Anda di halaman 1dari 149

REPRESENTASI FETISISME KOMODITAS FANS JKT48 DALAM FILM

DOKUMENTER “IDOLAKU, JIWA RAGAKU”

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Syarat Memperoleh


Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi (S.Kom)

oleh
NICOLAUS SULISTYO DWICAHYO
100904067 / Kom

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA
2016
NICOLAUS SULISTYO DWICAHYO
No. Mhs : 10 09 04067 / KOM

REPRESENTASI FETISISME KOMODITAS FANS JKT48 DALAM FILM


DOKUMENTER “IDOLAKU, JIWA RAGAKU”

ABSTRAK

Definisi tentang fans dapat dipahami secara berbeda-beda. Salah satunya,


mereka dapat dipahami sebagai kelompok yang terobsesi dengan idolanya.
Pandangan ini kemudian membentuk pemaknaan tentang fans sebagai kelompok
yang irasional. Film dokumenter “Idolaku, Jiwa Ragaku” tampaknya berhasil
mengemas hal tersebut. Sandy dan Emil sebagai tokoh utama memiliki kegiatan
aktif yang tidak beragam, tapi bahkan hanya berorientasi pada konsumsi yang
memperlihatkan mereka sebagai fans yang candu. Sebagai seorang fans yang
mengidolakan JKT48, mereka kemudian menjadi pasif pada sistem manajemen
JKT48 itu sendiri. Munculnya peran keluarga di dalam film dokumenter ini juga
turut membangun pemaknaan tentang fans yang cenderung dianggap irasional.
Melalui representasi fetisisme komoditas fans JKT48 dengan pendekatan
semiotika Peirce, peneliti berusaha menggali tentang sikap konsumtif fans yang
lebih terlihat sebagai suatu bentuk fetisisme komoditas melalui konstruksi film
dokumenter ini. Semiotika digunakan untuk mengetahui tanda-tanda yang muncul
melalui klasifikasi dan analisis struktur triadik, yakni representamen, objek, dan
interpretan. Sehingga, metode tersebut kemudian dapat menjawab bagaimana
representasi fetisisme komoditas fans JKT48 dalam film dokumenter “Idolaku,
Jiwa Ragaku”.
Analisis dengan metode semiotika ini yang kemudian memunculkan
pemaknaan pada film dokumenter ini, khususnya bagian interpretan sebagai dasar
untuk melakukan pembahasan. Interpretan-interpretan tersebut kemudian
dimasukkan ke dalam setiap pembahasan aspek fetisisme komoditas yakni
standarisasi, individualisasi semu, dan reifikasi. Secara keseluruhan, melalui film
dokumenter tersebut tampak bahwa kegiatan konsumsi yang dilakukan oleh fans

iv
menjadi fokus di dalam film dokumenter ini. Selain itu, mengingat bahwa fans
digambarkan melalui dua tokoh, terlihat bahwa ada dua aspek yang kemudian
bersinggungan dengan masing-masing fans yakni aspek ekonomi dan aspek
keluarga. Kecenderungan aspek ekonomi tampak menonjol pada sekuen-sekuen
yang menampilkan Sandy, sedangkan kecenderungan dari aspek keluarga
cenderung tampak menonjol pada sekuen-sekuen yang menampilkan Emil.
Perbedaan aspek dari masing-masing fans tidak membuat kegiatan mereka
menjadi berbeda. Bahkan, orientasi mereka tetap cenderung sama, ketika tampak
ada suatu pemenuhan hasrat untuk mendapatkan kepuasan dalam menjalin relasi
yang semakin dekat dengan idolanya. Adapun kehadiran keluarga di dalam film
dokumenter ini, yang dihadapkan dengan konsumsi dan perhatian fans terkait
dengan idolanya, menjadi penegas bagaimana pemenuhan hasrat sebagai fans
lebih dominan ketimbang keluarga dan kebutuhan lainnya. Kehidupan fans yang
direpresentasikan pada film dokumenter ini juga mengarah pada definisi seorang
VVOTA, dimana istilah tersebut juga dapat diartikan sebagai Over Dossis Fans.

Kata Kunci: representasi, fans, fetisisme komoditas, JKT48, film dokumenter

v
Karya Tulis Ilmiah ini saya persembahkan kepada:

Orang Tua, Kakak, dan Adik saya


Inner Circle, Siapapun yang telah rela membagi waktunya dengan saya

“Jika tak ada lagi suntik penenang, pada apa kita kan menghindar.”

– Ugoran Prasad –

vi
KATA PENGANTAR

Penelitian ini tidak lengkap jika tidak bermasalah sebelumnya. Pada Septermber
2014, dengan penuh keyakin untuk menyelesaikannya dengan cepat, skripsi ini
malah sempat ganti judul. Selang satu semester dan masuk pada Februari 2015,
tepat satu tahun lalu, akhirnya pemujaan fans (fetisisme) menjadi isu yang
dipersilahkan untuk menjadi penelitian. Sekaligus, menjadi cerminan sendiri.
Pemujaan itu sendiri, adalah suatu hal yang barangkali menyenangkan, karena ada
hubungan yang dibentuk, secara sadar tentunya. Pemujaan juga bisa dibaca
sebagai pelarian, bahwa seluruh pembaca tahu, generasi ini butuh sesuatu yang
menyenangkan untuk dipuja. Daripada, harus mengalami kecemasan. Mereka
akan mendem, party separti-partinya, berkelahi, ngelantur. Bahkan ngrasani
uwong, sak Gustine barang. Mereka hanya ingin: senang.
Kecemasan juga selalu muncul entah darimana, di dalam proses pengerjaan
skripsi ini, atau di beberapa kegiatan jauh dan dekat sebelum skripsi ini lahir.
Apalagi kegiatan menjadi fans seperti lebih menyenangkan, ketimbang harus
berdiam membuat analisisnya. Kira-kira begitu. Asal jangan melakukan
kesenangan di atas penderitaan teman-temannya, seperti yang sering keliatan di
kampus ini.
Lebih dari setahun tanpa absen untuk bimbingan, tidak disangka proses
pengerjaan skripsi ini telah mencapai batasnya. Tidak akan pernah lupa, dengan
proses bimbingan yang selalu dilakukan dengan segelas kopi, juga rokok. Tidak
terlupa juga kepada orang-orang yang harus saya ucapkan terima kasih dalam
segala proses penyelesaian studi ini.
Orang tua, yang dengan lapang dada telah membebaskan anaknya untuk
menentukan pilihan, tapi selalu menanti pulang dan memberikan perhatian. Juga
Mbak Dewi dan keluarganya sekarang, serta Shinta, yang selalu memberikan
dukungan dari doa.
Tuhan yang semakin tidak dimaknai secara Esa. Terima Kasih atas waktu
luangnya, telah mengabulkan beberapa permintaan saya.
Josep J. Darmawan yang membuat saya sempat tertatih-tatih mengerjakan skripsi
ini, tetapi sabar untuk meluruskan segala kecemasan saya. Rasanya seperti
menjadi Mitch Albom yang memiliki Morrie, walaupun beruntung tidak seperti
Andrew yang bertemu dengan Fletcher.

vii
Nyoman Ayumi Danuswari, terima kasih untuk dukungan dan kesabarannya
dalam hidup yang serba tidak karuan ini. Doa mu selalu manjur. Serta terima
kasih untuk saudara Swari lainnya, Mbak Utami, Harumi, dan Mayami.
Keluarga Kajian Media yang senantiasa sabar dalam mengahadapi kelas-kelas
idealis di tengah realitas yang jelas kapitalis.
Teman-teman diskusi saya, Widi Setiawan yang dengan energi lebihnya
memberikan bantuan yang tak terbalas, Vito Adriono yang memberikan masukan
dengan diselingi curhat, Ragil Wibawanto yang kadang ikut menemani keluh
kesah saya tentang skripsi.
Mas-mas demangan, Andreas Victoryan, Dody Andri Setiawan, Valentinus
Aditya, Oktavian Aji, Andreas Danang, Heribertus Gunawan, Heinrich Satriawan,
sebagai orang-orang yang setia dengan saya di angkringan pada malam hari. Dan
tentu masih pada mas-mas lain yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.
Teman-teman kampus, Girgir Samuel yang juga memiliki neurotik, Nikolas
Setiaji atas dinamikanya (khususnya ketika saya ada di BEM), Angga Pratama
yang barangkali satu-satunya orang yang mendoakan saya Salam Maria 3x saat
lepas kendali, Xandra Yeda yang sudah di kampus lain. Kok konco JB kabeh sing
tak sebutke.
Teman-teman kampus lainnya, serta antek-antek BEM yang tidak bisa saya
sebutkan satu per satu, tentu dengan CFRC dan FISTFEST nya. Para mantan yang
cukup memberikan saya kesabaran dan pelajaran untuk menghargai. Tentu tidak
lupa juga, Riyan Adhitama, Hugo Gian, Theo Hadi, yang selalu ada untuk
menghilangkan rasa bersalah dan kesepian. Terima kasih untuk kalian semua!
Bujang cafe atas waktu memasaknya. Serta teman-teman yang pernah bekerja
bersama, dengan segala permasalahan tentang owner.
Para pemberi surprise tepat di malam ulang tahun. Benedictus Bramantyo yang
juga selalu ada untuk menemani jelek dan baik hidup ini, Hanizar Ahmad yang
selalu lucu dan menghibur, Yossy Septavian yang akhirnya sadar untuk lanjut
kuliah, Antonius Dian yang semakin lama semakin free thinker, dan Nandi
Prasetya yang tetap suka mangap-mangap walau bisa serius juga.
KLIWON Band, yang cukup oke melebarkan sayap dikancah halaman kampus.
Gilang Satmaka, Leo Andre, dan Theo Hananto, yang selalu ada sejak teman-
teman kampus mulai hilang.
Henry Adrian dengan ajakan mbabinya kala usai skirpsi ini. Kapan masuk LSM
anak? Buat anak kok coba-coba.
Serta semua orang yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Barangkali saya
tidak sengaja lupa atas jasa kalian selama studi ini. Terima kasih.

viii
DAFTAR ISI

Halaman Judul
Halaman Persetujuan i
Halaman Pengesahan ii
Halaman Pernyataan Keaslian Skripsi iii
Abstraksi iv
Halaman Persembahan vi
Kata Pengantar vii
Daftar Isi ix
Daftar Tabel xi
Daftar Gambar xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 9

C. Tujuan Penelitian 9

D. Manfaat Penelitian 9

E. Kerangka Teori 9

1. Representasi 11

2. Fans 18

3. Fetisisme komoditas 21

F. Metodologi Penelitian 28

1. Jenis dan sifat Penelitian 28

2. Objek Penelitian 28

3. Metode Pengumpulan Data 28

4. Metode Analisis 29

5. Sistematika Penulisan 32

ix
BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN

A. Sinopsis Film Idolaku Jiwa Ragaku 34

B. Sekilas Film Idolaku Jiwa Ragaku 35

C. Tim Produksi Film 36

D. Sekilas tentang Eagle Awards 37

E. Tentang JKT 48 38

a. Tim JKT48 dan Golden Rules 39

b. Jenis fans JKT48 dan Istilah-istilahnya 41

44
BAB III PEMBAHASAN

A. Temuan Data 45

1. Analisis Anatomi Film “Idolaku, Jiwa Ragaku” 48

B. Analisis Data 75

1. Standarisasi Kegiatan Fans 81

2. Individualisasi Semu dalam Memberikan Dukungan 86

3. Reifikasi dalam Wujud Cinta Platonis 100


4. Idolaku, Jiwa Ragaku: Suatu Representasi Tentang VVOTA 105

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan 113

B. Saran 115

DAFTAR PUSTAKA 117


LAMPIRAN 1: Anatomi Iklan Tri Indie+ Versi Anak Laki-laki 121

x
DAFTAR TABEL

TABEL 1 Anatomi Film Dokumenter Idolaku Jiwa Ragaku 45


TABEL 2 Pembagian Sekuen Film Dokumenter Idolaku Jiwa Ragaku 46

xi
DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 1 Sekuen-2: Perkenalan Sandy 49


GAMBAR 2 Sekuen-3: Pengorbanan Sandy 52
GAMBAR 3 Sekuen-4: Perkenalan Emil 54
GAMBAR 4 Sekuen-5: Pengorbanan Emil 56
GAMBAR 5 Sekuen-6: Koleksi Barang-barang Fans 59
GAMBAR 6 Sekuen-7: Hubungan Emil dan Istri 61
GAMBAR 7 Sekuen-8: Hubungan Sandy dengan Ibu 63
GAMBAR 8 Sekuen-9: Dunia Fans dan Keluarga 66
GAMBAR 9 Sekuen-10: Hubungan Emil dengan Oshimen 67
GAMBAR 10 Sekuen-11: Hubungan Sandy dan Oshimen 70
GAMBAR 11 Sekuen-12: Bertahan sebagai Fans 73

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Industri budaya massa telah melahirkan beragam produk budaya melalui film,

lagu, musik, dan acara olahraga. Produk tersebut dikonsumsi secara bebas oleh

khalayak luas sebagai teks budaya, dan tidak menutup kemungkinan untuk

kemudian melahirkan kelompok-kelompok penggemar. Kelompok-kelompok itu

oleh Henry Jenkins (1992.a, h. 23) disebut sebagai fans, suatu kelompok yang

mengonsumsi teks budaya massa sebagai konstruksi budaya dan identitas sosial

mereka. Setelah mengonsumsi teks budaya tersebut, seorang fans mendapatkan

kekuatan dan semangat dari kemampuan mereka untuk mengenali diri mereka

sebagai bagian dari kelompok lain yang berbagi kesenangan yang sama dan

menghadapi permasalahan yang sama (Jenkins, 1992.b, h. 213).

Pendapat Jenkins memperlihatkan bahwa fans pada dasarnya bersifat aktif,

yaitu dengan melakukan reproduksi atas teks yang ditawarkan. Kegiatan membaca

teks budaya hanyalah suatu proses awal dari kegiatan konsumsi (Jenkins, 1992.b:

213-214). Fans kemudian melakukan produksi atau membentuk beberapa hal yang

mereka interpretasikan dari apa yang mereka senangi, sebagai akibat dari apa yang

mereka konsumsi. Kegiatan yang dilakukan fans kemudian adalah bagaimana

mereka melakukan produksi dalam beberapa hal, seperti pada makna dan

interpretasi, fans art-work, komunitas, atau identitas alternatif. Melalui buku The

Adoring Audience Fan Culture, Jenkins menyebut beberapa produk yang


2
 

dihasilkan oleh para fans antara lain: sebuah gambar, komunitas yang intens

membahas perkembangan idolanya, komunitas diskusi, atau bisa juga memberikan

kritik atau cerita baru dari pemaknaan dan interpretasinya.

Perwujudan bentuk nyata fans yang melakukan produksi dari interpretasi

atas teks budaya, seperti yang dinyatakan oleh Jenkins sebelumnya, dapat dilihat

misalnya pada The Jakmania. Mereka merupakan suporter yang mendukung,

kagum, dan bangga dengan Persija. Selain itu, mereka juga melakukan kritik

terhadap Persija, yang salah satunya adalah kritik mengenai cara Persija

melakukan seleksi pemain (Mahares, 2014). Seperti inilah kira-kira kegiatan fans

sepakbola yang dikemas melalui pemberitaan pada media massa.

Contoh nyata fenomena tentang fans sepakbola itu nampak agak berbeda

jika dilihat dari perspektif fans yang lain. Perspektif ini dilontarkan oleh Matt Hills

melalui bukunya yang berjudul Fan Cultures. Di dalam buku tersebut dinyatakan

bahwa fans dapat kita kenali sebagai kelompok orang yang terobsesi dengan

bintang tertentu, selebritas, film, acara TV, atau grup musik (2002, h. viii).

Artinya, definisi yang dinyatakan oleh Hills dengan menyebut fans sebagai

kelompok orang yang terobsesi, berbeda dengan perspektif Jenkins yang menyebut

fans sebagai kelompok aktif yang jelas akan secara langsung melakukan

reproduksi atas teks.

Maka secara lebih lanjut, Hills menyebut bahwa fans, setelah terobsesi

akan sesuatu itu, adalah juga seseorang yang kemudian mengumpulkan banyak

informasi tentang objek mereka melalui, misalnya, mengutip suatu baris atau lirik,

pasal, dan ayat dari suatu lagu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (kbbi,
3
 

n.d.), kata “obsesi” dapat dimengerti sebagai gangguan jiwa berupa pikiran yang

selalu menggoda seseorang dan sangat sukar dihilangkan. Pengertian “obsesi”

tersebut memunculkan interpretasi yang cenderung menganggap fans sebagai

kelompok yang irasional. Anggapan tersebut muncul dalam melihat fans yang

memuja idolanya secara berlebih. Hills mengatakan bahwa kemunculan anggapan

itu dikarenakan adanya moral dualism di dalam masyarakat luas dalam melihat

audiens pasif sebagai hal yang buruk dan audiens aktif sebagai hal yang baik. Aktif

dan pasif pada penjabaran tersebut mengarah kepada pandangan dalam melihat

fans yang dianggap rasional dan tidak rasional dalam menanggapi terpaan media

(Hills, 2002, h. 7).

Fenomena tersebut yang terjadi pada fans JKT48. Setelah Yasushi

Akimoto sebagai pendiri sekaligus penanggungjawab manajemen JKT48 berhasil

mendirikan AKB48 di Jepang pada tahun 2005, ia melahirkan lagi idol group di

negara lain dengan bentuk yang mirip dari sebelumnya itu. Di Indonesia, idol

group itu lahir pada tahun 2011 dengan nama JKT48. Sama seperti artis musik

yang lainnya, JKT48 juga memiliki jutaan fans, tetapi perbedaannya terdapat pada

sistem manajemen JKT48 dalam melibatkan fans.

JKT48 menerapkan sistem “tumbuh bersama fans” yang artinya eksistensi

grup ini, terutama setiap personilnya, ada di setiap fans yang terlibat aktif untuk

mendukung idolanya (Apa Itu JKT48, n.d.). Inilah khas JKT48 yang tidak dimiliki

oleh artis/grup musik lainnya. Grup ini juga memiliki tiga Tim J (sebagai tim

utama), Tim KIII, dan Tim T. Tim K pertama dimiliki oleh AKB48 yang berbasis

di Akihabara dan Tim KII yang berbasis di Nagoya (JKT48 Mengumumkan Daftar
4
 

Member Team KIII, 2013). Maka, dengan adanya inisial huruf “K” di dalam dua

grup 48family yang lahir lebih awal, JKT48 memberikan nama di Tim K menjadi

Tim KIII.

Antar personil JKT48 mempertahankan posisinya sebagai personil di tim

utama (Tim J) atau mengejar posisi untuk dapat masuk di tim utama bagi tim KIII

dan Tim T. Mereka juga bersaing untuk dapat masuk di setiap lagu baru, bahkan

untuk dapat tampil di setiap video klip. Artinya, ada kompetisi antar personil di

dalam grup ini, sehingga bentuk dukungan dari fans menjadi begitu berpengaruh

untuk menentukan posisi pada masing-masing personil. Jika fans dari artis/grup

musik hadir untuk memberikan dukungan melalui kegiatan menonton konser dan

membeli merchandise, fans JKT48 bahkan melakukan hal tersebut juga demi

eksistensi oshi-nya (personil yang disukai dan didukung oleh fans), bukan untuk

keseluruhan grup JKT48. Mereka ingin agar oshi-nya tetap bertahan di tim utama,

atau muncul di setiap lagu atau video klip.

Kegiatan yang melibatkan para fans JKT48 telah banyak disampaikan

melalui media, sebagai berita, informasi, maupun inspirasi. Contohnya dapat

dilihat dari situs Majalah HAI (Sobri, 2014) dalam menyajikan berita tentang

beberapa perilaku fans JKT48 yang diceritakan sebagai seorang yang anti-sosial,

selalu belanja merchandise secara berlebihan, memiliki intensitas tinggi untuk

mengikuti informasi terbaru idolanya, hingga mengoleksi foto-foto para personil

JKT48. Salah satu profil fans JKT48 juga pernah ditulis pada artikel lain. Di dalam

artikel itu, fans digambarkan sebagai seseorang yang mendapatkan semangat dari

caranya untuk terus mendukung idolanya dengan intensitas tinggi membeli


5
 

merchandise dan menonton konser JKT48 (Kartika, 2013). Di dalam media film,

khususnya film dokumenter, satu-satunya yang menceritakan kegiatan fans JKT48

adalah MetroTV.

Pada tahun 2014 Metro TV mengadakan kompetisi film dokumenter Eagle

Awards Documentary Competition (EADC). Kompetisi yang pertama kali

diselenggarakan tahun 2005 tersebut merupakan ajang bagi para pembuat film

dokumenter dari kalangan mahasiswa (About EADC. n.d.). Pada kompetisi tahun

2014 tersebut ada beragam film yang sudah masuk di dalam katalog EADC, dan

hanya ada satu film yang menceritakan tentang fans dan idolanya, yakni “Idolaku,

Jiwa Ragaku” (Prihatin, 2014). Berbeda dengan film dokumenter musik lain yang

menceritakan tentang kesuksesan karir seseorang/grup menjadi seorang idola,

kekhasan dari film ini adalah penceritaan yang diambil dari sudut pandang dari

fans dalam melakukan praktik dukungan pada idolanya. Walaupun film

dokumenter biasanya menampilkan realitas, tetap ada kecenderungan dalam

menampilkan satu aspek yang dianggap penting di dalam proses pembuatan film.

Hal ini tampak di dalam film dokumenter “Idolaku, Jiwa Ragaku”, dimana

fans JKT48 digambarkan melalui seorang mahasiswa dan seorang pekerja yang

keduanya berdomisili di Jakarta. Keseluruhan cerita ini menggambarkan

kehidupan dua orang fans tersebut, yakni Sandy dan Emil, dan juga keluarga

mereka masing-masing. Tampak bahwa kehadiran keluarga di dalam film ini,

melalui argumentasi dan ekspresinya, juga ikut membangun alur bahwa fans

JKT48 memiliki kegiatan dan perhatian pada idola yang tidak sesuai dengan

ekspektasi keluarga.
6
 

Cerita tentang fans JKT48 yang dikemas melalui film dokumenter tersebut

tentunya dipengaruhi oleh pengetahuan dan tujuan dari pembuat film. Meskipun

tidak terlihat secara jelas tujuannya, alur yang diperlihatkan melalui film

dokumenter tersebut, memunculkan pemaknaan tertentu tentang bagaimana

kehidupan fans JKT48. Artinya realitas tentang eksistensi fans JKT48, bukanlah

realitas yang secara luas ada, melainkan suatu bentuk realitas yang telah dikemas

dan direpresentasikan melalui film dokumenter melalui sudut pandang dari

pembuat film.

Representasi merupakan proses dan produk dimana tanda diberikan suatu

makna tertentu (Sardar & Loon, 1997, h. 13). Definisi tersebut dilengkapi oleh

Stuart Hall yang menambahkan bahwa konsep representasi adalah sebuah hal yang

penting dalam studi tentang budaya, dimana representasi digunakan untuk

menghubungkan makna dan bahasa dengan budaya (Hall, 1997, h. 15). Melalui

representasi, maka dapat diketahui bagaimana kehidupan fans digambarkan

melalui suatu media yakni film dokumenter. Maka, makna dibalik konsumsi atas

produk budaya yang ada di dalam kehidupan fans JKT48 menjadi dapat terlihat.

Konsumsi yang dilakukan fans tersebut juga sepaham dengan apa yang

dikatakan oleh Matt Hills. Ia menyimpulkan bahwa di dalam proses dan

mekanisme budaya konsumerisme, fans adalah seseorang yang berubah menjadi

seorang konsumen (Hills, 2002, h. 3). Para fans digambarkan sebagai konsumen

yang dengan senang hati (karena dianggap sebagai hobi) mengonsumsi beberapa

hal sebagai bentuk dukungan terhadap idolanya dengan membeli beberapa

merchandise, poster, dan selalu menghadiri konsernya. Fans juga membeli tiket
7
 

untuk mengikuti handshake event, dimana mereka memiliki waktu untuk

berpapasan dan berjabat tangan dengan idolanya. Konsumsi yang dilakukan secara

terus-menerus itu, selain memberikan kesenangan bagi fans, juga telah

memunculkan pemujaan terhadap idolanya (fetisisme).

Melalui bukunya yang berjudul Popular Culture, Dominic Strinati

mengutip pernyataan Theodor Adorno dengan mengatakan bahwa fetisisme adalah

suatu cara bagaimana produsen menunjukkan bahwa asas pertukaran dapat

memaksakan kekuatannya secara khusus dalam produk-produk budaya (dalam

Strinati, 2003, h. 63). Istilah fetisisme di dalam konteks ini dinyatakan oleh

Adorno sebagai fetisisme komoditas. “Komoditas” ini adalah kata yang muncul

dari pandangannya dalam melihat makna tersembunyi yang ada dibalik asas

pertukaran yang merujuk pada uang (dalam Strinati, 2003, h. 64). Dikatakannya

secara lebih lanjut bahwa asas pertukaran ini kemudian akan selalu mendominasi

asas manfaat karena ekonomi kapitalis yang berputar di sekitar produksi,

pemasaran, dan konsumsi komoditas akan selalu mendominasi

kebutuhan-kebutuhan riil manusia. Asas pertukaran ini terlihat di dalam film

dokumenter, dimana fans melakukan segala pertukaran untuk mendukung

idolanya. Pertukaran yang dilakukan itu, terkait bentuk perwujudan fans dalam

mendukung JKT48, adalah melalui berbagai produk-produknya yang up to date,

seperti tiket konser, tiket handshake, poster, maupun CD/DVD yang dibuat oleh

manajemen JKT48.

Ada banyak definisi dalam beberapa penelitian yang telah membingkai

fans secara berbeda-beda. Penelitian tentang fans cenderung tidak diasosiasikan


8
 

dengan fetisisme, dan ini dapat dilihat dari beberapa penelitian seperti, artikel

jurnal tahun 2011 yang berjudul Korean Wave di Indonesia: Antara Budaya Pop,

Internet, dan Fanatisme pada Remaja karya Aulia Dwi Nastiti (Mahasiswa

Komunikasi Media, Universitas Indonesia), dan artikel jurnal tahun 2012 yang

berjudul Fanatisme Fans K-Pop dalam Blog Netizenbuzz karya Pintani Linta

Tartila (Mahasiswa FISIP, Universitas Airlangga). Pada dua artikel tersebut

pembahasan fans merujuk pada konsep fanatisme.

Di dalam kaitannya dengan penelitian ini, film dokumenter “Idolaku, Jiwa

Ragaku” menceritakan bagaimana seorang fans melakukan konsumsi pada

komoditas JKT48 sebagai cara mempertahankan eksistensi diri pada fans itu

sendiri maupun JKT48. Peneliti melihat bahwa konsumsi seorang fans di dalam

film dokumenter ini, bukan hanya mengarah pada aspek fanatisme atau

konsumtivisme. Konsumsi tersebut mengarah pada tanda-tanda bahwa seorang

fans melakukan pemujaan terhadap idolanya dengan memberikan dukungan

melalui konsumsi yang intens, sehingga hal tersebut dapat dibaca sebagai fetisisme

komoditas. Secara khusus, pemujaan itu terlihat melalui tanda-tanda adanya hal

lain di dalam bentuk konsumsi yang dilakukan oleh fans, seperti rasa ingin

mendekatkan diri, atau rasa cinta kepada idolanya. Sehingga, fans tidak dapat

menjadi secara bebas menentukan pilihan untuk mencapai hal tersebut, mengingat

hanya pengeluaran uang yang dapat merealisasikannya.

Melalui representasi pada film dokumenter “Idolaku, Jiwa Ragaku” ini,

peneliti ingin mengetahui bagaimana fetisisme komoditas dalam kehidupan fans

JKT48. Analisis ini menjadi penting karena fetisisme komoditas jarang disinggung
9
 

di dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam melihat dan mendiskusikan

kegiatan fans.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana representasi fetisisme komoditas fans JKT48 dalam Film Dokumenter

“Idolaku, Jiwa Ragaku”?

C. Tujuan Penelitian

Menjelaskan representasi fetisisme komoditas dalam kehidupan fans JKT48 yang

direpresentasikan dalam Film Dokumenter “Idolaku, Jiwa Ragaku”.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaaat Akademis

Sebagai referensi penelitian kajian budaya yang khususnya mengarah pada

kajian tentang fans (fandom).

2. Manfaat Praktis

Sebagai salah satu penelitian yang dapat memberikan gambaran tentang

kehidupan fans JKT48.

E. Kerangka Teori

Analisis tentang representasi fetisisme komoditas fans JKT48 dalam Film

Dokumenter “Idolaku, Jiwa Ragaku” akan dilakukan dengan menggunakan


10
 

beberapa teori sebagai pendekatan, yakni representasi, fans, dan fetisisme

komoditas.

Representasi adalah teori dari Stuart Hall yang digunakan untuk

menghubungkan makna, bahasa, maupun dengan budaya. Eksistensi bahasa

sendiri misalnya, dapat digunakan untuk menerjemahkan konsep menjadi

kata-kata, suara, atau gambar, sehingga isi yang disampaikan melalui film

dokumenter ini dapat merepresentasikan makna dan mengomunikasikannya pada

orang lain. Artinya, penggunaan teori ini bertujuan untuk memahami makna yang

ada di dalam teks film “Idolaku, Jiwa Ragaku”.

Film dokumenter ini sendiri menampilkan beberapa tokoh yang secara

keseluruhan berpartisipasi dalam alur penceritaannya. Tokoh-tokoh tersebut

adalah Sandy, Emil, keluarga Sandy dan Emil, teman-teman komunitas Sandy, dan

juga rekan-rekan kerja Emil. Walaupun ada banyak tokoh yang dimunculkan,

secara dominan film dokumenter ini menitikberatkan pada penceritaan Sandy dan

Emil sebagai fans JKT48. Hal tersebut dapat dibaca melalui tanda-tanda yang

muncul dari narasi beberapa tokoh (khususnya keluarga) dan pengakuan Sandy

dan Emil yang memiliki kegiatan sebagai fans JKT48.

Henry Jenkins dan Matt Hills, seperti yang sudah dikemukakan di latar

belakang, memberikan beberapa definisi tentang fans. Mengingat bahwa definisi

mereka cenderung berbeda, dan dengan melihat kesesuaian pada film dokumenter

“Idolaku, Jiwa Ragaku”, penelitian ini akan menggunakan definisi dan teori

tentang fans dari Hills. Alasan penggunaannya sederhana, bahwa fans cenderung

terobsesi dengan idola, ketimbang menjadi fans aktif yang memiliki ragam
11
 

kegiatan. Tentunya, hal tersebut tampak dari keseluruhan aspek di dalam film

dokumenter, yakni alur, setting, tema, dan tokoh.

Ada begitu banyak konsep yang terkait dengan fans. Bahkan, seperti

penelitian lain yang sudah dituliskan pada bagian “Latar Belakang”, fans

cenderung diasosiasikan dengan fanatisme. Penelitian ini mencoba untuk

mengasosiasikannya dengan pendekatan lain dengan menggunakan teori fetisisme

komoditas. Adorno mengemukakan bahwa konsep fetisisme komoditas muncul

ketika adanya suatu pergeseran pada aspek budaya. Saat pertunjukan musik telah

beralih pada pemujaan tiketnya, ada hal lain yang muncul di dalam penilaian

tentang suatu musik. Terkait dengan penelitian ini, fetisisme komoditas muncul

saat fans memiliki nilai lain ketika melakukan praktik konsumsi dalam membeli

tiket konser dan CD JKT48. Selain itu, teori ini juga akan menjadi basis dalam

melakukan pembahasan dari interpretan-interpretan yang ditemukan melalui

metode analisis semiotika Charles Sanders Peirce.

1. Representasi

Menurut Stuart Hall (1997, h. 15), konsep representasi adalah sebuah hal yang

penting dalam studi tentang budaya, dimana representasi digunakan untuk

menghubungkan makna, bahasa, maupun dengan budaya. Selanjutnya, ada tiga

hal yang dilibatkan di dalam sebuah proses representasi, yaitu penggunaan

bahasa, tanda, dan gambar .

Hall juga menjelaskan bagaimana cara kerja representasi. Melalui

Representation: Cultural Representation and Signfying Practices, ada dua

makna dalam penggunaan kata “representasi” tersebut , yakni (1997, h. 16):


12
 

a) Representasi bisa muncul saat mendeskripsikan atau menggambarkan

suatu hal, dimana saat itu juga ada pikiran yang muncul terkait

deskripsi, gambaran, atau imajinasi; untuk menempatkan kemiripan di

dalam pikiran atau indera kita. Pada bentuk pertama ini, Hall

memberikan contoh seperti: jika kita sedang melihat gambar 13 orang

yang sedang berkumpul bersama dan gambar itu biasanya ada di dalam

gereja, interpretasi yang kemudian muncul bisa jadi mengarah pada

perjamuan terakhir Yesus bersama dengan 12 muridnya.

b) Representasi juga bisa berarti melambangkan, berdiri, menjadi sebuah

model, atau untuk menggantikan, seperti misalnya pada kalimat, “

Dalam agama Kristen, salib merepresentasikan penderitaan dan

penyaliban Kristus”.

Hall (1997, h. 17) lebih lanjut mengatakan bahwa representasi adalah

konsep yang kompleks, karena pada dasarnya hal itu terkait dengan isi dari

pikiran kita yang akan berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Artinya,

benda yang sedang kita lihat seperti gelas atau piring, jika sedang tidak dilihat

berarti itu hanya ada di dalam pikiran kita. Gelas atau piring yang kita pikirkan

kemudian, mengarah pada konsep “gelas” dan “piring” yang kita ketahui. Di

situlah sebuah representasi muncul. Maka, Hall (1997, h. 18-19) kemudian

mengatakan bahwa ada dua proses untuk menjelaskan tentang sistem

representasi tersebut, yakni:

a) Sistem
13
 

Pembentukan makna yang ada terjadi karena sistem konsep dan gambar

yang terbentuk di dalam pikiran kita digunakan untuk mewakili atau

merepresentasikan dunia, dimana hal tersebut merujuk pada hal-hal di

dalam maupun di luar pikiran seseorang. Pembentukan makna yang

muncul di dalam pikiran kita, sudah diorganisir, dari

pengalaman-pengalaman tentang apa yang kita lihat, walaupun itu

menjadi hal yang abstrak. Selain pengorganisasian, juga ada

pengelompokan, pengaturan, dan pengklasifikasian objek, serta

membangun hubungan yang kompleks. Tetapi, bagaimana

pembentukan akan suatu makna itu bisa muncul di dalam pikiran kita

akan berbeda-beda, sehingga menjadi sesuatu yang unik dari manusia.

Sebuah interpretasi yang muncul untuk melihat dunia, adalah sebuah

hal yang kita konstruksi juga. Maka, budaya terkadang dapat

didefinisikan sebagai pendekatan dari “makna bersama atau peta

konseptual bersama”.

b) Bahasa

Merepresentasikan atau mempertukarkan konsep dan makna memiliki

tingkat lanjutannya yakni bahasa bersama. Bahasa adalah sistem

representasi kedua yang dilibatkan dalam konstruksi makna. Peta

konseptual kita perlu diterjemahkan ke dalam bahasa untuk membuat

korelasi antara konsep dan ide dengan kata-kata tertentu yang

dituliskan, suara atau gambar yang membawa makna sebagai sebuah

tanda.
14
 

Tanda diorganisasikan menjadi tanda dan eksistensi bahasa dapat

digunakan untuk menerjemahkan konsep menjadi kata-kata, suara atau

gambar, dan dengan menggunakan beberapa hal itu, pengoperasian bahasa

digunakan untuk mengekspresikan makna dan mengomunikasikan pikiran

kepada orang lain. Di dalam hal ini, fashion, musik, kata-kata, juga dapat

disebut sebagai bahasa.

Inti proses pemaknaan budaya ini ada pada hubungan antara kedua

sistem representasi tersebut. Sistem representasi pertama, adalah sebagai

pemberian makna atas dunia dari konstruksi yang dibangun dari rantai

ekuivalensi antara benda dan sistem konsep. Sistem representasi kedua,

merujuk pada konstruksi seperangkat koresponden antara peta konseptual dan

seperangkat tanda, yang diatur dan diorganisasikan dalam berbagai bahasa

yang mewakili sebuah konsep. Relasi antara sesuatu, konsep, dan tanda

menjadi inti dari produksi makna dalam bahasa, dimana suatu proses yang

menghubungkan ketiganya itu disebut representasi (Hall, 1997, h. 19). Kedua

hal tersebut menjadi fokus di dalam penelitian ini dengan asumsi bahwa isi

yang ditampilkan di dalam film adalah suatu bentuk konstruksi.

Representasi pada film dokumenter ini tentunya tidak dapat dilepaskan

dari pemahaman tentang penggunan teknik kamera. Sehingga peneliti juga

akan menggunakan definisi dari beberapa jenis sudut pandang kamera untuk

membantu dalam melihat representasi dalam film dokumenter. Menurut

Marselli Sumarno (1996, h. 25) ada tiga faktor yang menentukan sudut
15
 

pandang kamera, yaitu besar kecil subjek, sudut subjek, dan ketinggian kamera

terhadap subjek, seperti yang akan dijabarkan berikut:

a) Besar-kecil Subjek

1) Extreme Long Shot (ELS)

Shot yang diambil dari jarak yang sangat jauh. Mulai dari jarak 200

meter keatas. Shot ini bertujuan memperlihatkan situasi geografis.

Pengambilan gambar dengan Extreme Long Shot digunakan ketika

penonton diharapkan terkesan dengan luasnya jangkauan sebuah

keadaan atau kejadian.

2) Long Shot (LS)

Sama dengan Extreme Long Shot untuk menunjukkan letak

geografisnya, hanya saja shot ini digunakan untuk memperlihatkan

hubungan antara subjek-subjek dan latar belakang.

3) Medium Shot (MS)

Pengambilan Medium Shot menggambarkan personal relationship

pada obek, menunjukkan interaksi antar karakter. Selain itu,

Medium Shot membuat kamera cukup dekat untuk merekam

gesture dan ekspresi, dan sering digunakan pada film dokumenter

pada saat mewawancarai narasumber.

4) Close shot (CS)

Istilah bebas untuk menyebut jarak dekat pemotretan, yaitu lebih

dekat dari Medium Shot, tetapi belum sedekat Close Up.

5) Close up (CU)
16
 

Tembakan kamera pada jarak yang sangat dekat dan

memperlihatkan hanya bagain kecil subjek. Close up cenderung

mengungkapkan pentingnya objek dan sering memiliki arti

simbolik, sehingga ekspresi dari objek akan terlihat.

6) Extreme close up (ECU)

Sebuah close up yang sangat besar, untuk mengungkapkan detail

reaksi amnesia, sehingga ekspresi akan menjadi fokusnya dan lebih

terlihat ketimbang Close Up.

b) Ketinggian Kamera Terhadap Subjek

Kamera bisa merekam subjek dengan sudut pengambilan normal (eye

level), sudut pandang mendongak (low angle), dan sudut pandang dari

atas (high angle). Ketinggian pengambilan kamera ini membawa

dampak dramatis dan psikologis tertentu.

1) Sudut pandang normal (eye level)

Sudut pengambilan normal direkam dari level mata subjek, lebih

bersifat netral dan biasa. Objek terlihat lebih superior, dominan, dan

menekan

2) Sudut pandang mendongak (low angle)

Sudut pandang dengan kamera menghadap ke atas. Sudut pandang

ini akan mengesankan kegagahan dan wibawa.

3) Sudut pandang high angle


17
 

Sudut pandang high angle akan memberikan efek sebaliknya dari

low angle. Akan tetapi dapat juga dipakai untuk alasan teknis yang

lain. Objek akan terlihat imperior dan tertekan.

c) Gerakan Kamera Komposisi

Menurut Askurifai Baskin (2006, h. 42), untuk menciptakan gambar

yang dinamis dan dramatis, kita perlu mengenal macam-macam

gerakan kamera. Antara lain;

1) Zooming

Suatu pergerakan lensa kamera menuju (in) objek atau menjauh

(out) dengan posisi kamera diam ditempat. Sehingga menimbulkan

efek membesar bila mendekat (in) dan mengecil bila menjauh (out).

2) Tilting

Suatu gerakan kamera keatas (up) dan kebawah (down) tanpa

memindahkan posisi kamera. Gerakan ini penonton memiliki kesan

penasaran yang ditimbulkan dengan cara perlahan.

3) Paning

Gerakan kamera ke kanan (pan right) dan ke kiri (pan left) tanpa

memindahkan posisi kamera. Efek yang ditimbulkan sam dengan

gerakan tilting.

4) Follow

Gerakan kamera mengikuti objeknya. Sehingga gambar yang

dihasilkan lebih bervariasi.


18
 

Teknik pengambilan gambar seperti yang sudah disampaikan pada

paragraf sebelumnya, merupakan unsur penting di dalam representasi,

mengingat bahwa teknik pengambilan gambar memiliki pengaruh pada bentuk

konstruksi dari suatu film. Melalui buku Cultural Studies (2004, h. 8), Chris

Barker menegaskan bahwa representasi dapat dimaknai melalui konstruksi

sosial yang disajikan kepada khalayak sehingga memunculkan pemaknaan

tertentu. Sehingga, pemaknaan tentang kehidupan Sandy dan Emil di film

dokumenter ini kemudian dapat diartikan sebagai fans.

2. Fans

Melalui teori representasi, dapat diketahui bahwa rangkaian cerita tentang fans

tersebut mengarah pada penggambaran fans JKT48, dimana mereka terlihat

memberikan dukungan dan memiliki perhatian kepada idolanya. Segala tanda

yang tampak di dalam film dokumenter ini dapat dipahami sebagai realitas,

walaupun bukanlah suatu kenyataan utuh tentang fans JKT48. Sudut pandang

yang digunakan pada film dokumenter ini telah mengarahkan kisah Sandy dan

Emil sebagai gambaran fans JKT48, dengan latar belakang mereka

masing-masing tentunya.

Fans tidak secara langsung lahir dengan sendirinya. Matt Hills

mengatakan bahwa fans lahir dari kesukaan berlebih dari seorang audiens

terhadap bintang tertentu, selebritas, film, acara TV, atau grup musik (2002, h.

viii). Hal ini lah yang kemudian memisahkan fans dengan non-fans (sebagai

audiens secara umum). John Fiske (1992, h. 34) mendefinisikan audiens

sebagai mereka yang melakukan konsumsi atas teks, dimana fans adalah
19
 

seorang yang melakukan kegiatan lebih dari itu, karena ia adalah sebagaian

dari audiens yang menyukai produk budaya tertentu seperti, acara televisi,

film, buku, artis musik, klub sepakbola, maupun selebritas. Fiske (1992, h. 35),

secara lanjut, menjelaskan bahwa fans dapat dibedakan dari audiens lain

karena adanya semangat, percaya diri, atau bahkan atribut tertentu untuk

menandai jati diri seorang fans.

Matt Hills, melalui bukunya yang berjudul Fan Cultures (Hills, 2002,

h. viii) memberikan pengertian bahwa fans dapat kita kenali sebagai kelompok

orang yang terobsesi dengan bintang tertentu, selebritas, film, acara TV, atau

grup musik. Fans juga dikatakan sebagai seseorang yang dapat mengumpulkan

banyak informasi tentang objek mereka melalui, misalnya, mengutip suatu

baris pada lagu-lagu. Secara lebih lanjut untuk memahami fans, Joli Jensen

(1992, h. 10) menyebut fans sebagai ““a result of celebrity—the fan is defined

as a response to the star system”. Artinya, eksistensi fans berada dalam lingkar

fan-star relation dimana fans adalah pihak pasif yang sekedar menyambut

segala pancingan yang diumpankan oleh media.

Fans musik misalnya, akan menerima secara pasif apa yang ada di

dalamnya sebagai suatu teks dan membiarkan dirinya larut dalam teks yang

disajikan oleh media, sehingga menjadi kelompok fans yang menyukai musik

secara lebih, atau menyukai artisnya secara lebih. Sifat fans yang pasif itu,

menurut Hills (2002, h. 7), membuat fans kemudian dianggap sebagai

kelompok yang bisa jadi dipandang tidak rasional oleh masyarakat umum.

Artinya, relasi yang muncul antara fans dengan media (sebagai teks) ini
20
 

menjadi hal yang berbeda jika dibandingkan dengan non-fans. Di dalam batas

tertentu, bisa dibilang bahwa audiens yang sudah berubah menjadi fans, pada

akhirnya menerima makna yang ditawarkan oleh beberapa media melalui

konsumsi atas teksnya. Konsumsi yang dilakukan oleh fans tersebut sepaham

dengan apa yang dikatakan oleh Hills (2002, h. 3), yang menyimpulkan bahwa

di dalam proses dan mekanisme budaya konsumerisme, fans adalah seseorang

yang berubah menjadi seorang konsumen.

Singkatnya, meski fans adalah kelompok margin, industri dengan jitu

memperhitungkan keberadaan mereka dengan membidiknya sebagai

konsumen (Hills, 2002, h. 5). Tentu industri tidak peduli apakah fans

terberdayakan atau tidak, apakah fans bisa menjadi kelompok aktif atau tidak

dalam kuasa atas eksistensi mereka sendiri. Selama fans menjadi konsumen

potensial, maka cukuplah bagi industri.

Melalui konsep tentang fans dari Hills, dapat diasumsikan bahwa

Sandy dan Emil, sebagai fans JKT48, mengalami pola konsumsi yang

mengarahkannya menjadi konsumen dari produk-produk JKT48, dimana fans

atas produk budaya tersebut menjadi pasif. Fans JKT48 sebagai penikmat

budaya yang pasif, telah membiarkan dirinya menerima penawaran-penawaran

dari manajemen JKT48 untuk terus menjaga eksistensi dalam mencintai

idolanya itu. Pada saat seseorang mengalami hal tersebut, ia cenderung

dianggap oleh lingkungannya sebagai seorang yang iraisonal, seperti yang

diperlihatkan melalui kemunculan ibu Sandy dan istri Emil. Anggapan tersebut

muncul dari kegiatan konsumsi dan perhatian fans yang tampaknya tidak
21
 

sesuai dengan ekspektasi dari keluarga terdekat. Artinya, fans mengalami

kecenderungan untuk menerima dan mengalami dominasi dari sistem

manajemen JKT48, dimana hal tersebut mengarah pada suatu bentuk fetisisme

komoditas pada diri fans JKT48.

3. Fetisisme Komoditas

Di dalam perspektif teori kritis, fetisisme mengacu pada konsep yang

dikembangkan oleh Karl Marx ketika menganalisis mengapa individu yang

terdominasi dapat menerima dan mengadopsi kepercayaan yang dapat

mendukung dan mereproduksi status quo kapitalisme (Strinati, 2003, h. 62).

Menurut Marx (dalam Strinati, 2003, h. 62), cara seorang individu menerima

dan mengalami dominasi kapitalis, berbeda dari cara bagaimana sistem

kapitalisme itu bekerja. Berbeda dengan teori dominasi atau hegemoni sistem

kapitalisme, dalam teori fetisisme komoditas, yang menjadi fokus adalah

bagaimana kapitalisme bekerja membentuk kepercayaan pada tataran individu.

Pada fetisisme komoditas ini, kebutuhan seorang individu didominasi dan

dikaburkan oleh suatu objek kenikmatan atau kepuasan semu yang diperoleh

dari komoditas tersebut (Ripstein, 1987, h. 3). Sehingga, konsumsi seseorang

terhadap suatu produk tidak berada pada level yang dibutuhkan, tetapi pada

level dimana seseorang tidak mengetahui fungsi utama produk tersebut.

Musik misalnya, sebagai komoditas tampil dalam dua gejala (Adorno,

1991, h. 1). Gejala tersebut yang mengantarkan pada penjelasan singkat

bagaimana fetisisme komoditas sebenarnya bisa terjadi melalui produk-produk

budaya. Pertama, sifat unik, sosial, dan konkret penciptaan musik telah
22
 

dihilangkan dari lagu atau produk itu. Adorno mengatakan bahwa lagu atau

musik itu sudah benar-benar berubah menjadi benda semata. Kedua, karena

bisa dipertukarkan sebagai komoditas, lagu-lagu tak lagi dikenal komponisnya,

namun lebih pada hanya semata-mata lagu itu sendiri dan sebuah barang dari

artis musiknya. Artinya, musik sebagai salah satu bentuk kesenian, telah

mengalami perubahan sifat dari seni yang estetik menjadi seni yang mekanik.

Terjadinya perubahan tersebut, menurut Adorno adalah dampak dari

bagaimana seni musik yang dulunya dihasilkan murni oleh para musisi seperti

Mozart, Beethoven, atau Bach, kini berubah menjadi musik yang dihasilkan

oleh para musisi dibawah kendali dari industri (Adorno, 1991, h. 4). Artinya, ia

mengatakan bahwa masuknya peran industri dalam dunia musik adalah awal

perubahan dari esensi suatu musik.

Industri yang dimaksudkan tersebut bisa diasumsikan sebagai label

rekaman dan sponsor yang memiliki peran dalam proses produksi dan

distribusi musik-musik dari para seniman musik. Artinya, label rekaman dan

sponsor pada dasarnya telah berhasil membuat otoritas melalui kontrak dengan

para musisi, sehingga muncul standar tertentu dari musik tersebut dengan

menggunakan unsur-unsur penting dari musik-musik yang sedang populer.

Bentuk standar dari musik itu disebut oleh Adorno sebagai standarisasi musik

(Adorno, 1991, h. 38). Yasushi Akimoto, sebagai pendiri sekaligus kepala di

dalam manajemen JKT48 (dan 48 family lainnya di berbagai negara),

menerapkan konsep yang sudah dibuat lebih dulu di bawah nama AKB48.

Mulai dari penggunaan seragam pada saat konser, lagu-lagu, bahkan


23
 

komoditas-komoditas untuk fans pun dibuat serupa dengan AKB48.

Komoditas yang dijual dengan cara JKT48, seperti konser yang dijadwalkan

setiap hari dan kupon di dalam CD, telah memampatkan ragam kegiatan fans

sebagai individu yang kegiatannya hanya seputar konsumsi saja. Hal tersebut,

menurut pandangan Adorno, bisa diasumsikan sebagai standarisasi yang

sengaja dibuat oleh manajemen JKT48.

Bentuk standarisasi tersebut kemudian juga menghasilkan

individualisasi semu, dimana musik-musik baru yang dibuat oleh Akimoto

untuk JKT48 seperti terdengar baru, padahal unsur-unsurnya pernah ada di

dalam lagu-lagu lain, khususnya lagu pop di Jepang. Lagu-lagu milik AKB48

disadur sama persis untuk JKT48 dengan mengganti bahasa Jepang menjadi

bahasa Indonesia. Adorno (1991, h. 38) mengatakan bahwa pemilihan bahasa

dan kata dapat menjadi suatu ciri khas dari setiap musik, dimana yang terjadi

sebenarnya adalah suatu bentuk individualisasi semu, karena penggunaan

bahasa dan liriknya tetap terdengar hampir sama.

Terjadinya individualisasi semu ini tidak bisa dihindari oleh pasar

mengingat bahwa produksi dan distribusi yang dilakukan oleh label rekaman

dan sponsor telah disajikan kepada pasar, sesuai dengan apa yang setidaknya

mereka lihat sebagai peluang dari suatu bisnis musik. Artinya, semua hal yang

sudah masuk menjadi pasar, tentunya akan menjadi komoditas sehingga

apresiasi budaya masyarakat tentang musik dilakukan dalam pengertian uang.

Di dalam sistem manajemen JKT48, alih-alih ingin memberikan

dukungan pada idola, fans dibentuk menjadi seorang konsumen yang


24
 

mengeluarkan uangnya secara suka rela. Saat uang ini digunakan untuk

melakukan konsumsi terkait komoditas JKT48, manajemen JKT48 telah

menjadikan fans menjadi pasar potensial melalui pengalihan kebutuhannya.

Sehingga yang terjadi kemudian adalah fans mengalami perkembangan daya

apresiasi yang terhambat dimana mereka menerima apa yang ditawarkan oleh

manajemen JKT48.

Bentuk apresiasi tersebut mengalami suatu regresi dimana yang terjadi

adalah bagaimana perkembangan daya apresiasi dalam mendengarkan musik

dan memberikan dukungan menjadi terhambat, sehingga daya apresiasi itu

mundur, atau lebih tepat lagi, tertambat pada tahap infantile

(kekanak-kanakan). Pada saat regresi ini muncul, yang terjadi kemudian adalah

reifikasi pada produk budaya yang salah satunya adalah CD yang berisi

lagu-lagu, merchandise, dan tiket konser. Pada saat masyarakat menanamkan

simbol tertentu pada apa yang ia puja, ada bentuk reifikasi pada produk yang

sedang ia puja (Adorno, 1991, h. 45). Pemujaannya sendiri disebut fetisisme,

dimana hal tersebut artinya pemujaan pada produk sebagai objek reifikasi.

Reifikasi adalah faktor munculnya fetisisme pada seseorang. Pada saat

seseorang merasakan suatu kesenangan, bukan lantas seseorang tersebut

mengabaikan hal yang lain, hanya saja satu hal yang sedang disenangi

membuatnya tidak berpaling kepada hal yang lain. Hal tersebut bisa terjadi

karena seseorang menganggap ada suatu nilai yang muncul ketika ia

mengonsumsi sesuatu. Misalnya, saat merchandise dan CD dirasa mampu


25
 

untuk mendekatkan diri pada idolanya, ia akan berusaha untuk membelinya

dengan harga berapa pun.

Hal tersebut tampaknya juga terjadi pada diri fans JKT48, sehingga

mereka menganggap ada nilai yang muncul pada saat mengonsumsi beberapa

hal, seperti: tiket konser teater FX Sudirman yang akumulasi jumlah pembelian

tiketnya bisa digunakan untuk mendapatkan hadiah eksklusif dari JKT48, CD

dengan kupon di dalamnya yang dapat digunakan untuk mendukung oshi, atau

bahkan tiket handshake event yang digunakan untuk dapat bersalaman dan

berbicara dengan oshi yang dipilih. Sehingga, pada tahap ini manajemen

JKT48 bukan menyadari munculnya fans sebagai kecintaan seseorang terhadap

idolanya saja, melainkan sengaja menciptakan fans yang diposisikan untuk

menjaga eksistensi idolanya itu dengan dalil sebagai bentuk dukungan.

Selain dari standarisasi, individualisasi semu, dan reifikasi, ada

tingkatan-tingkatan untuk melihat seberapa jauh fetisisme komoditas yang

dialami oleh fans. Peneliti meminjam istilah fetisisme yang dimunculkan oleh

Sigmund Freud, melalui teori psikoanalisis-nya. Di dalam buku panduan ilmu

psikologi revisi ke-4 yakni Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Disorders (DSM) terdapat fetisisme sebagai salah satu kategori yang dipelajari

di dalamnya. Walaupun teori tersebut mengarah pada fetisisme seksual,

peneliti mencoba untuk mengaitkannya dengan riset ini dengan mengganti

konteks seksual menjadi komoditas, mengingat yang menjadi fokus di dalam

penelitian ini adalah representasi pada fetisisme komoditas.


26
 

Konsep fetisisme, selain digunakan untuk melihat pendekatan pada

fenomena dari industri budaya, juga digunakan oleh Sigmund Freud dalam

melihat gejala abnormal seseorang. Freud menempatkan fetisisme untuk

melihat fenomena pemujaan seseorang terhadap seksual. Seperti yang terlihat

pada DSM, ada beberapa kriteria atau wujud dari fetisisme itu sendiri. Peneliti

memunculkan konsep fetisisme dari Freud karena melihat adanya

kecenderungan yang lebih tepat dalam melihat gejala fetis seseorang dimana

hal tersebut tidak ditemukan di dalam konsep fetisisme yang digunakan dalam

pembahasan tentang industri budaya.

Di dalam DSM-IV dijelaskan bahwa fetisisme pada umumnya dapat

diterima oleh masyarakat selama tidak terjadi kekerasan akibat pemaksaan

dalam memenuhi kebutuhan, walaupun akan menjadi berbahaya bila

perilakunya mulai ekstrim. Beberapa tingkatan yang dibuat oleh peneliti,

berdasarkan asumsi dari DSM-IV yang dikaitkan dengan fokus penelitian ini

(fetisisme komoditas pada idola), yakni:

a) Pemuja (Desires). Ini adalah tahap awal. Tidak terlalu terpengaruh atau

terlalu mengganggu pikiran. Seseorang mulai mengidolakan JKT48, dan

juga beberapa anggota dari grup tersebut sebagai idolanya, tanpa

mengganggu pikiran dari seseorang tersebut.

b) Pecandu (Cravers). Ini adalah tingkatan lanjutan dari tingkat awal. Pada

saat masuk ke tahap ini, seorang mengalami konformitas dan menjadi

pasif, dimana psikologi seorang tersebut membuat dirinya merasa

semakin membutuhkan adanya JKT48 di dalam rutinitas sehari-hari,


27
 

seperti contohnya dengan semakin naiknya intensitas untuk mengikuti

perkembangan, mendengarkan lagu, atau menonton video-nya.

c) Fetishist Tingkat Menengah. Jika dikaitkan dengan penelitian ini,

seseorang mulai membeli CD atau poster terkait dengan hasratnya yang

semakin meningkat untuk bisa dekat dengan idolanya, tanpa peduli

berapa pun harga dari barang yang dikonsumsi. Di dalam tahap ini juga,

fans mulai mengidolakan satu atau dua anggota (oshi) tertentu.

d) Fetishist Tingkat Tinggi. Lanjutan dari tingkat ketiga, pada tingkat ini

fans tidak peduli dengan hal lain di luar fetis-nya. Fans ingin semakin

dekat dengan oshi-nya dengan membeli poster atau CD yang semakin

banyak jumlahnya. Selain itu, fans juga datang ke beberapa acara yang

bisa membuatnya bertemu dengan oshi, baik itu konser sehari-hari di

gedung teater atau konser merayakan ulang tahun. Fans mulai tidak

peduli dengan berapa harga yang dihabiskan dan segala konsekuensi

lingkungan untuk bisa merealisasikan keinginannya tersebut, sehingga

mereka kemudian cenderung terlihat seperti tidak mengetahui fungsi

dari apa yang diinginkan.

e) Fetishistic Murderers. Fans rela membunuh, bahkan memutilasi oshi.

Tingkatan fetisisme digunakan untuk memudahkan melihat bagaimana

proses perkembangan fans yang kemudian mengarah pada fetis. Tingkatan

tersebut tentunya juga melalui prosedur dari pemenuhan aspek kebutuhan,

yang secara khusus telah menempatkan satu kebutuhan dari penyebab fetis,

sebagai kebutuhan yang utama. Maka, melalui hirarki kebutuhan Maslow


28
 

(1988, h. 39), mestinya fans akan memenuhi empat kebutuhan utama sebelum

masuk pada kebutuhan aktualisasi diri dalam memberikan dukungannya pada

JKT48. Tetapi, cerita dalam film dokumenter ini, kebutuhan aktualisasi diri

terlihat paling ditekankan oleh fans, sehingga terlihat begitu mendominasi

ketimbang kebutuhan lainnya.

F. METODOLOGI PENELITIAN

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini merupakan analisis isi kualitatif. Kriyantono (2008, h. 249)

menjelaskan bahwa analisis isi kualitatif berfokus pada isi komunikasi yang

tersurat, sehingga tidak dapat digunakan untuk mengetahui isi komunikasi

yang tersirat. Secara teknik, analisis isi mencakup upaya-upaya, klasifikasi

lambang-lambang yang dipakai dalam komunikasi, menggunakan kriteria

dalam klasifikasi, dan menggunakan teknik analisis tertentu dalam membuat

prediksi (Bungin, 2012, h. 84-85).

2. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah film dokumenter berjudul “Idolaku, Jiwa Ragaku”

yang dirilis pada tahun 2014.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dokumentasi.

Dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan

untuk menelusuri data historis. Sejumlah data dan fakta tersimpan dalam bahan

yang berbentuk dokumentasi dan bersifat tak terbatas pada ruang dan waktu,
29
 

sehingga memberi ruang pada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah

terjadi di waktu silam (Bungin, 2007, h. 121).

Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah film

dokumenter “Idolaku, Jiwa Ragaku” yang dirilis pada tahun 2014. Fokus

penelitian ini adalah pada kehidupan dua orang fans yakni Sandy dan Emil,

yang dihadapkan pada permasalahan dalam keluarga masing-masing, yakni

Sandy dan ibunya, serta Emil dan istrinya. Tetapi, sekuen pertama tidak

digunakan sebagai objek penelitian karena masih belum masuk kepada fokus

penceritaan, yakni tentang kegiatan Sandy dan Emil sebagai fans JKT48.

Film ini pernah diputar di sebuah program acara bernama Eagle

Awards Documentary Competition (EADC) yang ditayangkan di Metro TV

dan juga bisa didapatkan dari situs youtube.com dari akun bernama Vincentius

Kresna Bayu yang sering mengunggah video-video terkait JKT48. Sedangkan

data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah literatur yang

memiliki relevansi dengan topik penelitian yang didapatkan melalui buku.

4. Metode Analisis

Teknik analisis yang akan digunakan adalah semiotika. Semiotika dipilih

karena kajian ini dinilai mampu memberi ruang bagi sang peneliti untuk

membongkar “pesan tersembunyi” dalam film (Irawanto, 1999, h. vii).

Langkah awal analisis adalah dengan membagi film berdasarkan

sekuen-sekuen. Di dalam film dokumenter ini terdapat dua orang fans yang

masing-masingnya diceritakan secara berbeda, khususnya dengan alur

Sandy-Emil yang diceritakan secara berganti-gantian. Setiap penceritaan


30
 

panjang fans tentunya memiliki kesesuaian tema, yang kemudian akan berubah

ketika memasuki cerita dari fans yang lain. Kesesuaian tema pada penceritaan

dari setiap fans itulah yang dilihat oleh peneliti dalam membagi film ini

berdasarkan sekuen. Sedangkan metode analisis semiotika Charles S. Peirce

digunakan untuk menjelaskan bagaimana proses semiosis dalam struktur

triadik di dalam film dokumenter “Idolaku Jiwa Ragaku”. Sehingga, semiotika

Peirce dengan konsep ikon, indeks dan simbolnya dapat memberikan

penjelasan yang detail dengan objek penelitian ini.

Analisis pada sekuen dilakukan dengan bantuan teori segitiga makna

atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign/

representamen), objek, dan interpretan. Representamen adalah bagian tanda

yang dapat dipersepsi indera yang merujuk pada suatu yang diwakili olehnya

yang disebut dengan objek. Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat

representatif, yaitu tanda adalah “sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain”.

Kemudian interpretan adalah interpretasi yang lebih luas dari proses penafsiran

hubungan antara representemen dengan objek. Oleh karena itu, bagi Peirce

tanda tidak hanya representatif namun juga interpretatif.

Di dalam melihat proses interpretasi, Peirce membedakan tiga jenis

tanda yang mungkin ada. (1) Hubungan antara tanda dan acuannya dapat

berupa hubungan kemiripan; tanda itu disebut ikon. (2) Hubungan ini dapat

timbul karena ada kedekatan eksistensi; tanda itu didebut indeks. (3) akhirnya

hubungan itu dapat pula merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara

konvensional; tanda itu adalah simbol (Sudjiman dan Zoest, 1992, h. 8-9).
31
 

Sedangkan acuan bagi tanda ini disebut objek. Objek merupakan konteks sosial

yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk oleh tanda.

Interpretan atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang

menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makan

yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk oleh sebuah tanda.

Hal terpenting dalam proses signifikasi adalah bagaimana makna muncul dari

sebuah tanda ketika tanda tersebut digunakan dalam proses berkomunikasi. Di

dalam proses pemaknaannya, peneliti menggunakan data dan informasi dari

beberapa referensi seperti buku, artikel, maupun jurnal. Melalui cara ini

peneliti ingin menjaga agar hasil penelitian ini menjadi tidak begitu subjektif.

Menggunakan metode Peirce bertujuan untuk mengetahui tanda-tanda

yang direpresentasikan oleh film, dan dengan metode triadiknya, Peirce dapat

melakukan identifikasi tanda sampai pada 66 jenis. Peneliti membatasi struktur

triadik tanda dalam representamen, objek, dan interpretan. Maka, untuk dapat

menganalisis struktur triadiknya, peneliti akan melakukan beberapa hal

sebagai berikut:

a) Melihat beberapa tanda yang dominan di dalam setiap sekuen sehingga

kemudian dapat dikategorikan sebagai representamen.

b) Menghubungkan representamen dengan konteks sosial dengan tidak

menutup kemungkinan menggunakan referensi lain untuk

mendapatkan objek yang cenderung lebih relevan dengan realitanya.

c) Menghubungkan representamen dan objek untuk menafsirkan makna

yang ada dibalik tanda tersebut.


32
 

Selanjutnya, untuk melakukan analisis secara keseluruhan pada film

dokumenter ini, peneliti akan melakukan tahapan-tahapan sebagai berikut:

a) Membuat anatomi film untuk melihat keseluruhan data yang akan

digunakan sebagai dasar dari penelitian.

b) Membagi film berdasarkan beberapa sekuen. Hal ini dilakukan dengan

mengamati secara teliti kemudian mengidentifikasi sekuen-sekuen

yang berkaitan dengan topik penelitian yakni konsep fetisisme

komoditas pada seorang fans.

c) Melihat signifikansi terkait makna yang berkaitan dengan konsep

fetisisme komoditas di balik tanda-tanda yang muncul dalam setiap

sekuen yang telah dipilih.

d) Menentukan dan menganalisis struktur triadik yakni representamen,

objek, dan interpretan dari setiap sekuen yang sudah dipilih.

e) Hasil analisis tersebut akan menjadi dasar dalam analisis untuk

selanjutnya dikombinasikan dengan data sekunder yakni literatur yang

relevan dengan fetisisme komoditas fans.

5. Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan dibagi dalam empat bagian sesuai dengan isi pada

masing-masing bab. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing bagian:

a) Bab I adalah pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, dan

metodologi penelitian.
33
 

b) Bab II adalah deksripsi objek penelitian yang berisi penjelasasn secara

umum mengenai film dokumenter “Idolaku, Jiwa Ragaku”.

c) Bab III adalah pembahasan yang berisi mengenai temuan data dan

analisis yang dilakukan oleh penulis dengan menggunakan teori serta

literatur yang ada.

d) Bab IV adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran.


BAB II

DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai objek dalam penelitian, yakni

tentang Film Dokumenter “Idolaku, Jiwa Ragaku”, Eagle Awards, serta JKT48

dan fans-nya.

A. Sinopsis Film Idolaku Jiwa Ragaku

Film dokumenter Idolaku Jiwa Ragaku bercerita tentang dua orang fans

JKT48 domisili Jakarta Timur yang berstatus sebagai mahasiswa dan pekerja.

Narasi mereka menjelaskan tentang bagaimana asyiknya menjadi fans dari grup

tersebut, dan detail tentang apa yang mereka lakukan. Tetapi di dalam realitasnya,

mereka juga punya orang-orang terdekat yang seringkali tidak mengerti tentang

hobi ini. Maka, yang terjadi adalah keluarga terdekat cenderung melihat ada

ketidaklaziman kepada cara mereka yang begitu berlebihan dalam memberikan

dukungan dan perhatian. Kedua fans tersebut, selain melakukan konsumsi

barang-barang JKT48, secara personal mereka juga punya seorang oshi (idola)

yang terus didukung supaya bisa tetap eksis menjadi personil JKT48. Dan

dukungan tersebut, ternyata juga membutuhkan banyak sekali konsumsi yang

mereka sadari sebagai hobi. Setiap personal di antara kedua fans tersebut, memiliki

argumen masing-masing untuk mencoba menjelaskan bagaimana cara mereka

mencintai idolanya.
35
 

B. Sekilas Film “Idolaku, Jiwa Ragaku”

Film dokumenter ini memiliki durasi selama 19.51 menit. Di bawah label

Eagle Awards Documentary Competition, film ini adalah satu-satunya yang

menceritakan tentang fans dari ratusan film lainnya, dan ditayangkan oleh Metro

TV pada 18 April 2014, pukul 21.30 WIB. Film dokumenter ini telah diunggah

oleh Vincentius Kresna Bayu di youtube.com sehingga akses untuk menontonnya

cenderung lebih mudah.

Di saluran youtube, film ini tidak begitu mendapatkan perhatian khusus

diantara para penikmat film, khususnya film dokumenter. Tetapi, film ini adalah

satu-satunya dokumenter yang menggambarkan tentang fans yang mengidolakan

JKT48, tanpa melibatkan JKT48 sebagai narasumber yang dimunculkan dalam

cerita. Di Indonesia sendiri, terdapat beberapa judul film dokumenter lain yang

menceritakan kisah para musisi, yakni: Kantata Takwa, Anak Naga Beranak Naga,

Marching Menuju Maut, Jalanan, Hiphopdiningrat, Bising, Generasi Menolak

Tua, Kemarin Hari Ini dan Selamanya – Rock Together, All Ages Party, hingga

Berdansa Bersama Shaggy Dog (Nismara, 2015). Dari sepuluh judul film

tersebut, belum ada yang menceritakan murni kehidupan fans secara mendalam

tanpa memunculkan para idolanya. Satu-satunya film yang menceritakan tentang

fans musik Indonesia, tentunya selain film dokumenter “Idolaku, Jiwa Ragaku”,

adalah film non-dokumenter berjudul “Kamulah Satu-satunya”. Film yang

ditayangkan pada tahun 2007 tersebut berkisah tentang kecintaan seorang fans

pada idolanya yakni Dewa 19.


36
 

Film “Idolaku, Jiwa Ragaku” menceritakan tentang bagaimana idola dapat

memberi beragam efek bagi fans, baik yang sekilas terlihat positif atau pun yang

negatif. Melalui sekuen pembuka film dokumenter ini, terlihat ada beberapa fans

yang memberikan tanggapan tentang JKT48, melakukan wotagei, bahkan

memberikan chant. 

Setelah itu, film ini masuk pada fokus dua orang fans. Sandy, seorang

remaja 19 tahun yang sempat harus berkonflik dengan orangtua demi menuruti

keinginan untuk berdekatan dengan idola. Emil, seorang ayah berusia lebih dari

40 tahun memutuskan untuk pergi ke Jepang hanya dalam waktu dua hari demi

melihat idolanya beraksi di panggung kali terakhir. Ini tentu hanya dapat dilakukan

bagi fans yang memiliki kemampuan ekonomi cukup. Perbedaan latar belakang

antara kedua fans memberikan suatu gambaran tentang fans JKT48.

C. Tim Produksi Film

Director: Endang Prihatin


Cameraman: Andika Kurniawan, Arswendo Afrian
Editor: Aris Tyo Nugros
Executive Producer: Kioen Moe
Producer: Endah Wahyu S
Line Producer: Weldy Handoko, Syahrir Akbar, Aprilliani Laras Shinta
Production Assistant: Muhammad Rhazes, Angga Alfa Utara
Administration: Tria Handaning
37
 

D. Sekilas tentang Eagle Awards

Setiap satu tahun sekali, terdapat salah satu ajang film nasional yang cukup

menarik perhatian karena sering melahirkan documentary film maker yang

berkualitas. Kompetisi ini dikenal dengan nama Eagle Awards Documentary

Competition. Eagle Awards Documentary Competition ini tertuju pada program

pelatihan, produksi, dan kompetisi dokumenter yang secara khusus ditujukan bagi

pemula. Salah satu tujuan diadakannya kompetisi ini adalah untuk mendorong

kemajuan industri film dokumenter Indonesia dengan menghasilkan sineas muda

dokumenter (Merina, 2015).

Setelah film Eagle Awards selesai diproduksi dan diperlombakan, maka

bukan berarti Eagle Awards telah selesai. MetroTV sebagai pihak penyelenggara

mempunyai komitmen dalam mendistribusikan film yang telah selesai ini ke

berbagai festival nasional dan internasional (About EADC, n.d.). Untuk nasional,

salah satu film dari Eagle Awards yang sudah dikenal yaitu “Gorila dari Gang

Buntu” yang mendapat kategori Film Dokumenter Pendek terbaik di Festival Film

Dokumenter 2009. Selain itu, salah satu festival internasional yang diikuti oleh

Eagle Awards adalah Balinale Internasional Film Festival 2008. Dalam festival ini

diputar 5 film Eagle Awards produksi tahun 2007 dan 2008 yaitu Kepala

Sekolahku Pemulung, Buah Yang Menunggu Mati, Helper Hongkong Ngampus,

Pulau Bangka Menangis dan Prahara Tsunami Bertabur Bakau.


38
 

E. Tentang JKT48

Pada era tahun 2000, grup vokal dari Asia mulai memasuki industri musik.

Jepang telah mengawali hal tersebut, tetapi mulai masuk tahun 2009, Korean Wave

masuk dan membuat dunia menyoroti hal itu. Sebagai kumpulan penyanyi yang

sudah cukup lama menguasai grup idola di Jepang, manajemen AKB48 membuat

sebuah proyek 48 yang dibuat di beberapa negara lain. Mereka melihat Indonesia

memiliki potensi dalam pembuatan ini, sehingga lahirlah JKT48.

Pembentukan JKT48 pertama kali diumumkan pada 11 September 2011 di

sebuah acara AKB48 yang diadakan di Makuhari Messe di Chiba. Wawancara

untuk peserta berlangsung pada akhir bulan September, dengan audisi final untuk

finalis pada 8 Oktober 2011 - 9 Oktober 2011. Dari 1.200 orang pelamar yang

diwawancara, 51 pelamar lolos seleksi tahap kedua. Audisi tahap akhir

berlangsung pada 2 November 2011. Setelah disaring kembali melalui tes menari

"Heavy Rotation" dan menyanyikan lagu favorit, 28 orang peserta dinyatakan

diterima. Produser Yasushi Akimoto datang ke Jakarta untuk melakukan seleksi.

Ketika ditanya mengenai standar seleksi, Akimoto berkata: "Mengenai pemilihan

anggota, ciri-ciri khas lokal tidak dijadikan bahan pertimbangan. Kami

berpendapat bahwa pesona dari anak perempuan yang dapat kami dirasakan, di

negara mana pun memiliki kesamaan. Kami memilih dengan lebih mementingkan

kepribadian, sambil juga mempertimbangkan, kalau saja ada teman sekelas seperti

anak ini, alangkah bagusnya” (Apa Itu JKT48, n.d.).

Generasi pertama diperkenalkan pada 3 November 2011. Di antara 28

personil, ada salah satu personil yang berasal dari Jepang yang bernama Rena
39
 

Nozawa yang tinggal di Jakarta. Setelah itu, Produser Yasushi Akimoto juga

mengatakan JKT48 akan menjadi jembatan persahabatan antara Indonesia dan

Jepang.

Seluruh personil JKT48 berdedikasi tinggi terhadap kegiatan mereka.

Tidak hanya menyanyi dan menari, namun juga bakat atau penampilan lainnya.

AKB48 dapat sukses karena “tumbuh bersama fans” sehingga mereka dapat

mencapai posisi seperti saat ini (Apa itu JKT48, n.d.). Hal ini terbukti dengan

munculnya banyak fans dari berbagai daerah yang membuat opini publik atau

pembicaraan tentang JKT48 mempunyai potensi untuk menguatkan eksistensi

tentang grup idola ini. Dari setiap konser grup idola ini, khalayak luas akan

mengenali fans JKT48 melalui event yang difungsikan untuk bertegur sapa antara

fans dan idola, yakni handshake event.

1. Tim JKT48 dan Golden Rules

JKT48 memiliki tiga tim utama dengan dua tim Trainee yang belum

menjadi personil tetap. Perubahan daftar personil, bahkan subtitusi personil

antar tim maupun dengan AKB48, tidak tertulis secara khusus di situs

resminya. Adapun data para personil dapat dilihat secara lebih jelas, yakni:

General Manager : Melody Nurramdhani Laksani (Personil Tim J)

Tim J : 20 personil (Kapten: Shania Jhunianata)

Tim K : 18 personil (Kapten: Devi Kinal Putri, sebelumnya kapten Tim J)

Tim T : 18 personil (Kapten: Haruka Nakagawa, sebelumnya dari AKB48)


40
 

Trainee Gen 3 : 5 personil.

Trainee Gen 4 : 10 personil.

Berbeda dari artis-artis lainnya, grup idola ini menggunakan

beberapa peraturan tertentu yang disebut sebagai Golden Rules.

Peraturan-peraturan ini jika dilangga akan berakibat pada beberapa hal

seperti pemindahan personil ke tim lain, penurunan posisi, atau bahkan

dikeluarkan langsung. Aturan ini pada awalnya dibuat oleh Yasushi

Akimoto untuk grup idola bernama “Onyanko Club” yang pertama kali ia

bentuk pada tahun 1985. Aturan-aturan tersebut terus dipegang hingga saat

ini, dan harus dijalankan oleh AKB48, JKT48, SKE48, dan semua grup

idola yang bernaung di bawah 48 family. Peraturan tersebut dapat dilihat

sebagai berikut (Golden Rules, n.d.):

a) Dilarang untuk pergi ke diskotik dan tempat hiburan malam

lainnya.

b) Dilarang memberi tanda tangan dalam bentuk apapun, kecuali

untuk produk-produk tertentu yang dijual oleh manajemen resmi.

c) Dilarang minum-minuman beralkohol dan merokok.

d) Tidak boleh berpacaran.

e) Saat pergi ke pantai, harus ada orang lain yang menemani untuk

bertindak sebagai “guardian”.

f) Mengutamakan sekolah.
41
 

g) Tidak terlalu banyak memakai make-up dan tidak memakai pakaian

yang bisa menimbulkan skandal publik.

2. Jenis fans JKT48 dan Istilah-istilahnya

JKT48 telah hadir selama lima tahun di Indonesia dan semakin

menjaring banyak fans. Beranggotakan para perempuan muda dan cantik,

JKT48 tidak perlu menunggu waktu lama untuk segera populer. Konser

yang secara reguler digelar di FX Sudirman, selalu dipenuhi oleh fans.

Melalui berbagai penampilannya di acara yang digelar di luar kota, juga

menunjukkan bahwa fans grup idola ini merata di Indonesia. Fenomena

JKT48 ini sampai melahirkan kultur tersendiri di kalangan fans. Kultur ini

memunculkan istilah-istilah tersendiri yang digunakan untuk menyebut

beberapa fans dengan perilaku tertentu. Adapun hal tersebut dapat dilihat

sebagai berikut (Alpito, 2014):

a) VVOTA (dibaca WOTA)

Istilah VVOTA seringkali ditujukan untuk para fans grup idola di

Jepang yang berada pada status over dossis fans. VVOTA biasanya

disebut untuk mereka yang setia membeli apapun yang terkait

dengan idolanya, serta mendatangi acara di mana pun idolanya

tampil. Tapi perlahan ada anggapan negatif dalam istilah ini, seperti

dianggap irasional, freak, atau nerd.

Mereka juga dapat dianggap sebagai individu yang sangat

berdedikasi tinggi terhadap hobinya dan tidak akan ragu


42
 

mengorbankan apa yang ia keluarkan, baik berupa uang maupun

energi, untuk datang menemui idola mereka. Istilah ini berasal dari

kata Ota (yang disingkat dari kata Otaku), dimana awalnya

digunakan untuk mereka para fans anime maupun manga, tetapi

bergeser menjadi secara khusus hanya untuk grup idola di Jepang

saja (Tsutsui, 2008, h.12). Istilah ini masuk ke Indonesia, ketika

JKT48 sudah mulai populer.

b) Zombie

Istilah ini muncul di kalangan fans JKT48 untuk menyebut mereka

yang rela menghabiskan waktu untuk menguntit para personel

JKT48. Bahkan, menunggu hingga larut malam di teater demi

melihat sang idola. Mereka rela menunggu sampai tengah malam,

kadang sampai diusir-usir satpam, hanya untuk mengikuti

pergerakan idolanya. Istilah ini hanya digunakan di Indonesia dan

muncul dari kalangan fans JKT48.

c) Sky Man

Istilah Sky Man ditujukan untuk fans yang konon telah memiliki

relasi pertemanan dengan personil. Sampai saat ini, belum ada fans

yang secara nyata pernah melakukan verifikasi di media massa

terkait dengan relasi tersebut.

d) Fans Far
43
 

Sebutan ini merujuk pada domisili fans yang jauh dari pusat

kegiatan JKT48 di Jakarta Selatan. Mereka memiliki akses lebih

untuk mendapat tempat duduk dengan posisi yang cukup dekat dari

panggung utama JKT48 di dalam teater. Hal itu dilakukan lebih

untuk menghargai perjuangannya yang datang dari jauh.

Selain beberapa jenis fans di atas, masih ada beberapa istilah yang

digunakan oleh fans JKT48. Beberapa istilah tersebut antara lain (Mikail,

2014):

a) Wotagei: Tarian/ gerakan dari fans saat menonton idolanya.

b) Chant: Sorakan khas fans grup idola yang terlihat pada lagu

tertentu ketika fans sedang menonton konsernya.

c) Oshi: Personil yang sangat didukung dari berbagai pandangan

manapun. Mengingat ada kemungkinan bahwa fans tidak hanya

menyukai satu member saja, satu yang paling didukung disebut

sebagai oshi.

d) Oshihen: Waktu dimana fans mengubah oshi-nya.

e) Senbatsu Sousenkyo: JKT48 rutin menggelar senbatsu sousenkyo

sekali setahun yang bertujuan memberi kesempatan bagi fans untuk

menentukan sendiri personil JKT48 melalui voting. Personil yang

terpilih akan muncul di video klip atau lagu terbaru yang akan

dirilis.
44
 

f) Kami-7: Istilah ini berarti “Tuhan” dalam bahasa Jepang, dan

digunakan bagi para personil yang peringkat popularitasnya terus

bertahan.

g) Graduate/Graduated: lulus dari grup idola. Hal ini bisa terjadi

karena seorang personil memang dikeluarkan oleh manajemen

terkait kasus tertentu, atau memutuskan sendiri secara personal

untuk keluar dari grup.


BAB III

TEMUAN DATA DAN PEMBAHASAN

A. TEMUAN DATA

Dari setiap sekuen yang sudah diklasifikasi oleh peneliti, didapatkan data

durasi total film ini yakni 20.04 menit, dan durasi dari tiap sekuen sebagai berikut:

TABEL 1
Anatomi Film Dokumenter Idolaku Jiwa Ragaku

Sekuen Durasi (menit) Sekuen Durasi (menit)


IKLAN 0.12 7 0.5
1 0.57 8 1.53
2 2.25 9 0.56
3 1.12 10 1.48
4 1.36 IKLAN 0.5
IKLAN 0.5 11 2
5 1.52 12 2.43
6 1.07 IKLAN 0.13
Jumlah durasi iklan 0.35
Jumlah durasi film (tanpa iklan) 19.29

Penelitian ini akan membagi film berdasarkan sekuen, mengingat bahwa

film dokumenter ini memiliki rangkaian cerita dengan segmen-segmen besar yang

memperlihatkan satu rangkaian peristiwa utuh. Artinya, tidak dipungkiri bahwa di

dalam sekuen ini terdapat adegan-adegan dengan segmen yang pendek, dan shot

sebagai gambar yang utuh. Sehingga, peneliti kemudian melakukan pembagian

pada 12 sekuen, beserta judul-judulnya, yakni:


46
 

TABEL 2
Pembagian Sekuen Film Dokumenter Idolaku Jiwa Ragaku

No. Judul Sekuen Penjelasan Singkat


menggambarkan gerakan yel-yel yang
dilakukan oleh para wota, tanggapan
1. PEMBUKAAN FILM orang-orang tentang J-Pop, dan ditutup
dengan gambaran aksi panggung JKT 48 di
dalam teater JKT 48 Theater.
menggambarkan situasi Jakarta Timur,
cerita singkat Sandy sebagai fans JKT 48,
2. PERKENALAN SANDY
dan kedatangan teman-teman fans lain ke
rumahnya.
bercerita tentang kegiatan Sandy dari sudut
pandang ibunya, dan pernyataan singkat
3. PENGORBANAN SANDY
Sandy dalam penggunaan biaya untuk JKT
48.
menggambarkan situasi Jakarta Pusat,
4. PERKENALAN EMIL cerita singkat Sandy sebagai fans JKT 48,
dan situasi tempat kerja Emil.
bercerita tentang oshimen Emil, keinginan
Emil untuk menonton konser AKB 48 di
5. PENGORBANAN EMIL Jepang, dan pernyataan Emil tentang
menjaga hobinya sebagai fans terkait
komunikasinya dengan keluarga.
bercerita tentang merchandise-merchandise
KOLEKSI yang mereka miliki, yakni CD, kaos, kipas,
6.
BARANG-BARANG FANS dan poster. Di sini Emil juga memiliki
merchandise dari AKB 48.
bercerita tentang perbedaan selera musik
HUBUNGAN EMIL DAN antara Emil dan istrinya, dan usaha Emil
7.
ISTRI untuk menjelaskan kepada istrinya tentang
kegiatannya sebagai fans JKT 48.
bercerita tentang konflik antara Sandy dan
ibunya, usaha Sandy untuk dapat membeli
HUBUNGAN SANDY DAN
8. tiket konser, dan usaha Sandy untuk
IBU
menjelaskan kepada ibunya tentang
kegiatannya sebagai fans JKT 48.
DUNIA FANS DAN bercerita lebih lanjut tentang usaha Emil
9.
KELUARGA dalam memperkenalkan hobi pada istrinya
47
 

tentang kegiatan sebagai fans yang


mendukung JKT48.
HUBUNGAN EMIL DAN bercerita tentang kecintaan Emil pada AKB
10.
OSHIMEN 48 dan para artis musik Jepang lainnya.
bercerita tentang prioritas dalam
HUBUNGAN SANDY DAN
11. mengeluarkan biaya untuk mendukung oshi
OSHIMEN
dan tanggapan ibunya terkait hal tersebut.
bercerita tentang faktor mereka untuk
BERTAHAN SEBAGAI
12. mencintai idolanya sehingga terus bertahan
FANS
sebagai fans JKT 48.

Pada penelitian ini, sekuen pertama tidak digunakan karena hanya

menampilkan tanggapan-tanggapan orang soal J-Pop dan JKT48 secara sekilas.

Selain itu, di dalam sekuen tersebut juga belum terlihat fokus dua orang fans yakni

Sandy dan Emil sebagai tokoh yang akan diceritakan. Sehingga, ada 11 interpretan

saja yang digunakan dengan tidak memasukkan sekuen pertama sebagai objek

kajian. Menurut John Grierson, (dalam Kusen, 2009 ) dijelaskan bahwa film

dokumenter merupakan sebuah perlakuan kreatif terhadap kejadian-kejadian

aktual yang ada (the creative treatment of actuality). Kejadian aktual tentunya

bukan mengarah pada pengertian fiksi atau dibuat-buat, bahkan hal tersebut tentu

mengarah pada suatu peristiwa yang memang ada secara nyata. Maka, tidak seperti

film fiksi, film dokumenter tidak memiliki plot namun memiliki struktur yang

umumnya didasarkan oleh tema atau argumen dari objek. Hal tersebut sama

dengan yang disampaikan oleh Pratista (2008, h. 4) yang mengatakan bahwa

sejatinya struktur bertutur film dokumenter umumnya sederhana dengan tujuan

agar memudahkan penonton untuk memahami dan mempercayai fakta-fakta yang

disajikan. Selanjutnya, ia juga mengatakan bahwa film dokumenter dapat


48
 

digunakan untuk berbagai macam maksud dan tujuan seperti: informasi atau berita,

biografi, pengetahuan, pendidikan, sosial, ekonomi, politik (propaganda), dan lain

sebagainya.

Dalam menyajikan faktanya, film dokumenter dapat menggunakan

beberapa metode. Film dokumenter dapat merekam langsung pada saat peristiwa

tersebut benar-benar terjadi. Produksi film dokumenter dapat dibuat dalam waktu

yang singkat, hingga berbulan-bulan, serta bertahun-tahun lamanya. Film

dokumenter juga memiliki beberapa teknis khusus dengan tujuan utamanya untuk

mendapatkan kemudahan, kecepatan, fleksibilitas, efektifitas, serta otentitas

peristiwa yang akan direkam. Umumnya film dokumenter memiliki bentuk

sederhana dan jarang sekali menggunakan efek visual (Pratista, 2008: 5).

Berdasarkan unsurnya, film dokumenter memiliki dua unsur yakni naratif dan

sinematik. Di dalam unsur naratif, mengingat bahwa film dokumenter perlu

memiliki sifat unik dan menarik untuk menceritakan dunia nyata, narasi yang

muncul di dalam film menjadi aspek yang tidak kalah penting dengan visualnya

(Rabiger, 2009, h. 8). Maka, demikian pula yang terdapat di dalam film

dokumenter “Idolaku, Jiwa Ragaku”. Narasi digunakan sebagai penegas dari

analisis yang dilakukan oleh peneliti setelah melihat pada visualnya.

1. Analisis Anatomi Film “Idolaku, Jiwa Ragaku”

Film dokumenter berjudul “Idolaku, Jiwa Ragaku” terdiri dari 12

sekuen, 40 scene, dan 191 shot. Sedangkan analisis struktur triadik yang

dilakukan pada film dokumenter ini dilakukan pada masing-masing


49
 

sekuen. Berikut ini adalah analisis struktur triadik pada masing-masing

sekuen tersebut.

a) Sekuen-2: Perkenalan Sandy

GAMBAR 1
Sekuen-2: Perkenalan Sandy

Sumber: Film Dokumenter “Idolaku, Jiwa Ragaku”

Representamen Scene 4-5


CD JKT 48 sejumlah empat buah di atas meja, poster
bergambar member JKT 48, majalah bergambar seorang
member JKT 48, dan juga spanduk bertuliskan “JKT 48 Fans
50
 

Regional Jaktim” yang dipasang di dinding kamarnya. Di


dalam kamarnya tersebut, ia didatangi oleh teman-temannya
dari JKT 48 Fans Regional Jaktim.

Narasi Sandy:
Scene 5
(Shot 5-6) Nama saya Sandy, umur saya 19.
(Shot 7-8) Saya suka sekali sama JKT48. Saya juga JKT48
dibandingkan dengan yang lain karena mereka itu unik.
Tampil, rame-rame, di atas panggung. Ya, jadi daya tarik
tersendiri buat saya. Sampai sekarang mengikuti
perkembangan mereka, ya begitu. Jadi, ya lebih deketlah.
Ada event-event mereka yang membuat lebih dekat sama
fansnya.
(Shot 9) Perbincangan antara fans JKT48 (1) dan Sandy (S):
1: Hoi San/ S: Yo./ 1: Jadi nggak ke teater?/ S: Jadilah./ 1:
Ayolah (sambil menatap Sandy)./
1 dan S: Ayo masuk, masuk-masuk (mengajak orang-orang
lain untuk masuk ke kamarnya./
1: Langsung?/ S: Tunggu nanti dulu dong, gua belum mandi./
Suara dari salah satu fans: Aduuh. Mandi lah, mau ketemu
oshi juga. Kebiasaan, anak ini.
(Shot 11) Suara Adzan Ashar

Scene 6
Mereka bersiap-siap dan bergegas keluar dari ruangan itu.
Selanjutnya, Sandy hanya ditemani oleh salah satu fans saja
untuk berangkat ke JKT 48 Theater.

Narasi Sandy:
51
 

(Shot 12-16) Waktu itu nonton teater ya. Waiting list dari
jam 7 pagi. Cuma mau liat penampilan oshimen, ulang tahun
di teater hari itu, gitu. Saya berusaha untuk masuk, apapun
yang terjadi hari itu, harus masuk ke teater. Menyaksikan itu,
oshi saya ulang tahun, dirayain di teater hari itu.
Objek Kebersamaan untuk saling menemani.
Interpretan Dukungan persahabatan sebagai sesama fans JKT 48.

Di dalam suatu komunitas, kebersamaan diwujudkan melalui


kegiatan diskusi, sharing, atau hanya sekedar kumpul
bersama. Pada komunitas fans artis idola, kebersamaan
mereka terlihat saat mereka saling menemani untuk
menyaksikan konser idolanya.
Kehadiran teman-teman yang menemani Sandy pada sekuen
ini, terlihat sebagai gambaran dari suatu dukungan sosial.
Menurut Sarafino (2006, h. 71), dukungan sosial mengacu
pada kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan
yang diberikan orang lain atau kelompok pada individu.
Secara lebih khusus, lanjutnya, dukungan yang berupa
adanya kebersamaan, kesediaan, dan aktivitas sosial yang
sama, dapat dikatakan sebagai dukungan persahabatan. Hal
ini bisa dilihat dari adegan ke-5, ketika komunitas Sandy
berkumpul terlebih dahulu di kamarnya, sebelum ia
menonton konser JKT 48. Teguran kepada Sandy untuk
segera mandi, dalam adegan tersebut, merupakan bentuk
perhatian pada Sandy dengan cara mengingatkan. Tidak
hanya pada berkumpul dan mengingatkan, hadirnya seorang
teman yang menemani Sandy berjalan ke konser JKT 48
merupakan gambaran dari dukungan persahabatan.
52
 

b) Sekuen-3: Pengorbanan Sandy

GAMBAR 2
Sekuen-3: Pengorbanan Sandy

Sumber: Film Dokumenter “Idolaku, Jiwa Ragaku”

Representamen Scene 7-8


Sandy dan temannya menggunakan bus sebagai transportasi
untuk melakukan perjalanan ke JKT 48 Theater. Ibu Sandy
sebagai orang tua seorang fans JKT 48 memberi tanggapan
tentang Sandy.

Narasi Mulyati:
Scene 7
(Shot 1-3) Emang gitu dia orangnya. Kalau pulang itu,
(mencoba menirukan ungkapan Sandy): “Makan”, katanya.
Emang nggak makan tadi? “Nggak”, katanya. Itu sampe
53
 

demi begitu-begitu itu. Kalau sampai malem banget, dia


bilang itu katanya, “Udah sih, udah makan. Makan sekali”.
(Shot 4-8) Ya Allaaaaah, lu sampe gini-gini bangeeeet ini.
“Ya udah, orang ini doang, sampe nahan-nahan laper”,
Mulyati menirukan ungkapan Sandy. Yaudah, bukan kenape.
Ada duitnya. Dia kan karena saking ininya, apa gimana aku
juga kagak tau kan, orang tua. Nggak tau dia begini-begini
di luar. Yaa, gitu aja.

Narasi Sandy:
Scene 8
(Shot 12-14) Biaya yang dipakai buat ngidol ini, ya nggak
kehitung juga sih. Ya soalnya kan saya dukung, nggak terlalu
sering. Ya, saya juga tau mana yang lebih penting. Saya
prioritaskan itu.
Objek Efisiensi pengeluaran dalam merealisasikan keinginan.
Interpretan Konsekuensi menjadi fans JKT 48 yang aktif.

Efisiensi biaya pengeluaran seseorang akan ditentukan


berdasarkan kebutuhan hidup primer, sekunder, dan tersier.
Seseorang mengeluarkan biaya untuk hal yang dibutuhkan
menurut skala kebutuhan tersebut. Narasi dari Mulyati yang
muncul pada adegan ke-7, mengindikasikan bahwa menukar
“makan” dengan “menonton konser JKT 48” sebagai
kebutuhan primer nya. Sedangkan melalui narasi pada
adegan ke-8, mengindikasikan bahwa Sandy menyadari
bagaimana ia memenuhi kebutuhannya tersebut. Di dalam
hal ini dapat dimaknai bahwa Sandy menyadari konsekuensi
finansial yang dihadapi untuk menjadi fans JKT 48 yang
aktif.
54
 

c) Sekuen-4: Perkenalan Emil

GAMBAR 3
Sekuen-4: Perkenalan Emil

10

11

12
55
 

13

Sumber: Film Dokumenter “Idolaku, Jiwa Ragaku”

Representamen Scene 10-12


Emil adalah seorang pekerja berusia diatas 40 tahun. Selain
berdiskusi dengan rekannya, di dalam ruangan tersebut, ia
juga memperlihatkan empat buah majalah yang dari
covernya terlihat gambar sekumpulan perempuan yakni JKT
48.

Narasi Emil:
Scene 10
(Shot 3-5) Namaku Emil. Biasa kalau diantara fans, aku
dipanggil E-C-W-X. Eeee, idol E-C-W-X, atau bang Emil,
atau bang Em. Apapun lah.
(Shot 6-7) Usia udah di atas 40. Pekerjaan aku IT.
Scene 12
(Shot 10-12) Pada saat saya terjun di JKT48 memang ada
beberapa fans yang kayak ngejekin saya, “Wuu..udah tua
masih ngidol aja sih? Emang lo nggak ada kerjaan lain?”.
(Shot 13-15) Ooh men. Istilahnya, santai aja deh gitu.
Maksudnya, apasih, kayak doraemon. Doraemon orang udah
tua juga masih seneng aja nonton doraemon gitu lho. That’s
hiburan.
(Shot 16-18) Aku sih nggak terlalu ambil pusing. Just having
fun gitu lho. Ada yang ngeledekin, ada banget, ada banget.
Kalau temen-temen aku sih nggak. Tapi, ya itu banyak justru
56
 

dari fans-fans lain yang umurnya lebih muda, “Udah tua gini
ngapain sih kok gini gini gini”.
Objek Justifikasi diri sebagai fans.
Interpretan Strategi untuk mengadaptasikan diri dengan lingkungannya.

Beberapa pekerja kantoran, biasanya memiliki pekerjaan


sampingan, di luar pekerjaan primernya. Namun, di tengah
aktivitas kerja, Emil adalah seorang pekerja yang juga fans
JKT 48. Hal tersebut dapat dilihat melalui shot pada adegan
ke-12, yang memperlihatkan adanya majalah-majalah JKT
48 di atas meja kerja Emil. Selain itu, majalah juga dirasa
lebih netral ketimbang barang lain yang dapat
mengindikasikannya sebagai fans, seperti CD, poster, kipas,
atau kaos JKT 48. Artinya, walaupun Emil adalah seorang
pekerja, ia dapat mengatur strategi untuk tetap dilihat wajar
oleh orang lain sebagai bentuk adaptasi dengan
lingkungannya. Selain itu, strategi tersebut juga terlihat pada
narasi di adegan ke-12, dengan argumentasinya menjawab
kritik yang dilontarkan oleh fans yang lebih muda, sehingga
identitas Emil dapat terlihat lebih wajar.
Sumber: Film Dokumenter “Idolaku, Jiwa Ragaku”

d) Sekuen-5: Pengorbanan Emil

GAMBAR 4
Sekuen-5: Pengorbanan Emil

14
57
 

15

16

17

Sumber: Film Dokumenter “Idolaku, Jiwa Ragaku”

Representamen Scene 14-17


Sebuah mobil yang dikendarai oleh Emil sedang diparkirkan
di depan rumahnya. Emil keluar dari mobil tersebut,
kemudian menemui istri dan dua orang anaknya.

Narasi Emil:
Scene 15
(Shot 4-7) Oshimen ku itu Hayano Kaoru waktu itu. Itu,
member tim K generasi-2 AKB48. Terus, waktu bulan Maret.
Maret ya, apa Februari itu, dia mengumumkan akan
graduate akan resign dari AKB 48. Waktu itu aku lagi nggak
ada uang. Barusan aku bilang ke temenku, tahun ini temenku
ngajak ke Jepang. Tahun ini nggak ke Jepang dulu, nggak
ada budget. Waktu itu dia kasih tau aku itu di hari Jumat apa
58
 

Sabtu, hari Senin aku udah pesen tiket ke Jepang. Dan 20


minggu kemudian aku udah di Jepang. Itu kisah perjalan
yang tanpa pernyataan pokoknya bener-bener impulsif
banget. Berangkat, ya berangkat.
Scene 16
(Shot 8-10)
Maksudnya kadang-kadang meskipun, kadang-kadang
seperti aku tadi udah bilang, berusaha untuk menjaga
keseimbangan. Aku nggak pengen, sekitarku jadi nggak
happy karena ngidol, tapi yaaa, kadang-kadang emang kita
kelepasan. Maksudnya, dalam arti kita lupa diri.
Scene 17
(Shot 11-16) Tapi ya itu, biasanya nggak sampe jadi
konflik-konflik besar-besar banget. Saya pengen ini jadi hobi
yang saya bisa jalanin jangka panjang. Jadi, ya saya nggak
pengen dengan menjalani hobi ini, hubungan saya dengan
sekitar rusak, karena kalau kita udah merusak lingkungan
sosial kita dengan hobi ini, ya udah. Ya bisa diramalkan lah,
jadi nggak bisa jalanin jangka panjang.
Objek Melakukan kompromi dengan keluarga.
Interpretan Siasat untuk menjaga keharmonisan.

Narasi yang muncul pada adegan ke-15, mengindikasikan


bahwa Emil menjadikan konser tersebut menjadi
prioritasnya. Hal tersebut terlihat dari bagaimana
keberangkatan yang sebelumnya jelas ditunda, tiba-tiba
direalisasikannya begitu saja, padahal apa yang ia lakukan
adalah suatu hal yang mengeluarkan biaya besar. Sedangkan,
narasi pada adegan ke-16 dan ke-17, mengindikasikan bahwa
ia menyadari adanya ketidakseimbangan antara hobi dan
59
 

lingkungan sosialnya yakni keluarga. Maka, ia melakukan


kompromi untuk menyelaraskan hubungan antara hobi dan
keluarganya. Kompromi adalah suatu cara supaya
permintaan satu pihak dapat dilakukan untuk dapat mencapai
bagian-bagian lain yang lebih penting dari kepentingan dan
nilai-nilai bersama di jangka panjang (Meyer, 2012, h. 21).
Selanjutnya, shot pada adegan ke-16 dan ke-17
mengindikasikan bahwa Emil sedang meluangkan waktu
untuk keluarganya seusai kerja. Hal ini dapat diasumsikan
sebagai sebuah kompromi yang disadarinya sebagai suatu
siasat dalam menjaga keharmonisan di dalam keluarga.
Sumber: Film Dokumenter “Idolaku, Jiwa Ragaku”

e) Sekuen-6: Koleksi barang-barang Fans

GAMBAR 5
Sekuen-6: Koleksi Barang-barang Fans

18 19 20 21

22 23 24

25
60
 

Sumber: Film Dokumenter “Idolaku, Jiwa Ragaku”

Representamen Scene 18, 20, 22, 24


Sandy memperkenalkan merchandise JKT 48.
Scene 19, 21, 23, 25
Emil yang memperkenalkan merchandise JKT 48 dan AKB
48.
Objek Koleksi barang-barang JKT 48.
Interpretan Loyalitas mengonsumsi.

Seorang fans pada umumnya akan mengeluarkan biaya atau


mengikuti event tertentu untuk mendapatkan merchandise
dari idolanya. Di dalam sekuen ini, para fans mengonsumsi
barang-barang yang tidak acak tapi terus-menerus, dimana
mereka kemudian mengumpulkannya sebagai koleksi.
Oliver, dalam buku Pengukuran Tingkat Kepuasan
Pelanggan (Supranto, 1996, h. 37), loyalitas pelanggan
(dalam hal ini fans) adalah komitmen tinggi yang dipegang
oleh pelanggan/fans untuk membeli kembali suatu produk
atau jasa secara terus menerus di masa yang akan datang. Hal
ini menjelaskan bahwa pengeluaran seseorang, jika
dilakukan secara berlebih, dapat mengarah pada bentuk
loyalitas seperti yang terjadi pada para fans JKT 48 ini.

f) Sekuen-7: Hubungan Emil dan Istri

GAMBAR 6
61
 

Sekuen-7: Hubungan Emil dan Istri

26

27

Sumber: Film Dokumenter “Idolaku, Jiwa Ragaku”

Representamen Scene 26
Vivi, istri emil, sedang melakukan kegiatannya yakni
membaca majalah SEDAP dan kemudian bermain drum.
Pada saat bermain drum, Emil datang menghampirinya.

Narasi Vivi:
Scene 26
(Shot 3-5) Aku nggak keberatan dia suka sama JKT48. Itu
jelas-jelas lain banget sama kesukaan musikku. Tapi nggak
masalah sih. Dia juga suka nganter aku, ke konser ke apa
yang ada musik gitu.
(Shot 5-lanjutan)
Obrolan antara Emil dan Vivi
Emil: Main game aja yuk/ Vivi: He?/ Emil: Main game aja./
Vivi: Main game aja? ngidol-nya udah?/ Emil: Udah, tadi
malem.
62
 

Scene 27
Vivi kemudian melanjutkan pekerjaannya di dapur.

Narasi Emil:
Scene 27
(Shot 6-9) Aku suka ngajak temen-temenku main ke rumahku.
Temen-temen sesama fans untuk main ke rumah. Jadi ya
lebih enak kan. Kadang-kadang kalau lagi ada gathering
juga, aku ajak istri untuk ikutan gathering,
ngumpul-ngumpul bareng fans, Jadi ya taulah kegiatan fans
itu ngapain.
Objek Aseptensi dari orang terdekat.
Interpretan Persetujuan dalam kelancaran kegiatan fans.

Setiap orang memiliki kegiatan dan prioritas masing-masing.


Hal tersebut bisa dilihat dari pekerjaan Vivi sebagai ibu
rumah tangga, dan Emil sebagai seorang pekerja kantor.
Artinya, ada perbedaan paham yang muncul di tengah irisan
dari prioritas mereka. Melalui narasi yang muncul pada
adegan ke-26, diindikasikan bahwa Vivi tidak bermasalah
dengan hobi suaminya, karena suka mengantarkan ke konser
yang diinginkan oleh Vivi, dimana hal ini mengindikasikan
bahwa Vivi memberikan aseptensi kepada Emil. Menurut
dictionary.reference.com, aseptensi yang berasal dari kata
acceptance memiliki arti “the act of taking or receiving
something offered”.
Selanjutnya, pada narasi yang muncul pada adegan ke-27,
memperlihatkan bahwa Emil sengaja melakukan gathering
dengan para fans di rumahnya sebagai cara untuk
63
 

mendekatkan kegiatan tersebut pada keluarganya. Kedua


adegan tersebut, dapat diasumsikan sebagai cara Emil untuk
mendapatkan aseptensi dari istrinya, yang artinya juga
mendapatkan persetujuan supaya kegiatan fansnya tetap
dapat berjalan dengan lancar. Selain itu, ajakan Emil untuk
bermain konsol game di adegan ke-26, dapat diasumsikan
sebagai sikap Emil untuk mendapatkan persetujuan dari
istrinya, mengingat bahwa kegiatan yang menjadi prioritas
mereka begitu berbeda.
Sumber: Film Dokumenter “Idolaku, Jiwa Ragaku”

g) Sekuen-8: Hubungan Sandy dan Ibu

GAMBAR 7
Sekuen-8: Hubungan Sandy dengan Ibu

28

29
64
 

30

Sumber: Film Dokumenter “Idolaku, Jiwa Ragaku”

Representamen Scene 28-30


Sandy dan salah satu temannya sudah sampai di depan
ruangan JKT 48 Theater untuk menonton konser. Di
sekitaran mereka juga terdapat fans lain yang akan menonton
juga. Mulyati, Ibu Sandy, memberi tanggapan tentang Sandy.

Narasi Sandy:
Scene 28
(Shot 1) Sampai juga kita, di gedung FX. Sudirmaaaan.
(Lanjutan Shot 1-2) Dimarahin pernah waktu itu beli CD,
sampai banyak sampai diomelin. Karena ya katanya ini
buang-buang uang aja kan, mending buat beli buku, atau
buat apa.
Narasi Mulyati:
Scene 28
(Shot 4-7) Pernah bawa kaset baru, kasetnya
setumpuk-setumpuk itu lho. Ada yang udah dibeli, beli lagi.
Itu karena ada apanya gitu katanya. Iya,”ada kuponnya”,
kata dia gitu. Ya allaaaah, Ya jangan gitu, kan udah ada.
“Ya kan yang ini ada potonya”, kata dia gitu.
65
 

Narasi Sandy:
Scene 29
(Shot 10-13) Waktu itu, pernah sih sekali, Waktu itu uang kas
kelas, “Wah ada CD nih rilis hari ini”. Eh, bukan CD, tiket.
Tiket konser waktu itu.
(Shot 14-16) Wah ada tiket konser rilis hari ini. Emmm,
gimana yaa, ini uang kelas dipakai dulu lah ya. Akhirnya,
saya pakai uang kas itu, tiga hari kemudian baru saya ganti
sama duit saya.
Scene 30
(Shot 19-20) Saya paling sering, pesan dari ibu, bilangnya
itu kalau mau pergi kemana-mana, bilangnya kalau lagi
libur aja. Kalau lagi hari-hari masuk, jangan terlalu
dipaksain gitu. Maksudnya, jangan terlalu pulang
malem-malem karena besok masih ada kegiatan.
Objek Spontanitas dalam melakukan kegiatan yang menyenangkan.
Interpretan Tindakan konsumsi yang cenderung ceroboh.

Seorang fans perlu menentukan sendiri pilihan-pilihannya


untuk mengonsumsi atas beberapa hal yang diinginkan.
Melalui narasi pada adegan ke-28, dapat dilihat bagaimana
Sandy memiliki keinginan untuk mendapatkan kupon-kupon
dari banyak CD yang dikonsumsi tanpa memedulikan
penggunaan uang yang berlebih. Selain itu, melalui narasi
pada adegan ke-29, terlihat adanya sikap spontan dan
kontan untuk mendapatkan tiket konser. Artinya, keinginan
tersebut mengindikasikan bahwa Sandy begitu ceroboh
dalam menjalani kesenangan melalui bentuk konsumsi yang
ia lakukan.
66
 

h) Sekuen-9: Dunia Fans dan Keluarga

GAMBAR 8
Sekuen-9: Dunia Fans dan Keluarga

31

Sumber: Film Dokumenter “Idolaku, Jiwa Ragaku”

Representamen Scene 31
Emil datang ke JKT 48 Theater dan membeli tiket untuk
menonton konser.

Narasi Emil:
(Shot 3-5) Alasan untuk istriku, ya pada dasarnya aku ajak
supaya dia kenal juga sih. Jadi, akan lebih mudah
membangun trust kalau istriku tau, seperti apa sih hobiku.
Jadi ya, dia tau, oh lihat oh hobinya kayak gini sih, oke sih
liat-liat anak-anak kecil, cantik-cantik sih ya. Tapi ya, ini
kayak gini aja sih ya kayak konser musik.
(Shot 6-9) Jadi lebih mudah untuk membangun rasa nggak
curiga karena dia tau, Sebetulnya, hobi ngidol itu seperti apa
sih. Kalau beli itu kayak apa, kalau bergaul sama fansnya itu
67
 

kayak apa. Kalau nonton itu kayak apa, kalau handshake


event itu kayak apa. Jadi, ya nggak cemburuan lagi.
Maksudnya ya, yaudah tau lah, segitu-gitu aja. Maksudnya
ya, nggak no big deal.
Objek Berdalil tentang kegiatan fans.
Interpretan Mencari afirmasi melalui asumsi lingkungannya.

Emil merasa bahwa kegiatannya sebagai fans tidaklah mudah


diterima oleh keluarga, khususnya Vivi. Penjelasan Emil
kepada Vivi tentang bagaimana gambaran seorang fans yang
membeli barang, bergaul dengan fans lain, menonton konser,
dan handshake event, dapat diasumsikan bahwa ia sedang
memaksakan kehendak demi merealisasikan hobinya
tersebut. Secara khusus, dengan memberi informasi dan
mengajak istrinya ke konser, ia berusaha untuk memberikan
pemahaman pada istrinya bahwa menonton konser JKT 48
adalah kegiatan menonton konser musik pop seperti pada
umumnya. Sikap Emil tersebut mengindikasikan bahwa ia
sedang mencari afirmasi melalui persepsi lingkungannya,
dimana Vivi adalah seseorang yang berada di lingkungan
terdekatnya.

i) Sekuen-10: Hubungan Emil dan Oshimen

GAMBAR 9
Sekuen-10: Hubungan Emil dengan Oshimen

32
68
 

33

34

35

Sumber: Film Dokumenter “Idolaku, Jiwa Ragaku”

Representamen Scene 32-35


Emil bertemu dan mengobrol dengan beberapa orang yang
ada di depan ruang JKT 48 Theater. Vivi, istri Emil, memberi
tanggapan tentang Emil.

Narasi Emil:
Scene 32
69
 

(Shot 1) Obrolan antara Emil dan Fans lain (A):


E: Lu nonton nggak?/ A: Nonton./ E: Beli berapa?/ A: Dua.
Aki Takajo.
Scene 33
(Shot 2) Ini aku mau nonton teaternya shownya Tim J.
Setlist-nya Dareka no Tame Ni. Kebetulan ini ramai banget,
karena di sana ada banyak banner-banner ucapan, karena
hari ini ada show ulang tahunnya dua member Rachel sama
Gaby. Dan kebetulan, saya pendukungnya Rachel, jadi
nonton. Harus nonton.
Scene 34
(Shot 5-8) Saya udah suka sama artis-artis Jepang seperti,
Utada Hikaru sama Ayumi Hamazaki, karena memang kan
mereka artis keren. Sementara kalau, jujur, AKB48 itu,
secara kualitas pada saat itu masih jauh banget di bawah itu.
(Shot 9-12) Tapi kenapa saya sangat suka? Karena begitu
pertama kali saya melihat AKB48, pertama kali saya dikasih
lihat video sama temen saya, yang terbesit adalah, duh, ini
anak-anak kecil. Ini anak-anak kecil, anak-anak SMP. Tapi
mereka berusaha keras supaya bisa jadi sesuatu yang besar,
kayak gitu lho.

Narasi Vivi:
Scene 35
(Shot 14-16) Saya pernah liat. Pernah liat dan dengar sampe
se-detail itu. Kayak, hari ini dia pake jepit rambut apa,
warna apa, gitu. Kok bisa ya? Biasanya cewek yang
ngobrolin kayak begitu, kan ini cowok gitu.
Objek Menjadi idol mania.
Interpretan Ikatan dalam cinta platonis.
70
 

Emil menyebutkan beberapa idolanya, pun dengan alasan


darinya. Melalui narasi pada adegan ke-33 dan ke-34, dapat
diasumsikan bahwa kegemaran Emil mengamati AKB 48
dan Rachel (JKT 48), merupakan ekspresi dari rasa cinta
pada idolanya, yang meliputi rasa kagum dan terikat.
Selanjutnya, melalui adegan ke-35, menunjukkan bagaimana
kekaguman dan keterikatan Emil pada idolanya, begitu
mengherankan bagi Vivi. Sikap Emil cenderung
menunjukkan dirinya sebagai idol mania, yang menurut
Sudarsono (1993) dalam Kamus Filsafat dan Psikologi,
mania memiliki arti yakni ketidakberesan batin untuk berbuat
atau bertingkah laku menurut kemauan yang tak terkendali,
dimana aktivitas tersebut tidak mungkin dihalang-halangi,
atau bisa juga diartikan sebagai keranjingan. Artinya,
menjadi mania terhadap suatu hal, dapat diidentifikasi
sebagai rasa cinta. Melalui dukungan yang diwujudkan
dalam pengeluaran biaya yang tidak sedikit, definisi cinta ini
mengarah pada cinta platonis yang artinya adalah cinta yang
diwujudkan tanpa adanya nafsu, atau hasrat seksual, atau
hubungan seks (Bagus, 2005, h.142).

j) Sekuen-11: Hubungan Sandy dan Oshimen

GAMBAR 10
Sekuen-11: Hubungan Sandy dan Oshimen

36
71
 

37

38

Sumber: Film Dokumenter “Idolaku, Jiwa Ragaku”

Representamen Scene 36
Sekumpulan fans JKT 48 beserta dengan seorang penjual
foto para member JKT 48.

Narasi Seseorang:
Scene 36
(Shot 1) Nih, Nabilah. Makasih, ayok dipilih.

Narasi Sandy:
Scene 36
(Shot 2-3) Ya, saya buat ngidol itu. Ya saya punya tabungan
72
 

sendiri. Misalnya orang tua ngasih uang berapa.


(Shot 5) Itu nanti saya tabung sedikit buat ngidol dan sisanya
untuk keperluan saya kayak untuk kuliah, ongkos, dan
macem-macem.

Scene 37-38
Sandy, beserta salah satu temannya, bertemu dan berbicara
sebentar dengan Emil. Setelah itu mereka mulai mengantri
untuk masuk ke JKT 48 Theater. Mulyati, Ibu Sandy,
memberi tanggapan tentang Sandy.

Narasi Sandy:
Scene 37
(Shot 8) Obrolan antara Sandy dan Emil:
S: Hai bang. Mau ngapain ni? Oshimen sapa?/ E: Racheeel./
S: Oh Rachel. Rachel ini bang, masuk single ke-6. Nggak
borong?/ E: Kagak ada duit.
(Shot 9-11) Biaya ya. Karena saya belum punya penghasilan
sendiri. Kadang kalau lagi ada event, atau ada konser, ya
udahlah kalau nggak bisa ya nggak usah dipaksain, gitu.
(Shot 12-13) Masih banyak kok event-evet lain buat ketemu
member. Nggak cuma ini aja. Nanti juga bakal ketemu, event
lagi yang saya bisa ikutin itu.

Narasi Mulyati:
Scene 38
(Shot 15-21) Ini kalau pulang nih, suka bawa kaset ini
pesen-pesen apa itu, suka kaos gitu ya, kan udah melalui
online. Beli sekian, sekian, sekian. Ya Allaaah, A’a. Duit
buat itu mulu ya. Kalau keperluan yang lain dikagak
73
 

penuhin. Eeh,malah dibilang, “Itu urusan mamak, ini mah


urusan didi”, dia bilang gitu.
Objek Hasrat untuk merealisasikan keinginan.
Interpretan Risiko menjadi seorang fans yang aktif.

Di dalam sekuen ini, terlihat bahwa kondisi ekonomi Sandy


tidak selalu dapat digunakan untuk merealisasikan hobinya.
Pada narasi di adegan ke-36, dapat diasumsikan bahwa
Sandy telah melakukan pembagian kebutuhan dengan baik.
Tetapi, dari narasi pada adegan ke-38, dapat diasumsikan
bahwa pada dasarnya Sandy tetap menjadikan idol sebagai
prioritasnya, sehingga biaya yang ia keluarkan dari hasil
tabungannya digunakan untuk konsumsi merchandise JKT
48 saja, tanpa peduli dengan kebutuhan lain yang bahkan
justru dilimpahkan kepada orangtuanya. Maka, ada indikasi
bahwa Sandy mendapatkan kepuasannya jika sedang
membelanjakan uangnya hanya untuk JKT 48 saja. Seperti
yang juga terlihat pada adegan ke-37, bahwa ia
mempertanyakan dukungan dari Emil yang sudah memiliki
pendapatan dari pekerjaannya. Artinya, biaya adalah hal
utama yang dianggap penting oleh Sandy untuk terus
mencari kepuasan dari JKT 48, dan kondisi ekonominya saat
ini, membuatnya harus mengambil risiko untuk dapat
menjadi seorang fans yang aktif.

k) Sekuen-12: Bertahan Sebagai Fans

GAMBAR 11
Sekuen-12: Bertahan sebagai Fans
74
 

39

40

Sumber: Film Dokumenter “Idolaku, Jiwa Ragaku”

Representamen Scene 39-40


Fans sedang menonton konser JKT 48 di JKT 48 Theater.

Suara Lagu “JKT48-Overture”:


Scene 39
(Shot 1-2) JKT Fourty Eight! JKT Fourty Eight!
Are..you..ready...!

Narasi Sandy:
Scene 39
(Shot 3-8) Dulu sempet pernah bikin janji, itu waktu mau
75
 

masuk kuliah. Pernah bilang sama mamah. Yaudah mah,


Nanti kalau udah masuk kuliah, tenang aja udah nggak
ngikutin ini lagi. Ha, tapi kemudian, saya jadi dapat temen
yang banyak ya dan malah tambah menggila. Makin ngikutin
dunia idol. Kalau berharap jadi pacar, ya enggak. Saya
sadar saya siapa, bakatnya apa.

Narasi Emil
Scene 40 ((Backsound: JKT48- Warning))
(Lanjutan Shot 8-11) Ada juga orang yang suka sama JKT48
karena mereka cantik. Ada yang istilahnya, kayak jadi pacar
idaman mereka, gitu lho. Jadi kadang-kadang mereka
liatnya kalau saya ngefans gitu, “Lo ngapain sih, lo mau
pacaran sama mereka”. Karena, mindset orang beda-beda.
Jadi, kadang-kadang mereka nggak bisa liat kalau, ya suka
sama JKT48 karena nggak melulu karena mereka cantik kali,
gitu lho, kenapa sih. Kadang-kadang mereka mikirnya kalau
kita suka itu kayak pengen jadi pacarnya, harus sampe gitu.
(Shot 13-18) Kan anak kecil sih ya. Jadi, aku sih lebih ini ya.
Aku nggak punya anak perempuan, aku nggak punya adik
perempuan. Jadi ngliat mereka kayak bener-bener ngeliat
adik perempuan, anak perempuan. Jadi ya seneng ngeliat
mereka tumbuh, gitu lho. Jadi ya kayak liat anak kecil,
gimana ya, susah ya. Nggak tau, ya emang karena beda
umurnya terlalu jauh kali ya.
Objek Konsisten sebagai penggemar.
Interpretan Dukungan yang terus berlanjut.

Di dalam sekuen ini, Emil dan Sandy mencoba menjelaskan


alasan mereka untuk tetap bertahan sebagai fans. Maka,
76
 

penjelasan mereka berdua pada narasi di adegan ke-39 dan


ke-40, memperlihatkan bahwa adanya sikap konsisten pada
diri mereka sebagai penggemar. Artinya, status mereka yang
masih konsisten sebagai penggemar, mengindikasikan
bahwa pada dasarnya dukungan mereka pada idolanya masih
akan terus berlanjut.

B. ANALISIS DATA

Secara teknik penulisan, mengingat bahwa penelitian ini akan membahas

tentang fans JKT48, penggunaan kata “fans JKT48” pada dasarnya memiliki arti

yang sama dengan “fans”. Hal itu dilakukan karena dirasa lebih singkat dalam

pemaparannya. Walaupun demikian, kata “fans JKT48” tetap akan digunakan pada

beberapa paragraf untuk mengingatkan kembali pembahasan tentang fans yang

terkait dengan JKT48 itu sendiri.

Melalui proses semiosis terhadap temuan data tersebut, didapatkan objek

dan interpretan yang merepresentasikan kehidupan fans JKT48 di tengah

realitasnya masing-masing. Pada pembacaan beberapa tanda yang dominan dari

representamen, peneliti mencoba untuk memastikan ketepatan pada bagian objek,

sehingga dapat menegaskan intrepretan yang sesuai berdasarkan visual dan

narasinya. Di dalam film dokumenter ini, isi dari narasinya tidak selalu

berkesinambungan dengan visual yang terlihat. Tetapi, visual tetap menjadi unsur

utama yang akan dikaji, dengan narasi sebagai penegasnya.

Temuan interpretan akan menjadi dasar untuk melakukan analisis pada

tahap berikutnya, yang tentunya tetap menjaga batas dalam penelitian ini untuk

dapat menjelaskan representasi fetisisme komoditas. Di dalam film dokumenter ini


77
 

tidak digambarkan bagaimana produksi musik, sebagai komoditas, dapat

memunculkan fetisisme komoditas. Justru media ini merepresentasikan kehidupan

singkat fans JKT48 yang cenderung mengarah pada praktik dari fetisisme

komoditas. Menurut Adorno (1991), terdapat beberapa aspek yang erat kaitannya

dengan bagaimana proses terbentuknya fetisisme komoditas, yakni standarisasi,

invidualisasi semu, yang kemudian juga memunculkan reifikasi.

Standarisasi dimunculkan sebagai aspek awal pembahasan. Untuk dapat

menjelaskannya, dapat dilihat melalui temuan interpretan dari sekuen ke-2, yakni

dukungan persahabatan sebagai sesama fans, dimana sekuen tersebut

menggambarkan kegiatan bersama yang dilakukan oleh fans satu komunitas dalam

mengingatkan Sandy untuk bersiap-siap sebelum bertemu dengan oshi-nya,

khususnya seperti yang terlihat dari adegan ke-5. Bertemu dengan oshi, dapat

diartikan sebagai menonton konser dan membeli hal lain yang dapat digunakan

untuk melakukan suatu dukungan, seperti narasi Sandy yang muncul pada adegan

ke-6.

Di dalam komunitas tersebut, fans tampak tidak memiliki ragam kegiatan

yang lain kecuali untuk menonton oshi-nya. Padahal, di tempat lain, seorang fans

bisa jadi masih memiliki beragam kegiatan seperti memainkan lagu-lagu idolanya,

membuat gambar, atau menulis cerita tentang idolanya. Di dalam hal ini fans

digambarkan sebagai seorang yang kecenderungannya mengarah pada bentuk

konsumsi saja, yakni menonton JKT48 di Teater FX. Sudirman. Adorno (1991, h.

38) mengatakan bahwa kenyataan tersebut dapat diasumsikan sebagai proses


78
 

standarisasi, karena adanya suatu perubahan dari kreativitas kegiatan fans yang

kemudian dimampatkan menjadi satu aspek dominan, yakni konsumsi saja.

Selain itu, melalui interpretan dari sekuen ke-12, fans terlihat seperti

memberikan suatu dukungan, bahkan melakukan dukungan yang terus berlanjut,

seperti yang tampak dari narasi Sandy dan Emil. Padahal yang terjadi sebenarnya

adalah bagaimana bentuk dukungan tersebut dilakukan melalui praktik konsumsi

yang mereka lakukan. Maka hal ini dapat diartikan sebagai kesadaran fans yang

sebenarnya sudah dikendalikan oleh peran industri dalam membentuk pola

konsumsi yang semakin intens. Hal tersebut didukung melalui interpretan dari

sekuen ke-6 yakni loyalitas mengonsumsi, dimana wujud nyata dari suatu

dukungan pada akhirnya dapat dilihat dari beberapa koleksi terkait komoditas

JKT48 milik Sandy dan Emil. Fenomena ini juga terlihat pada interpretan dari

sekuen ke-3 yakni adanya konsekuensi dari fans JKT48 yang aktif. Hal ini

diperlihatkan melalui penceritaan Sandy yang telah memilih dan mengutamakan

kegiatan sebagai fans JKT48 sebagai kebutuhan utama dibandingkan dengan

kebutuhan makannya. Artinya, beberapa interpretan tersebut, tampak sebagai

dampak dari hegemoni industri yang kemudian menghasilkan sikap konsumsi

semata pada diri seorang fans, dimana hal ini dapat diasumsikan sebagai

individualisasi semu.

Peran lingkungan juga digambarkan memiliki pengaruh pada tindakan

seseorang. Individualisasi semu yang dialami oleh fans, pada satu titik tertentu,

memunculkan argumentasi pada diri fans untuk menjelaskan identitas mereka

secara lebih jelas. Hal ini dapat dilihat melalui interpretan pada sekuen ke-4,
79
 

dimana yang terjadi kemudian adalah munculnya strategi untuk mengadaptasikan

diri dengan lingkungannya. Narasi Emil tentang kritik dari fans lain terlihat

sebagai suatu justifikasi sehingga tampaknya ia secara sadar memiliki keinginan

untuk membangun hubungan baik dengan lingkungannya dengan argumentasinya

yang subjektif. Peran tersebut juga tampak melalui sekuen ke-7 dan sekuen ke-9

yang memunculkan interpretan persetujuan kelancaran kegiatan dan mencari

afirmasi melalui asumsi lingkungan. Dari kedua sekuen tersebut, tampak bahwa

Emil bertindak untuk mengajak istrinya dalam memperkenalkan tentang dunia

fans JKT48.

Melihat hal tersebut, ada batas sosial yang tampak di dalam cerita film ini.

Batas tersebut juga dihadirkan melalui penceritaan tokoh lain yang memiliki

kedekatan relasi dengan fans. Melalui sekuen ke-5 dapat dilihat bahwa yang terjadi

kemudian adalah siasat untuk menjaga keharmonisan oleh seorang fans. Sekuen

tersebut menggambarkan tentang sikap Emil yang secara tiba-tiba memutuskan

untuk menonton konser AKB 48 di Jepang. Tetapi, di sisi lain ia juga memiliki

kesadaran untuk menjaga keseimbangan antara dunia fans dan keluarganya.

Sedangkan melalui sekuen ke-11, menggambarkan bagaimana pilihan Sandy dapat

diasumsikan sebagai risiko menjadi fans yang aktif, karena ia menjadikan idolanya

sebagai prioritas walaupun tidak di dalam setiap waktu keinginannya dapat

terealisasikan. Artinya, ia mulai kehilangan kendali dirinya, sehingga seperti yang

terlihat pada interpretan di sekuen ke-8, ia melakukan tindakan konsumsi yang

cenderung ceroboh. Pilihan yang ia lakukan untuk mengeluarkan lebih banyak

uang, tidak didukung oleh proses berpikir dalam menentukan beberapa langkah.
80
 

Gejala-gejala tersebut mengarahkan pada aspek lain dari fetisisme

komoditas, selain standarisasi dan individualisasi semu. Menurut Adorno (1991, h.

45), seorang yang telah menanamkan simbol tertentu pada suatu hal yang ia puja,

di dalamnya muncul reifikasi. Artinya, ketika simbol tersebut muncul di dalam

idola mereka, fans cenderung muncul dengan sikap kerelaannya untuk menjadi

seorang yang keranjingan hingga akhirnya menjadi seorang pemuja. Pemujaan ini

sendiri disebut dengan fetisisme.

Reifikasi tersebut tampak melalui sekuen ke-10, dimana hubungan

fans-idola dapat dibaca sebagai bentuk ikatan dalam cinta platonis. Artinya, obsesi

dan rasa kagum seorang fans pada idolanya direpresentasikan dengan bentuk

ikatan di dalam cinta yang tidak ingin memiliki, yakni cinta platonis. Sekuen ini

diceritakan melalui Emil yang menjelaskan bagaimana dirinya dapat menyukai

JKT48, bahkan AKB48 juga. Secara lebih luas, ikatan dalam cinta platonis dapat

dilihat melalui praktik konsumsi fans ketika menyukai dan menggemari menjadi

kegiatan yang candu. Hal inilah yang tampak pada segala relasi fans untuk menjadi

semakin dekat dengan idola mereka, walaupun wujud nyatanya, fans JKT48 akan

selalu mengejar simbol-simbol pada setiap produk mengingat bahwa mereka tidak

dapat menjalin kedekatan melalui relasi komunikasi secara langsung.

Sekilas pemaparan tentang 11 interpretan tersebut telah dikaitkan dengan

aspek-aspek dari fetisisme komoditas yakni standarisasi, individualisasi semu, dan

reifikasi, yang kemudian akan dibahas secara lebih mendalam melalui setiap

aspeknya. Pembahasan akan dibagi berdasarkan setiap aspeknya supaya

‘representasi fetisisme komoditas fans JKT48’ dapat dijelaskan secara lebih


81
 

mengalir dan terperinci. Aspek yang akan dimunculkan dalam pembahasan akan

diawali dari standarisasi terlebih dahulu, kemudian individualisasi semu sebagai

yang paling dominan karena di dalam pembahasan aspek tersebut juga terdapat

peran lingkungan dengan batas sosialnya. Selanjutnya masuk pada reifikasi

sebagai aspek terakhir. Maka, akan dimunculkan setelah ini tentang satu

interpretan yang dikaitkan dengan standarisasi, sebagai pembahasan pada aspek

pertama.

1. Standarisasi Kegiatan Fans

Kemunculan industri berperan dalam mengubah kesadaran akan

kebutuhan masyarakat dengan menjadikan segala hal sebagai komoditas,

dimana masyarakat kemudian dibagi menjadi beberapa kategori tertentu

untuk menjadi target pasar. Hal tersebut dilakukan untuk membentuk pasar

yang menguntungkan mereka, sehingga standarisasi dilakukan sebagai

upaya untuk meraup keuntungan yang semakin berlipat. Di dalam JKT48

sendiri, mereka menjadikan fans sebagai pembeli konsisten yang

dipertahankan melalui sistem JKT48 yang secara khusus memiliki

perbedaan di dalam cara mereka muncul sebagai idola untuk fans.

Kebanyakan musisi muncul di media massa atau terkadang juga di

beberapa event. JKT48 pun tidak berbeda dari musisi lain, walau lebih dari

itu, manajemen grup tersebut membuat perubahan dalam konsep konser.

Manajemen JKT48 menciptakan idola yang dapat setiap hari tampil,

bahkan wajib tampil di dalam panggung privat mereka. Di sinilah fans


82
 

yang memiliki ragam kreativitas, seperti yang sudah dijelaskan di awal

interpretasi data ini, kemudian dibentuk menjadi seorang pelanggan konser

dengan intensitas tinggi untuk membeli tiket pertunjukan.

Fenomena ini secara khusus dapat dilihat melalui interpretan dari

sekuen ke-2 yakni ‘dukungan persahabatan sebagai sesama fans JKT48’.

Di dalam suatu komunitas, biasanya tampak seorang fans yang juga

memberikan dukungan dengan sesama fans yang lain. Melalui dukungan

satu sama lain, mereka memperlihatkan bagaimana kebersamaan yang

sedang terjadi. Di sinilah kolegialitas fans menjadi terlihat, khususnya

ketika sedang melakukan kegiatan menonton konser. Hanya saja, bedanya

adalah ketika seorang fans kemudian tidak memiliki kegiatan lain, selain

menonton konser dan segala macam kegiatan lainnya dengan uang sebagai

sarana. Mereka berkumpul tidak untuk menghabiskan waktu dan cerita,

tetapi mereka berbelanja bersama tentang apa yang mereka kagumi

bersama juga.

Kegiatan yang tak lagi seragam ini tampak melalui narasi yang

dilontarkan oleh teman Sandy dari sekuen ke-2. Ia menyatakan: “Jadi

nggak ke teater?....Aduh mandi lah, katanya mau ketemu oshi juga”. Narasi

tersebut mengindikasikan bahwa pada dasarnya tujuan ke teater hanyalah

sebagai sarana untuk bertemu dengan oshi. Hal tersebut jelas

memperlihatkan adanya perubahan dalam menikmati pertunjukan musik,

yang ditegaskan juga melalui narasi Sandy yang mengatakan: “Saya

berusaha untuk masuk, apapun yang terjadi hari itu, harus masuk ke teater.
83
 

Menyaksikan itu, oshi saya ulang tahun, dirayain di teater hari itu”. Ulang

tahun menjadi suatu acara yang penting bagi Sandy, dan kalimat “apapun

yang terjadi” tersebut mengindikasikan bahwa ikatan fans pada idolanya

ini yang memampatkan ragam kegiatan fans menjadi hanya sebagai

pembeli tiket konser.

Di Indonesia sendiri terdapat beberapa fans dari para musisi yang

setidaknya sudah dikenal oleh publik seperti Slankers dari grup band Slank,

Baladewa dari Dewa 19, Orang Indonesia (OI) dari Iwan Fals, atau Smash

Blast dari boyband SM*SH. Mereka memiliki fans yang kegiatannya tentu

tidak diperuntukkan untuk menikmati musiknya saja, tetapi juga

berkumpul merayakan suatu event yang mereka buat secara internal,

terkadang membuat aksi sosial, dan bisa jadi juga saling bertukar cerita

tentang idola mereka atau permasalahan pribadi masing-masing (Annas,

2013). Contoh ini memberikan gambaran bahwa manajemen mereka tidak

menggunakan sistem yang membuat fans menjadi kehilangan kreativitas

dan kemandirian mereka.

Peran manajemen JKT48 tampaknya agak berbeda jika

dibandingkan dengan contoh tersebut, karena tidak berhenti di dalam

membentuk fans sebagai penikmat musik saja, tetapi mengarah pada

pembentukan kesadaran untuk membentuk perilaku konsumtif pada diri

fans, dan membuatnya menjadi seperti konsumen. Manajemen JKT48

melakukan komodifikasi pada sekumpulan perempuan untuk menjadi

musisi dengan slogan “idol you can meet”, yang secara nyata berhasil
84
 

mengubah sikap fans menjadi lebih aktif untuk menonton konser

ketimbang kegiatan menjadi seorang fans seperti yang

sebelum-sebelumnya. Pada saat idola dapat dihadirkan setiap hari, fans

dimanjakan untuk dapat menontonnya sesering mungkin. Padahal, yang

terjadi sebenarnya adalah kemunculan idola telah menjadi suatu pemuas

kebutuhan sehingga membuat fans untuk terus-menerus datang di

konser-konser JKT48.

Melihat hal tersebut, menonton konser tidak lagi tampak sebagai

pemenuhan keinginan dari seorang fans, tetapi lebih daripada itu, konser

menjadi suatu kebutuhan yang seolah-olah menjadi harus dipenuhi.

Kekuatan pada sistem manajemen JKT48 telah memperlihatkan bagaimana

mereka dapat mengatur, mengarahkan, membentuk secara total kehidupan

fans, dan bahkan mengonstruksi kegiatan fans yang tidak lagi sama seperti

pra kemunculan JKT48. Hal inilah yang kemudian menciptakan

standarisasi di dalam kegiatan fans.

Marx (dalam Dant, 1996, h. 7) menambahkan bahwa objek yang

diproduksi oleh industri, yang di dalam pembahasan ini dapat dimaknai

sebagai idola, dikonsumsi dengan cara tertentu. Ia memberikan contoh

melalui perumpamaan tentang kelaparan yang tentu dirasakan oleh semua

manusia, dimana pada gilirannya, manusia tersebut akan makan dengan

cara tertentu untuk menghilangkan rasa lapar. Melalui hal tersebut dapat

diasumsikan bahwa ketika sistem yang diterapkan di JKT48 sarat dengan

segala relasi idola-fans yang dapat dipertukarkan dengan uang, maka yang
85
 

terjadi kemudian adalah fans juga akan menerapkan perilaku mereka

sebagai seorang yang konsumtif juga. Hal ini merupakan bentukan

manajemen JKT48 sehingga fans akan cenderung mengeluarkan biaya

lebih untuk kegiatan ini, karena pada dasarnya seluruh program yang ada di

dalam JKT48 memerlukan biaya yang berlebih, dan akan semakin berlebih,

ketika fans secara sengaja menginginkan kenaikan peringkat oshi mereka

atau bahkan fans sendiri ingin menaikkan jumlah menonton konser yang

berorientasi pada eksistensi diri supaya menjadi semakin dikenal oleh oshi.

Kegiatan fans menjadi tidak lebih dari membayar, dan terus membayar,

untuk idola mereka.

Di dalam film dokumenter ini, seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya, diperlihatkan cerita pembuka yakni fans JKT48 yang sedang

saling melakukan dukungan untuk menonton konser. Konser yang pada

dasarnya dapat dilakukan oleh semua orang, yang tentunya dari segala

kalangan, menjadi kegiatan dominan yang mereka lakukan. Tidak ada

kegiatan lain, untuk menjadi produktif, selain suatu dukungan yang pada

dasarnya adalah sistem dari manajemen JKT48 dalam membentuk fans

menjadi seorang yang tidak memiliki kegiatan lain kecuali mengeluarkan

uang untuk idola yang alih-alih menjadikan mereka seperti merasa sebagai

fans. Inilah proses standarisasi yang terjadi pada fans JKT48, dimana

manajemen JKT48 membuat fans terus-menerus mengeluarkan uang untuk

idolanya, dan idola adalah seorang yang sedang didukung oleh fansnya dari

pengeluaran biaya oleh fans. Mereka melakukan ini bukan secara tidak
86
 

sadar, tetapi ada pengalihan kesadaran dalam membuat fans menjadi

sekelompok pembeli aktif yang sedang menjalankan status sebagai fans

JKT48. Hal ini yang akan dibahas di dalam individualisasi semu pada

sub-bab selanjutnya.

2. Individualisasi Semu dalam Memberikan Dukungan

“Seperti popcorn
Yang meletup-letup
Kata-kata "suka" menari-nari

Wajahmu suaramu
Selalu ku ingat
Membuatku menjadi tergila-gila “

Penggalan lirik di atas diambil dari lagu Heavy Rotation dari

JKT48. Lagu tersebut menjadi populer di kalangan fans JKT48 karena

pernah dan sampai saat ini masih dinyanyikan oleh seluruh tim J, tim K, tim

T, dan tim Trainee pada waktu yang berbeda-beda, mengingat bahwa

biasanya setiap tim memiliki setlist lagu nya masing-masing. Menurut situs

hai-online.com, lagu ini juga dikenal oleh khalayak luas karena sempat

menjadi soundtrack dari iklan Pocari Sweat yang kala itu bertahan cukup

lama di televisi dari tahun 2011 hingga 2012 (Bahar, 2015).

Melalui film dokumenter yang dirilis oleh Discovery Channel

dengan judul “Super Japan Popcorn Dreams” (Shimizu & Shibata, 2014),

Akimoto mengatakan bahwa Pop Corn adalah ide awalnya dalam

menciptakan bentuk baru suatu idola. Pada saat audisi, ia mengatakan:

“Gadis-gadis yang audisi ini seperti pop corn, ketika di atas panci apakah
87
 

mereka bisa berkembang”. Pernyataan tersebut ditambahkan oleh Reino R.

Barack (Senior VP. Business Development Global Mediacom) yang

mengatakan, bahwa setiap individu pastinya memiliki idola favorit mereka,

karena para penggemar itu akan melihat mereka berkembang.

Secara lebih jelas hal tersebut dapat dilihat melalui interpretan dari

sekuen ke-12 yakni ‘dukungan yang terus berlanjut’, yang menggambarkan

bagaimana Sandy dan Emil tetap bertahan sebagai fans dengan alasan

mereka masing-masing. Argumentasi mereka dimunculkan melalui narasi

dan para personil JKT48 beserta seluruh penonton di dalam ruang teater

JKT48 diperlihatkan melalui visualnya. Secara lebih jelas ‘dukungan yang

terus berlanjut’ tampak dari pernyataan Sandy yakni: “Yaudah mah, Nanti

kalau udah masuk kuliah, tenang aja udah nggak ngikutin ini lagi. Tapi

kemudian, saya jadi dapat temen yang banyak ya dan malah tambah

menggila. Makin ngikutin dunia idol”. Selain itu, juga terlihat narasi dari

Emil yang mengatakan: ngliat mereka kayak bener-bener ngeliat adik

perempuan, anak perempuan. Jadi ya seneng ngeliat mereka tumbuh, gitu

lho. Jadi ya kayak liat anak kecil, gimana ya”. Artinya, narasi dan visual ini

bukan tidak menunjukkan kesinambungan, bahkan telah mengindikasikan

bahwa keberadaan konser JKT48 menjadi suatu alasan sejati yang

berpengaruh pada diri Sandy dan Emil.

Di dalam ruang teater JKT48, fans biasanya akan menunjukkan

histeria mereka melalui chant dan gerakan-gerakan yang dilakukan secara

serentak. Gerakan itu disebut dengan Wotagei, yang dapat dimaknai


88
 

sebagai cara fans dalam menyemangati para personil JKT48 saat sedang

konser. Mereka beranggapan bahwa dengan wotagei dan melakukan chant,

ada energi yang tersalurkan antara fans dengan para idola mereka

(Permana, 2014, h. 449). Menurut John Fiske (1992), teriakan para fans

kepada para idola bukan hanya untuk memberikan dukungan, tetapi juga

turut merasakan apa yang terjadi dalam sebuah pertunjukan. Selanjutnya,

setelah menonton konser JKT48, fans memiliki kecenderungan untuk

kemudian menjadi lebih aktif melalui pengeluaran uang yang berlebih

untuk membeli segala hal yang berkaitan dengan JKT48.

Hal itu juga dapat dilihat melalui artikel berjudul “JKT48, Salah

Satu Pengalaman Unik di Kota Jakarta” yang ditulis oleh Yogi Rinaldi

pada situs imajineshon.com (2014), dimana ia mengaku secara tanpa sadar

telah berubah menjadi fans sejak kedatangan pertamanya di teater JKT48

melalui ajakan teman-temannya. Selanjutnya, ia mulai mengunduh video,

lagu, dan kemudian keranjingan untuk membeli CD yang kemudian

membuatnya untuk terus mendatangi teater JKT48 dalam intensitas yang

tinggi. Salah satu penggalan cerita tersebut mengatakan demikian:

“Setelah beberapa kali melihat JKT48 perform, ada sebuah


perasaan yang sangat aneh muncul dalam diri saya. Melihat mereka
berjuang, berlatih keras, mencoba belajar hal baru, serta berusaha
meraih mimpi mereka, menurut saya hal tersebut mampu melecut
motivasi saya. Menyaksikan perjuangan mereka menurut saya
menimbulkan efek semangat yang lebih dahsyat ketimbang
mendengarkan omongan para motivator kenamaan.
Saya mulai memahami apa yang disebut dengan konsep “tumbuh
bersama fans”. Tapi setelah saya mengikuti beberapa event besar
mereka seperti handshake dan OGB sign, pandangan saya mulai
bergeser sedikit menjadi “Idol yang dapat ditemui dengan uang”.
89
 

Tapi semua itu pilihan kan? Kita yang butuh hiburan, ya kita harus
siap keluar uang juga.”

Fenomena tersebut menggambarkan bahwa keberadaan konser

JKT48, dapat diartikan sebagai salah satu hal yang menyebabkan

kecenderungan fans mereka dapat tetap bertahan. Alih-alih menjadi suatu

bentuk hiburan, dukungan yang diberikan oleh fans kepada idola mereka

melalui konser di teater justru bersifat semu karena cenderung menjadi

stimulan supaya di kemudian hari, fans memiliki sikap untuk terus

mengonsumsi produk-produk, sebagai simbol dalam memberikan suatu

dukungan yang terus berlanjut. Adorno (dalam Witkin, 2003, h. 47)

mengatakan bahwa industri secara sengaja menciptakan bagaimana suatu

komoditas dapat seperti terlihat baru di pasar, di dalam praktiknya

menggunakan penyamaran dengan seolah-olah telah melahirkan sesuatu

yang baru, hanya untuk kemudian dapat dijual di pasaran. Melihat dari hal

tersebut, dapat dikatakan bahwa sistem yang melahirkan JKT48 dengan

segala kebaruannya ini adalah suatu hal yang disengaja oleh Akimoto,

walapun praktiknya sendiri menggunakan penyamaran dengan seolah-olah

melahirkan idola yang baru.

Melalui interpretan dari sekuen ke-6 yakni ‘loyalitas

mengonsumsi’, Sandy dan Emil digambarkan sebagai fans yang

menganggap bahwa kepemilikan merchandise menjadi hal yang penting.

Menurut Griffin (2003, h. 113), seseorang dapat dikatakan loyal ketika

sedang melakukan kegiatan mengumpulkan barang-barang secara

non-acak yang diekspresikan dari waktu ke waktu. Di dalam sekuen ini,


90
 

loyalitas digambarkan dalam wujud nyata konsumsi yang dilakukan oleh

Sandy dan Emil sebagai sarana untuk memberikan dukungan, bahkan

mendekatkan relasi dengan idolanya.

Kemunculan interpretan ‘loyalitas mengonsumsi’ dan ‘dukungan

yang terus berlanjut’ mengindikasikan bahwa fans telah berada pada suatu

kondisi dimana terdapat pengeluaran biaya yang cenderung semakin

berlebih, seperti pada saat mereka membeli CD secara berulang di dalam

satu judul yang sama, mencari posternya, membeli official guide book, dan

membeli majalah-majalah lain yang membahas JKT48. Artinya, fans pada

dasarnya telah mengalami individualisasi semu, mengingat bahwa kegiatan

untuk memberikan apresiasi kepada idolanya telah membuat mereka

menjadi seorang yang kecanduan, sehingga cenderung akan mencari

kepuasan sampai batas yang tidak pernah dapat diketahui. Kepuasan ini

tentunya mereka penuhi dengan mengeluarkan uang secara terus-menerus.

Kondisi tersebut menggambarkan bagaimana apresiasi budaya

digantikan dengan uang (Adorno, dalam Strinati, 2003, h. 72). Idola yang

muncul untuk memberikan suatu hiburan pada fans, dimanfaatkan sebagai

sarana manajemen JKT48 dalam meraup keuntungan secara berlebih

dimana hal ini dapat dilihat melalui interpretan dari sekuen ke-3, yakni

‘konsekuensi menjadi fans JKT48 yang aktif’. Ketika tiket pertunjukan

tersebut dijual setiap harinya, maka fans memang sengaja dibuat untuk

dapat terus mengeluarkan biaya demi idolanya. Hal ini tampak melalui

narasi ibu Sandy, yakni: “Kalau pulang itu, (mencoba menirukan ungkapan
91
 

Sandy): “Makan”, katanya. Emang nggak makan tadi?”. Kebutuhan makan

yang digantikan dengan menonton konser jelas dapat dibaca sebagai sikap

yang dipilih oleh seorang fans, dengan menempatkan JKT48 sebagai

kebutuhan yang lebih diutamakan.

Setiap pilihan memang memiliki konsekuensi tertentu, tetapi

konsekuensi ini pun sejatinya ada karena diciptakan oleh manajemen

JKT48 ketika memunculkan sikap dukungan di dalam diri fans. Tetapi, di

tempat lain, fans tidak selalu menjadi seorang yang demikian. Ada juga

dari mereka yang memiliki kesadaran untuk dapat melakukan kontrol

terhadap diri sendiri dalam melakukan suatu dukungan. Misalnya, melalui

situs news.viva.co.id (Makhsara, 2015), dapat dilihat bahwa ada beberapa

fans yang menjadi produktif karena tidak melulu mau mengeluarkan uang

untuk menonton konser. Diceritakan melalui situs tersebut, beberapa fans

telah membuat suatu karya yang secara khusus dipersembahkan untuk

oshi-nya masing-masing. Seperti Artbook yang dibuat untuk Viviyona

Apriani, video karaoke untuk Lidya, membuat zine tentang Vanka, atau

juga fans lain yang sesekali mengikuti handshake event untuk memberikan

jubah buatannya kepada Ratu Vienny Fitrilya. Bahkan, fans diluar

Jabodetabek cenderung memiliki kondisi yang tidak memungkinkan untuk

menjadi fans yang aktif menonton konser karena jarak yang begitu jauh

menuju ruang teater JKT48 di dalam Mall FX Sudirman, Jakarta Selatan.

Keinginan untuk Dianggap Wajar


92
 

Individu biasanya dihadapkan pada lingkungan yang tidak selalu

sesuai dengan ekspektasi, bahkan di dalam lingkungan yang berbeda pula

terdapat cara pandang yang tidak sama dengan kita. Mengingat adanya

perbedaan tersebut, dapat dikatakan bahwa setiap individu tidak secara

langsung akan memperlihatkan identitasnya kepada orang lain. Demikian

juga yang terjadi pada fans, dimana mereka tidak selalu terlihat sebagai

fans ketika sedang melakukan aktivitas sehari-harinya. Sehingga fans

cenderung dapat diidentifikasi secara jelas ketika identitasnya sudah

dikenal dengan tidak hanya melalui penampilannya.

Di dalam film dokumenter ini, sebagai seorang fans, Emil tidak

hanya dihadapkan pada konsekuensi yang muncul dari sikapnya dalam

mewujudkan dukungan kepada idolanya. Di dalam realita sosialnya, ia juga

dihadapkan pada lingkungan dari fans lain, yang memiliki perbedaan

pandangan dengannya. Melalui interpretan dari sekuen ke-4 yakni ‘strategi

untuk mengadaptasikan diri dengan lingkungannya’, Emil digambarkan

sebagai seorang fans yang ingin diakui, dianggap wajar, atau dianggap

sama seperti fans lain.

Di dalam sekuen tersebut, pada salah satu adegan, Emil

memperlihatkan beberapa tumpukan majalah JKT48 di salah satu ruang

kerja. Sedangkan melalui narasi, ia pun memunculkan argumentasi untuk

melakukan justifikasi diri sebagai fans, seperti berikut:

“Ooh men. Istilahnya, santai aja deh gitu. Maksudnya, apasih,


kayak doraemon. Doraemon orang udah tua juga masih seneng aja
nonton doraemon gitu lho. That’s hiburan.”.
93
 

Sebagai seorang fans JKT48, secara visual Emil tidak melulu akan

memperlihatkan identitas dirinya secara gamblang, seperti mengenakan

kaos bertuliskan “JKT48”, selalu membawa beberapa merchandise, atau

membicarakan idolanya pada orang-orang yang bukan fans JKT48. Hal ini

dapat diidentifikasi sebagai upaya fans untuk menyesuaikan diri dengan

lingkungan sekitaranya, sehingga dapat menempatkan diri pada situasi

dimana dirinya ingin dilihat sebagai seorang yang wajar.

Melalui situs jkt48faktaunik.com (Pratama, 2015a), diasumsikan

bahwa secara umum fans JKT48 memiliki kecenderungan untuk hanya

ingin memberikan dan memperlihatkan identitasnya kepada sesama fans

JKT48. Mereka merasa bahwa kegiatannya sebagai fans hanya untuk

kesenangan pribadi dan bukan untuk dibagi-bagi. Ketika fans kemudian

ingin memperjuangkan keinginannya melalui orang terdekat, maka hal ini

tampak sebagai upaya untuk tetap dapat menjalankan kegiatannya sebagai

fans.

Di dalam film dokumenter ini, keluarga memiliki pengaruh pada

pengambilan keputusan oleh fans, yang diceritakan melalui kehidupan

Emil dengan istrinya. Hal ini dapat dilihat secara lebih khusus melalui

interpretan dari sekuen ke-7 dan ke-9 yakni ‘persetujuan kelancaran

kegiatan’ dan ‘mencari afirmasi melalui asumsi lingkungannya’. Peran

keluarga juga dapat dilihat melalui narasinya, seperti yang tampak dari

narasi Emil pada sekuen ke-7, yakni: “Kadang-kadang kalau lagi ada

gathering juga, aku ajak istri untuk ikutan gathering, ngumpul-ngumpul


94
 

bareng fans, Jadi ya taulah kegiatan fans itu ngapain”. Hal itu juga tampak

melalui narasi dari sekuen ke-9, yakni:

Alasan untuk istriku, ya pada dasarnya aku ajak supaya dia kenal
juga sih. Jadi, akan lebih mudah membangun trust kalau istriku tau, seperti
apa sih hobiku. Jadi ya, dia tau, oh lihat oh hobinya kayak gini sih, oke sih
liat-liat anak-anak kecil, cantik-cantik sih ya. Tapi ya, ini kayak gini aja sih
ya kayak konser musik.

Kedua sekuen tersebut menggambarkan tentang upaya Emil untuk

membangun rasa tidak curiga pada istrinya. Hal ini muncul sebagai

tindakan untuk memperjuangkan keinginannya dalam melanggengkan

kegiatan-kegiatannya sebagai fans. Di sisi lain, pencarian afirmasi dalam

tindakan Emil mengindikasikan bahwa ia sedang mengalami kecemasan

dalam kelancaran kegiatan fans JKT48.

Kesadaran Fans dalam Menjaga Relasi dengan Idola

Meminjam istilah dari psikoanalisis Freud, konflik batin akan

melahirkan kecemasan yang dapat diartikan sebagai suatu pengalaman

perasaan menyakitkan yang ditimbulkan oleh ketegangan dengan orang

lain (Hall, dalam Atrinawati 2012, h. 9). Untuk mengatasi

kecemasan-kecemasan ini, seseorang dapat membentuk pertahanan mereka

dengan mewujudkannya melalui ego. Diasumsikan melalui Freud (dalam

Supratiknya, 1993, h. 32), seseorang pada dasarnya memiliki dua hal yang

berpengaruh di dalam mewujudkan ego nya, yakni naluri untuk mencapai

keinginan yang berorientasi pada kesenangan dan di sisi lainnya adalah

internalisasi nilai-nilai atau aturan oleh individu dari sejumlah figur yang

berpengaruh atau memiliki arti baginya seperti tanggapan orang lain atas
95
 

diri mereka (dalam Supratiknya, 1993, h. 35). Melalui film dokumenter ini,

upaya Emil dalam mendekatkan kegiatan fans pada istrinya,

mengindikasikan bahwa istrinya adalah seorang figur yang berpengaruh di

dalam pengambilan keputusannya. Tetapi, figur tersebut justru tampak

dikelabui oleh keinginan Emil yang berorientasi pada kelancaran

kegiatannya sebagai fans saja. Ini mengindikasikan bahwa ego di dalam

dirinya berusaha untuk terus memuaskan naluri dalam mendapatkan

kepuasan dan kesenangan sebagai fans.

Kecenderungan tersebut juga tampak pada interpretan dari sekuen

ke-11, yakni ‘risiko menjadi fans yang aktif’ dimana Sandy, sebagai fans

JKT48, memiliki hasrat dalam merealisasikan keinginannya untuk

mencapai kepuasan. Melalui narasi pada adegan penutup dari sekuen

tersebut, ibu Sandy mengalami kebingungan terkait sikap anaknya yang

memiliki intensitas tinggi saat membeli kaset-kaset JKT48 dengan

mengabaikan keperluan lainnya. Sandy juga mengatakan bahwa segala hal

diluar JKT48 dianggap sebagai tanggung jawab ibunya, yang kemudian

dapat diasumsikan bahwa keperluan Sandy dalam hal ini hanya pada

konsumsi JKT48.

Adorno (dalam Strinati, 2003, h. 72), mengatakan bahwa

kemampuan dari industri budaya adalah ketika dapat menggantikan

kesadaran massa dengan konformitas dan kesepahaman yang menjadikan

adanya kepatuhan pada pihak yang berwenang maupun stabilitas sistem

kapitalis. Selanjutnya, efektivitas kemampuan industri terletak pada


96
 

eksploitasi ego yang membuat hilangnya kesadaran sehingga muncul

ketidakberdayaan massa dalam mengambil sikap. Penjelasan tersebut dapat

dibaca sebagai keadaan pasif yang lahir melalui sistem manajemen JKT48

dalam membentuk seorang fans yang disebut oleh Adorno (1991, h. 41)

sebagai kemunduran dalam menentukan sikap. Ia memberikan contoh

melalui kemunduran dari cara seseorang untuk mendengarkan musik,

ketika musik pop menguasai industri yang kemudian membuat kita tidak

sadar akan hilangnya estetika dari suatu musik. Di dalam kaitannya dengan

pembahasan ini, bentuk pasif dari individu dapat dilihat melalui

ketidakberdayaan Sandy dan Emil ketika mereka mulai masuk menjadi

seorang fans JKT48, yang tentunya juga akan mengikuti aturan di bawah

naungan sistem manajemen JKT48.

Melalui paragraf tersebut dapat dijelaskan bahwa sikap pasif yang

muncul di dalam diri fans menggambarkan bahwa solusi untuk

mendapatkan kebahagiaan dari dalam diri ketika menjadi seorang fans, dan

hal-hal lain yang terkait dengan dukungannya pada idola, dapat dikatakan

sebagai bentuk dari individualisasi semu. Fans hanya menyadari bahwa

dirinya adalah seorang pendukung, tetapi buta melihat lingkungan sekitar

mengingat bahwa hanya idola yang menjadi perhatian dominan dari

seorang fans, sehingga peringatan dan perhatian dari lingkungan terdekat

menjadi terlupakan. Di bawah naungan sistem JKT48, fans tampak tidak

merasa memiliki tekanan, tetapi justru mengalami kebahagian di tempat

lain dalam diri idola, yang tentu begitu jauh dari lingkungan sehari-harinya.
97
 

Oleh karena itu, diasumsikan melalui pernyataan Strinati (2003, h.

68), yang terjadi kemudian bahwa sebenarnya kebutuhan-kebutuhan sejati

akhirnya tidak dapat direalisasikan karena adanya kebutuhan-kebutuhan

palsu yang dilahirkan oleh sistem ini untuk tetap bisa bertahan, yang

bahkan kemudian dibebankan dan diletakkan di dalam diri para fans.

Selanjutnya, kebutuhan palsu berusaha mengingkari dan menindas

kebutuhan-kebutuhan sejati atau kebutuhan nyata seorang fans. Maka yang

terjadi adalah kebutuhan-kebutuhan palsu yang diciptakan dan dilestarikan

oleh manajemen JKT48, seperti keinginan para fans dalam mengonsumsi

segala komoditas terkait JKT48, dapat direalisasikan hanya dengan

mengorbankan kebutuhan-kebutuhan sejati yang masih belum terpenuhi.

Pada tingkat selanjutnya sikap pasif membawa diri fans untuk terus

menaati keinginan mereka dalam mengonsumsi. Sikap pasif ini dapat

dilihat melalui interpretan dari sekuen ke-8, dimana fans kemudian

melakukan ‘tindakan konsumsi yang ceroboh’. Hal tersebut juga secara

lebih jelas tampak dari narasi Sandy, yakni:

“Waktu itu, pernah sih sekali, Waktu itu uang kas kelas, wah ada
CD nih rilis hari ini. Eh, bukan CD, tiket. Tiket konser waktu itu. Wah ada
tiket konser rilis hari ini. Emmm, gimana yaa, ini uang kelas dipakai dulu
lah ya. Akhirnya, saya pakai uang kas itu, tiga hari kemudian baru saya
ganti sama duit saya.”

Narasi tersebut memperlihatkan bahwa fans JKT48, di dalam

memberikan suatu dukungan pada oshi mereka, tidak lepas dari adanya

kupon di dalam CD yang dibeli. Tetapi, yang terjadi kemudian bukanlah

membeli seluruh CD JKT48 dengan bertujuan untuk mengoleksi. Lebih


98
 

dari itu, fans menginginkan kupon di dalam CD saja, bukan musik rekaman

idola mereka yang ada di dalam CD. Maka, tidak dipungkiri jika fans

JKT48 akan memiliki begitu banyak CD dengan judul album yang sama.

Sikap impulsif tersebut juga digambarkan melalui sekuen ke-5. Pada saat

hasrat untuk menonton konser idolanya mulai tumbuh pada diri fans, di sisi

lain juga memunculkan kesadaran mereka tentang ketidakstabilan antara

kegiatan fans dan keluarga. Hal ini yang membuat mereka melakukan

kompromi, untuk tetap dapat menjadi seorang fans yang aktif, seperti

interpretan dari sekuen ke-5 yakni ‘siasat untuk menjaga keharmonisan’.

Walaupun, hal tersebut rupanya memang hanya siasat belaka, yang

digunakan sebagai alasan untuk kemudian dapat mendekatkan diri dengan

oshi tanpa dicurigai oleh keluarga.

Melalui paragraf tersebut dapat dilihat bahwa kehadiran oshi di

dalam kehidupan fans JKT48 menggantikan peran keluarga terdekat.

Subtitusi peran ini mengindikasikan tentang kecenderungan seorang fans

untuk hanya menginginkan suatu hal yang membuatnya senang, mengingat

bahwa pada dasarnya JKT48 adalah idola yang lahir di dalam dunia

hiburan. Di sisi lain, wujud dukungan dari fans memperlihatkan adanya

orientasi materi atau penggunaan biaya, yang diletakkan sebagai tujuan

dari sebuah kebahagiaan. Orientasi tersebut menunjukkan bahwa adanya

figur baru yang diyakini, bahkan dipuja oleh fans, lebih dari keluarga

beserta maknanya.
99
 

Para personil JKT48 muncul sebagai figur yang seolah-olah telah

memberikan persuasi kepada fans untuk terus mencintai idolanya ini.

Seperti yang dapat dilihat kembali pada teks awal di dalam sub bab ini,

sistem manajemen JKT48 tidak membentuk sekumpulan perempuan

dengan langsung menjadikannya sebagai idola dengan banyak talenta.

Analogi panci yang dimaksud di dalam pernyataan Akimoto tersebut dapat

diasumsikan sebagai panggung, yang dapat diartikan sebagai suatu wahana

yang digunakan untuk menampilkan eksistensi para idola di dalam dunia

hiburan. Artinya, JKT48 adalah kumpulan para perempuan yang masih

terlihat belum memiliki bakat dan talenta yang mumpuni untuk menjadi

idola, dan dukungan fans itulah yang menjadi proses terkait perkembangan

dari para personil JKT48. Di sinilah penggambaran individualisasi semu,

yang mengarah pada reifikasi menjadi begitu jelas.

Dukungan kepada idola, rasa cinta, atau bahkan pemujaan dengan

orientasi konsumsi diletakkan oleh manajemen JKT48 kepada fans sebagai

otoritas kebahagiaan. Melalui film dokumenter “Super Japan (Popcorn

Dreams)”, Reino R. Barack (lihat hal. 85) mengatakan bahwa, “Di masa

lalu idola adalah penampilannya, tetapi sekarang melebihi itu dengan

masuk pada sikap dan gaya hidup para pendukung”. Artinya, ini yang

membuat bentuk konsumsi dapat dikatakan tidak lagi berfungsi sesuai

asalnya. Seorang fans mulai kehilangan arah untuk menentukan fungsi

otentiknya dalam melakukan konsumsi, karena konsumsi tersebut meluas

menjadi pemuas kebutuhan. Tanpa konsumsi, barangkali fans akan


100
 

menjadi merasa lemah, kehilangan daya untuk berkegiatan sehari-hari,

bahkan tidak memiliki gairah karena merasa kehilangan idola di tengah

kesehariannya. Hasrat yang mulanya dipenuhi untuk suatu kebahagiaan,

pada akhirnya berubah menjadi perasaan lain. Suatu perasaan yang

kemudian membuat fans menyembah idolanya, karena meyakini adanya

suatu makna yang muncul di dalam diri para oshi tersebut. Inilah yang akan

dibahas pada sub-bab selanjutnya.

3. Reifikasi dalam Wujud Cinta Platonis

Berdasarkan dari penjelasan-penjelasan di dalam pembahasan

sebelumnya, fans cenderung terlihat seperti memiliki perhatian yang lebih

dominan pada idolanya. Perhatian tersebut juga ditunjukkan melalui sikap

konsumsi mereka terhadap komoditas JKT48. Menurut Hills (2002, h. 76),

seseorang yang telah menjadi fans, sebenarnya telah menjadi konsumen,

walaupun mereka bukanlah konsumen yang suka berbelanja barang-barang

komersial. Tetapi, fans JKT48 tidak berhenti hanya sampai di situ. Segala

upaya yang dilakukan oleh fans untuk menjalin relasi yang lebih erat

dengan idolanya, di sisi lain juga menjelaskan bahwa fantasi fans tentang

idolanya juga telah terangkai semakin baik. Sehingga, menurut Hills (2002,

h. 74), kesadaran fans sedang berada pada batas antara fantasi dan

kenyataan, dan benda-benda yang menunjuk pada fantasi tersebut menjadi

suatu transisi yang menyatukan. Inilah yang sejatinya diinginkan oleh

manajemen JKT48, sehingga fans semakin mengikuti kehidupan oshi-nya,


101
 

semakin membeli komoditasnya, dan menjadi semakin memberi perhatian

dan dukungan pada oshi-nya. Berkat kehadiran fans yang seperti demikian,

eksistensi JKT48 akan terus terjaga.

Melalui sekuen ke-10, selain hanya membeli tiket pertunjukan dan

merchandise-nya, fans cenderung memiliki keinginan untuk dapat

menjalin interaksi yang lebih dengan para personil JKT48. Indikasi ini

dapat dilihat melalui pernyataan Emil yakni:

“Ini aku mau nonton teaternya shownya Tim J. Setlist-nya Dareka


no Tame Ni. Kebetulan ini ramai banget, karena di sana ada banyak
banner-banner ucapan, karena hari ini ada show ulang tahunnya dua
member Rachel sama Gaby. Dan kebetulan, saya pendukungnya
Rachel, jadi nonton. Harus nonton”.

Menonton konser, dan merayakan ulang tahun idola, telah menjadi

sesuatu yang biasa. Tetapi, di dalam JKT48, perayaan ulang tahun seluruh

personilnya diagendakan di dalam konser teater. Hal ini bisa dilihat melalui

situs jkt48.com. Maka, tidak jarang fans kemudian menjadi merasa perlu

untuk mendatangi teater dalam rangka merayakan ulang tahun oshi-nya,

atau merayakan momen lainnya. Intensitas tinggi untuk mendatangi konser

membuat fans menjalin suatu ‘ikatan dalam cinta platonis’ (interpretan dari

sekuen ke-10), sehingga kemudian mereka rela mengeluarkan biaya

tambahan, melalui berbagai cara tentunya. Hal ini dilakukan untuk

mendapatkan kebahagiaan yang mereka percaya ada di dalam diri para

oshi.

Kebahagiaan tersebut diperoleh melalui berbagai cara. Fans dapat

membeli tanda tangan oshi sesuai dengan tempat yang diinginkan. Tentu
102
 

saja, hal ini tidak disediakan secara gratis. Selanjutnya, jika fans dapat

menggunakan akumulasi jumlah pembelian tiket pertunjukan JKT48 di

teater FX Sudirman, mereka akan meraih penghargaan “JKT48 Theater

MVP Award” dengan hadiah eksklusif, yang salah satunya adalah kaos

original dengan tanda tangan dari seluruh personil. Selain itu, fans juga

dapat mengikuti handshake event, dimana mereka secara bebas dapat

memilih oshi, untuk kemudian berbicara dan berjabat tangan di sebuah

bilik kecil. Ketika handshake event, seorang fans akan dikenai biaya

sebesar Rp 30.000,00/ 10 detik, yang kemudian mereka dapat

mengakumulasikan biaya yang dikeluarkan untuk menambah durasi

waktunya. Handshake event adalah waktu tambahan bagi para fans yang

ingin menjalin ikatan dengan idola, dimana hal tersebut tidak didapatkan

secara gratis ketika sudah membeli tiket konser seharga Rp 100.000,00.

Ikatan tersebut juga nampak pada fenomena dukungan berupa voting, yang

diberikan dari seorang fans untuk mempertahankan peringkat oshi-nya,

untuk dapat tampil di dalam musik video, atau untuk dapat masuk di dalam

lagu yang akan dirilis. Program ini dinamakan dengan senbatsu sousenkyo.

Secara lebih jelas hal tersebut dapat dilihat melalui program acara

“Senbatsu Sousenkyo Results” yang ditayangkan oleh NET.TV pada 23

Mei 2015. Acara yang berdurasi hampir dua jam tersebut, menampilkan

grafik peringkat JKT48, dimana personil yang menempati peringkat 20

teratas akan masuk di dalam lagu atau musik video yang dirilis. Tentu saja,

peringkat ini ditentukan melalui voting yang dilakukan oleh fans.


103
 

Selain cara fans untuk mengikuti berbagai program dari manajemen

JKT48, melalui jkt48faktaunik.com (Pratama, 2015b) diperlihatkan bahwa

fans juga menginginkan timbal balik dari oshi, melalui teriakan-teriakan di

dalam teater atau juga dari intensitasnya mengikuti handshake event.

Program acara di RCTI yakni “Cek & Ricek” pernah mengulas tentang

proses yang terjadi di dalam handshake event. Fans tidak hanya

memanfaatkan waktu tersebut untuk berjabat tangan dan menyapa oshi,

tetapi ada juga fans yang memberikan barang-barang berharga mahal untuk

kemudian berharap bahwa pemberian tersebut dapat diingat oleh oshi.

Ikatan yang dibentuk oleh fans ini, di sisi lain juga memunculkan

persaingan antar fans seperti yang dilansir melalui jkt48faktaunik.com.

Persaingan ini muncul ketika antar fans ingin mendapatkan perhatian lebih

dari para oshi, sehingga voting, handshake event, dan pemberian

barang-barang menjadi cara yang digunakan untuk menjaga ikatan mereka

dengan oshi.

Menurut Adorno (1991, h. 17), kemunculan reifikasi menyebabkan

kesenangan seseorang berhenti di dalam satu hal, tetapi bukan lantas

membuatnya mengabaikan hal yang lain, karena satu hal yang sedang

disenangi membuatnya tidak dapat berpaling kepada yang lain. Artinya,

ada suatu kepuasan yang didapatkan melalui praktik konsumsi yang

semakin tinggi, yang dipupuk oleh manajemen JKT48 mulai dari

perasaan fans ketika menyukai, menggemari, hingga menjadi kecanduan.

Di dalam tahap ini, fans telah menempatkan fantasi di dalam benak mereka
104
 

untuk menjalin relasi, yang diwujudkan secara nyata melalui konsumsi.

Pada saat fantasi tentang idola mendominasi, ketimbang relasi sosial di

dalam kehidupan nyata, maka terwujudlah ikatan yang dibentuk oleh fans

dengan idolanya. Walaupun demikian, tidak selamanya fans menyadari hal

ini.

Diasumsikan melalui pernyataan Adorno (1991, h. 45), reifikasi

muncul ketika nilai dan simbol sudah masuk di dalam sesuatu yang

dikonsumsi. Sebagai contoh, nilai dan simbol tersebut dapat dilihat secara

lebih khusus melalui perayaan ulang tahun di teater dan voting dalam

senbatsu souesenkyo. Mendatangi perayaan ulang tahun salah satu personil

di dalam teater menunjukkan adanya nilai ‘semangat’ yang disimbolkan

dengan ‘kebersamaan’, seperti yang dimunculkan melalui kalimat Emil di

sekuen ke-10 yakni, “Dan kebetulan, saya pendukungnya Rachel, jadi

nonton. Harus nonton”. Sedangkan voting menunjukkan adanya nilai

‘perjuangan’ yang disimbolkan dengan ‘dukungan’ melalui kontribusi fans

untuk mendapat kupon melalui pembelian CD, yang digunakan untuk

voting idolanya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa nilai dan simbol

tersebut tidak semata-mata muncul begitu saja, tetapi telah melalui suatu

proses yang membawa mereka untuk kemudian mengikuti perkembangan

idolanya dan dengan suka rela membeli segala komoditas JKT48. Proses

inilah yang menjadi jembatan fans untuk dapat mengekspresikan perasaan

cinta platonis mereka pada oshi.


105
 

4. Idolaku, Jiwa Ragaku: Suatu Representasi Tentang VVOTA

Fetisisme komoditas pada dasarnya telah mengalihkan kesadaran

seseorang untuk kemudian menanamkan hasrat pada kebutuhan palsu

karena, menurut Strinati (2003, h. 63), munculnya fetisisme komoditas

merupakan misteri dari wujud komoditas setelah diproduksi, dimana

komoditas tersebut memiliki makna yang tidak dapat ditangkap oleh indra.

Melalui pernyataan Strinati, dapat dijelaskan bahwa fetisisme komoditas,

dengan cara yang tidak terduga, membawa hasrat seseorang pada

kesadaran untuk melakukan konsumsi pada suatu komoditas yang sejatinya

tidak pernah diketahui fungsinya. Walaupun kemudian tidak dinyatakan

secara denotatif, melalui film dokumenter ini, dapat terbaca adanya

pola-pola yang cenderung mengarah pada fetisisme komoditas.

Film dokumenter ini menggambarkan kegiatan fans JKT48,

khususnya pada kegiatan Sandy dan Emil saja. Gambaran tersebut juga

tampak bersinggungan dengan aspek ekonomi dan aspek keluarga.

Kecenderungan aspek ekonomi tampak menonjol pada sekuen-sekuen

yang menampilkan Sandy, sedangkan kecenderungan dari aspek keluarga

cenderung tampak menonjol pada sekuen-sekuen yang menampilkan Emil.

Pada sekuen ke-2 yang merupakan sekuen pembuka,

menggambarkan perjalanan Sandy dan beberapa temannya menuju teater

di FX. Sudirman untuk menonton konser JKT48. Sekuen tersebut

menunjukkan fans JKT 48 cenderung lebih mengidolakan personil JKT48

daripada karya yang dihasilkan, dalam hal ini musik. Hal ini tampak dalam
106
 

perkataan teman Sandy, “Aduuh. Mandi lah, mau ketemu oshi juga.

Kebiasaan, anak ini” serta diperkuat dengan pernyataan Sandy, yaitu:

“Waktu itu nonton teater ya. Waiting list dari jam 7 pagi. Cuma
mau liat penampilan oshimen, ulang tahun di teater hari itu, gitu.
Saya berusaha untuk masuk, apapun yang terjadi hari itu, harus
masuk ke teater. Menyaksikan itu, oshi saya ulang tahun, dirayain
di teater hari itu.”

Pernyataan Sandy dan temannya tersebut mengindikasikan bahwa

konser bukan lagi mengacu pada pertunjukan musik, mengingat bahwa

keinginan fans untuk melampiaskan hasratnya dalam mendapatkan hiburan

terletak pada penampilan oshi-nya, yang secara khusus pada acara ulang

tahunnya. Sedangkan kata “harus masuk ke teater” memperlihatkan bahwa

sejatinya fans digambarkan sebagai seseorang yang telah menjadi sukarela

ketika menonton idolanya tampil, sehingga mereka menjadi terlihat pasif

dalam menerima persuasi sebagai fans dari sistem manajemen JKT48.

Kedua indikasi tersebut cenderung mengarah pada pembentukan peran

Sandy sebagai seorang yang memiliki relasi dengan oshi-nya, yang

kemudian diwujudkan melalui praktik konsumsi tentunya.

Konsumsi merupakan aspek ekonomi yang tentu juga penting di

dalam menjalani kegiatan sebagai fans, begitulah yang terjadi di dalam

dunia fans, khususnya dari apa yang diperlihatkan melalui kehidupan fans

JKT48 di dalam film dokumenter ini. Konsumsi kiranya adalah hal yang

penting bagi Sandy sehingga ada upaya yang ditempuh olehnya untuk

mewujudkan segala kegiatannya sebagai fans, khususnya dalam menjalin

relasi dengan oshi-nya. Hal tersebut ditegaskan melalui sekuen ke-8,


107
 

melalui narasi Sandy, yakni: “Dimarahin pernah waktu itu beli CD, sampai

banyak sampai diomelin. Karena ya katanya ini buang-buang uang aja kan,

mending buat beli buku, atau buat apa”. Membeli CD dalam jumlah banyak

mengindikasikan bahwa ada kupon yang ingin didapatkan Sandy untuk

mendukung idolanya. Artinya, cara Sandy menjaga relasi ini diperlihatkan

melalui bentuk dukungannya pada idolanya. Di sisi lain, interpretan pada

sekuen ke-8 yakni ‘tindakan konsumsi yang cenderung ceroboh’,

menunjukkan sikap pasif Sandy sebagai fans ketika berada di bawah

naungan sistem manajemen JKT48.

Sikap pasif itu ditegaskan melalui sekuen ke-3, dimana Sandy yang

pengeluarannya masih diatur oleh ibunya, mengalihkan uang jatah

makannya untuk keperluannya sebagai fans. Padahal di sisi lain, Maslow

mengatakan bahwa kebutuhan makan sejatinya merupakan kebutuhan

dasar yang harus dipenuhi terlebih dahulu (1988, h. 39). Hal serupa juga

tampak ketika ia mengambil uang kas kelas dimana cara tersebut

cenderung dianggap sebagai cara yang wajar. Namun di sisi lain, Sandy

pun berusaha untuk menabung sebagai cara merealisasikan kebutuhannya

sebagai fans. Hasrat di dalam diri Sandy tampaknya telah mendorongnya

untuk mendapatkan “kebutuhan aktualisasi diri”, yakni kepuasan melalui

praktik konsumsi dalam mendukung idolanya. Sehingga melalui kehidupan

Sandy, fans cenderung digambarkan sebagai seorang yang dengan mudah

melakukan siasat pada kebutuhan lainnya, bahkan juga melakukan suatu


108
 

perbuatan menyimpang karena telah mengambil dan menggunakan uang

yang bukan miliknya untuk merealisasikan kebutuhannya sebagai fans.

Berbeda dengan kehidupan Sandy, kehidupan Emil digambarkan

secara berbeda dalam menjalani kegiatan sebagai fans JKT48. Pencapaian

“kebutuhan aktualisasi diri” yang dilakukan oleh Emil tidak terkait pada

aspek konsumsi, tetapi lebih ditekankan pada keluarga. Walaupun di dalam

penceritaan Sandy juga dimunculkan keluarga, tetapi beberapa interpretan

yang ditemukan melalui sekuen penceritaan Emil, seperti ‘siasat untuk

menjaga keharmonisan’, ‘persetujuan dalam kelancaran kegiatan fans’, dan

‘mencari afirmasi melalui asumsi lingkungannya’, mengindikasikan bahwa

keluarga cenderung menjadi figur yang begitu berperan dalam

melanggengkan kegiatan Emil sebagai fans. Supaya tetap lancar dalam

kegiatannya sebagai fans, Emil kemudian tampak menegosiasikan

kebutuhan lainnya, yang secara khusus diperlihatkan pada sekuen ke-9:

“Alasan untuk istriku, ya pada dasarnya aku ajak supaya dia kenal
juga sih. Jadi, akan lebih mudah membangun trust kalau istriku tau,
seperti apa sih hobiku. Jadi ya, dia tau, oh lihat oh hobinya kayak
gini sih, oke sih liat-liat anak-anak kecil, cantik-cantik sih ya. Tapi
ya, ini kayak gini aja sih ya kayak konser musik.
Jadi lebih mudah untuk membangun rasa nggak curiga karena dia
tau, Sebetulnya, hobi ngidol itu seperti apa sih. Kalau beli itu kayak
apa, kalau bergaul sama fansnya itu kayak apa. Kalau nonton itu
kayak apa, kalau handshake event itu kayak apa. Jadi, ya nggak
cemburuan lagi. Maksudnya ya, yaudah tau lah, segitu-gitu aja.
Maksudnya ya, no big deal.”

Narasi tersebut mengindikasikan bahwa tindakan Emil berusaha

mengajak istrinya agar memahami kegiatannya sebagai fans JKT 48,

mengingat bahwa Emil dan istrinya terlihat memiliki hobi dan kegiatan
109
 

sehari-hari yang berbeda, seperti tampak pada sekuen ke-7. Selain itu,

melalui interpretan dari sekuen ke-10 yakni ‘ikatan dalam cinta platonis’,

menguatkan bahwa kegiatan Emil sebagai fans berada di dalam tingkatan

yang cenderung dapat dikatakan sebagai “fans yang memiliki perhatian

lebih pada idolanya”. Artinya, cara Emil untuk merangkul keluarganya

dapat dibaca sebagai suatu siasat mengingat bahwa Emil hanya

menjelaskan pada istrinya mengenai kegiatan fans JKT 48 yang disamakan

dengan kegiatan menonton konser pada acara lainnya, bukan mengenai

ikatan yang dimiliki oleh seorang fans JKT 48 terhadap oshi-nya.

Keluarga merupakan aspek penting di dalam menjalani kegiatan

sebagai fans, khususnya dari cerita yang telah ditampilkan melalui film

dokumenter ini. Emil yang sudah berkeluarga, memiliki pekerjaan, dan

berumur 40 tahun, memiliki upaya untuk merangkul keluarga supaya

kegiatannya sebagai fans, yang notabenenya cenderung hanya dilakukan

oleh orang-orang yang berusia muda, mendapatkan afirmasi dari istrinya.

Upaya ini pun tentu tidak lepas dari hasrat di dalam dirinya untuk mendapat

kepuasan dalam mengakses hiburan sekaligus menjaga relasi dengan

idolanya. Hal tersebut juga ditegaskan melalui narasi pada sekuen ke-10

dan ke-12 dimana Emil secara jelas menyatakan bahwa ia suka pada JKT

48.

Masing-masing aspek yang ditampilkan melalui kehidupan Sandy

dan Emil dalam film ini menunjukkan bahwa Sandy dan Emil tampak

memiliki orientasi yang sama dalam melanggengkan segala cara untuk


110
 

dapat membeli segala komoditas JKT48. Hal tersebut tampak melalui

interpretan sekuen ke-6 yakni ‘loyalitas mengonsumsi’, yang dapat

diartikan sebagai wujud nyata realisasi kebutuhannya sebagai fans.

Merujuk pada Freud, kehidupan fans JKT48 melalui penceritaan Sandy dan

Emil di dalam film dokumenter ini dapat digolongkan sebagai fans dengan

tingkatan “fetishist tingkat tinggi”. Asumsi ini muncul berdasarkan

kecenderungan Emil dan Sandy yang tidak hanya berhenti pada kegiatan

mereka untuk mengikuti perkembangan JKT48 dari media, mendengarkan

lagu, atau menonton video-nya. Lebih dari itu, mereka juga sering membeli

CD, poster, majalah tentang JKT48, dan menonton teater JKT48 sebagai

wujud nyata untuk merealisasikan kebutuhannya sebagai fans.

Sebagai perbandingan untuk menjelaskan representasi fetisisme

komoditas, peneliti menggunakan referensi dari tulisan lain yang

melakukan kajian fetisisme komoditas pada fans The Virgin, mengingat

bahwa fenomena tersebut dirasa lebih dekat karena juga terkait dengan fans

dan idola. Yuni Anggi Aulia, melalui tulisannya yang berjudul “Fetisisme

Para Virginity”, menjelaskan mengenai fetisisme komoditas yang dialami

oleh fans The Virgin di daerah Jember. Pada penelitian tersebut dijelaskan

bahwa fans cenderung melakukan praktik mengoleksi berbagai aksesoris

dan poster, serta meniru gaya personil The Virgin yakni Dara dan Mitha.

Fetisisme komoditas, di dalam penelitian tersebut, diidentifikasi melalui

pencapaian kepuasan pada diri fans ketika mereka telah melakukan imitasi.
111
 

Kepuasan yang ditemukan di dalam penelitian Aulia berbeda

dengan yang ditemukan dalam penelitian ini, karena fans tidak

mendapatkan kepuasan melalui proses imitasinya dari idola, melainkan

dari relasi yang dibentuk oleh fans untuk menjadi semakin dekat dengan

idolanya. Pada film dokumenter ini, konser tidak semata-mata dianggap

sebagai hiburan dan tontonan yang digunakan untuk melihat aksi panggung

idolanya, namun di sisi lain konser memiliki arti penting bagi fans JKT48

untuk mendekatkan diri dengan oshi-nya. Artinya, menonton konser dapat

menjadi indikasi bahwa kepuasan fans JKT48, salah satunya, terletak pada

kegiatannya ketika sedang menonton idola tampil di atas panggung,

mengingat bahwa masih ada kegiatan lain seperti handshake event.

Indikasi tersebut ditegaskan melalui ekspresi ibu Sandy dan istri

Emil yang tampak keheranan melihat Sandy dan Emil, serta diperkuat

melalui argumentasi yang mereka sampaikan. Melalui sekuen ke-10 dapat

dilihat ekspresi istri Emil yang tampak keheranan sambil berkata:

“Saya pernah liat. Pernah liat dan dengar sampe se-detail itu.
Kayak, hari ini dia pake jepit rambut apa, warna apa, gitu. Kok bisa
ya? Biasanya cewek yang ngobrolin kayak begitu, kan ini cowok
gitu”.

Sedangkan melalui sekuen ke-8, dapat dilihat pula ekspresi

keheranan ibu Sandy yang dipertegas melalui narasinya yakni:

“Pernah bawa kaset baru, kasetnya setumpuk-setumpuk itu lho.


Ada yang udah dibeli, beli lagi. Itu karena ada apanya gitu katanya.
Iya,”ada kuponnya”, kata dia gitu. Ya allaaaah, Ya jangan gitu, kan
udah ada. “Ya kan yang ini ada potonya”, kata dia gitu.”
112
 

Kehadiran Ibu Sandy dan istri Emil dalam film dokumenter ini

tampak menjadi perspektif lain yang seakan-akan dianggap normal ketika

dibandingkan dengan perspektif yang dimiliki oleh Sandy dan Emil

sebagai fans. Hal ini diperkuat melalui ekspresi keheranan yang

ditunjukkan oleh ibu Sandy dan istri Emil tersebut, seperti yang telah

dipaparkan di atas. Meskipun cenderung dianggap “aneh” oleh

keluarganya, Sandy dan Emil tetap berusaha untuk mendukung idolanya

dengan mengikuti berbagai kegiatan fans.

Berdasarkan pada pemaparan tentang perbedaan perspektif pada

film dokumenter tersebut, fetisisme komoditas fans JKT48

direpresentasikan sebagai pemenuhan hasrat oleh fans untuk mendapatkan

kepuasan dalam menjalin relasi yang semakin dekat dengan idolanya.

Adapun kehadiran keluarga di dalam film dokumenter ini, yang

dihadapkan dengan konsumsi dan perhatian fans terkait dengan idolanya,

menjadi penguat bagaimana pemenuhan hasrat sebagai fans lebih dominan

ketimbang keluarga dan kebutuhan lainnya. Kehidupan fans yang

direpresentasikan pada film dokumenter ini juga mengarah pada definisi

seorang VVOTA (lihat penjelasan Bab 2), dimana istilah tersebut juga

dapat diartikan sebagai Over Dossis Fans. Hal inilah yang kemudian

digambarkan melalui judul film dokumenter ini, dimana idola kemudian

dianggap sebagai bagian dari jiwa-raga, “Idolaku, Jiwa Ragaku”.


BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Melalui analisis struktur triadik yang diambil dari Charles Sanders Peirce,

film dokumenter “Idolaku, Jiwa Ragaku” menceritakan bagaimana kehidupan

tentang dua orang yakni Sandy dan Emil dengan latar belakang dan masalah yang

berbeda. Sebagai fans, mereka melakukan konsumsi sebagai wujud dukungan

untuk JKT48. Wujud nyata praktik konsumsi yang dilakukan oleh fans, dikaji

dengan fetisisme komoditas yang dikemukakan oleh Adorno melalui tiga

aspeknya.

Pada bagian standarisasi, fans tampak sebagai pelanggan konser dengan

intensitas tinggi untuk membeli tiket. Bukan lagi menjadi suatu pilihan, menonton

konser adalah pemenuhan hasrat yang perlu dilakukan secara terus-menerus

karena telah menjadi kebutuhan. Konser JKT48 diciptakan untuk terus ada setiap

hari, sehingga fans tidak mengalihkannya pada bentuk kegiatan yang lain. Inilah

standarisasi yang terjadi di dalam fans JKT48.

Berbeda dengan mayoritas artis musik lain yang hanya menjual CD dan

tiket konsernya kepada fans, sistem di dalam JKT48 telah membuat fans beralih

untuk mendapatkan kupon voting melalui pembelian CD, bukan lagi untuk hanya

menikmati lagu di dalamnya. Ketika fans terus-menerus memberikan dukungan

melalui biaya yang lebih, dan menekankan perhatian pada idolanya melalui

cara-cara tersebut, tampak bahwa fans lebih mementingkan hal tersebut ketimbang
114
 

peran keluarga. Inilah individualisasi semu yang dialami oleh fans, mengingat

bahwa yang terjadi sebenarnya adalah bagaimana mereka telah menjadi konsumen

dari segala komoditas JKT48. Selanjutnya, terlihat bahwa manajemen JKT48 pada

dasarnya telah memupuk perasaan fans mulai dari menyukai, menggemari, hingga

menjadi kecanduan. Pola tersebut dapat terbentuk ketika reifikasi muncul melalui

ikatan dalam cinta platonis mereka terhadap idola.

Kegiatan fans di dalam film dokumenter ini sendiri ditampilkan melalui

kehidupan Sandy yang bersinggungan dengan aspek ekonomi dan Emil yang

bersinggungan dengan aspek keluarga. Walaupun ada perbedaan aspek pada

masing-masing fans, persamaan kemudian muncul sebagai orientasi mereka untuk

mencapai “kebutuhan aktualisasi diri”, ketika dikaitkan dengan teori hirarki

kebutuhan. Segala upaya kemudian muncul untuk mencapai kebutuhan tersebut,

sehingga dapat terlihat bagaimana cara-cara yang dilakukan fans dalam menyiasati

kebutuhan yang lainnya. Sebagai contoh, hal tersebut secara lebih jelas dapat

dilihat melalui tindakan mencuri uang kas kelas yang dilakukan oleh Sandy, atau

merangkul keluarga supaya dapat memahami kegiatan sebagai fans seperti yang

dilakukan oleh Emil.

Terkait dengan teori fetisisme milik Freud, kehidupan fans JKT48 dapat

digolongkan sebagai fans dengan tingkatan “fetishist tingkat tinggi”. Asumsi ini

muncul melalui kegiatan Sandy dan Emil yang cenderung membeli segala

komoditas JKT48 sebagai wujud nyata untuk merealisasikan kebutuhan sebagai

fans. Fans JKT48 tampak tidak memiliki ragam kegiatan yang lain karena
115
 

kecenderungan mereka untuk hanya mengeluarkan biaya secara berlebih, serta

perhatian yang dominan hanya untuk oshi-nya.

Dihadirkannya keluarga di dalam film dokumenter ini, semakin

menguatkan posisi fans sebagai seorang pemuja. Pemenuhan hasrat sebagai fans

terlihat lebih dominan ketimbang keluarga dan kebutuhan lainnya. Melihat hal

tersebut, fetisisme komoditas fans JKT48 direpresentasikan sebagai pemenuhan

hasrat oleh fans untuk mendapatkan kepuasan dalam menjalin relasi yang semakin

dekat dengan idolanya. Selain itu, definisi tersebut juga mengarah pada definisi

VVOTA, atau yang dapat juga diartikan sebagai Over Dossis Fans.

B. Saran

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini memiliki keterbatasan dalam

melakukan analisis fetisisme komoditas fans JKT48. Penggunaan metode

semiotika dalam peneltian ini kurang dapat menggali secara lebih dalam mengenai

fans, karena hanya menggunakan satu media sebagai objek penelitian. Melihat dari

adanya keterbatasan tersebut, saran yang dapat diberikan untuk penelitian

selanjutnya dalam memahami fetisisme komoditas yakni dengan menggunakan

metode lain untuk masuk secara lebih dekat pada kehidupan fans, seperti etnografi.

Alasannya sederhana. Metode tersebut mampu mengulik banyak hal yang tidak

didapatkan melalui kajian pustaka, apalagi fetisisme komoditas pada dasarnya

berkaitan erat dengan ilmu psikologi. Sehingga, ada banyak segi yang bisa

dipahami ketika peneliti menjadi Official Fans Club, ikut membeli segala

komoditas idola, berdinamika bersama fans lain, dan ikut merasakan bagaimana
116
 

para idola ketika sedang menyanyi, dan berinteraksi dengan fans sebagai wujud

persuasi mereka di atas panggung. Dari hal tersebut, peneliti berharap ada

penelitian lain untuk melengkapi studi yang telah dilakukan ini, sehingga

pengetahuan yang disajikan pada para pembaca dapat menjadi lebih komprehensif.
117
 

DAFTAR PUSTAKA

About EADC (n.d.). Diakses tanggal 2 Februari 2016. EADC.


<http://eagleawards-doc.com/sample-page/>

Adorno, Theodor. (1991). The Culture Industry. London: Routledge.

Alpito, Shindu. (2014). Ini Istilah yang Muncul di Kalangan Fan JKT48. MetroTV
News.
<http://hiburan.metrotvnews.com/read/2014/10/03/300386/ini-istilah-yang
-muncul-di-kalangan-fan-jkt48>

Annas, Saiful. (2013). Fans Club, dari Bermusik hingga Aktivitas Sosial. Suara
Merdeka.
<http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/05/14/224612/Fa
ns-Club-dari-Bermusik-hingga-Aktivitas-Sosial>

Apa Itu JKT48. (n.d.) Diakses tanggal 2 Februari 2016


<http://jkt48.com/about/jkt48?lang=id>

Barker, Chris. (2004). Cultural Studies. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Baskin, Askurifai. (2006). Jurnalistik Televisi (Teori & Praktek). Bandung:


Simbiosa Rekatama.

Berita Artis Indonesia Terkini. (2014). Eksklusif Liputan Cek & Ricek RCTI
Bersama JKT48. <https://www.youtube.com/watch?v=24o8sC0DQBQ>

Bordwell, David dan Kristin Thompson. (2003). Film Art, An Introduction. Boston:
Mc Graw Hill Companies.

Bungin, Burhan. (2007). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan


Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Dant, T. (1996). Fetishism and The Social Value of Objects, Sociology Review.
Inggris: Lancaster University

Effendi, Heru. (2005). Mari Membuat Film. Jakarta: Erlangga.

Fiske, John. (1992). The Cultural Economy of Fandom. Dalam: The Adoring
Audiences: Fan Culture and Popular Media. Lewis, A. Lisa (ed). London:
Routledge.
118
 

Griffin, Jill. (2003). Customer Loyalty : Menumbuhkan Dan Mempertahankan


Pelanggan. Jakarta, Airlangga

Hall, Stuart. (1997). Representation: Cultural Representation and Signfying


Practices. London: Sage Publication in Association With The Open
University.

Hills, Matt. (2002). Fan Cultures. New York: Routledge.

Irawanto, Budi. (1999). Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam
Sinema. Indonesia. Yogyakarta: Media Pressindo.

Jenkins, Henry (a). (1992). Textual Poachers: Television Fans and Participatory
Culture. New York & London: Routledge.

Jenkins, Henry (b). (1992). ‘Strangers No More, We Sing’: Filking and the Social
Construction of the Science Fiction Fan Community. Dalam Lewis, A. Lisa
(ed) The Adoring Audiences: Fan Culture and Popular Media. London:
Routledge.

Jensen, Joli. (1992). Fandom as Pathology: The Consequences of Characterization.


Dalam Lewis, A. Lisa (ed) The Adoring Audiences: Fan Culture and
Popular Media. London: Routledge.

JKT48 Mengumumkan Daftar Member Team KIII. (2013). Diakses tanggal 18


Februari 2016. Today Idol.
< http://todayidol.com/news/entertainment/542>

Kartika, Unoviana. (2013). Kisah Pemuda dan "Dunia Delusi" JKT48. Kompas.
<http://health.kompas.com/read/2013/12/14/1243070/Kisah.Pemuda.dan.
Dunia.Delusi.JKT48>

Kriyantono, Rachmat. (2008). Teknik Praktis Riset Komunikasi: Disertai Contoh


Praktis Riset Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi,
Komunikasi Pemasaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Kusen, Dony. (2009). Definisi Film Dokumenter. Film Pelajar.


<http://filmpelajar.com/tutorial/definisi-film-dokumenter>

Mahares, Jun. (2014). Persija Blunder Soal Elie Aiboy dan Shaka Bangura. Tribun
News.
<http://www.tribunnews.com/superball/2014/01/26/persija-blunder-soal-el
ie-aiboy-dan-shaka-bangura>
119
 

Makhsara, Ivan. (2015). Keunggulan dan Kekurangan Hidup Jadi WOTA.


Hai-online.
<http://news.viva.co.id/malesbanget/read/keunggulan-dan-kekurangan-hid
up-jadi-wota>

Maslow, H.A. (1988). Motivasi dan Kepribadian. Jakarta: Pustaka Binaman


Persindo.

Merina, Nely. (2015). Eagle Awards, Industri Kreatif Dalam Bingkai Film
Dokumenter. Tekno Preneur.
<http://teknopreneur.com/dinamika/teknopreneur-eagle-awards-industri-kr
eatif-dalam-bingkai-film-dokumenter>

Meyer, Thomas. (2012). Kompromi: Jalur Ideal Menuju Demokrasi. Jakarta: FES

Mikail, Maula. (2014). Mengenal Istilah-istilah 48 Family. Celoteh Media.


<http://celotehmedia.net/2014/03/21/mengenal-istilah-istilah-48-family/>

Golden Rules Aturan yang Harus Ditaati. (n.d.) Diakses tanggal 2 Februari 2016
<http://www.ngidol.com/2013/09/golden-rules-aturan-yang-harus-ditaati.h
tml#.VrLB5LJ97IV>

Nismara, Reno. (2015). 10 Film Dokumenter Musik Indonesia Terbaik. Rolling


Stone.
<http://www.rollingstone.co.id/article/read/2015/05/28/140502258/82/10-f
ilm-dokumenter-musik-indonesia-terbaik>

Permana, Andika. (2014). Studi Fandom JKT48 Sebagai Pop Culture.


Commonline Departemen Komunikasi Vol. 3/ No. 3, 442-453

Pratama, Mada (a). (2015). Berbagai Jenis Sebutan Fans JKT48. Jkt48faktaunik.
<http://www.jkt48faktaunik.com/berbagai-jenis-sebutan-fans-jkt48>

Pratama, Mada (b). (2015). Tips Jadi Fans Far Yang Asyik Dan Menyenangkan.
Jkt48faktaunik.
<http://www.jkt48faktaunik.com/tips-jadi-fans-far-yang-asyik-dan-menye
nangkan>

Pratista, Himawan. (2008). Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka.

Prihatin, Endang. (2014). Idolaku, Jiwa Ragaku. Jakarta: Metro TV. [video] 
120
 

Rabiger, Michael. (2009). Directing the Documentary. Oxford: Elsevier.

Rinaldi, Yogi. (2014). Salah Satu Pengalaman Unik di Kota Jakarta. Imajineshon
<http://imajineshon.com/2014/01/jkt48-salah-satu-pengalaman-unik-di-ko
ta-jakarta/>

Ripstein, Arthur. (1987). Commodity Fethisism. Canadian Journal of Philosophy


Vol. 17. Hal. 733-748.

Sarafino, E.P. (2006). Health Psychology : Biopsychosocial Interactions. Fifth


Edition.USA : John Wiley & Sons.

Sardar, Zianuddin & Borin Van Loon. (1997). Introducing Cultural Studies. New
York: Totem Books.

Shimizu & Shibata, (2014). Discovery Channel Network Japan Super Japan
Popcorn Dreams. Jepang: Tv Asahi. [video]

Sobri, Ali. 2014. 8 perilaku miris fans jkt48 yang wajib diketahui. Hai Online.
<http://hai-online.com/Feature/Music/8-Perilaku-Miris-Fans-Jkt48-Yang-
Wajib-Diketahui>

Strinati, Dominic. (2003). Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya


Populer, terjemahan. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Sudarsono. (1993). Kamus Filsafat dan Psikologi. Jakarta: Rineka Cipta

Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest. (1992). Serba-serbi Semiotika. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.

Sumarno, Marselli. (1996). Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta: PT Gramedia.

Supranto, J. (2006). Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan : Untuk Menaikkan


Pangsa Pasar. Jakarta, Rineka Cipta

Supratiknya, A. (1993). Psikologi Kepribadian 1 Teori-Teori Psikodinamik


(Klinis). Yogyakarta: Kanisius.

Tsutsui, William. (2008). Nerd Nation Otaku and Youth Subcultures in


Contemporary Japan. Education About Asia. 12-18, Volume 13, Number 3

Witkin, Robert. (2003). Adorno on Popular Culture. London: Routledge.


121
 

LAMPIRAN

Anatomi Film “Idolaku, Jiwa Ragaku”

Seq Sc Shot

Iklan

00.00-00.12

00.13-.00.16 00.17-00.19 00.19-00.35 00.36


Oi oi aaaaa.. Yosha Ikuzo Taiga, faia, saiba, Yase, yase.
faiba, daiba, baiba,
jya-jya.
Tora, hii, jinzou,
seni, ama, shindou,
kasen-tobijokyo.
1
Chape, ape, kara,
kina, rara,
tusuke~myo
hontusuke,

1.
Pembuka Film
00.37-00.40 00.40-00.47
Yase, yasee. Yase, yaseee.
(River-JKT48)

00.47-00.50 00.51-00.54 00.54-00.56


J-Pop suka tapi J-Pop nggak terlalu Suka sih, karena
nggak gitu ngerti sih. emang bagus
2
sih. banget itu.

00.56 00.57-01.00 01.00-01.03


Backsound: JKT8-Tsukimisou (Evening Primrose)
122
 

01.03-01.10
Intertitle “Idolaku,
Jiwa Ragaku”

Backsound:
JKT8-Tsukimisou
(Evening Primrose)

01.11-01.14 01.14-01.19 01.19-01.23 01.23-01.28


3

01.28-01.30

01.30-01.31 01.31-01.34 01.34-01.38 01.38-01.41

2.
Perkenalan
Sandy
01.41-01.46 01.46-01.48 01.48-02.06 02.06-02.14
Nama saya Sandy, umur saya 19 tahun. Saya suka sekali sama JKT48. Saya juga
JKT48 dibandingkan dengan yang lain
karena mereka itu unik. Tampil,
rame-rame, di atas panggung. Ya, jadi daya
tarik tersendiri buat saya.
Sampai sekarang mengikuti perkembangan
5
mereka, ya begitu. Jadi, ya lebih deketlah.
Ada event-event mereka yang membuat
lebih dekat sama fansnya

02.14-02.34 02.34-02.44 02.44-02.58

Perbincangan Suara: Adzan Ashar


antara fans JKT48
123
 

(1) dan Sandy (S):

1: Hoi San.
S: Yo.
1: Jadi nggak ke
teater?
S: Jadilah.
1: Ayolah (sambil
menatap Sandy).
1 dan S: Ayo
masuk,
masuk-masuk
(mengajak
orang-orang lain
untuk masuk ke
kamarnya.
1: Langsung?
S: Tunggu nanti
dulu dong, gua
belum mandi.
(Suara) dari salah
satu fans: Aduuh.
Mandi lah, mau
ketemu oshi juga.
Kebiasaan, anak ini
(menatap ke
Sandy).

02.59-03.02 03.02-03.07 03.07-03.12


Waktu itu nonton teater ya. Waiting list dari jam 7 pagi. Cuma
mau liat penampilan oshimen, ulang tahun di teater hari itu, gitu.

6
03.13-03.18 03.18-03.27 03.27-03.36
Saya berusaha untuk masuk, apapun yang Perbincangan antara
terjadi hari itu, harus masuk ke teater. fans JKT48 (2) dan
Menyaksikan itu, oshi saya ulang tahun, Sandy (S).
dirayain di teater hari itu.
2: Panas.
S: Panas bang.
2: Iya.
S: Beli es enak ini.
2: Lo yang beli ya.
S: Iya.
124
 

03.37-03.42 03.43-03.47 03.48-03.50


Mulyati: Emang gitu dia orangnya. Kalau pulang itu, (mencoba
menirukan ungkapan Sandy): “Makan”, katanya.
Emang nggak makan tadi? “Nggak”, katanya. Itu sampe demi
begitu-begitu itu.
Kalau sampai malem banget, dia bilang itu katanya, “Udah sih,
udah makan. Makan sekali”

03.51-03.56 03.56-04.02 04.02-04.08


Ya Allaaaaah, lu sampe gini-gini bangeeeet ini.
“Ya udah, orang ini doang, sampe nahan-nahan laper”, Mulyati
7 menirukan ungkapan Sandy.
4.05-4.16: Yaudah, bukan kenape. Ada duitnya.

3.
Pengorbanan
Sandy
04.08-04.10 04.10-04.15 04.16-04.24
Dia kan karena saking ininya, apa gimana
aku juga kagak tau kan, orang tua. Nggak
tau dia begini-begini di luar. Yaa, gitu aja.

04-25-04.31 04.31-04.35
Sandy berbicara dengan seorang fans
JKT48 yang lain (2).

S: Wotagei itu asiknya gimana sih emang?

8
04.36-04.41 04.42-04.45 04.46-04.49
Biaya yang dipakai buat ngidol ini, ya nggak kehitung juga sih.
Ya soalnya kan saya dukung, nggak terlalu sering. Ya, saya juga
tau mana yang lebih penting. Saya prioritaskan itu.
125
 

04.49-04.53 04.53-04.56

04.56-05.07 05.08-05.10 05.11-05.18


Namaku Emil. Biasa kalau diantara fans, aku dipanggil E-C-W-X.
10 Eeee, idol E-C-W-X, atau bang Emil, atau bang Em. Apapun lah.

05.19-05.21 05.22-05.24 05.25-05.26


Usia udah di atas 40. Pekerjaan aku, IT

4.
Perkenalan
Emil 05.27-05.41
Obrolan antara
Emil (E) dengan
rekan kerja
perempuannya (R).
11
E: Ini mau satu atau
dua?
R: Lha ngga tau.
E: Yang mau
digantinya?
R: Apanya?
E: Itu. Yang, ya
matiin ajalah kalau
belum diganti.

12
05.41-05.44 05.45-05.47 05.48-05.50
Pada saat saya terjun di JKT48 memang ada beberapa fans yang
kayak ngejekin saya, “Wuu..udah tua masih ngidol aja sih?
Emang lo nggak ada kerjaan lain?”.
126
 

05.51-05.54 05.55-05.57 05.58-06.04


Ooh men. Istilahnya, santai aja deh gitu. Maksudnya, apasih,
kayak doraemon. Doraemon orang udah tua juga masih seneng
aja nonton doraemon gitu lho. That’s hiburan.

06.05-06.07 06.08-06.13 06.14-06.21


Aku sih nggak terlalu ambil pusing. Just having fun gitu lho. Ada
yang ngeledekin, ada banget, ada banget. Kalau temen-temen aku
sih nggak. Tapi, ya itu banyak justru dari fans-fans lain yang
umurnya lebih muda, “Udah tua gini ngapain sih kok gini gini
gini”

13 06.22-06.06.25
E: Ya kita tinggal
bikin aja solusinya.
(Ngobrol di ruang
rapat dengan dua
rekan lainnya)

Iklan

06.26-06.31

14
06.31-06.06.38 06.39-06.43 06.43-06.46
E: Jika ada yang deliver, ini mem-verify,
bener nggak? (Ngobrol di ruang rapat
dengan dua rekan lainnya)

15
06.46-06.57 06.57-07.05 07.05-07.11
Oshimen ku itu Hayano Kaoru waktu itu. Itu, member tim K
generasi-2 AKB48. Terus, waktu bulan Maret. Maret ya, apa
127
 

Februari itu, dia mengumumkan akan graduate akan resign dari


AKB48.
Waktu itu aku lagi nggak ada uang. Barusan aku bilang ke
temenku, tahun ini temenku ngajak ke Jepang. Tahun ini nggak ke
Jepang dulu, nggak ada budget.

07.12-07.31
Waktu itu dia kasih tau aku itu di hari Jumat apa Sabtu, hari Senin
aku udah pesen tiket ke Jepang. Dan 20 minggu kemudian aku
udah di Jepang. Itu kisah perjalan yang tanpa pernyataan
pokoknya bener-bener impulsif banget. Berangkat, ya berangkat.

16 07.31-07.36 07.36-07.42 07.42-07.53


Maksudnya kadang-kadang meskipun, kadang-kadang seperti aku
tadi udah bilang, berusaha untuk menjaga keseimbangan. Aku
nggak pengen, sekitarku jadi nggak happy karena ngidol, tapi
yaaa, kadang-kadang emang kita kelepasan. Maksudnya, dalam
arti kita lupa diri.
5.
Pengorbanan
Emil

07.52-08.02 08.03-08.09 08.09-08.13


Maksudnya Saya pengen ini jadi hobi yang saya bisa
kadang-kadang jalanin jangka panjang.
meskipun,
kadang-kadang
seperti aku tadi
udah bilang,
berusaha untuk
menjaga
17 keseimbangan. Aku
nggak pengen,
sekitarku jadi nggak
happy karena
ngidol, tapi yaaa,
kadang-kadang
emang kita
kelepasan.
Maksudnya, dalam
arti kita lupa diri.
128
 

08.13-08.16 08.16-08.19 08.19-08.23


Jadi, ya saya nggak pengen dengan menjalani hobi ini, hubungan
saya dengan sekitar rusak, karena kalau kita udah merusak
lingkungan sosial kita dengan hobi ini, ya udah. Ya bisa
diramalkan lah, jadi nggak bisa jalanin jangka panjang.

08.23-08.36
18
Ini CD pertama saya, dapet waktu itu pas
ada event anniversary JKT48 yang
pertama. Ini dibagiin gratis ke member
fans.

19
08.36-08.42
Koleksi aku sih nggak banyak ya. Ini ada
kipas model Haruka waktu masih jadi tim
K.
6.
Koleksi
barang-barang 20
fans
08.42-08.45
Terus ini ada kipas.

21
08.45-08.50
Ini kaos komunitas AKB48 fans waktu
AKB datang ke Indonesia.

22

08.51-08.58
Ini ada CD-CD. CD single mereka ya.

23
129
 

08.59-09.05
Single mereka, single AKB pertama yang
ku punya. Ini keluaran 2006 waktu mereka
masih indie.

24

09.05-09.07
Ini ada majalah.

09.08-09.17 09.18-09.30
Ini ada poster yang Terus sama poster
25
aku suka. Posternya release event
Cindy Gulla yang “Chance no
ada tanda Junban” yang ada
tangannya dia. Ini tanda tangannya
jual nya kapan ya, Haruka.
pokoknya dijual
sekali.

09.31-09.33 09.33-09.35 09.35-09.41


Vivi: Aku nggak
keberatan dia suka
sama JKT48.

7.
Hubungan Emil 26 09.41-09.50 09.50-10.06
dan Istri Itu jelas-jelas lain 09.50-09.52 09.58-10.06
banget sama Dia juga suka Obrolan antara
kesukaan musikku. nganter aku, ke Emil dan Vivi:
Tapi nggak masalah konser ke apa yang Emil: Main game
sih. ada musik gitu. aja yuk.
Vivi: He?
Emil: Main game
aja.
Vivi: Main game
aja? ngidol-nya
udah?
Emil: Udah, tadi
malem.
130
 

27
10.06-10.12 10.13-10.16 10.16-10.18 10.19-10.21
Aku suka ngajak temen-temenku main ke rumahku. Temen-temen Jadi ya taulah
sesama fans untuk main ke rumah. Jadi ya lebih enak kan. kegiatan fans itu
10.13-10.25: Kadang-kadang kalau lagi ada gathering juga, aku ngapain.
ajak istri untuk ikutan gathering, ngumpul-ngumpul bareng fans,

10.22-10.42 10.42-10.45 10.45-10.54


10.22-10.26 10.32-10.42
Suara Sandy: Dimarahin pernah waktu
Sampai juga itu beli CD, sampai
kita, di gedung banyak sampai diomelin.
FX. Karena ya katanya ini
Sudirmaaaan. buang-buang uang aja
kan, mending buat beli
28 buku, atau buat apa.

8.
10.54-10.58 10.58-11.02 11.02-11.10 11.10-11.16
Hubungan Pernah bawa kaset baru, kasetnya setumpuk-setumpuk itu lho. Ya jangan gitu, kan
Sandy dan Ibu Ada yang udah dibeli, beli lagi. Itu karena ada apanya gitu udah ada. “Ya kan
katanya. Iya,”ada kuponnya”, kata dia gitu. Ya allaaaah, yang ini ada
potonya”, kata dia
gitu.

11.16-11.20 11.20-11.22 11.22-11.28


Sandy:
Waktu itu, pernah
29 sih sekali,
11.26-11.28

11.28-11.11.34 11.34-11.37 11.37-11.39


Waktu itu, pernah sih sekali. Waktu itu uang kas kelas, “Wah ada
131
 

CD nih rilis hari ini”. Eh, bukan CD, tiket. Tiket konser waktu itu.

11.40-11.43 11.43-11.47 11.47-11.51


Wah ada tiket konser rilis hari ini. Emmm, gimana yaa, ini uang
kelas dipakai dulu lah ya. Akhirnya, saya pakai uang kas itu, tiga
hari kemudian baru saya ganti sama duit saya.

11.52-11.57 11.57-12.02 12.02-12.09 12.09-12.15


Saya paling sering, Kalau lagi hari-hari
30 pesan dari ibu, masuk, jangan
bilangnya itu kalau terlalu dipaksain
mau pergi gitu. Maksudnya,
kemana-mana, jangan terlalu
bilangnya kalau lagi pulang
libur aja. malem-malem
karena besok masih
ada kegiatan.

12.16-12.18 12.18-12.25 12.26-12.31 12.31-12.39


Emil: Alasan untuk Jadi, akan lebih
istriku, ya pada mudah membangun
dasarnya aku ajak trust kalau istriku
supaya dia kenal tau, seperti apa sih
juga sih. hobiku.

9.
Dunia Fans dan 31
Keluarga
12.39-12.48 12.48-12.54 12.54-12.59 12.59-13.05
Jadi ya, dia tau, oh Jadi lebih mudah Sebetulnya, hobi Kalau nonton itu
lihat oh hobinya untuk membangun ngidol itu seperti kayak apa, kalau
kayak gini sih, oke rasa nggak curiga apa sih. handshake event itu
sih liat-liat karena dia tau, Kalau beli itu kayak kayak apa.
anak-anak kecil, apa, kalau bergaul
cantik-cantik sih ya. sama fansnya itu
Tapi ya, ini kayak kayak apa,
gini aja sih ya
kayak konser
musik.
132
 

13.05-13.12
Jadi, ya nggak
cemburuan lagi.
Maksudnya ya,
yaudah tau lah,
segitu-gitu aja.
Maksudnya ya,
nggak no big day.

13.13-13.20
Obrolan antara
32 Emil dan Fans lain
(A):

E: Lu nonton
10. nggak?
A: Nonton.
Hubungan Emil E: Beli berapa?
dan Oshimen A: Dua. Aki Takajo.
33

13.21-13.45
Emil: Ini aku mau nonton teaternya shownya Tim J. Setlist-nya
Dareka no Tame Ni. Kebetulan ini ramai banget, karena di sana
ada banyak banner-banner ucapan, karena hari ini ada show
ulang tahunnya dua member Rachel sama Gaby. Dan kebetulan,
saya pendukungnya Rachel, jadi nonton. Harus nonton.

Iklan

13.45-13.50

(Lanjutan)
10.
34
Hubungan Emil 13.50-13.57 13.57-14.02 14.02-14.04
dan Oshimen (Suara ramai orang-orang) Emil: Saya udah
suka sama
artis-artis Jepang
seperti,
133
 

14.04-14.07 14.07-14.11 14.11-14.14 14.14-14.17


Utada Hikaru sama Ayumi Hamazaki, secara kualitas pada Tapi kenapa saya
karena memang kan mereka artis keren. saat itu masih jauh sangat suka?
Sementara kalau, jujur, AKB48 itu, banget di bawah itu.

14.17-14.21 14.21-14.24 14.25-14.38 14.38-14.49


Karena begitu Pertama kali saya Duh, ini anak-anak (Suara keramaian
pertama kali saya dikasih lihat video kecil. Ini anak-anak orang)
melihat AKB48, sama temen saya, kecil, anak-anak
yang terbesit SMP. Tapi mereka
adalah, berusaha keras
supaya bisa jadi
sesuatu yang besar,
kayak gitu lho.
35

14.49-14.52 14.52-14.59 14.59-15.04 15.04-15.06


Vivi: Saya pernah Kayak, hari ini dia Biasanya cewek
liat. Pernah liat dan pake jepit rambut yang ngobrolin
dengar sampe apa, warna apa, kayak begitu, kan
se-detail itu. gitu. Kok bisa ya? ini cowok gitu.

15.07-15.11 15.12-15.18 15.19-15.22 15.22-15.23


Suara seseorang: Sandy: Ya, saya buat ngidol itu. Ya saya
Nih, Nabilah. punya tabungan sendiri. Misalnya orang
11. Makasih, ayok tua ngasih uang berapa.
dipilih.
Hubungan
36
Sandy dan
Oshimen

15.24-15.33 15.34-15.36 15.36-15.40


Itu nanti saya
tabung sedikit buat
ngidol dan sisanya
untuk keperluan
saya kayak untuk
134
 

kuliah, ongkos, dan


macem-macem.

15.40-16.01 16.01-16.03 16.03-16.08 16.08-16.15


Obrolan antara Sandy: Biaya ya. Karena saya belum Ada konser, ya
Sandy dan Emil. punya penghasilan sendiri. Kadang kalau udahlah kalau
lagi ada event, atau nggak bisa ya
S: Hai bang. Mau nggak usah
ngapain ni? dipaksain, gitu.
Oshimen sapa?
E: Racheeel.
S: Oh Rachel.
37
Rachel ini bang,
masuk single ke-6.
Nggak borong?
E: Kagak ada duit.

16.15-16.19 16.20-16.23
Masih banyak kok event-evet lain buat
ketemu member. Nggak cuma ini aja.
Nanti juga bakal ketemu, event lagi yang
saya bisa ikutin itu.

16.24-16.27 16.27-16.33 16.33-16.40


Mulyati: Ini kalau Suka bawa kaset ini
pulang nih, pesen-pesen apa itu,
(Mulai 16.30)

38

16.40-16.45 16.45-16.49 16.49-16.52


Suka kaos gitu ya, kan udah melalui online. Beli sekian, sekian,
sekian. Ya Allaaah, A’a. Duit buat itu mulu ya. Kalau keperluan
yang lain dikagak penuhin,

16.53-16.56 16.56-17.07
135
 

Eeh,malah dibilang “Itu urusan mamak, ini


mah urusan didi”, dia bilang gitu.

17.08-17.12 17.12-17.28 17.28-17.33


JKT Fourty Eight! JKT Fourty Eight! Sandy: Dulu sempet
Are..you..ready...! pernah bikin janji,
(JKT48-Overture) itu waktu mau
masuk kuliah.
Pernah bilang sama
mamah. Yaudah
mah,

17.33-17.39 17.39-17.43 17.43-17.48


Nanti kalau udah masuk kuliah, tenang aja udah nggak ngikutin
ini lagi. Ha, tapi kemudian, saya jadi dapat temen yang banyak ya
dan malah tambah menggila.
12.
Bertahan 39
Sebagai Fans

17.48-17.51 17.52-18.12
Makin ngikutin dunia idol. Kalau berharap Emil: Ada juga
jadi pacar, ya enggak. Saya sadar saya orang yang suka
siapa, bakatnya apa. sama JKT48 karena
17.48-18.05 mereka cantik. Ada
yang istilahnya,
18.05-`18.12

18.12-18.18 18.18-18.35 18.35-18.39


40 Kayak jadi pacar idaman mereka, gitu lho. Jadi kadang-kadang
mereka liatnya kalau saya ngefans gitu, “Lo ngapain sih, lo mau
pacaran sama mereka”. Karena, mindset orang beda-beda. Jadi,
kadang-kadang mereka nggak bisa liat kalau, ya suka sama
JKT48 karena nggak melulu karena mereka cantik kali, gitu lho,
kenapa sih. Kadang-kadang mereka mikirnya kalau kita suka itu
kayak pengen jadi pacarnya, harus sampe gitu.
(Backsound: JKT48- Warning)
136
 

18.39-18.44 18.44-18.51 18.51-18.57


Emil: Kan anak kecil sih ya. Jadi, aku sih
lebih ini ya. Aku nggak punya anak
perempuan, aku nggak punya adik
perempuan. Jadi ngliat mereka kayak
bener-bener ngeliat adik perempuan, anak
perempuan.

18.58-19.01 19.01-19.05 19.05-19.09 19.09-19.51


Jadi ya seneng ngeliat mereka tumbuh, gitu lho. Jadi ya kayak liat 19.09-19.12
anak kecil, gimana ya, susah ya. Nggak tau, ya
(Backsound: JKT48- Warning) emang karena beda
umurnya terlalu
jauh kali ya.

(Backsound:
JKT48- Warning)

Iklan

19.51-20.04

Anda mungkin juga menyukai