Lapkas Onko
Lapkas Onko
2.1 Definisi
Wound dehiscence adalah salah satu komplikasi luka operasi yang terinfeksi.
Wound dehiscence merupakan kegagalan luka untuk menutup kembali (Smeltzer &
Bare, 2010) dimana kerusakan lapisan luka operasi baik itu parsial maupun komplit
(Doherty & Way, 2006). Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor (Johnson,
menimbulkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Hal ini ini biasanya terjadi
5 hingga 8 hari setelah operasi ketika penyembuhan masih dalam tahap awal (Rosen &
Manna, 2019).
kesehatan rumah sakit (Khorgami, 2012; Ramshort, Eker, Voet, Jeekel, & Lange,
2013), menyebabkan trauma psikologi, hingga kematian (Hitesh, Pratik, Nilesh, Jovin,
2014).
2.2 Insidensi
dengan tindakan operasi mencapai angka peningkatan yang sangat signifikan. Pada
tahun 2011 terdapat 140 juta pasien di seluruh rumah sakit di dunia, dan pada tahun
2012 diperkirakan meningkat menjadi 148 juta jiwa. Pada tahun 2012 di Indonesia,
tindakan operasi mencapai 1,2 juta jiwa dan diperkirakan 32% diantaranya merupakan
terjadi pada anak yang menjalani pembedahan mayor laparatomi karena invaginasi,
typhoid perforasi, anastomosis usus halus ataupun usus besar atau kolostomi pada
dengan gizi kurang dan atau gizi buruk, hipoalbuminemia, infeksi berat (sepsis). Faktor
lain disebutkan adalah obesitas, jenis kelamin laki-laki, usia terlalu muda (neonatus
atau bayi), operasi darurat, serta bentuk atau model insisi. Wound dehiscence
1. Usia
Usia sebagai salah satu faktor risiko woung dehiscence menurut Rhamsorst et
al. (2010) mengkaitkan hal ini dengan menurunnya fungsi tubuh yang berpengaruh
terhadap mekanisme perbaikan jaringan dan system kekebalan tubuh dimana kedua hal
tersebut diperlukan dalam proses penyembuhan luka terutama beberapa hari setelah
post operasi. Selain itu, menurut Waqar et al. (2005) semakin bertambah usia, produksi
glikoaminoglikan, kolagen, dan struktur matriks akan semakin berkurang dimana hal
2. Jenis Kelamin
Menurut Aliet al. (2014), meningkatnya kejadian wound dehiscence pada lakilaki
dikaitkan dengan kebiasaan merokok. Berdasarkan hasil studi sebagian besar perokok
Efek akut yang merugikan dari merokok, menurut Sorensen (2012) memicu kematian
jaringan post operasi dengan menurunnya suplai darah seperti pada kasus penutupan
jaringan dan menghambat respon inflamasi dari proses penyembuhan luka serta
luka operasi. Selain itu, efek dari rokok memperlambat proses proliferasi dan
3. Infeksi
Infeksi sebagai salah satu faktor risiko wound dehiscence. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian Rhamshorst et al. (2010), dan Ramneesh et al. (2014).
Penelitian lain yang mendukung yaitu menurut penelitian cross sectional yang
dilakukan Ali et al. (2014), dimana hasil penelitian memperlihatkan sebanyak 26 orang
(14,7%) mengalami wound dehiscence dan infeksi luka operasi ditemukan pada semua
pasien yang mengalami wound dehiscence (p<0,05). Invasi bakteri pada luka dapat
terjadi pada saat trauma, selama pembedahan atau setelah pembedahan, dimana gejala
dari infeksi sering muncul dalam 2 – 7 hari setelah pembedahan yang ditandai dengan
luka, peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih. Adanya bakteri
menyebabkan influx dan aktivasi neurofil serta meningkatkan tingkat degradasi matrix
memanjangnya fase inflamasi dan berdampak negatif terhadap deposisi kolagen serta
aktivitas fibroblas (Ramshorst et al., 2010). Selain itu, adanya rongga yang mati di
dalam luka operasi, menurut Johnson (2009) dapat menyebabkan terkumpulnya darah
dan cairan serous lainnya yang merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri
4. Operasi emergensi
elektif, yaitu 78,9%. Hasil uji bivariat menujukkan adanya hubungan yang signifikan
Rhamshorst et al. (2010) (p=0,001), begitu pula hasil penelitian Shammary (2012)
dimana sebagian besar (92%) wound dehiscenceterjadi pada pasien yang dilakukan
operasi emergensi dibandingkan dengan elektif. Menurut Ramshorst et al. (2010) serta
Ali et al. (2014), pasien yang mengalami operasi emergensi secara umum berada
berada pada kondisi dan status nutrisi yang buruk serta berpotensi tinggi terkontaminasi
dari lingkungan operasi dibandingkan operasi elektif. Selain itu, operasi emergensi
yang sifatnya segera biasanya dilakukan pada waktu kapanpun bahkan malam hari.
Operasi yang dilakukan pada malam hari berpotensi memengaruhi kinerja dokter bedah
yang menyebabkan proses penutupan abdomen pada akhir operasi menjadi kurang
optimal.
5. Anemia
cenderung memiliki celah pada luka (Ramneesh et al., 2014). Hasil penelitian
prospektif yang dilakukan Sivender, Ilaiah, dan Reddy (2015) pada 50 kasus wound
pasien dengan anemia (Hb < 10 g/dl) yang mengalami wound dehiscence yaitu 28
pasien (56%) sementara pasien dengan Hb > 10 g/dl yang mengalami wound
6. Status Nutrisi
Nutrisi yang optimum merupakan kunci utama untuk pemeliharaan seluruh fase
penyembuhan luka operasi, daya tahan tubuh, penurunan fungsi otot jantung dan
respirasi. Lebih jauh lagi pasien malnutrisi akan mempunyai risiko morbiditas lebih
tinggi sebanding dengan lama rawat yang lebih panjang, apabila dibandingkan dengan
pasien gizi baik. Secara umum, menurut Boyle (2006) malnutrisi dapat memengaruhi
imunitas, dan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi luka operasi, menyebabkan
berkurangnya kekuatan luka sehingga jaringan luka menjadi rapuh dan meningkatkan
kejadian wound dehiscence, Menurut Hahler (2009), pasien yang mengalami obesitas
memiliki jaringan lemak yang sangat rentan terhadap infeksi selama fase pembedahan
sehingga rentan mengalami infeksi luka operasi. Selain itu, menurut NICE (2008)
jaringan lemak memiliki vaskularisasi yang buruk dan efeknya pada oksigenasi
jaringan serta fungsi respon imun yang dianggap meningkatkan risiko infeksi luka
operasi yang berpotensi menyebabkan terjadinya wound dehiscence. Secara fisiologis,
penurunan status gizi disebabkan oleh terjadinya stres fisiologis terhadap pembedahan,
yaitu terjadinya hipermetabolisme dan katabolisme. Selama pembedahan, basal
metabolism rate (BMR) dan produksi glukosa hepatik meningkat. Khusus pada pasien
perioperatif, prevalensi malnutrisi ditemukan hingga sebesar 34.5%. Salah satu
komplikasi pasca pembedahan yang dapat timbul akibat malnutrisi adalah
penyembuhan luka bekas operasi yang tidak baik. Zat gizi yang memiliki peranan salah
satunya adalah protein.
7. Hipoalbumin
Jenis insisi : Tehnik insisi mediana lebih rentan untuk terbuka daripada transversal
dinding perut berlawanan dengan arah insisi sehingga akan mereganggkan jahitan
operasi.
Cara penjahitan : Pemilihan tehnik penutupan secara lapis demi lapis juga berperan
dalam terjadinya komplikasi ini. Tehnik ini di satu sisi memiliki keuntungan yaitu
efektifitas dan kekuatannya (Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009; Makela J, 2005).
khusus, dikarenakan kecepatan penyerapannya oleh tubuh sering kali tidak dapat
Peningkatan tekanan intra abdomen misalnya batuk, muntah, ileus dan retensio
abdomen sehingga akan teregang. Regangan otot dinding abdomen iniah yang
berat akan menyebabkan putusnya benang pada jahitan luka operasi dan
luka operasi.
Nutrisi pascaoperasi yang tidak adekuat. Asupan nutrisi yang tidak adekuat
2.4 Etiologi
Penyebab utama dehiscence luka adalah infeksi sub-akut, yang dihasilkan dari
teknik aseptik yang tidak memadai atau tidak sempurna. Jahitan yang dilapisi, seperti
Vicryl, umumnya rusak pada tingkat yang diperkirakan sesuai dengan penyembuhan
jaringan, tetapi dipercepat dengan adanya bakteri. Dengan tidak adanya faktor
metabolik lain yang diketahui yang menghambat penyembuhan dan mungkin telah
berkontribusi pada jahitan dehiscence, infeksi sub-akut harus dicurigai dan protokol
untuk mendapatkan kultur luka diikuti dengan pengobatan dengan antibiotik yang
kulit dari jaringan di bawahnya) dari luka selama operasi, ketegangan yang berlebihan
pada tepi luka yang disebabkan oleh pengangkatan atau pengencangan, atau luka yang
terletak pada area yang sangat mobile atau daerah yang memiliki ketegangan tinggi
seperti sebagai punggung, bahu atau kaki. Individu dengan sindrom Ehlers – Danlos
peningkatan tekanan perut. Penyebab yang sangat umum juga digunakan dan terutama
penggunaan nikotin dalam bentuk apa pun. Karena itu merokok harus dihentikan pada
2.5 Patofisiologi
Penyembuhan luka yang tepat terjadi dalam tiga fase umum, yang
menggantikan jaringan yang rusak. Tiga fase tersebut meliputi peradangan, proliferasi,
dan pematangan. Luka yang diperbaiki dapat diharapkan untuk mendapatkan 80% dari
kekuatan tegangan selama dua tahun, tetapi tidak akan mencapai tingkat kekuatan pra-
cedera yang sama. Penyembuhan luka yang buruk dapat terjadi karena gangguan salah
satu dari tiga fase penyembuhan. Faktor risiko umum untuk penyembuhan abnormal
gizi, penggunaan glukokortikoid, dan paparan radiasi (Grubbs et al, 2018; Ozgok et al,
2018).
Fase Hemostasis
Berlangsung selama 3 hari setelah cidera. Proses perbaikannya terdiri dari
mengontrol perdarahan(hemostatis), mengirim darah dan sel ke area yang mengalami
cedera(inflamasi) dan membentuk sel sel-epitel dan tempat cedera (epiteliasasi).
Selama proses hemostatis, pembuluh darah yang cedera akan mengalami konstriksi dan
trombosit berkumpul untuk menghentikan perdarahan. Bekuan – bekuan darah
membentuk matriks fibrin yang nantinya akan menjadi kerangka untuk perbaikan sel.
Jaringan yang rusak dan sel mast mensyekresi histamin, yang menyebabkan
vasodilatasi kapiler disekitarnya dan mengeluarkan serum dan sel darah putih ke dalam
jaringan yang rusak.
Leukosit (sel darah putih) akan mencapai luka dalam beberapa jam. Leukosit
utama yang bekerja pada luka adalah neutrofil, yang mulai memakan bakteri dan debris
yang kecil. Neutfofi mati dalam beberapa hari dan meninggalkan eksudat enzim yang
akan menyerang bakteri/membantu perbaikan jaringan. Pada inflamasi kronik,
neutrofil yang mati akan membentuk pus. Leukosit penting kedua adalah monosit, yang
berubah menjadi makrofag. Makrofag akan melanjutkan proses pembersihan debris
luka, menarik lebih banyak makrofag dan menstimulasi pembentukan fibroblast.
Setelah makrofag membersihkan luka dan menyiapkannya untuk perbaikan jaringan,
sel epitel bergerak dari bagian tepi luka dibawah dasar bekuan darah/keropeng. Sel
epitel terus berkumpul di bawah rongga luka selama sekitar 48 jam. Akhirnya di atas
luka akan terbentuk lapisan tipis dari jaringan epitel dan menjadi barier terhadap
organisme penyebab infeksi dan dari zat-zat beracun. Hormon pertumbuhan dilepaskan
oleh trombosit dan makrofag
Fase proliferasi (regenerasi)
Terjadi dalam waktu 3-24 hari. Fase regenerasi akan mengisi luka dengan
jaringan penyambung/jaringan granulasi yang baru dan menutup bagian atas luka
dengan epitelisasi. Fibroblast akan menutup defek luka. Fibroblast membutuhkan
vitamin B dan C, oksigen dan asam amino. Kolagen memberikan kekuatan dan
integritas struktur pada luka. Selama periode ini luka akan tertutup oleh jaringan yang
baru. Bersamaan dengan proses rekonstruksi yang terus berlangsung, daya elastisitas
luka meningkat dan risiko terpisah/ruptur luka akan menurun. Tingkat tekanan pada
luka mempengaruhi jumlah jaringan parut yang terbentuk. Gangguan proses
penyembuhan pada fase ini biasanya disebabkan oleh faktor sistematik seperti usia,
anemia, hipoproteinemia dan defisiensi zat besi.
Maturasi (remodeling)
Memerlukan waktu lebih dari 1 tahun, tergantung pada kedalaman dan
keluasan luka. Jaringan parut kolagen terus melakukan reorganisasi dan akan menguat
setelah beberapa bulan. Namun luka yang telah sembuh biasanya tidak memiliki daya
elastisitas yang sama dengan jaringan yang digantikannya. Serat kolagen mengalami
remodeling/reorganisasi sebelum mencapai bentuk normal. Biasanya jaringan parut
mengandung lebih sedikit sel-sel pigmentasi (melanosit) dan memiliki warna yang
lebih terang dari pada warna kulit normal.
kegagalan luka. Dehiscence superfisial dapat dikelola dengan binder perut untuk
mengurangi ketegangan pada luka dan mencegah dehiscence lebih lanjut. Kegagalan
luka yang ada dapat dibiarkan sembuh sendirinya atau bisa ditutup sekunder.
Dehiscence mendalam pada fasia yang mendasarinya adalah keadaan darurat bedah
dan harus ditutup di ruang operasi, karena ini dapat menyebabkan pengeluaran isi. Jika
luka menunjukkan tanda-tanda pengeluaran isi, luka dapat ditutup dengan pembalut
salin steril sampai organ herniasi dapat direduksi kembali ke perut (Wallace et al,
2019).
2.6 Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat dibagi menjadi dua:
Dehisensi luka operasi dini : terjadi kurang dari 3 hari paska operasi yang
biasanya disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding perut yang tidak
baik.
Dehisensi luka operasi lambat : terjadi kurang lebih antara 7 hari sampai 12 hari
Dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya penderita sering
merasa ada jaringan dari dalam rongga abdomen yang bergerak keluar disertai
keluarnya cairan serous berwarna merah muda dari luka operasi (85% kasus). Pada
tanda infeksi umum seperti adanya rasa nyeri, edema dan hiperemis pada daerah
sekitar luka operasi, dapat pula terjadi pus atau nanah yang keluar dari luka operasi
Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara klinis terjadi pada
hari keempat hingga sembilan pascaoperasi. Penderita datang dengan klinis febris,
hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah leukosit yang sangat tinggi dan
Sjamsudidajat R, 2011).
2.8 Penatalaksanaan
penderita.
1. PenangananNonoperatif/Konservatif
Penanganan non operatif diberikan kepada penderita yang sangat stabil dan tidak
mengalami eviserasi. Hal ini dilakukan dengan penderita berbaring di tempat tidur
dan menutup luka operasi dengan kassa steril atau pakaian khusus steril.
perburukan luka operasi terbuka (Ismail, 2008). Selain perawatan luka yang baik,
diberikan nutrisi yang adekuat untuk mempercepat penutupan kembali luka operasi.
2. PenangananOperatif
beberapa jenis operasi yang dilakukan pada dehisensi luka yang dilakukan antara
lain rehecting atau penjahitan ulang luka operasi yang terbuka, mesh repair, vacuum
pack, abdominal packing, dan Bogota bag repair (Sukumar, 2010). Jenis operasi
rehecting atau penjahitan ulang paling sering dilakukan hingga saat ini. Tindakan
ini dilakukan pada pasien dengan keadaan stabil, dan penyebab
2010).
ulangan perlu dilakukan pemeriksaan yang baik seperti laboratorium lengkap dan
foto throraks. Selain penjahitan ulang dilakukan pula tindakan debridement pada
Tindakan awal yang dilakukan adalah eksplorasi melalui dehisensi luka jahitan
diagnosis dehisensi luka operasi di tegakkan. Tehnik yang sering digunakan adalah
dengan melepas jahitan lama dan menjahit kembali luka operasi dengan cara satu
Penjahitan ulang luka operasi dilakukan secara dalam, yaitu dengan menjahit
seluruh lapisan abdomen menjadi satu lapis. Pastikan mengambil jaringan cukup
dalam dan hindari tekanan berlebihan pada luka. Tutup kulit secara erat dan dapat
tanda sepsis akibat luka, buka kembali jahitan luka operasi dan lakukan perawatan
luka operasi secara terbuka dan pastikan kelembaban jaringan terjaga (Singh, 2012;
Ismail, 2008).
Prinsip pemilihan benang untuk penjahitan ulang adalah benang monofilament
tepi luka dan jarak maksimal antar jahitan 3 cm, baik pada jahitan dalam ataupun
pada kulit. Jahitan penguat dengan karet atau tabung plastic lunak (5-6cm) dapat
dipertimbangkan guna mengurangi erosi pada kulit. Jangan mengikat terlalu erat.
Jahitan penguat luar diangkat setidaknya setelah 3 minggu (Singh, 2012; Ismail,
2008).
dehisensi luka secara sementara maupun permanen. Metode yang biasa dilakukan
antara lain mesh repair, yaitu penutupan luka dengan bahan sintetis yaitu mesh yang
berbentuk semacam kasa halus elastis yang berfungsi sebagai pelapis pada jaringan
yang terbuka tersebut dan bersifat diserap oleh tubuh. Namun mesh repair
80% pasien dengan mesh repair mengalami komlplikasi dengan 23% mengalami
2.9 Pencegahan
tekanan pada tepi luka, menghindari pengangkatan berat dan hematoma, dan
dan menghindari obat-obatan tertentu seperti prednison. Strip steril juga dapat
digunakan untuk menutupi jahitan hingga satu minggu, penggunaan antibiotik dan
Afzal, Saira & Bahir, M.M.. (2008). Determinants of wound dehiscence in abdominal
surgery in public sector hospital. Annals. 14. 110-114.
Ali, M., Saeeda., Israr, M., &Ullah, H.M. (2014). Frequency of abdominal wound
dehiscence and role of wound infection as a major causative factor. Park J Surg,
30(1), 4–8.
Cronin, Beth et al (2012) Vaginal cuff dehiscence: risk factors and management,
American Journal of Obstetrics & Gynecology, Volume 206, Issue 4, 284 – 288
Dehiscence.Medical Journal Malaysia. 59:2
Doherty, G.M., & Way, L.W. (2006). Postoperative complications. Current surgical
diagnosis & treatment (12th ed). New York : Lange medical Books/McGraw
Hill
Grubbs, KJ, Allen KB, Thourani VH, Naka Y, Grehan J, Patel N, et al. (2018),
Randomized, multicenter trial comparing sternotomy closure with rigid plate
fixation to wire cerclage. J Thorac Cardiovasc Surg. 2017;153:888–96.
Hennessey, D.B., Burke J.P., Dhonochu, T.N., Shielda, D., Winter, D.C., & Melay, K.
(2010). Preoperative hypoalbuminemia is an independent risk factor for the
development
Hitesh, K., Pratik, V., Nilesh, P., & Jovin, M. (2015). Factors affecting post-operative
laparotomy wound coplications. International archives of Integrated Medicine,
2(1), 71–74.
Hitesh, K., Pratik, V., Nilesh, P., & Jovin, M. (2015). Factors affecting post-operative
laparotomy wound coplications. International archives of Integrated Medicine,
2(1), 71–74.
Hussein, A. F., Fares, K.M., Mostafa, M.A.M., Mohammed, S.A., Hamed, H.B., &
Hagras, A.M.G. (2015). Implication of Hypoalbuminemia in Early
Postoperative Complications. SECI Oncology. DOI: 10.18056/seci2015.3..
Kemenkes RI. (2013). Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Jakarta : Kemenkes.
Khorgami, Z., Shoar, B., Laghaie, B., Aminian, A., Araghi, N.H., & Soroush, A.
(2012). Prophylactic retention suture in midline laparotomy in high risk for
wound dehiscence : a randomized controlled trial. Journal of Surgical Research,
xxx, E1-E6.
Makela JT, Kiviniemi H, Juvonen T (2005) Factors influencing wound healing after
midline laparotomy. Am Surg; 170:387-9.
Meilany, T.A., Alexandra., Arianto, A., Bausat, Q., Endang., Prihartono, J., & Sjarif,
D.R.. (2012). Pengaruh Malnutrisi dan Faktor lainnya terhadap Kejadian
Wound Dehiscence pada Pembedahan Abdominal Anak Pada Periode
Perioperatif. Sari Pediatri. 14(2).
National Institute for Health and Clinical Excellence. (2008). Surgical Site Infection:
Prevention and Treatment of Surgical Site Infection Clinical Guideline 74.
NICE. London
Ozgok Kangal MK, Regan JP. Wound Healing. [Updated 2018 Dec 4]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK535406/
Ramneesh, G., Sheerin, S., Surinder, S., &Bir, S. (2014). A Prospective Study of
Predictors for Post Laparotomy Abdominal Wound Dehiscence. Journal of
Clinical and Diagnostic Research, 8(1), 80–83.
Ramshorst, G. H., Nieuwenhuizen., Hop, W.C.J., Arends, P., Boom, J., Jeekel, J., &
Lange, J.F. (2010). Abdominal Wound Dehiscence in Adults : Development
and Validation of a Risk Model. World Journal Surgical, 34, 20–27. Doi :
10.1007/s00268- 009-0277-y.
Ramshort, G. H., Eker, H. H., Voet, J. A., Jeekel, J., & Lange, J. F. (2013). Long-Term
Outcome Study in Patients with Abdominal Wound Dehiscence : a
Comparative Study on Quality of Life, Body Image, and Incisional Hernia.
Gastrointest Surg, 17, 1477–1484.
Rosen RD, Manna B. Wound Dehiscence. [Updated 2019 Nov 20]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551712/
Singh, P. K., Usui, M. L., Underwood, R. A., Zhao, G., James, G. A., Stewart, P. S.,
Fleckman, P., & Olerud, J. E. (2012). Time course study of delayed wound
healing in a biofilm-challenged diabetic mouse model. Wound repair and
regeneration : official publication of the Wound Healing Society [and] the
European Tissue Repair Society, 20(3), 342–352.
https://doi.org/10.1111/j.1524-475X.2012.00793.x
Sjamsuhidajat. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta : EGC
Smeltzer, S.C., &Bare, B.G. (2010). Post operative nursing wound management. In
Brunner & Suddart's Textbook of medical- surgical nursing (12th ed.).
Philadelphia: J.B. Lippincott Company.
Sorensen, L.T. (2012). Wound Healing and Infection Surgery : The Clinical Impact of
Smoking and Smoking Cessation : A Systematic Review and Met
Spiliotis, J., Tsiveriotis, K., Datsis, A.D.,Vaxevanidou, A., Zacharis, G., Konstantinos,
G.,... Rogdakis, A. (2009). Wound Dehiscence : is still a problem in the 21th
century : a restropective study. World Journal of Emergency Surgery, 4(12), 1–
5. doi:10.1186/1749-7922-4-12.