Anda di halaman 1dari 15

TUGAS KMB

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


BPH (BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA)

Disusun Oleh:

INNA FAJARWATI

NIM: 191030100478

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

STIKES WIDYA DHARMA HUSADA TANGERANG

TAHUN AKADEMIK

2019/2020
BPH (BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA)

A. Konsep Medis
1. Definisi
Hiperplasia prostat jinak (Benign Prostatic Hyperplasia) adalah pembesaran
progresif dari kelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hiperplasi beberapa atau
semua komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan uretra pars prostatika
(Muttaqin & Sari, 2011).
Hiperplasia prostat jinak (Benign Prostatic Hyperplasia) adalah pertumbuhan
tidak ganas stroma dan kelenjar epitel prostat yang menyebabkan pembesaran
kelenjar prostat (McPhee & Ganong, 2011).
Hiperplasia prostat jinak (Benign Prostatic Hyperplasia) adalah pembengkakan
no cancer atau hipertrofi prostat yang merupakan penyakit yang umum diderita oleh
laki-laki dewasa tua (>40 tahun) dan menyebakan gangguan pada saluran perkemihan
bagian bawah (Brunner & Suddarth's, 2014)

2. Anatomi Fisiologi
a. Anatomi

Gambar 1.1. Anatomi Prostat


b. Fisiologi
Prostat adalah suatu kelenjar berotot yang berbentuk hampir segitiga atau
seperti buah kemiri dengan ukuran 4 x 3 x 2,5cm dan berat ± 20 gram. Prostat
terletak di panggul pada permukaan posterior dan inferior kandung kemih dekat
sektum, mengelilingi uretra bagian atas (pars prostatika). Prostat memiliki satu
lobus anterior, tengah, dan posterior serta dua lobus lateral, serta terdapat sebuah
alur dangkal di posterior median yang memisahkan kedua lobus lateral dan dapat
diraba pada pemeriksaan rectum dengan jari. Kelenjar prostat bagian luarnya
dibungkus oleh lapisan fibrosa, suatu lapisan otot polos dan substansi glandula
yang terdiri atas sel epitelium kelenjar.
Fungsi kelenjar prostat adalah mengeluarkan cairan prostat, suatu cairan basa
keruh yang merupakan komponen utama semen, cairan ini dikeluarkan saat
orgasme. Kelenjar prostat menyekresi cairan-cairan seperti susu yang encer dan
berisi cairan sekitar 30% semen, yang membuatnya tampak seperti susu. Semen
mengandung enzim pembekuan, yang mengentalkan semen di dalam vagina
sehingga meningkatkan kemungkinan semen tetap tertahan di dekat serviks
(McPhee & Ganong, 2011; Waugh & Grant, 2011)

3. Etiologi
Penyebab hyperplasia prostat jinak belum diketahui. Namun penuaan dan faktor
hormone jelas penting. Peningkatan ukuran prostat seiring pertambahan usia
dijumpai pada otopsi, dan timbulnya gejala berkaitan dengan usia. Bukti patologis
hyperplasia prostat jinak lebih dari 70% pada pria berusia 60-an, dan hampir 90%
pria berusia 80-an. Dengan bertambahnya usia terjadi peningkatan ukuran
keseluruhan zona transisi serta peningkatan jumlah dan ukuran nodul. Kadar
androgen prostat terutama kadar DHT (Dihidrotestosteron) berperan penting dalam
pembentukan penyakit ini. DHT adalah bentuk aktif testosterone yang mendukung
pertumbuhan dan perkembangan prostat selama kehidupan, dan prostat tetap
sensitive terhadap produksi androgen selama kehidupan untuk mempertahankan
ukuran dan fungsi prostat. Prostat memiliki simpai disekeliling prostat yang diduga
sebagai timbulnya gejala-gejala obstruktif. Simpai dapat membuat tekanan yang
ditimbulkan oleh pembesaran jaringan zona periuretra dan transisi disalurkan ke
uretra sehingga meningkatkan tahanan uretra. Faktor penyebab lainnya yaitu obesitas
terutama peningkatan lingkar perut dapat meningkatkan resiko BPH karena pada
obesitas terjadi penumpukan lemak yang terjadi dalam tubuh akan merangsang
pembentukan sel-sel prostat yang akan menyebabkan kelenjar prostat membesar.
Merokok telah memberikan efek protektif terhadap BPH karena menurunkan kadar
testosterone serum. Penggunaan alkohol yang berat juga dapat menyebabkan BPH
(Black & Hawks , 2014; Frasiska & Oka, 2018).
4. Patofisiologi
Hiperplasia berawal pada sel-sel glanduler (stroma) didekat uretra-zona transisi.
Pada tingkat mikroskopi, hiperplasia prostat tampak noduler, namun efek pada
palpasi adalah pembesaran kelenjar simetris yang bebas dari karakteristik nodus yang
terpalpasi pada kanker prostat. Obstruksi terjadi saat hiperplasia menyempitkan
lumen dari segmen uretra yang melalui prostat. Obstruksi juga terjadi saat prostat
melampaui diatas leher kandung kemih, menurunkan kemampuannya untuk
menyalurkan urine sebagai respon terhadap miksi, dan saat pertumbuhan dari lobus
median prostat meluas kedalam uretra prostatika. BPH juga dipengaruhi oleh kapsul
prostat (jaringan ikat yang menutupi kelenjar) pada sebagian laki-laki kapsul ini
memungkinkan hiperplasia meluas keluar, meningkatkan ukuran prostat, selanjutnya
tingkat keparahan kompresi uretra dan obstruksi urine. Hipertrofi otot polos prostat
juga berkontribusi terhadap obstruksi uretra melalui tekanan aktif dan pasif.
Hiperplasia prostat disertai dengan hipertrofi otot polos kelenjar. Hipertrofi otot
polos memicu obstruksi urine dengan meningkatkan tonus otot pada leher kandung
kemih dan uretra proksimal (prostatika) dan meningkatkan secara mekanis jaringan
yang mengonstriksi lumen uretra (Black & Hawks , 2014).
Jika obstruksi yang berkaitan dengan BPH berkepanjagan dan parah, klien akan
mengalami gangguan fungsi ginjal atau gagal ginjal. Kondisi ini hanya menyerang
sebagian kecil laki-laki yang mengalami BPH (<1%). Infeksi saluran kemih dan
hematuria juga dapat berkaitan dengan BPH. Obstruksi jalan keluar kandung kemih
dan retensi urine meningkatkan resiko ISK. Resiko ini paling besar jika dilakukan
kateterisasi, sistoscopy, atau bedah transuretal, yang memungkinkan bakteri didalam
asinus prostat mencapai kandung kemih. Retensi dan obstruksi urine juga dapat
mempersulit terapi ISK karena pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap
mengganggu evakuasi urine, bakteri dan toksin dari kandung kemih (Black & Hawks
, 2014).

5. Tanda dan Gejala


(Black & Hawks , 2014; Brunner & Suddarth's, 2014) Obstruksi aliran keluar
urine dan disfungsi kandung kemih merupakan penyebab utama tanda dan gejala
BPH. Pembesaran prostat dapat menyebabkan retensi urine akut atau kronik. Retensi
urine akut terjadi dilatasi kandung kembih yang menimbulkan nyeri disertai
ketidakmampuan membuang air kecil. Pada retensi urine akut timbul gejala-gejala
berkemih obstruktif dan iritatif. Gejala obstruktif terjadi akibat distorsi dan
penyempitan leher kandung kemih dan uretra pars prostatika sehingga pengosongan
kandung kemih menjadi tidak tuntas. Gejala obstruktif meliputi kesulitan mulai
berkemih, arus urine yang tersendat-sendat, histansi dan urine yang menetes,
sedangkan gejala iritatif terjadi akibat hipertrofi dan disfungsi kandung kemih dan
mencakup frekuensi, nokturia, dan urgensi. Pasien sering mengeluh kesulitan
memulai berkemih dan berkurangnya aliran sehingga kekuatan arus urine berkurang.
Tanda dan gejala dapat terjadi:
a. Hesitansi perkemihan, kesulitan mengawali aliran urine karena tekanan pada
uretra dan leher kandung kemih.
b. Frekuensi perkemihan, sering kencing karena tekanan pada kandung kemih.
c. Urgensi perkemihan, perlu kekamar mandi segera untuk berkemih karena tekanan
pada kandung kemih.
d. Nokturia, perlu bangun malam hari untuk berkemih karena tekanan pada kandung
kemih.
e. Turunnya kekuatan aliran air kemih.
f. Aliran urine tidak lancar.
g. Hematuria
6. Test Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik menurut (Muttaqin & Sari, 2011) yaitu:
a. Urinalisa : warna kuning, cokelat gelap, merah gelap atau terang (berdarah),
penampilan keruh, pH 7 atau lebih besar (menunjukkan infeksi), bakteri.
b. Urinalisis untuk melihat adanya tanda infeksi pada saluran kemih.
c. Kulture urine untuk melihat ada bakteri atau tidak.
d. Fungsi ginjal untuk menilai adanya gangguan fungsi ginjal
e. Pemeriksaan uroflometri
f. Foto polos abdomen untuk melihat adanya batu saluran kemih
g. PIV, untuk melihat adanya komplikasi pada ureter dan ginjal, seperti hidroureter,
hidronfrosis
7. Therapy
a. Medis
1) Farmakologi (Brunner & Suddarth's, 2014)
Terapi farmakologi untuk BPH adalah pemberian alpha-adregenic
blocker dan inhibitor 5α- reduktas. Alpha-adregenic blocker meliputi
alfuzosin (Uroxatral), terazosin (Hytrin), doxasozin (Cardura), dan
tamsulosin, merilekskan otot halus di vesika urinaria dan prostat. Terapi ini
akan meningkatkan aliran urine dan mengurangi gejala BPH.
Metode yang lain adalah dengan meningkatkan manipulasi hormon
dengan antiandrogen agen. Inhibitor 5α-reduktas Proscar dan Avodant
digunakan untuk mencegah konversi testoteron menjadi DHT dan
menurunkan ukuran prostat. Efek samping terapi ini adalah penurunan libido,
disfungsi ejakulasi, disfungsi ereksi, gynekomastia. Kombinasi terapi
(doxasozin dan finasteride) akan menurunkan gejala dan mengurangi progress
BPH.
2) Pembedahan (Brunner & Suddarth's, 2014; LeMone, Burke, & Bauldoff,
2014)
a) Tindakan Minimal Invasif
(1) TUMT (Transurethral Microwave Thermotherapy)
TUMT merupakan terapi yang menggunakan panas dengan target
jaringan di prostat yang dilakukan menggunakan jarum melalui uretra
langsung menuju kelenjar prostat. Jaringan yang menjadi target akan
mengalami nekrosis, untuk mengurangi efek panas pada uretra akan
dilaksanakan terapi water-cooling apparatus.
(2) TUNA (Trsansurethral Needle Ablation)
TUNA merupakan terapi menggunkaan glombang radio rendah yang
akan disalurkan ke prostat menggunakan sebuah jarum kecil dan akan
memproduksi panas yang akan menghancurkan jaringan prostat.
Jaringan yang telah di hancurkan akan diserap kembali oleh tubuh.
Terapi ini diberikan kepada pasien dengan retensi urine.
(3) TURP (Transurethral Resection of the Prostate)
TURP merupakan tindakan yang paling sering digunakan dalam
menangani BPH dengan cara menghilangkan sebagian prostat melalui
endoscopy. Pembedahan ini mempunyai kemungkinan resiko,
termasuk perdarahan atau retensi bekuan pasca operatif,
ketidakmampuan untuk berkemih, dan infeksi saluran kemih.
b. Keperawatan (Black & Hawks , 2014)
1) Mengurangi resiko infeksi dengan memperbaiki status nutrisi dan
mempertahankan fungsi usus serta kandung kemih.
2) Latihan penguatan otot dasar pelvis sebelum prosedur prostatectomy untuk
memperbaiki inkontinensia urine setelah pembedahan.

8. Komplikasi
Komplikasi menurut (LeMone, Burke, & Bauldoff, 2014);
a. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko ureter , hidroureter,
hidronefrosis, gagal ginjal.
b. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi.
c. Selalu terdapat sisa urine sehingga menyebabkan terbentuknya batu
d. Hematuria
e. Disfungsi seksual
Komplikasi yang berkaitan dengan TURP yaitu:
a. Hemoragi dan syok
b. Pembentukan bekuan atau thrombosis
c. Obstruksi kateter
d. Disfungsi seksual
B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
Pre operasi
a. Pola persepsi kesehatan-pemeliharaan kesehatan
- Adakah riwayat infeksi
- Adakah riwayat obstruksi kandung kemih?
- Adakah riwayat merokok Jika ya, berapa banyak dan berapa lama?
b. Pola nutrisi-metabolik
- Apakah ada mual, muntah, anoreksia, demam
c. Pola eliminasi
- Apakah ada urgensi, urine sulit keluar, urine menetes?
- Adakah kesulitan untuk mulai berkemih, disuria
d. Pola aktivitas-latihan
- Apakah ada penurunan aktivitas jika nyeri muncul?
e. Pola tidur dan istirahat
- Adakah nokturia, urgensi saat tidur?
f. Pola persepsi kognitif
- Kaji pengetahuan tentang penyakit atau prosedur pembedahan.
Post operasi
a. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
- Riwayat operasi prostaktektomi
- Penggunaan alat-alat medik post operasi : infus kateter
b. Pola nutrisi metabolic
- Mual, muntah, anoreksia dna demam
c. Pola eliminasi
- Retensi urin
- Inkontinensia urin
- Hematuria
d. Pola latihan dan aktivitas
- penurunan aktivitas karena nyeri, fatigue
e. Pola tidur dan istirahat
- gangguan tidur karena nokturia
f. Pola persepsi kognitif
- Pengetahuan tentang komplikasi pembedahaan dan perawatan post operasi
- nyeri
g. Pola persepsi sensori
- Takut, cemas tentang perubahan gambaran diri, komplikasi operasi
h. Pola seksual-reproduksi
- Impoten
2. Diagnosa Keperawatan
Pre operasi
a. Retensi urine (Akut/Kronik) b.d obstruksi mekanik; pembesaran prostat,
dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandungan kemih untuk
berkontraksi dengan adekuat
b. Nyeri (akut) b.d distensi kandung kemih, kolik ginjal.
c. Resiko infeksi b.d pemasangan kateter, retensi urin
d. Kecemasan b.d prognosis pembedahan, tindakan invasif diagnostic
Post Operasi
a. Resiko tinggi kurang volume cairan tubuh b.d kehilangan cairan aktif
b. Nyeri akut b.d iritasi kandung kemih, irigasi, dan distensi; pemasangan kateter
dan trauma bedah
c. Resiko tinggi infeksi b.d pemasangan kateter, irigasi, luka infeksi post operasi

3. Perencanaan
Pre Operasi
a. Retensi urine (Akut/Kronik) b.d obstruksi mekanik ; pembesaran prostat,
dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandungan kemih untuk
berkontraksi dengan adekuat
Tujuan :
Klien dapat berkemih dalam jumlah cukup dengan hasil yang diharapkan :
- Tak teraba distensi kandung kemih
- Menunjukkan residu pasca berkemih kurang dari 50 ml dengan tak adanya
tetesan atau kelebihan aliran
Perencanaan
1) Observasi aliran urine, awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih.
Rasional : Untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi

2) Observasi tanda-tanda vital


Rasional : Melalui tanda vital kita dapat mengetahui status sirkulasi
pasien
3) Kaji distensi kandung kemih dengan palpasi daerah suprapubis
Rasional : Palpasi di daerah suprapubis dapat mengetahui adanya
distensi pada kandung kemih
4) Kolaborasi dengan medik untuk pemasangan kateter, sistostomi
Rasional : Mencegah retensi urine dan mengalirkan kandung kemih
b. Nyeri (akut) b.d distensi kandung kemih, kolik ginjal
Tujuan :
Klien dapat melaporkan nyeri hilang terkontrol dengan hasil yang diharapkan :
- Klien tampak rileks
- Mampu untuk tidur/istirahat dengan tepat
- Klien mampu mengontrol nyeri dengan baik
Perencanaan
1) Kaji nyeri dengan skala nyeri PQRST
Rasional : menggali keluhan nyeri yang dirasakan pasien secara
spesifik untuk menentukan tindakan yang tepat.
2) Pertahankan tirah baring bila diperlukan
Rasional : tirah baring diperlukan pada awal selama fase retensi akut.
Tetapi ambulasi dini dapat memperbaiki pola berkemih
normal dan menghilangkan nyeri kronik.
3) Ajarkan teknik distraksi
Rasional : mengurangi nyeri
4) Lakukan message prostat bila diperlukan
Rasional : diberikan untuk menghilangkan nyeri berat, memberikan
relaksasi mental dan fisik.
5) Kolaborasi dengan berikan obat sesuai indikasi
Rasional : pemberian obat analgetik mampu mengurangi rasa nyeri
yang dirasakan pasien
c. Resiko infeksi b.d pemasangan kateter, retensi urine
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan resiko
infeksi tidak terjadi dengan hasil yang diharapkan:
- Klien tidak menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi
- Suhu normal
- Leukosit dalam batas normal
Perencanaan
1) Observasi tanda-tanda vital
Rasional : Nadi dan suhu yang meningkat merupakan salah satu
tandanya proses infeksi
2) Rawat kateter internal secara periodik
Rasional : Perawatan kateter secara teratur dapat mengontrol dan
mencegah kejadian infeksi
3) Berikan minum sesuai kebutuhan
Rasional : Agar tidak kekurangan cairan
4) Kolaborasi medik untuk pemeriksaan laboratorium
Rasional : Pemeriksaan laboratorium dapat memberikan gambaran
normal kadar leukosit darah
d. Kecemasan b.d prognosis pembedahan, tindakaninvasif diagnostik.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan cemas
berkurang/hilang dengan hasil yang diharapkan :
- Klien akan menyebutkan alasan pembatasan aktivitas
- Katerisasi
- Peningkatan asupan cairan
Perencanaan :
1) Pertegas penjelasan dokter tentang operasi yang telah dijadwalkan dan
jawab beberapa pertanyaan
Rasional : Persetujuan yang diberikan klien atau keluarganya atas dasar
penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan
terhadap klien tersebut
2) Jelaskan prosedur operasi yang telah diperkirakan seperti : Kateterisasi,
Irigasi manual dan kontinue, Infus intravena
Rasional : Mengurangi kecemasan klien
3) Jelaskan pembatasan aktivitas yang diharapkan
Rasional : Mengurangi resiko cidera

Post Operasi
a. Resiko tinggu kurang volume cairan tubuh b.d kehilangan cairan aktif
Tujuan : Perdarahan post operasi terkontrol, setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam dengan kriteria hasil tekanan darah
dalam batas normal, Hb normal, tidak tampak ada perdarahan.
Intervensi :
1) Pantau tanda-tanda perdarahan
Rasional : kehilangan darah berlebih beresiko tinggi mengalami
kekurangan cairan
2) Kaji tanda-tanda vital
Rasional : penurunan frekuensi nadi dan tekanan darah
mengindikasikan adanya kekurangan caira tubuh
3) Hitung balance cairan
Rasional : balance cairan membantu memonitoring adanya kekurangan
cairan tubuh.
4) Instruksikan pasien untuk menghindari mengedan ketika BAB
Rasional : mengejan memberikan tekanan pada daerah perineal yang
dapat beresiko terjadi perdarahan.
5) Lakukan irigasi kandung kemih sesuai pesanan
Rasional : irigasi mencegah adanya bekuan darah pada saluran kemih
b. Nyeri akut b.d iritasi kandung kemih, irigasi dan distentsi; pemasangan
chateter dan trauma bedah.
Tujuan : Pasien melaporkan nyeri berkurang, setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam dengan kriteria hasil melaporkan
nyeri dapat berkurang, TTV dalam batas normal, penggunaan
analgesic secara tepat, melaporkan tanda & gejala yang tidak
terkontrol untuk perawatan selanjutnya.
Intervensi :
1) Observasi skala nyeri PQRST
Rasional : menggali keluhan nyeri yang dirasakan pasien secara
spesifik untuk menentukan tindakan yang tepat.
2) Ajarkan pasien dan keluarga untuk memantau intensitas, kualitas dan
durasi nyeri
Rasional : pasien dan keluarga mampu mengenali nyeri yang dirasakan
pasien.
3) Ajarkan pasien dan keluarga bagaimana menggunakan perangkat PCA
Rasional : edukasi kepada keluarga dapat melatih pasien dan keluarga
untuk merawat diri pasien.
4) Menjelaskan pada pasien dan keluarga efek samping dari agen
menghilangkan rasa sakit.
Rasional : edukasi memberikan informasi yang dapat membantu masa
perawatan pasien.
5) Ajarkan teknik non farmakologis kepada pasien untuk mengurangi rasa
sakit
Rasional : edukasi memberikan informasi yang dapat membantu masa
perawatan pasien.
6) Jelaskan faktor-faktor yang dapat meringankan/ memperburuk rasa sakit
Rasional : edukasi memberikan informasi yang dapat membantu masa
perawatan pasien.
7) Memodifikasi langkah-langkah pengendalian nyeri berdasarkan respon
pasien
Rasional : membantu pasien dalam menangani nyeri menggunakan
metode yang paling tepat untuk dirinya.
8) Jaga aliran sistem kemih kateter
Rasional : gumpalan yang dapat menyebabkan gangguan aliran urine
yang mengakibatkan kejang.
9) Pertahankan fiksasi plester selang drainase pada paha dan kateter pada
abdomen.
Rasional : mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan
penis-skrotal
10) Kolaborasi dengan dokter pemberian obat analgesic
Rasional : obat analgesik mampu mengurangi perasaan nyeri.
c. Resiko tinggi infeksi b.d pemasangan kateter irigasi, luka insisi post operasi
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan resiko infeksi
tidak terjadi dengan hasil yang diharapkan klien tidak
menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi, suhu normal, leukosit
dalam batas normal
Intervensi :
1) Observasi tanda-tanda vital
Rasional : peningkatan suhu tubuh, peningkatan frekuensi nadi
mengindikasi adanya infeksi.
2) Rawat kateter internal secara periodic
Rasional : perawatan kateter secara teratur dapat mengontrol dan
mencegah kejadian infeksi
3) Kolaborasi medik untuk pemeriksaan laboratorium.
Rasional : pemeriksaan laboratorium dapat memantau adanya infeksi
dalam darah.
4) Kolaborasi dengan dokter pemberian antibiotic
Rasional : obat antibiotik dapat mengurangi resiko infeksi pasca operasi

DISCHARGE PLANNING
• Berhenti merokok

• Biasakan hidup bersih

• Makan makanan yang banyak mengandung vitamin dan hindari minuman


beralkohol

• Berolahraga secara rutin

• Menilai dan mengajarkan pasien untuk melaporkan tanda-tanda hematuria dan


infeksi

• Jelaskan komplikasi pada BPH

• Anjurkan pasien untuk menghindari obat-obatan yang mengganggu berkemih

• Mendorong untuk selalu check up

• Diit tinggi lemak

• Harus di kurangi tinggi protein hewani


DAFTAR PUSTAKA

Black, J. M., & Hawks , J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Manajemen Klinis Untuk
Hasil Yang Diharapkan. Singapore: Elsevier.
Brunner, & Suddarth's. (2014). Text Book of Medical-Surgical Nursing. philadelphia: Wolters
Kluwer Health.
LeMone, P., Burke, K. M., & Bauldoff, G. (2014). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta: EGC.
McPhee, S. J., & Ganong, W. F. (2011). Patofosiologi Penyakit Pengantar Menuju
Kedokteran Klinis . Jakarta: EGC.
Muttaqin, A., & Sari, K. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta: Salemba Medika.
Waugh, A., & Grant, A. (2011). Dasar-dasar Anatomi dan Fisiologi. Singapore: Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai