net/publication/321865220
CITATIONS READS
0 19,335
1 author:
Ahmad Muhtadi
University of Sumatera Utara
47 PUBLICATIONS 18 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Distribusi, keragaman morfometrik dan genetika serta pembesaran genus Tor di Sumatera Utara View project
All content following this page was uploaded by Ahmad Muhtadi on 17 December 2017.
1. Penetrasi cahaya
Kebutuhan cahaya merupakan suatu batas fundamental distribusi seluruh organisme
fotosintesis. Untuk hidup, organisme ini harus berada pada daerah lapisan permukaan (zona
fotis) sehingga energi matahari diperoleh lebih banyak untuk berfotosintesis (Nybakken, 1992;
Odum, 1996; Wetzel, 2001). Kedalaman zona fotik ditentukan oleh kapasitas cahaya matahari
menembus air, hal ini dipengaruhi kondisi yang beragam yaitu penyerapan cahaya di atmosfer,
sudut datangnya sinar dan transparansi air. Peningkatan jumlah energi di permukaan air
bergantung pada kondisi atmosfer seperti debu, awan, waktu dan gas-gas yang mengabsorbsi,
memantulkan, dan meneruskan (transmisi) radiasi matahari yang datang, absorbsi cahaya oleh
air, panjang gelombang, lintang geografi, dan musim. Cahaya matahari merupakan gabungan
cahaya dengan panjang gelombang dan spektrum warna yang berbeda-beda serta daya tembus
setiap spektrum warna berbeda-beda. Spektrum warna cahaya yang memiliki panjang
gelombang pendek memiliki daya tembus yang lebih besar dibanding dengan gelombang
panjang (Nybakken, 1992; Odum, 1996; Wetzel, 2001; Kirk, 2011).
Wetzel (2001) dan Kirk (2011) menjelaskan bahwa cahaya matahari yang memasuki
suatu medium optik seperti air intensitasnya akan berkurang atau mengalami peredupan
(extinction attenuation) seiring dengan bertambahnya kedalaman di perairan. Besarnya tingkat
peredupan ini bergantung pada materi yang terdapat pada suatu perairan. Pada kolom air yang
meiliki tingakat kekeruhan yang tinggi, maka tingkat peredupannya juga kan tinggi. Tingkat
perdupan ini disebabkan oleh materi tersuspensi, terlarut, dan partikel-partikel yanga ada di
kolom air termasuk plankton. Hal yang pertama pada proses fotosintesis adalah mengabrsorpsi
cahaya. Tidak semua radiasi elektromagnetik yang yang jatuh pada tanaman berfotosintesis
dapat diserap, akan tetapi hanya cahaya tampak (visible light) yang memiliki panjang
gelombang yang berkisar antara 400 sampai 700 nm Radiasi total pda kisaran gelombang ini
disebut photosynthetically available radiation (PAT atau PhAR).
Gambar 1. Hubungan produktivitas terhadap cahaya di Teluk Banten (Alianto et al. 2008)
Secara umum hasil penelitian produktivitaas perairan jika dihubungkaan dengan cahaya
selalu menunjukkan hubungan daan korelasi yang erat. Berdasarkan penelitian Abigail et al.
(2015) menunjukkan bahwa produktivitas primer di perairan sangat tergantung pada intensitas
cahaya yang masuk ke perairan. Pada permukaan menunjukkan nilai produktivitas primer
cenderung rendah kemudian pada kedalaman di bawahnya sampai kedalaman tertentu akan
menurun seiring sesuai dengan penurunan intensitas cahaya yang masuk ke perairan (Vallina
et al., 2017). Alianto et al., (2008) dan Zang et al. (2014) mendapatkan bahwa hubungan cahaya
dengan produktivitas primer dengan determinasi R0.64 – 0.82. ini artinya model dapat
digunakan menggambarkan keadaan sebenarnya sebesar 82%. Bahkan Alianto et al. (2008)
lebih lanjut menimpulkan bahwa ternyata cahaya merupakan faktor pembatas penting bagi
produktivitas primer fitoplankton dibandingkan dengan unsur hara pada masa peralihan musim
hujan ke musim kemamu di perairan Teluk Banten. Dengan demikian berdasarkan musim,
produktivitas perairan akan lebih tinggi pada musim panas (kemarau) dibanding musim dingin
(hujan) (Alianto et al., 2008; Hariyadi et al., 2010; Filippino et al., 2011; Shuchman et al., 2013;
Abigail et al., 2015; Vallina et al., 2017).
2. Nutrien
Pada ekosistem perairan alami, siklus produksi dimulai oleh produser yang mampu
mensintesa bahan organik yang berasal dari bahan anorganik melalui proses fotosintesis
(beberapa jenis bakteri melakukan kemosintesis) dengan bantuan cahaya matahari (Odum,
1996; Wetzel, 2001). Odum (1996) membagi nutrien yang bdibutuhkan oleh tumbuhan menjadi
makro nutrien (terdiri dari unsur: O, C, N, P, S, K, Mg, dan Ca) dan mikro nutrien (Fe, Mn,
Cu, Zn, B, Si, Mo,Cl, Co, dan Na) . Menurut Filippino et al. (2011); Qurban et al. (2017),
nutrien yang paling berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan plankton
adalah nitrogen (dalam bentuk NO3) dan fosfor (dalam bentuk PO4). Kedua unsur ini sangat
penting yang merupakan faktor pembatas bagi produktivitas plankton di perairan. Selain
nitrogen dan fosfor unsur yang penting terhadap perkembangan organisme autotrof terutama
plankton jenis algae diatom adalah silika untuk membentuk frustule dan spikule (Nybakken,
1992). Menurut Reeder (2017), nutrien yang tinggi dengan alkalinitas yang rendah menjadi
faktor pembatas produktivitas primer di perairan.
Ketersediaan nutrien di perairan merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan
organisme autotrof (Odum, 1996; Nybakken, 1992; Wetzel, 2001). Dengan demikian efisiensi
daur nutrisi dalam ekosistem peraairan akan menjadi sangat penting untuk memelihara
produktivitas primer (Kirk, 2011). Oleh karena itu, besarnya produktivitas primer suatu
perairan dapat mengindikasikan besarnya ketersediaan nutrien terlarut di perairan tersebut
(Alianto et al., 2008). Keberadaan nutrien di perairan sangat di pengaruhi oleh aktivitas
menusia di daratan, gerakan massa air (terutama di perairan laut), maupun aktivitas
pembusukan bahan-baahan organik. Adanya penyebaran nutrien dan organisme autotrof
(fitoplankton) di perairan yang berbeda-beda sangat mempengaruhi produktivitas primer di
perairan (Filippino et al., 2011; Vallina et al., 2017). Perairan yang kaya nutrien dan biota
autotrof akan memiliki produktivitas primer yang tinggi (Filippino et al., 2011; Vallina et al.,
2017). Oleh karena itu perairan estauri memiliki produktivitas yang tinggi jika dibanding
dengan perairan laut lepas dan perairan perairan tawar karena menjadikan daerah sebagai trap
nutrien. Aliran air tawar dan air laut yang terus menerus membawa mineral, bahan organik,
serta sedimen dari hulu sungai ke laut dan sebaliknya dari laut ke muara. Unsur hara ini
mempengaruhi produktivitas wilayah perairan muara.
3. Klorofil
Konsentrasi klorofil-a merupakan indikator utama untuk mengestimasi produktivitas
primer dan merupakan variabel penting dalam proses fotosintesis (Nybakken, 1992; Odum,
1996; Wetzel, 2001; Asriyana & Yuliana, 2012; Ma et al., 2014; Lee et al., 2014; Xiao et al.,
2015; Chen et al., 2017). Klorofil–a fitoplanton adalah suatu pigmen aktif dalam sel tumbuhan
yang mempunyai peranan penting didalam proses berlangsungnya fotosintesis diperairan
semua sel berfotosintesis mengandung satu atau beberapa pigmen klorofi l ( hijau coklat, merah
atau lembayung) (Wetzel, 2001; Kirk, 2011).
Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan biomassa
organisme autotrof yang tentunya berkaitan dengan kondisi suatu perairan (Wetzel, 2001;
Alianto et al., 2008; Kirk, 2011; Mercado-Santana et al., 2017; Vallina et al., 2017). Parameter
fisik-kimia yang mengontrol dan mempengaruhi sebaran klorofil-a, adalah intensitas cahaya,
nutrien (terutama nitrat, fosfat dan silikat). Perbedaan parameter fisika-kimia tersebut secara
langsung merupakan penyebab bervariasinya produktivitas primer. Selain itu “grazing” juga
memiliki peran besar dalam mengontrol konsentrasi klorofil-a di laut (Nybakken, 1992; Odum,
1996). Wetzel (2001), menjelaskan bahwa keberadaan klorofil di perairan danau sangat di
tentukan oleh adanya kandungan fosfat di danau tersebut (Gambar 2). Hal inilah yang
menyebabkan fosfat merupakan faktor utama yang menyebakan ledakan populasi fitoplankton
di danau
Gambar 2. Hubungan klorofil dengan total fosfat di periaran tawar (Wetzel, 2001).
Pada umumnya sebaran konsentrasi klorofil-a tinggi di perairan pantai sebagai akibat dari
tingginya masukan nutrien yang berasal dari daratan melalui limpasan air sungai, dan
sebaliknya cenderung rendah di daerah lepas pantai. Meskipun demikian pada beberapa tempat
masih ditemukan konsentrasi klorofil-a yang cukup tinggi, meskipun jauh dari
daratan. Keadaan tersebut disebabkan oleh adanya proses sirkulasi massa air yang
memungkinkan terangkutnya sejumlah nutrien dari tempat lain, seperti yang terjadi pada
daerah upwelling (Qurban et al., 2017). Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat
tergantung pada konsentrasi nutrien (Canion et al., 2013). Kandungan klorofil-a dapat
digunakan sebagai ukuran banyaknya fitoplaknton pada suatu perairan tertentu dan dapat
digunakan sebagai petunjuk produktivitas perairan (Chen et al., 2017).
4. Suhu
Suhu pada perairan sangat berperan dalam mengendalikan ekosistem perairan (Odum,
1996; Wetzel, 2001). Secara umum, laju fotosintesa fitoplankton meningkat dengan
meningkatnya suhu perairan, tetapi akan menurun secara drastis setelah mencapai suatu titik
suhu tertentu (Zang et al., 2014; Vallina et al., 2017). Hal ini disebabkan karena setiap spesies
fitoplankton selalu berdaptasi terhadap suatu kisaran suhu tertentu (Vallina et al., 2017). Pada
daerah subtropis, pada musim panas tingkat produktiviats perairan akan lebih tinggi
dibandingan pada musim dingin (Mercado-Santana et al., 2017).
5. Kekeruhan
Tingginya kekeruhan akan mengurangi penetrasi cahaya yang masuk ke perairan yang
akan berdampak pada penurunan produktivitas primer perairan (Hariyadi et al., 2010). Lebih
lanjut Hariyadi et al. (201) melaporkan di Muara Sungai Cisadane ditemuukan kondisi yang
ekstrim, yakni perairan keruh dan kondisi mendung, kecerahan hanya sampai belasan
centimeter saja, ini berarti lapisan produktif hanya sekitar 30-40 cm di lapisan permukaan
dibandingkan dengan kedalaman rata-rata perairan yang sebesar 5,3 m. Kedalaman lapisan
produktif ini, yang hanya sekitar 6 - 8% dari kedalaman perairan, tergolong sangat rendah.
6. Arus
Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan
angin, perbedaan dalam densitas air laut, maupun oleh gerakan bergelombang panjang,
misalnya pasang surut (Nybakken, 1992; Wetzel, 2001). Salah satu fenomena arus adalah front.
Front merupakan daerah pertemuan dua massa air yang mempunyai karakteristik berbeda,
misal pertemuan antara massa air dari Laut Jawa yang agak panas dengan massa air Samudera
Hindia yang lebih dingin. front penting dalam hal produktivitas perairan laut karena cenderung
membawa bersama-sama dengan air yang dingin kaya akan nutrien dibandingkan dengan
perairan yang lebih hangat tetapi miskin zat hara (Mercado-Santana et al., 2017; Vallina et al.,
2017). Kombinasi dari temperatur dan peningkatan kandungan hara yang timbul dari
percampuran ini akan meningkatkan produktivitas plankton yang berdampak pada peningkatan
produktivitas primer di laut (Mercado-Santana et al. 2017; Vallina et al., 2017). Hal ini akan
ditunjukkan dengan meningkatnya stok ikan di daerah tersebut. Selain itu front atau pertemuan
dua massa air merupakan penghalang bagi migrasi ikan, karena pergerakan air yang cepat dan
ombak yang besar.
Selain front Upweling juga penting dalam peningkatan produktivitas primer di laut.
Upwelling merupakan penaikan massa air laut dari suatu lapisan dalam ke lapisan permukaan.
Gerakan naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas tinggi, dan zat-zat
hara yang kaya ke permukaan (Qurban et al., 2017). Sebaran suhu permukaan laut merupakan
salah satu parameter yang dapat dipergunakan untuk mengetahui terjadinya proses upwelling
di suatu perairan. Pada perairan tawar peristiwa upwelling dikenal dengan adanya pemballikan
massa air biasanya terjadi pada musim hujan (Wetzel, 2001). Hasil penelitian Qurban et al.
(2017) di Laut Merah mendapatkan bahwa akibat adanya penomena upwelling di Laut Merah
produktivitas perairan di kolom perairan yang seharusnya rendah ditemukan tingkat
produktivitaas yang lebih tinggi (Gambar 3). Pada perairan sungai Zang et al. (2014)
menemukan hubungan antara debit sungai dengan produktivitas perairan dengan model 9.84-
0.258Xq+0.0017Q (R=0.84). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi arus
menyebabkan tingkat produktivitas perairan yang rendah (Gambar 4). Hal ini tidak terlepas
dari tidak adanya kesempatan nutrien untuk digunakan oleh organisme autotrof sebagai bahan
baku dalam proses fotosintesis (Wetzel, 2001).
Gambar 3. Sebaran klorofil dan produktivitas perairan di Laut Merah (Sumber: Qurban et al.,
2017)
Gambar 4. Hubungan antara produktivitas perairan dengan kecepatan arus (Zang et al.,
2014)
7. Kedalaman
Kedalaman akan berpengaruh terhadap penetrasi cahaya yang masuk ke suatu perairan.
Pada umumnya seiring dengan bertambahnya kedalaman maka penetrasi cahaya yang masuk
akan semakin berkurang, sehingga akan berdampak pada produktivitas primer di perairan. Pada
permukaan pada umumnya produktivitas primer masih kecil karena intensitas cahaya yang
masuk teralalu tinggi (Vallina et al., 2017), dan akan meningkat pada kolm perairan dengan
intensitas yang sesuai dengan klorofil pitoplankton sehingga meningkatkan produktivitas
primer (Vallina et al., 2017). Seiring bertambahnya kedalaman maka akan mernrunkan
penetrasi cahaya yang semakin berkurang sehingga produktivitas primer akan berkuran.
Perbedaan kedalaman dapat mengakibatkan perbedaan nilai produktivitas primer
(Rahman, 2016; Qurban et al., 2017; Vallina et al., 2017). Hal ini disebabkan oleh adanya
perbedaan intensitas cahaya matahari yang dapat menembus setiap kedalaman pada umumnya
menurun seiring dengan bertambahnya ke dalaman perairan, sehingga aktifitas fotosintesis
akan menurun, dan menurunkan pula nilai produktivitas primer pada setiap kedalaman (Qurban
et al., 2017; Vallina et al., 2017).
Gambar 5. Penetrasi cahaya yang masuk ke perairan berdasarkan kedalaman (Nuzapril et al,
2017).
Gambar 6. Hubungan kedalaman dengan kandungan klorofil (produktivitas primer) (sumber:
Kahru et al., 2015)
METODE PENGUKURAN
Produktivitas primer dapat diukur dengan beberapa cara, misalnya dengan metode C14, metode
klorofil, dan metode oksigen (Nybakken, 1992; Odum, 1996; Astriana & Yuliana, 2012).
Dewasa ini pengukuran produktivitas primer lebih dikembangkan dengan menggunakan sensor
satelit (Ma et al., 2017; Nuzapril et al. 2017).
2. Klorofil
Pengukuran produktivitas primer dengan klorofil dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu
ekstrak klorofil dari organisme autotrof dan menggunakan citra satelit.
1) Menyaring plankton
Metode kerja pengukuran konsentrasi klorofil-a yaitu diambil 1000 ml sampel air, disaring
dengan menggunakan kertas saring Whatman CNM 0, 45 µm, Selanjutnya dimasukkan
ekstrak dengan 10 ml larutan aseton, diaduk sampai campuran berwarna hijau, diukur
absorban klorofil-a dengan Spektrofotometer pada ƛ = 665.2 dan 652.4 nm. Nilai klorofil-
a ditentukan dengan rasio asimilasi untuk tumbuhan atau ekosistem dengan pergram
klorofil, dapaat dihitung dengan rumus (Chen et al., 2017):
c (Chla) (µg mL−1) = 16.72 × OD665.2 − 9.16 × OD652.4.
selanjutnya nilai Produktivitas primer dapat ditentukan dengan
P = K × r × c (Chla) ×DH,
Dimana:
P = produktivitas primer, (mgC m−3 d−1);
r = koefisien asimilasi (3,2)
c (Chl a) = nilai klorofil-a (mg m−3);
DH = waktu penyinaran dalam satu hari
K = konstanta (1,97)
Chen et al. (2017), mengembangkan suatu formula pengukuran produktivitas primer
dengan menggabungkan nilai klorofil dan densitas fitoplankton yng disebut model clorofil-
fo. Model ini masih tahap awal, dan masih untuk skala laboratorium. Berikut digambarkan
alur kerja penentuan produktivitas perairan dengan model tersebut
Gambar 7. Model pengukuran produktivitas perairan klorofil-Fo (Sumber: Chen et al., 2017)
2) Citra satelit
Dewasa ini pengukuran produktivitas primer lebih dikembangkan dengan
menggunakan sensor satelit (Ma et al., 2017; Nuzapril et al. 2017). Estimasi produktivitas
primer perairan berdasarkan nilai konsentrasi klorofil-a dapat ditentukan dengan ektrak dari
citra satelit (Ma et al., 2014; Shuchman et al., 2013; Kahru et al., 2015). Satelit secara rutin
telah menyediakan beberapa variabel biofisik seperti variabel konsentrasi klorofil-a dan
suhu permukaan laut. Data yang telah didapat oleh sensor satelit, dapat digunakan untuk
membuat model estimasi produktivitas primer, sehingga estimasi produktivitas primer
lebih cepat dan efisien (Ma et al. 2014). Keakuratan pengukuran dengan metode ini
tergantung pada citra satelit yang digunakan dalam analisis data (Zhang & Han 2015;
Nuzapril et al. 2017). Model-model yang dikembangkan oleh Shuchman et al., 2013 (0.92)
Hill et al. (2013) dan Hill and Zimmerman (2010) korelasi antara konsentrasi klorofil-a
dengan produktivitas primer perairan sebesar 0,81 dan 0,86. Hill et al. (2013); Ma et al.
(2014); Kahru et al. (2015), menyatakan bahwa model hubungan empiris sederhana antara
produktivitas primer dengan konsentrasi klorofil-a ekstraksi citra satelit dapat diaplikasikan
dengan asumsi bahwa nilai integrasi konsentrasi klorofil-a dari permukaan sampai
kedalaman eufotik homogen sehingga konsentrasi klorofil-a citra satelit dianggap konstan
diseluruh zona eufotik. Hasil penelitian Nuzapril et al. (2017) mendapatkan bahwa analisis
spasial citra satelit dengan melihat sebaran chlorofil dapat dilakukan untuk mengestimasi
produktivitas primer di suatu wilayah perairan (R=0.64) (Gambar 8).
Gambar model pengukuran produktivitas primer perairan dengan citra satelit (Kirk, 2011)
Distribusi produktivitas primer dari analisis citra satelit menunjukkan bahwa nilai
produktivitas primer lebih tinggi berada di sekitar perairan yang dekat dengan daratan dan
semakin rendah ke arah laut lepas (Gambar 7). Hal tersebut karena pada daerah pesisir
Karimun Jawa dihuni oleh ekosistem penting seperti ekosistem karang, lamun dan
mangrove yang mempunyai nutrien tinggi. Asriyana dan Yuliana, (2012); Ma et al. (2017);
Nuzapril et al. (2017) menyatakan bahwa perairan laut lepas lebih sedikit menerima
pasokan unsur hara yang dibutuhkan oleh tumbuhan laut untuk menghasilkan produksi
primer.
Gambar 7. Peta sebaran spasial produktivitas primer insitu (kanan) dan citra satelit (kiri)
(sumber: Nuzapril et al. 2017)
Gambar 8. Grafik nilai produktivitas primer insitu dan citra satelit. (sumber: Nuzapril et al.
2017)
3. Metode Radioaktif
Materi aktif yang dapat di identifikasi radiasinya di masukkan dalam sistem. Misalnya
karbon aktif (14C) dapat di introduksi melalui suplai karbondioksida yang nantinya di
asimilasikan oleh tumbuhan dan di pantau untuk mendapatkan perkiraan produktivitas. Tehnik
ini sangat mahal dan memerlukan peralatan yang canggih, tetapi memiliki kelebihan dari
metode lainya, yaitu dapat di pakai dalam berbagai tipe ekosistem tanpa melakukan
penghancuran terhadap ekosistem. Kim et al. (2014) melakukan pengukuran produktivitas
lamun dengan metode radio isotop δ13C.
Langkah-langkah pengukuraan 14C (Wetzel & Liken, 2000; Mercado-Santana et al.,
2017):
Air contoh diambil sama seperti air contoh DO (2 botol terang & 1 botol gelap) pada
kedalaman tertentu
Tambahkan 1ml larutan NaH14CO3 (14C-labelled carbonate) ke salah satu botol terang
& botol gelap (volume 125 ml) kocok merata, segera inkubasikan ke perairan di
kedalaman semula
Biarkan 2 jam (pk 10.00-14.00), NaH14CO3 yang digunakan mengandung radioaktif 1-
10μCi/ml (biasanya 2 μCi/ml)
Pada 1 botol terang yang tersisa, gunakan sampel untuk mengukur temperatur, pH &
alkalinitas total
Setelah inkubasi, saring sampel dengan membran filter untuk memekatkan sel-sel
fitoplankton.
Selanjutnya 14C terasimilasi dihitung dengan “Planchet counting” atau Liquid
scintillation (kilauan) counting (Geiger-Muller detector):
14 12
C terasimilasi C terasimilasi
e. Prinsip analisis : 14
12
C total yang ada C total yang ada
14
C terasimilasi
atau 12
C terasimilasi 14
x 12
C total x f
C total
Akan tetapi sebenarnya kurang tepat jika produktivitas primer antar ekosistem karena
metode pengukuran yang berbeda-beda. Misalnya pada tabel1 dibawah disajikan produktivitas
primer perairan dari berbagai hasil penelitian dan metode yang berbeda-beda. Pada waktu dan
tempat yang sama Nuzapril et al. (2017) melakukan produktivitas primer perairan di perairan
Pulau Karimun Jawa, dimana nilai produktivitas berdasarkan ekstraksi citra satelit lebih tinggi
dibandingkan dengan metode pengukuran klorofil. Padahal sebenarnya pengukuran citra pun
yang diukur dan diekstrak adalah kandungan klorofil laut. Jika dibandingkan nilai produktivitas
perairan antara P. Karimun Jawa lebih tinggi dibanding dengan laut Merah dengan metode
yang sama. Hal ini tidak terlepas dengan kandungan nutrien yang lebih tinggi di perairan P.
karimeun Jawa. Akan tetapi dibandingkan dengan Teluk California masih lebih rendah
dibnding dengan P. Karimun Jawa. Hal ini juga berkaitan dengan nutrien dimana daerah teluk
memiliku nutrien yang lebih tinggi akibat masukan nutrien dari daratan, di banding daerah
pulau yang cukup jauh dari daratan.
Secara umum pengukuran produktivitas primer perairan mengacu pada kemampuan
plankton (mikro algae) dalam melakukan fotosintesis yang belakangan ini lebih dikembangkan
oleh para peneliti dengan metode radioisotof dan citra satelit (terutama laut). Barangkali 2
metode ini dianggap lebih tepat dan akurat untuk memetakan tingkat produktivitas primer
perairan. Akan tetapi ada juga peranan makro alga (makrofita) terutama ekosistem lamun,
komunitas rumput laut dan tumbuhan air di zona neritik danau. Bahkan pada ekosistem rawa
lebih banyak disumbang oleh makrofita. Hasil penelitian Tamire & Mengistou (2014)
memperoleh nilai produktivitas perairan dari makrofita di Danau Ziaway, Etiopia lebih tinggi
dibanding Rawa Banjiran Amazon (Silva et al., 2009). Bahkan masih lebih tinggi dibanding
nilai produktivitas dari lamun di Australia dan Jepang (Hasegawa et al., 2007 dan Rasheed et
al., 2008). Pada ekositem mangrove nilai produktivitas primer perairan paling tinggi ditemukan
di hutan mangrove Miami (USA) dibanding ekosistem mangrove lainnya. Tingginya
produktivitas tersebut tidak terlepas dari rtingkat kerapatan dan penutupan mangrove Miami
yang lebih tinggi dibanding lainnya (karean lokasi penelitian tersebut merupakan daerah
konservasi). Nilai tersebut masih lebih tinggi daripada mangrove di Jawa Timur yang
merupakan mangrove rehabilitasi. Selain itu Danielson et al. (2017) menjelaskan bahwa adanya
badai didaerah USA juga dapat meningkatkan meningkatnya gugur daun sehingga laju
dekomposisi serasah pun meningkat.
Ada satu hasil riset yang sangat bagus dari Alikunhi and Kathiresan (2012) di India
yang mengukur produktivitas perairan dengan berbagai tipe habitat yang berbeda dan metode
pengukuran yang sama (pengukuran dengan 14C, pada palnkton). Hasilnya menunjukkan
bahwa produktivitas primer perairan pada ekosistem mangrove lebih tinggi dibanding
produktivitas lamun dan karang serta asosiasi mangrove dan lamun dan lamun dan karang
(Tabel 1 dan Gambar 10). Hal ini menunjukkan bahwa pada ekosistem mangrove memberikan
kontribusi nutrien yang besar ke parairan. Selain itu, lokasi mangrove yang dekat dengan muara
sungai juga memberikan kontribusi terhadap nutrien ke perairan laut/ pesisir (Muhtadi et al.,
2017).
Gambar 10. Produktivitas perairan pada ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang
(sumber: Alikunhi and Kathiresan, 2012)