Anda di halaman 1dari 20

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/321865220

PRODUKTIVITAS PRIMER PERAIRAN

Working Paper · November 2017


DOI: 10.13140/RG.2.2.18131.07203

CITATIONS READS

0 19,335

1 author:

Ahmad Muhtadi
University of Sumatera Utara
47 PUBLICATIONS   18 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Distribusi, keragaman morfometrik dan genetika serta pembesaran genus Tor di Sumatera Utara View project

Ekologi dan Manajemen Danau Kelapa Gading View project

All content following this page was uploaded by Ahmad Muhtadi on 17 December 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PRODUKTIVITAS PRIMER PERAIRAN
Ahmad Muhtadi (C261170061/ SDP 2017)
ahmad.muhtadi@usu.ac.id/ a_m_rangkuty@yahoo.co.id
PENDAHULUAN
Produktivitas perairan merupakan laju penambatan atau penyimpanan energi (cahaya
matahari) oleh komunitas autotrof di dalam sebuah ekosistem perairan. Produktivitas itu
sendiri terdiri dari produktivitas primer (produsen) dan produktivitas skunder (konsumen: zoo
plankton, ikan, benthos, dll) (Asriana & Yuliana, 2012). Nybakken (1992), Odum (1996), dan
Wetzel (2001), menjelaskan produktivitas primer adalah jumlah bahan organik yang dihasilkan
oleh organisme autotrof, yaitu organisme yang mampu merombak bahan anorganik menjadi
bahan organik yang langsung dapat dimanfaatkan oleh organisme itu sendiri maupun
organisme lain dengan bantuan energi matahari maupun melalui mekanisme kemosintesis.
Lebih lanjut Kirk (2011); Lee et al. (2014); Mercado-Santana et al. (2017); Chen et al. (2017),
menyebutkan bahwa produktivitas primer merupakan laju produksi karbon organik
(karbohidrat) per satuan waktu dan volume melalui proses fotosintesis yang dilakukan oleh
organisme tumbuhan hijau. Dalam konsep produktivtas, dikenal istilah produktivitas primer
kotor (gross primary productivity) dan produktivitas primer bersih (net primary productivity).
Produktivitas primer kotor merupakan laju total fotosintesis, termasuk bahan organik yang
dimanfaatkan untuk respirasi selama jangka waktu tertentu disebut juga produksi total atau
asimilasi total. Produktivitas bersih merupakan laju penyimpanan bahan organik di dalam
jaringan setelah dikurangi untuk pemanfaatan untuk respirasi selama jangka waktu tertentu
(Nyabakken, 1992; Odum, 1996; Wetzel, 2001; Asriyana & Yuliana, 2012).
Produktivitas primer perairan memiliki peran penting dalam siklus karbon dan rantai
makanan (Nyabakken, 1992; Odum, 1996; Wetzel, 2001; Ma et al., 2014; Lee et al., 2014; Xiao
et al., 2015) serta perannya sebagai pemasok kandungan oksigen terlarut di perairan (Hariyadi
et al., 2010; Zang et al., 2014). Pengukuran produktivitas primer merupakan satu syarat dasar
untuk mempelajari struktur dan fungsi ekosistem perairan (Tamire & Mengistou, 2014; Xiao
et al., 2015). Bahkan (Behrenfald et al. 2005) menyebutkan bahwa produktivitas primer bersih
merupakan kunci pengukuran kesehatan lingkungan dan pengelolaan sumberdaya laut. Lebih
lanjut Hariyadi et al. (2010) menjelaskan, tingkat produktivitas primer suatu perairan
memberikan gambaran bahwa, suatu perairan cukup produktif dalam menghasilkan biomassa
tumbuhan, termasuk pasokan oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis. Dengan
tersedianya biomassa tumbuhan dan oksigen yang cukup dapat mendukung perkembangan
ekosistem perairan (Hariyadi et al. 2010; Rahayu et al. 2017). Produktivitas perairan yang
terlalu tinggi dapat mengindikasikan telah terjadi eutrofikasi (Hariyadi et al, 2010; Filippino et
al., 2011; Chen et al., 2017; Vallina et al., 2017), sedangkan yang terlalu rendah dapat
memberikan indikasi bahwa perairan tidak produktif atau miskin (Hariyadi et al, 2010; Vallina
et al., 2017). Dengan kata lain produktivitas perairan juga dapat digunakan dalam pengelolaan
sumberdaya perairan dan pemantaun kualitas perairan (Zhang & Han, 2015; Mercado-Santana
et al., 2017). Dalam kaitannya dengan produksi (stok) ikan maupun budidaya penting untung
mempelajari produktivitas perairan (Rahayu et al., 2017; Mercado-Santana et al., 2017; Chen
et al., 2017).
Pada ekosistem akuatik sebagian besar produktivitas primer perairan dilakukan oleh
fitoplankton/miro algae (Reeder, 2017; Chen et al., 2017; Vallina et al., 2017) dan sebagian
kecil oleh tumbuhan air/makro algae (Litler & Muray, 1974; Silva et al., 2009; Kirk, 2011). Akan
tetapi, Tamire & Mengistou (2014) menyebutkan bahwa produktiviats perairan danau lebih
banyak disumbang oleh makrofita, terutama danau-danau dangkal dengan litoral yang luas.
Kondisi lingkungan dan distribusi biomassa organisme autotrof (makro maupun mikro algae)
mempengaruhi produktivitas primer perairan (Alianto et al., 2008; Mercado-Santana et al.,
2017; Vallina et al., 2017). Pada daerah estuari dan daerah tropis (termasuk ekosistem
mangrove), memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi dibanding ekosistem perairan
lainnya (Tabel 1). Hal ini karena ketersediaan nutrien yang tinggi dan cahaya yang cukup
sepanjang tahun di daerah estuari. Dengan demikian organisme autotrof dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik (Rangkuti et al., 2017). Distribusi biomassa organisme autotrof juga
dapat terjadi secara temporal dan spatial. Distribusi temporal sangat dipengaruhi siklus
matahari tahunan dan harian, misalnya alga motil yang melakukan migrasi vertikal harian.
Distribusi temporal juga disebabkan siklus reproduksi, seperti peningkatan jumlah beberapa
jenis fitoplankton pada bulan-bulan tertentu (Alianto et al., 2008; Mercado-Santana et al., 2017;
Vaallina et al., 2017).

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PRIMER


PERAIRAN

1. Penetrasi cahaya
Kebutuhan cahaya merupakan suatu batas fundamental distribusi seluruh organisme
fotosintesis. Untuk hidup, organisme ini harus berada pada daerah lapisan permukaan (zona
fotis) sehingga energi matahari diperoleh lebih banyak untuk berfotosintesis (Nybakken, 1992;
Odum, 1996; Wetzel, 2001). Kedalaman zona fotik ditentukan oleh kapasitas cahaya matahari
menembus air, hal ini dipengaruhi kondisi yang beragam yaitu penyerapan cahaya di atmosfer,
sudut datangnya sinar dan transparansi air. Peningkatan jumlah energi di permukaan air
bergantung pada kondisi atmosfer seperti debu, awan, waktu dan gas-gas yang mengabsorbsi,
memantulkan, dan meneruskan (transmisi) radiasi matahari yang datang, absorbsi cahaya oleh
air, panjang gelombang, lintang geografi, dan musim. Cahaya matahari merupakan gabungan
cahaya dengan panjang gelombang dan spektrum warna yang berbeda-beda serta daya tembus
setiap spektrum warna berbeda-beda. Spektrum warna cahaya yang memiliki panjang
gelombang pendek memiliki daya tembus yang lebih besar dibanding dengan gelombang
panjang (Nybakken, 1992; Odum, 1996; Wetzel, 2001; Kirk, 2011).
Wetzel (2001) dan Kirk (2011) menjelaskan bahwa cahaya matahari yang memasuki
suatu medium optik seperti air intensitasnya akan berkurang atau mengalami peredupan
(extinction attenuation) seiring dengan bertambahnya kedalaman di perairan. Besarnya tingkat
peredupan ini bergantung pada materi yang terdapat pada suatu perairan. Pada kolom air yang
meiliki tingakat kekeruhan yang tinggi, maka tingkat peredupannya juga kan tinggi. Tingkat
perdupan ini disebabkan oleh materi tersuspensi, terlarut, dan partikel-partikel yanga ada di
kolom air termasuk plankton. Hal yang pertama pada proses fotosintesis adalah mengabrsorpsi
cahaya. Tidak semua radiasi elektromagnetik yang yang jatuh pada tanaman berfotosintesis
dapat diserap, akan tetapi hanya cahaya tampak (visible light) yang memiliki panjang
gelombang yang berkisar antara 400 sampai 700 nm Radiasi total pda kisaran gelombang ini
disebut photosynthetically available radiation (PAT atau PhAR).

Gambar 1. Kemampuan fitoplankton dalam menyerap cahaya di perairan (sumber: Kirk,


2011)
Umumnya fotosintesis bertambah sejalan dengan peningkatan intensitas cahaya sampai
pada nilai optimum tertentu (cahaya saturasi). Di atas nilai tersebut, cahaya merupakan
penghambat bagi fotosintesis (cahaya inhibisi), sedangkan di bawahnya cahaya merupakan
pembatas sampai suatu kedalaman di mana fotosintesis sama dengan respirasi (Wetzel, 2001;
Kirk, 2011; Vallina et al., 2017). Oleh karena itu laju fotosintesis ini sangat berhubungan
dengan laju produktivitas primer di perairan, dimana laju fotosintesis yang hubungannya
dengan cahaya sama dengan hubungan cahaya dengan produktivitas primer di perairan (seperti
terlihat dari Gambar 1). Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi cahaya
produktivitas perairan semakin tinggi sampai pada batas tertentu, akan menurusn seiring
dengan menurunnya intensitas cahaya matahari (Alianto et al., 2008). Pola ini juga
digambarkan dalam grafik hubungan antara intensitas cahaya dengan laju fotosintesis dan
kedalaman pada Gambar 6 dan Gambar 7.

Gambar 1. Hubungan produktivitas terhadap cahaya di Teluk Banten (Alianto et al. 2008)
Secara umum hasil penelitian produktivitaas perairan jika dihubungkaan dengan cahaya
selalu menunjukkan hubungan daan korelasi yang erat. Berdasarkan penelitian Abigail et al.
(2015) menunjukkan bahwa produktivitas primer di perairan sangat tergantung pada intensitas
cahaya yang masuk ke perairan. Pada permukaan menunjukkan nilai produktivitas primer
cenderung rendah kemudian pada kedalaman di bawahnya sampai kedalaman tertentu akan
menurun seiring sesuai dengan penurunan intensitas cahaya yang masuk ke perairan (Vallina
et al., 2017). Alianto et al., (2008) dan Zang et al. (2014) mendapatkan bahwa hubungan cahaya
dengan produktivitas primer dengan determinasi R0.64 – 0.82. ini artinya model dapat
digunakan menggambarkan keadaan sebenarnya sebesar 82%. Bahkan Alianto et al. (2008)
lebih lanjut menimpulkan bahwa ternyata cahaya merupakan faktor pembatas penting bagi
produktivitas primer fitoplankton dibandingkan dengan unsur hara pada masa peralihan musim
hujan ke musim kemamu di perairan Teluk Banten. Dengan demikian berdasarkan musim,
produktivitas perairan akan lebih tinggi pada musim panas (kemarau) dibanding musim dingin
(hujan) (Alianto et al., 2008; Hariyadi et al., 2010; Filippino et al., 2011; Shuchman et al., 2013;
Abigail et al., 2015; Vallina et al., 2017).

2. Nutrien
Pada ekosistem perairan alami, siklus produksi dimulai oleh produser yang mampu
mensintesa bahan organik yang berasal dari bahan anorganik melalui proses fotosintesis
(beberapa jenis bakteri melakukan kemosintesis) dengan bantuan cahaya matahari (Odum,
1996; Wetzel, 2001). Odum (1996) membagi nutrien yang bdibutuhkan oleh tumbuhan menjadi
makro nutrien (terdiri dari unsur: O, C, N, P, S, K, Mg, dan Ca) dan mikro nutrien (Fe, Mn,
Cu, Zn, B, Si, Mo,Cl, Co, dan Na) . Menurut Filippino et al. (2011); Qurban et al. (2017),
nutrien yang paling berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan plankton
adalah nitrogen (dalam bentuk NO3) dan fosfor (dalam bentuk PO4). Kedua unsur ini sangat
penting yang merupakan faktor pembatas bagi produktivitas plankton di perairan. Selain
nitrogen dan fosfor unsur yang penting terhadap perkembangan organisme autotrof terutama
plankton jenis algae diatom adalah silika untuk membentuk frustule dan spikule (Nybakken,
1992). Menurut Reeder (2017), nutrien yang tinggi dengan alkalinitas yang rendah menjadi
faktor pembatas produktivitas primer di perairan.
Ketersediaan nutrien di perairan merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan
organisme autotrof (Odum, 1996; Nybakken, 1992; Wetzel, 2001). Dengan demikian efisiensi
daur nutrisi dalam ekosistem peraairan akan menjadi sangat penting untuk memelihara
produktivitas primer (Kirk, 2011). Oleh karena itu, besarnya produktivitas primer suatu
perairan dapat mengindikasikan besarnya ketersediaan nutrien terlarut di perairan tersebut
(Alianto et al., 2008). Keberadaan nutrien di perairan sangat di pengaruhi oleh aktivitas
menusia di daratan, gerakan massa air (terutama di perairan laut), maupun aktivitas
pembusukan bahan-baahan organik. Adanya penyebaran nutrien dan organisme autotrof
(fitoplankton) di perairan yang berbeda-beda sangat mempengaruhi produktivitas primer di
perairan (Filippino et al., 2011; Vallina et al., 2017). Perairan yang kaya nutrien dan biota
autotrof akan memiliki produktivitas primer yang tinggi (Filippino et al., 2011; Vallina et al.,
2017). Oleh karena itu perairan estauri memiliki produktivitas yang tinggi jika dibanding
dengan perairan laut lepas dan perairan perairan tawar karena menjadikan daerah sebagai trap
nutrien. Aliran air tawar dan air laut yang terus menerus membawa mineral, bahan organik,
serta sedimen dari hulu sungai ke laut dan sebaliknya dari laut ke muara. Unsur hara ini
mempengaruhi produktivitas wilayah perairan muara.
3. Klorofil
Konsentrasi klorofil-a merupakan indikator utama untuk mengestimasi produktivitas
primer dan merupakan variabel penting dalam proses fotosintesis (Nybakken, 1992; Odum,
1996; Wetzel, 2001; Asriyana & Yuliana, 2012; Ma et al., 2014; Lee et al., 2014; Xiao et al.,
2015; Chen et al., 2017). Klorofil–a fitoplanton adalah suatu pigmen aktif dalam sel tumbuhan
yang mempunyai peranan penting didalam proses berlangsungnya fotosintesis diperairan
semua sel berfotosintesis mengandung satu atau beberapa pigmen klorofi l ( hijau coklat, merah
atau lembayung) (Wetzel, 2001; Kirk, 2011).
Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan biomassa
organisme autotrof yang tentunya berkaitan dengan kondisi suatu perairan (Wetzel, 2001;
Alianto et al., 2008; Kirk, 2011; Mercado-Santana et al., 2017; Vallina et al., 2017). Parameter
fisik-kimia yang mengontrol dan mempengaruhi sebaran klorofil-a, adalah intensitas cahaya,
nutrien (terutama nitrat, fosfat dan silikat). Perbedaan parameter fisika-kimia tersebut secara
langsung merupakan penyebab bervariasinya produktivitas primer. Selain itu “grazing” juga
memiliki peran besar dalam mengontrol konsentrasi klorofil-a di laut (Nybakken, 1992; Odum,
1996). Wetzel (2001), menjelaskan bahwa keberadaan klorofil di perairan danau sangat di
tentukan oleh adanya kandungan fosfat di danau tersebut (Gambar 2). Hal inilah yang
menyebabkan fosfat merupakan faktor utama yang menyebakan ledakan populasi fitoplankton
di danau

Gambar 2. Hubungan klorofil dengan total fosfat di periaran tawar (Wetzel, 2001).

Pada umumnya sebaran konsentrasi klorofil-a tinggi di perairan pantai sebagai akibat dari
tingginya masukan nutrien yang berasal dari daratan melalui limpasan air sungai, dan
sebaliknya cenderung rendah di daerah lepas pantai. Meskipun demikian pada beberapa tempat
masih ditemukan konsentrasi klorofil-a yang cukup tinggi, meskipun jauh dari
daratan. Keadaan tersebut disebabkan oleh adanya proses sirkulasi massa air yang
memungkinkan terangkutnya sejumlah nutrien dari tempat lain, seperti yang terjadi pada
daerah upwelling (Qurban et al., 2017). Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat
tergantung pada konsentrasi nutrien (Canion et al., 2013). Kandungan klorofil-a dapat
digunakan sebagai ukuran banyaknya fitoplaknton pada suatu perairan tertentu dan dapat
digunakan sebagai petunjuk produktivitas perairan (Chen et al., 2017).
4. Suhu
Suhu pada perairan sangat berperan dalam mengendalikan ekosistem perairan (Odum,
1996; Wetzel, 2001). Secara umum, laju fotosintesa fitoplankton meningkat dengan
meningkatnya suhu perairan, tetapi akan menurun secara drastis setelah mencapai suatu titik
suhu tertentu (Zang et al., 2014; Vallina et al., 2017). Hal ini disebabkan karena setiap spesies
fitoplankton selalu berdaptasi terhadap suatu kisaran suhu tertentu (Vallina et al., 2017). Pada
daerah subtropis, pada musim panas tingkat produktiviats perairan akan lebih tinggi
dibandingan pada musim dingin (Mercado-Santana et al., 2017).

5. Kekeruhan
Tingginya kekeruhan akan mengurangi penetrasi cahaya yang masuk ke perairan yang
akan berdampak pada penurunan produktivitas primer perairan (Hariyadi et al., 2010). Lebih
lanjut Hariyadi et al. (201) melaporkan di Muara Sungai Cisadane ditemuukan kondisi yang
ekstrim, yakni perairan keruh dan kondisi mendung, kecerahan hanya sampai belasan
centimeter saja, ini berarti lapisan produktif hanya sekitar 30-40 cm di lapisan permukaan
dibandingkan dengan kedalaman rata-rata perairan yang sebesar 5,3 m. Kedalaman lapisan
produktif ini, yang hanya sekitar 6 - 8% dari kedalaman perairan, tergolong sangat rendah.

6. Arus
Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan
angin, perbedaan dalam densitas air laut, maupun oleh gerakan bergelombang panjang,
misalnya pasang surut (Nybakken, 1992; Wetzel, 2001). Salah satu fenomena arus adalah front.
Front merupakan daerah pertemuan dua massa air yang mempunyai karakteristik berbeda,
misal pertemuan antara massa air dari Laut Jawa yang agak panas dengan massa air Samudera
Hindia yang lebih dingin. front penting dalam hal produktivitas perairan laut karena cenderung
membawa bersama-sama dengan air yang dingin kaya akan nutrien dibandingkan dengan
perairan yang lebih hangat tetapi miskin zat hara (Mercado-Santana et al., 2017; Vallina et al.,
2017). Kombinasi dari temperatur dan peningkatan kandungan hara yang timbul dari
percampuran ini akan meningkatkan produktivitas plankton yang berdampak pada peningkatan
produktivitas primer di laut (Mercado-Santana et al. 2017; Vallina et al., 2017). Hal ini akan
ditunjukkan dengan meningkatnya stok ikan di daerah tersebut. Selain itu front atau pertemuan
dua massa air merupakan penghalang bagi migrasi ikan, karena pergerakan air yang cepat dan
ombak yang besar.
Selain front Upweling juga penting dalam peningkatan produktivitas primer di laut.
Upwelling merupakan penaikan massa air laut dari suatu lapisan dalam ke lapisan permukaan.
Gerakan naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas tinggi, dan zat-zat
hara yang kaya ke permukaan (Qurban et al., 2017). Sebaran suhu permukaan laut merupakan
salah satu parameter yang dapat dipergunakan untuk mengetahui terjadinya proses upwelling
di suatu perairan. Pada perairan tawar peristiwa upwelling dikenal dengan adanya pemballikan
massa air biasanya terjadi pada musim hujan (Wetzel, 2001). Hasil penelitian Qurban et al.
(2017) di Laut Merah mendapatkan bahwa akibat adanya penomena upwelling di Laut Merah
produktivitas perairan di kolom perairan yang seharusnya rendah ditemukan tingkat
produktivitaas yang lebih tinggi (Gambar 3). Pada perairan sungai Zang et al. (2014)
menemukan hubungan antara debit sungai dengan produktivitas perairan dengan model 9.84-
0.258Xq+0.0017Q (R=0.84). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi arus
menyebabkan tingkat produktivitas perairan yang rendah (Gambar 4). Hal ini tidak terlepas
dari tidak adanya kesempatan nutrien untuk digunakan oleh organisme autotrof sebagai bahan
baku dalam proses fotosintesis (Wetzel, 2001).

Gambar 3. Sebaran klorofil dan produktivitas perairan di Laut Merah (Sumber: Qurban et al.,
2017)
Gambar 4. Hubungan antara produktivitas perairan dengan kecepatan arus (Zang et al.,
2014)

7. Kedalaman
Kedalaman akan berpengaruh terhadap penetrasi cahaya yang masuk ke suatu perairan.
Pada umumnya seiring dengan bertambahnya kedalaman maka penetrasi cahaya yang masuk
akan semakin berkurang, sehingga akan berdampak pada produktivitas primer di perairan. Pada
permukaan pada umumnya produktivitas primer masih kecil karena intensitas cahaya yang
masuk teralalu tinggi (Vallina et al., 2017), dan akan meningkat pada kolm perairan dengan
intensitas yang sesuai dengan klorofil pitoplankton sehingga meningkatkan produktivitas
primer (Vallina et al., 2017). Seiring bertambahnya kedalaman maka akan mernrunkan
penetrasi cahaya yang semakin berkurang sehingga produktivitas primer akan berkuran.
Perbedaan kedalaman dapat mengakibatkan perbedaan nilai produktivitas primer
(Rahman, 2016; Qurban et al., 2017; Vallina et al., 2017). Hal ini disebabkan oleh adanya
perbedaan intensitas cahaya matahari yang dapat menembus setiap kedalaman pada umumnya
menurun seiring dengan bertambahnya ke dalaman perairan, sehingga aktifitas fotosintesis
akan menurun, dan menurunkan pula nilai produktivitas primer pada setiap kedalaman (Qurban
et al., 2017; Vallina et al., 2017).

Gambar 5. Penetrasi cahaya yang masuk ke perairan berdasarkan kedalaman (Nuzapril et al,
2017).
Gambar 6. Hubungan kedalaman dengan kandungan klorofil (produktivitas primer) (sumber:
Kahru et al., 2015)
METODE PENGUKURAN
Produktivitas primer dapat diukur dengan beberapa cara, misalnya dengan metode C14, metode
klorofil, dan metode oksigen (Nybakken, 1992; Odum, 1996; Astriana & Yuliana, 2012).
Dewasa ini pengukuran produktivitas primer lebih dikembangkan dengan menggunakan sensor
satelit (Ma et al., 2017; Nuzapril et al. 2017).

1. Metode Botol Gelap-Botol Terang


Metode yang umum digunakan dalam mengukur nilai produktivitas primer adalah
metode oksigen dengan metode botol gelap dan terang (Odum, 1996; Wetzel, 2001). Oksigen
merupakan hasil sampingan dari fotosintesis, sehingga ada hubungan erat antara produktifvitas
dengan oksigan yang di hasilkan oleh tumbuhan. Tetapi harus di ingat sebagian oksigen di
manfaatkan oleh tumbuhan tersebut dalam proses respirasi, dan harus di perhitungkan dalam
penentuan produktivitas.
Metode ini sangat cocok dalam menentukan produktivitas primer ekosistem perairan,
dengan fitoplankton sebagai produsennya. Tiga contoh airdi ambil pada kedalaman yang sama.
Satu contoh di simpan di dalam botol terang (LB) dan satunya lagi pada botol gelap (DB), dan
saatu lagi diukur sebagai DO inisial (IL). Selanjutnya kedua botol (LB dan DB) diinkubaasi
pada sesuai dengan tempat pengambilan air contoh (3-6 jam).
Penggunaan botol terang dipakai untuk mengukur laju fotosintesis yang disebut juga
sebagai produktivitas primer kotor (jumlah total sintesis bahan organik yang dihasilkan dengan
adanya cahaya). Sementara botol gelap digunakan untuk mengukur laju respirasi Produktivitas
primer dapat diukur sebagai produktivitas kotor dan atau produktivitas bersih, hubungan
diantara keduanya dapat dinyatakan sebagai berikut (Odum, 1996; Wetzel & Liken, 2000):
Respirasi (R) =I–D
Produksi Primer Bersih (GPP)= L – I
Produksi Primer Kotor (NPP) = L - D
IB : Initial Bottle
DB : Dark Bottle (Botol gelap)
LB : Light Bottle (Botol terang)
Satuan masih dalam mg O2/l /lamanya waktu inkubasi. Nilai ini dapat dikonversi ke dalam
satuan mg/l/lama inkubasi atau mg C/m3, yaitu dengan rumus :
R = 375 ( I – D )RQ
= …..mgC/m3/t
GPP = 375 ( L – D )/ PQ
=…..mgC/m3/t
NPP = ( L – I ) / PQ
=…..mgC/m3/t
RQ = ∑ mol O2 yang dihasilkan
∑ mol CO2 yang dihasilkan
PQ = ∑ mol CO2 yang diambil
∑ mol O2 yang dihasilkan
PQ 1,2 dan RQ = 1,0  Jika Hasil sebagian besar disebabkan oleh fitoplankton

2. Klorofil
Pengukuran produktivitas primer dengan klorofil dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu
ekstrak klorofil dari organisme autotrof dan menggunakan citra satelit.
1) Menyaring plankton
Metode kerja pengukuran konsentrasi klorofil-a yaitu diambil 1000 ml sampel air, disaring
dengan menggunakan kertas saring Whatman CNM 0, 45 µm, Selanjutnya dimasukkan
ekstrak dengan 10 ml larutan aseton, diaduk sampai campuran berwarna hijau, diukur
absorban klorofil-a dengan Spektrofotometer pada ƛ = 665.2 dan 652.4 nm. Nilai klorofil-
a ditentukan dengan rasio asimilasi untuk tumbuhan atau ekosistem dengan pergram
klorofil, dapaat dihitung dengan rumus (Chen et al., 2017):
c (Chla) (µg mL−1) = 16.72 × OD665.2 − 9.16 × OD652.4.
selanjutnya nilai Produktivitas primer dapat ditentukan dengan
P = K × r × c (Chla) ×DH,
Dimana:
P = produktivitas primer, (mgC m−3 d−1);
r = koefisien asimilasi (3,2)
c (Chl a) = nilai klorofil-a (mg m−3);
DH = waktu penyinaran dalam satu hari
K = konstanta (1,97)
Chen et al. (2017), mengembangkan suatu formula pengukuran produktivitas primer
dengan menggabungkan nilai klorofil dan densitas fitoplankton yng disebut model clorofil-
fo. Model ini masih tahap awal, dan masih untuk skala laboratorium. Berikut digambarkan
alur kerja penentuan produktivitas perairan dengan model tersebut
Gambar 7. Model pengukuran produktivitas perairan klorofil-Fo (Sumber: Chen et al., 2017)

2) Citra satelit
Dewasa ini pengukuran produktivitas primer lebih dikembangkan dengan
menggunakan sensor satelit (Ma et al., 2017; Nuzapril et al. 2017). Estimasi produktivitas
primer perairan berdasarkan nilai konsentrasi klorofil-a dapat ditentukan dengan ektrak dari
citra satelit (Ma et al., 2014; Shuchman et al., 2013; Kahru et al., 2015). Satelit secara rutin
telah menyediakan beberapa variabel biofisik seperti variabel konsentrasi klorofil-a dan
suhu permukaan laut. Data yang telah didapat oleh sensor satelit, dapat digunakan untuk
membuat model estimasi produktivitas primer, sehingga estimasi produktivitas primer
lebih cepat dan efisien (Ma et al. 2014). Keakuratan pengukuran dengan metode ini
tergantung pada citra satelit yang digunakan dalam analisis data (Zhang & Han 2015;
Nuzapril et al. 2017). Model-model yang dikembangkan oleh Shuchman et al., 2013 (0.92)
Hill et al. (2013) dan Hill and Zimmerman (2010) korelasi antara konsentrasi klorofil-a
dengan produktivitas primer perairan sebesar 0,81 dan 0,86. Hill et al. (2013); Ma et al.
(2014); Kahru et al. (2015), menyatakan bahwa model hubungan empiris sederhana antara
produktivitas primer dengan konsentrasi klorofil-a ekstraksi citra satelit dapat diaplikasikan
dengan asumsi bahwa nilai integrasi konsentrasi klorofil-a dari permukaan sampai
kedalaman eufotik homogen sehingga konsentrasi klorofil-a citra satelit dianggap konstan
diseluruh zona eufotik. Hasil penelitian Nuzapril et al. (2017) mendapatkan bahwa analisis
spasial citra satelit dengan melihat sebaran chlorofil dapat dilakukan untuk mengestimasi
produktivitas primer di suatu wilayah perairan (R=0.64) (Gambar 8).
Gambar model pengukuran produktivitas primer perairan dengan citra satelit (Kirk, 2011)
Distribusi produktivitas primer dari analisis citra satelit menunjukkan bahwa nilai
produktivitas primer lebih tinggi berada di sekitar perairan yang dekat dengan daratan dan
semakin rendah ke arah laut lepas (Gambar 7). Hal tersebut karena pada daerah pesisir
Karimun Jawa dihuni oleh ekosistem penting seperti ekosistem karang, lamun dan
mangrove yang mempunyai nutrien tinggi. Asriyana dan Yuliana, (2012); Ma et al. (2017);
Nuzapril et al. (2017) menyatakan bahwa perairan laut lepas lebih sedikit menerima
pasokan unsur hara yang dibutuhkan oleh tumbuhan laut untuk menghasilkan produksi
primer.

Gambar 7. Peta sebaran spasial produktivitas primer insitu (kanan) dan citra satelit (kiri)
(sumber: Nuzapril et al. 2017)
Gambar 8. Grafik nilai produktivitas primer insitu dan citra satelit. (sumber: Nuzapril et al.
2017)

3. Metode Radioaktif
Materi aktif yang dapat di identifikasi radiasinya di masukkan dalam sistem. Misalnya
karbon aktif (14C) dapat di introduksi melalui suplai karbondioksida yang nantinya di
asimilasikan oleh tumbuhan dan di pantau untuk mendapatkan perkiraan produktivitas. Tehnik
ini sangat mahal dan memerlukan peralatan yang canggih, tetapi memiliki kelebihan dari
metode lainya, yaitu dapat di pakai dalam berbagai tipe ekosistem tanpa melakukan
penghancuran terhadap ekosistem. Kim et al. (2014) melakukan pengukuran produktivitas
lamun dengan metode radio isotop δ13C.
Langkah-langkah pengukuraan 14C (Wetzel & Liken, 2000; Mercado-Santana et al.,
2017):
 Air contoh diambil sama seperti air contoh DO (2 botol terang & 1 botol gelap) pada
kedalaman tertentu
 Tambahkan 1ml larutan NaH14CO3 (14C-labelled carbonate) ke salah satu botol terang
& botol gelap (volume 125 ml)  kocok merata, segera inkubasikan ke perairan di
kedalaman semula
 Biarkan 2 jam (pk 10.00-14.00), NaH14CO3 yang digunakan mengandung radioaktif 1-
10μCi/ml (biasanya 2 μCi/ml)
 Pada 1 botol terang yang tersisa, gunakan sampel untuk mengukur temperatur, pH &
alkalinitas total
 Setelah inkubasi, saring sampel dengan membran filter untuk memekatkan sel-sel
fitoplankton.
 Selanjutnya 14C terasimilasi dihitung dengan “Planchet counting” atau Liquid
scintillation (kilauan) counting (Geiger-Muller detector):
14 12
C terasimilasi C terasimilasi
e. Prinsip analisis : 14
 12
C total yang ada C total yang ada

14
C terasimilasi
atau 12
C terasimilasi  14
x 12
C total x f
C total

f  faktor koreksi  1.06 karena uptake 14 C lebih lambat daripada 12 C


12
C total  ditentukan dari alkalinita s, pH, dan temperatur
4. Metode Panen
Metode panen biasanya dilakukan untuk tubuhan tingkat tinggi. Dalam hal ini
diperairan digunakan untuk makrofita, seperti tumbuhan air di danau/ rawa, lamun, dan rumput
laut (Wetzel, 2001; Hasegawa et al., 2007; Rasheed et al., 2008; Silva et al., 2009). Cara ini di
tentukan berdasarkan berat pertumbuhan dari tumbuhan. Dapat dinyatakan secara langsung
berat keringnya atau kalori yang terkandung, tetapi keduanya dinyatakan dalam luas dan priode
waktu tertentu. Metode ini merupakan metode paling awal dalam mengukur produktivitas
primer. Caranya adalah dengan memotong bagian tumbuhan. Bagian yang di potong
selanjutnya dipanaskan sampai seluruh airnya hilang atau beratnya konstan. Materi tersebut
ditimbang, dan prodiktivitas primer di nyatakan dalam biomassa per unit area per unit waktu,
misalnya sebagai gram berat kering/ m 2 /tahun. Metode ini menunjukkan perubahan berat
kering selama priode waktu tertentu. Metode panen ini tidak cocok untuk mengukur
produktivitas primer fitoplankton, karena ada beberapa kesalahan misalnya perubahan biomasa
yang terjadi tidak hanya diakibatkan oleh produktivitas tetapi juga berkurangnya fitoplankton
oleh hewan – hewan pada tropik diatasnya, atau mungkin jumlah fitoplankton berubah karena
gerakan air dan pengadukan.

5. Metode Dekomposisi Serasah (Pendugaan pada daerah mangrove)


Produksi serasah mangrove merupakan bagian yang penting dalam transfer bahan
organik dari tumbuhan ke perairan (Mahmudi, 2010; Danielson et l., 2017). Unsur hara yang
dihasilkan dari proses dekomposisi serasah di dalam tanah sangat penting dalam pertumbuhan
mangrove dan sebagai sumber detritus bagi ekosistem laut dan estuari dalam menyokong
kehidupan berbagai organisme akuatik. Pendugaan produktivitas periran di ekosistem hutan
mangrove secara khusus dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan pelepasan nutrien
dari serasah daun mangrove yang dihasilkan. Dari produksi serasah daun mangrove yang
dihasilkan, setelah mengalami proses grazing, ekspor dan dekomposisi, serasah daun akan
menghasilkan nutrien (N, P) ke lingkungan perairan (Mahmudi, 200). Produksi primer
ditentukan berdasarkan penguraian serasah, Σ PP (g C/m /hr) dari produksi nutrien, L yaitu : Σ
PP = Σ Nutrien x 2 x 17. Selanjutnya Kamaruzzaman et al. (2017), membuat formula
perhitungan produktivitas mangrove di perairan, yaitu: ΔPn = Δy + ΔL + ΔG
Dimana: Δy (Mg ∙ ha-1 ∙ thn-1) adalah kenaikan biomassa yang mengabaikan mortalitas pohon,
ΔL (Mg ∙ ha-1 ∙ thn-1) adalah total materi mati, yaitu jumlah total produksi serasah dan jumlah
bahan kering akibat kematian pohon, dan ΔG (Mg ∙ ha-1 ∙ thn-1) adalah jumlah rerumputan.

Produktivitas perairan pada berbagai ekosistem

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa produktivitas primer perairan saangat


dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan serta komposisi organisme dan distribusi
orgnisme autotrof. Itu artinya perbedaan tipe habitat akan memberikan produktivitas primer
yang berbeda-beda. Bahkan pada habitat atau ekosoistem yang sama, perbedaan waktu dapat
memberikan nilai produktivitas yang berbeda-beda. Mengacu pada pada Gambar 9 (Wetzel,
2001) bahwa produktivitas tahunan ekosistem perairaan lebih tinggi dibanding hutan dan
padang rumput (rerumputan). Pada ekosistem tawar, terutama danau dangkal dan rawa
produktivitas dari tanaman air lebih tinggi dibanding produktivitas plankton. Hal ini juga
seperti yang dikemukakan dan ditemukan oleh Tamire & Mengistou (2014), bahwa
produktivitas tumbuhan air pada danau-danu dangkal dan rawa lebih tinggi daripada
produktivitas plankton.

Gambar 9. Produktivitas organik pada berbagai habitat (Wetzel, 2001)

Akan tetapi sebenarnya kurang tepat jika produktivitas primer antar ekosistem karena
metode pengukuran yang berbeda-beda. Misalnya pada tabel1 dibawah disajikan produktivitas
primer perairan dari berbagai hasil penelitian dan metode yang berbeda-beda. Pada waktu dan
tempat yang sama Nuzapril et al. (2017) melakukan produktivitas primer perairan di perairan
Pulau Karimun Jawa, dimana nilai produktivitas berdasarkan ekstraksi citra satelit lebih tinggi
dibandingkan dengan metode pengukuran klorofil. Padahal sebenarnya pengukuran citra pun
yang diukur dan diekstrak adalah kandungan klorofil laut. Jika dibandingkan nilai produktivitas
perairan antara P. Karimun Jawa lebih tinggi dibanding dengan laut Merah dengan metode
yang sama. Hal ini tidak terlepas dengan kandungan nutrien yang lebih tinggi di perairan P.
karimeun Jawa. Akan tetapi dibandingkan dengan Teluk California masih lebih rendah
dibnding dengan P. Karimun Jawa. Hal ini juga berkaitan dengan nutrien dimana daerah teluk
memiliku nutrien yang lebih tinggi akibat masukan nutrien dari daratan, di banding daerah
pulau yang cukup jauh dari daratan.
Secara umum pengukuran produktivitas primer perairan mengacu pada kemampuan
plankton (mikro algae) dalam melakukan fotosintesis yang belakangan ini lebih dikembangkan
oleh para peneliti dengan metode radioisotof dan citra satelit (terutama laut). Barangkali 2
metode ini dianggap lebih tepat dan akurat untuk memetakan tingkat produktivitas primer
perairan. Akan tetapi ada juga peranan makro alga (makrofita) terutama ekosistem lamun,
komunitas rumput laut dan tumbuhan air di zona neritik danau. Bahkan pada ekosistem rawa
lebih banyak disumbang oleh makrofita. Hasil penelitian Tamire & Mengistou (2014)
memperoleh nilai produktivitas perairan dari makrofita di Danau Ziaway, Etiopia lebih tinggi
dibanding Rawa Banjiran Amazon (Silva et al., 2009). Bahkan masih lebih tinggi dibanding
nilai produktivitas dari lamun di Australia dan Jepang (Hasegawa et al., 2007 dan Rasheed et
al., 2008). Pada ekositem mangrove nilai produktivitas primer perairan paling tinggi ditemukan
di hutan mangrove Miami (USA) dibanding ekosistem mangrove lainnya. Tingginya
produktivitas tersebut tidak terlepas dari rtingkat kerapatan dan penutupan mangrove Miami
yang lebih tinggi dibanding lainnya (karean lokasi penelitian tersebut merupakan daerah
konservasi). Nilai tersebut masih lebih tinggi daripada mangrove di Jawa Timur yang
merupakan mangrove rehabilitasi. Selain itu Danielson et al. (2017) menjelaskan bahwa adanya
badai didaerah USA juga dapat meningkatkan meningkatnya gugur daun sehingga laju
dekomposisi serasah pun meningkat.
Ada satu hasil riset yang sangat bagus dari Alikunhi and Kathiresan (2012) di India
yang mengukur produktivitas perairan dengan berbagai tipe habitat yang berbeda dan metode
pengukuran yang sama (pengukuran dengan 14C, pada palnkton). Hasilnya menunjukkan
bahwa produktivitas primer perairan pada ekosistem mangrove lebih tinggi dibanding
produktivitas lamun dan karang serta asosiasi mangrove dan lamun dan lamun dan karang
(Tabel 1 dan Gambar 10). Hal ini menunjukkan bahwa pada ekosistem mangrove memberikan
kontribusi nutrien yang besar ke parairan. Selain itu, lokasi mangrove yang dekat dengan muara
sungai juga memberikan kontribusi terhadap nutrien ke perairan laut/ pesisir (Muhtadi et al.,
2017).

Gambar 10. Produktivitas perairan pada ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang
(sumber: Alikunhi and Kathiresan, 2012)

Kesimpulan dan saran

Faktor utama yang mempengaruhi produktivitas perimer perairan adalah ketersedian


cahaya dan nutrien di perairan. Pengukuran produktivitas primer perairan lebih dikembangkan
adalah metode radioisotop dan citra satelit (khususnya perairan laut/ danau yang luas). Kedepan
mestinya untuk dapat menentukan perbedaan kontribusi produktivitas priemr di peraiarn
hendaknya dilakukan dengan metode yang sama dan dalam waktu yang sama.
Tabel 1. Hasil penelitian produktivitas perairan pada berbagai eksosistem perairan

No Ekosistem Nilai produktivitas Keterangan/ Sumber


Musim kering Musim basah gC/m3/hari) metode
(gC/m2/hari)1 (gC/m2/hari)2
A Plankton
1 Mangrove (India) 3,3 – 4,7 2,7 – 3,9 14
C Alikunhi & Kathiresan, 2012
2 Mangrove dan lamun 3,2 – 4,5 2,5 – 3,7 14
C Idem
3 Lamun 2,2 – 4,3 1,9 – 3,5 14
C Idem
4 Lamun dan karang 2,0 – 4,0 1,8 – 3,2 14
C Idem
5 Karang 2,0 – 3,5 1,8 – 3,0 14
C Idem
6 Laut 0,50 – 2,50 Model(phyto) Vallina et al., 2017
7 Kolam 3,3 – 3,5 Klorofil Chen et al., 2017
8 Mangrove 0,15 – 0,51 DO Rahman , 2016
10 Estuari Cilacap 0,003 – 0,005 Plankton Rahayu et al., 2016
11 Estuari Cisadane (Indonesia) 53,52-128,911 DO Hariyadi et al., 2010
12 Teluk California, USA 18,29 – 363,901 ; 18,25 – 245,772 Citra satelit Mercado-Santana et al., 2017
13 Laut Merah 0,05 – 0,35 Chlorofil Qurban et al., 2017
14 Karimun Jawa 0,90 – 1,8 Chlorofil Nuzapril et al., 2017
15 Karimun Jawa 1,2 - 2,4 Citra satelit Nuzapril et al., 2017
B Tumbuhan air (tawar)
16 Rawa Banjiran Amazon 0,47 – 0,721 0,18 0,312 Biomass Silva et al., 2009
17 Danau Ziway, Etiopia 6,01 – 6,54 Biomass Tamire & Mengistou (2014)
C Mangrove
18 Mangrove, Miami (USA) 0,35 – 0,75 1,3 – 1,35 Serasah Danielson et al., 2017
19 Mangrove Jawa Timur 0,13 – 0,18 Serasah Mahmudi, 2010
20 Mangrove, Okinawa (Jepang) 0, 12 Serasah Kamruzzaman et al., 2017b
21 Mangrove, Bangladesh 0,06 Serasah Kamruzzaman et al., 2017a
22 Mangrove, Florida, USA 0,02 – 0,05 Serasah Moya et al., 2013
D Lamun
23 Hokkaido, Jepang 5,21 Biomass Hasegawa et al., 2007
24 Australia 1,19 Biomass Rasheed et al., 2008
25 Teluk Dongdae, Korsel 0,65 – 0,74 Radioaktif Kim et al., 2014
E Rumput laut
26 Seaweed (USA) 0,40 – 3,10 DO Litler & Muray, 1974
Daftar Pustaka
Abigail Winona, M. Zainuri, & W. S. Pranowo. 2015. Studi Tentang Produktivitas Primer Berdasarkan Distribusi
Nutrien Dan Intensitas Cahaya Di Perairan Selat Badung, Bali. Jurnal Oseanografi, 4 (1): 150 - 158
Alianto, E. M. Adiwilaga, & A. Damar. 2008. Produktivitas Primer Fitoplankton dan Keterkaitannya dengan
Unsur Hara dan Cabaya di Perairan Teluk Banten. Jurnal Ilmu·Ilmu Perairan Dan Peri Kanan Indonesia,
15 (1): 21-26
Alikunhi N.M., & K. Kathiresan. 2012. Phytoplankton productivity in interlinked mangroves, seagrass and coral
reefs and its ecotones in Gulf of Mannar Biosphere Reserve South east India. Marine Biology Research,
8: 61-73. http://dx.doi.org/10.1080/17451000.2011.596544
Asriyana dan Yuliana, 2012. Produktivitas Perairan. Bumi Aksara. Jakarta
Behrenfald M.J., Boss E, Siegel DA, Shea DM. 2005. Carbon-based ocean productivity and phytoplankton
physiology from space. Global Biogeochemical Cycles. Vol 19. GB1006, doi:10.1029/2004GB002299.
Canion Andy, H.L. MacIntyre, S. Phipps. 2013. Short-term to seasonal variability in factors driving primary
productivity in a shallow estuary: Implications for modeling production. Estuarine, Coastal and Shelf
Science, 131 : 224-234
Chen H., et al. 2017. Simplified, rapid, and inexpensive estimation of water primaryproductivity based on
chlorophyll fluorescence parameter Fo. Journal of Plant Physiology, 211 : 128–135
Danielson et al., 2017. Assessment of Everglades mangrove forest resilience: Implications for above-ground net
primary productivity and carbon dynamics. Forest Ecology and Management, 404 : 115–125.
http://dx.doi.org/10.1016/j.foreco.2017.08.009
Filippino K.C., Margaret R. Mulholland, Peter W. Bernhardt. 2011. Nitrogen uptake and primary productivity
rates in the Mid-Atlantic Bight (MAB). Estuarine, Coastal and Shelf Science, 91 : 13-23
Hariyadi S, E. M. Adiwilaga, T. Prartono, S. Hardjoamidjojo & A. Damar. 2010. Produktivitas Primer Estuari
Sungai Cisadane Pada Musim Kemarau. Limnotek, 17 (1) : 49-57
Hasegawa N., M. Hori, H. Mukai. 2007. Seasonal shifts in seagrass bed primary producers in a cold-temperate
estuary: Dynamics of eelgrass Zostera marina and associated epiphytic algae. Aquatic Botany, 86 : 337–
345
Hill V.J, & Zimmerman, R.C., 2010. Estimates of Primary Production by Remote Sensing in the Arctic Ocean:
Assessment of Accuracy with Passive and Active Sensors. Deep Sea Research I, 57: 1243–1254
Hill V.J., Matrai; P.A, Olson, E. Suittles; S., Codispoti; L.A. Zimmerman, R.C., 2013. Synthesis of Integrated
Primary Production in the Artic Ocean: II. In situ and Remotely Sensed Estimates. Progress in
Ocenanography 1(10): 107-125
Kahru et al. 2015. Optimized multi-satellite merger of primary production estimates in the California Current
using inherent optical properties. Journal of Marine Systems, 147 : 94–102
Kamruzzaman M., A. Osawa, R. Deshar, S. Sharmad, K. Mouctar. 2017b. Species composition, biomass, and net
primary productivity of mangrove forest in Okukubi River, Okinawa Island, Japan. Regional Studies in
Marine Science, 12 : 19–27. http://dx.doi.org/10.1016/j.rsma.2017.03.004
Kamruzzaman M., S. Ahmed, & A. Osawa. 2017a. Biomass and net primary productivity of mangrove
communities along the Oligohaline zone of Sundarbans, Bangladesh. Forest Ecosystems, 4:16. DOI
10.1186/s40663-017-0104-0
Kim M.S., et al., 2014. Carbon stable isotope ratios of new leaves of Zostera marina in the mid-latitude region:
Implications of seasonal variation in productivity. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology,
461 : 286–296. http://dx.doi.org/10.1016/j.jembe.2014.08.015
Kirk JTO, 2011. Light and Photosynthesis in Aquatic Ecosystems. Third Edition. New York: Cambridge
University Press
Lee, Z.P., Marra, J., Perry, M.J. and Kahru, M., 2014. Estimating Oceanic Primary Productivity from Ocean Color
Remote Sensing: A Strategic Assesment. Journal of Marine Systems 149: 50-59.
Littler M.M., & S.N. Murray. 1974. The Primary Productivity of Marine Macrophytes from a Rocky Intertidal
Community. Marine Biology, 27 : 31-135
Ma S., Tao Z., Yang X., Member, IEEE, Yu Y., Zhou X., Ma W, Li Z.. 2014. Estimation of Marine Primary
Productivity from Sattelite-Derived Phytoplankton Absorption Data. IEEE J Select Topics Apl Earth
Observ Remote Sens, 7(7): 3084-3092.
Mahmudi M. 2010. Estimasi Produksi Ikan Melalui Nutrien Serasah Daun Mangrove di Kawasan Reboisasi
Rhizophora, Nguling, Pasuruan, Jawa Timur. Ilmu Kelautan, 15 (4) : 231-235
Mercado-Santana J.A., et al. 2017. Productivity in the Gulf of California large marine ecosystem. Environmental
Development, 22 : 18–29. http://dx.doi.org/10.1016/j.envdev.2017.01.003
Moya E.C., R. R. Twilley, V. H. Rivera-Monroy. 2013. Allocation of biomass and net primary productivity of
mangrove forests along environmental gradients in the Florida Coastal Everglades, USA. Forest Ecology
and Management, 307 : 226–241
Nuzapril M, Setyo Budi Susilo, James P. Panjaitan. 2017. Hubungan Antara Konsentrasi Klorofil-A Dengan
Tingkat Produktivitas Primer Menggunakan Citra Satelit Landsat-8. Jurnal Teknologi Perikanan dan
Kelautan, 8 (1) : 105-114
Nuzapril M, Setyo Budi Susilo, J. P. Panjaitan. 2017. Estimasi Produktivitas Primer Perairan Berdasarkan
Konsentrasi Klorofil-A Yang Diekstrak Dari Citra Satelit Landsat-8 Di Perairan Kepulauan Karimun
Jawa. Jurnal Penginderaan Jauh Vol. 14 No. 1 Juni 2017 : 25-36
Nybakken JW. 1992. Biologi Laut suatu pendekatan ekologis. PT. Gramedia. Jakarta.
Odum EP. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Diterjemahkan oleh T. Samingan. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta
Qurban M.A., M. Wafar, R. Jyothibabu, K.P.Manikandana. 2017. Patterns of primary production in the Red Sea.
Journal of Marine Systems, 169 : 87–98. http://dx.doi.org/10.1016/j.jmarsys.2016.12.008
Rahman M. 2016. Produktivitas Primer Perairan Pantai Kawasan Hutan Mangrove Desa Pagatan Besar
Kecamatan Takisung Kabupaten Tanah Laut Propinsi Kalimantan Selatan. Fish Scientiae, 6 (11) :11-12
Rahayu N. L., W. Lestari & E. R. Ardly. 2017. Bioprospektif Perairan Berdasarkan Produktivitas: Studi Kasus
Estuari Sungai Serayu Cilacap, Indonesia. Biosfera, 34 (1) : 15-21. DOI: 10.20884/1.mib.2017.34.1.405
Rangkuti Ahmad Muhtadi, M. Reza Cordova, Ani Rahmawati, Yulma, Eldin H. Adimu. 2017. Ekosistem Pesisir
dan Laut Indonesia. PT. Bumi Aksara. Jakarta
Rasheed M.A., et al., 2008. Productivity, carbon assimilation and intra-annual change in tropical reef platform
seagrass communities of the Torres Strait, north-eastern Australia. Continental Shelf Research, 28 :
2292– 2303. doi:10.1016/j.csr.2008.03.026
Reeder B. C. 2017. Primary productivity limitations in relatively low alkalinity, highphosphorus, oligotrophic
Kentucky reservoirs. Ecological Engineering, (in press)
Shuchman R.A., M. Sayers, G. L. Fahnenstiel, G. Leshkevich. 2013. A model for determining satellite-derived
primary productivity estimates for Lake Michigan. Journal of Great Lakes Research Supplement, 39 :
46–54
Silva Thiago S.F., Maycira P.F. Costa, & John M. Melack. 2009. Annual Net Primary Production Of Macrophytes
In The Eastern Amazon Floodplain. Wetlands, 29 (2) : 747–758
Tamire G., & S. Mengistou. 2014. Biomass and net aboveground primary productivity of macrophytes in relation
to physico-chemical factors in the littoral zone of Lake Ziway, Ethiopia. Tropical Ecology, 55(3): 313-
326.
Vallina S.M., P. Cermenoa, S. Dutkiewiczb, M. Loreauc, J.M. Montoya 2017. Phytoplankton functional diversity
increases ecosystem productivityand stability. Ecological Modelling, 361: 184–196.
http://dx.doi.org/10.1016/j.ecolmodel.2017.06.020
Xiao X, Y. Wang, H. Zhang, X. Yu. 2015. Effects of primary productivity and ecosystem size on food-chain
length in Raohe River, China. Acta Ecologica Sinica, 35 : 29–34.
http://dx.doi.org/10.1016/j.chnaes.2015.04.003
Xiewen X., Y. Wang, H. Zhang, X. Yu. 2015. Effects of primary productivity and ecosystem size on food-chain
length in Raohe River, China. Acta Ecologica Sinica, 35 : 29–34.
http://dx.doi.org/10.1016/j.chnaes.2015.04.003
Wetzel, R.G. 2001. Limnology Lake and River Ecosystem Third Edition. Academic Press, London.
Wetzel, R.G. dan Likens, G.E. 200. Limnological Analyses. 3nd. Springer-Verlag. New York.
Zhang Y, Li Zhang, W.J. Mitscha. 2014. Predicting river aquatic productivity and dissolved oxygen before and
after dam removal. Ecological Engineering, 72 :125–137.
http://dx.doi.org/10.1016/j.ecoleng.2014.04.026
Zhang, C., and Han, M., 2015. Mapping Chlorophyll-a Concentration in Laizhou Bay Using Landsat-8 OLI data.
Proceedings of the 36th IAHR World Congress. Netherland.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai