Anda di halaman 1dari 26

You’re Still Live In My Heart by SilverRain

You’re Still Live In My Heart

Genre : Romance, Friendship, Hurt/Comfort

Rated: T

Dari jutaan orang yang ada di dunia ini, mungkin aku salah satunya yang paling
beruntung. Kenapa? Karena aku memiliki sahabat yang hebat. Kita selalu bersama,
membagi beban, tertawa, menangis, bahkan bertengkar. Aku hanya berharap…

Semoga tuhan tidak akan memisahkan kita…

Karena aku hanya memilikimu, Sha.

2 tahun yang lalu.

-------Auryn's POV-------

Hai, namaku Auryn Queenzia. Biasanya teman-temanku memanggilku ‘Ryn’, karena aku
tidak suka dipanggil ‘Au’, itu sangat menggelikan. Sekarang aku masih berada di dalam
kelas yang lumayan membosankan ini sehingga aku terkadang melihat keluar jendela
untuk meyegarkan kembali pandanganku. Hingga akhirnya…

Teng Teng Teng Teng

Oke, bel pelajaran telah berbunyi, langsung saja aku cepat-cepat membereskan buku-
buku dan peralatan menulisku kedalam tas, begitu semua sudah kupastikan masuk aku
langsung berlari keluar kelas, namun langkahku terhenti ketika ada seseorang yang
memanggilku…

"Ryyyyyyynnn"

Aku menghentikan langkahku untuk melihat kebelakang yang memanggilku tidak lain
adalah ketua kelasku, Reyhan.

"Ada apa?" tanyaku yang sedikit kesal, oke, mungkin kalian akan bingung kenapa aku
bisa kesal hanya karena dipanggil, itu karena dia telah menghambat langkahku!
"Hari ini kau mampir kerumah sakit lagi?" sudah tahu kenapa mesti ditanya sih! Seluruh
sekolah ini, ah-tidak… seluruh dunia ini pun tahu, sepulang sekolah aku pasti mampir
kerumah sakit, dasar ketua kelas yang suka basa basi busuk!

"Reyhan, kalau kau sudah tahu kenapa mesti menghambatku segala sih! Aku buru-buru
nih!" tentu saja aku sewot.

"Tidak, aku ingin menitipkan ini padamu untuknya, dari teman-teman sekelas," dia
memberikan sebuah bingkai yang bertuliskan dari seluruh anak-anak dikelas, oh tidak…
aku jadi merasa bersalah pada Reyhan karena sudah menyewotinya, "Ah, terima kasih
Rey, aku pergi yaah."

Begitu keluar dari gedung sekolahan itu, aku berlari terus terus dan terus berlari, aku
sangat tidak sabar menemui sahabatku itu, mungkin sangat heran bagi orang lain yang
melihatku begitu peduli padanya, habis dialah yang selalu menemaniku selama ini,
bagaimana kami tidak dekat? Hei… ibu kami melahirkan kami diruangan yang sama,
tanggal lahir yang sama, hobby yang sama, selera yang sama, bahkan kami punya pikiran
yang sama, kami seperti anak kembar tapi beda ibu, hihihihi…

"Permisiiii~~" ucapku dengan nada yang sedikit kubuat kekanak-kanakan.

"Ah, Ryn… ayo masuk masuk!."

Aku masuk mendekati sahabatku yang berambut cokelat panjang ini.

"Bagaimana keadaanmu hari ini, Shasha?" Aku biasa memanggilnya ShashaShasha,


karena namanya terlalu bagus, AiShasha Gladien Hezel. Lumayan rumit bukan?

"Hhhhh, selalu itu yang kau tanyakan setiap hari menjengukku, sudah pasti baik kan,
lihat aku saja masih kuat untuk melukis."

"Tapi kuas itu kan beratnya tidak mencapai 1kg, Shasha. Jelas saja kau kuat."

"Hahahaa, bagaimana di sekolah?"

"Ah, ini dari Reyhan dan teman-teman yang lain," aku menyerahkan bingkai yang tadi
Reyhan berikan padaku ke Shasha, bingkai itu bertuliskan 'Cepat sembuh', ‘Kamu Pasti
Bisa!’, 'Berjuanglah', 'Jangan kalah', 'Kami menunggumu', dan kata-kata penyemangat
lainnya.

"Hihihi, lucu sekali yah, padahal aku bersekolah disana tidak sampai 3 bulan," ujar
Shasha saat melihat bingkai itu.
Aku tersenyum melihat wajah Shasha yang cerah, karena penyakitnya itu Shasha jadi
tidak bisa menjalani kehidupan normal seperti anak-anak yang lainnya, memang dari
kecil kami selalu bersama, namun saat lahir jantung Shasha sudah lemah, tidak boleh
lelah, tidak boleh stress, tidak boleh cemas. Itulah larangan untuk Shasha, makanya
sebisa mungkin aku ingin menjaganya.

Diingat-ingat, dulu Shasha lah yang selalu menjagaku saat kecil dimana anak-anak yang
lain mengataiku karena jidatku lebar, sekarang akulah yang akan menjaga Shasha, Shasha
sendiri bisa terus menetap dirumah sakit karena ayahku dokter, kedua orang tua Shasha
sudah meninggal, mereka mengalami kecelakaan saat dinas diluar negeri, hei- begitu-
begitu Shasha anak orang kaya loh, kelakuannya seperti nona muda.

"Ryn! Kalau minum jangan begitu! Menempelkan mulut pada bibir botol tidak sopan,
pakailah sedotan!"

Lihat kan?

Baru saja kuberi tahu dia sudah menegurku saat kuteguk botol air yang kubeli tadi
dijalan.

"Aku haus Sha," jawabku dengan sedikit nyengir.

"Kamu ini, bagaimana nanti mau disukain oleh laki-laki kalau kelakuanmu tidak dijaga?"

"Aku tidak butuh pacar, asal ada Shasha itu udah cukup," ya, asal ada Shasha, aku tidak
membutuhkan yang lainnya lagi.

"Ryn maaf, aku tidak menerima lesbi."

"Aku bukan lesbi! Aku masih suka laki-laki kok!" selalu itu yang dibicarakan oleh kami,
masalah pasangan.

"Hahaha, hah? Kamu suka laki-laki? Siapa? Kelas berapa? Anak sekolah kita kah?"

Sudah kuduga akan jadi panjang urusannya, Shasha itu suka kepingin tahu urusanku…
yaah tapi tidak apalah, aku dan Shasha sudah terbiasa membagi rahasia satu sama lain.

"Ehm, ada… namanya Ga-"

"Gavin? Si penyemangat kelas?" Shasha memotongku sambil menghentikan kegiatan


melukisnya.

"Ehm… iya, kenapa?"


"Wah, tidak kusangka, aku pikir tipe kita akan sama," ucap Shasha yang membuatku
bingung.

Oke, aku baru nalar.

"Kau juga sedang suka sama seseorang?" tebakku sambil menunjuk Shasha.

Shasha hanya tersenyum padaku dengan wajahnya yang merona.

"Siapa itu? Siapa itu? Cerita, cerita, cerita!"

"Hussh! Jangan berisik dirumah sakit!" tegur suster yang tidak sengaja melewati kamar
Shasha.

Aku dan Shasha saling tatap dan perlahan saling melemparkan senyuman satu sama lain.

"Kau jahat tidak cerita padaku."

"Bukannya tidak mau, Ryn… aku saja baru ketemu orangnya tadi malam, sepertinya dia
anak dokter."

"Heee? Shasha suka pada anak dokter? Nasibmu pasti beruntung."

"Kalau aku beruntung, kamu juga pasti beruntung."

"Hehehe, baiklah, aku pulang dulu yah, nanti malam aku kesini lagi, aku sudah dapat izin
menginap disini dari ayah," sambil membereskan barang-barang yang sudah tidak
terpakai lagi dikamar Shasha, aku melihat dibawah bantal Shasha ada selembar kertas,
"Apa itu?"

"Ah, ini hanya brosur biasa, sudah sana cepat pulang, supaya bisa kesini secepatnya lagi."

"Oke, aku pulang dulu yah, daaaah."

Begitu aku menutup pintu kamar Shasha, aku berjalan sambil sedikit melompat-lompat
kecil melewati lorong rumah sakit, namun lompatanku itu sedikit terhenti ketika aku
melihat seorang cowok berwajah pucat dan bermata onyx sedang berjalan menuju
kearahku? Ah tidak, pasti kearah lain, dia membawa bunga, dan cowok itu… tampan!
Ketika dia sedikit sudah berada di dekatku, dia tersenyum padaku dan melewatiku,
astaga! Mimpi apa aku semalam? Jantungku… jantungku! Apa aku jangan-jangan
mempunyai penyakit yang sama dengan Shasha? Oke pikiranku mulai kacau, karena aku
penasaran, aku menoleh kearah cowok itu dan…

APAAA!

Dia masuk ke kamarnya Shasha?

"Bagaimana mungkin? Sejak kapan Shasha punya kenalan setampan itu tidak memberi
tahuku?" aku bergumam sendiri, apa kuintip saja yah?

Ah, tapi kata ibu mengintip itu tidak baik…

Ah- aku kan mencemaskan sahabatku, bagaimana kalau ternyata dia mencabuli Shasha
didalam? Ya! Ini bukan mengintip! Tapi mengawasi!

Dan tanpa sadarpun aku sudah berada didepan pintu kamar Shasha.

Aku menempelkan telingaku pada pintu dan sedikit mengintip kedalam.

"Bagaimana keadaanmu?" ah cowok itu menanyakan keadaan Shasha.

"Sudah membaik, tadi malam hanya sedikit nyeri, makanya aku mampir keruang dokter."
Shasha nyeri? Kenapa tidak bilang padaku?

"Tadi dilorong aku bertemu sahabatmu." Hah? Aku?

"Auryn?"

"Iya, dia anak yang ceria yah, wajahnya juga sanga manis." Dia memujiku? Ya tuhan!

"Hihihi, iya… dia memang manis, nanti malam dia menginap disini, oh iya terima kasih
bunganya yah, Alvin." Alvin? Namanya Alvin?

"Ya, sama-sama, aku harap kau cepat sembuh." Wah, ternyata cowok yang baik, nadanya
begitu tulus, tatapannya pada Shasha juga sangat lembut, apa ini cowok yang Shasha
ceritakan padaku?

Aku tidak mendengar Shasha menjawab sesuatu, setidaknya kau mengucapkan terima
kasih dong pada orang yang mendoakanmu! Dasar Shasha!
"Aku rasa mustahil untuk sembuh."

"Kenapa? Jangan pesimis."

"Bukan pesimis, aku bisa merasakan, kadang jantung berdetak sangat lambat, dan
semakin hari semakin lambat, bisa-bisa nanti malah berhenti." Hah? Apa-apaan sih
Shasha! Ekspresi macam apa itu? Dia tidak pernah menunjukan ekspresi begitu padaku!

"Jangan ucapkan hal itu, sahabat yang kau sayangi itu nanti bisa marah loh."

"Hehehe, iya… ah Alvin, lihat lukisanku sudah jadi."

"Mana? Waah, ternyata kau ada bakat melukis yah."

"Benarkah? Kalau begitu lain kali aku akan melukis wajahmu."

"Oke, yang tampan yah."

"Hahahaha, bisa saja kamu." kenapa? Kenapa aku merasa jadi sedikit jauh dengan Shasha
sejak ada dia? Shasha tidak pernah mengeluh begitu padaku?

"Sedang apa kau?"

Aku bisa merasakan ada lengan yang berada diatas kepalaku yang juga menempel pada
pintu kamar, suaranya yang membuatku tertegun, suaranya sangat berat, sampai-sampai
aku tidak berani membalikkan tubuhku, dan dengan sialannya! Laki-laki itu membuka
pintu kamar Shasha!

SREEEG

"Huaaa."

"Ryn?"

"Ah… hehehe, haii." Sialan! Aku mati kutu! Akan kuhajar kau setelah ini!

"katanya mau pulang?" sudah kuduga Shasha akan bertanya begitu.

"Ehm, ada yang ketinggalan, maka-"

"Ketinggalan atau menguping? Aku perhatikan dari tadi kau asik sekali mendengar
percakapan mereka." Aku menoleh sinis pada laki-laki itu dengan wajah kesal aku
lontarkan death glare padanya, sampai dia melanjutkan kalimatnya, "Hobby yah?"
"Enak saja! Aku hanya terdiam karena Shasha sedang berbicara sama laki-laki pucat ini!"
sewot! Tentu saja! Aku kesal! Sudah membuatku mati kutu! Menuduhku hobby
menguping pula! Dasar laki-laki tidak jelas asal-usulnya! "Kau! Mau ngapain kesini!"

"Memangnya salah aku menemui temanku sendiri?"

"Hah? Teman?"

"Ryan, sudahlah jangan bertengkar, seperti bukan kamu saja," Ryan? Oh jadi bocah ini
temannya Alvin.

"Alvin, dengar yah kalau kau punya teman, tolong ajarkan cara sopan santun berbicara!"
ucapku sambil menunjuk kearah laki-laki bernama Ryan itu.

"Apa kau bilang? Hei! Tidak sadar? Kau sebagai wanita tidak ada lembut-lembutnya
sama sekali, bisa-bisa kau tidak laku nanti!" dia mengucapkan apa yang diucapkan
Shasha?

"Enak saja! Aku sudah laku kok!"

"Buktikan!"

"Besok akan kubawa pacarku, dan pacarku itu 100x lebih ganteng dan keren darimu!"

"Hoo, jadi kau mengakuiku kalau aku ganteng dan keren?"

Apa-apaan sih orang ini!

"E-enak saja! Siapa yang bilang!"

"Haahahahahahhahahahaa."

Bentakkanku terhenti ketika aku mendengar suara tawa yang berasal dari Shasha dan
Alvin, mereka tertawa sangat terbahak-bahak… apakah ada yang lucu?

"Shasha?"

"Ahahaha, maaf… Maaf Ryn… kalian lucu sekali, baru pertama kali bertemu sudah adu
mulut begitu."

Bahkan Shasha menggodaku? Tapi… wajahnya yang tertawa itu… ah~~ sudah lama
sekali aku tidak melihatnya tertawa lepas, entah kenapa aku malah jadi sedih melihat
wajah Shasha yang tertawa, tanpa sadarpun mataku mengeluarkan butiran air mata yang
tidak disadari siapa pun, langsung saja aku hapus air mata itu dan berjalan kearah Shasha.
"Kata dokter jangan terlalu terbawa emosi, tawa itu juga salah satu dari emosi, jangan
terlalu terbahak-bahak," ucapku sambil sedikit mengetuk dahi Shasha.

"Baiklah, bu dokter."

Aku tersenyum saat Shasha mengucapkan kalimat itu padaku, "yasudah, aku pulang yah."

"Jangan mengintip lagi."

Aku terhenti karena laki-laki bernama Ryan itu, aku membalikkan badanku dan
menjulurkan lidahku padanya.

BRAAAAK

"Hahaha, gadis yang menarik."

"Tertarik? Heh, Ryan?"

"Wah, sayang sekali, Ryn sudah menyukai laki-laki lain loh."

"Tidak masalah."

Sebal! Sebal! Sebaaaal! Kenapa harus bertemu laki-laki seperti itu sih! Dasar! Mengakui
dirinya sendiri ganteng dan keren? Buih! Gavin lebih keren kemana-mana dibanding dia!,
walaupun tubuhnya tegap dan dadanya bidang, serta sorot matanya yang seksi, itu semua
tidak membuatku terpengaruh!

Tunggu dulu…

Apa barusan aku baru saja memujinya?

Tidak!

Aku benciiiiii dia!

-------Aisha's POV-------

Ya tuhan, sudah lama sekali aku tidak tertawa terbahak-bahak seperti tadi, melihat Ryn
dan Ryan berdebat mulut begitu entah kenapa membuatku senang, aku merasa mereka
sangat serasi.

"Alvin, apa Ryan sudah punya pacar?" karena Ryan sedang keluar, maka inilah
kesempatanku untuk menanyakannya pada Alvin.
"Belum, dia itu tidak pernah pacaran loh."

"Masa sih? Padahal tampan begitu?" kataku yang tidak percaya.

"Iya, katanya semua wanita itu kebanyakan jaim, selalu manis diawal namun setelah
pacaran langsung saja keluar sifat aslinya," jelas Alvin sambil mengupaskan apel
untukku.

"Aku merasa dia cocok dengan Ryn."

"Ha? Bukannya Ryn sudah punya pacar?"

"Tidak, tadi itu dia bohong, tapi orang yang disukai sih memang ada, tapi perasaan suka
itu kan bisa berubah."

"Itu tergantung dari orangnya, kalau aku, kalau sudah menyukai satu, aku tidak mau
melepaskannya," jelas Alvin sambil menatapku dengan lembut, aku bisa merasakan
kelembutan Alvin saat itu, entah apa artinya.

"Alvin," panggil Ryan yang tiba-tiba datang ke kamarku, "Aku pergi sebentar keluar,
kakak memintaku untuk membantu operasinya."

"Oke."

"Ha? Ryan membantu kakaknya operasi?" aku bertanya pada Alvin ketika Ryan pergi.

"Ya, tidak tahu yah? Kakak Ryan itu dokter disini," ucap Alvin sambil tersenyum.

"Ha? Lalu kamu?" tanyaku lagi.

"Aku hanya sering menemani Ryan, aku dan Ryan itu selalu bersama dari kecil, kami
sudah seperti keluarga." Jelas Alvin.

"Seperti aku dan Ryn…" ucapku sambil tersenyum.

Bagaimana yah, aku harus memberi tahu Ryn tentang keadaanku yang sebenarnya, aku
tidak boleh menyembunyikannya, bisa-bisa Ryn membenciku nanti, tapi aku takut, aku
takut dia menangis nanti, aku takut melihat ekspresinya yang terkejut dan menjadi terlalu
mengkhawatirkanku. Ryn mempunyai masa remaja sendiri, dia tidak perlu mengurusku
sepenuhnya, dia sudah kelas 1 SMA, aku ingin dia melewati masa-masa remajanya
dengan teman-teman yang lain, bukan malah mengurus gadis berpenyakitan sepertiku ini.

"Ada apa?" tanya Alvin tiba-tiba padaku, sepertinya dia menyadari kelesuanku.
"Tidak, hanya saja…"

"Auryn kan?"

Aku menoleh padanya.

Kaget.

Yah, aku sangat kaget dia bisa tahu pemikiranku.

"Bagaimana kau tahu?"

"Heemmm, bagaimana yah… kudengar dari ceritamu yang katanya Ryn selalu datang
setiap hari untuk menemanimu sejak pertama kali kamu masuk rumah sakit, itu saat kau
umur 5 tahun kan?"

Aku mengangguk, meng 'iya' kan asumsinya.

"Jelas saja kau pasti memikirkan Ryn sekarang, karena kalau aku jadi kamu pun aku pasti
akan berfikiran tentang hal yang sama, kamu tidak mau kan kalau Ryn terus-terusan
mengurusmu, kamu ingin Ryn pergi bermain selayaknya anak SMA biasa, pergi karaoke,
taman bermain, game centre, dan tempat lain yang sering dikunjungi oleh seumuran kita."

Aku terdiam mendengar Alvin bicara seolah mewakili perasaanku.

"Tapi aku rasa percuma kalau kau bicarakan hal itu pada Ryn."

"Yah, aku juga berfikir begitu." Sahutku sambil sedikit tersenyum.

"Dilihat dari sifatnya tadi, dia pasti anak yang keras kepala." Hahaha, tebakan Alvin
selalu benar.

"Tepat sekali."

"Hahahahaha."

Kesunyian melanda dikamarku, tawa tadi adalah penutup dari pembicaraan tentang Ryn,
namun pikiranku masih terus berpikir tentang Ryn, seharusnya Ryn bisa menjalani
hidupnya dengan normal, dan mungkin saja seharusnya Ryn sudah bisa punya pacar
sekarang, disamping sikapnya yang sedikit cuek itu, Ryn punya sisi manis kok.

"Kau tahu Sha," ucap Alvin sambil sedikit menyentuh jemariku, "Saat tadi malam aku
melihatmu, entah kenapa aku jadi penasaran padamu, aku merasa… wanita ini sakit
namun auranya begitu tegar."
Astaga, ucapan Alvin membuatku malu!

"Mulai sekarang, aku akan ikut menjagamu, boleh kan?"

Alvin, entah apa ini rasanya tapi…. Aku bisa merasakan kehangatan yang terpancar dari
sorot matanya, jari-jarinya yang kini menggenggam jari-jariku terasa sangat hangat dan
nyaman.

Oh Tuhan…

Salahkah aku kalau aku meminta hidup lebih lama lagi?

-------Normal's POV-------

Seminggu telah berlalu sejak pertemuan Auryn, Ryan dan Alvin. Kini Aisha dan Alvin
pun hubungannya menjadi semakin dekat, sekarang saat Auryn menjenguk Aisha, disana
pasti ada Alvin, awalnya Auryn sempat sebal dengan keberadaan Alvin, namun perlahan
Auryn sadar, keberadaan Alvin itu juga penting untuk Aisha maka dari itu Auryn sudah
tidak ambil pusing lagi tentang Alvin, malah dia menginginkan Aisha dan Alvin itu
pacaran.

Kini kita lihat kehidupan Auryn yang berada di sekolah, terlihat Auryn sedang berdiri
didepan gerbang sekolahnya sendiri seperti sedang menunggu seseorang, saat dia melihat
ada sosok pemuda sawo matang berjalan menuju gerbang dari dalam, Auryn langsung
melambaikan tangannya.

"Ah, Gavin-" namun lambaian Ryn sedikit tertahan ketika dia melihat laki-laki yang
bernama Gavin itu menghampiri gadis berambut hitam panjang yang berada didekat
pohon lalu mencium gadis itu.

Sesak.

Itulah yang dirasakan Auryn.

Sekuat apapun wanita, kalau melihat laki-laki yang disukainya mencium wanita lain pasti
akan sedih, dan itulah yang dirasakan Auryn sekarang, niatnya yang akan menyatakan
cintanya pada pemuda pirang itu langsung runtuh seketika, dan sebelum ada orang lain
yang melihatnya, Auryn membalikkan badannya dan bergegas berlari, tapi…
BRUUKK.

"Aw!" rintih Auryn sambil mengelus wajahnya yang menuburuk tubuh seseorang, "Kalau
berdiri jangan ditengah jalan dong!"

"Heeh? Kau menangis?" didengar dari suaranya, orang itu adalah laki-laki yang sangat
Auryn sebal dan partnernya melatih lidahnya untuk berdebat.

Ryan.

"Mau apa kamu datang kesekolahku? STALKER!" ucap Auryn ketus sambil mengusap air
matanya.

Saat Auryn mengusap air matanya, Ryan melihat sekeliling… menganalisa apa yang
membuat gadis itu menangis, saat dia menemukan matanya memandang sosok pasangan
yang sedang berbicara dengan mesra itu, Ryan tersenyum usil dan mendekati wajahnya
ditelinga Auryn.

"Ditolak yah~" ledek Ryan.

"Enak saja! Menyatakannya saja belum!" jawab Ryn.

"Oh? Kalah sebelum berperang?"

"Sebenarnya apa sih tujuanmu kesini! Kalau tujuanmu adalah mau mengajakku berdebat
aku sedang tidak mood!" bentak Auryn yang kini tidak bisa menahan air matanya.

"Hei-hei… Aku cuma bercanda…"

"DIAM! Asal kau tahu, aku sangat benci orang-orang sepertimu yang tidak tahu situasi
dan kondisi! Aku sebal melihatmu! Rasanya ingin kupukul!"

"Pukul saja," ucap Ryan yang menggenggam tangan Auryn, "Kalau itu membuatmu lebih
lega, pukul saja."

BUUG.

Oke, jangan dipikir Auryn tidak akan melakukannya, dia itu gadis yang sangat unik, saat
dia menginginkan sesuatu namun ragu, tapi ada seseorang yang meyakininya, maka
Auryn akan melakukan keinginannya itu. Dan sekarang hasilnya Ryan sedikit
membungkuk menahan sakit di perutnya karena dipukul oleh Auryn.

"Kau yang mengizinkanku untuk memukulku! Jangan membalas!" sewot Auryn masih
sambil mengelap air matanya.
"Ukh… pukulanmu keras sekali, kau ini jelmaan monster yah?"

"Mau kupukul lagi!?"

"Iya iya! Maaf… sekarang ikut aku," Ryan menarik lengan Auryn dengan sedikit
pemaksaan.

"Mau kemana? Aku harus ke tempat Shasha," ucap Auryn yang sedikit meronta.

"Kau mau Shasha melihat matamu yang sembab itu? Lagipula aku kan mau menghibur
wanita yang sedang patah hati ini," ledek Ryan.

"Kau benar-benar menyebalkan!"


.

"Kenapa harus kesini siiiihh!"

"Berisik, katanya pantai itu obat untuk orang yang patah hati, lagi pula pantai ini sepi,
kau bisa teriak sesukamu," ucap Ryan yang melepas sepatunya.

"Kata siapa?"

"Kata Alvin."

"Alvin pernah patah hati?" tanya Auryn.

"Tidak, dia baca dibuku."

Oke, sekarang Auryn menyesal menanyakan itu karena… hei- dia dapat asumsi itu dari
buku? Bukan pengalaman pribadi? Buku mana bisa dipercaya.

"Tidak percaya?" tanya Ryan yang seolah bisa menebak pikiran Auryn.

Auryn melirik kearah Ryan seolah dia merasa ditantang oleh Ryan, karena dia melihat
Ryan sedang melihat kearah ujung laut sambil menyeringai. Tiba-tiba Auryn membuka
sepatunya dan menarik lengan Ryan agar mendekati pantai itu, sehingga kaki mereka
terkena ombak-ombak kecil.

"Hhhhh" Auryn menarik nafas dalam-dalam dan…

"GAVIN BODOOOHHH! "

Ryan sedikit terkejut mendengar Auryn benar-benar melakukan apa yang diucapkannya
tadi, yah… walaupun tidak ada orang tetap saja memalukan bagi Ryan untuk teriak
dipantai sepi begini, tapi ketika dia melihat wajah Auryn yang pilu dan kelihatannya
Auryn benar-benar patah hati, Ryan jadi sedikit berubah pikiran. Didekatkan tubuh Ryan
pada Auryn, lalu kepala Auryn ditepuk pelan oleh Ryan.

"Huhuhu~~, jangan meledekku~," ucap Auryn sambil sedikit menangis.

Seminggu mereka berkenalan dan selalu dihiasi oleh perdebatan yang keluar dari mulut
mereka, kini pertama kalinya Auryn menunjukkan sisi lemahnya pada Ryan, dan begitu
pula Ryan yang menunjukkan sisi lembutnya pada Auryn, bukan… Ryan sudah lama
menunjukkan sisi lembutnya pada Auryn, namun Auryn tidak menyadarinya.

"Huhuhuu… RYAN BODOOHHH!"

"Hah? Kenapa sekarang kau malah meneriaki namaku?" sewot Ryan.

"Karena kamu bodoh! Bodoh! Bodoh!" ucap Auryn sambil memukul-mukul dada Ryan.

Ryan menahan lengan Auryn dan langsung memeluknya, "Maaf kalau aku bodoh, tapi
nilaiku paling tinggi disekolah."

"Hiks… hiks… aku tidak peduli… bodoh tetap saja bodoh~"

"Iyaa, iya…"

"Huhuhu, ternyata begini rasanya patah hati, sesak sekali~," gumam Auryn dipelukan
Ryan.

Keesokan harinya, Auryn bercermin dikamarnya memeriksa matanya yang sedikit


sembab, kini dia menyesal, untuk apa dia menangis seperti itu hanya karena melihat laki-
laki yang disukainya itu sudah punya pacar? Hhh, terkadang wanita itu memang suka
melakukan hal yang bodoh…

"Ck! Mataku jadi begini," gumam Auryn.

Tok tok tok

"Ryn, ada yang menunggumu dibawah," ujar sang ibu yang membuka pintu, "Tidak
disangka Ryn sudah punya pacar, ganteng pula, ah~ ibu jadi teringat masa mudaku saat
bersama ayahmu, waktu itu ibu juga dijemput seperti ini, lalu-"

"Ok, bu… stop! Aku akan terlambat sekolah jika ibu teruskan dongeng ibu yang sejak
aku umur 5 tahun selalu kau ceritakan padaku sebelum tidur itu," potong Auryn.

Auryn langsung meninggalkan ibunya dan mneuruni anak tangga satu persatu, namun
ibunya tetap terus berbicara walaupun Auryn mengabaikannya, ketika Auryn membuka
pintu.

"Matamu jelek sekali."

"Mau apa kau kesini?" tanya Auryn sinis namun wajah senangnya tidak bisa ditutupi.

"Hehe, aku menjemputmu, ayo kita berangkat," Ryan menggenggam tangan Auryn dan
menoleh kearah ibu Auryn, "kami berangkat, wajah anda sangat cantik di pagi hari."

"Kyaaaa, maafkan aku, kau adalah pacar anakku, dan aku sudah memiliki suami, kita
tidak bsia menjalin hubungan yang seperti itu," tiba-tiba ibu Auryn menjadi salting tidak
jelas.

"Ayo tinggalkan dia," ucap Auryn serasa mendorong Ryan, "Jangan sekali-kali memuji
ibuku, dia itu gampang terbuai."

"Hahahhaa, ibumu lucu sekali."

"Eh, sekolah kita kan beda, kenapa kau datang kerumahku?" tanya Auryn yang baru
sadar.

"Hem, aku mau mengajakmu bolos," jawab Ryan sambil tersenyum.

Auryn membalas senyum Ryan, "Berarti kau harus membawaku kemanapun aku mau."

"Siap, tuan putri!"

Oke, sejak kapan mereka menjadi akur?


.

"Sudah siang, Ryn mana yah?"

"Ah, tadi Ryan kirim email padaku, katanya mereka sedang ke suatu tempat." Jawab
Alvin yang sedang mengganti bunga di vas.

"Bersama Ryan?" tanya Aisha tidak percaya.

"Iya."

"Sejak kapan mereka akur?"

Alvin tersenyum dan duduk disamping Aisha sambil membuka kanvas dan siap akan
melukis, "Sejak Ryn patah hati."

"Sampaaaaai, hahahhaa, sudah lama sekali tidak kesini!" teriak Auryn sambil
merentangkan kedua tangannya.

"Hah hah hah… kau ini, kalau mau mencari kuil yang dekat juga bisa kan!" gerutu Ryan.

"Habis, ini kan kuil favoritku dan Shasha, kami selalu kesini berdua," jawab Auryn yang
sedikit mengembungkan pipinya.

Auryn berjalan menuju tempat berdoa, sedangkan Ryan masih mengatur nafasnya,
bagaimana tidak lelah? Letak kuil itu diatas tanjakan yang sangat tinggi, dan Auryn
melewatinya dengan langkah cepat sambil sedikit melompat-lompat, umur memang tidak
bisa bohong.

Ryan buru-buru menyusul Auryn dan ikut berdoa disampingnya.


Setelah selesai berdoa, Auryn masih berdiri disitu begitu pula Ryan.

"Berdoa apa?" tanya Ryan.

"Berdoa agar Shasha cepat sembuh dan kami bisa terus bersama selamanya, kamu?"

Ryan tersenyum pada Auryn yang sangat tulus dan baik hati, "Aku berdoa, agar gadis
yang kusayangi bisa terus bersama sahabatnya selamanya."

Auryn terdiam mendengar ucapan Ryan, apa maksudnya? Baru saja dia patah hati, namun
sekarang hatinya bisa berdebar-debar karena cowok lain? Eh jangan salah, justru wanita
yang sedang patah hati itu, hatinya gampang tersentuh oleh laki-laki lagi, apalagi laki-
lakinya yang selalu mendampingi mereka saat sedih.

"Ah, sebentar lagi aku ulang tahun loh, itu berrati Shasha juga ulang tahun, aku ingin
membelikannya hadiah, kira-kira apa yah?"

Auryn.

Kalau lagi gugup suka mengoceh sendiri.

"Kau gugup?" tebak Ryan saat melihat Auryn matanya kemana-mana.

"A-apanya? Enak saja! Siapa yang gugup, aku tidak gugup, buat apa aku gugup? Tidak
menguntungkan, lagipula gugup karenamu? Aku tidak mau, aku-"

Ucapan Auryn terputus saat dia merasakan ada sesuatu yang menempel di bibirnya,
sesuatu yang sangat lembut dan juga sangat nyaman, hembusan nafas yang Auryn
rasakan begitu hangat, Auryn sampai lupa diri, sehingga…

"Aku menyayangimu, bodoh…" ucap Ryan sambil mengacak-acak rambut Auryn lalu
pergi menuruni anak tangga kuil itu.

"Ah, hei! Ryan tunggu! Seenaknya saja! Sudah menciumku! Pergi begitu saja!"

"Iyaa iyaaa."

"Aku bilang tunggu!"

.
"Sepertinya Ryn mendapatkan kebahagiaan baru yah."

"Hah? Kau cemburu?" tanya Alvin membalikkan badannya.

"Sedikit, aku merasa Ryan sudah mengambil Rynku," ucap Aisha sambil memeluk kedua
lututnya.

"Kalau begitu," Alvin bangkit dari duduknya yang sedang melukis itu dan duduk
disamping Shasha lalu memeluk gadis itu dengan lembut, "Aku akan membuat Ryn
merasa kalau aku merebut dirimu dari dia."

"A-Alvin?"

"Aku mencintaimu, Shasha."

"T-Tapi… jangan, kau harus mendapatkan pasangan yang lebih sehat, jangan aku, cukup
aku saja yang mencintaimu, aku-"

"Shasha… aku tidak butuh wanita yang sehat, aku hanya mau kamu," potong Alvin
sambil merengkuh wajah Shasha.

"Alvin… jangan… jangan membuatku menjadi lebih takut mati… kalau kita bersama aku
malah tidak mau mati…"

"Siapa bilang kau akan mati? Kau tidak akan mati! Jangan pesimis! Aku akan selalu ada
disampingmu! Mendukungmu! Menyemangatimu!"

"Tidak…" kini Aisha menangis dan menggelengkan kepalanya, "Hiduplah dengan gadis
normal."

"Apa aku akan bahagia kalau aku hidup dengan gadis normal tapi aku tidak
mencintainya?" bentak Alvin, "tolong mengertilah Shasha."

Akhirnya Aisha menyerah, dia menenggelamkan kepalanya di dada Alvin, dan Alvin
memeluk Aisha dengan erat sambil menciumi kepala gadis berambut cokelat itu, tanpa
mereka sadari bahwa diluar ada Ryan dan Auryn yang mendengar percakapan mereka.

"Dasar hobby menguping," ucap Ryan.

"Sstt, yang penting mereka kan bahagia sekarang," ujar Auryn tersenyum pada Ryan.

.
.

2 tahun telah berlalu sejak mereka bertemu satu sama lain, hubungan mereka yang makin
mendalam dan erat itu tidak bisa diputuskan lagi dengan apapun, Aisha yang sudah
menceritakan pada Auryn tentang kondisinya yang sebenarnya, bahwa penyakit
jantungnya itu sudah tidak bisa lagi ditolong dengan cara operasi, kemungkinan
keberhasilannnya hanya mencapai 5%, dan Aisha tidak mau mengambil resiko itu, dari
pada mati ditengah-tengah operasi, dia lebih memilih mati ditengah-tengah sahabatnya,
dan kekasihnya yang selalu setia menemaninya.

Tanggal 14 Mei.

"Shasha, aku pergi ke acara pesta ulang tahun Grace dulu yah," pamit Auryn yang sudah
dijemput oleh Ryan.

"Iya, sampaikan salamku untuk Grace yah, maaf aku tidak bisa datang."

"Iya, kamu istirahat saja, oke."

"Ayo, Alvin jaga Shasha yang benar," ujar Ryan.

"Aku selalu menjaganya kok."

"Hhh, sayang sekali Shasha tidak bisa ikut, padahal Grace bilang dia kangen pada
Shasha," gumam Auryn sambil merangkul lengan kekasihnya yang dulu adalah partner
debatnya itu.

"Biar kita jelaskan saja nanti, kan tidak mungkin kalau kita membawa Shasha yang
makin lemas itu."

"Uhm," Auryn mengangguk pelan.

Ryan dan Auryn berjalan kearah basement dan membuka mobil BMWnya lalu
menyalakan mesinnya, begitu sudah keluar dari rumah sakit dan menuju arah rumah
Grace. Tiba-tiba handphone Auryn berdering, dan itu telepon dari Alvin.

"Halo, Alvin?"
"RYN, cepat kembali! Shasha!"

Auryn tersentak kaget dan langsung menoleh kearah Ryan, "Ryan! Ayo putar balik!
Shasha! Shasha jantungnya melemah!"

Dengan cekatan Ryan memutar balikkan stir mobilnya dan menancap gas dengan
kencang, selama mobil berjalan Ryan melihat gadis disampingnya sedang berdoa agar
sahabatnya itu tidak apa-apa. Auryn terus memejamkan matanya sambil terus bergumam
'semoga Shasha tidak apa-apa', sambil mencengkram kalung berbentuk hati yang sama
dengan Shasha, yang sengaja mereka bikin saat ulang tahun mereka dulu.

Sesampainya dirumah sakit, Ryan melemparkan kuncinya pada tukang valet mobil dan
menggandeng tangan Ryn menuju lift rumah sakit, begitu sudah sampai diatas, mereka
berlari menuju ruang dimana Aisha sedang diatasi, dan disitu terlihat Alvin sedang duduk
dan mencengkram rambutnya.

"Alvin!" teriak Auryn, "Alvin, bagaimana Shasha? Apa yang terjadi?"

"Saat kalian pergi, tiba-tiba Shasha batuk dan memuntahkan darah, dan tiba-tiba dia
pingsan…a-aku… aku tidak tahu apa yang terjadi, a-aku…"

"Alvin, tenang… kita tunggu penjelasan dokter," ucap Ryan memegang bahu Alvin yang
mencoba menenangkan.

Setengah jam mereka menunggu, Auryn masih memakai gaunnya yang berwarna putih
tanktop, yang sekarang sudah memakai jas Ryan, lalu keluarlah dokter yang menangani
Aisha, melainkan ayah Auryn.

"Ayah! Ayah! Bagaimana Shasha?" tanya Auryn mencengkram coat putih ayahnya.

"Keadaannya belum stabil, detak jantungnya kadang meninggi kadang melemah,


meninggi juga karena kami beri obat pemicu jantung," ujar sang ayah.

Auryn menutup mulutnya dengan kedua tangannya, tidak lama kemudian Auryn
meneteskan air matanya, apa usaha Aisha selama ini akan sia-sia? Apa Tuhan akan tega
mencabut nyawa Aisha begitu saja tanpa memberikan kesempatan pada Aisha untuk
merasakan hawa segar diluar sekali lagi?

"Ryan~ katakan Shasha akan baik-baik saja~" ucap Auryn sambil mencengkram lengan
Ryan.

"KATAKAN PADAKU KALAU SHASHA PASTI SELAMAT! SHASHA PASTI


AKAN BAIK-BAIK SAJA! HUAAAAAAA!"
Ryan hanya bisa diam memeluk kekasihnya itu, dia juga tidak bisa menjanjikan hal
seperti itu, Ryan bukan tuhan, lagi pula apa yang bisa dia lakukan sekarang kalau dua
orang yang dia sayangi sekarang menangis dihadapannya?

Auryn… dan Alvin.

Alvin diam, namun air matanya tidak berhenti untuk keluar.

6 hari berlalu sejak kejadian Aisha pingsan.

Kini tanggal 20 Mei, mereka berkumpul dikamar Aisha yang sudah sadar, mereka
menginap bersama, yah-walaupun melanggar rumah sakit, tapi akhirnya diizinkan
asalkan tidak berisik, untung ada ayahnya Auryn dan kakaknya Ryan, makanya mereka
diizinkan untuk menginap bersama.

"Aku mau… merah!" ucap Aisha.

"Aahhh~ jahat, kau tahu aku tidak punya merah," sewot Auryn.

Mereka sedang asyik bermain kartu Uno dikamar, saat ini jam menunjukkan pukul 10
malam, dan mereka sudah bermain Uno dari sore, terlihat masing-masing wajah mereka
sudah cemong dengan bedak.

"Aku ngantuk~ aku cuci muka dulu yah, aku mau tidur," ucap Auryn.

"Huuuu, bilang saja takut kalah lagi," ledek Ryan.

"Kau ini tetap menyebalkan yah," ejek Auryn.

Ketika malam tiba, Alvin masih membuka matanya, dia masih sangat takut kalau-kalau
dia memejamkan mata, nanti Aisha akan menghilang dari hadapannya, Alvin masih tetap
duduk sambil menyenderkan dadanya ditepi kasur dimana Aisha sedang terlelap. Jadi
teringat saat kemarin Alvin selalu menemani Aisha ketika dia belum sadar, Alvin selalu
mengajak Aisha berbicara, bahkan Alvin berkali-kali melamar Aisha tanpa
sepengetahuan Aisha, yang tahu hal itu hanyalah Ryan dan Auryn yang juga selalu ada
disamping Aisha.
Keesokan harinya, mereka sudah bangun pagi-pagi karena tidak enak kalau nanti suster-
suster yang baru datang melihat satu kamar isinya ramai seperti ini, sesdudah
membereskan tempat tidur dan segala macamnya, Aisha tersenyum lembut memandangi
Auryn.

"Ada apa?" tanya Auryn yang merasa heran karena terus dipandangi.

"Tidak apa, aku hanya merasa Ryn sangat cantik."

"Maaf Shasha, aku bukan lesbi."

"Hahahahahaha."

Saat semua sedang tertawa, mereka tidak menyadari kondisi Aisha yang aneh, Aisha
mengerutkan keningnya, meremas dadanya, mencengkram seprai yang digunakannya
sekencang-kencangnya, lalu…

"Uhuk! Hueeekk…"

Darah lah yang keluar saat itu dari mulut Aisha.

"SHASHAAAAA!" Auryn teriak sangat panik, Alvin langsung memeluk Aisha dan Ryan
berlari keluar memanggil dokter.

Tidak lama kemudian datanglah ayahnya Auryn yang khusus menangani penyakit Aisha.

"Suster! Lengkapi semua peralatannya, bawa Aisha ke ruang ICU, yang lain mohon
tunggu diluar!" perintah dokter yang merupakan ayahnya Auryn.

Saat semua sudah dilengkapi dan Ini sudah digunakan selang dan berbagai macamya,
Auryn menarik ayahnya dengan keras.

"Ayah! Shasha akan sembuh kan?" tanya Auryn.

Melihat anaknya yang sudah berlinang air mata itu, sang ayah hanya memeluk Auryn dan
mencium kening buah hatinya itu.

"Doakan yang terbaik yah nak," ucap sang ayah.

Lalu sang ayah pun memasuki ruang ICU, disana sudah disiapkan peralatan macam-
macam, pemicu jantung, suntik, dan pompa telah disiapkan. Auryn, Ryan dan Alvin
menunggu diluar sambil berdoa, Auryn terus menerus menggenggam kalungnya sambil
berdoa, Alvin duduk sambil menundukkan wajahnya, dan Ryan berusaha untuk
menenangkan Auryn.
-------Auryns's POV-------

Tuhan.

Kalau kau memang ada.

Kalau kau memang sayang pada kami.

Tolong… selamatkanlah sahabatku, aku telah bersama dengannya dari kecil bagaimana
bisa nanti aku harus berpisah dengannya? Shasha selalu menegurku saat aku salah, saat
kelakuanku tidak selayaknya sebagai wanita, Shasha selalu memberikan saran padaku
saat aku bertengkar dengan Ryan, dia selalu ada untukku.

Berdoa.

Aku terus berdoa agar Tuhan mau mengabulkan keinginanku.

Bisa kurasakan air mataku terus menerus jatuh sampai-sampai membasahi baju dan
rokku, tanganku pun ikut basah, Ryan merangkulku, dan membisikkan 'berdoa, terus
berdoa'.

-------Normal's POV-------

Sudah.

Selesai sudah semua melakukan pengecekan pada Aisha, Auryn melihat ayahnya keluar
dari ruangan itu, dan langsung saja Auryn menghampirinya.

"Ayah! Bagaimana?" tanya Auryn.

Sang ayah terdiam, dia melihat putrinya itu telah menangis dan mengeluarkan air mata
yang sangat banyak sehingga menjadi sangat sembab begitu, lalu matanya melirik kearah
laki-laki yang merupakan kekasih Aisha, ternyata matanya tidak kalah sembab dengan
Auryn.

"Ryn… ayah minta maaf," ucap sang ayah, "Ayah sudah berusaha, namun tubuhnya tidak
bisa bertahan, ayah-"

"TIDAK! AYAH TIDAK BECUS! AYAH TIDAK BISA MENOLONG ORANG!


KALAU TIDAK BSIA JANGAN JADI DOKTER! MENYELEMATKAN SATU
NYAWA SAJA TIDAK BISA!" teriak Auryn sambil memukul-mukul ayahnya.

"Ryn! Shasha sudah tenang! Dia tidak akan lagi merasakan sakit yang dia derita selama
ini," ujar sang ayah.
"TAHU APA AYAH TENTANG SHASHA! AYAH PEMBOHONG! KATANYA
AYAH MAU MENYELAMATKAN SHASHA, MAKANYA AYAH SENDIRI YANG
TERJUN MENANGANI SHASHA!"

"Ryn~"

"Ayah pembooohooong~ HUAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA! SHASHAAA,


KEMBALIKAN SHASHAA!"

Sang ayah hanya memeluk putrinya yang sedang sangat terpuruk itu, sedangkan Ryan
mengejar Alvin keatap untuk menenangkannya, sesampainya disana, Alvin berlari ketepi
dan berencana akan lompat, untuk Ryan cekatan dan menariknya hingga terjatuh ke
tengah-tengah.

BUG!

"Apa kau sudah gila?" ucap Ryan sehabis memukul sahabatnya itu, "Kalau kau lakukan
itu, kau menbuat Shasha kecewa!"

Alvin tidak menjawab, dia hanya menutup wajahnya memakai sebelah lengannya, Alvin
membiarkan dirinya menangis, melihat sahabatnya yang menangis sampai seperti itu,
Ryan pun ikut menangis, dipeluk sahabatnya itu, lalu Alvin membalas pelukan Ryan,
pelukan dari seorang sahabat untuk menenangkan sahabat.

Saat pemakaman tiba, seluruh murid di SMA yang Auryn tempati dulu, yang juga dulu
pernah Aisha tempati hanya beberapa bulan saja itu mendatangi rumah Aisha, tidak
sedikit yang menangis tersedu-sedu saat melihat jasad Aisha yang seperti sedang
tersenyum itu, Aisha memakai gaun putih yang sangat cantik, rambut cokelatnya digerai
dan memakai kalung yang sama dengan Auryn.

Kini Auryn memang sudah berhenti menangis, namun selama pemakaman dia tidak
berbicara sama sekali, Ryan lah yang menemaninya sepanjang hari, sedangkan Alvin?
Dia terus menerus berada ditepi peti Aisha, terus memandangi Aisha, tidak menangis,
namun juga tidak tersenyu, ekspresinya sangat datar dan tidak tertebak.

Itulah Aisha, sampai terkhir pun dia masih tetap membuat orang-orang disekitarnya
bingung, tidak meninggalkan pesan, setidaknya kalau dia merasakan sudah tinggal sedikit
lagi, tulislah surat atau apapun bentuknya itu, untuk memberi pesan terakhir, namun ajal
tidak ada yang tahu.

"Hei, Shasha… baru 7 hari kau pergi meninggalkanku, tapi aku sudah merasa sangat
kangen padamu," ucap Auryn yang kini berada didepan makam Aisha.

"Aku akan merubah penampilanku menjadi sedikit lebih anggun, seperti saranmu,
hehehee."

"Aku sangat menyayangimu sebagai saudaraku sendiri."

Terlihat foto Aisha yang sedang tersenyum dan memakai kalung yang sama dengan
Auryn, Auryn tersenyum dan menyentuh foto itu dengan lembut.

"Ryn," panggil seseorang.

"Ah, Alvin."

"Kau juga sering kesini?"

"Ya, aku baru kesini, dari kemarin aku sangat lemas karena kebanyakan nangis, kamu?"

"Aku setiap hari kesini."

"Oh begitu."

Auryn melihat Alvin mendoakan Aisha dan sesekali menyentuh foto Aisha dengan
tatapan lembut, sedih, kangen jadi satu.

"Alvin," panggil Ryn, "Kalau kau menemukan wanita yang baru beri tahu aku yah, bisa
kupastikan Shasha akan menyukainya atau tidak."

"Dari mana kamu bisa tahu?"


Auryn tersenyum sambil berdiri, "Karena aku dan Shasha mempunyai selera yang sama."

Alvin tersenyum, senyum pertama yang dia tunjukkan setelah kepergian Aisha.

"Ryn."

"Ah, Ryan."

"Maaf menunggu, tadi dosen agak ribet, jadi sedikit tertunda."

"Ng, tidak apa-apa, Alvin.. aku pergi dulu yah," ucap Auryn pada Alvin.

"Ya, kalian hati-hati… jangan sampai hamil." Ucap Alvin yang mencoba untuk bercanda.

"Enak saja, aku kan pintar, mana mungkin kebobolan," jawab Ryan.

"Ryan! Jangan ditanggapi!" sewot Auryn.

"Hahahhaa, oke, Alvin… kami duluan yah," ucap Ryan.

Alvin melambaikan tangan pada kedua sahabatnya itu, ketika Auryn akan memasuki
mobil, sekali lagi dia menatap makam Aisha dan Alvin yang sedang disana,
digenggamnya lagi kalung itu dan kali ini Auryn tersenyum lembut.

"You’re still live in my heart."

Ryn = Auryn Queenzia

Aisha/Shasha = Aisha Gladien Hezel

Ryan

Alvin

Anda mungkin juga menyukai