Anda di halaman 1dari 6

Tugas Hukum Pidana Tentang Sifat Perbuatan

Melawan Hukum

Nama : Jeremy Leonard Budianto


Nim : 170200222

Fakultas Hukum USU


Universitas Sumatera Utara
Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam hukum pidana di samping
asas legalitas. Menurut D. Schaffmeister, pembagian melawan hukum itu ada 4 kelompok :

1. Sifat melawan hukum secara umum

2. Sifat melawan hukum secara khusus

3. Sifat melawan hukum secara materil

4. Sifat melawan hukum secara formil

Adapun perinciannya ialah sebagai berikut :

1. Sifat melawan hukum secara umum semua delik tertulis atau tidak tertulis sebagai bagian
inti delik dalam rumusan delik, harus melawan hukum baru dapat di pidana, jadi tidak perlu
dicantumkan dalam surat dakwaan adanya melawan hukum dan juga tidak perlu dibuktikan.
Contoh pembunuhan.

2. Sifat melawan hukum secara khusus pasal 2 dan pasal 3 UU No. 31 tahun 1999 yang secara
tegas mencantumkan “melawan hukum” dengan sendirinya “melawan hukum harus dicantumkan
di dalam surat dakwaan sehingga harus dibuktikan adanya “melawan hukum”. jika tidak dapat
dibuktikan maka putusan bebas.

3. Sifat meawan hukum secara materil bukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-
undang saja, tetapi juga yang bertentangan dengan kepatutan, kelaziman didalam pergaulan
masyarakat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum.

4. Sifat melawan hukum secara formil seluruh bagian inti delik apabila sudah dipenuhi atau
dapat dibuktikan, dengan sendirinya dianggap perbuatan itu telah melawan hukum.

Namun, banyak pendapat bersebrangan dengan pendapat D. Schaffmeister,termasuk Menurut


bambang purnomo, sifat melawan hukumnya suatu perbuatan terdapat dua ukuran, yaitu sifat
melawan hukum yang formal atau formele wederechttelijkheidsbegrip dan sifat melawan hukum
materil atau materieele wederechttelijkheidsbegrip. Melawan hukum formil apabila
perbuatannya dilihat semata-mata sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang,
sesuai dengan rumus delik dan pengecualiannya, seperti daya paksa, pembelaan terpaksa, itupun
karena ditentukan secara tertulis dalam undang-undang. Sebaliknya, melawan hukum materil,
melihat perbuatan melawan hukum itu tidak selalu bertentangan dengan peraturang perundang-
undangan, dan suatu perbuatan yang bertetangan dengan undang-undang dapat dikecualikan
sebagai perbuatan yang tidak melawan hukum. dengan demikian, dalam pandangan sifat
melawan hukum materil, melawan hukum dapat diartikan baik melawan peraturan perundang-
undangan maupun hukum diluar peraturan perundang-undangan.

Demikian memang, secara umum ajaran ini hanya dibagi menjadi dua bagianyakni; ajaran sifat
melawan hukum yang formal dan juga yang materil.

1. Ajaran sifat melawan hukum formal

Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik undang-undang. Sifat
melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat dipidananya perbuatan. Ajaran sifat
melawan hukum formal adalah apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur-unsur yang
termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-
alasan pembenar maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-
undang. Secara singkat melawan hukum formal di artikan bertentangandengan rumusan undang-
undang yang berlaku, atau apabila suatu perbuatan sudah memenuhi rumusan delik, maka
biasanya dikatakan telah melawan hukum secara formal.

Keberadaan formale wederrechtelijkheid tidak menjadi persoalan karena ini secara eksplisit
menjadi unsur dari suatu Pasal, sehingga untuk menentukan apakah seseorang itu wederrechtelijk
atau tidak cukup apabila orang itu melihat apakah perbuatan itu telah memenuhi semua unsur
yang terdapat dalam rumusan delik atau tidak. Tetapi bagaimana dengan materiele
wederrechtlikheid. Terhadap hal ini memang menjadi persoalan karena di negeri Belanda sendiri
ajaran materiele wederrechtlikheid kurang berkembang, sedangkan persoalannya menjadi lain
karena di Indonesia berkembang pula hukum tidak tertulis yaitu hukum adat yang
memungkinkan sifat melawan hukum tidak berdasarkan hukum tertulis dan terdapat dalam
KUHP tetapi unsur melawan hukum itu ada dalam kehidupan masyarakat yang tidak
tertulis.Sebagaimana menurut Simon: untuk dapat dipidana perbuatan harus mencocoki rumusan
delik yang tersebut dalam wet, jika sudah demikian biasanya tidak perlu lagi untuk menyelidiki
apakah perbuatan melawan hukum atau tidak.

2. Ajaran sifat melawan hukum materil

Sifat melawan hukum materil merupakan suau perbuatan melawan hukum yang tidak hanya
terdapat didalam undang-undang (yang tertulis), tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum
yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat dihapuskan berdasar ketentuan undang-
undang maupun aturan-aturan yang tidak tertulis.

Ajaran sifat melawan hukum materil adalah memenuhi semua unsur rumusan delik, perbuatan itu
juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau
tercela. Karena itu ajaran ini mengakui alasan lasan pembenar diluar undang-undang, dengan
kata lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis.
Ajaran sifat melawan hukum material (materiele wederrechtelijheid) di Indonesia bukan hanya
hukum pidana yang berlaku di Indonesia bukan hanya hukum pidana yang didasarkan pada
KUHP saja, teapi juga hukum adat yang sampai sekarang masih terpelihara. Jika hal ajaran sifat
melawan hukum material tidak ditampung dalam suatu perundang-undangan atau yurisprudensi
maka dikhawatirkan hukum pidana adat akan mengalami kematian. Tetapi untungnya
Mahkamah Agung dalam putusannya tahun 1965 berani bertolak belakang dengan KUHP yang
berlaku pada saat itu sehingga hukum pidana atau hukum yang hidup dan tidak tertulis bisa
diselamatkan.

Penyusun Konsep atau Rancangan KUHP Baru 1998 menyadari hal ini sehingga mereka perlu
memasukannya menjadi suatu bagian yang tersendiri disamping ajaran sifat melawan hukum
formal selama ini sudah terakomodasi. Bahkan lebih mengunggulkan nilai-nilai keadilan yang
ada dalam masyarakat dibanding nilai kepastian yang berarti mereka betul-betul menghargai
hukum pidana adat yang sekarang ada dan berlahu.

Perkembangan ajaran sifat melawan hukum yang material di Indonesia ternyata tidak seperti
yang terjadi di Belanda. Meskipun sebelumnya Mahkamah Agung dalam kasasinya tanggal 17
Januari 1962 No. 152 K/Kr/1961 menganut paham formale wederrechtelijkheid, tetapi
perkembangan selanjutnya menunjukan hal yang sebaliknya. Sejak Mahkamah Agung
mengeluarkan Keputusan No. 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966, badan peradilan tertinggi ini
secara terang-terangan menganut ajaran sifat melawan hukum yang material (materiele
wederrechtlikheid) sebagai alasan pembenar.

Kaidah hukum yang ditarik dari putusan tersebut adalah sebagai berikut :

Suatu tindakan dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu
ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-
asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum, sebagai misalnya 3 faktor : Negara tidak
dirugikan; kepentingan umum dilayani;dan terdakwa tidak mendapat untung.

Terhadap kasus tersebut ada dua hal yang perlu dikemukakan :

Keputusan PT Jakarta tersebut memberi preseden bahwa ajaran sifat melawan hukum yang
material dalam fungsinya yang negatif telah dianut;

Sangat diragukan kebenaran pendapat bahwa dalam persoalan penggelapan apabila ”negara tidak
dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa tidak mendapat untung” terdakwa lalu
dipandang tidak berbuat sesuatu yang melawan hukum. Apabila jalan pikiran ini diikuti, seorang
pemegang kas negara, yang membungakan uang yang dikuasainya, baik kepada Bank maupun
kepada perseorangan, tidak dapat dituduh menggelapkan kalau memenuhi tiga faktor tersebut,
misalnya bunganya disumbangkan kepada orang-orang miskin atau badan-badan sosial. Dapat
kita menarik konsekuensi sedemikian jauh.

Terhadap persoalan di atas, Oemar Seno Adjie berpendapat lain. Oemar Seno Adjie
mengemukakan : Maka, suatu konstruksi sekitar materiele wederrechtlikheid dan perumusannya
yang mengakui adanya strafuitslutings, tidak ada perbuatan melawan hukum yang materiil, jika
ada afweziheid van allemateriele wederrechtlikheid. Ia merupakan suatu kesimpulan dalam ilmu
hukum, yang seterusnya dapat dikembangkan pula oleh yurisprudensi dan semoga dapat
disumbangkan bagi para legislator untuk menetukan perundang-undangannya.

Dari kedua pendapat tersebut memang terlihat tidak ada ukuran yang pasti tentang kapan dan
dapat hilangnya sifat melawan hukum materiil. Tentu saja yang dimaksud dengan ukuran yang
pasti di sini bukanlah suatu ukuran yang matematis, tetapi suatu ukuran obyektif yang dilihat dari
asas-asas hukum yang berlaku.

Melawan Undang-undang berarti secara formil melawan hukum. Mungkin perbuatan itu
bertentangan dengan norma-norma lain yang tidak diatur oleh Undang-undang, di sinilah
letaknya sifat melawan hukum materiil. Meskipun demikian belumlah tentu perbuatan itu
perbuatan-perbuatan pidana jika tidak terlebih dahulu ditentukan dalam Undang-undang. Hal
inilah yang menyebabkan timbulnya kesulitan dalam penegakan hukum karena banyak perbuatan
yang bertentangan dengan norma-norma hukum yang belum diatur dalam perundang-
undangan.Kesulitan lain juga muncul di samping karena sifat hukum pidana sebagai ultimum
remidium, yaitu karena badan legislatif kita tidak cepat tanggap terhadap pembentukan Undang-
undang baru untuk mengantisipasi kejahatan-kejahatan bentuk baru, sebagai akibatnya hakim
harus berhadapan dengan masalah penafsiran yang bagi hakim pidana terbatas jenisnya. Peran
legislatif menjadi sangat penting untuk membuat suatu peraturan hukum pidana. Menurut
Roeslan Saleh, ”dengan jalan menyatakan sesuatu perbuatan dapat di pidana, maka pembentuk
itu sebagai bersifat melawan hukum, atau untuk selanjutnya akan dipandang demikian.

Dalam perkembangan ajaran sifat melawan hukum materiil (materiele wederrechtlikheid) tidak
bisa dilepaskan dari perkembangan yang terjadi dalam asas legalitas. Dalam konsep atau
Rancangan KUHP Baru 1998, pengertian asas legalitas diperluas, tidak hanya asas legalitas
dalam pengertian formil tetapi diperluas menjadi asas legalitas dalam pengertian materiil.
Konsep ini memberi tempat pada sumber hukum tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat
sebagai dasar menetapkan patut di pidana suatu perbuatan. Patut dicatat bahwa berlakunya
hukum yang hidup di dalam masyarakat itu hanya untuk delik-delik yang tiada bandingnya
(persamaannya) atau tidak telah diatur di dalam Undang-undang.

Menurut Moeljiatno ada perbedaan antara pandangan formal dengan pandangan yang materil,
maka perbedaannya yaitu :
1. Mengakui adanya pengecualian/penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan
menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis, sedangkan pandangan yang formal hanya
mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja, misalnya pasal 44 KUHP,
mengenai kurang sempurnanya akal seseorang atau karena sakit berubah akal, pasal 48 KUHP,
mengenai over macht, 49 KUHP, mengenai pembelaan terpaksa ( noodwer).

2. Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan pidana, juga bagi yang
dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut, sedang bagi pandangan yang formal,
sifat tersebut sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur dari pada pebuatan pidana. Hanya jika
dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata, barulah menjadi unsur delik.

Sedangkan menurut pompe, perbedaan antara melawan hukum formal dan materil ialah” dari
istilahnya saja sudah jelas, melawan hukum ( wederrech telijk ) jadi bertentangan dengan hukum,
bukan bertentangan dengan undang-undang. Dengan demikian, pompe memandang “melawan
hukum” sebagai yang kita maksud dengan “melawan hukum materil” ia melihat kata on
rechtmatig ( bertentangan dengan hukum ) sinonim dengan wederechttelijk ( melawan hukum )
sesuai dengan pasal BW.

Anda mungkin juga menyukai