Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN ANALISIS JURNAL

PADA PASIEN DENGAN SKIZOFRENIA


DI RUANG TERATAI RSUP DR SARDJITO

Tugas Kelompok
Stase Praktik Keperawatan Jiwa

Disusun oleh:
NI MADE DWI SRI GANITRI 19/451304/KU/21821
NURUL DYAH KUSUMAWATI 19/451310/KU/21827
PRADANA MARDANINGSIH 19/451312/KU/21829
SEVIA RANI IRIANTI 19/451317/KU/21834
SYOFFAWATI DEWI 19/451323/KU/21840
YULFATIN HIDAYAH 19/451328/KU/21845

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN, KESEHATAN MASYARAKAT, DAN KEPERAWATAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019
BAB 1

A. PENDAHULUAN

Kesehatan mental atau kesehatan jiwa merupakan aspek penting dalam mewujudkan

kesehatan secara menyeluruh. Kesehatan mental juga penting diperhatikan selayaknya

kesehatan fisik. Kesehatan yang baik memungkinan orang untuk menyadari potensi mereka,

mengatasi tekanan kehidupan yang normal, dan bekerja secara produktif. Sehingga gangguan

kesehatan mental tidak bisa diabaikan karena jumlahnya masih cukup mengkhawatirkan.

Terdapat sekitar 450 juta orang menderita gangguan mental dan perilaku di seluruh dunia.

Diperkirakan satu dari empat orang akan menderita gangguan mental selama masa hidupnya

(WHO, 2013).

Menurut World Health Organization (2017) pada umumnya gangguan mental yang

terjadi adalah gangguan kecemasan dan gangguan depresi. Diperkirakan 4,4% dari populasi

global menderita gangguan depresi, dan 3,6% dari gangguan kecemasan. Jumlah penderita

depresi meningkat lebih dari 18% antara tahun 2005 dan 2015. Depresi merupakan penyebab

terbesar kecacatan di seluruh dunia. Lebih dari 80% penyakit ini dialami orang-orang yang

tinggal di negara yang berpenghasilan rendah dan menengah (WHO, 2017). Gangguan jiwa

dapat terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Hasil analisis dari WHO sekitar 450 juta orang

menderita gangguan jiwa termasuk skizofrenia. Skizofrenia menjadi gangguan jiwa paling

dominan dibanding gangguan jiwa lainnya. Penderita gangguan jiwa sepertiga tinggal di

negara berkembang, 8 dari 10 orang yang menderita skizofrenia tidak mendapatkan

penanganan medis. Gejala skizofrenia muncul pada usia 15-25 tahun lebih banyak ditemukan

pada laki-laki dibandingkan pada perempuan. (Ashturkar & Dixit, 2013).

Skizofrenia adalah salah satu jenis psikotik yang menunjukan gelaja halusinasi dan

waham (Townsend, 2011). Pasien dengan skizofrenia mempunyai gejala salah satunya adalah

halusinasi akibat cemas berkepanjangan yang tidak mampu dihadapi pasien menggunakan
mekanisme koping dalam diri pasien. Pendapat lain menyebutkan bahwa halusinasi yang

terjadi pada pasien skizofrenia halusinasi gangguan alam perasaan yang tidak menentu, isi

kebesaran atau kejaran, sering bertengkar atau berdebat, dan perilaku cemas yang tidak

menentu dan kemarahan (Hawari, 2014). Penyebab gangguan jiwa salah satunya adalah

adanya tekanan yang berat dalam peristiwa hidup. Stres berasal dari lingkungan atau biologi

ataupun bisa keduanya (Videback, 2008).

Menurut Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan oleh Kementrian Republik Indonesia

menyimpulkan bahwa prevalensi ganggunan mental emosional yang menunjukan gejala

depresi dan kecemasan, usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari

jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia

mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk. Jumlah gangguan

jiwa berat atau psikosis skizofrenia tahun 2013 di Indonesia provinsi-provinsi yang memiliki

gangguan jiwa terbesar pertama antara lain adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (0,27%),

kemudian urutan kedua Aceh (0,27%), urutan ketiga sulawesi selatan (0,26%), Bali

menempati posisi keempat (0,23%), dan Jawa Tengah menempati urutan kelima (0,23%) dari

seluruh provinsi di Indonesia (Riset Kesehatan Dasar, 2013).

Berdasarkan data kejadian pasien dengan skizofrenia tersebut maka perlu adanya

intervensi efektif untuk mengurangi tingkat gejala gangguan akibat skizofrenia. Salah satunya

dengan terapi musik. Terapi kreatif seperti terapi musik dapat menjadi alternatif yang

memberikan dampak positif terhadap penderita penyakit mental. Berbagai penelitian juga

telah menyatakan bahwa gangguan skizofrenia dapat ditangani dengan menggunakan terapi

musik (Mohammadi, et al., 2012). Beberapa di antaranya adalah penelitian dari Mohammadi

(et al., 2012) dan Talwar (et al., 2006) yang mengungkapkan bahwa terapi musik dinilai

efektif untuk mengurangi gejala negatif pada individu dengan skizofrenia.


Terapi musik adalah intervensi klinis yang menggunakan musik. Terapi musik

merupakan salah satu intervensi psikososial yang dapat digunakan untuk menurunkan gejala

skizofrenia serta meningkatkan interaksi sosial serta fungsi neuropsikologis (dalam Kwon,

Gang, & Oh, 2013). Terapi musik dapat mempengaruhi respon fisiologis, aktivitas sistem

syaraf, sistem endokrin, dan sistem kardiovaskular. Terapi musik akhirnya akan menstabilkan

mental dan fisik, meningkatkan emosi, fungsi kognitif, dan perilaku positif (dalam Kwon,

Gang, & Oh, 2013). Hal ini juga menjelaskan mengapa individu dengan skizofrenia

cenderung melihat musik sebagai sesuatu yang menarik dan menenangkan (Kent, 2006).

Maka dalam analisis jurnal dari penelitian yang sudah ada kami ingin mengetahui

bagaimana pengaruh terapi musik terhadap mengurangi gejala yang muncul pada individu

dengan skizofrenia.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah intervensi yang efektif untuk menurun gejala pada pasien skizofrenia?

2. Bagaimana implementasi dalam intervensi tersebut dalam keperwatan jiwa?


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

a. Definisi Skizofrenia

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, schizein yang berarti terpisah atau pecah

dan phren yang berarti jiwa. Terjadi pecahnya/ketidakserasian antara afek, kognitif, dan

perilaku. Skizofrenia adalah suatu psikosa fungsional dengan gangguan utama pada

proses pikir serta disharmonisasi antara proses pikir, afek atau emosi, kemauan dan

psikomotor disertai distorsi kenyataan, terutama karena waham dan halusinasi, assosiasi

terbagi-bagi sehingga muncul inkoherensi, afek dan emosi inadekuat, serta psikomotor

yang menunjukkan penarikan diri, ambivalensi dan perilaku bizzar (FKUI, 2013).

Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan distorsi khas proses pikir,

kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan

dari luar dirinya, waham yang kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, afek abnormal

yang terpadu dengan situasi nyata atau sebenarnya, dan autisme (Elvira, 2013).

Skizofrenia merupakan gangguan kejiwaan dan kondisi medis yang dapat

mempengaruhi fungsi otak manusia, mempengaruhi emosional dan tingkah laku dan

dapat mempengaruhi fungsi normal kognitif (Depkes RI, 2015). Gangguan jiwa

skizofrenia sifatnya adalah gangguan yang lebih kronis serta melemahkan jika

dibandingkan dengan gangguan mental lain (Puspitasari, 2009). Skizoprenia adalah

gangguan mental kronis yang ditandai dengan sering kambuh dengan jangka waktu lama.

ketidakmampuan untuk mematuhi program pengobatan menjadi salah satu yang

menyebabkan paling sering kambuh dan diperkirakan sekitar 50% yang tidak mematuhi

program pengobatan yang telah diberikan (Li et al, 2014).


Kesadaran dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun

kemunduran kognitif dapat berkembang dikemudian hari. Skizofrenia dapat berlangsung

selama minimal 6 bulan dan mencakup setidaknya 1 bulan gejala fase aktif. Sementara

itu gangguan skizofrenia dikarakteristikan dengan gejala positif (delusi dan halusinasi),

gejala negatif (apatis, menarik diri, penurunan daya pikir, dan penurunan afek), dan

gangguan kognitif (memori, perhatian, pemecahan masalah, dan sosial).

B. Tanda Gejala

Gejala-gejala pada skizofrenia dapat dijelaskan seperti di bawah ini: (DSM-5, 2013)

a. Waham

Waham adalah suatu keyakinan yang bertentangan dengan kenyataan yang

nyata. Waham ini mencakup berbagai macam jenis (contoh kejar, rujukan, somatik,

agama,kebesaran, dan sebagainya).

b. Halusinasi

Halusinasi adalah pengalaman seperti persepsi yang terjadi tanpa adanya

stimulus eksternal. Terasa nyata dan jelas, dengan kekuatan dan dampak dari persepsi

normal, dan tidak di bawah kontrol sukarela. Halusinasi mungkin terjadi dalam

sensori, tapi halusinasi pendengaran adalah yang paling umum pada skizofrenia dan

gangguan terkait. Halusinasi pendengaran biasanya dialami sebagai suara, entah

familiar atau asing, yang dirasakan berbeda dari pikiran masing-masing individu.

Halusinasi harus terjadi dalam konteks sensorium yang jelas; yang terjadi saat akan

tertidur (hypnagogic) atau bangun tidur (hypnopompic) dianggap berada dalam

rentang normal. Halusinasi mungkin merupakan bagian normal dari pengalaman

religius dalam konteks budaya tertentu.


c. Pembicaraan tidak teratur

Pemikiran tidak teratur (formal thought disorder) biasanya disimpulkan dari

pembicaraan seseorang. seseorang dapat beralih dari satu topik ke topik lainnya

(diluar jalur pembicaraan atau asosiasi longgar). Jawaban atas pertanyaan mungkin

terkait namun berputar-putar atau sama sekali tidak terkait (tangensial). Jarang,

ucapan mungkin sangat tidak terorganisir sehingga hampir tidak bisa dipahami dan

menyerupai afasia sensorik dalam disorganisasi linguistiknya (inkoherensi atau "word

salad"). Karena ucapan yang agak tidak teratur itu biasa dan tidak spesifik, gejalanya

pasti cukup parah untuk secara substansial mengganggu komunikasi yang efektif.

Tingkat keparahan dari kerusakan mungkin sulit untuk dievaluasi jika orang yang

membuat diagnosis berasal dari latar belakang linguistik yang berbeda dari orang

yang diperiksa. Pemikiran atau ucapan yang tidak terorganisir tidak terlalu parah

dapat terjadi selama periode prodromal dan skizofrenia residual.

d. Perilaku yang sangat tidak terorganisir atau perilaku abnormal (termasuk katatonia)

Perilaku motorik yang tidak teratur atau tidak normal dapat terwujud dalam

berbagai cara, mulai dari tingkah laku seperti anak-anak kecil hingga agitasi yang tak

terduga. Masalah dapat dalam segala bentuk perilaku yang diarahkan pada tujuan,

yang menyebabkan kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Perilaku

katatonik ditandai dengan penurunan reaktivitas terhadap lingkungan. Ini tergolong

bagian dari penolakan terhadap instruksi (negativisme); untuk mempertahankan

kekakuan, tidak pantas atau sikap yang aneh; kurangnya respon verbal dan motorik

(mutisme dan stupor). Bisa juga termasuk aktivitas motorik tanpa tujuan dan

berlebihan tanpa penyebab yang jelas (katatonik kegembiraan). Gejala lainnya adalah

gerakan stereotipik, menatap, meringis, mutisme, perseverasi, verbegerasi. Meskipun

katatonia secara riwayat dikaitkan dengan skizofrenia, gejala katatonik tidak spesifik
dan bisa terjadi pada gangguan mental lainnya (misalnya gangguan bipolar atau

depresi dengan katatonia) dan dalam kondisi medis (gangguan katatonik akibat

kondisi medis lainnya).

e. Gejala Negatif

Gejala negatif memberikan sebagian besar morbiditas yang terkait dengan skizofrenia

tapi kurang menonjol dalam gangguan psikotik lainnya. Dua gejala negatif sangat

menonjol dalam skizofrenia: ekspresi emosional berkurang dan avolisi. Ekspresi

emosional yang berkurang mencakup pengurangan ekspresi emosi di wajah, kontak

mata, intonasi ucapan, dan gerakan tangan, kepala, dan wajah yang biasanya memberi

penekanan emosional pada ucapan. Avolisi adalah ketidakmampuan untuk memulai

atau mempertahankan berbagai macam kegiatan. Gejala negatif lainnya meliputi

alogia, anhedonia, dan asosial. Alogia dimanifestasikan dengan berkurang bicara,

Anhedonia adalah menurunnya minat untuk mengalami kegembiraan yang positif atau

degradasi dalam ingatan terhadap kebahagiaan yang pernah dialami. Asosial mengacu

pada kurangnya minat dalam interaksi sosial dan mungkin terkait dengan avolisi, hal

tersebut juga bisa menjadi manifestasi dari keterbatasan kesempatan untuk interaksi

sosial.

C. Patofisiologi

Patofisiologi skizofrenia adanya ketidakseimbangan neurotransmiter di otak,

terutama norepinefrin, serotonin, dan dopamin (Sadock, 2015). Namun, proses

patofisiologi skizofrenia masih belum diketahui secara pasti. Secara umum,

penelitian-penelitian telah menemukan bahwa skizofrenia dikaitkan dengan

penurunan volume otak, terutama bagian temporal (termasuk mediotemporal), bagian

frontal, termasuk substansia alba dan grisea. Dari sejumlah penelitian ini, daerah otak

yang secara konsisten menunjukkan kelainan adalah daerah hipokampus dan


parahipokampus (Abrams, Rojas, & Arciniegas, 2008). Pada penelitian neuroimaging

penderita dengan skizofrenia, ditemukan penurunan volume talamus dan deformitas

thalamus, abnormalitas pada nukleus ventrolateral (Smith, et.al., 2011)

C. Tipe Skizofrenia

Beberapa tipe skizofrenia yang diidentifikasi berdasarkan variabel klinik menurut

ICD-10 antara lain sebagai berikut (Elvira, 2013) :

a. Skizofrenia paranoid

Ciri utamanya adalah adanya waham kejar dan halusinasi auditorik namun fungsi

kognitif dan afek masih baik. Ditemukan tanda berupa pikiran dipenuhi dengan

waham sistemik, halusinasi pendengaran, ansietas, marah, argumentatif, berpotensi

melakukan perilaku kekerasan

b. Skizofrenia hebefrenik

Ciri utamanya adalah pembicaraan yang kacau, tingkah laku kacau dan afek yang

datar atau inappropiate. ditemukan tanda berupa perilaku kaca, kurang memiliki

hubungan kehilangan asosiasi, bicara tidak teratur, perilaku kacau, bingung,

gangguan kognitif.

c. Skizofrenia katatonik

Ciri utamanya adalah gangguan pada psikomotor yang dapat meliputi motoric

immobility, aktivitas motorik berlebihan, negativesm yang ekstrim serta gerakan

yang tidak terkendali. Ditemukan tanda berupa gangguan psikomotor, mutisme,

ekolalia, ekopraksia.

d. Skizofrenia tak terinci

Gejala tidak memenuhi kriteria skizofrenia paranoid, hebefrenik maupun katatonik.

ditemukan tanda berupa waham, halusinasi, tidak koheren, perilaku tidak

terorganisasi.
e. Depresi pasca skizofrenia

f. Skizofrenia residual

Paling tidak pernah mengalami satu episode skizofrenia sebelumnya dan saat ini

gejala tidak menonjol. Ditemukan tanda berupa minimal mengalami satu episode

skizoprenik, emosi tumpul, menarik diri dari realita, keyakinan aneh, pemikiran

tidak logis, kehilangan asosiasi, perilaku esentrik.

g. Skizofrenia simpleks

h. Skizofrenia lainnya

i. Skizofrenia yang tak tergolongkan.

Adapun di Indonesia kriteria untuk diagnosis masih memakai Pedoman Penggolongn

dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi ke III (PPDGJ-III), yang merujuk pada

International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems 10th

Revision. Adapun kriteria diagnostik skizofrenia beserta pembagiannya menurut PPDGJ-III :

A. Skizofrenia Paranoid

 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

 Sebagai tambahan :

a. Halusinasi dan/atau waham harus menonjol :

 Suara-suara halusinasi yang mengancam, memberi perintah, bunyi pluit,

mendengung, tertawa

 Halusinasi pembauan, pengecapan, bersifat seksual, perasan tubuh lain,

halusinasi visual jarang menonjol

 Waham dapat berupa apa saja terutama dikendalikan, dipengaruhi, passivity,

kejar

b. Gangguan afektif, dorongan kehendak, pembicaraan, gejala katatonik, tidak

menonjol
B. Skizofrenia Hebefrenik

 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

 Ditegakkan pada usia remaja atau dewasa muda

 Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan senang menyendiri.

 Diperlukan pengamatan 2 hingga 3 bulan untuk memastikan gejala berikut

bertahan :

a. Perilaku tidak bertanggung jawab, tidak dapat diramalkan, mannerisme,

kecenderungan menyendiri, perilaku hampa tujuan dan hampa perasaan

b. Afek dangkal, tidak wajar, sering disertai giggling, perasaan puas diri, senyum

sendiri, sikap tinggi hati, grimace, pranks, keluhan hipokondriakal, verbegerasi

c. Proses pikir disorganisasi, pembicaraan tak menentu, inkoheren

 Gangguan afektif, dorongan kehendak proses pikir menonjol. Haluasinai dan

waham tidak menonjol. Dorongan kehendak dan yang bertujuan hilang, sehingga

perilaku hampa tujuan dan tanpa maksud. Preokupasi yang dangkal dan dibuat-

buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lain.

C. Skizofrenia Katatonik

 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

 Satu atau lebih dari gejala mendominasi :

a. Stupor, mutisme

b. Gaduh-gelisah

c. Menampilkan posisi tertentu

d. Negativisme

e. Rigiditas

f. Fleksibilitas serea
g. Patuh terhadap perintah, pengulangan kata dan kalimat

 Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau

alkohol dan obat-obatan, serta gangguan afektif.

D. Skizofrenia Tak Terinci

 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

 Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik,

katatonik

 Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual, simpleks, depresi pasca-

skizofrenia.

E. Depresi Pasca-Skizofrenia

 Diagnosis ditegakkan bila :

a. Penderita telah menderita skizofrenia (memenuhi kriteria umum

skizofrenia) selama 1 tahun

b. Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak mendominasi)

c. Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi kriteria

episode depresi, telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu

 Apabila penderita tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis menjadi

episode depresi. Bila gejala skizofrenia masih menonjol, diagnosis harus tetap

skizofrenia.

F. Skizofrenia Residual

 Harus memenuhi semua :

a. Gejala negatif skizofrenia menonjol

b. Ada riwayat satu episode psikotik yang memenuhi kriteria umum

skizofrenia
c. Sudah melampaui 1 tahun gejala sangat berkurang dan telah timbul gejala

negatif dari skizofrenia

d. Tidak terdapat demensia atau penyakit/ gangguan otak organik lain,

depresi kronis atau kondisi lain yang dapat menjelaskan gejala negatif

tersebut

G. Skizofrenia Simpleks

 Perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari :

a. Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului

halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik

b. Perubahan-perubahan perilaku yang bermakna, kehilangan minat yang

mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, penarikan diri secara

sosial

 Gangguan ini kurang jelas gejala psikotik dibandingkan sub tipe skizofrenia

lain.

C. Faktor Risiko Skizofrenia

Faktor-faktor yang berperan terhadap timbulnya skizofrenia adalah sebagai

berikut (Erlina, 2010 & Maramis, 2010) :

a. Umur

Umur 25-35 tahun kemungkinan berisiko1,8 kali lebih besar menderita skizofrenia

dibandingkan umur 17-24 tahun.

b. Jenis kelamin

Proporsi skiofrenia terbanyak adalah laki laki (72%) dengan kemungkinan laki-laki

berisiko 2,37 kali lebih besar mengalami kejadian skizofrenia dibandingkan

perempuan. Kaum pria lebih mudah terkena gangguan jiwa karena kaum pria yang

menjadi penopang utama rumah tangga sehingga lebih besar mengalami tekanan
hidup, sedangkan perempuan lebih sedikit berisiko menderita gangguan jiwa

dibandingkan laki-laki karena perempuan lebih bisa menerima situasi kehidupan

dibandingkan dengan laki-laki. Meskipun beberapa sumber lainnya mengatakan

bahwa wanita lebih mempunyai risiko untuk menderita stress psikologik dan juga

wanita relatif lebih rentan bila dikenai trauma. Sementara prevalensi skizofrenia

antara laki-laki dan perempuan adalah sama.

c. Pekerjaan

Pada kelompok skizofrenia, jumlah yang tidak bekerja adalah sebesar 85,3% sehingga

orang yang tidak bekerja kemungkinan mempunyai risiko 6,2 kali lebih besar

menderita skizofrenia dibandingkan yang bekerja. Orang yang tidak bekerja akan

lebih mudah menjadi stres yang berhubungan dengan tingginya kadar hormon stres

(kadar katekolamin) dan mengakibatkan ketidakberdayaan, karena orang yang bekerja

memiliki rasa optimis terhadap masa depan dan lebih memiliki semangat hidup yang

lebih besar dibandingkan dengan yang tidak bekerja.

d. Status perkawinan

Seseorang yang belum menikah kemungkinan berisiko untuk mengalami gangguan

jiwa skizofrenia dibandingkan yang menikah karena status marital perlu untuk

pertukaran ego ideal dan identifikasi perilaku antara suami dan istri menuju

tercapainya kedamaian. Dan perhatian dan kasih sayang adalah fundamental bagi

pencapaian suatu hidup yang berarti dan memuaskan.

e. Konflik keluarga

Konflik keluarga kemungkinan berisiko 1,13 kali untuk mengalami gangguan jiwa

skizofrenia dibandingkan tidak ada konflik keluarga.


f. Status ekonomi

Status ekonomi rendah mempunyai risiko 6,00 kali untuk mengalami gangguan jiwa

skizofrenia dibandingkan status ekonomi tinggi. Status ekonomi rendah sangat

mempengaruhi kehidupan seseorang. Beberapa ahli tidak mempertimbangkan

kemiskinan (status ekonomi rendah) sebagai faktor risiko, tetapi faktor yang

menyertainya bertanggung jawab atas timbulnya gangguan kesehatan. Himpitan

ekonomi memicu orang menjadi rentan dan terjadi berbagai peristiwa yang

menyebabkan gangguan jiwa. Jadi, penyebab gangguan jiwa bukan sekadar stressor

psikososial melainkan juga stressor ekonomi. Dua stressor ini kait mengait, makin

membuat persoalan yang sudah kompleks menjadi lebih kompleks.

D. Penatalaksanaan

Tiga dasar dalam pertimbangan memberikan pengobatan pada pasien dengan

skizofrenia (Kaplan & Sadock, 2007):

 Pendekatan pengobatan disusun berdasarkan pengaruh pasien terhadap gangguan dan

hasil pengobatan.

 Faktor lingkungan dan psikologi turut berperan dalam perkembangan skizofrenia,

maka harus dilakukan juga terapi non farmakologi.

 Penanganan pada skizofrenia mempunyai manfaat lebih bila dilakukan kombinasi

antara obat antipsikotik dan pengobatan psikososial daripada hanya obat antipsikotik

saja

Gangguan skizofrenia adalah salahsatu penyakit yang cenderung berlanjut

(kronis/menahun). Oleh karena itu terapinya memerlukan waktu relatif lama berbulan

bahkan menahun, guna untuk menekan kemungkinan kekambuhan (relapse). Terapi

skizofrenia yang dapat dilakukan meliputi terapi psikofarmaka, psikoterapi, dan

psikososial.
a. Psikofarmaka

Terapi psikofarmaka adalah terapi dengan menggunakan obat-obatan anti

skizofrenia. Terapi ini dilakukan pasca detoksifikasi. Terapi ini juga

dimaksudkan karena bagi pasien skizofrenia terdapat gangguan pada fungsi

transmisi sinyal penghantar saraf (neurotransmitter) sel-sel susunan saraf pusat

yaitu pelepasan zat dopamine dan serotonin yang mengakibatkan gangguan

pada alam pikir, alam perasaan dan perilaku. Obat-obat psikotik dapat

digolongkan menjadi 2 golongan yaitu golongan generasi pertama (typical)

yaitu seperti Chlorpromazine HCl, haloperidol, Thioridazone HCl,

Trifluoperazine. Adapun golongan generasi ke dua (atypical) seperti

Risperidone, Clozapine, Olanzapine, dan Quitiapine (Dadang, 2007).

b. Psikoterapi

Terapi kejiwaan ini baru bisa dapatdiberikan apabila pasien skizofrenia sudah

mencapai tahapan dimana kemampuan realitasnya sudah kembali pulihdan

pemahaman dirinya sudah baik. Psikoterapi yang diberikan beragam

tergantung dari kebutuhan pasien, contohnya:

- Psikoterapi supportif yaitu memberikan dorongan, semangat dan

motivasi agar pasien tidak merasa putus asa dan semangat

juangnyadalam menghadapi hidup ini tidak menurun. Psikoterapi

suportif adalah teknik untuk memperbaiki atau menguatkan "ego

strength"penderita dengan membantu penderita untuk mengontrol

impuls melalui penentuan batasan secara langsung, untuk

mendapatkan gambaran lebih akurat dari realitas melalui klarifikasi

dan "testing of perception", untuk menopang struktur adaptif dengan

menerima (bukan menganalisa maupun mengkonfrontasi) tehnik


pertahanan, dan untuk mengembangkan koping yang lebih baik

melalui pengajaran langsung dan saran praktis dan melalui terapis

sebagai "role model" dan sebagai tokoh yang senantiasa

menenangkan dimana penderita dapat bersandar.

- Psikoterapi re edukatif yaitu memberikan pendidikan ulang untuk

memperbaiki kesalahan di masa lalu dan pendidikan untuk

mengubah pola pendidikan lama dengan yang baru sehingga pasien

lebih adaptif terhadap dunia luar.

- Psikoterapi rekonstruktif yaitu memperbaiki kembali kepribadian

yang telah mengalami keretakan menjadi kepribadian yang utuh

seperti semula.

- Psikoterapi kognitif yaitu memulihkan kembali fungsi kognitif

rasional sehingga pasien mampu membedakan nilai-nilai moral/etika.

c. Psikososial

Terapi psikososial adalah uapaya memulihkan kembali kemampuan adaptasi

pasien skizofrenia ke dalam kehidupannya sehari-hari. Sebagaimana diketahui

bahwa salah satu dampak gangguan skizofrenia adalah terganggunya fungsi

sosial dalam berbagai fungsi rutin kehidupan sehari-hari. Maka terapi ini

diharapkan pasien mampu kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial

sekitarnya sehingga tidak menjadi beban keluarga dan masyarakat.

d. Terapi Musik

Terapi musik merupakan salah satu bentuk dari teknik relaksasi yang

bertujuan untuk mengurangi perilaku agresif, memberikan rasa tenang, sebagai

pendidikan moral, mengendalikan emosi, pengembangan spiritual dan

menyembuhkan gangguan psikologi. Terapi musik juga digunakan oleh


psikolog maupun psikiater untuk mengatasi berbagai macam gangguan

kejiwaan dan gangguan psikologis (Campbell, 2010). Secara psikologis

pengaruh penyembuhan musik pada tubuh adalah pada kemampuan saraf

dalam menangkap efek akustik. Respon tubuh terhadap gelombang musik

yaitu dengan meneruskan gelombang tersebut keseluruh sistem kerja tubuh.

Efek terapi musik pada sistem limbik dan saraf otonom adalah menciptakan

suasana rileks, aman dan menyenangkan sehingga merangsang pelepasan zat

kimia Gamma Amino Butyi Acid (GABA), enkefallin atau beta endorphin

yang dapat mengeliminasi neurotransmiter karena rasa tertekan, cemas dan

stress sehingga menciptakan ketenangan dan memperbaiki suasana hati pasien

(Djohan, 2005).

Terapi musik dapat diterapkan dengan dua cara, yaitu pasif dan aktif.

Terapi musik pasif diterapkan dengan cara mendengarkan musik, sedangkan

terapi musik aktif adalah memainkan alat musik atau bernyanyi (Kwon, Gang,

& Oh, 2013). Terapi musik aktif seperti bernyanyi memiliki dampak positif

terhadap emosi dan menurunkan kecemasan. Terapi musik dalam bentuk

memainkan alat musik juga dinilai sebagai aktivitas kompleks yang dapat

melibatkan interaksi sosial dan proses mental (MacDonald & Wilson, 2014).
BAB III

PEMBAHASAN

I. JURNAL 1

Metode Pencarian Jurnal

Databases
Keyword(s)
Pubmed

People with hallucination 11695

Therapy 112697

Quality of life 12648

People with hallucination AND Therapy 173

AND Quality of life

Keterangan:

- PubMed dengan filter : articel types is Clinical Trial and publication dates is 5 years

A. Identitas Artikel

Judul Artikel : The Effect of Music on Auditory Hallucination and Quality of Life in

Schizophrenic Patients: A Randomised Controlled Trial

Penulis : Sükran Ertekin Pinar RN, PhD & Havva Tel, RN, PhD

Tahun Terbit : 2019

Jurnal : Issues in Mental Health Nursing

Nomor DOI : 10.1080/01612840.2018.1463324

Penerbit : Taylor & Francis


B. Analisis Artikel

1. Pendahuluan

Skizofrenia adalah gangguan kejiwaan yang mengarah pada perubahan

signifikan dalam perasaan, pikiran, persepsi, dan perilaku individu. Halusinasi

terjadi pada gangguan psikotik, terutama halusinasi pendengaran yang umum terjadi

pada skizofrenia (Buccheri et al., 2004; Kanungpairn, Sitthimongkol, Wattanapailin,

& Klainin, 2007). Halusinasi pendengaran dialami oleh 60-80% dari semua pasien

yang didiagnosis dengan gangguan spektrum skizofrenia (Lim, et al., 2016)

Suara yang didengar pada halusinasi pendengaran sering menyebabkan

perasaan lekas marah pada individu, dan secara negatif mempengaruhi hubungan,

kemampuan dalam lingkungan kerja, perawatan diri, dan kehidupan sehari-hari

(Kanungpairn et al., 2007). Halusinasi pendengaran meningkatkan tingkat

kecemasan, menyebabkan depresi, isolasi sosial pada individu, menyebabkan

mereka membahayakan diri sendiri dan orang lain, dan memperburuk gaya hidup

(Buffum et al., 2009; Kanungpairn et al., 2007; Tsai & Chen, 2006). Dilaporkan

bahwa 75% dari orang-orang dengan halusinasi pendengaran menderita tingkat

kecemasan yang tinggi dan 60% dari mereka memiliki gejala depresi yang parah

(Kanungpairn et al., 2007). Halusinasi pendengaran tidak hanya mengarah pada

situasi akut seperti memberikan kerugian pada diri sendiri atau orang lain tetapi juga

merupakan faktor penting yang mempengaruhi kualitas hidup pasien (Trygstad et al.,

2002).

Kualitas hidup mengacu pada pemenuhan kebutuhan dasar dan harapan sosial

individu serta memanfaatkan peluang yang ditawarkan oleh masyarakat


menggunakan kemampuannya. Orang dengan skizofrenia memiliki masalah serius

dalam beradaptasi dengan keterampilan, seperti aktivitas kehidupan sehari-hari,

hubungan sosial, komunikasi dengan orang tua dan lingkungan mereka. Oleh karena

itu, pasien yang menjalani rawat inap berulang dan berkepanjangan serta kurangnya

dukungan sosial menyebabkan penurunan kualitas hidup (Acil, Dogan, & Dogan,

2008). Wiersma, Jenner, Nienhuis, dan Willige (2004) menyatakan bahwa pasien

skizofrenia dengan halusinasi pendengaran memiliki tingkat kualitas hidup yang

agak rendah serta tingkat kecemasan dan depresi yang tinggi. Remisi fungsional

pada pasien skizofrenik penting karena memungkinkan reintegrasi pasien ke tempat

kerja dan masyarakat, mengurangi beban sosial dan biaya perawatan kesehatan.

Dalam kelompok pasien ini, remisi fungsional meliputi kontrol gejala, dan perolehan

semua keterampilan sosial untuk memungkinkan adaptasi terhadap kehidupan sosial

(Emiroglu, Karadayı, Aydemir, & Ucok, 2009).

Bahkan jika pengobatan telah selesai, 25-50% pasien skizofrenia terus

mengalami halusinasi pendengaran. Pada pasien skizofrenia meskipun menggunakan

obat terus menerus, namun menunjukkan perlunya intervensi psikososial selain

pengobatan farmakologis (Trygstad et al., 2002). Pada pasien skizofrenia dengan

halusinasi pendengaran, menerapkan strategi manajemen gejala perilaku seperti

teknik relaksasi, hiking, dan mendengarkan musik dengan terapi obat dikatakan

efektif (Buccheri et al., 2004; Peng, Koo, & Kuo, 2010; Silverman , 2006; Talwar et

al., 2006; Tsai & Chen, 2006). Salah satu pendekatan psikososial yang digunakan

pada pasien dengan halusinasi pendengaran adalah terapi musik. Terapi musik

bertujuan untuk menciptakan perubahan dalam perilaku dan suasana hati untuk

meningkatkan kualitas hidup dengan mengurangi stres, rasa sakit, kecemasan, dan

isolasi (Ucan & Ovayolu, 2006). Hasil penelitian yang menyelidiki efek musik pada
pasien skizofrenia mengungkapkan, bahwa musik memiliki efek rehabilitasi pada

penderita, dan bahwa gejala halusinasi dan gejala lainnya menurun secara signifikan

(Emas, Heldal, Dahle, & Wigram, 2005; Mossler, Chen, Heldal, & Gold). , 2011;

Peng et al., 2010; Silverman, 2006, 2011; Talwar et al., 2006).

Musik memiliki manfaat menghilangkan stres, kecemasan, dan ketegangan,

dan mengekspresikan emosi dan pikiran (Ucan & Ovayolu, 2006). Terapi musik

telah menjadi bagian dari program perawatan psikiatri untuk meningkatkan

hubungan sosial, mengembalikan kepercayaan diri, meningkatkan konsentrasi, dan

harga diri (Gencel, 2006). Terapi musik dianggap sebagai jenis rehabilitasi

psikososial dan, ketika digunakan bersama dengan obat-obatan, dapat meningkatkan

kualitas hidup, meningkatkan fungsi kognitif, meningkatkan keterampilan,

memperkuat ego pasien, dan memberikan ekspresi emosional pada pasien

skizofrenia. Dengan demikian, dapat berkontribusi pada kesejahteraan fisiologis dan

psikologis pasien (Hayashi et al., 2002; Ulrich, Houtmans, & Gold, 2007).

Terjadinya kecemasan pada pasien skizofrenia dapat menyebabkan peningkatan

halusinasi. Maka dari itu, mendengarkan musik dapat berguna untuk menghilangkan

pikiran dan perasaan negatif karena efek relaksasi dari musik (Tsai & Chen, 2006).

Dalam konteks ini, nada suara Rast, digunakan dalam penelitian ini. Nada

suara Rast, salah satu nada suara penting dalam musik Turki, memiliki dampak

signifikan terhadap kesehatan. Nada suara ini mempengaruhi tubuh secara positif,

terutama otak, baik secara fisik dan mental, memiliki efek pada otot, memberikan

relaksasi, dan menginduksi perasaan bahagia, damai, kenyamanan, kelegaan, dan

kebahagiaan. (Grup untuk Penelitian dan Promosi Musik Turki, 2017).

Hipotesis penelitian:
H1: Musik memiliki efek positif pada skor halusinasi pendengaran, pasien dengan

skizofrenia pada bulan keenam mereka.

H2: Musik memiliki efek positif pada gejala positif pasien dengan skizofrenia pada

bulan keenam mereka.

H3: Musik memiliki efek positif pada kualitas hidup pasien skizofrenia pada bulan

keenam.

H4: Ada korelasi antara halusinasi pendengaran dan skor WHOQOL-BREF pada

bulan keenam pada pasien yang diobati dengan musik dalam kelompok eksperimen.

2. Metode

Peserta dan pengaturan

Penelitian ini dirancang sebagai penelitian terkontrol acak dengan pasien yang

didiagnosis dengan skizofrenia (DSM-IV), mengalami halusinasi pendengaran,

dirawat di departemen psikiatri Universitas dan Rumah Sakit Negeri (Sivas / Turki)

antara Januari 2011 dan 2013. Penelitian ini diprakarsai oleh pertemuan dengan

pasien yang dirawat di rumah sakit dengan diagnosis skizofrenia pada hari pertama

rawat inap. Pasien yang setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian ini dibagi

menjadi kelompok eksperimen dan kontrol dengan pengacakan menggunakan

metode pengambilan sampel acak sederhana. Ada 14 pasien di setiap kelompok.

Studi ini diselesaikan dengan 28 pasien.

Kriteria inklusi

- Pasien yang berusia 18 tahun ke atas.

- Didiagnosis dengan skizofrenia (DSM-IV) dan halusinasi pendengaran.

- Tinggal di pusat provinsi Sivas.

- Mampu berkomunikasi dan menjawab pertanyaan.


- Setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.

Pengukuran

Untuk mengumpulkan data penelitian, digunakan formulir informasi pribadi, skala

untuk penilaian gejala positif (SAPS), karakteristik kuesioner halusinasi

pendengaran, dan Skala Kualitas Hidup Organisasi Kesehatan Dunia (WHOQOL-

BREF).

Formulir informasi

Formulir yang dikembangkan melalui tinjauan literatur mencakup 24 item yang

mempertanyakan karakteristik sosial-demografi pasien, penyakit, dan halusinasi

pendengaran.

Skala untuk Penilaian Gejala Positif (SAPS)

SAPS dikembangkan oleh Andreasen (1990). Skala enam poin tipe Likert terdiri dari

34 item dan 4 subskala. Subskala terkait dengan halusinasi, delusi, perilaku aneh, dan

gangguan pikiran formal positif. Skor total yang mungkin dari skala berkisar dari 0

hingga 170 poin. Skor yang lebih tinggi menunjukkan bahwa gejalanya tinggi. Studi

reliabilitas dan validitas versi Turki dilakukan oleh Erkoc¸, Arkonac¸, Ataklı, dan

Ozmen (1991).

Karakteristik kuesioner halusinasi pendengaran

Kuesioner dikembangkan melalui tinjauan literature, yang disiapkan dengan tujuan

mengevaluasi halusinasi pendengaran. Kuesioner survei diperoleh dari penelitian

yang disebutkan dalam literatur. Kuesioner disiapkan dengan mengambil pendapat

ahli. Kuesioner terdiri dari tujuh item dan digunakan untuk menilai data terkait

dengan karakteristik halusinasi pendengaran yang dialami dalam 24 jam terakhir.


Pertanyaan diberi skor antara 0 dan 5. Skor yang lebih tinggi menunjukkan bahwa

intensitas dan tingkat keparahan karakteristik negatifnya tinggi (Buccheri, Trygstad,

Buffum, Lyttle, & Dowling, 2010; Buccheri, Trygstad, & Dowling, 2007; Buccheri

et al., 2004; Buffum et al., 2009; Trygstad et al., 2002).

Skala Kualitas Hidup Organisasi Kesehatan Dunia (WHOQOL-BREF)

Versi Turki WHOQOL-BREF yang dikembangkan oleh Organisasi Kesehatan

Dunia. Skala ini terdiri dari 26 pertanyaan, yang terdiri dari lima jenis skala tipe-

Likert. Studi validitas dan reliabilitas skala dilakukan oleh Eser et al. (1999).

WHOQOLBREF terdiri dari area lingkungan fisik, mental, sosial, lingkungan, dan

nasional. Ketika menjawab pertanyaan, individu diminta untuk memperhitungkan

kondisi dua minggu terakhir. Skor yang tinggi menunjukkan kualitas hidup yang

lebih tinggi.

Prosedur pengumpulan data

Genre musik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rast tonality (nada suara

Rast) sesuai dengan rekomendasi dari dua anggota dari Fakultas Seni Rupa,

Departemen Musik dan anggota grup untuk Penelitian dan Promosi Musik Turki.

Setelah pasien dalam kedua kelompok setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian

ini, mereka diberikan Formulir Informasi, SAPS (untuk menentukan halusinasi),

karakteristik kuesioner halusinasi pendengaran, dan WHOQOL-BREF. Para pasien

menerima perawatan rutin mereka selama mereka tinggal di rumah sakit. Di sisi lain,

para pasien dalam kelompok eksperimen diminta untuk mendengarkan musik dalam

nada suara Rast yang direkam pada pemutar MP3 selama 15 menit melalui

headphone ketika mereka mengalami halusinasi pendengaran selama mereka tinggal

di rumah sakit. Para pasien dalam kelompok kontrol tidak mendengarkan musik

ketika di rumah sakit. Di sisi lain, pasien pada kelompok eksperimen juga diminta
untuk mendengarkan musik yang sama setiap kali mereka mengalami halusinasi

pendengaran setelah mereka keluar dari rumah sakit. Para pasien di kedua kelompok

diberikan SAPS dan karakteristik kuesioner halusinasi pendengaran pada saat

pemulangan dan pada follow-up bulan pertama dan ketiga. Pada bulan keenam

tindak lanjut, mereka diberikan WHOQOL-BREF di samping SAPS dan

karakteristik kuesioner halusinasi pendengaran. Tindak lanjut pasien dilakukan

ketika mereka datang ke klinik rawat jalan psikiatri setelah dipulangkan.

Analisis data

Data dianalisis menggunakan SPSS versi 22.0 perangkat lunak (IBM, Chicago, IL).

Untuk analisis data, ketika asumsi uji parametrik (Kolmogorov-Smirnov) terpenuhi,

uji-t sampel berpasangan digunakan, dan ketika asumsi uji parametrik tidak

terpenuhi, uji Friedman digunakan untuk membandingkan nilai yang diukur pada

waktu yang berbeda. Untuk menentukan koefisien korelasi antara pengukuran,

analisis korelasi Pearson digunakan. Tingkat signifikansi adalah 0,05 untuk semua

tes dengan interval kepercayaan 95%.

Etika

Sebelum penelitian, pasien yang memenuhi kriteria sampel penelitian diberi tahu

tentang tujuan penelitian dan yang setuju untuk berpartisipasi akan memberikan

persetujuan mereka. Persetujuan Komite Etik Universitas (keputusan no: 05/04) dan

izin tertulis dari institusi tempat studi dilakukan juga diperoleh.

3. Hasil

Rentang usia sampel 22-58 tahun dengan mean 37,0 ± 10,65 pada kelompok

eksperimental dan rentang 22-58 tahun dengan mean 32,78 ± 7,90 pada kelompok

kontrol. Sebanyak 85,7% pasien pada kelompok kontrol dan 71,4% pasien pada

kelompok eksperimen mendapatkan antibiotik generasi baru.


Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan di antara skor karakteristik

halusinasi pendengaran kelompok eksperimen dan kelompok kontrol selama perawatan di

rumah sakit, setelah 1 bulan, 3 bulan dan 6 bulan keluar dari rumah sakit (p<0,05). Skor pada

kedua kelompok mengalami penurunan setelah keluar dari rmah sakit, tetapi cenderung

menetap dan tidak mengalami perubahan.

Tabel 2 menunjukkan bahwa pada skor subskala SAPS cenderung tinggi pada masa

perawatan di rumah sakit, tetapi menurun pada saat pasien keluar dari rumah sakit pada

kedua kelompok.

Tabel 3 menunjukkan bahwa skor domain fisik, mental, sosial, lingkungan pada pasien

kelompok eksperimen setelah 6 bulan keluar dari rumah sakit cenderung lebih tinggi
dibandingkan pada saat pasien menjalani perawatan di rumah sakit. Meskipun begitu, tidak

terdapat perbedaan skor yang signifikan di antara kelompok kontrol dan kelompok

eksperimen dilihat dari domain fisik, mental, sosial dan lingkungan.

Tidak ada perbedaan yang signifikan antara skor kesioner halusinasi pendengaran pada

pasien kelompok kontrol dan kelompok eksperimen selama perawatan di rumah sakit atau

pada saat 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit (tabel 4).

4. Pembahasan

Pasien kelompok eksperimen menyatakan bahwa mereka mengalami halusinasi

“tambahan” selama 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit dan ketika hal tersebut terjadi,

pasien menyatakan bahwa mereka melanjutkan mendengarkan musik seperti yang

disarankan. Musik jenis Rast tonality memberikan rasa damai, nyaman dan menyegarkan

bagi pendengarnya. Literatur menyebutkan bahwa mendengarkan musik memiliki banyak

menfaat, di antaranya adalah menghilangkan stres, menghilangkan kecemasan dan

ketegangan, memperkuat kemampuan koping dan kemudahan mengekspresikan emosi dan

pemikiran. Banyak literatur yang membuktikan bahwa mendengarkan musik memberikan

hasil positif pada pasien dengan skizofrenia.

Skor pada pasien kelompok eksperimen yang dilihat dari kuesioner karakteristik

halusinasi dan subskala halusinasi SAPS menurun pada saat perawatan di rumah sakit,

tetapi ketika pasien keluar rumah sakit, skor cenderung tetap dan tidak mengalami

perubahan. Penemuan ini sesuai dengan H1 dan H2. Musik dianggap mempunyai banyak
keuntungan untuk pendengarnya dikarenakan musik dianggap mampu menstimulasi emosi,

mengurangi kecemasan dan ketegangan dan banyak manfaat lainnya. Beberapa literatur

juga menyebutkan bahwa mendengarkan musik mampu memiliki efek untuk pasien dengan

halusinasi dan skizofrenia serta dianggap mampu mengurangi keparahan halusinasi.

Penelitian menemukan, bahwa dengan mendengarkan musik, pasien akan lebih mampu

untuk menghadapi gejala penyakit dan setelah terapi musik dilakukan, gejala penyakit akan

berkurang. Selain pada halusinasi, terapi dengan mendengarkan musik juga berpengaruh

kepada masalah kesehatan jiwa lainnya seperti gangguan kecemasan dan gangguan mood.

Skor pada kedua kelompok pasien dilihat dari kuesioner halusinasi pendengaran dan

subskala halusinasi SAPS terbilang tinggi pada saat pasien berada di rumah sakit, tetapi

berubah menjadi rendah pada saat keluar dan rumah sakit dan pada saat follow up setelah

keluar RS. Meskipun begitu, 85,7% pasien pada kelompok kontrol yang tidak

mendengarkan musik, mendapatkan obat antipsikotik generasi baru. Pasien dengan

skizofrenia biasanya memiliki tingkat keparahan gejala yang tinggi pada saat mereka masuk

untuk dirawat di rumah sakit. Salah satu tanda dan gejalanya adalah halusinasi pendengaran.

Obat antipsikotik generasi baru yang digunakan pada kelompok kontrol dianggap sangat

efektif untuk mengurangi tanda dan gejalan pada penyakit skizofrenia, dibandingkan dengan

obat antipsikotik non konvensional. Hal tersebut yang dianggap menyebabkan skor pada

pasien kelompok kontrol lebih rendah, karena obat antipsikotik generasi baru ini dianggap

lebih efektif. Meskipun skor pada pasien kelompok kontrol rendah, tetapi skor bersifat tetap

pada saat pasien keluar dari rumah sakit. Hal ini dapat diakibatkan karena kepatuhan pasien

terhadap pengobatan. Literatur menyebutkan bahwa mayoritas tanda dan gejala pada pasien

skizofrenia akan berkurang apabila pasien taat dan patuh terhadap pengobatan yang

dijalankan.
Skor pada pasien kelompok eksperimental dilihat dari domain fisik, mental,

lingkungan pada kualitas hidup pasien setelah 6 bulan keluar dari rumah sakit mencapai

angka yang tinggi dibandingkan pada saat pasien baru keluar dari rumah sakit. Penemuan

ini mendukung adanya H3. Gejala skizofrenia pada umunya akan mengganggu pasien

dalam melakukan pemenuhan perawatan dirinya, fungsi psikososial dan juga mengurangi

kualitas hidup pasien. Hal tersebut dapat diartikan bahwa keberlanjutan dari pengobatan

skizofrenia membantu pasien untuk meningkatkan dan mempertahankan kesejahteraan dan

kualitas hidup pasien. Pada penelitian intervensi musik pada penderita skizofrenia,

menemukan bahwa penderita yang mendengarkan musik yang direkam di studio profesional

dapat meningkatkan kualitas hidup penderita. Penelitian lain menyatakan bahwa pasien

yang mendengarkan musik folk dan lagu yang sedang populer dapat meningkatkan kualitas

hidup pasien. Meskipun begitu, ada juga penelitian yang menganggap mendengarkan musik

tidak mempunyai efek apapun terhadap kualitas hidup pasien.

Dalam penelitian ini, terdapat hubungan yang signifikan antara halusinasi

pendengaran dan skor kualitas hidup saat pasien keluar rumah sakit dan saat 6 bulan setelah

keluar rumah sakit pada pasien kelompok kontrol. Berdasarkan hal ini, dapat diartikan

bahwa H4 diterima. Semakin meningkatnya skor halusinasi pendengaran selama dirawat di

rumah sakit, berbanding terbalik dengan skor dari domain fisik, mental dan psikososial.

Meskipun begitu, setelah 6 bulan pasien keluar dari rumah sakit, skor halusinasi

pendengaran cenderung meningkat dan skor pada domain kualitas hidup pasien menurun.

Banyak hal yang bisa menyebabkan adanya penurunan pada kualitas hidup pasien

skizofrenia, misalnya adanya keterbatasan, efek samping obat, sering keluar masuk rumah

sakit ataupun ketidakcukupan dukungan sosial. Oleh karena itu, mulai banyak penelitian

tentang pendekatan psikososial pada pasien dengan skizofrenia seperti terapi musik dengan

tujuan agar pasien semakin patuh terhadap perawatan, mencegah admisi berulang,
meningkatkan fungsi sosial dan kualitas hidup pasien. Banyak penelitian yang menemukan

bahwa pendekatan psikososial mempunyai peran penting dalam meningkatkan kualitas

hidup pasien skizofrenia.

5. Keterbatasan artikel

Hasil dari penelitian ini berhubungan dengan sampel pada penelitian dilakukan,

sehingga tidak bisa digunakan untuk menggeneralisasikan setiap pasien skizofrenia.

6. Penutup

Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa mendengarkan musik Rast tonality mempunyai

efek positif dalam meningkatkan kualitas hidup pasien. Sesuai dengan hasil penelitian,

pasien skizofrenia baiknya diberikan motivasi untuk mendengarkan musik Rast tonality

dengan tujuan agar pasien mampu meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup

mereka. Rekomendasi untuk melakukan penelitian dengan menggunakan genre musik

lainnya, tentu saja dengan menggunakan sampel yang lebih besar. Selain itu, ada baiknya

untuk departemen psikiatri agar menyediakan peralatan yang mendukung diadakannya

terapi musik, seperti penyediaan smartphone, radio atau MP3 player agar dapat digunakan

untuk melakukan terapi musik pada pasien.


II. JURNAL 2

Metode Pencarian Jurnal

P : Patient with Schizofrenia

I : Music Therapy

C:-

O : Depression Level

Keterangan : ScienceDirect dengan filter: 5 tahun terakhir

A. Identitas Jurnal

Judul : Effects of relasation Exercises and Music Therapy on the prycological

symptos and depression levels of patients with schizophrenia

Penulis : Funda Kavak, Suheyla, Emine Yilmaz

Jurnal : Archives of Psychiatric Nursing

Tahun : 2016

Nomor Doi : 10.1016/j.apnu.2016.05.003

Penerbit : Elsevier

B. Analisis Artikel

1. Pendahuluan

Skizofrenia adalah kumpulan gejala kronis dimulai pada masa muda dan

secara negatif mempengaruhi afeksi, pemikiran, persepsi individu, perilaku dan

hubungan sosial. Penyakit ini menyebabkan hilangnya kemampuan dan penderita

cenderung kambuh. Meskipun terapi farmakologis adalah pilihan pertama pada

pengobatan skizofrenia, namun memiliki keterbatasan sebagai akibat dari

perkembangan kronis dan kekambuhan, defisiensi wawasan dan kehilangan kognitif.

Sejumlah penelitian telah menekankan pentingnya perawatan multi-model, yang

melibatkan intervensi psikososial disamping perawatan farmakologis.


Latihan relaksasi dan terapi musik adalah beberapa metode yang digunakan dalam

pengobatan multidisiplin pasien skizofrenia. Tujuan latihan relaksasi yaitu untuk

memungkinkan individu mengecek seluruh tubuh mereka secepat mungkin; secara

khusus latihan tersebut mendorong pasien untuk mengenali ketegangan di tubuh,

mengendalikan otot, mengurangi ketegangan dan akhirnya tubuh menjadi rileks.

Potensi penerapan latihan relaksasi ditingkatkan oleh efisiensi, fleksibilitas, dan biaya

rendah. Latihan juga memiliki efek samping minimal disertai dengan risiko yang lebih

rendah dari pada obat psikotropika.

Latihan relaksasi berbantuan musik sangat efektif dalam mengurangi

ketegangan, kemarahan, kecemasan, depresi, dan tingkat stres. Sebuah penelitian

menunjukan bahwa pasien skizofrenia yang terlibat dalam latihan relaksasi tanpa

bantuan music menunjukan penurunan tingkat stress dan kecemasan, penelitian lain

mengungkapkan bahwa latihan relaksasi yang disertai dengan music yang selama 30

menit sehari selama 8 minggu membantu pasien skizofrenia dalam mengurangi

tingkat depresi dan kecemasan mereka serta mampu meningkatkan kualitas tidur

pasien.

Musik secara positif memengaruhi hormon seperti serotonin, dopamin,

adrenalin dan testosteron, yang masing-masing memengaruhi perkembangan

gangguan mental. dan mengatur kondisi emosional individu. Musik juga ditemukan

untuk mengatur fungsi fisiologis seperti tekanan darah dan ritme pernapasan dan

untuk menyeimbangkan rasio oksigen dan darah di otak. Musik sangat terkait dengan

apa artinya menjadi manusia dan dengan demikian memiliki beberapa efek positif

ketika digunakan dalam terapi (Lafçi, 2009; Paikkat et al., 2012). Secara khusus,

terapi musik kelompok untuk pasien skizofrenia telah ditemukan untuk meningkatkan

kualitas hidup dan mengurangi efek negatif (Hannibal, Pedersen, & Hestbaek, 2012;
Kwon & Gang, 2013; Ulrich et al., 2007). Kwon (Naess & Ruud, 2007) melaporkan

bahwa terapi musik yang diterapkan dua kali seminggu selama 7 minggu mengurangi

gejala psikotik pasien skizofrenia dan menyebabkan perubahan positif dalam interaksi

sosial dan perilaku mereka. Menerapkan terapi musik 30 menit sehari selama sebulan,

Sousa dan Sousa (2010) mempelajari 272 pasien skizofrenia dan menemukan bahwa

terapi tersebut dapat digunakan bersamaan dengan pengobatan farmakologis untuk

mengurangi gejala dan depresi pasien.

Penelitian pada jurnal ini menyimpulkan bahwa latihan relaksasi dengan

music dapat digunakan secara bersamaan sebagai pelengkap pengobatan

farmakoterapi dari pasien dengan skizofrenia.

Mengamati pasien dengan skizofrenia kronis, jurnal ini menentukan apakah terapi

musik dan latihan relaksasi mempengaruhi gejala psikologis dan tingkat depresi

pasien.

Hipotesis yang diajukan pada artikel jurnal ini :

H1 : Terapi musik dan latihan relaksasi efektif dalam mengurangi gejala psikologis

pasien dengan skizofrenia.

H2 : Terapi musik dan latihan relaksasi efektif dalam mengurangi tingkat depresi

pasien dengan skizofrenia.

2. Materials And Methods

Jurnal menggunakan metode Kuasi-eksperimental, dilakukan pra-dan pasca-

tes dan kelompok kontrol. Populasi penelitian pada jurnal ini terdiri dari pasien

skizofrenia yang terdaftar dan secara teratur mengunjungi Malatya dan Elazığ Pusat

Kesehatan Mental Masyarakat antara Mei 2015 dan September 2015.

Kelompok sampel pada jurnal terdiri dari pasien dengan skizofrenia yang

memenuhi kriteria inklusi dalam tempat-tempat tersebut dan antara tanggal-tanggal


tersebut. Menggunakan analisis data untuk menentukan sampel studi yang sesuai,

ukuran sampel ditemukan memiliki tingkat signifikansi 0,05, ukuran efek 0,7 dan

kekuatan representasi populasi 0,95; ukuran sampel ditetapkan pada 70 (35

percobaan, 35 kontrol). Kelompok eksperimen dipilih dari Pusat Kesehatan Mental

Komunitas Elazığ, dan kelompok kontrol dipilih dari Pusat Kesehatan Mental

Komunitas Malatya. Kelompok dialokasikan untuk menghindari pengaruh yang tidak

semestinya dari interaksi subjek; pengaruh seperti itu mungkin muncul berdasarkan

kedekatan pusat medis dan profil yang serupa.

Kriteria inklusi penelitian :

Didiagnosis dengan skizofrenia sesuai dengan kriteria diagnosis DSM-V, terbuka

untuk komunikasi dan kerja sama, berada di pusat kota Elazığ / Malatya dan berusia

antara 18 dan 60 tahun.

Kriteria eksklusi penelitian :

Pasien dirawat pertama kali, mengalami gangguan mental axis 1 dan / atau tambahan

lainnya (kecanduan narkoba atau alkohol) dan pasien dengan sindrom otak organik

atau keterbelakangan mental.

Instrument

Formulir Informasi Pribadi

Formulir Informasi Pribadi melibatkan lima pertanyaan mengenai karakteristik

sosiodemografi pasien.

Skala Depresi Calgary untuk Skizofrenia (CDSS)

Skala dikembangkan oleh Addington, Addington, dan Maticka-Tyndale

(1994) dan validitas dan reliabilitas dipelajari oleh Aydemir, Esen Danacı, dan Deveci

(2000). CDSS berisi 9 item yang dirancang untuk mengukur depresi pada pasien

skizofrenia pada tahap akut dan remisi. Wawancara berisi delapan pertanyaan pilihan
ganda dan satu pertanyaan yang dijawab pewawancara di akhir wawancara. Setiap

item dinilai dari 0 hingga 3 (0 tidak ada, 1 sedang, 2 sedang, dan 3 parah). Hasil

menunjukkan bahwa 4-5 poin mengindikasikan depresi ringan dan 6-7 poin

mengindikasikan depresi berat. Ini menunjukkan bahwa CDSS secara diagnostik

mirip dengan manual klasifikasi konvensional. Dalam jurnali, koefisien alpha

Cronbach ditemukan 0,83.

Skala Penilaian Psikiatri Singkat (BPRS)

BPRS 16-item asli (Keseluruhan & Gorham, 1962) dan versi modifikasinya

adalah skala psikometrik yang banyak digunakan untuk menilai sekuens gejala klinis

pasien skizofrenia. Skala ini sangat sensitif terhadap perubahan, dan keandalan antar

penilai yang sangat baik dapat dicapai ketika digunakan oleh personel yang terlatih.

Dalam Jurnal, menggunakan BPRS versi Turki yang terdiri dari 18 item. Hanya skala

BPRS yang ditranslasikan ke dalam bahasa Turki dan Yanbasti pertama digunakan di

Turki. Skala validitas dan reliabilitas adalah lintas budaya, tingkat ketersediaan terlalu

rendah (Aydemir, 2014). Skala ini terdiri dari 18 item termasuk keprihatinan somatik,

kecemasan, penarikan emosi, disorganisasi konseptual, perasaan bersalah,

ketegangan, sikap dan sikap, kebesaran, suasana hati yang tertekan, permusuhan,

kecurigaan, perilaku halusinasi, retardasi motor, tidak kooperatif, konten yang tidak

terduga. , pengaruh tumpul, kegembiraan, dan disorientasi. Penilaian setiap item

menggunakan skala 0 hingga 4 poin mulai dari yang tidak terlalu parah. Item-item

dari BPRS kemudian dibagi lagi menjadi lima sub-skala menurut hasil meta-analisis

analisis faktor dari BPRS. (Aydemir, 2014).

Proses Edukasi

Pada jurnal ini peneliti memberikan seminar untuk kelompok eksperimen mengenai

bagaimana menerapkan latihan relaksasi dan terapi musik. Kemudian, kelompok


eksperimental 35 orang dibagi menjadi tiga kelompok sekitar 10-12 orang untuk

memungkinkan mereka untuk mengajukan permohonan. Aplikasi ini dilakukan oleh

peneliti di ruang latihan di pusat kesehatan. Kelompok pertama dimasukkan ke dalam

aplikasi antara 9:00 dan 9:40 pada kelompok pagi kedua antara 10:00 dan 10:40 dan

kelompok ketiga antara 11:00 dan 11:40. Aplikasi dilakukan sebagai tahap tunggal 40

menit selama 5 hari seminggu.

Data dikumpulkan terutama dengan menerapkan 'Formulir Pengantar Pasien', 'Skala

Penilaian Psikiatri Singkat' dan 'Skala Calgary untuk Depresi dalam Skizofrenia' pada

kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dalam pretest, dan kemudian tidak ada

intervensi yang diterapkan pada kelompok kontrol. . Di sisi lain, latihan relaksasi dan

terapi musik diterapkan pada kelompok eksperimen selama 5 kali seminggu selama 4

minggu. Setelah menyelesaikan aplikasi, 'Skala Evaluasi Psikiatri Singkat' dan 'Skala

Calgary untuk Depresi di Skizofrenia' diterapkan lagi pada kelompok kontrol dan

kelompok eksperimen di posttest. Selama proses ini, pasien dalam kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol melanjutkan perawatan medis dan kontrol dokter

mereka.

Aplikasi Latihan Relaksasi dan Terapi Musik

Aplikasi latihan relaksasi dan terapi musik berlangsung selama 4 minggu. Para

pasien terutama melakukan latihan pernapasan kesadaran dan mendengarkan CD

latihan relaksasi. Berlangsung selama 30 menit atau lebih, latihan relaksasi

menggunakan teknik pernapasan untuk mengendurkan otot-otot tangan, lengan,

wajah, leher, bahu, punggung, dada, perut, paha, betis, dan kaki. Setelah selesai

latihan relaksasi, pasien berbaring dan mendengarkan musik Acemi Aşiran, Hejaz dan

Rast. Selama 10 hari pertama, pasien mendengarkan Hejaz; para peneliti dalam jurnal

memilih musik ini untuk mempercepat kerja ginjal untuk pengiriman obat. Selama 20
hari terakhir penelitian, pasien mendengarkan musik Acemi Aşiran dan Rast, yang

dimaksudkan untuk mendorong relaksasi. Musik disiapkan oleh Grup untuk Penelitian

dan Promosi Musik Turki (TÜMATA) dan terutama melibatkan air dan air. suara

alam, yang telah terbukti secara positif mempengaruhi kesehatan mental. Terapi

musik berlangsung selama 20 menit sekaligus. Secara total, latihan relaksasi

gabungan dan terapi musik berlangsung selama 50 menit.

Analisis statistik

Paket perangkat lunak SPSS 18.0 digunakan untuk menilai data. Mengenai

penilaian data, persentase, rata-rata aritmatika, dan standar deviasi digunakan untuk

distribusi pasien dalam kelompok eksperimental dan kontrol berdasarkan karakteristik

deskriptif mereka, uji chi-square dan uji t sampel independen digunakan untuk

membandingkan variabel kontrol antara pasien dalam kelompok kontrol dan

eksperimental. Sementara uji t sampel dependen dilakukan untuk membandingkan

skor rata-rata sebelum dan sesudah tes skala, uji t sampel independen digunakan

untuk perbandingan skor rata-rata skala antara pasien dalam kelompok kontrol dan

eksperimen. Kekuatan asosiasi dinyatakan sebagai rasio odds dengan interval

kepercayaan 95%. Cronbach's alpha digunakan untuk menilai konsistensi internal

skala. Tingkat signifikansi ditetapkan pada p <0,05.

Pertimbangan Etis

Persetujuan dari komite Etika Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Inonu dan izin

hukum dari lembaga tempat penelitian dilakukan untuk melakukan penelitian. Para

pasien yang termasuk dalam penelitian ini diberi tahu tentang tujuan penelitian dan

pertanyaan mereka dijawab. Para pasien diberitahu tentang fakta bahwa informasi

mereka akan dijaga kerahasiaannya dan tidak digunakan di tempat lain, dan mereka

memiliki hak untuk menarik diri dari penelitian kapan saja. Pasien diperoleh bahwa
mereka secara sukarela setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.

Karena penggunaan fakta manusia dalam penelitian ini memerlukan perlindungan

hak-hak individu, "Prinsip Persetujuan Informed", "Dasar Sukarela" dan "Prinsip

Perlindungan Kerahasiaan" yang merupakan prinsip etika relevan direalisasikan.

Hasil

Sebanyak 42.9% dari responden berusia 29-39 tahun, kemudian 65.7%

responden berjenis kelamin laki-laki dan 71% dari responden belum menikah. Tidak

terdapat perbedaan yang signifikan antara variable kontrol (usia, jenis kelamin,

tingkat pendidikan, dan pendapatan) pada kelompok eksperimen dan kontrol (p>0.05)

(gambar1)

Gambar 1. Karakteristik Sampel

Responden pada kelompok kontrol memiliki nilai pretest CDSS dengan nilai

rata-rata 22.05 ± 2.24, sedangkan kelompok eksperimental memiliki nilai pretest CDSS

21.88± 2.04 dengan nilai p=0.068. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat

perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata skor pretest CDSS pada kelompok

eksperimen dan kontrol. Hasil posttest CDSS menunjukkan pada kelompok kontrol
memiliki rata-rata 22.43 ± 201, terdapat perbedaan yang signifikan antara perbandingan

nilai pre-test dan post-test pada kelompok kontrol (p= -2.721). Sedangkan nilai post test

pada kelompok eksperimen rata-rata 14.40 ± 289, dan terdapat perbedaan yang

signifikan antara hasil pre-test dan post-test pada skor CDSS di kelompok eksperimen

(p=22.429). Terdapat peningkatan skor CDSS pada kelompok kontrol sebesar 0.37,

sedangkan terjadi penurunan skor pada CDSS pada kelompok eksperimen sebanyak

7.48 .

Responden pada kelompok kontrol memiliki nilai pretest BPRS dengan nilai rata-

rata 52.05 ± 5.79, sedangkan kelompok eksperimental memiliki nilai pretest BPRS

61.91± 5.22 dengan nilai p= 0.220. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat

perbedaan yang signifikan antara nilairata-rata skor pretest BPRS pada kelompok

eksperimen dan kontrol. Hasil posttest BPRS menunjukkan pada kelompok kontrol

memiliki rata-rata 62.43 ± 5.79, terdapat perbedaan yang signifikan antara

perbandingan nilai pre-test dan post-test pada kelompok kontrol (p= -1.435). Sedangkan

nilai post test pada kelompok eksperimen rata-rata 52.57 ± 5.79, dan terdapat perbedaan

yang signifikan antara hasil pre-test dan post-test pada skor BPRS di kelompok

eksperimen (p=15.579). Terdapat peningkatan skor BPRS pada kelompok kontrol

Gambar 2. Hasil Penelitian


sebesar 0.7, sedangkan terjadi penurunan skor pada CDSS pada kelompok

eksperimen sebanyak 8.34. Terdapat perbedaan yang siginifikan pada penurunan skor

BPRS pada kelompok kontrol dan eksperimen (p= -2.721)

Pembahasan

Pada penelitian ini ditemukan penurunan yang signifikan pada skor pre-test dan post-test

BPRS (p- 1.905), sedangkan tidak terjadi penurunan yang signifikan pada kelompok kontrol.

Hal ini sebanding dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Peng et al (2010) yang

menunjukkan bahwa terdapat penurunan gejala psikotik pada kelompok yang diberi terapi

musik. Souse et.al (2010) juga menemukan bahwa terdapat penurunan gejala positif dan

negatif pada pasien skizofrenia yang telah diberikan terapi music, sedangkan penelitian oleh

Lu and Lo (2013) menunjukkan bahwa terapi music mampu untuk menurunkan gejala

psikotik dan depresi pada pasien skizofrenia. Hannibal et.al (2012) menunjukkan bahwa

terapi music memberikan efek positif dan dapat digunakan sebagai terapi komplementer.

Kemudian penelitian leh Chen and Chu (20090, Knochel and Mehler (2014) mengatakan

bahwa terapi relaksasi efektif dalam menurunkan gejala psiotik pada pasien skizofrenia.

Nilai rata-rata pre-test dan post-test instrument CDSS pada kelompok eksperimen juga

menunjukkan penurunan yang signifikan (p=5.230). Sousa and Sousa (2010) mengatakan

bahwa terapi music dapat menurunkan gejala depresi pada pasien skizofrenia. Penelitian oleh

Mossler, Chen and Heldal (2011) menunjukkan bahwa terapi musi menurunkan gejala

depresi seperti menarik diri, afek datar, dan retardasi motorik pada pasien skizofrenia. Selain

itu, penelitian oleh Moritz and Cladius (2015) menunjukkan bahwa terapi latihan relaksasi

dapat menurunkan gejala depresi, sedangkan penelitian oleh Vadas et.al (2008) menunjukkan

bahwa terapi music dan terapi latihan relaksasi dapat menurunkan gejala depresi.
Kelemahan Penelitian

Kelemahan dari penelitian ini adalah jumlah responden yang digunakan masih sedikit, post-

test dilakukan hanya 1 kali dan tidak dapat mengetahui efek jangka panjang dari terapi.
BAB IV

IMPLIKASI KEPERAWATAN

Implikasi Keperawatan
Implikasi keperawatan yang dapat di ambil dari analisis jurnal tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Perawat dapat memberikan intervensi keperawatan dengan menggunakan terapi music
untuk meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien dengan
skizofrenia
2. Perawat dapat mengajarkan terapi musik kepada pasien dengan skizofrenia, sehingga
dapat meningkatkan kondisi kesehatan pasian skizofrenia
BAB V
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil pembahasan jurnal maka dapat diambil kesimpulan

pemberian terapi musik pada pasien yang memiliki gejala skizofrenia dapat menurunkan

tingkat depresi pada pasien. Untuk itu kedepan perawat dapat memberikan asuhan

keperawatan berupa terapi musik ini secara berkala selama pasien dalam perawatan

maupun setelah berada di rumah. Musik yang diberikan berupa musik yang dapat

memberikan ketenangan pada pasien. Selama proses pemberian terapi dan setelahnya

perawat perlu melakukan evaluasi dari terapi yang diberikan apakah terapi mampu

menurunkan tingkat depresi ataukah tidak. Hal itu karena setiap pasien menunjukkan

respon yang berbeda-beda, ada yang berhasil ada juga tidak tergantung tingkat

depresinya. Perawat juga dapat memberikan edukasi pada pasien dan keluarga akan

manfaat musik dalam proses pemulihan pasien untuk menurunkan tingkat gejala

skizofrenia. Selain dalam memberikan psikoterapi berupa terapi musik dukungan

keluarga dalam proses pemulihan pasien sangat penting. Sehingga perawat disini dapat

edukasi pada keluarga untuk mendukung dalam proses pemulihan pasien.

4.2 Saran
1. Mahasiswa
a. Sumber informasi dan referensi baru terkait terapi aktivitas.
b. Informasi penelitian lebih lanjut, khususnya bagi populasi di Indonesia.
2. Perawat
a. Alternatif terapi aktivitas yang dapat diimplikasikan kepada pasien skizofrenia.
b. Memotivasi dan meningkatkan kualitas hidup pasien skizofrenia
DAFTAR PUSTAKA

Abrams, D., Rojas, D., & Arciniegas, D. (2008). Is Schizoaffective disorder a distinct
clinicalcondition? Journal of Neuropsychiatric Disease and Treatment. 1089 – 1109.

Ashturkar, M. D., & Dixit, J. V. (2013). Selected Epidemiological Aspects of Schizophrenia:


A Cross Sectional Study At Terityary Care Hospital In Maharashtra. National Journal
of Community Medicine, 65-69.

Campbell. (2010) . Efek mozart: memanfaatkan kekuatan musik untuk mempertajam pikiran,
meningkatkan kreativitas dan menyehatkan tubuh. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Dadang, Hawari. (2007). Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Jakarta:
FKUI. h 97-100

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.(2015). Schizophrenia. Diunduh dari


http://bbtklppjakarta.pppl.depkes.go.id/assets/files/downloads/f1375258333schizo
phrenia.pdf

Djohan. (2005). Psikologi Musik: Cetakan ke 2. Yogyakarta: Buku Baik.

Elvira SD, Hadisukanto G. (2013). Buku Ajar


Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia;

Erlina S, Pramono D, editor. 2010. Determinan terhadap timbulnya Skizofrenia pada Pasien
Rawat Jalan di Rumah Sakit Jiwa Prof. Hb Saanin Padang Sumatera Barat. Berita Ked
Masy.26(2):71-80.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (2013). Buku Ajar Psikiatri. Edisi ke-2. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Hawari, D. (2014). Skizofrenia Pendekatan Holistik (BPSS) Bio-Psiko-Sosial-Sosial. Jakarta:


FKUI.

Kent, D. (2006). The effect of music on the human body and mind (master’s thesis). Diunduh
dari:http://digitalcommons.liberty.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1162&context=hon
ors

Kwon, M., Gang, M., dan Oh, K. (2013). Effect of the group music therapy on brain wave,
behavior, and cognitve function among patients with chronic schizophrenia. Asian
Nursing Research, 7 (2013), 168-174

Li, Q., Su, Y, A., Liu, Y., Chen, J, X., Tan, Y, L., Yang, F, D., & Si, T, M. (2014).
Pharmacokinetics and tolerability of extended-release quetiapine fumarate in han
chinese patients with schizophrenia. Clin Pharmacokinet, 54, 455-465. doi
10.1007/s40262-013-0127-9
MacDonald, R. A. R. dan Wilson, G. B. (2014). Musical improvisation and health: a review.
Psychology of Well-Being: Theory, Research, and Practice, 4 (20).

Maramis WF. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University
Press;. hlm. 356-60.

Maramis WF. 2010. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Dalam Erlina S, Pramono D, editor.
Determinan terhadap timbulnya Skizofrenia pada Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit
Jiwa Prof. Hb Saanin Padang Sumatera Barat. Berita Ked Masy.
26(2):71-80.

Maslim, R. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ III. Jakarta: Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya.

Mohammadi, A. Z., Minhas, L. S., Haidari, M., dan Panah, F. M. (2012). A study of the
effects of music therapy on negative and positive symptoms in schizophrenic patients.
German Journal on Psychiatry, 15 (2), 56-62.

Riset Kesehatan Dasar. (2013). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI.

Sadock, B. J. (2015). Mood disorder. In: Greb JA, et al, editors. Kaplan & Sadock’s synopsis
of psychiatry: beha-vioral sciences/clinical psychiatry. 11th ed. Philadelphia: Wolters
Kluwer Publications.

Smith , M., Wang , L., Cronenwett, W., Mamah , D., & Barch. (2011). Thalamic Morphology
in Schizophrenia and Schizoaffective Disorder. J Psychiatry, 378–385.

Talwar, N., Crawford, M. J., Maratos, A., Nur, U., McDermott, O., dan Procter, S. (2006).
Music therapy for in-patients with schizophrenia. British Journal of Psychiatry, 189,
405-409

Townsend, M. C. (2011). Psychiatric Mental Health Nursing: Concepts of Care in Evidence-


Based Practice. Philadelphia: F.A. Davis Company.

Suryani. (2013). Mengenal gejala dan penyebab gangguan jiwa. Seminar Nasional
“Stigma terhadap orang gangguan jiwa”. BEM Psikologi UNJANI. At:
https://www.researchgate.net/publication/273866139

Videbeck, S. L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

WHO. (2013). Mental Health Action Plan 2013 –2020. Geneva: World Health Organization.

WHO. (2017). Depression and Other Common Mental Disorders. Global Health Estimates.

Geneva: World Health Organization.


WHO. (2017). Mental disoreders. Retrieved April 03, 2017, from WHO:
http://www.who.int/mental_health/management/depression/prevalence_global_health
_estim ates/en/

Anda mungkin juga menyukai