariskan buah pikirannya dalam dua bukunya yang termashur yaitu
”De Jure Belli ac Pacis” dan ”Mare Liberum”. Pemikirannya banyak dipengaruhi kaum Stoa dan
Scholastik. Menurut Grotius, sifat manusia yang khas adalah keinginannya unuk bermasyarakat,
untuk hidup tenang bersama, hal ini sesuai dengan watak intelektualnya. Prinsip hukum alam
berasal dari sifat intelektual manusia yang menginginkan suatu masyarakat yang penuh amai. Di
atas prinsip-prinsip hukum alam, Grotius membangun sistemnya mengenai hukum internasional.
Prinsip-prinsipnya yang peling fundamental adalah pacta sun servanda, yaitu tanggung jawab
atas janji-janji yang diberikan dan perjanjian-perjanjian yang ditandatangani. Peraturan-peraturan
lain dari hukum alam adalah menghormati milik rakyat dan mengembalikan keuntungan yang
diperoleh daripadanya, membetulkan kerusakan yang disebabkan oleh kesalahan seseorang, dan
pengakuan atas hal-hal tertentu sebagai hukuman yang memang seharusnya didapat. Semua
prinsip ini masih diakui dalam hukum Internasional meskipun tidak lagi memakai nama hukum
alam.

Hukum alam dapat dibedakan ke dalam ”hukum alam sebagai metode” dan ”hukum alam
sebagai substansi”. Pertama, hukum alam sebagai metode merupakan yang tertua yang dapat
dikenali sejak zaman kuno sampai kepada abad permulaan abad pertengahan. Hukum alam
memusatkan dirinya pada usaha untuk menemukan metode yang dapat dipakai untuk
menciptakan peraturan-peraturan yang mampu untuk menghadapi keadaan yang berlainan.
Dengan demikian, tidak mengandung norma-norma sendiri melainkan hanya memberi tahu
tentang bagaimana membuat peraturan yang baik. Kedua, berbeda dengan hukum Alam sebagai
metode, sebagai substansi Hukum Alam justru berisi norma-norma. Dengan anggapan ini, orang
dapat menciptakan sejumlah besar peraturan-peraturan yang dialirkan dari beberapa asas yang
absolut, yang lazim dikenal sebagai ”hak-hak asasi manusia”. Hukum Alam yang kedua ini
merupakan ciri dari abad ketujuh belas dan kedelapan belas .

3. Aliran Hukum Positif

Sebelum lahirnya aliran ini berkembang suatu pemikiran dalam ilmu hukum dikenal sebagai
legisme. Pemikiran hukum ini berkembang semenjak abad pertengahan dan telah banyak
berpengaruh di berbagai negara, termasuk Indonesia. Aliran ini mengidentikkan hukum dengan
Undang-undang. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang
Selanjutnya, Prof. H.L.A hart menguraikan tentang ciri-ciri pengertian positivisme pada ilmu
hukum dewasa ini sebagai berikut :

 Pengertian bahwa hukum adalah perintah dari manusia (command of human being)
 Pengertian bahwa tidak ada hubungan mutlak/penting antara hukum (law) dan moral, atau
hukum sebagaimana yang berlaku/ada dan hukum yang seharusnya;
 Pengertian bahwa analisis konsepsi hukum adalah :

1. mempunyai arti penting,

2. harus dibedakan dari penyelidikan historis mengenai sebab-musabab dan sumber-sumber


hukum, sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya, dan penyelidikan
hukum secara kritis atau penilaian, baik yang didasarkan moral, tujuan sosial, fungsi hukum dan
lain-lainnya.

Pengertian bahwa sistem hukum adalah sistem logis, tetap dan bersifat tertutup dalam mana
keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika
dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-
tujuan sosial, politik dan ukuran-ukuran moral. Pengertian bahwa pertimbangan-pertimbangan
moral tidak dapat dibuat atau diperhatikan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan
dengan argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan.

a). Positivisme hukum yang analistis dari John Austin (1790-1859)


Ada 2 (dua) buku John Austin yang terkenal, yakni „The province of jurisprudence determined“
dan ‚Lectures on Jurispredence’. Buku kedua berisikan kuliah-kuliah Austin semasa hidup
tentang Jurisprudence. Tentang Hukum, Austin berkata dalam kumpulan kuliah tersebut sebagai
berikut :”Law is a command of the lawgiyer”. Hukum merupakan perintah dari penguasa-dalam
arti bahwa perintah dari mereka yang memegang kedaulatan. Selanjutnya, Austin berkata bahwa
hukum adalah perintah yang dibebankan untuk mengatur makhluk berpikir yang memegang dan
mempunyai kekuasaan. Austin menganggap dan mempunyai kekuasaan. Austin menganggap
hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertuup (closed logical system), hukum
secara tegas dipisahkan dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik dan buruk .

b). Ajaran Hukum murni dari Hans Kelsen

Kami golongkan juga ajaran ini pada aliran positivisme oleh karena pandangan-pandangannya
yang tidak jauh bebeda dengan ajaran Austin, Hans Kelsen sebagai seorang neo-Kantian agak
bebeda pemikirannya misalnya dengan neo kantian yang lain Rudolf Stammler. Hans Kelsen
tegas tidak menganut berlakunya suatu hukum alam walau mengemukakan adanya asas-asas
hukum umum sebagaimana tercermin dalam grundnorm/ursprungnormnya. Sebaliknya, Rudolf
stammler sebagaimana telah diuraiakan pandangannya terdahulu, menerima dan menganut
berlakunya suatu hukum alam walau ajaran hukum alamnya adalah hukum alam yang tidak
universal, tetapi daya berlakunya dibatasi oleh ruang dan waktu.

Ada 2 (dua) teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang perlu diketengahkan. Pertama,
ajarannya tentang hukum yang bersifat murni dan kedua yang berasal dari muridnya Adolf Merkl
adalah stufenbau des Rech yang mengutamakan tentang adanya hierarkis daripada perundang-
undangan.
Menurutnya hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti
etis,sosiologis, politis dan sebagainya . Teori Hukum Murni berupaya menghindari
pencampuradukan dengan berbagai disiplin ilmu yang berlainan metodologi tersebut, dan
membatasi pengertian hukum dalam posisinya yang eksklusif. Bukan lantaran teori ini
mengabaikan atau memungkiri kaitannya dengan bidang-bidang yang lain, melainkan karena
hendak meniadakan batas-batas yang ditetapkan pada ilmu hukum berdasarkan pokok
bahasannya. Teori ini berupaya menjawab pertanyaan apa itu hukum dan bagaiman ia ada, bukan
bagaimana ia semestinya ada, ia adalah ilmu hukum (yurisprudende) bukan politik hukum.
Disebut ”murni” karena ia hanya menjelaskan hukum dan berupaya membersihkan obyek
penjelasannya dari segala hal yang bersangkut paut dengan hukum. Tujuan teori ini adalah
membersihkan ilmu hukum dari unsur-unsur lain.
Dari unsur etis berarti, konsepsi hukum Hans Kelsen ridak memberi tempat berlakunya suatu
hukum alam, tetapi bagian ilmu manusia . Etika memberikan suatu penilian tentang baik dan
buruk. Ajaran Kelsen menghindari diri dari soal penilaian ini. Dari unsur sosiologis berarti
bahwa ajaran hukum Hans Kelsen tidak memberi tempat bagi hukum kebiasaan yang hidup dan
berkembang di dalam masyarakat. ajaran hukum Kelsen hanya memandang hukum sebagai
sollen yuridis semata-mata yang sama sekali terlepas dari das sein/kenyataan sosial .
Ajaran Stufentheori berpendapat bahwa suatu sistem hukum adalah suatu hierarkis dari hukum di
mana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih
tinggi. Sebagai ketentuan yang lebih tinggi adalah Grundnorm atau norma dasar yang bersifat
hipotesis. Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkret daripada ketentuan yang lebih
tinggi. Sebagai contoh, dapat kita lihat dalam ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang
Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia yang menetapkan sebagai berikut :
• Undang-Undang Dasar 1945.

• Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

• Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.

- Peraturan pelaksanaan lainnya seperti :

- Peraturan Pemerintah

- Keputusan Menteri

4. Aliran Utilitiarianisme

Aliran ini dipelopori oleh Jeremi Bentham (1748-1783) Jhon Stuart Mill (1806-1873), dan
Rudolf von Jhering ( 18..-1889). Dengan memegang prinsip manusia akan melakukan tindakan
untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan, Bentham
mencoba menerapkannya di bidang Hukum. Atas dasar ini, baik buruknya suatu perbuatan
diukur apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagianna atau tidak. Demikian pun dengan
perundang-undangan, baik buruknya ditentukan pula ole ukuran tersebut di atas. Jadinya,
undnag-undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan
dinilai sebagai undang-undang yang baik .

Ajaran Bentham dikenal sebagai utilitiarianisme yang individual, sedang rekannya Rudolf von
Jhering mengembangkan ajaran yang bersifa sosial. teori von Jhering merupakan gabungan
antara teori Bentham, Stuart Mill, dan Positivisme hukum Jhon Austin

5 Madzab Sejarah

Pendasar dari madzab ini ialah friederich Carl von Savigny dan Puchta. Ada pengaruh terhadap
lahirnyamadzab ini, yakni pengaruh Montesqueu dalam bukunya ”L’esprit de Lois” yang terlebih
dahulu mengemukakan tentang adanya hubungan antara jiwa mulai timbul dengan hukumnya
dan pengaruh faham nasionalisme yang mulai timbul di awal abad ke 19. Lahirnya madzab ini
juga merupakan suatu reaksi yang langsung terhadap suatu pendapat yang diketengahkan oleh
Thibaut dalam pamfletnya yang berbunyi Uber Die Notwendigkeit Eines Allgemeinen
Burgerlichen Rechts Fur deutcchland-keperluan akan adanya kodifikasi hukum perdata bagi
negeri Jerman. Ahli hukum perdata Jerman menghendaki agar di Jerman diperlakukan kodifikasi
perdata dengan dasar hukum Prancis (code napoleon). Seperti diketahui setelah Prancis
meninggalkan Jerman timbul masalah hukum apa yang hendak diperlakukan di negara ini. Juga,
merupakan suatu reaksi yang tidak langsung terhadap aliran hhukum alam dan aliran hukum
positif .
Pandangan Von Savighni berpangkal kepada bahwa di dunia ini terdapat bermacam-macam
bangsa yang pada tiap-tiap bangsa tersebut mempunyai suatu volkgeist- jiwa rakyat. Jiwa ini
berbeda-beda, baik menurut waktu maupun tempat. Pencerminan dari adanya jiwa yang berbeda
ini tampak pada kebudayaan dari bangsa tadi yaang berbeda-beda. Ekspresi itu tampak pula pada
hukum yang sudah barang tentu berbeda pula pada setiap tempat dan waktu. Karenanya,
demikian von Savigny, tidak masuk akal jika terdapat hukum yang berlaku universal dan pada
semua waktu. Hukum sangat bergantung atau bersumber pada jiwa rakyat tadi dan yang menjadi
isi dari hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah). Hukum
menurut pendapatnya berkembang dari suatu masyarakat yang sederhana yang pencerminannya
tampak dalam tingkah laku semua individu kepada masyarakat yang modern dan kompleks di
mana kesadaran hukum rakyat itu tampak pada apa yang diucapkan oleh para ahli hukumnya .

5. SOSIOLOGICAL JURISPRUDENCE

Pendasar madzab ini dapat disebutkan, mislnya Roscoe Pound, Uegen ehrlich, Benyamin
Cordozo, Kantorowics, Gurvitch dan lain-lain. Inti pemikiran madzab ini yang berkembang di
Amerika :
Hukum yang baik adalah yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Madzab ini
mengetengahkan tentang pentingnya Living-law yang hidup di dalam masyarakat. dan
kelahirannya menurut beberapa anggapan merupakan suatu sinthes edari thesenya, yaitu
positivisme hukum dan anthithesenya Madzab sejarah. Dengan demikian, sosiological
jurisprudence berpegang kepada pendapat pentingnya, baik akal maupun pengalaman.
Pandangan ini berasal dari Roscoe Pound yang intisarinya antara lain : kedua konsepsi masing-
masing aliran (maksudnya positivisme hukum dan madzab sejarah) ada kebenarannya. Hanya
hukum yang sanggup menghadapi ujian akal dapat hidup terus. Yang menjadi unsur-unsur kekal
dalam hukum itu hanyalah pernyataan-pernyataan akal yang berdiri di atas pengalaman dan diuji
oleh pengalaman. Pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal diuji oleh pengalaman. Tidak
ada sesuatu yang dapat bertahan sendiri di dalam sistem hukum . hukum adalah pengalaman
yang diatur dan dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan
yang membuat undang-undang atauu mengesahkan undang-undang dalam masyarakat yang
berorganisasi politik dan dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu .
Jadi, dengan kata lain janganlah diulang lagi kesalahan yang dianut para ahli filsafat hukum abad
ke 18 yang hanya memahamkan hukum sebagai perumusan akal semata-mata dan sarjana-sarjana
hukum mazhab sejarah yang beranggapan bahwa hukum hanyalah merupakan perumusan
pengalaman.

6. PRAGMATIC LEGAL REALISM


Menurut Friedmann yang saya sadur dari bukunya Lili Rasjidi dalam Dasar-Dasar filsafat dan
Teori Hukum membahas madzab ini masih bertitik tolak pada pentingnya rasio atau akal sebagai
sumber hukum. Pendasar-pendasar dari madzab ini ialah John Chipman, Gray, Oliver Wendell
Holmes, Karl Llewellyn, Jerome Frank, William James dan lain-lain. Roscoe Pound pun dapat
juga digolongkan pada madzab ini selain sociological jurisprudence berkenaan dengan
pendapatnya bahwa hukum itu merupakan a tool of sociological engineering .
Menurut Llewellyn, realisme ini bukanlah merupakan suatu aliran di Filsafat Hukum , tetapi
hanyalah merupakan gerakan (movement) dalam cara berfikir tentang hukum.

7. FEMINIST JURISPRUDENCE

Feminist Legal Theory (FLT) atau Feminist Jurisprudence telah berpengaruh pada pemikiran
hukum selama beberapa dekade terakhir. Pemikiran awal dari FLT itu sendiri muncul mengikuti
gelombang-gelombang pemikiran feminis, khususnya gelombang kedua dari feminis Amerika
yang merefleksikan ketertarikan feminis pada bidang hukum , tepatnya pada akhir tahun 1960-an
hingga awal 1970-an. Hal ini antara lain disebabkan meningkatnya perempuan Amerika
Masih banyak yang menganggap hukum yang baik adalah hukum yang netral dan objektif. Bagi
para feminis (pembela hak-hak asasi perempuan) anggapan seperti ini sebenarnya malah
melegitimasikan ketidaksetaraan gender, orientasi seksual, etnisitas, rasa dan kelas yang ada
dalam masyarakat. begitulah, pada akhir tahun 1960-an dan khususnya selama tahun 1970-an, di
Amerika dan Eropa para feminis mulai mengkritik netralitas hukum. Sejak itu mereka berusaha
membentuk teori hukum berprespektif feminis (feminist jurisprudence). Para feminis
menganggap hukum yang baik adalah yang berpihak kepada perempuan (dan tentunya siapa
saja) yang secara sosial dilemahkan untuk kemudian melawan penindasan tersebut.
”Netralitas” dan ”objektifitas” hukum yang diandaikan oleh teori Positivisme Hukum dalam
praktiknya terbukti membenarkan marginalisasi perempuan dan berbagai kelompok minoritas
lainnya. Sebab melalui anggapan tentang hukum yang memiliki logika internal dan tertutup,
maka hukum justru hanya melegitimasikan kebenaran patriarkis tentang norma hubungan pria
dan perempuan yang berlaku di masyarakat, maupun kebenaran rasial, kebenaran ideologi
orientasi seksual .

B. KRITIK TERHADAP POSITIVISME vs STARIFIKASI SOSIAL

Penggunaan kata ”hukum berpihak”, dapat menimbulkan debat dan polemik yang tidak
berkesudahan, terutama bila dilakukan di lingkungan studi hukum. ”Netralitas”, ”Objektifitas”,
”Kepastian hukum” merupakan nilai dan pinsipyang sangat dijunjung tinggi oleh para sarjana
hukum. Prinsip tersebut hampir merupakan ”harga mati”, sehingga hukum tidak boleh berpihak.
Hukum dipercaya berdiri di atas semua golongan, memberi keadilan kepada semua orang, tidak
pandang bulu. Dalam paradigma positivisme, hukum dipandang mengandung kebenaran dan
keadilan yang sudah pasti. Lebih jauh terdapat klaim bahwa hukum satu-satunya yang paling
tinggi adalah hukum negara, dan negara adalah satu-satunya institusi yang mendistribusikan
keadilan kepada setiap warga negara.
Prinsip netralitas dan objektifitas benar adanya sebagai the law as ought to be. Namun untuk
dapat menegakkannya dibutuhkan kondisi “sine qua non”, seperti struktur masyarakat tidak
berlapis secara jelas, di mana setiap orang memiliki akses kepada sumber kesejahteraan dan
keadilan yang relatif setara, dan birokrasi peradilannya relatif bersih dari korupsi. Prinsip
“equality before the law” dapat ditegakkan dan memberi keadilan secara pasti dan adil kepada
hampir setiap warga negara dalam kondisi di atas. Namun, dalam masyarakat yang sangat
berlapis, ada kesenjangan ekonomi yang luar biasa tinggi, ada kelompok masyarakat yang begitu
kaya raya dan berkuasa secara politik, ada golongan menengah, dan seterusnyagolongan miskin
yang juga sangat beragam lapisannya. Implementasi dari prinsip “kesamaan di muka hukum”,
menjadi diragukan dapat memberi keadilan yang sama. Apalagi pada masyarakat yang di
dalamnay “menyimpan” berbagai persoalan ketidakadilan, di mana orang-orang yang berasal ras,
golongan, kelas, agama monoritas, dan jenis kelamin yang berbeda tidak mendapat akses
perlakuan yang sama, ditambah lagi dengan kondisi birokrasi peradilan ynag korup, maka
implikasi “equality before the law”, justru menimbulkan pertanyaan-pertanyaan. Perlakuan yang
berbeda terhadap pihak yang dipandang sebagai “the order” (liyan) dapat dijumpai dalam
rumusan yang eksplisit berbagai peraturan perundang-undanagn dan kebijakan, maupun dalam
kehidupan praktik sehari-hari.
”Kuantitas hukum berubah secara langsung dan sesuai dengan stratifikasi, peringkat kedudukan,
integrasi, kebudayaan, organisasi dan penghormatan”Donald Black
Dalam stratifikasi sosial ini telah jelas jelas mempengaruhi terhadap peran hukum dalam proses
penegakannya. Karena hal ini dipengaruhi oleh status sosial dalam masyarakat tersebut, semakin
rendah status sosial seseorang dalam masyarakat, semakin banyak perangkat hukum yang
mengaturnya. Dan semakin banyak kekuasaan, kekayaan dan kehormatan, semakin sedikit
perangkat hukum yang mengaturnya. Masalahnya adalah keadaan seperti itu sangat bertentangan
dengan tujuan hukum yang tidak membedakan semua golongan, status dan sebagainya
(persamaan di depan hukum) yaitu setiap warga negara harus tunduk kepada hukum.
Dalam praktiknya, kesenjangan atas berlakunya suatu kekuatan hukum dalam menindak perkara
yang dilakukan oleh masyarakat dalam strata sosial yang berbeda, dapat dilihat dalam berbagai
kasus. Dalam kaitan ini dicontohkan dengan praktik menindak seorang pejabat tinggi yang
terlibat dalam pungutan liar, daripada menindak unsur unsur rendahan dari suatu sistem
birokrasi. Dalam contoh kasus lain diantaranya adalah ketika seorang hakim harus mengadili tiga
orang pencuri ayam, dengan tiga kasus yang berbeda, yaitu korbannya berbeda dan waktu serta
lokasi pencuriannya pun berbeda, maka dikatakan secara normatif, peraturan hukumnya persis
sama, yaitu semuanya harus mengacu pada ketentuan Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana yang unsur tindak pidananya terdiri dari: ”setiap orang yang mengambil barang yang
sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dengan maksud untuk menguasai atau seolah-olah
memiliki (karena tidak mungkin si pencuri memiliki legal hasil curiannya) dan dengan cara
melawan hukum”. Namun secara sosiologis, aplikasi Pasal 362 KUH Pidana tersebut tidak
mungkin persis sama. Misalnya, fakta yang terungkap di persidangan pengadilan :

1. Pencuri pertama, mencuri ayam dengan motif untuk menebus resep anaknya yang sedang sakit
keras, yang jika resep itu tidak tertebus maka anaknya kemungkinan besar akan meninggal
dunia;
2. Pencuri kedua, mencuri ayam dengan motif untuk memperoleh uang untuk bisa bermalam
minggu dengan pacarnya;
3. Pencuri ketiga, mencuri ayam dengan motif membeli narkoba.

Dalam penentuan keputusan perkara tersebut jika seorang hakim itu baik, maka tidak mungkin
menjatuhkan vonis yang persis sama kepada tiga pencuri tersebut. Kemungkinan hakim akan
menjatuhkan hukuman maksimal ancaman pidana untuk pencurian terhadap pencuri ketiga yang
mencuri karena untuk membeli narkoba, dengan pidana sedang untuk pencuri kedua yang
mencuri demi dapat bermalam minggu dengan pacar dan dapat dijatuhkan pidana percobaan saja,
untuk pencuri pertama yang mencuri demi dapat menebus resep maka dapat dibebaskan .
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana jika pencuri ketiga (yang mencuri dengan motif membeli
narkoba) adalah putra pejabat? Akankan mendapatkan ancaman maksimal ataukah bebas dengan
tebusan?
Pada kasus diatas, bahwa penegakan hukum sebagai suatu proses, yang pada hakekatnya
merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak diatur secara
ketat oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi (Wayne LaFavre 1964).
Dengan mengutip pendapat Roscoe Pound, maka LaFevre menyatakan, bahwa pada hakikatnya
diskresi berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti sempit) .

Dalam pandangan masyarakat yang berada dalam satus sosial yang berbeda ini memberikan
gambaran singkat tentang bagaimana hukum melegitimasi, dan secara paksa mendukung, sistem
subordinasi sosial. Hukum represif melembagakan keadilan kelas. Di sini, lagi-lagi ”kemiskinan
kekuasaanlah yang menyebabkan represif. Semakin lemah sumber daya tatanan politik, dalih
”penjagaan perdamaian” akan semakin menuntut negara untuk mempertahankan status quo.
Pemegang kedaulatan awal meminjam kekuasaan dari mereka yang kuat, sehingga mendukung
hirarki hak-hak istimewa. Institusi-institusi politik yang lahir kemudian tetap terdistorsi oleh
partisipasi yang tidak seimbang dari mereka yang berkuasa dan mereka yang lemah .
Donald Black yang dikutip dari buku khudzaifah Dimyati menyatakan bahwa gaya hukum yang
berfariasi menurut arahnya dalam hubungan dengan stratifikasi, maka hukum yang bersifat
pidana bergerak ke bawah (dalam stratifikasi), sedangkan yang bersifat teraputis bergerak ke atas
dan bersifat konsiliatoris berlaku yang antara orang-orang yang sama kedudukannya. Dalam
hubungannya dengan morfologi, maka hukum cenderung bersifat akusator, apabila berlaku
antara orang-orang yang sangat mengenal, namun bersifat teraputis atau konsiliatoris, jika
berlaku sesamanya. Orang-orang yang tidak terorganisasikan lebih mudah terkena hukum
pidana, sedangkan orang-orang yang menjadi anggota organisasi yang baik dapat mengandalkan
diri pada hukum kompensator .

Menurut Mochtar Kusumaatmaja bahwa sebenarnya keberadaan hukum tanpa kekuasaan adalah
angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. Akan tetapi dalam penerapannya,
hukum memerlukan suatu kekuasaan untuk mendukungnya, ciri utama inilah yang membedakan
antara hukum di satu pihak dengan norma-norma sosial lainnya dan norma agama. Kekuasaan itu
diperlukan oleh karena hukum bersifat memaksa. Tanpa adanya kekuasaan, pelaksanaan hukum
di masyarakat akan mengalami hambatan-hambatan. Semakin tertib dan teratur suatu
masyarakat, makin berkurang diperlukannya dukungan kekuasaan .
Masyarakat tipe ini dapat dikatakan sebagai memiliki kesadaran hukum yang tinggi. Sehingga
konsep law as a tool of social engineering-nya Roscoe Pound yang merupakan inti dari
pemikiran aliran Pragmatic Legal Realism dapat diterapkan, dan hukum yang hidup di
masyarakat adalah hukum yang memenuhi kebutuhan atau disebut hukum responsif . Sayangnya,
di Indonesia yang menonjol adalah perundang-undangan yang lahir atas konspirasi politik
kekuasaan saja tanpa sepenuhnya berdasar pada kebutuhan masyarakat, sehingga aliran
positivisme hukum sangat kental di negara kita, yurisprudensi berperan namun tidak seberapa.

Sehingga pendapat teori Karl Marx memberikan penegasan bahwa hukum merupakan sarana
yang dipergunakan oleh pihak memegang kekuasaan untuk mempertahankan kekuasaannya .
Dan penulis sepakat dengan teori tersebut bahwa hukum adalah produk politik (kekuasaan) yang
memandang hukum sebagai formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang
saling berinteraksi dan saling bersaingan. Jika ada pertanyaan tentang hubungan kausalitas antara
hukum dan politik atau pertanyaan apakah hukum yang mempengaruhi ada 3 macam jawaban
untuk dapat menjelaskannya :

1. Hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan
harus tunduk pada aturan-aturan hukum.

2. Politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atas kristalisasi dari kehendak-
kehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling bersaingan.
3. Politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat
determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain. Karena meskipun hukum
merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus
tunduk pada aturan-aturan hukum.

Hukum melembagakan hilangnya hak-hak istimewa dengan, misalnya, memaksakan tanggung


jawab kepada, namun mengabaikan klaim-klaim dari, para pegawai, pengutang, dan penyewa.
Penghilangan hak-hak istimewa tidak harus bergantung pada dihilangkannya hak suara dari kelas
bawah. Sebagai contoh, ketika cita-cita liberal tentang kontrak dan persamaan menghapus
hukum kebiasaan tentang tuan dan pelayan, cita-cita tersebut juga mengurangi kapasitas hukum
untuk melihat kenyataan tentang kekuasaan dalam hubungan perburuhan. Kebebasan berkontrak
memperkuat persamaan tapi bersamaan dengan itu juga meletakkan dasar bagi hubungan
subordinasi yang tidak diatur .

Dalam telaah hukum kritis dapat dilihat bahwa pada hakekatnya hukum adalah “pedang bermata
dua”. Di satu sisi hukum memang bisa digunakan sebagai sebuah acuan yang paling adil dan
paling mengayomi. Namun, di pihak lain, janganlah diabaikan bahwa hukum juga bisa
digunakan sebagai “alat” untuk mendefinisikan kekuasaan dan kepentingan, dan tentunya akan
ada pihak yang menjadi korban dari hukum yang tidak adil. Hukum dapat mengklaim kebenaran-
kebenaran sampai ranah yang tidak terbatas (Smart, 1990). Pada sisi yang kedua ini, terbuka
berbagai diskusi dan perdebatan, terutama ketika hukum ”dipersandingkan” dengan berbagai
pengalaman perempuan, kelompok miskin, kelompok minoritas, pendeknya kelompok yang
tidak memiliki kekuasaan untuk menyuarakan keberadaannya. Dengan demikian, apakah hukum
akan digunakan untuk tujuan baik atau ”tidak baik” (melaanggengkan kekuasaan), tergantung
”man behind the gun”

KESIMPULAN

1. Dari sekian banyak aliran yang ada dalam teori hukum, dua kelompok besar, yaitu (1)
menyatakan hukum sebagai suatu sestem yang pada prinsipnyadapat diprediksi dari pengetahuan
yang akurat tenang kondisi sisem itu sekarang. Perilaku siatem ditentuakn sepenuhnya oleh
bagian-bagian terkecil dari sitem itu dan teori akan menjelaskan persoalan sebagaimana adanya
tanpa keterkaiatan dengan pengamatnya.(2) pandangan yang menyatakan bahwa hukum
bukanlah sebagai suatu sistem yang teratur, tetapi merupakan sesuatu yang berkaitan dengan
ketidak beraturan, tidak dapat diramalkan dan bahwa hukum sangat dipengaruhi oleh persepsi
dari pengamatnya dalam memaknai hukum tersebut .. Critical Legal Studies (CLS) dengan
pemikirnya, Roberto Unger, dapat dimasukkan ke dalam kelompok kedua ini. Gerakan-gerakan
untuk mendekonstruksikan (hukum) juga sejalan dengan prinsip terakhir tersebut.
2. Pada hakekatnya hukum adalah “pedang bermata dua”. Di satu sisi hukum memang bisa
digunakan sebagai sebuah acuan yang paling adil dan paling mengayomi. Namun, di pihak lain,
hukum juga bisa digunakan sebagai “alat” untuk mendefinisikan kekuasaan dan kepentingan, dan
tentunya akan ada pihak yang menjadi korban dari hukum yang tidak adil. Hukum dapat
mengklaim kebenaran-kebenaran sampai ranah yang tidak terbatas (Smart, 1990). Pada sisi yang
kedua ini, terbuka berbagai diskusi dan perdebatan, terutama ketika hukum ”dipersandingkan”
dengan stratifikasi sosial atau kelompok yang tidak memiliki kekuasaan untuk menyuarakan
keberadaannya. Dengan demikian, apakah hukum akan digunakan untuk tujuan baik atau ”tidak
baik” (melaanggengkan kekuasaan), tergantung ”man behind the gun”

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Ali, Prof. Dr. Menguak Teori Hukum danTeori Peradilan termasuk Interpretasi Undang-
Undang, Kencana Prenada group, jakarta, 2009
Ali Syaifuddin, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta
Dimyati Khudzaifah Dr.,Teorisasi Hukum, Muhammadiyah Unv. Press, surakarta, 2004,
Friedman, The Task of Law- Tugas Hukum (terjemahan Drs. Muhammad Radjab) penerbit
Bhratara, Jakarta.
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Terjemahan, Nusa Media,
Bandung, 2008
Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum Terjemahan, Nusa Media, Bandung, 2009
K. Dwi Susilo Rahmad Dr. Intgrasi Ilmu Sosial Upaya Integrasi Ilmu Sosial, Tiga Peradaban, Ar
Ruzz, Jogjakarta, hal 193
Lili Rasjidi Prof. Dasar-dasar Filsafat Hukum , citra Aditya, Bandung, 1996
Rahardjo Sacipto, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000
Nonet Philippe & philip Selznick, Hukum Responsif, Nusamedia, Bandung 2008
Sudarsono. DRS. S.H. Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1995
Sutikno, Filsafat Hukum,Pradnya-Paramita, Jakarta, 1976, Jilid II
Sulistyowati Irianto, Perempuan & Hukum menuju Hukum yang berperspektif Kesetaraan dan
Keadilan, Obor, Jakarta
Soekanto Soerjono, Prof. dr. M.H. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hukum, RajaGrafindo
Persada, jakarta,

TEORI HUKUM TRIANGULAR CONCEPT OF LEGAL PLURALISM


DALAM PENDEKATAN HUKUM MODERN DI DUNIA GLOBALISASI

http://mycity-mycity.blogspot.co.id/2010/09/teori-hukum-triangular-concept-of-
legal.html

A. PENDAHULUAN

Globalisasi seakan-akan menjadi musuh besar negara-negara miskin atau berkembang saat ini,
tak mampu melawan bahkan menghadang pun tak bisa. Globalisasi membawa dampak besar,
baik positif maupun negatif, namun bagi negara-negara berkembang lebih banyak dampak
negatifnya, artinya banyak ruginya. Bagi negara maju globalisasi adalah jalan untuk masuk dan
mengekploitasi pasar-pasar di negara berkembang.

Menurut pandangan Menski, yang dipertegas oleh pakar lain, Robertson (1995) bahwa titik-akhir
dari globalisasi merupakan fenomena keanekaragaman yang hampir tak terbatas, yaitu benar-
benar sebagai "glocalization", dan bukan sebaliknya penyeragaman yang sangat tidak realistis.
Jadi globalisasi berjalan bareng dengan glocalisasi (pluralitas). Perlu didesakkan kepada visi
unifikasi anti-pendukung pluralisme bahwa pandangan mereka itu sesat dan benar-benar
membahayakan, baik terhadap perdamaian dunia maupun terhadap kesejahteraan global. Di
dunia masa kini, hal yang sangat terbukti adalah bahwa munculnya perlawanan sengit dari
kalangan yang menolak visi "globalised uniformisation" (unifikasi globalisasi) yang bermaksud
menyeragamkan visi global, inisiatif mana muncul dari Amerika Serikat dan bernafsu untuk
menjadikan dunia berada di bawah komandonya.

Permasalahan timbul jika dilihat dari perspektif hukum adalah terjadinya globalisasi hukum,
yaitu dengan tidak menjadi semakin tegasnya pengaruh dari batas-batas teritorial dan kedaulatan
negara maka hukum yang berlakupun menjadi semakin plural. Hal ini disebabkan karena seorang
individu bukanlah menjadi anggota dari masyarakat lokal saja, namun juga masyarakat suatu
negara, dan bagian dari masyarakat internasional. Dalam praksisnya dapat terjadi pertentangan
antara norma-norma yang berasal dari ketiga jenis masyarakat yang berbeda tersebut ataupun
dengan norma lainnya seperti norma agama. Dalam hal ini interpretasi yang dilakukan negara
terhadap ketentuan-ketentuan internasional dalam rangka menjadikannya instrumen hukum
positif di dalam negeri harus mempertimbangkan kebutuhannya.

Di era moderenitas saat ini dikenal sebuah teori hukum yang menjawab dunia globalisasi yaitu
triangular concept of legal pluralism (Konsep segitiga pluralism hukum). Teori ini diperkenalkan
sejak tahun 2000 kemudian dimodifikasi pada tahun 2006 oleh Werner Menski, seorang profesor
hukum dari University of London, pakar hukum di bidang Hukum Bangsa-bangsa Asia dan
Afrika, yang menonjolkan karakter plural kultur dan hukum. Dari subyek kajiannya, Menski
kemudian memperkenalkan teori hukumnya tersebut, yang sangat relevan bagi hukum bangsa-
bangsa Asia dan Afrika. Munculnya teori triangular concept of legal pluralism kemudian banyak
teori-teori hukum sebelumnya tergeser, seperti teori the disorder of law-nya Charles Sampford
yang ekstrem untuk menolak eksistensi sistem hukum, dan terutama menggeser keras teori-teori
klasik yang dianggap tidak relevan dengan dunia globalisasi, antara lain teori-teori positivistik
dari Hans Kelsen, dan Montesqueiu.
Tetapi sebaliknya, triangular concept of legal pluralism dari Menski ini memperkuat konsep
Lawrence M. Friedman tentang unsur sistem hukum ke tiga, yaitu legal culture (kultur hukum),
yang sebelumnya belum dikenal, sebelum Friendman memperkenalkannya di tahun 1970-an.
Justru eksistensi kultur hukum yang sifatnya sangat pluralistik, melahirkan kebutuhan adanya
sebuah teori hukum yang mampu menjelaskan fenomena pluralisme hukum, yang merupakan
suatu realitas. Di era globalisasi saat ini, dimana hubungan antar warga dunia, tidak lagi dibatasi
oleh sekat-sekat sempit otoritas kaku dari masing-masing negara, tetapi di hampir semua bidang,
komunikasi yang semakin canggih, menyebabkan dunia tiba-tiba terasa menjadi suatu “negara
dunia”, dan setiap warga dunia dari suatu negara ke negara lain, suka atau tidak suka, akan
berhadapan dengan hukum asing, yang tentunya tak mungkin persis sama atau bahkan sangat
kontras dengan hukum di negaranya sendiri. Setiap penduduk dunia yang melakukan perjalanan
ke nagara asing, baik secara fisik maupun melalui “dunia maya” (internet) akan merasakan
kehadiran realitas pluralisme hukum itu dalam kehidupanya. Misalnya ketentuan-ketentuan yang
telah disepakati dalam forum WTO seperti peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) yang disesuaikan untuk mengikuti standar dalam Trade-
Related Intellectual Properties Rights (TRIPS). Contoh lainnya misalnya UU Penanaman Modal
yang dibuat dengan menyesuaikan standar-standar yang terdapat dalam Trade-Related
Investment Measures (TRIMS).

Pluralisme hukum bukan hanya mengenai beraneka ragamnya hukum positif yang ada, baik antar
bangsa maupun di dalam satu negara tertentu, contohnya di Amerika Serikat, setiap ‘state’
(negara bagian) memiliki sistem hukum, sistem peradilan, dan hukum positif masing-masing,
demikian juga di Indonesia setiap daerah memiliki hukum adat masing-masing, melainkan juga
pluralisme hukum adalah mengenai perilaku hukum dari masing-masing individu atau kelompok
yang ada disetiap bangsa dan masyarakat di dunia ini. Dan tentunya menjadi sangat tidak
realistis, ketika berbagi sistem hukum, sistem peradilan dan hukum positif yang sangat plural
atau beranekaragam itu, hanya dikaji dengan mengunakan salah satu jenis pendekatan hukum
secara sempit saja, atau pendekatan moral belaka. Metode yang sangat relevan di era globalisasi
saat ini adalah menggunakan pendekatan hukum : normatif, empiris dan filsufis secara
proposional dan serentak, metode tersebut di kenal sebagai triangular concept of legal pluralism.

B. INTI TEORI TRIANGULAR CONCEPT OF LEGAL PLURALISM


Profesor Wener Menski, guru besar hukum dari university of London, Inggris, di dalam bukunya
”Comparative Law in a Global Content” (2006) merumuskan Teori Hukum yang relevan untuk
menjawab masalah-masalah hukum yang timbul di era globalisasi. Menski menolak konsep
“anti-pluralist” atau konsep “unification visions” atau “visions of globalised uniformisation,
made by America led initiatives”, yang pada dasarnya berupaya menyeragamkan visi
internasional dunia global di bawah satu visi ala Amerika, mengenai isu-isu krusial menyangkut
hukum, keadilan dan Hak Asasi Manusia .

Menghadapi era globalisasi dunia, pakar hukum modern telah meniggalkan tiga pendekatan
hukum klasik yang cenderung ekstrem sempit hanya menggunakan salah satu jenis pendekatan,
apakah yang normatif (positivistik), empiris (sosiologis, antropologis, psikologis dan lainnya)
atau pendekatan nilai dan moral (filsufis), teori triangular concept of legal pluralism (konsep
segitiga menghadapi pluralism hukum di era globalisasi dunia) menggunakan ketiga pendekatan
tersebut.

Hukum sebagai fenomena global memiliki kesamaan di seluruh dunia, dalam arti bahwa di
mana-mana hukum terdiri atas dasar nilai etis, norma-norma sosial, dan aturan-aturan yang
dibuat oleh negara, meskipun tentu saja di dalam realitasnya, muncul banyak sekali variasi kultur
yang lebih spesifik. Hal ini hanya mengonfirmasikan tentang premis dasar yang telah di ketahui,
bahwa semua hukum adalah kultur spesifik dan bahwa di dalam berbagai bidang hukum seperti
kontrak. Perkawinan, dan pembunuhan adalah merupakan fenomena universal, yang tampak
secara terus menerus berubah dari waktu-ke waktu. Dengan menggunakan pendekatan tiga tipe
utama hukum yaitu hukum yang diciptakan oleh masyarakat, hukum yang diciptakan oleh negara
dan hukum yang timbulnya melalui nilai serta etika.

Bahwa ketiga unsur tersebut bersifat plural. Untuk mudah memahami di gambarkan oleh
Menski, yaitu nomor 1 pada segitiga unsur ‘masyarakat’ (number 1 to the triangle of society),
nomor 2 pada unsur ‘negara’ (number 2 to the triangle of state), dan nomor 3 pada dunia nilai
serta etika (number 3 to the realm of values and ethics). Dari hal tersebut menjadi alasan,
mengapa satu tipe teori hukum terhadap dirinya sendiri, tidak akan bekerja untuk menjelaskan
sifat alami hukum yang hakikatnya bersifat plural.

Jadi menurut Menski untuk memperkenalkan representasi grafis dari level of intrisic the second
pluralisme hukum, dimulai dengan hukum yang di temukan di dalam kehidupan sosial, karena di
kehidupan sosial itulah merupakan tempat dimana hukum selalu berlokasi. Bahwa tak ada
masyarakat tanpa hukum, pada poros pusat dalam the triangle of society, norma-norma sosial
dan proses-proses yang menghasilkan beberapa validitas dan kewenangan dari lingkungan etika
dan nilai-nilai. Secara menyeluruh, citra intrinsik dari pluralisme hukum terdapat dalam the
triangle of society. Hal itu membuktikan bahwa ini juga merupakan kehidupan klutur, tetapi
kultur yang barangkali juga secara intrisik bersifat plural dan bersifat meluas ke dalam
kehidupan kenegaraan dan ke alam nilai. Dengan demikian, hal itu berarti bahwa analisis
kultural juga akan memperoleh manfaat dari penerapan metode analisis kesadaran pluralitas
(pluralitas-conscious analytical methods).

Selanjutnya the triangle of the state, jenis hukum yang secara langsung bersumber dari produk
negara, mungkin saja relatif kecil dan bahkan tak terlihat, atau mungkin juga dalam bentuknya
sebagai legislasi formal dalam jumlah yang besar-besaran. Namun apa pun bentuknya dan apa
pun yang membentuknya, dan apa pun kemungkinan sifat yang tepat dari negara. Ini
merefleksikan fakta bahwa seperti berbagai jenis hukum produk negara, yang mana dapat
mengambil bentuk dari aturan-aturan, norma-norma ataupun input dalam negosiasi, yang tumbuh
terutama dalam jenis segitiga hukum produk negara ini. Menurut Chiba dikanal sebagai the
second type of official law atau tipe kedua dari hukum resmi negara, yaitu hukum negara yang
tidak bener-benar dibuat oleh negara, melainkan dilegitimasi berlakunya oleh negara. Penalaran
yang sama dapat diterapkan, pada sis lain dari “the statist trangle, kepada tipe-tipe hukum produk
negara (state-made law) yang mendapat pengaruh dari nilai-nilai dan etika spesifik.

Selanjutnya ke pembahasan mengenai segitiga hukum alam (the triangle of natural law) dan
pengembangan keadaan yang plural, bagi tipe hukum yang bersumber dari segitiga jenis hukum
alam ini, yang sumbernya telah berutang pada input-input yang berhubungan erat dengan jenis
segitiga hukum alam ini. Menurut istilah Chiba sebagai ‘postulat hukum’ yang secara sebagian
terbesar telah “berutang’, baik mengenai eksistensi mereka maupun mengenai bentuk menreka,
akibat kehadiran negara, atau karena adanya kesadaran tentang kehadiran ‘some rule-negotiating
power’ yang menggerakan awal dari segitiga ini.

Di contohkan oleh Achmad Ali dengan cerita, ketika orang melihat sebuah "trafficlight" di
persimpangan jalan, maka pernyataan yang muncul bisa bermacam-macam respons, tergantung
dari paradigma atau mazhab hukum apa yang mendominasi pikiran dan persepsinya. Seseorang
yang berparadigma legalistik-positivis, akan menyatakan: "Trafficlight" itu agar setiap pengguna
lalulintas di jalan, harus berhenti jika lampu yang menyala adalah berwarna merah!" Berbeda
dengan seseorang yang berparadigma psikologi-hukum (dan paradigma empiris hukum lainnya
seperti sosiologi hukum), akan mempertanyakan: "Benarkah ketika lampu merah nanti menyala,
semua pengguna jalan akan berhenti?" Kalau orang menaati untuk berhenti ketika lampu merah,
faktor psikologis apa yang menyebabkan dia taat? Dan kalau seseorang melanggar lampu merah,
faktor psikologis apa yang menyebabkan ketidaktaatannya? Demikianlah opini dan sikap serta
perilaku seseorang terhadap suatu fenomena hukum, sangat ditentukan oleh faktor "mazhab
hukum" yang mendominasinya.

Contoh lain, orang-orang yang menganut pandangan legalistik-positivis, cenderung akan


mempertanyakan: "Bagaimana agar hukum ditaati?" Sebaliknya, seseorang yang menganut
paham mazhab empiris, apakah sosiologis, antropologis, psikologis, dan lainnya, mungkin
pertanyaannya menjadi: "Mengapa hukum harus ditaati?".
Bagi Menski, tentu saja sangat tidak realistis, ketika berbagai sistem hukum, sistem peradilan
dan hukum positif yang sangat plural atau beranekaragam itu, hanya dikaji dengan menggunakan
salah satu jenis pendekatan hukum secara sempit saja, misalnya hanya menggunakan pendekatan
positivis-normatif belaka, atau hanya menggunakan pendekatan empiris saja, atau pendekatan
moral belaka. Tak ada metode yang lebih relevan untuk menghadapi berbagai isu hukum di era
globalisasi dunia dewasa ini kecuali dengan penggunaan secara proporsional secara serentak
ketiga pendekatan hukum; normatif, empiris (psikologi hukum, sosiologi hukum, dan lainnya)
dan filsufis, dan itulah yang dikenal sebagai Triangular Concept of Legal Pluralism. Dari
paradigma legalistik-positivis saja, tentunya hal satu-satunya yang penting adalah bentuk dari
proses lahirnya suatu perundang-undangan, atau dengan kata lain yang paling penting hanyalah
"legalitas"nya, bukan soal "legitim atau tidak legitim"nya. Berbeda hanya jika kita menggunakan
paradigma mazhab empiris. Yang lebih penting dari suatu perundang-undangan ataupun aturan
hukum lain, adalah "apa dan bagaimana dampak yang ditimbulkan suatu ketentuan hukum".
Timbulnya perbedaan itu, karena memang terdapat asumsi dasar yang berbeda secara mencolok;
bagi kaum legalistik-positivistik, slogan mereka adalah manusia untuk hukum, atau paling
tidaknya, hukum untuk hukum. Berbeda halnya dengan asumsi dasar kaum empiris-hukum, yang
slogannya adalah hukum harus untuk manusia, dan bukan manusia untuk hukum. Pertemuan
antara "ilmu hukum" dan "psikologi hukum", adalah karena keduanya menjadikan perilaku
manusia sebagai objek kajiannya. Secara "legal-empiris", dampak mengacu ke perilaku dan
perilaku sering dapat diukur secara kuantitatif.

Suatu fenomena hukum yang sama atau mirip, dapat menimbulkan reaksi yang tidak sama dari
masyarakat yang berbeda, atau dari individu yang berbeda. Oleh karena itulah, kita dapat
menekankan fungsi terpenting dari hukum, adalah sebagai "guiding behavior" atau penuntun
perilaku. Dan sebagai konsekuensi dari fungsi tersebut, maka salah satu tujuan utama setiap
kajian ilmiah hukum (bukan sekadar kajian praktis seperti yang menjadi tujuan kajian legalistik-
normatif) adalah: "menemukan dampak hukum terhadap perilaku manusia ("legal behavior").
Seterusnya, karena perilaku manusia dipengaruhi bahkan dibentuk oleh berbagai faktor "extra-
legal" (faktor nonhukum); faktor sosial, kultur, psikologi, politik, ekonomi, religi, dan lainnya,
maka merupakan hal yang tak terhindarkan untuk melibatkan ilmu-ilmu sosial seperti psikolog
dalam kajian ilmu hukum, dan inilah yang oleh Richard L Schwartz, dinamakannya sebagai
"external method", yang diperlawankan dengan "internal method" (metode tradisional doktrinal
yang legalistik-normatif). Bagi Schwartz, Teori Hukum dan Ilmu Hukum dewasa ini,
mempunyai karakteristik oleh pembedaan antara "metode tradisional doktrinal" (yang
mendominasi kaum positivis) di satu pihak, dengan "pendekatan-pendekatan yang diambil dari
disiplin ilmu nonhukum atau extra-legal disciplines (seperti psikologi, sosiologi, sejarah,
ekonomi, dan lainnya).

Salah satu subjek psikologi hukum, adalah persepsi warga masyarakat terhadap hukum. Persepsi
bangsa Jepang terhadap penyelesaian konflik hukum, sangat berbeda dengan persepsi bangsa-
bangsa Barat (dan yang juga latah ke Barat-Baratan seperti sebagian anak bangsa Indonesia yang
dilanda "virus legalistik- litigasi"). Persepsi penyelesaian konflik Barat adalah win or lose
(menang atau kalah). Dan pihak yang menang, benar-benar harus menang telak, sebaliknya pihak
yang kalah, juga harus dikalahkan secara telak. Contoh: Undang-undang Kepailitan yang
sepenuhnya mengadopsi paradigma Barat, dan yang bisa berakibat, seseorang yang dinyatakan
pailit, harus meninggalkan seluruh hartanya. Persepsi bangsa Jepang terhadap penyelesaian
konflik, adalah win-win solution (tidak boleh ada yang terlalu kalah, dan tidak boleh ada yang
terlalu menang). Di dalam pembagian modern tentang "Sistem Hukum" yang ada di dunia,
Sistem Hukum Jepang dan China dikelompokkan sebagai "Far East Legal System" alias Sistem
Hukum Timur Jauh, yang sebenarnya, andai Indonesia tidak dirasuki oleh virus legalistik-litigatif
mantan penjajahnya, Belanda, juga akan termasuk dalam sistem hukum itu, dan bukannya
sebaliknya memaksa mendaulat diri tergolong dalam "Sistem Hukum Eropa Kontinental".

C. KEADILAN HUKUM DI ARUS GLOBALISASI


Globalisasi menimbulkan ketidakadilan hukum bagi negara berkembang, negara maju mendesak
peraturan yang menguntungkannya berlaku di negara berkembang. Yang pada akhirnya negara
berkembang tidak mampu lagi halangi gelombang globalisasi tersebut. Hanya hukum nasional
atau lokal yang akan melindungi masyarakatnya dari ketidakadilan global. Negara sudah tidak
mampu lagi melindungi masyarakatnya. Bagaimana hukum akan bekerja di saat gelombang
globalisasi begitu kuat. Soebekti berpendapat bahwa hukum itu mengabdi kepada tujuan negara,
yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagian para rakyatnya. Dalam mengabdi kepada
tujuan negara itu dengan menyelenggarakan keadilan dan ketertiban. Tujuan hukum menurut
hukum positif kita tercantum dalam alinea empat Pembukaan Undang-undang Dasar, yang
berbunyi sebagai berikut :

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpahdarah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia,
yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, dan Kerakyatam yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.

Konsep keadilan tidak hanya konsep teori yang utama dalam filosofi hukum, tetapi sama
pentingya juga dengan pengertian hukum itu sendiri, keadilan juga merupakaan wacana ilmilah
yang umumnya mengenai kehidupan publik yang dipahami setiap orang secara intuitif. Satu dari
konsep tersebut, seperti “keberadaan atau kebenaran” akan segera dipahami orang, khususnya
dalam kontek negosiasi, pada awalnya keadilan cenderung akan menimbulkan ketakutan. Kita
dapat memberikan contoh dari ketidakadilan, tetapi ketika dihadapkan pada pertanyaan langsung
yang abstrak mengenai apakah sebenarnya keadilan, maka akan sulit untuk mengetahui dari
mana memulainya. Yang jelas adalah bahwa keadilan, sebagai konsep moral yang mendasar,
dapat didefinisikan dalam konteks yang melibatkan kesadaran, rutinitas dan pengertian moral.
Penderitaan yang disebabkan oleh badai, gempa dan serangan gajah tidak dapat dikatakan
sebagai suatu ketidakadilan. Hal yang mungkin dapat dikatakan sebagai ketidakadilan adalah
kegagalan untuk melepaskan diri dari penderitaan tersebut. Keadilan adalah suatu masalah
dimana tidak hanya terdapat unsur kesadaran tetapi juga suatu aktivitas yang mempunyai tujuan.
Aktivitas tersebut bisa merupakan keberadaan dari sesuatu yang alami seperti aparatur hukum
dan kerajaan, atau sesuatu yang supernatural misalnya kemarahan atau kebaikan Tuhan, adanya
tujuan yang disadari merupakan kondisi yang penting dalam membicarakan keadilan.

D. TRIANGULAR CONCEPT OF LEGAL PLURALISM DI HUKUM INDONESIA


Globalisasi sebagai sebuah fakta yang sangat tampak secara luas, bukanya dengan seirus
ditantang sebagai sebuah peristiwa. Bagaimana menghubungkan globalisasi dengan teori hukum
dan pemahaman hukum. Saat ini tidak hanya ada dua sistem hukum di dunia ini, yaitu common
law system (Aglo-American Legal System) dan Civil Law (Continental Europa Legal System),
tapi lebih bervariatif. Salah satu perbedaannya berikut :

a. Civil Law, berlaku di Benua Eropa dan negara-negara mantan jajahanya.

b. Common Law, berlaku di Inggris, Amerika Serikat, dan negara-negara berbahasa Inggris
(Commonwealth)

c. Customary Law, di beberapa negara Afrika, Cina dan India.

d. Muslim Law, di negara-negara muslim, terutama di Timur Tengah.

e. Mixed system, Di Indonesia salah satunya, dimana berlaku sistem hukum perundang-
undangan, hukum adat, dan hukum Islam.

Dalam konteks demikian negara maju sangat diuntungkan bila dibandingkan dengan keuntungan
yang didapat oleh negara berkembang. Selanjutnya, resep lain yang telah diimplementasikan
Indonesia adalah amendemen berbagai peraturan perundang-undangan di bidang yang terkait
dengan kegiatan ekonomi dan bisnis. Di antaranya adalah peraturan perundang- undangan di
bidang perseroan terbatas, pasar modal, penanaman modal. Demikian pula sejumlah badan usaha
milik negara secara agresif melakukan privatisasi, salah satunya dengan cara kerja sama operasi
dan go public. Pemerintah pun melakukan deregulasi atas peraturan perundang-undangan di
berbagai sektor. Terakhir sejumlah undangundang diubah dan dibentuk untuk menguatkan
hukum jaminan bagi hak-hak kebendaan, termasuk hak atas kekayaan intelektual.Pemaksaan
dilakukan dengan cara mendorong Indonesia mengikuti berbagai perjanjian internasional, di
samping memanfaatkan ketergantungan ekonomi Indonesia. Sebagai contoh berbagai perjanjian
internasional seperti WTO Agreements telah menjadi perjanjian internasional yang penting untuk
mengamankan kepentingan negara industri. Pemaksaan seperti ini sulit untuk disebut sebagai
pelanggaran atas hukum internasional ataupun campur tangan dalam urusan domestik Indonesia.

Labels: Artikel
TEORI HUKUM DAN PENEMUAN HUKUM
Rabu, 11 Juni 2014/http://yudaeka793.blogspot.co.id/

Piramida Hukum Nasional Indonesia berdasarkan Teori Hans Kelsen,Hans


Nawiaski dan berdasar pada UU tentang pembentukan peraturan perundang-
undangan yaitu Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2011

1.        Mengenal Hukum Nasional Indonesia


Teori Stufenbau adalah teori mengenai sistem hukum oleh Hans Kelsen yang
menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang
dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih
tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma
hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma hukum yang paling dasar
(grundnorm) bentuknya tidak kongkrit (abstrak) .Contoh norma hukum paling dasar abstrak
adalah Pancasila.
Bentuk Hukum Indonesia
a.     Tertulis, misalnya: UUD 1945, UU Pokok Agraria, Hukum Pidana (KHUP),Hukum Perdata
(KUHPer)
b.    Tidak Tertulis, misalnya: Hukum Adat, Hukum Kebiasaan.
Kedua kelompok hukum tersebut merupakan Hukum Indonesia atau Hukum Positif Indonesia,
yaitu Hukum yang berlaku pada waktu saat ini, dibentuk oleh badan-badan kenegaraan yang
diberi wewenang membentuknya.
Hukum positif itu dikatakan oleh hans kelsen sebagai teori hukum murni, merupakan
teori tentang hukum positif umum bukan tentang tatanan hukum khusus, ia merupakan teori
hukum umum, bukan penafsiran tentang norma hukum nasional atau internasional tertentu,
namun menyajikan teori penafsiran.11[1]
Badan-badan kenegaraan lainnya yang kedudukannya di bawah Presiden dalam
membentuk hukum dipengaruhi oleh alam pikiran bangsa Indonesia atau filsafat hidup bangsa
Indonesia. Dasar filsafat dalam pembentukkan hukum Indonesia adalah Pancasila, karenanya
Pancasila disebut Filsafat Hukum Indonesia. Bagaimana Pancasila memperoleh legalitas
hukumnya sehingga merupakan suatu kaidah yang normatif, yang mengikat, yang
mempengaruhi tingkah laku manusia Indonesia, baik sebagai individu dalam masyarakat
maupun sebagai pendapat negara yang diserahi tugas membentuk Undang-Undang ditambah
peraturan-peraturan lainnya.
Agar Pancasila merupakan kaidah yang mengikat, maka Pancasila harus merupakan
kaidah yang mengikat. Untuk menjadi norma yang mengikat, Pancasila harus mempunyai
”Bentuk”dan ”Isi”. Bentuk Pancasila dan Isinya tercermin dalam pembukaan UUD 1945.
Bentuk : Tertulis. Isinya:
1)      Ketuhanan yang Maha Esa
2)      Kemanusiaan yang adil dan beradab
3)      Persatuan Indonesia
4)      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan,
serta
5)      mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Adapun yang berhak mengisi sila-sila Pancasila adalah Rakyat Indonesia yang
mendelegasikannya kepada sebuah badan yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat, yang
membawakan suara dan kehendak rakyat Indonesia. Tampaknya Pancasila masih menjadi
kaidah dasar dalam tertib hukum Indonesia.
Menurut teori tangga Hans Kelsen (Stufen Theory):

11[1] Hans Kelsen “Teori hukum murni-dasasr-dasar ilmu hukum normative” terjemahan The fure of
teory :Barkely University of California press :1978 : Nusa Media,bandung,2010, hlm 1

“Teori ini di kritik oleh hari chand :konsep norma dasar yg di kmukaka kelsen tidak jelas. Yang di sebut
dengan norma dasar itu bukan mrupakan hukum positif tapi suatu pesu posisi pengetahuan yuridis.
General Norms (dibentuk oleh badan legislatif)

Teori tangga menggambarkan dasar berlakunya suatu kaidah terletak pada kaidah yang
diatasnya. Menurut Kelsen: Legalitas Peraturan terletak pada UU, dan legalitas UU terletak
pada UUD.
2. Isi Hukum Indonesia
Menurut isinya hukum Indonesia dibedakan antara Hukum Publik dan Hukum Privat.
Hukum Publik adalah hukum yang melindungi kepentingan Umum/Negara. Hukum Privat
adalah hukum yang melindungi kepentingan Privat/ Perorangan, Misalnya: jual beli, sewa
menyewa. Hukum Privat disebut juga Hukum Perdata dalam arti luas, mencakup:
a.       Hukum Perdata dalam arti sempit, yaitu ketentuan yang dimuat dalam KUHS, Octrooi dan UU
Auteur. UU Octrooi adalah UU yang melindungi hak cipta dalam bidang industri, perdagangan.
UU Auteur adalah UU yang melindungi hak cipta dalam bidang kesenian dan kesusastraan.
b.      KUHD: Kitab UU hukum dagang. Sebagian hukum dagang masuk dalam hukum perdata, karena
semula hanya terdapat hukum perdata, kemudian dirasakan perlu ada perbedaan antara
keduanya, sehingga dampaknya terdapat campuran dalam kedua kitab UU tersebut. Sebagian
hukum dagang masuk ke dalam kitab UU hukum perdata, sebagian hukum perdata masuk ke
dalam hukum dagang.

Sesudah Indonesia merdeka terdapat 3 kodifikasi hukum, yaitu: Kitab UU Hukum Pidana,
Kitab UU Hukum Perdata, Kitan UU Hukum Dagang. Dari perkembangan selanjutnya terdapat
pandangan bahwa Kitab UU Hukum Perdata mestinya seperti semula, hukum dagang masuk ke
dalam hukum perdata, karena hukum dagang tidak ada landasan ilmunya. Adapun yang
dimaksud dengan kodifikasi adalah membukukan hukum ke dalam kitab UU secara sistematis
dan lengkap.
3. Tujuan Hukum
Tujuan hukum adalah untuk mencapai masyarakat yang tertib, adil dan damai, selain
tujuan tersebut di Indonesia ditambahkan pengayoman. UUD 1945 sebagai dasar, berisi
instruksi-instruksi untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan sosial. Ini
berarti bahwa hukum adalah alat untuk mendapatkan ketertiban dan alat untuk mencapai
kesejahteraan sosial.
filosofis-ideologis UUD 1945 adalah untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal
bernegara, yaitu:
a.       Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
b.      Meningkatkan kesejahteraan umum;
c.       Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
d.      Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi, dan
keadilan sosial.
4.        Kedudukan Pancasila Dalam Hukum Nasional (pandangan Kalsen dan Nawiaski dalam bentuk
piramida)
Telah diuraikan bahwa dalam kehidupan bangsa Indonesia, Pancasila adalah filosofische
grondslag dan common platforms . Pancasila adalah dasar negara. Salah satu masalah pada
masa lalu yang mengakibatkan Pancasila cenderung digunakan sebagai alat legitimasi
kekuasaan dan lebih menjadi ideologi tertutup adalah karena adanya pendapat bahwa
Pancasila berada di atas dan diluar konstitusi. Pancasila disebut sebagai norma fundamental
negara (Staatsfundamentalnorm) dengan menggunakan teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky.
Teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan
rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah seorang tokoh yang
mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky
disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori
tersebut adalah:
a.    Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
b.    Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
c.    Undang-undang formal (formell gesetz); dan
d.    Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).

Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan


konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari
suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi.
Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara.12[2]
Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar
(basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staats grundnorm melainkan
Staats fundamental norm, atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak
berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.
Teori tangga menggambarkan dasar berlakunya suatu kaidah terletak pada kaidah yang
diatasnya. Menurut Kelsen: Legalitas Peraturan terletak pada UU, dan legalitas UU terletak
pada UUD.13[3]
Berdasarkan teori Hans Nawiaky, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya dengan
teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi
menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky.
Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah: 14[4]

12[2] A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan
dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia,
Jakarta, 1990, hal., 287.

13[3] Piramida hukum hans kelsen dan nawiaski dalam bentuk piramida hukum nasional Indonesia”

14[4]Ibid., hlm. 359


a.    Staats fundamental norm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
b.    Staats grundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
c.    Formell gesetz: Undang-Undang.
d.   Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga
Keputusan Bupati atau Walikota.

Penempatan Pancasila sebagai Staats fundamental norm pertama kali disampaikan oleh
Notonagoro. 15[5] Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang
pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide
dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya
Pancasila sebagai Staats fundamental norm maka pembentukan hukum, penerapan, dan
pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila. 16[6]
Namun, dengan penempatan Pancasila sebagai Staats-fundamental norm berarti
menempatkannya di atas Undang-Undang Dasar. Jika demikian, Pancasila tidak termasuk dalam
pengertian konstitusi, karena berada di atas konstitusi. Untuk membahas permasalahan ini
dapat dilakukan dengan melacak kembali konsepsi norma dasar dan konstitusi menurut Kelsen
dan pengembangan yang dibuat oleh Nawiasky, serta melihat hubungan antara Pancasila dan
UUD 1945.17[7]
Kelsen membahas validitas norma-norma hukum dengan menggambarkannya sebagai
suatu rantai validitas yang berujung pada konstitusi negara. Jika bertanya mengapa konstitusi
itu valid, mungkin dapat menunjuk pada konstitusi lama. Akhirnya mencapai beberapa
konstitusi hingga konstitusi pertama yang ditetapkan oleh individu atau semacam majelis.
Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, postulat yang final, di mana validitas
semua norma dalam tata aturan hukum bergantung. Dokumen yang merupakan wujud
konstitusi pertama adalah konstitusi sesungguhnya, suatu norma mengikat, hanya dalam
kondisi dipresuposisikan sebagai valid. Presuposisi inilah yang disebut dengan istilah
trancendental-logical pressuposition.18[8]
Semua norma hukum adalah milik satu tata aturan hukum yang sama karena
validitasnya dapat dilacak kembali, secara langsung atau tidak, kepada konstitusi pertama.
Bahwa konstitusi pertama adalah norma hukum yang mengikat adalah sesuatu yang
dipreposisikan, dan formulasi preposisi tersebut adalah norma dasar dari tata aturan hukum ini.
Kalimat terakhir jelas menunjukkan adanya dua hal, yaitu norma dasar adalah
presuposisi atas validitas konstitusi pertama. Norma dasar tidak dibuat dalam prosedur hukum

15[5] Notonagoro, ”Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamentil Negara
Indonesia)” dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan keempat, (Jakarta: Pantjuran Tudjuh,
tanpa tahun).

16[6] Attamimi, Op Cit., hal. 309.

17[7] “A.Amin S Attamimi menerapkan dalam struktur tata hukum nasional indonesia”

18[8] Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, Loc.Cit., hal 115.
oleh organ pembuat hukum. Norma ini valid tidak karena dibuat dengan cara tindakan hukum,
tetapi valid karena dipresuposisikan valid, dan dipresuposisikan valid karena tanpa presuposisi
ini tidak ada tindakan manusia dapat ditafsirkan sebagai hukum, khususnya norma pembuat
hukum.
Logika Kelsen tersebut sering dipahami secara salah dengan mencampuradukkan antara
presuposisi validitas dan konstitusi, manakah yang merupakan norma dasar (grundnorm)?. Hal
inilah yang selanjutnya diselesaikan oleh Nawiasky dengan membedakan antara
staatsfundamental-norm dengan staatsgrundgesetz atau grundnorm dengan alasan bahwa
grundnorm pada dasarnya tidak berubah sedangkan staatsfundamentalnorm dapat berubah
seperti melalui kudeta atau revolusi.19[9]
Pendapat Nawiasky tersebut sebenarnya sejalan dengan pandangan Kelsen. Kelsen juga
menyatakan bahwa konstitusi memang dibuat sulit untuk diubah karena dengan demikian
menjadi berbeda dengan norma hukum biasa.20[10] Selain itu, Kelsen juga menyatakan bahwa
suatu tata hukum kehilangan validitasnya secara keseluruhan jika terjadi kudeta atau revolusi
yang efektif. Kudeta atau revolusi adalah perubahan tata hukum selain dengan cara yang
ditentukan oleh tata hukum itu sendiri. Kudeta atau revolusi menjadi fakta hilangnya
presuposisi validitas konstitusi pertama dan digantikan dengan presuposisi yang lain. Tata
hukum yang berlaku adalah sebuah tata hukum baru meskipun dengan materi yang sama
dengan tata hukum lama.21[11]
Berdasarkan uraian antara pandangan Kelsen dan Nawiasky tersebut dapat disimpulkan
bahwa staats-fundamentalnorm yang dikemukakan oleh nawiasky adalah presuposisi validitas
konstitusi pertama yang dikemukakan oleh Kelsen sebagai norma dasar. Sedangkan staats-
grundgesetz-nya Nawiasky adalah konstitusi dalam pandangan Kelsen. Pertanyaan selanjutnya
adalah apakah Pancasila merupakan staatsfundamentalnorm atau merupakan bagian dari
konstitusi.
5.        Pancasila Dalam Lintasan sejarah
Pancasila lahir dan dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato
Soekarno Tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai Philosofische
grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan
didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah
Weltanschauung atau pandangan hidup. Pancasila adalah lima dasar atau lima asas. 22[12]

19[9] Attamimi, Op Cit., hal. 359.

20[10] Kelsen, Hans, General Theory, Op Cit., hal 124 – 125.

21[11] Kelsen, Hans, General Theory, Op Cit., hal 117

22[12] Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (peny.), Risalah Sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hal. 63,
69, dan 81. RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata
Pidato yang dikemukakan Soekarno pada saat itu adalah rangkaian persidangan BPUPKI
yang membahas dasar negara. Selain Soekarno, anggota-anggota yang lain juga mengemukakan
pendapatnya baik secara lisan maupun tertulis. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan
dalam persidangan tersebut, kemudian ditunjuk tim perumus yang terdiri dari 8 orang, yaitu: Ir.
Soekarno, Drs. M. Hatta, Mr. M. Yamin, M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, R. Otto
Iskandardinata, Mr. A. Maramis, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan K.H. Wachid Hasjim. Tim ini
menghasilkan rumusan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta dan diterima oleh
BPUPKI pada Tanggal 10 Juli 1945.
Dokumen inilah yang menjadi Pembukaan UUD 1945 setelah terjadi kompromi dengan
pencoretan tujuh kata. Walaupun pengaruh Soekarno cukup besar dalam perumusan dokumen
ini, namun dokumen ini adalah hasil perumusan BPUPKI yang dengan sendirinya
merepresentasikan berbagai pemikiran anggota BPUPKI. Dokumen ini disamping memuat lima
dasar negara yang dikemukakan oleh Soekarno, juga memuat pokok-pokok pikiran yang lain. 23
[13]
Jika masalah dasar negara disebutkan oleh Soekarno sebagai Philosofische grondslag
ataupun Weltanschauung, maka hasil dari persidangan-persidangan tersebut, yaitu Piagam
Jakarta yang selanj utnya menjadi dan disebut dengan Pembukaan UUD 1945, yang merupakan
Philosofische grondslag dan Weltanschauung bangsa Indonesia. Seluruh nilai-nilai dan prinsip-
prinsip dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara Indonesia, termasuk di dalamnya
Pancasila.

6.        Pokok Pikiran dan subtansi Penjelasan UUD 1945

Selain Pancasila, telah dikenal adanya empat pokok pikiran Pembukaan UUD 1945, yaitu;

(1)     bahwa Negara Indonesia adalah negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta mencakupi segala paham golongan dan
paham perseorangan;
(2)     bahwa Negara Indonesia hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warganya;
(3) bahwa Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat. Negara dibentuk dan
diselenggarakan berdasarkan kedaulatan rakyat; dan
(4)  bahwa Negara Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.

Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 117, 121, 128 – 129.

23[13] “Piagam Jakarta dalam perumusan dasar Negara oleh tim 8 dalam perjalanannya setelah rumusan
tersebut di serahkan kepada BPUPKI masi terdapat beberapa pertentangan antara nasionalis dengan
agamawan”
Jika mencermati Pembukaan UUD 1945, masing-masing alenia mengandung pula cita-cita luhur

dan filosofis yang harus menjiwai keseluruhan sistem berpikir materi Undang-Undang Dasar.

a.       Alenia pertama menegaskan keyakinan bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan adalah hak
asasi segala bangsa, dan karena itu segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan
karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
b.   Alenia kedua menggambarkan proses perjuangan bangsa Indonesia yang panjang dan penuh
penderitaan yang akhirnya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang
negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
c.      Alenia ketiga menegaskan pengakuan bangsa Indonesia akan ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang
Maha Esa, yang memberikan dorongan spiritual kepada segenap bangsa untuk
memperjuangkan perwujudan cita-cita luhurnya sehingga rakyat Indonesia menyatakan
kemerdekaannya.
d.      Terakhir alenia keempat menggambarkan visi bangsa Indonesia mengenai bangunan
kenegaraan yang hendak dibentuk dan diselenggarakan dalam rangka melembagakan
keseluruhan cita-cita bangsa untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam wadah
Negara Indonesia. Dalam alenia keempat inilah disebutkan tujuan negara dan dasar negara.

Jimli Asiddiq mengatakan UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi yang harus tercermin
dalam segala peraturan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan kenegaraan, dan harus
ditegakkan sebagaimana mestinya dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan negara. 24[14]
Penjelasan UUD 1945 yang merupakan bagian dari keseluruhan UUD 1945 menyatakan
bahwa “Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang
menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun
hukum yang tidak tertulis. Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam
pasal-pasalnya”. Bahkan para founding fathers juga menyadari akan perkembangan masyarakat
sehingga tidak tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk (Gelstaltung). Penjelasan ini
sebenarnya memberi ruang perubahan terhadap perwujudan pokok-pokok pikiran dalam
Pembukaan UUD 1945.
Berdasarkan penjelasan tersebut, terlihat bahwa Pembukaan UUD 1945 termasuk
pancasila merupakan satu kesatuan dengan pasal-pasal UUD 1945. Hal ini juga dapat dilihat dari
proses penyusunan Pembukaan UUD 1945 yang merupakan satu kesatuan dengan pembahasan
masalah lain dalam Undang-Undang Dasar oleh BPUPKI, yaitu masalah bentuk negara, daerah
negara, badan perwakilan rakyat, dan badan penasehat. Status Pembukaan UUD 1945 sebagai
satu kesatuan dengan pasal-pasalnya menjadi sangat tegas berdasarkan Pasal II Aturan
Tambahan UUD 1945 yang berbunyi: “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar

24[14] Jimly Asiddiq “ UUD 1945 adalah sumber hukum/staatfundamentalnorm


ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan
pasal-pasal.”
Jika Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasalnya merupakan satu kesatuan, tentu tidak
dapat memisahkannya dengan menempatkan Pembukaan UUD 1945 sebagai
staatsfundamentalnorms yang lebih tinggi dari pasal-pasalnya sebagai staatsverfassung. Apalagi
dengan menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah dasar pembentukan pasal-pasal UUD
1945 sebagai konstitusi, atau Pembukaan UUD 1945 adalah presuposisi bagi validitas pasal-
pasal UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 (termasuk di dalamnya Pancasila) dan pasal-pasalnya
adalah konstitusi tertulis bangsa Indonesia.
Pembukaan UUD 1945 walaupun merupakan pokok-pokok pikiran yang abstraksinya
tinggi dan dijabarkan dalam pasal-pasalnya, tetapi bukan merupakan dasar keberlakuan pasal-
pasal UUD 1945 dan berarti bukan pula presuposisi validitas pasal-pasal tersebut. Pembukaan
UUD 1945 bukan sekedar sebuah postulat dari juristic-thinking. UUD 1945 secara keseluruhan
ditetapkan sebagai konstitusi (staatsverfassung) yang mengikat dalam satu tindakan hukum,
yaitu keputusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
Penempatan Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari Konstitusi sekaligus
menempatkannya sebagai norma abstrak yang dapat dijadikan sebagai standar valuasi
konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah. Bahkan juga dapat digunakan sebagai
prinsip-prinsip dalam menafsirkan konstitusi. Dengan posisi Pembukaan UUD 1945 sebagai
bagian dari konstitusi, maka pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya, termasuk
Pancasila, benar-benar dapat menjadi rechtsidee dalam pembangunan tata hukum Indonesia.
Pancasila bukan merupakan staatsfundamental-norms. Yang menjadi dasar keberlakuan
UUD 1945 sebagai konstitusi dan yang mempresuposisikan validitas UUD 1945 adalah
Proklamasi 17 Agustus 1945. Proklamasi menurut hukum yang berlaku pada saat itu bukan
merupakan tindakan hukum karena dilakukan bukan oleh organ hukum dan tidak sesuai dengan
prosedur hukum. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang menandai berdirinya Negara Republik
Indonesia, yang berarti terbentuknya suatu tata hukum baru (New Legal Order). Adanya Negara
Indonesia setelah diproklamasikan adalah postulat berpikir yuridis (juristic thinking) sebagai
dasar keberlakuan UUD 1945 menjadi konstitusi Negara Indonesia. Keberadaan Negara
Indonesia yang merdeka adalah presuposisi validitas tata hukum Indonesia berdasarkan UUD
1945 sekaligus meniadakan tata hukum lama sebagai sebuah sistem.
7.        Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Nomor 12 Tahun 2011
Hierarki atau tata urutan peraturan Perundang-undangan Negara Republic Indonesia
(Pasal 7) adalah sebagai berikut :
a. Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
1)      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2)      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3)      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4)      Peraturan Pemerintah;
5)      Peraturan Presiden;
6)      Peraturan Daerah Provinsi; dan
7)      Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

b.    Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana


dimaksud pada ayat (1).25[15]

Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi Peraturan


Perundangundangandi Indonesia, sebenarnya bukanlah merupakan suatu konsep baru,
melainkan sudahberjalan atau dilaksanakan cukup lama oleh pembuat kebijakan (penyusun
peraturan perundang-undangan/law maker), yaitu telah ada sebelum dilakukannya
perubahan/amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (selanjutnya disebut “UUD 1945”).
Kebijakan mengenai harmonisasi peraturan perundang-undangan sebenarnya telah
diatur sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 1970 tentang
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia, namun pengaturannya tidak secara tegas dan rinci. Pengaturan lebih tegas terkait
harmonisasi kemudian diatur berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tatacara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, yang merupan pengganti Inpres Nomor 15/1970
tersebut.
Kebijakan pengharmonisasian berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun 1998 kemudian
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan amanat dari Pasal 22A UUD 19453. Oleh karena
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dalam tataran praktik empririkal masih banyak
mengandung kelemahan, maka DPR bersama Pemerintah telah berhasil menyusun kembali dan
melakukan penyempurnaan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004.
Pengaturan terkait pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi
peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan lebih lengkap pengaturannya dibandingkan
kebijakan-kebijakan sebelumnya. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengatur
pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU, baik yang berasal dari
Pemerintah maupun yang berasal dari DPR. Selain itu diatur pula pengharmonisasian,
pembulatan dan pemantapan konsepsi semua rancangan peraturan perundang-undangan, dari
RUU, RPP, Perpres, sampai dengan Raperda, baik Raperda Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

25[15] “ Dalam undang undang-undang nomor 10 Tahun 2004 Tap MPR tidak masku dalam struktur
peraturan perundangan-undangan hal itu kemudian di masukkan dalam amndemen tahun 2011 dan
sebelum tahun 2004 tap MPR masih berlaku.”

Anda mungkin juga menyukai