Anda di halaman 1dari 23

WOUND DEHISCENCE

2.1 Definisi

Wound dehiscence adalah salah satu komplikasi luka operasi yang terinfeksi.

Wound dehiscence merupakan kegagalan luka untuk menutup kembali (Smeltzer &

Bare, 2010) dimana kerusakan lapisan luka operasi baik itu parsial maupun komplit

(Doherty & Way, 2006). Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor (Johnson,

2009). Wound dehiscence sering terjadi setelah pembedahan mayor abdomen

menimbulkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Hal ini ini biasanya terjadi

5 hingga 8 hari setelah operasi ketika penyembuhan masih dalam tahap awal (Rosen &

Manna, 2019).

Tidak hanya meningkatkan stress pada pasien, wound dehiscence dapat

menyebabkan eviserasi, reoperasi, menyebabkan gangguan body image, menurunkan

kualitas hidup pasien, meningkatkan biaya perawatan, dan membuang anggaran

kesehatan rumah sakit (Khorgami, 2012; Ramshort, Eker, Voet, Jeekel, & Lange,

2013), menyebabkan trauma psikologi, hingga kematian (Hitesh, Pratik, Nilesh, Jovin,

2014).

2.2 Insidensi

Menurut data World Health Organization (WHO) (2013), jumlah pasien

dengan tindakan operasi mencapai angka peningkatan yang sangat signifikan. Pada

tahun 2011 terdapat 140 juta pasien di seluruh rumah sakit di dunia, dan pada tahun

2012 diperkirakan meningkat menjadi 148 juta jiwa. Pada tahun 2012 di Indonesia,
tindakan operasi mencapai 1,2 juta jiwa dan diperkirakan 32% diantaranya merupakan

tindakan bedah laparatomi (Kemenkes RI, 2013).

Insidens Wound dehiscence berkisar antara 0,2%-3% dan berhubungan pada

kematian dengan rerata kejadian 8%-45%. Kasus Wound dehiscence kebanyakan

terjadi pada anak yang menjalani pembedahan mayor laparatomi karena invaginasi,

typhoid perforasi, anastomosis usus halus ataupun usus besar atau kolostomi pada

atresia an, prosedur Pullthrough pada Morbus Hirscsprung.

2.3 Faktor Risiko

Faktor risiko yang mempengaruhi dehiscence pasca laparatomi adalah anak

dengan gizi kurang dan atau gizi buruk, hipoalbuminemia, infeksi berat (sepsis). Faktor

lain disebutkan adalah obesitas, jenis kelamin laki-laki, usia terlalu muda (neonatus

atau bayi), operasi darurat, serta bentuk atau model insisi. Wound dehiscence

dihubungkan dengan meningkatnya stress perioperative, tranfusi darah dan

menurunnya oksigenasi ke jaringan dimana kesemuanya memengaruhi sistem imun

dan proses penyembuhan luka (Ramshorst et al., 2010).

Faktor risiko praoperasi:

1. Usia

Usia sebagai salah satu faktor risiko woung dehiscence menurut Rhamsorst et

al. (2010) mengkaitkan hal ini dengan menurunnya fungsi tubuh yang berpengaruh

terhadap mekanisme perbaikan jaringan dan system kekebalan tubuh dimana kedua hal

tersebut diperlukan dalam proses penyembuhan luka terutama beberapa hari setelah
post operasi. Selain itu, menurut Waqar et al. (2005) semakin bertambah usia, produksi

glikoaminoglikan, kolagen, dan struktur matriks akan semakin berkurang dimana hal

ini menyebabkan terjadinya substansi di dasar kulit, menurunkan vaskularisasi dan

ketebalan jaringan yang berpengaruh terhadap perbaikan jaringan.

2. Jenis Kelamin

Jenis kelamin juga merupakan faktor risiko terjadinya wound dehiscence.

Menurut Aliet al. (2014), meningkatnya kejadian wound dehiscence pada lakilaki

dikaitkan dengan kebiasaan merokok. Berdasarkan hasil studi sebagian besar perokok

cenderung laki-laki dimana efek merokok memengaruhi proses perbaikan jaringan.

Efek akut yang merugikan dari merokok, menurut Sorensen (2012) memicu kematian

jaringan post operasi dengan menurunnya suplai darah seperti pada kasus penutupan

jaringan dan menghambat respon inflamasi dari proses penyembuhan luka serta

menurunnya mekanisme penghancuran bakteri yang memicu terjadinya infeksi

luka operasi. Selain itu, efek dari rokok memperlambat proses proliferasi dan

metabolisme kolagen yang memicu terjadinya dehiscence.

3. Infeksi

Infeksi sebagai salah satu faktor risiko wound dehiscence. Hal ini sejalan

dengan hasil penelitian Rhamshorst et al. (2010), dan Ramneesh et al. (2014).

Penelitian lain yang mendukung yaitu menurut penelitian cross sectional yang

dilakukan Ali et al. (2014), dimana hasil penelitian memperlihatkan sebanyak 26 orang
(14,7%) mengalami wound dehiscence dan infeksi luka operasi ditemukan pada semua

pasien yang mengalami wound dehiscence (p<0,05). Invasi bakteri pada luka dapat

terjadi pada saat trauma, selama pembedahan atau setelah pembedahan, dimana gejala

dari infeksi sering muncul dalam 2 – 7 hari setelah pembedahan yang ditandai dengan

adanya purulent, peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling

luka, peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih. Adanya bakteri

menyebabkan influx dan aktivasi neurofil serta meningkatkan tingkat degradasi matrix

metalloproteinases (MMPs). Tidak adanya penutupan jaringan inhibitor dari MMPS,

menimbulkan degradasi pada luka. Terlepasnya endotoksin oleh bakteri menyebabkan

produksi kolagenase, yaitu degradasi serat kolagen. Infeksi menyebakan

memanjangnya fase inflamasi dan berdampak negatif terhadap deposisi kolagen serta

aktivitas fibroblas (Ramshorst et al., 2010). Selain itu, adanya rongga yang mati di

dalam luka operasi, menurut Johnson (2009) dapat menyebabkan terkumpulnya darah

dan cairan serous lainnya yang merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri

dan merupakan predisposisi terjadinya infeksi (surgical site infection).

4. Operasi emergensi

Wound dehiscence banyak terjadi pada operasi emergensi dibanding operasi

elektif, yaitu 78,9%. Hasil uji bivariat menujukkan adanya hubungan yang signifikan

antara jenis operasi dengan kejadian wound dehiscence(p=0,020). Menurut

Rhamshorst et al. (2010) (p=0,001), begitu pula hasil penelitian Shammary (2012)

dimana sebagian besar (92%) wound dehiscenceterjadi pada pasien yang dilakukan
operasi emergensi dibandingkan dengan elektif. Menurut Ramshorst et al. (2010) serta

Ali et al. (2014), pasien yang mengalami operasi emergensi secara umum berada

berada pada kondisi dan status nutrisi yang buruk serta berpotensi tinggi terkontaminasi

dari lingkungan operasi dibandingkan operasi elektif. Selain itu, operasi emergensi

yang sifatnya segera biasanya dilakukan pada waktu kapanpun bahkan malam hari.

Operasi yang dilakukan pada malam hari berpotensi memengaruhi kinerja dokter bedah

yang menyebabkan proses penutupan abdomen pada akhir operasi menjadi kurang

optimal.

5. Anemia

Pasien dengan anemia mengalami proses penyembuhan yang buruk dan

cenderung memiliki celah pada luka (Ramneesh et al., 2014). Hasil penelitian

prospektif yang dilakukan Sivender, Ilaiah, dan Reddy (2015) pada 50 kasus wound

dehiscence post operasi abdomen di Rumah Sakit Osmania Hyderabad memperlihatkan

pasien dengan anemia (Hb < 10 g/dl) yang mengalami wound dehiscence yaitu 28

pasien (56%) sementara pasien dengan Hb > 10 g/dl yang mengalami wound

dehiscence yaitu sebanyak 14 pasien (28%).

6. Status Nutrisi

Nutrisi yang optimum merupakan kunci utama untuk pemeliharaan seluruh fase

penyembuhan luka. Menurut Meylani et al. (2012) malnutrisi dapat menghambat

penyembuhan luka operasi, daya tahan tubuh, penurunan fungsi otot jantung dan

respirasi. Lebih jauh lagi pasien malnutrisi akan mempunyai risiko morbiditas lebih
tinggi sebanding dengan lama rawat yang lebih panjang, apabila dibandingkan dengan
pasien gizi baik. Secara umum, menurut Boyle (2006) malnutrisi dapat memengaruhi
imunitas, dan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi luka operasi, menyebabkan
berkurangnya kekuatan luka sehingga jaringan luka menjadi rapuh dan meningkatkan
kejadian wound dehiscence, Menurut Hahler (2009), pasien yang mengalami obesitas
memiliki jaringan lemak yang sangat rentan terhadap infeksi selama fase pembedahan
sehingga rentan mengalami infeksi luka operasi. Selain itu, menurut NICE (2008)
jaringan lemak memiliki vaskularisasi yang buruk dan efeknya pada oksigenasi
jaringan serta fungsi respon imun yang dianggap meningkatkan risiko infeksi luka
operasi yang berpotensi menyebabkan terjadinya wound dehiscence. Secara fisiologis,
penurunan status gizi disebabkan oleh terjadinya stres fisiologis terhadap pembedahan,
yaitu terjadinya hipermetabolisme dan katabolisme. Selama pembedahan, basal
metabolism rate (BMR) dan produksi glukosa hepatik meningkat. Khusus pada pasien
perioperatif, prevalensi malnutrisi ditemukan hingga sebesar 34.5%. Salah satu
komplikasi pasca pembedahan yang dapat timbul akibat malnutrisi adalah
penyembuhan luka bekas operasi yang tidak baik. Zat gizi yang memiliki peranan salah
satunya adalah protein.

7. Hipoalbumin

Menurut Hennesey et al. (2010), dimana hipoalbuminemia menjadi prediktor

independen infeksi lukaoperasi pada pasien yang menjalani operasi kolorektal.

Menurut Hitesh et al. (2014) dan Rivadeneira (2007) Hipoalbuminemia berkontribusi

memperpanjang fase inflamasi dan fibroplasia, proliferasi, proteoglycan dan sintesis

kolagen, neoangiogenesis dan proses remodeling serta penurunan kekebalan tubuh.

Pada kondisi hipoalbuminemia, menurut Hussein et al. (2015) terjadi


perubahan dalam metabolisme sitokin terutama aktivitas interleukin-1 yang terganggu
dan kegagalan pada sistem komplemen. Oleh karena itu, pada kondisi
hipoalbuminemia umumnya sering ditemukan infeksi luka operasi dan menjadi salah
satu faktor risiko untuk terjadinya dehiscence. Protein memiliki peran sangat penting
pada seluruh proses atau fase penyembuhan luka. Pasien trauma/bedah membutuhkan
asupan protein yang lebih banyak. Jika pasien telah mengalami malnutrisi protein,
maka akan berdampak pada penyembuhan luka. Parameter kadar protein yang
digunakan adalah kadar albumin yang telah banyak digunakan sebagai salah satu
skrining pra pembedahan. Menurunnya kadar albumin serum disebut dengan
hipoalbuminemia. Keadaan hipoalbuminemia dapat menyebabkan kelainan berupa
komplikasi dari penyakit yang diderita sebelumnya sehingga berakibat pada tingkat
morbiditas dan mortalitas pasien. Penyembuhan luka dipengaruhi oleh berbagai faktor,
salah satunya adalah faktor status nutrisi. Status nutrisi sendiri sering dideteksi oleh
salah satu tanda penting yaitu serum albumin. Albumin merupakan protein dalam
plasma manusia yang larut dalam air dan tinggi konsentrasinya dalam plasma darah.

Faktor risiko operasi antara lain :

 Jenis insisi : Tehnik insisi mediana lebih rentan untuk terbuka daripada transversal

dikarenakan arah insisinya yang nonanatomik, sehingga arah kontraksi otot-otot

dinding perut berlawanan dengan arah insisi sehingga akan mereganggkan jahitan

operasi.

 Cara penjahitan : Pemilihan tehnik penutupan secara lapis demi lapis juga berperan

dalam terjadinya komplikasi ini. Tehnik ini di satu sisi memiliki keuntungan yaitu

mengurangi kemungkinan perlengketan jaringan, namun di sisi lain mengurangi

efektifitas dan kekuatannya (Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009; Makela J, 2005).

 Tehnik penjahitan : tekhnik penjaitan terputus cenderung lebih aman daripada

tekhnik penjaitan kontinyu.


 Jenis benang : Pemakaian benang chromic catgut juga dapat menjadi suatu perhatian

khusus, dikarenakan kecepatan penyerapannya oleh tubuh sering kali tidak dapat

diperkirakan (Spiloitis et al, 2009; Makela J, 2010).

Sedangkan faktor-faktor pascaoperasi yang dapat meningkatkan terjadinya

dehisensi luka antara lain:

 Peningkatan tekanan intra abdomen misalnya batuk, muntah, ileus dan retensio

urin. Tekanan intraabdominal yang tinggi akan menekan otot-otot dinding

abdomen sehingga akan teregang. Regangan otot dinding abdomen iniah yang

akan menyebabkan berkurangnya kekuatan jahitan bahkan pada kasus yang

berat akan menyebabkan putusnya benang pada jahitan luka operasi dan

keluarnya jaringan dalam rongga abdomen.

 Perawatan pascaoperasi yang tidak optimal

Perawatan luka pasca operasi yang tidak optimal memudahkan

terjadinya infeksi pada luka sehingga memudahkan pula terjadinya dehisensi

luka operasi.

 Nutrisi pascaoperasi yang tidak adekuat. Asupan nutrisi yang tidak adekuat

terutama protein salah satunya akan menyebabkan hipoalbuminemia, keadaan

ini akan mengurangi sintesa kolagen yang merupakan bahan dasar

penyembuhan luka. Defisiensi tersebut akan mempengaruhi proses fibroblasi

dan kolagenisasi yang merupakan proses awal penyembuhan luka.


 Terapi radiasi dan penggunaan obat antikanker : radiasi pasca operasi dapat

menyebaban buruknya penyembuhan luka operasi karena terjadinya fibrosis

dan mikroangiopati (Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009; Makela J, 2005).

2.4 Etiologi

Penyebab utama dehiscence luka adalah infeksi sub-akut, yang dihasilkan dari

teknik aseptik yang tidak memadai atau tidak sempurna. Jahitan yang dilapisi, seperti

Vicryl, umumnya rusak pada tingkat yang diperkirakan sesuai dengan penyembuhan

jaringan, tetapi dipercepat dengan adanya bakteri. Dengan tidak adanya faktor

metabolik lain yang diketahui yang menghambat penyembuhan dan mungkin telah

berkontribusi pada jahitan dehiscence, infeksi sub-akut harus dicurigai dan protokol

untuk mendapatkan kultur luka diikuti dengan pengobatan dengan antibiotik yang

sesuai harus dilakukan.

Dehiscence juga dapat disebabkan oleh tidak cukupnya perusakan (memotong

kulit dari jaringan di bawahnya) dari luka selama operasi, ketegangan yang berlebihan

pada tepi luka yang disebabkan oleh pengangkatan atau pengencangan, atau luka yang

terletak pada area yang sangat mobile atau daerah yang memiliki ketegangan tinggi

seperti sebagai punggung, bahu atau kaki. Individu dengan sindrom Ehlers – Danlos

juga biasanya mengalami dehiscence luka.

Faktor-faktor risiko dapat mencakup hal-hal di atas serta obesitas, merokok,

jaringan parut sebelumnya, kesalahan bedah,, penggunaan kronis kortikosteroid dan

peningkatan tekanan perut. Penyebab yang sangat umum juga digunakan dan terutama
penggunaan nikotin dalam bentuk apa pun. Karena itu merokok harus dihentikan pada

waktu tertentu sebelum operasi.

2.5 Patofisiologi

Penyembuhan luka yang tepat terjadi dalam tiga fase umum, yang

memungkinkan kerusakan untuk menyembuhkan dan jaringan baru untuk

menggantikan jaringan yang rusak. Tiga fase tersebut meliputi peradangan, proliferasi,

dan pematangan. Luka yang diperbaiki dapat diharapkan untuk mendapatkan 80% dari

kekuatan tegangan selama dua tahun, tetapi tidak akan mencapai tingkat kekuatan pra-

cedera yang sama. Penyembuhan luka yang buruk dapat terjadi karena gangguan salah

satu dari tiga fase penyembuhan. Faktor risiko umum untuk penyembuhan abnormal

termasuk adanya jaringan nekrotik, infeksi, iskemia, merokok, diabetes, kekurangan

gizi, penggunaan glukokortikoid, dan paparan radiasi (Grubbs et al, 2018; Ozgok et al,

2018).

Fase Hemostasis
Berlangsung selama 3 hari setelah cidera. Proses perbaikannya terdiri dari
mengontrol perdarahan(hemostatis), mengirim darah dan sel ke area yang mengalami
cedera(inflamasi) dan membentuk sel sel-epitel dan tempat cedera (epiteliasasi).
Selama proses hemostatis, pembuluh darah yang cedera akan mengalami konstriksi dan
trombosit berkumpul untuk menghentikan perdarahan. Bekuan – bekuan darah
membentuk matriks fibrin yang nantinya akan menjadi kerangka untuk perbaikan sel.
Jaringan yang rusak dan sel mast mensyekresi histamin, yang menyebabkan
vasodilatasi kapiler disekitarnya dan mengeluarkan serum dan sel darah putih ke dalam
jaringan yang rusak.
Leukosit (sel darah putih) akan mencapai luka dalam beberapa jam. Leukosit
utama yang bekerja pada luka adalah neutrofil, yang mulai memakan bakteri dan debris
yang kecil. Neutfofi mati dalam beberapa hari dan meninggalkan eksudat enzim yang
akan menyerang bakteri/membantu perbaikan jaringan. Pada inflamasi kronik,
neutrofil yang mati akan membentuk pus. Leukosit penting kedua adalah monosit, yang
berubah menjadi makrofag. Makrofag akan melanjutkan proses pembersihan debris
luka, menarik lebih banyak makrofag dan menstimulasi pembentukan fibroblast.
Setelah makrofag membersihkan luka dan menyiapkannya untuk perbaikan jaringan,
sel epitel bergerak dari bagian tepi luka dibawah dasar bekuan darah/keropeng. Sel
epitel terus berkumpul di bawah rongga luka selama sekitar 48 jam. Akhirnya di atas
luka akan terbentuk lapisan tipis dari jaringan epitel dan menjadi barier terhadap
organisme penyebab infeksi dan dari zat-zat beracun. Hormon pertumbuhan dilepaskan
oleh trombosit dan makrofag
Fase proliferasi (regenerasi)
Terjadi dalam waktu 3-24 hari. Fase regenerasi akan mengisi luka dengan
jaringan penyambung/jaringan granulasi yang baru dan menutup bagian atas luka
dengan epitelisasi. Fibroblast akan menutup defek luka. Fibroblast membutuhkan
vitamin B dan C, oksigen dan asam amino. Kolagen memberikan kekuatan dan
integritas struktur pada luka. Selama periode ini luka akan tertutup oleh jaringan yang
baru. Bersamaan dengan proses rekonstruksi yang terus berlangsung, daya elastisitas
luka meningkat dan risiko terpisah/ruptur luka akan menurun. Tingkat tekanan pada
luka mempengaruhi jumlah jaringan parut yang terbentuk. Gangguan proses
penyembuhan pada fase ini biasanya disebabkan oleh faktor sistematik seperti usia,
anemia, hipoproteinemia dan defisiensi zat besi.
Maturasi (remodeling)
Memerlukan waktu lebih dari 1 tahun, tergantung pada kedalaman dan
keluasan luka. Jaringan parut kolagen terus melakukan reorganisasi dan akan menguat
setelah beberapa bulan. Namun luka yang telah sembuh biasanya tidak memiliki daya
elastisitas yang sama dengan jaringan yang digantikannya. Serat kolagen mengalami
remodeling/reorganisasi sebelum mencapai bentuk normal. Biasanya jaringan parut
mengandung lebih sedikit sel-sel pigmentasi (melanosit) dan memiliki warna yang
lebih terang dari pada warna kulit normal.

Ketika dehiscence diidentifikasi, sangat penting untuk menentukan tingkat

kegagalan luka. Dehiscence superfisial dapat dikelola dengan binder perut untuk

mengurangi ketegangan pada luka dan mencegah dehiscence lebih lanjut. Kegagalan

luka yang ada dapat dibiarkan sembuh sendirinya atau bisa ditutup sekunder.

Dehiscence mendalam pada fasia yang mendasarinya adalah keadaan darurat bedah

dan harus ditutup di ruang operasi, karena ini dapat menyebabkan pengeluaran isi. Jika

luka menunjukkan tanda-tanda pengeluaran isi, luka dapat ditutup dengan pembalut
salin steril sampai organ herniasi dapat direduksi kembali ke perut (Wallace et al,

2019).

2.6 Klasifikasi

Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat dibagi menjadi dua:

 Dehisensi luka operasi dini : terjadi kurang dari 3 hari paska operasi yang

biasanya disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding perut yang tidak

baik.

 Dehisensi luka operasi lambat : terjadi kurang lebih antara 7 hari sampai 12 hari

paska operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan dengan usia,

adanya infeksi, status gizi dan faktor lainnya (Sjamsudidajat R, 2011).

2.7 Manifestasi Klinis

Dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya penderita sering

merasa ada jaringan dari dalam rongga abdomen yang bergerak keluar disertai

keluarnya cairan serous berwarna merah muda dari luka operasi (85% kasus). Pada

pemeriksaan didapatkan luka operasi yang terbuka. Terdapat pula tanda-

tanda infeksi umum seperti adanya rasa nyeri, edema dan hiperemis pada daerah

sekitar luka operasi, dapat pula terjadi pus atau nanah yang keluar dari luka operasi

Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara klinis terjadi pada

hari keempat hingga sembilan pascaoperasi. Penderita datang dengan klinis febris,

hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah leukosit yang sangat tinggi dan

pemeriksaan jaringan di sekitar luka operasi didapatkan reaksi radang berupa


kemerahan, hangat, pembengkakan, nyeri, fluktuasi dan pus (Spioloitis et al, 2009;

Sjamsudidajat R, 2011).

2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan Wound Dehiscence dibedakan menjadi penatalaksanaan non operatif

atau konservatif dan penatalaksanaan operatif tergantung atas keadaan umum

penderita.

1. PenangananNonoperatif/Konservatif

Penanganan non operatif diberikan kepada penderita yang sangat stabil dan tidak

mengalami eviserasi. Hal ini dilakukan dengan penderita berbaring di tempat tidur

dan menutup luka operasi dengan kassa steril atau pakaian khusus steril.

Penggunaan jahitan penguat abdominal dapat dipertimbangkan untuk mengurangi

perburukan luka operasi terbuka (Ismail, 2008). Selain perawatan luka yang baik,

diberikan nutrisi yang adekuat untuk mempercepat penutupan kembali luka operasi.

Diberikan pula antibiotik yang memadai untuk mencegah perburukan dehisensi

luka (Singh, 2012; Ismail, 2008).

2. PenangananOperatif

Penanganan operatif dilakukan pada sebagian besar penderita dehisensi. Ada

beberapa jenis operasi yang dilakukan pada dehisensi luka yang dilakukan antara

lain rehecting atau penjahitan ulang luka operasi yang terbuka, mesh repair, vacuum

pack, abdominal packing, dan Bogota bag repair (Sukumar, 2010). Jenis operasi

rehecting atau penjahitan ulang paling sering dilakukan hingga saat ini. Tindakan
ini dilakukan pada pasien dengan keadaan stabil, dan penyebab

terbukanya luka operasi murni karena kesalahan tekhnik penjahitan (Sukumar,

2010).

Pada luka yang sudah terkontaminasi dilakukan tindakan debridemen terlebih

dahulu sebelum penutupan kembali luka operasi. Dalam perencanaan jahitan

ulangan perlu dilakukan pemeriksaan yang baik seperti laboratorium lengkap dan

foto throraks. Selain penjahitan ulang dilakukan pula tindakan debridement pada

luka (Sjamsudidajat, 2011).

Tindakan awal yang dilakukan adalah eksplorasi melalui dehisensi luka jahitan

secara hati-hati dan memperlebar sayatan jahitan lalu mengidentifikasi sumber

terjadinya dehisensi jahitan. Tindakan eksplorasi dilakukan dalam 48 ± 72 jam sejak

diagnosis dehisensi luka operasi di tegakkan. Tehnik yang sering digunakan adalah

dengan melepas jahitan lama dan menjahit kembali luka operasi dengan cara satu

lapisan sekaligus. Pemberian antibiotik sebelum operasi dilakukan, membebaskan

omentum dan usus di sekitar luka.

Penjahitan ulang luka operasi dilakukan secara dalam, yaitu dengan menjahit

seluruh lapisan abdomen menjadi satu lapis. Pastikan mengambil jaringan cukup

dalam dan hindari tekanan berlebihan pada luka. Tutup kulit secara erat dan dapat

dipertimbangkan penggunaan drain luka intraabdominal. Jika terdapat tanda-

tanda sepsis akibat luka, buka kembali jahitan luka operasi dan lakukan perawatan

luka operasi secara terbuka dan pastikan kelembaban jaringan terjaga (Singh, 2012;

Ismail, 2008).
Prinsip pemilihan benang untuk penjahitan ulang adalah benang monofilament

nonabsorbable yang besar. Penjahitan dengan tehnik terputus sekurangnya 3 cm dari

tepi luka dan jarak maksimal antar jahitan 3 cm, baik pada jahitan dalam ataupun

pada kulit. Jahitan penguat dengan karet atau tabung plastic lunak (5-6cm) dapat

dipertimbangkan guna mengurangi erosi pada kulit. Jangan mengikat terlalu erat.

Jahitan penguat luar diangkat setidaknya setelah 3 minggu (Singh, 2012; Ismail,

2008).

Selain Rehecting, banyak tekhnik yang dilakukan untuk menutup

dehisensi luka secara sementara maupun permanen. Metode yang biasa dilakukan

antara lain mesh repair, yaitu penutupan luka dengan bahan sintetis yaitu mesh yang

berbentuk semacam kasa halus elastis yang berfungsi sebagai pelapis pada jaringan

yang terbuka tersebut dan bersifat diserap oleh tubuh. Namun mesh repair

menimbulkan angka komplikasi yang cukup tinggi. Dilaporkan terdapat sekitar

80% pasien dengan mesh repair mengalami komlplikasi dengan 23% mengalami

enteric fistulation (Sukumar, 2010).

2.9 Pencegahan

Dehiscence dapat dicegah melalui perusakan yang memadai untuk mengurangi

tekanan pada tepi luka, menghindari pengangkatan berat dan hematoma, dan

mempercepat penyembuhan melalui nutrisi yang cukup, mengendalikan diabetes,

dan menghindari obat-obatan tertentu seperti prednison. Strip steril juga dapat

digunakan untuk menutupi jahitan hingga satu minggu, penggunaan antibiotik dan

membersihkan luka secara teratur (Cronin et al, 2012).


A. Menjaga Luka Tetap Kering
Semua luka harus dijaga sebersih mungkin untuk mencegah
perkembangan surgical-site infections (SSI). National Institute for Health and
Care Excellence (NICE) di Inggris telah membuat rekomendasi untuk
manajemen luka pasca operasi untuk mengurangi tingkat SSI (Tabel). Ini
termasuk rekomendasi untuk pembalutan dan membersihkan luka, perawatan
antibiotik dan debridemen, dan informasi tentang layanan perawatan luka
khusus. Kadang-kadang, pembersihan luka diperlukan untuk membantu
membersihkan luka dari debris, seperti jaringan yang mengalami devitalisasi
atau eksudat yang berlebihan, yang dapat menunda penyembuhan luka. Dalam
situasi ini, irigasi luka yang lembut dengan air garam steril hangat atau air
(sesuai rekomendasi NICE) melalui jarum suntik, bukan swabbing atau mandi,
harus dilakukan untuk meminimalkan trauma pada luka dan untuk menjaga
lingkungan penyembuhan yang optimal. Pembersihan luka tidak diperlukan
untuk menghilangkan eksudat dalam batas normal. Penting juga untuk diingat
bahwa pembersihan luka itu sendiri adalah bentuk gangguan dengan
penyembuhan luka dan jika dilakukan secara berlebihan dapat menunda
penyembuhan luka.
B. Penutupan Luka
Penutupan luka adalah komponen penting lain dari manajemen luka
pasca operasi. Penutupan yang baik harus menjaga lingkungan luka yang
lembab dan dengan demikian meningkatkan penyembuhan luka, dapat
menghilangkan eksudat yang berlebihan yang dapat menyebabkan maserasi
luka, memberikan penghalang yang baik terhadap kontaminasi bakteri atau
cairan, dan baik pada kulit tetapi tidak menyebabkan trauma saat dilepaskan.
Karena tidak ada dua luka yang sama, rejimen penutup harus disesuaikan
dengan kebutuhan masing-masing luka. Faktor-faktor yang harus
dipertimbangkan ketika memutuskan pilihan penutup luka termasuk posisi,
ukuran dan kedalaman luka, dan tingkat eksudat. Diskusi terperinci dari semua
jenis penutup berada di luar cakupan makalah ini tetapi sebuah tabel telah
disediakan untuk saran umum tentang pilihan penutup yang sesuai. Penutupan
diterapkan selama operasi telah dilakukan dalam kondisi steril dan idealnya
harus dibiarkan selama durasi, seperti yang ditetapkan oleh tim bedah. Dapat
diterima untuk penutupan awal dilepas secara cepat agar luka diperiksa dan,
dalam situasi tertentu, diganti oleh penutup baru. Situasi-situasi ini termasuk
ketika penutup luka tidak lagi memenuhi tujuannya (mis. penutup lepas,
eksudat yang berlebihan keluar melalui pembalut dan menghasilkan lingkungan
penyembuhan luka suboptimal) atau ketika diduga ada komplikasi luka.
Teknik bedah yang sangat baik kemungkinan akan mengurangi risiko
SWD dengan mengurangi masalah dengan penyembuhan, mengurangi
hematoma dan pembentukan seroma, dan mengurangi risiko SSI. Contoh teknik
yang sangat baik termasuk penanganan jaringan secara lembut, kontrol
perdarahan yang teliti, pemeliharaan suplai darah, pencegahan pengeringan
jaringan, penghapusan jaringan yang rusak atau terkontaminasi, penghindaran
ruang mati, dan penggunaan teknik penutupan yang tepat.
Teknik penutupan luka yang dipilih untuk penutupan primer harus
sesuai untuk lokasi sayatan dan prosedur pembedahan, dan harus memastikan
bahwa lapisan jaringan terlindungi secara akurat dan ketegangan pada sayatan
diminimalkan. Meminimalkan ketegangan mungkin memerlukan penjahitan
dari lapisan jaringan dan pertimbangan yang cermat dari jarak dan panjang
jahitan.
Untuk beberapa pasien, penutupan utama sayatan tidak tepat karena
peningkatan risiko SWD atau komplikasi lainnya (mis. Infeksi, perdarahan atau
sindrom kompartemen perut). Dalam kasus seperti itu, sayatan dapat dibiarkan
terbuka (dengan penutup / perangkat pelindung yang sesuai) sampai waktu
penutupan yang tepat atau mungkin
DAFTAR PUSTAKA

Afzal, Saira & Bahir, M.M.. (2008). Determinants of wound dehiscence in abdominal
surgery in public sector hospital. Annals. 14. 110-114.

Ali, M., Saeeda., Israr, M., &Ullah, H.M. (2014). Frequency of abdominal wound
dehiscence and role of wound infection as a major causative factor. Park J Surg,
30(1), 4–8.

Boyle, M. (2006). Wound healing in Midwifery. Radcliffe. Oxford. Djaya, W.,


Rudiman, R., &Lukman, K. (2012) Efek Oksigen Konsentrat Tinggi
Paskaoperasi Laparatomi terhadap Tingkat Infeksi Luka Operasi. MKBB, 40(3).

Cronin, Beth et al (2012) Vaginal cuff dehiscence: risk factors and management,
American Journal of Obstetrics & Gynecology, Volume 206, Issue 4, 284 – 288
Dehiscence.Medical Journal Malaysia. 59:2

Doherty, G.M., & Way, L.W. (2006). Postoperative complications. Current surgical
diagnosis & treatment (12th ed). New York : Lange medical Books/McGraw
Hill
Grubbs, KJ, Allen KB, Thourani VH, Naka Y, Grehan J, Patel N, et al. (2018),
Randomized, multicenter trial comparing sternotomy closure with rigid plate
fixation to wire cerclage. J Thorac Cardiovasc Surg. 2017;153:888–96.

Hahler,B. (2009). Surgical Wound Dehiscence. MEDSURG Nursing. 15(5), 301–305.

Hennessey, D.B., Burke J.P., Dhonochu, T.N., Shielda, D., Winter, D.C., & Melay, K.
(2010). Preoperative hypoalbuminemia is an independent risk factor for the
development

Hitesh, K., Pratik, V., Nilesh, P., & Jovin, M. (2015). Factors affecting post-operative
laparotomy wound coplications. International archives of Integrated Medicine,
2(1), 71–74.

Hitesh, K., Pratik, V., Nilesh, P., & Jovin, M. (2015). Factors affecting post-operative
laparotomy wound coplications. International archives of Integrated Medicine,
2(1), 71–74.
Hussein, A. F., Fares, K.M., Mostafa, M.A.M., Mohammed, S.A., Hamed, H.B., &
Hagras, A.M.G. (2015). Implication of Hypoalbuminemia in Early
Postoperative Complications. SECI Oncology. DOI: 10.18056/seci2015.3..

Ismail. 2008. Luka dan Perawatannya. Diakses Desember 2011 dari :


http://umy.ac.id/topik/files/2011/12/Merawat-luka.pdf

Johnson,C.M. (2009). Development of abdominal wound dehiscence after a colectomy


: a nursing challenge. MedSurg Nursing, 1–7.

Kemenkes RI. (2013). Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Jakarta : Kemenkes.

Khorgami, Z., Shoar, B., Laghaie, B., Aminian, A., Araghi, N.H., & Soroush, A.
(2012). Prophylactic retention suture in midline laparotomy in high risk for
wound dehiscence : a randomized controlled trial. Journal of Surgical Research,
xxx, E1-E6.

Makela JT, Kiviniemi H, Juvonen T (2005) Factors influencing wound healing after
midline laparotomy. Am Surg; 170:387-9.

Meilany, T.A., Alexandra., Arianto, A., Bausat, Q., Endang., Prihartono, J., & Sjarif,
D.R.. (2012). Pengaruh Malnutrisi dan Faktor lainnya terhadap Kejadian
Wound Dehiscence pada Pembedahan Abdominal Anak Pada Periode
Perioperatif. Sari Pediatri. 14(2).

National Institute for Health and Clinical Excellence. (2008). Surgical Site Infection:
Prevention and Treatment of Surgical Site Infection Clinical Guideline 74.
NICE. London

Ozgok Kangal MK, Regan JP. Wound Healing. [Updated 2018 Dec 4]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK535406/

Ramneesh, G., Sheerin, S., Surinder, S., &Bir, S. (2014). A Prospective Study of
Predictors for Post Laparotomy Abdominal Wound Dehiscence. Journal of
Clinical and Diagnostic Research, 8(1), 80–83.

Ramshorst, G. H., Nieuwenhuizen., Hop, W.C.J., Arends, P., Boom, J., Jeekel, J., &
Lange, J.F. (2010). Abdominal Wound Dehiscence in Adults : Development
and Validation of a Risk Model. World Journal Surgical, 34, 20–27. Doi :
10.1007/s00268- 009-0277-y.
Ramshort, G. H., Eker, H. H., Voet, J. A., Jeekel, J., & Lange, J. F. (2013). Long-Term
Outcome Study in Patients with Abdominal Wound Dehiscence : a
Comparative Study on Quality of Life, Body Image, and Incisional Hernia.
Gastrointest Surg, 17, 1477–1484.

Rivadeneira (2007). Management of laparotomy wound dehiscence. Am


Surg. 2007;73:1224–1227

Rosen RD, Manna B. Wound Dehiscence. [Updated 2019 Nov 20]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551712/

Shammary, S.A. (2012). Risk Factors of Abdominal Wound Dehiscence : Evaluation


and Outcome. iraqi J Med SCI, 10(4).

Singh, P. K., Usui, M. L., Underwood, R. A., Zhao, G., James, G. A., Stewart, P. S.,
Fleckman, P., & Olerud, J. E. (2012). Time course study of delayed wound
healing in a biofilm-challenged diabetic mouse model. Wound repair and
regeneration : official publication of the Wound Healing Society [and] the
European Tissue Repair Society, 20(3), 342–352.
https://doi.org/10.1111/j.1524-475X.2012.00793.x

Sjamsuhidajat. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta : EGC

Smeltzer, S.C., &Bare, B.G. (2010). Post operative nursing wound management. In
Brunner & Suddart's Textbook of medical- surgical nursing (12th ed.).
Philadelphia: J.B. Lippincott Company.

Sorensen, L.T. (2012). Wound Healing and Infection Surgery : The Clinical Impact of
Smoking and Smoking Cessation : A Systematic Review and Met

Spiliotis, J., Tsiveriotis, K., Datsis, A.D.,Vaxevanidou, A., Zacharis, G., Konstantinos,
G.,... Rogdakis, A. (2009). Wound Dehiscence : is still a problem in the 21th
century : a restropective study. World Journal of Emergency Surgery, 4(12), 1–
5. doi:10.1186/1749-7922-4-12.

Sukumar N, Shaharin S, Razman J, et al. (2010) Bogota Bag in the Treatment of


Abdominal Wound
Wallace HA, Basehore BM, Zito PM. Wound Healing Phases. [Updated 2019 Sep 7].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-
. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470443/
Waqar, S., Malik, Z., Razzaq, A., Abdullah, M., Shaima, A., & Zahid, M. (2005).
Frequency and risk factors for wound dehiscence/burst abdomen in midline
laparotomies. Journal Ayub Medical College Abottabad, 17(4), 70– 73.

Anda mungkin juga menyukai