Anda di halaman 1dari 51

SUPLEMENTASI SELENIUM DAN VITAMIN E TERHADAP

KANDUNGAN MDA, GSH-Px PLASMA DARAH DAN


BOBOT ORGAN LIMFOID AYAM BROILER
YANG DIBERI CEKAMAN PANAS

SKRIPSI
LENNA ADRIYANA

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
RINGKASAN

LENNA ADRIYANA. D24050659. 2011. Suplementasi Selenium dan Vitamin E


terhadap Kandungan MDA, GSH-Px Plasma Darah dan Bobot Organ Limfoid
Ayam Broiler yang Diberi Cekaman Panas. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Muhammad Ridla, M.Agr.


Pembimbing Anggota : Ir. Widya Hermana, M.Si.

Tingginya suhu dan kelembaban lingkungan di daerah beriklim tropis


berakibat buruk terhadap kondisi fisiologis dan produktivitas ayam broiler.
Peningkatan suhu lingkungan melebihi kisaran zona suhu normal menyebabkan
stress oksidatif, sehingga menyebabkan terjadinya serangan lipida peroksida pada
membran sel. Salah satu upaya untuk mengatasi stress oksidatif akibat cekaman
panas pada ayam broiler adalah dengan pemberian selenium dan vitamin E dalam
ransum. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur pengaruh berbagai taraf
suplementasi selenium dan vitamin E terhadap kandungan malondialdehida (MDA)
dan enzim glutathion peroksidase (GSH-Px) plasma darah serta persentase bobot
organ limfoid (bursa fabricius dan timus) ayam broiler yang diberi cekaman panas.
Penelitian ini menggunakan 465 DOC (unsex) yang dipelihara pada dua
kondisi, yaitu kondisi normal (rataan suhu lingkungan 25,22±0,05 oC) dan kondisi
yang mendukung cekaman panas (rataan suhu lingkungan 29,80±0,76 oC).
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap Faktorial dengan 2 faktor dan 3 ulangan. Faktor 1 yaitu suplementasi
vitamin E (E1= ransum basal + vitamin E 0 ppm, E2= ransum basal + vitamin E 100
ppm, E3= ransum basal + vitamin E 200 ppm), faktor 2 yaitu suplementasi selenium
(S1= ransum basal + selenium 0 ppm, S2= ransum basal + selenium 0,15 ppm, S3=
ransum basal + selenium 0,30 ppm). Peubah yang diukur yaitu kandungan MDA dan
GSH-Px plasma darah serta persentase bobot bursa fabricius dan timus. Data yang
diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA), jika terdapat perbedaan yang
nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suplementasi selenium dan vitamin
E dapat menurunkan kandungan MDA (p<0,05) dan GSH-Px (p<0,01) plasma darah
ayam broiler yang diberi cekaman panas, namun tidak mempengaruhi persentase
bobot bursa fabricius dan timus ayam broiler. Persentase bobot bursa fabricius dan
timus pada perlakuan cekaman panas masing-masing berkisar antara 0,04%-0,06%
dan 0,28%-0,48%, sedangkan pada perlakuan kontrol masing-masing sebesar 0,08%
dan 0,50%. Berdasarkan analisis data tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan
suhu lingkungan dapat menyebabkan naiknya kandungan MDA dan GSH-Px plasma
darah sebagai indikator tingginya stress oksidatif serta menurunkan bobot bursa
fabricius dan timus. Kombinasi suplementasi vitamin E (100 ppm dan 200 ppm)
dengan selenium (0,3 ppm) dapat mengurangi stres oksidatif akibat radikal bebas
pada ayam broiler yang dipelihara pada kondisi cekaman panas. Namun kondisi stres
tetap terjadi yang ditunjukkan dengan menurunnya persentase bobot bursa fabricius
dan timus.

Kata-kata kunci : broiler, cekaman panas, selenium, vitamin E


ABSTRACT

Supplementation of Selenium and Vitamin E on MDA, GSH-Px Blood Plasma


and Weights of Lymphoid Organ in Heat Stressed Broilers
L. Adriyana, M. Ridla, and W. Hermana
High environmental temperatures may cause heat stress in poultry. High
temperatures contributes to oxidative stress, a condition where oxidant activity (free
radical) exceeds antioxidant activity. In this research, selenium and vitamin E were
utilized as anti heat-stress agents for heat stress broilers. The research used 465
unsex broilers and they were divided into 2 conditions, comfort zone (25.22±0.05 oC)
and high temperatures (29.80±0.76 oC). Variables measured were malondialdehyde
(MDA), glutathione peroxidase (GSH-Px) in blood plasma and weight of lymphoid
organ (bursa fabricius and tymus). The data collected were analyzed with a factorial
completely randomized design of 3x3 (3 levels of vitamin E, 3 levels of selenium and
3 replication) and continued with Duncan test. The result showed that selenium and
vitamin E supplementation was significantly decreased on MDA (p<0.05) and GSH-
Px (p<0.01) in blood plasma of heat stressed broilers, but it did not effect the weight
of bursa fabricius and thymus of broilers. It could be concluded that the combination
vitamin E (200 or 100 ppm) and selenium (0.3 ppm) is the most effective as anti
heat-stress agent in broilers.

Keywords : broiler, heat stress, selenium, vitamin E


SUPLEMENTASI SELENIUM DAN VITAMIN E TERHADAP
KANDUNGAN MDA, GSH-Px PLASMA DARAH DAN
BOBOT ORGAN LIMFOID AYAM BROILER
YANG DIBERI CEKAMAN PANAS

LENNA ADRIYANA
D24050659

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk


memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
Judul : Suplementasi Selenium dan Vitamin E terhadap Kandungan MDA,
GSH-Px Plasma Darah dan Bobot Organ Limfoid Ayam Broiler yang
Diberi Cekaman Panas
Nama : Lenna Adriyana
NIM : D24050659

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Dr. Ir. Muhammad Ridla, M.Agr) (Ir. Widya Hermana, M.Si)


NIP: 19631206 198903 1 003 NIP: 19680110 199203 2 001

Mengetahui:
Ketua Departemen,
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

(Dr. Ir. Idat G. Permana, M.Sc.Agr)


NIP: 19670506 199103 1 001

Tanggal Ujian: 02 Februari 2011 Tanggal Lulus:


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 3 Maret 1987 di Subang, Jawa Barat. Penulis
adalah anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Supriatna dan Ibu
Rachmawati.
Penulis mengawali pendidikan pada pada tahun 1993 di Sekolah Dasar
Negeri Sukabakti Kabupaten Subang dan diselesaikan pada tahun 1999. Pendidikan
lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2002 di Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama Negeri 1 Subang dan pendidikan lanjutan menengah atas
diselesaikan pada tahun 2005 di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Subang.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 memalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu
Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada
tahun 2007. Selama mengikuti pendidikan penulis menjadi staf informasi dan
komunikasi di Himpunan Mahasiswa Nutrisi Ternak (HIMASITER) Departemen
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor
2007 dan Organisasi Mahasiswa Daerah Forum Komunikasi Kulawarga Subang
(Fokkus) pada tahun 2005 sampai sekarang. Penulis juga pernah melakukan magang
di Charoen Pokphand Jaya Farm 4 Subang selama satu bulan pada tahun 2008.
KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim, Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur


penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, shalawat serta salam dijunjungkan kepada
nabi besar Nabi Muhammad SAW karena atas limpahan rahmat, hidayah, dan
lindungan-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Suplementasi
Selenium dan Vitamin E terhadap Kandungan MDA, GSH-Px Plasma Darah
dan Bobot Organ Limfoid Ayam Broiler yang Diberi Cekaman Panas”
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis bulan November 2009 hingga
Februari 2010 di Laboratorium Lapang Blok A dan Blok C, serta Laboratorium
Nutrisi Ternak Unggas Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Analisis Malondialdehida (MDA) dan
Glutathion Peroksidase (GSH-Px) dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan
Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur pengaruh berbagai taraf
suplementasi vitamin E dan selenium terhadap kandungan malondialdehida (MDA)
dan enzim glutathion peroksidase (GSH-Px) plasma darah serta persentase bobot
organ limfoid (bursa fabricius dan timus), sehingga diperoleh taraf suplementasi
yang optimum pada ransum ayam broiler yang dipelihara pada kondisi cekaman
panas.
Penulis menyadari banyak terjadi kesalahan dan kekurangan dalam penulisan
skripsi ini, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Penulis berharap semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.

Bogor, Maret 2011

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
RINGKASAN ............................................................................................ ii
ABSTRACT ............................................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................... iv
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... v
RIWAYAT HIDUP .................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ............................................................................... vii
DAFTAR ISI .............................................................................................. viii
DAFTAR TABEL ...................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xii
PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
Latar Belakang ............................................................................... 1
Tujuan ............................................................................................ 2
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 3
Pengaruh Cekaman Panas terhadap Kondisi Fisiologis Ayam
Broiler ............................................................................................. 3
Ayam Broiler .................................................................................. 5
Peran Radikal Bebas ...................................................................... 6
Kandungan Malondialdehida (MDA) sebagai Indikator
Peroksidasi Lipida ........................................................................... 8
Antioksidan .................................................................................... 8
Klasifikasi Antioksidan Utama .......................................... 8
Enzim Glutathione Peroksidase ..................................................... 9
Selenium (Se) ................................................................................. 10
Vitamin E ....................................................................................... 12
Organ Limfoid ............................................................................... 13
Bursa Fabricius ................................................................. 14
Timus ................................................................................. 15
MATERI DAN METODE ......................................................................... 16
Lokasi dan Waktu .......................................................................... 16
Materi ............................................................................................. 16
Ternak ................................................................................ 16
Kandang dan Peralatan ...................................................... 16
Ransum .............................................................................. 16
Metode ........................................................................................... 17
Pemeliharaan ....................................................................... 17
Pembuatan Pakan ............................................................... 18
Perlakuan Cekaman Panas .................................................. 19
Pengukuran Suhu ............................................................... 19
Analisis Malondialdehida (MDA) Plasma Darah .............. 19
Analisis Glutathion Peroksidase (GSH-Px) Plasma Darah . 20
Pengukuran Bobot Bursa Fabricius dan Timus ................ 20
Rancangan Percobaan dan Analisis Data ........................................ 21
Perlakuan ........................................................................... 21
Model Statistik ................................................................... 22
Analisis Data ...................................................................... 22
Peubah yang Diukur ........................................................................ 22
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 23
Pengaruh Cekaman Panas Selama Pemeliharaan .......................... 23
Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Malondialdehida
(MDA) Plasma Darah .................................................................... 27
Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Glutathione
Peroksidase (GSH-Px) Plasma Darah ............................................ 29
Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Organ Limfoid ..................... 30
Bursa Fabricius .................................................................. 31
Timus .................................................................................. 33
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 35
Kesimpulan .................................................................................... 35
Saran .............................................................................................. 35
UCAPAN TERIMA KASIH ..................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 37
LAMPIRAN ............................................................................................... 40
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Tipikal Rata-rata Suhu Lingkungan yang Direkomendasikan


untuk Produksi Optimum Pertumbuhan pada Berbagai Tingkat
Umur Ayam Broiler ........................................................................ 4
2. Klasifikasi Utama Antioksidan Enzimatik dan Antioksidan Non-
Enzimatik ....................................................................................... 9
3. Susunan dan Kandungan Nutrien Ransum Basal Periode Starter
dan Finisher ................................................................................... 17
4. Kombinasi Level Pemberian Vitamin E dan Selenium ................ 21
5. Rataan Suhu dan Kelembaban Lingkungan Kandang Blok C
(Perlakuan Cekaman Panas) Periode Mingguan Selama 6 Minggu
Pemeliharaan .................................................................................. 23
6. Rataan Suhu dan Kelembaban Lingkungan Kandang Blok A
(Kontrol) Periode Mingguan Selama 6 Minggu Pemeliharaan ...... 25
7. Kandungan MDA Plasma Darah (ηg/ml) Ayam Broiler pada
Kondisi Cekaman Panas ................................................................. 27
8. Kandungan GSH-Px Plasma Darah (mU/mg protein) Ayam
Broiler pada Kondisi Cekaman Panas ............................................ 29
9. Persentase Bobot Bursa Fabricius Ayam Broiler pada Kondisi
Cekaman Panas .............................................................................. 31
10. Persentase Bobot Timus Ayam Broiler pada Kondisi Cekaman
Panas .............................................................................................. 33
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman
1. Diagram Zona Suhu Nyaman (Thermonetral Zone) pada Ayam
Broiler ............................................................................................ 3
2. Molekul Stabil dan Radikal Bebas ................................................ 6
3. Sumber Radikal Bebas dan Tempat Kerja Antioksidan ................ 7
4. Struktur Enzim Glutathione Peroksidase (GSH-Px) ...................... 10
5. Reaksi Enzim Glutathione Peroksidase ......................................... 10
6. Struktur Kimia α –Tokoferol .......................................................... 13
7. Rataan Bobot Badan Akhir Ayam Broiler Selama 6 Minggu
Pemeliharaan .................................................................................. 26
8. Pengaruh Suhu Lingkungan Tinggi terhadap Aktivitas Hormonal
Ayam .............................................................................................. 32
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1. Hasil Sidik Ragam Kandungan MDA Plasma Darah ..................... 41
2. Uji Lanjut Duncan Kandungan MDA Plasma Darah ...................... 41
3. Hasil Sidik Ragam Kandungan GSH-Px Plasma Darah ................ 41
4. Uji Lanjut Duncan Kandungan GSH-Px Plasma Darah ................. 42
5. Hasil Sidik Ragam Persentase Bobot Bursa Fabricius .................. 42
6. Hasil Sidik Ragam Persentase Bobot Timus .................................. 42
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Industri ternak unggas merupakan subsektor peternakan yang sedang
mengalami peningkatan pesat. Salah satu sektor perunggasan yang paling tinggi
peningkatannya adalah budidaya ayam broiler. Permasalahan yang menghambat laju
produksi peternakan ayam broiler di negara tropis seperti di Indonesia adalah
tingginya suhu dan kelembaban lingkungan. Tingginya suhu lingkungan di daerah
tropis pada siang hari (dapat mencapai 34 oC) dapat mengakibatkan terjadinya
penimbunan panas dalam tubuh, sehingga ternak mengalami cekaman panas.
Cekaman panas akibat dari tingginya suhu lingkungan yang melebihi kisaran
zona suhu normal dapat menyebabkan stres oksidatif pada ayam broiler. Menurut
Mujahid et al. (2007) stres oksidatif yaitu kondisi aktitivitas radikal bebas yang
melebihi antioksidan. Radikal bebas akan mudah menyerang asam lemak tidak jenuh
ganda pada membran sel yang disebut serangan lipida peroksida.
Tingkat kerusakan oksidatif sel/jaringan tubuh akibat radikal bebas dapat
ditentukan dengan mengukur kandungan malondialdehida (MDA) di dalam darah
yang merupakan indikator dari peroksidasi lipida. Senyawa tersebut dapat
menimbulkan kerusakan pada komponen sel, seperti lipid, protein dan asam nukleat.
Enzim glutathione peroksidase (GSH-Px) merupakan antioksidan enzimatis di dalam
tubuh yang membantu mencegah kerusakan sel yang disebabkan oleh radikal bebas
dengan cara mengkatalisa berbagai hidroperoksida menjadi air.
Adanya pengaruh negatif terhadap sel-sel dalam tubuh akibat tingginya suhu
lingkungan, memicu tubuh untuk mensekresikan antibodi lebih banyak. Semakin
sering organ limfoid membentuk antibodi maka akan menyebabkan deplesi dan
pengecilan limfoid sehingga berat relatifnya menurun. Akibatnya, antibodi yang
dihasilkan oleh limfosit tersebut menjadi lebih rendah yang dapat memberikan
dampak negatif terhadap kondisi fisiologis dan produktivitas ayam broiler.
Salah satu upaya untuk mengatasi stress oksidatif akibat cekaman panas pada
ayam broiler adalah dengan pemberian antioksidan. Peran antioksidan adalah untuk
mengubah bentuk radikal bebas ke dalam ikatan-ikatan yang aman sehingga
menghentikan proses lipida peroksida. Selenium dan vitamin E dikenal sebagai
antioksidan yang mampu menetralisir radikal bebas. Vitamin E bekerja mencegah
terbentuknya peroksida bebas, sedangkan selenium bekerja mengurangi peroksida
yang sudah terlanjur terbentuk. Hal ini merupakan alasan mengapa selenium dan
vitamin E bekerja secara sinergi untuk melindungi membran seluler.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur pengaruh berbagai taraf
suplementasi selenium dan vitamin E terhadap kandungan malondialdehida (MDA)
dan enzim glutathion peroksidase (GSH-Px) plasma darah serta persentase bobot
organ limfoid (bursa fabricius dan timus), sehingga dapat ditemukan taraf
suplementasi selenium dan vitamin E yang optimum pada ransum ayam broiler yang
diberi cekaman panas.

2
TINJAUAN PUSTAKA

Pengaruh Cekaman Panas terhadap Kondisi Fisiologis


Ayam Broiler
Cekaman merupakan kondisi dimana kesehatan ternak terganggu yang
disebabkan oleh adanya lingkungan yang terjadi secara terus menerus pada hewan
dan mengganggu proses homeostasis (Leeson dan Summers, 2001). Cekaman ini
biasanya berhubungan dengan iklim yang ekstrim, misalnya: terlalu dingin atau
terlalu panas. Diagram zona suhu nyaman (thermonetral zone) pada ayam broiler
dapat dilihat pada Gambar 1.

Mati Mati Karena


Karena Batas Suhu Batas Suhu Panas
Dingin Bawah Atas
Maksimum Maksimum
Pembentukan Pelepasan
Panas Panas
ZONA
TEMPERATUR
NETRAL

Ayam harus Tingkah laku Ayam harus


meningkatkan untuk mengatur meningkatkan
pembentukan pelepasan
panas pelepasan panas Panas

Gambar 1. Diagram Zona Suhu Nyaman (Thermonetral Zone) pada Ayam Broiler
Sumber : Kuczynski, 2002

Panting merupakan salah satu respon ayam broiler yang nyata akibat
cekaman panas dan merupakan mekanisme evaporasi saluran pernapasan. North dan
Bell (1990) menyatakan bahwa ayam broiler mulai panting pada kondisi lingkungan
29 oC atau ketika suhu tubuh ayam mencapai 42 oC. Panting ayam broiler pada suhu
25 oC dan 35 oC dengan kelembaban relatif 61% masing-masing sebesar 91 dan 129
kali.
Menurut Kusnadi (2006), cekaman panas pada ayam broiler dapat
menurunkan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan
ransum. Peningkatan suhu lingkungan yang melebihi kisaran zona suhu kenyamanan
menyebabkan stres oksidatif (kondisi aktitivitas radikal bebas melebihi antioksidan)
pada ayam broiler (Fellenberg dan Speisky, 2006; Mujahid et al., 2007). Tingginya
suhu lingkungan juga dapat mengakibatkan naiknya kandungan MDA hati sebagai
indikator tingginya stres oksidatif, meningkatkan rasio H/L, dan menurunkan bobot
relatif bursa fabricius (Kusnadi, 2009). Meningkatnya rasio H/L disebabkan
penurunan jumlah limfosit sebagai akibat dari menurunnya bobot organ limfoid
termasuk bursa fabricius (Siegel, 1995). Sahin et al. (2008) menyatakan bahwa
cekaman panas dapat meningkatkan kandungan MDA plasma darah, hati, otot leher
dan otot dada pada burung puyuh.
Yahav et al. (1995) menyatakan bahwa meningkatnya kelembaban dalam
kandang ayam broiler pada suhu udara yang tetap dapat meningkatkan kondisi
lingkungan kandang ayam broiler kepada kondisi thermonetral zone sehingga ayam
broiler semakin merasa nyaman. Suhu lingkungan yang nyaman sesuai kebutuhan
ternak untuk menghasilkan produksi optimum sesuai umur ayam broiler disajikan
pada Tabel 1.

Tabel 1. Tipikal Rata-rata Suhu Lingkungan yang Direkomendasikan untuk Produksi


Optimum Pertumbuhan pada Berbagai Tingkat Umur Ayam Broiler
Umur (hari) Suhu (oC) Kelembaban (%)
1-3 32 60
4-6 31 60
7-14 30 60
15-21 28 60
22-35 26 60
>35 25 60
Sumber : Charoen Pokphand, 2005

Rangkaian respon fisiologi tubuh ayam akibat adanya cekaman panas diawali
dengan pembentukan CRH (Corticotrophin Releasing Hormone) di hipotalamus dan
CRH ini akan menstimulasi pembentukan ACTH (Adrenocorticotropic Hormone)
pada hipofisa anterior yang kemudian ACTH ini menginduksi pembentukan
glukorkotikoid pada kelenjar adrenal korteks. Pelepasan glukokortikoid
menimbulkan berbagai efek terhadap metabolisme normal tubuh, seperti gangguan
sekresi hormon, pertahanan (imunitas) tubuh, pertumbuhan dan aktivitas reproduksi
(Sugito, 2007). Hormon kortikosteron dan kortisol diklasifikasikan sebagai

4
glukokortikoid. Menurut Guyton (1983), peranan utama kortikosteron dan kortisol
terdapat pada peristiwa glukoneogenesis yaitu perombakan (katabolisme) dari non
karbohidrat sebagai usaha penyediaan glukosa darah, sehingga terjadi penurunan
pertumbuhan. Selain itu, menurut Siegel (1995) hormon kortikosteron juga dapat
menekan pertumbuhan organ limfoid (bursa fabricius dan timus).

Ayam Broiler
Ayam broiler merupakan ayam tipe berat pedaging yang dapat tumbuh sangat
cepat sehingga dapat dipanen pada umur 6-7 minggu yang ditujukan untuk
menghasilkan daging dan menguntungkan secara ekonomis jika dibesarkan
(Amrullah, 2004). Ayam broiler merupakan ayam-ayam muda jantan dan betina yang
umumnya dipanen pada umur sekitar 5-6 minggu dengan bobot badan antara 1,2-1,9
kg/ekor yang bertujuan sebagai sumber daging (Kartasudjana, 2005).
Ayam broiler termasuk kedalam ordo Galliformes, family Phasianidae, genus
Gallus, dan spesies Gallus domesticus. Ayam-ayam ini dipilih dari ayam yang
berdada lebar. Ayam broiler dihasilkan dari bangsa ayam tipe berat Cornish. Bangsa
ayam ini dipilih yang berbulu putih dan seleksi diteruskan hingga dihasilkan ayam
broiler seperti sekarang ini (Amrullah, 2004).
Strain Ross merupakan bibit broiler yang dirancang untuk memuaskan
konsumen yang menginginkan performa yang konsisten dan produk daging yang
beraneka ragam. Keunggulan yang dimiliki oleh strain Ross adalah sehat dan
kuat, tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi, kualitas daging yang baik, efisiensi
pakan yang tinggi, dan dapat meminimalkan biaya produksi. Keunggulan ini tidak
hanya berlaku di wilayah subtropis tetapi juga di wilayah tropis (Aviagen, 2007).
Rekayasa genetik, perkembangan teknologi pakan dan manajemen
perkandangan menyebabkan strain ayam broiler yang ada sekarang lebih peka
terhadap formula pakan yang diberikan (Unandar, 2001). Menurut Wahju (2004),
pakan ayam broiler harus mengandung energi yang cukup untuk membantu
reaksi-reaksi metabolik, menyokong pertumbuhan dan mempertahankan suhu
tubuh, selain itu ayam membutuhkan protein yang seimbang, fosfor, kalsium dan
mineral serta vitamin yang memiliki peran penting selama tahap permulaan
hidupnya.

5
Peran Radikal Bebas
Radikal bebas adalah atom atau molekul yang mengandung elektron yang
tidak berpasangan pada orbit luarnya. Zat ini sangat reaktif, dan struktur yang
demikian membuat radikal bebas cenderung “mencuri” atau mengekstraksi satu
elektron dari molekul lain di dekatnya untuk melengkapi dan selanjutnya
mencetuskan reaksi berantai yang dapat mengakibatkan kerusakan sel (Suryohudoyo,
2000). Reaktif juga berarti radikal bebas tidak bertahan lama dalam bentuk “asli”
karena untuk mempertahankan kestabilan molekul, mereka harus mengambil satu
elektron dari molekul yang lain. Artinya, radikal bebas menyerang molekul stabil
yang berada di dekatnya dan mengambil elektron dari molekul tersebut. Molekul
yang diambil elektronnya kemudian juga menjadi radikal bebas dan mengambil
elektron dari molekul lain, begitulah seterusnya sampai terjadi kerusakan sel (Bottje
et al., 1995). Perbedaan antara molekul stabil dengan radikal bebas dapat dilihat
pada Gambar 2.

Gambar 2. Molekul Stabil dan Radikal Bebas


Sumber : Fouad, 2006

Oksigen merupakan unsur penting bagi kehidupan organisme. Walaupun


oksigen (O2) esensial untuk kebanyakan proses kehidupan, molekul tersebut dapat
berubah menjadi molekul yang memiliki toksisitas tinggi. Metabolit oksigen utama
yang dihasilkan melalui reduksi satu elektron adalah Spesies Oksigen Reaktif (SOR)
yang terdiri dari superoksida (O2-), radikal bebas hidroksil (•OH), hidrogen peroksida
(H2O2), serta radikal peroksil (ROO-). SOR terus menerus dibentuk dalam jumlah
besar di dalam sel melalui jalur metabolik tubuh yang merupakan proses biologis
normal karena berbagai rangsangan, misalnya radiasi, tekanan parsial oksigen (pO2)

6
tinggi, paparan zat-zat kimia tertentu, infeksi maupun inflamasi (Suryohudoyo,
2000).
Semua SOR merupakan oksidan kuat dengan derajat berbeda-beda. Radikal
superoksida (O2-) merupakan bentuk yang paling reaktif yang paling banyak
dihasilkan oleh berbagai mekanisme di dalam tubuh antara lain, mitokondria, sistem
enzim NADPH oksidase, reaksi dari xantine oksidase dan metabolisme asam
arakidonat. Radikal superoksida kemudian dapat langsung di “makan” oleh
antioksidan vitamin E atau diubah menjadi H2O2 yang kemudian diubah lagi menjadi
air oleh enzim glutathione peroksidase. H2O2 yang terbentuk juga dapat diubah
menjadi radikal hidroksil (•OH). Jika tidak dinetralisir, •OH akan merusak lipid dan
DNA (Fellenberg dan Speisky, 2006). Gambar 3 memperlihatkan sumber radikal
bebas dan tempat kerja antioksidan.

Vit. E

Gambar 3. Sumber Radikal Bebas dan Tempat Kerja Antioksidan


Sumber : Fouad, 2006

Radikal bebas diproduksi secara normal pada fungsi imunitas, diperlukan


oleh sel imun untuk membunuh patogen dan mengeluarkannya, dalam keadaan
overproduksi pada kondisi patogenik menyebabkan kerusakan sel imun dan
menimbulkan imunosupresi. Dibutuhkan keseimbangan oksidan-antioksidan untuk
mengatur fungsi sistem imun dalam menjaga integritas dan fungsi lipida membran,
protein seluler, asam nukleat serta mengatur ekspresi gen (Wu dan Meydani, 1999).

7
Kandungan Malondialdehida (MDA) sebagai Indikator
Peroksidasi Lipid
Peroksidasi (auto-oksidasi) lipid khususnya asam lemak tak jenuh ganda
adalah suatu reaksi berantai radikal bebas (Suryohudoyo, 2000). Selain itu menurut
Jadhav et al. (1996), peroksidasi lipid adalah proses reaksi kimia yang sangat
kompleks termasuk melibatkan radikal bebas, ion logam, dan sistem biologik.
Reaksi tersebut dicetuskan oleh sebuah senyawa radikal bebas, yaitu radikal hidroksil
(•OH) yang mengekstraksi satu hidrogen dari lemak polyunsaturated (LH) sehingga
terbentuk radikal lemak (L-) yang setelah melalui beberapa proses maka terbentuklah
MDA, 9-hidroksi-nonenal, etana (C2H6) dan pentana (C5H12) suatu radikal bebas
yang merupakan metabolit reaktif peroksidasi lipid sehingga dapat digunakan
sebagai indeks peroksidasi lipid (Suryohudoyo, 2000). Radikal bebas menyerang
asam lemak tidak jenuh ganda (Poly Unsaturated Fatty Acid/PUFA) pada membran
sel yang disebut serangan peroksidasi lipida, sehingga meningkatkan hasil
sampingan berupa MDA (Fellenberg dan Speisky, 2006; Mujahid et al., 2007).
Malondialdehida (MDA) adalah salah satu indikator dari perosidasi lipida
dalam tubuh yang sering digunakan berhubungan dengan stres oksidatif (Sahin et al.,
2008). Tingkat kerusakan oksidatif sel/jaringan tubuh akibat radikal bebas dapat
ditentukan dengan mengukur kadar malondialdehida (MDA) di dalam darah
yang merupakan indikator dari peroksidasi lipida. Senyawa tersebut dapat
menimbulkan kerusakan pada komponen sel, seperti lipid, protein dan asam
nukleat (Clarkson dan Thomson, 2000).

Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) untuk
meredam dampak negatif dari SOR. Alam menyediakan senyawa-senyawa
antioksidan yang merupakan senyawa pemberi elektron termasuk enzim-enzim dan
protein-protein pengikat logam (Suryohudoyo, 2000). Antioksidan terdiri atas
antioksidan endogen yang dihasilkan oleh tubuh sendiri dan antioksidan eksogen
yang berasal dari makanan (Jadhav et al., 1996).

Klasifikasi Antioksidan Utama


Antioksidan endogen dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu antioksidan
non-enzimatik dan antioksidan enzimatik. Antioksidan bekerja dalam 3 cara yaitu:

8
(1) Pemutusan rantai reaksi (2) Mengurangi pembentukan radikal bebas dan (3)
“Memakan” (scavenge) radikal bebas (Suryohudoyo, 2000). Klasifikasi
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi Utama Antioksidan Enzimatik dan Antioksidan Non-Enzimatik


Antioksidan Peranan Ciri-ciri
Superokside Dismutase Mengubah O2- Mengandung mangan
(SOD): Mitokondrial, menjadi H2O2 (MnSOD), tembaga
Sitoplasmik, (CuSOD), serta tembaga dan
ekstraseluler seng (CuZnSOD)
Enzim

Mengubah H2O2 Hemoprotein berbentuk


Katalase
menjadi H2O tetramer
Selenoprotein terutama
Glutathione Peroksidase Mengubah H2O2 berada di sitosol dan
(GSH-Px) dan lipid perokside mitokondria dan
menggunakan GSH
Memutus
peroksidase lipid
Vitamin yang larut dalam
Alpha tokoferol Scavenge lipid lemak
perokside, O2-
dan .OH
scavenge O2-,
Beta karotene bereaksi langsung Vitamin larut dalam lemak
Vitamin

dengan peroksil
scavenge secara
langsung OH dan
O2-
Menetralkan
Asam askorbat oksidan dari Vitamin larut dalam air
stimulasi
neutrofil
Berperan dalam
regenerasi vit. E
Sumber : Fouad, 2006

Enzim Glutathione Peroksidase


Enzim glutathione peroksidase (GSH-Px) adalah protein dengan bentuk
tetramer. Mempunyai berat molekul sebesar 85.000 D. Enzim ini mengandung 4
atom selenium yang terikat sebagai selenocysteine. Fungsi Utama enzim GSH-Px
yaitu mendetoksifikasi hidrogen peroksida dan mengubah hidroperoksida lipid
menjadi komponen yang tidak beracun (Jenkinson et al., 1982). Menurut Pamok et
al. (2009), aktivitas enzim GSH-Px pada ayam broiler yang diberi cakaman panas

9
meningkat pada awal periode, kemudian menurun seiring dengan berlangsungnya
cekaman panas. Struktur enzim ini dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur Enzim Glutathione Peroksidase (GSH-Px)


Sumber : Fouad, 2006

Enzim glutathione peroksidase membantu mencegah kerusakan sel yang


disebabkan oleh radikal bebas dengan cara mengkatalisa berbagai hidroperoksida.
Glutathione peroksidase mereduksi H2O2 menjadi H2O dan glutathione disulfide
(GSSG) dengan bantuan glutathione tereduksi (GSH) (Fellenberg dan Speisky,
2006). Reaksi enzim tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.

GSH-Px
H2O2 + 2GSH GSSG + 2H2O

Gambar 5. Reaksi Enzim Glutathione Peroksidase


Sumber : Fellenberg dan Speisky, 2006

Selenium (Se)
Sebelum tahun 1957 telah diadakan penelitian tentang selenium yang
menyatakan bahwa selenium adalah esensial pada fisiologis ternak, meskipun
dibutuhkan dalam jumlah kecil pada jaringan bila dibandingkan dengan mineral
esensial lainnya. Kekurangan selenium mempengaruhi pertumbuhan, kesehatan dan
fertilitas ternak, serta metabolisme pada ternak. Selenium mempunyai hubungan
dengan vitamin E. Selenium merupakan mineral esensial bagi pertumbuhan ayam
dan juga dapat bertindak sebagai pengganti vitamin E (Underwood dan Suttle, 2001).
Surai et al. (2006) yang melaporkan bahwa selenium berperan dalam
pertahanan antioksidan dan merupakan bagian penting dari GSH-Px, serta
ketersediaan selenium merupakan kunci efektif sintesis GSH-Px. Selenium
mengindikasikan peranannya dalam enzim GSH-Px yang melindungi membran sel
dari kerusakan akibat peroksida lipid dan mengurangi efek negatif dari stres oksidatif

10
yang disebabkan oleh heat stress (Sahin dan Kucuk, 2007). Heat stress mengurangi
laju pertumbuhan dan kemampuan kekebalan tubuh (immunocompetence), dimana
suplementasi selenium memperbaiki respon imun broiler (Niu et al., 2009). Rao et
al. (2004) melaporkan bahwa suplementasi selenium sebesar 0,25-0,50 ppm dalam
ransum diperlukan untuk imunitas ayam pedaging. Underwood dan Suttle (2001)
menyatakan bahwa batas normal penggunaan mineral Se per hari dalam ransum
ayam maksimal adalah 1-10 mg/kg.
Burk (1986) mengemukakan, pada kondisi “steady-state”, selenometionin
akan mengisi pusat pool selenium dengan sejumlah unsur selenium yang dimakan,
dan sebagian dari unsur selenium tersebut akan didaur ulang serta terikat dengan
protein dalam pool metionin, sehingga tercipta pool selenometionin dalam protein
jaringan. Besarnya pool yang terbentuk, proporsional sama dengan intake
selenometionin. Makanan yang mengandung selenium dalam bentuk selenosistein
atau selenium inorganik, tidak dapat/tidak mempunyai jalur untuk masuk pool
tersebut, tetapi dapat menyebabkan selenium teregulasi dalam jaringan membentuk
selenoprotein yang nantinya mempengaruhi aktivitas GSH-Px. GSH-Px dapat
dimodulasi oleh intake selenium, tetapi secara umum tidak tanggap terhadap intake
selenium yang terlalu tinggi. Namun, jika selenium yang dimakan dalam bentuk
selenosistein atau selenium inorganik, ditingkatkan dalam makanan, maka kadar
selenium dalam jaringan juga meningkat, demikian pula GSH-Px dan selenoprotein
lainnya akan jenuh. Kemudian lama kelamaan akan menjadi “plateau” keadaanya
sampai dengan terbentuknya unsur selenium dalam bentuk beracun. Sebaliknya, jika
selenium makanan itu adalah selenometionin, maka tidak akan terbentuk keadaan
“plateau”, sebab selenometionin memiliki hubungan langsung dengan pool
selenometionin yang berikatan dengan protein.
Suplementasi selenium organik meningkatkan level vitamin E pada kuning
telur (Surai, 2003). Diketahui pula bahwa selenium dapat menggantikan fungsi
vitamin E dalam tiga bentuk, yaitu:
1) Diperlukan untuk menjaga integritas kelenjar pankreas agar terjadi pencernaan
lemak secara normal, pembentukan garam empedu micelle secara normal dan
absorbsi vitamin E secara normal pula;

11
2) Selenium merupakan bagian integral dari sistem enzim GSH-Px, yang merubah
bentuk reduksi glutathione menjadi bentuk oksidase glutathine dan pada waktu
yang bersamaan merusak peroksida dengan cara konversi peroksida menjadi
bentuk alkohol yang tidak berbahaya. Reaksi tersebut mencegah terjadinya proses
peroksidasi terhadap asam-asam lemak yang tidak jenuh pada membran sel, dan
oleh karena itu menurunkan jumlah vitamin E yang diperlukan untuk menjaga
integritas sel-sel membran;
3) Mineral Se, dengan cara yang tidak diketahui membantu retensi vitamin E dalam
plasma.
Sebaliknya, vitamin E nampak mengurangi kebutuhan akan selenium, dengan
mencegah kehilangan selenium dari tubuh atau mempertahankannya dalam bentuk
aktif. Dengan mencegah oto-oksidasi lemak membran dari dalam, vitamin E
mengurangi jumlah glutation peroksidase yang dibutuhkan untuk merusak peroksida
yang dibentuk dalam sel (Piliang, 2004).

Vitamin E
Vitamin E ditemukan oleh Evans dan Bishop tahun 1992 sebagai vitamin
yang larut dalam lemak atau minyak dan dikenal juga sebagai alpha-tocopherol.
Selama ransum dibuat dari bahan-bahan makanan sumber nabati dan hewani,
kandungan vitamin E ransum sudah cukup. Namun, kekurangan itu dapat terjadi
akibat proses penyimpanan, karena vitamin E bersifat sangat tidak stabil yaitu mudah
dioksidasi oleh oksigen dari udara, sehingga ransum biasanya dilengkapi dengan
bahan penstabil yang biasanya terdapat dalam campuran vitamin dan mineral
pelengkap buatan pabrik. Beberapa fungsi vitamin E adalah: (1) Sebagai antioksidan
biologis; (2) Menjaga struktur lipida; (3) Dalam reaksi-reaksi fosforilasi normal,
terutama persenyawaan fosfat berenergi tinggi seperti fosfat keratin dan trifosfat
adenosine; (4) Metabolisme asam nukleat; (5) Sintesis asam askorbat; (6) Sintesis
ubiquinon, dan metabolisme sulfur asam amino (Sumardjo, 2006). Struktur kimia α –
tokoferol dapat dilihat pada Gambar 6.

12
Gambar 6. Struktur Kimia α –Tokoferol
Sumber: Sumardjo, 2006

Fungsi utama vitamin E adalah mencegah peroksidasi membran fosfolipid.


Karakteristik vitamin E yang lipofilik memungkinkan tokoferol berada di lapisan
dalam sel membran. Tokoferol OH dapat memindahkan atom hidrogen dengan satu
elektron ke radikal bebas dan membersihkan radikal bebas sebelum radikal bebas
bereaksi dengan protein membran sel atau bereaksi membentuk lipid peroksidasi.
Tokoferol-OH yang bereaksi dengan radikal bebas membentuk tokoferol-O.
Tokoferol-O sendiri adalah radikal bebas juga (Halliwell, 1992).
Surai (2003) menyatakan bahwa konsumsi nutrisi antioksidan pada pakan
dapat memelihara status antioksidan alami ternak. Selanjutnya dijelaskan bahwa
penyediaan selenium organik dengan kombinasi vitamin E memperbaiki stres dan
daya tahan terhadap penyakit. Sebagai hasilnya performa produksi dan reproduksi
meningkat. Kerja selenium berhubungan erat dengan antioksidan lainnya terutama
vitamin E. Selenium dan vitamin E bekerja secara sinergis sebagai antioksidan utama
menghilangkan radikal lemak, radikal O2, atau metabolit relatif O2 yang merupakan
bagian yang terpenting dari fungsi sel, akan tetapi berpotensi mengakibatkan
kerusakan sel dan proses penyakit bila pertahanan berlebihan. Vitamin E bekerja
mencegah terbentuknya peroksida bebas sedangkan selenium bekerja mengurangi
peroksida yang sudah terlanjur terbentuk (Fellenberg dan Speisky, 2006). Menurut
Noguchi dan Niki (1999), vitamin E termasuk antioksidan primer yang bekerja
sebagai antioksidan pemutus rantai peroksidasi lipid dengan cara menjadi donor ion
hidrogen bagi radikal bebas bebas menjadi molekul yang lebih stabil yaitu
hidroperoksida (H2O2).
Bollengier-Lee et al. (1999) menyatakan bahwa suplementasi 250 mg vitamin
E/ kg yang disediakan sebelum, selama dan setelah stres panas optimum untuk
mengurangi efek dari stres panas yang terus menerus pada ayam petelur. Kombinasi
250 ppm vitamin E dan 0,2 ppm selenium menghasilkan perfoma terbaik pada puyuh
Jepang yang dipelihara pada kondisi cekaman panas dan kombinasi tersebut dapat

13
dipertimbangkan sebagai praktek manajemen perlindungan dalam pakan puyuh
Jepang yang mengurangi efek negatif dari cekaman panas (Sahin dan Kucuk, 2001).

Organ Limfoid
Beberapa organ yang berperan di dalam reaksi tanggap kebal antara lain bursa
fabricius, timus, limpa dan caecal tonsil. Organ limfoid primer pada unggas terdiri
dari bursa fabricius dan timus, kedua organ ini berfungsi mengatur produksi dan
diferensiasi limfosit (Tizard, 1988). Menurut Gregg (2002), penyakit tertentu dan
kondisi lain yang diketahui mempengaruhi perkembangan timus dan bursa fabricius
pada ayam muda. Kondisi ini dapat menyebabkan jumlah kerusakan kelenjar yang
bervariasi yang diikuti dengan berkurangnya sistem kekebalan tubuh, yang dikenal
sebagai imunosupresi. Imunosupresi adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan
reaksi pembentukan zat kebal tubuh atau antibodi akibat kerusakan organ limfoid.
Dengan adanya penurunan jumlah antibodi dalam tubuh, maka penyakit-penyakit
akan lebih leluasa masuk dan menginfeksi bagian tubuh. Hal tersebut akan
menyebabkan adanya gangguan pertumbuhan dan produksi.

Bursa Fabricius
Bursa fabricius merupakan organ limfoid yang hanya ditemukan pada unggas.
Organ ini terletak pada daerah dorsal kloaka. Bursa fabricius memiliki tugas untuk
memproduksi dan mendewasakan sel limfosit B. Bursa fabricius juga berfungsi
sebagai organ limfoid sekunder yaitu dapat menangkap antigen dan membentuk
antibodi dan juga mengandung sebuah pusat kecil sel T di belakang lubang
salurannya (Tizard, 1988). Bursa fabricius sebagai organ limfoid primer sangat
dipengaruhi oleh hormon kortikosteron (Siegel, 1995).
Bila antigen masuk kedalam tubuh, pertama-tama antigen akan dikenal
sedemikian rupa sehingga dapat dikenali sebagai benda asing. Kemudian sel limfosit
B akan masuk ke sirkulasi dan berperan untuk menerima atau memberi reaksi
terhadap benda asing yang masuk atau keadaan patologis tubuh misalnya demam/
naiknya panas tubuh dari normal karena adanya cekaman panas pada unggas. Setelah
itu informasi yang diperoleh harus dikirim ke sistem pembentuk antibodi dalam hal
ini bursa fabricius. Sistem ini nantinya akan menanggapi dengan membentuk
antibodi khusus dan sel yang mampu menyingkirkan antigen (Tizard, 1987).

14
Pada unggas yang terjangkit bakteri patogen, maka bursa fabricius
membentuk antibodi yang akibatnya akan menyebabkan deplesi dan folikel limfoid
menjadi mengecil sehingga persentase bobot bursa fabricius menurun (Tizard,
1987). Bursa fabricius akan mengalami regresi dan involusi secara lengkap pada saat
ayam mencapai kematangan seksual yaitu pada umur 14-20 minggu. Unggas yang
mempunyai berat relatif bursa fabricius besar cenderung relatif tahan terhadap
berbagai penyakit. Niu et al. (2009) menyatakan bahwa persentase bobot bursa
fabricius ayam broiler umur 42 hari (6 minggu) pada kondisi thermoneutral zone
(23,9 °C) rata-rata 0,17% dari bobot hidup.

Timus
Timus adalah organ yang terdapat dalam rongga mediastinal anterior, tetapi
pada kuda, sapi, domba, babi dan ayam meluas ke arah leher sampai sejauh kelenjar
tiroid. Timus ayam secara anatomis terletak pada sisi kanan dan kiri saluran
pernafasan (trakea). Warnanya pucat kuning kemerah-merahan, bentuknya tidak
teratur dan berjumlah 3-8 lobi pada masing-masing leher. Besar timus dapat sangat
bervariasi, ukuran relatif yang paling besar pada hewan yang baru lahir sedangkan
ukuran absolutnya terbesar pada waktu pubertas. Setelah dewasa, timus mengalami
atrofi dari parenkhima dan korteks diganti jaringan lemak. Niu et al. (2009)
menyatakan bahwa persentase bobot timus ayam broiler umur 42 hari (6 minggu)
pada kondisi thermoneutral zone (23,9 °C) rata-rata 0,30% dari bobot hidup.
Timus merupakan regulator sel T yang bekerja pada sel-sel primitif yang
berasal dari sumsum tulang dan membuat sel-sel itu mampu secara imunologik
bertindak sebagai pembentuk antibodi tubuh. Sel T mampu membedakan jenis
patogen dengan kemampuan berevolusi sepanjang waktu demi peningkatan
kekebalan setiap kali tubuh terkena patogen (Tizard, 1987). Limfosit T mengambil
peran pada imunitas seluler dan mengalami diferensiasi fungsi yang berbeda sebagai
subpopulasi (Sharma, 1991). Timus yang mengalami atrofi cepat merupakan reaksi
terhadap stres, sehingga hewan yang mati sesudah menderita sakit yang lama
mungkin mempunyai timus yang sangat kecil (Tizard, 1988).

15
MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu


Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Blok A dan Blok C, serta
Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Analisis Malondialdehida (MDA) dan
Glutathione Peroksidase (GSH-Px) dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan
Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan November 2009 hingga Februari 2010.

Materi

Ternak
Penelitian ini menggunakan 465 ekor DOC (Day Old Chick) ayam broiler
strain Ross (unsex) yang dibeli dari Cibadak Indah Sari Farm. Ternak yang
dipelihara di kandang Blok A berjumlah 60 ekor dibagi dalam 3 ulangan, masing-
masing ulangan terdiri dari 20 ekor, sedangkan ayam yang dipelihara di kandang
Blok C berjumlah 405 ekor dibagi dalam 9 perlakuan dan 3 ulangan, setiap ulangan
terdiri dari 15 ekor ayam.

Kandang dan Peralatan


Kandang yang digunakan adalah kandang sistem litter beralaskan sekam
padi. Kandang di Blok A berukuran 1,5 x 3 m sebanyak 3 petak, sedangkan kandang
di Blok C berukuran 1,5 x 1,5 m sebanyak 27 petak. Peralatan yang digunakan
adalah tempat pakan, tempat air minum, timbangan digital, thermohygrometer,
brooder (pemanas) berbahan bakar batu bara, air conditioner (AC), exhaust fan dan
tabung darah yang berisi anti-koagulan.

Ransum
Ransum yang digunakan pada penelitian ini adalah ransum ayam broiler
periode starter dan finisher. Ransum yang digunakan disusun dari campuran bahan
pakan yang terdiri dari jagung giling, bungkil kedelai, dedak padi, CGM, MBM,
CPO, DCP, garam, premix, CaCO3, vitamin E dan selenium dengan ransum
berbentuk crumble. Susunan dan kandungan nutrien ransum basal yang digunakan
dalam penelitian disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Susunan dan Kandungan Nutrien Ransum Basal Periode Starter dan
Finisher
Bahan pakan Ransum Starter (%) Ransum Finisher (%)
Jagung 47,95 51,64
Bungkil Kedelai 25,00 19,26
Dedak Padi 12,01 12,48
CGM 6,70 3,06
MBM 5,00 8,09
CPO 1,59 5,00
DCP 1,00 -
Garam 0,27 0,22
Premix 0,25 0,25
CaCO3 0,24 -
Total 100 100
Kandungan Nutrien*) Ransum Starter Ransum Finisher
Bahan Kering (%) 86,02 83,72
Protein Kasar(%) 24,48 22,03
Serat Kasar (%) 4,61 4,28
Lemak Kasar (%) 4,85 5,83
Beta-N (%) 47,20 46,90
Abu (%) 5,09 4.68
Energi Bruto (kkal/kg) 3712 3981
*)
Keterangan : Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Institut Pertanian Bogor
(2010).

Metode

Pemeliharaan
Pemeliharaan ayam broiler dilakukan pada dua tempat, yaitu di kandang Blok
A dengan kondisi lingkungan normal (thermonetral zone) dan di kandang Blok C
dengan kondisi lingkungan yang mendukung cekaman panas. Perlakuan pada kondisi
suhu normal ini digunakan sebagai pembanding terhadap peubah yang diukur pada
kondisi yang mendukung cekaman panas. Penggunaan AC (untuk kondisi normal)
dilakukan pada awal minggu ke-4 pemeliharaan dengan tujuan suhu optimum

17
pertumbuhan ayam broiler dapat dipertahankan, sedangkan pada kandang yang
mendukung cekaman panas digunakan 10 buah pemanas (brooder) berbahan batu
bara yang dipasang untuk mempertahankan suhu lingkungan kandang agar tetap
berada pada kondisi cekaman panas.
Pada hari pertama dikandangkan, DOC diberikan larutan gula kemudian
dilanjutkan pemberian Vita Stress selama 3 hari pertama serta sesudah penimbangan
dan vaksinasi. Ransum starter diberikan mulai dari DOC hingga ayam berumur 21
hari, dilanjutkan dengan pemberian ransum finisher mulai umur 22 hari hingga umur
42 hari. Pakan dan air minum diberikan ad libitum. Tempat pakan dan minum
diletakkan cukup tinggi di atas sekam agar tidak cepat kotor. Sanitasi dilakukan
terhadap peralatan makan dan minum, serta kandang. Pencegahan terhadap penyakit
dilakukan melalui vaksinasi. Vaksin ND (Newcastle Desease) dilakukan saat ayam
berumur 3 hari melalui tetes mata dan saat berumur 21 hari secara oral (ditambahkan
ke dalam air minum). Vaksin IBD atau gumboro dilakukan secara oral saat ayam
berumur 10 hari.
Pemeliharaan dilakukan selama 6 minggu, setiap minggu dilakukan
penimbangan. Pada minggu ke-6 (42 hari) dilakukan pengambilan sampel darah dan
penimbangan bobot organ dalam.

Pembuatan Pakan
Pakan yang digunakan dibuat secara manual. Proses pembuatan pakan yaitu :
1) Setiap bahan pakan yang akan digunakan dalam penyusunan ransum ditimbang
sesuai dengan formulasi yang telah ditentukan;
2) Bahan pakan mikro seperti garam, premix, CaCO3, vitamin E dan selenium
dicampur terlebih dahulu dalam plastik ukuran kecil;
3) Jagung dicampur dengan CPO secara manual sampai tercampur rata;
4) Setelah tercampur rata, satu per satu bahan dimasukkan dalam campuran
termasuk bahan pakan mikro, kemudian diaduk sampai rata;
5) Setelah semua bahan tercampur rata, ransum kemudian dimasukkan ke dalam
mesin pellet sedikit demi sedikit;
6) Pakan yang telah berbentuk pellet kemudian dimasukkan ke dalam mesin
crumble, untuk mendapatkan bentuk granulla yang lebih mudah dikonsumsi
ayam.

18
Perlakuan Cekaman Panas
Perlakuan cekaman panas dilakukan dengan menambahkan pemanas
berbahan bakar batu bara sebanyak 10 buah yang disimpan di sepanjang lorong
antarsekat. Sumber panas batu bara disesuaikan dengan keadaan suhu kandang yang
mendukung cekaman panas. Sumber panas lain adalah bohlam berdaya 60 watt yang
dipasang pada masing-masing kandang. Lampu ini menyala selama 24 jam. Selain
itu, sisi kandang bagian luar ditutup dengan tirai berwarna hitam. Hal ini bertujuan
untuk menghasilkan suhu panas yang lebih ekstrim dari pada suhu normal.

Pengukuran Suhu (Robiansyah, 2006)


Pengukuran suhu dan kelembaban lingkungan dilakukan pada pagi hari
(pukul 07.00 WIB), siang hari (pukul 14.00 WIB) dan sore hari (pukul 18.00 WIB).
Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan dengan 2 thermohygrometer yang
ditempel pada sisi kanan dan sisi kiri kandang. Nilai suhu dan kelembaban
lingkungan yang diperoleh pada pagi hari, siang dan sore hari kemudian dihitung
untuk mendapatkan suhu dan kelembaban lingkungan harian dengan rumus:

Analisis Malondialdehida (MDA) dan Glutathion Peroksidase (GSH-Px) Plasma


Darah
Persiapan analisis kandungan MDA plasma darah dilakukan bersamaan
dengan pengukuran bobot bursa fabricius. Ayam tersebut dipotong, lalu darah
ditampung secukupnya ke dalam tabung darah yang telah ditambah anti koagulan.
Tabung darah tersebut dikocok secara perlahan agar darah tidak membeku dan
disimpan dalam termos es. Setelah itu dilakukan analisis kandungan MDA dan GSH-
Px plasma darah.

1) Analisis Malondialdehida (MDA) Plasma Darah


Analisis kandungan MDA plasma darah dilakukan dengan menggunakan
metode Thiobarbituric Acid Reactive Subtances (TBARS) menurut Rice-Evans dan
Anthony (1991) dengan sedikit modifikasi. Prosedur analisis yaitu; sebanyak 1,784
ml HCl pekat, 12 g asam trikloroasetat (TCA) dan 0,304 g asam tiobarbiturat (TBA)
dimasukkan dalam tabung untuk membuat larutan campuran lalu ditambahkan 80 ml

19
aquadest. Larutan campuran tersebut diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan dalam
tabung kemudian dicampurkan dengan sampel darah sebanyak 100 μl. Campuran
tersebut dipanaskan pada suhu 80 oC (oven) selama 1 jam, selanjutnya didinginkan
dengan air mengalir dan disentrifuse 2500 rpm selama 10 menit. Supernatan hasil
sentrifuse tersebut kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 532 nm.

2) Analisis Glutathion Peroksidase (GSH-Px) Plasma Darah


Analisis kandungan MDA plasma darah dilakukan menurut Pigeolet et al.
(1990). Pembuatan sampel 100 μl plasma darah ditambah dengan 200 μl buffer
phosfat pH 7,0; kemudian divortex. Larutan disentrifuse pada 3.000 rpm selama 5
menit dalam kondisi dingin. Supernatan digunakan untuk mengukur aktivitas
glutathione peroksidase (GSH-Px). Dua ratus μl buffer phosfat 0,1 M pH 7,0
mengandung 0,1 mM EDTA ditambahkan dengan 200 μl sampel. Dua ratus μl
glutathione tereduksi (GSH) 10 nM dan 200 μl enzim glutathione reduktase 2,4 unit
kemudian diinkubasi selama 10 menit pada suhu 37ºC. Tambahkan 200 μl NADPH
1,5 mM kedalam larutan, diinkubasi lagi pada suhu yang sama selama 3 menit.
Tambahkan 200 μl H2O2 1,5 mM. Absorbansi dibaca pada spektrofotometer diantara
waktu 1-2 menit pada panjang gelombang 340 nM.
Perhitungan aktivitas GSH-Px:

mUnit GSH-Px =

Keterangan:
Δabs = Perubahan absorban
Vt = Volume total dalam ml
Vs = Volume sampel dalam ml
6,22 = Koefisien ekstensik dari NADPH
2 = 2 mol GSH yang setara dengan untuk mengoksidasi 1 mol NADPH
1000 = Perubahan menjadi milliunit

Pengukuran Bobot Bursa Fabricius dan Timus


Pengukuran bobot bursa fabricius dan timus dilakukan pada minggu ke-6.
Ayam yang digunakan sebanyak 1 ekor dari setiap ulangan berdasarkan rataan bobot
badan pada ulangan tersebut (total 30 ekor ayam). Ayam ditimbang untuk

20
mengetahui bobot hidupnya kemudian dipotong. Setelah itu dibedah untuk diambil
bagian bursa fabricius dan timusnya kemudian ditimbang. Persentase bobot bursa
fabricius dan timus diperoleh dengan cara membagi bobot organ dengan bobot hidup
dikali 100%.

Persentase bobot bursa fabricius atau timus (%) = 100%

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Perlakuan
Perlakuan yang digunakan adalah penambahan vitamin E (sebagai faktor 1)
dan penambahan selenium (sebagai faktor 2) yang dicampurkan dalam ransum basal.
Level pemberian vitamin E dan selenium yang digunakan adalah sebagai berikut :
1) Level pemberian vitamin E
E1 = Ransum Basal + Vitamin E 0 ppm
E2 = Ransum Basal + Vitamin E 100 ppm
E3 = Ransum Basal + Vitamin E 200 ppm
2) Level pemberian selenium
S1 = Ransum Basal + Selenium 0 ppm
S2 = Ransum Basal + Selenium 0,15 ppm
S3 = Ransum Basal + Selenium 0,30 ppm

Kombinasi level pemberian vitamin E dan selenium yang digunakan sebagai


perlakuan pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Kombinasi Level Pemberian Vitamin E dan Selenium


Level Vitamin E
Perlakuan
E1 E2 E3
S1 E1S1 E2S1 E3S1
Level Selenium S2 E1S2 E2S2 E3S2
S3 E1S3 E2S3 E3S3

21
Model Statistik
Model statistik yang digunakan adalah sebagai berikut :

Yijk= µ + αi + βj +(αβ)ij + εijkl

Keterangan :
Yijk = Hasil pengamatan perlakuan suplementasi vitamin E dan selenium
terhadap peubah yang diukur
µ = Rataan umum peubah yang diukur
αi = Pengaruh perlakuan suplementasi vitamin E
βj = Pengaruh perlakuan suplementasi selenium
(αβ)ij = Pengaruh interaksi perlakuan suplementasi vitamin E dan Selenium
Εijk = Galat akibat pengaruh suplementasi vitamin E dan Selenium

Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan
Acak Lengkap Faktorial (RAL Faktorial) 3x3 dengan 3 ulangan. Data yang diperoleh
dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA). Apabila terdapat perbedaan
yang nyata akan dilanjutkan dengan uji jarak Duncan (Steel dan Torrie, 1993).

Peubah yang Diukur


Peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah kadar Malondialdehida
(MDA) dan Glutathion Peroksidase (GSH-Px) plasma darah serta persentase bobot
organ limfoid yang terdiri dari bursa fabricius dan timus.

22
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Cekaman Panas Selama Pemeliharaan


Salama 6 minggu pemeliharaan, ayam broiler diberi tambahan sumber
penerangan dan panas berupa lampu bohlam berdaya 60 watt yang dipasang
sepanjang hari (24 jam) pada masing-masing kandang serta pemanas (brooder)
berbahan bakar batu bara sebanyak 10 buah yang dipasang sesuai dengan keadaan
suhu kandang yang mendukung cekaman panas. Hai ini bertujuan untuk
menghasilkan suhu panas yang lebih ekstrim dari pada suhu normal. Cekaman panas
yang didapat selain berasal dari lampu yang menyala selama 24 jam dan pemanas
berbahan bakar batu bara juga dikarenakan tirai penutup kandang berupa plastik
warna hitam yang tetap tertutup walaupun pada siang hari. Rataan suhu dan
kelembaban lingkungan kandang blok C (perlakuan cekaman panas) periode
mingguan selama 6 minggu pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan Suhu dan Kelembaban Relatif Lingkungan Kandang Blok C


(Perlakuan Cekaman Panas) Periode Mingguan Selama 6 Minggu
Pemeliharaan
Periode Minggu Ke- Suhu (oC) Kelembaban (%)
1 30,67 62,34
2 29,67 70,18
Starter 3 30,81 66,82
Rataan 30,38±0,62 66,45±3,93
4 29,57 77,25
5 29,18 84,29
Finisher 6 30,65 74,8
Rataan 29,80±0,76 78,78±4,93

Selama tiga minggu pertama (0-3 minggu), suhu lingkungan pemeliharaan


yang sesuai bagi ayam broiler untuk mempertahankan hidupnya, yaitu sekitar 28-32
o
C dengan tingkat kelembaban sebesar 60%, sedangkan pada minggu berikutnya (4-6
minggu) ayam broiler memerlukan suhu lingkungan yang lebih rendah yaitu berkisar
antara 25-26 oC dengan tingkat kelembaban sebesar 60% agar pertumbuhan dan
produksinya dapat optimum (Charoen Pokphand, 2005).
Hasil pengukuran suhu dan kelembaban lingkungan kandang blok C selama
pemeliharaan (Tabel 5) pada periode starter masing-masing 30,38±0,62 oC dan
66,45±3,93%, sedangkan pada peride finisher masing-masing 29,80±0,76 oC dan
78,78±4,93%. Berdasarkan Tabel 5, perlakuan cekaman panas dirasakan ayam
broiler pada umur tiga minggu keatas karena suhu dan kelembaban lingkungan
kandang yang diperoleh masing-masing berkisar antara 29,18-30,81 oC dan 66,82%-
84,9%. Kisaran suhu dan kelembaban tersebut lebih tinggi dari yang
direkomendasikan oleh Charoen Pokphand (2005) yaitu 25-28 oC dengan tingkat
kelembaban sebesar 60%. Tingginya suhu dan kelembaban lingkungan kandang
diatas thermonetral zone selama pemeliharaan mengindikasikan bahwa adanya
pemberian cekaman panas pada ayam broiler.
Pengaruh cekaman panas terhadap ayam broiler selama pemeliharaan
ditandai dengan perilaku ayam yang tidak banyak bergerak, saling memisahkan diri
dengan melebarkan sayapnya, menempelkan tubuhnya di lantai serta panting
(meningkatkan frekuensi pernapasan). Panting merupakan salah satu respon ayam
broiler yang nyata akibat stress panas dan merupakan mekanisme evaporasi saluran
pernapasan. North dan Bell (1990) menyatakan bahwa ayam broiler mulai panting
pada kondisi lingkungan 29 oC atau ketika suhu tubuh ayam mencapai 42 oC.
Sebagai pembanding (kontrol) dalam penelitian ini digunakan kandang pada
kondisi thermonetral zone (kandang blok A) yang suhunya dipertahankan sesuai
dengan kebutuhan pertumbuhan optimum ayam broiler pada kandang tertutup
(closed house) yang didukung dengan dua buah AC (air conditioner) dan dua buah
exhaust fan. Penggunaan AC dimulai pada awal minggu keempat pemeliharaan
dengan tujuan suhu optimum pertumbuhan ayam broiler dapat dipertahankan.
Perlakuan pada kondisi suhu normal ini digunakan sebagai pembanding terhadap
peubah yang diukur pada kondisi yang mendukung cekaman panas, sehingga
diperoleh taraf suplementasi selenium dan vitamin E yang optimum pada ransum
ayam brolier yang dipelihara pada kondisi cekaman panas.
Rataan suhu dan kelembaban lingkungan di kandang blok A (Tabel 6) selama
periode starter tidak berbeda jauh dengan rataan suhu dan kelembaban di kandang
blok C yaitu masing-masing sebesar 30,34±1,34 oC dan 30,38±0,62 oC dengan
tingkat kelembaban masing-masing 69,70±9,62% dan 66,45±3,93%. Rataan suhu
dan kelembaban lingkungan di kandang blok A selama panggunaan AC (periode
finisher) masing-masing sebesar 25,22±0,05 oC dan 93,05±3,02%. Hasil pengukuran

24
suhu tersebut relatif tetap dan sesuai yang direkondasikan oleh Charoen Pokphand
(2005) yaitu ±25 oC dan didukung juga oleh Kuczynski (2002) bahwa zona suhu
nyaman (thermonetral zone) selama pemeliharaan untuk produktivitas optimal ayam
broiler berkisar antara 19-27 oC. Rataan suhu dan kelembaban relatif lingkungan
kandang blok A (kontrol) periode mingguan selama 6 minggu pemeliharaan dapat
dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan Suhu dan Kelembaban Lingkungan Kandang Blok A (Kontrol)


Periode Mingguan Selama 6 Minggu Pemeliharaan
Periode Minggu Ke- Suhu (oC) Kelembaban (%)
1 31,48 60,43
2 30,67 69,04
Starter
3 28,86 79,64
Rataan 30,34±1,34 69,70±9,62
4 25,22 89,93
5 25,17 95,96
Finisher
6 25,27 93,25
Rataan 25,22±0,05 93,05±3,02

Selama penggunaan AC di kandang blok A menunjukkan terjadinya


peningkatan rataan kelembaban lingkungan (Tabel 6). Sebelum penggunaan AC
rataan kelembaban lingkungan kandang sebesar 69,70±9,62% meningkat menjadi
93,05±3,02% setelah penggunaan AC. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya
jumlah exhaust fan, sehingga sirkulasi udara di dalam kandang kurang lancar.
Meningkatnya kelembaban lingkungan kandang juga disebabkan oleh respirasi ayam
broiler dan pengabutan dalam kandang sebagai upaya menurunkan suhu udara dalam
kandang dan mengikat amoniak yang ada di udara dalam kandang.
Berdasarkan rataan bobot badan akhir ayam broiler selama 6 minggu
pemeliharaan, memperlihatkan bahwa tingginya kelembaban lingkungan kandang
pada suhu lingkungan yang tetap (kandang blok A) tidak mempengaruhi penampilan
ayam broiler. Terbukti bahwa rataan bobot badan akhir ayam broiler di kandang blok
A lebih tinggi dibandingkan rataan bobot badan akhir ayam broiler di kandang blok
C walaupun rataan kelembaban lingkungan kandang blok C lebih rendah dari
kelembaban lingkungan kandang blok A. Hal ini didukung oleh Yahav et al. (1995)
yang menyatakan bahwa meningkatnya kelembaban dalam kandang ayam broiler

25
pada suhu udara yang tetap dapat meningkatkan kondisi lingkungan kandang ayam
broiler kepada kondisi thermonetral zone sehingga ayam broiler semakin merasa
nyaman. Rataan bobot badan akhir ayam broiler selama 6 minggu pemeliharaan
dapat dilihat pada Gambar 7.
2,04
2,05
1,90
1,75 1,76
Bobot Badan (Kg)

1,75 1,67 1,69 1,65 1,69 1,68


1,64 1,64
1,60
1,45
1,30
1,15
1,00
E1S1 E2S1 E3S1 E1S2 E2S2 E3S2 E1S3 E2S3 E3S3 Kontrol
Parlakuan
Gambar 7. Rataan Bobot Badan Akhir Ayam Broiler Selama 6 Minggu Pemeliharaan
Keterangan : E1S1= Ransum Basal; E2S1= Ransum Basal + Vitamin E 100 ppm; E3S1=
Ransum Basal + Vitamin E 200 ppm; E1S2= Ransum Basal + Selenium 0,15 ppm;
E2S2= Ransum Basal + Vitamin E 100 ppm + Selenium 0,15 ppm; E3S2= Ransum
Basal + Vitamin E 200 ppm + Selenium 0,15 ppm; E1S3= Ransum Basal + Selenium
0,30 ppm; E2S3= Ransum Basal + Vitamin E 100 ppm + Selenium 0,30 ppm; E3S3=
Ransum Basal + Vitamin E 200 ppm + Selenium 0,30 ppm; Kontrol= E1S1 pada kondisi
thermonetral zone (rataan suhu lingkungan 25,22±0,05 oC).

Bobot badan akhir ayam broiler selama 6 minggu pemeliharaan pada kondisi
cekaman panas berkisar antara 1,64-1,76 kg lebih rendah dibandingkan rataan bobot
badan pada kondisi thermonetral zone yang mencapai 2,04 kg. Rendahnya bobot
badan akhir pada perlakuan cekaman panas berhubungan dengan konsumsi ransum
dan pertambahan bobot badan yang rendah. Menurut Kusnadi (2006), cekaman panas
pada ayam broiler dapat menurunkan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan
dan efisiensi penggunaan ransum. Menurunnya konsumsi ransum pada suhu
lingkungan tinggi merupakan usaha ayam untuk mengurangi penimbunan panas
dalam tubuh, walaupun harus diikuti dengan berkurangnya pertumbuhan. Suhu
lingkungan tinggi akan menyebabkan terangsangnya pusat haus dan sekresi hormon
kortikosteron, sementara pusat lapar dan sekresi Thyroid Stimulating Hormone
(TSH) yang berperan dalam sekresi hormon tiroid dihambat sehingga
pertumbuhannya terhambat.

26
Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Malondialdehida (MDA)
Plasma Darah
Malondialdehida (MDA) merupakan salah satu produk final dari lipid
peroksida dan parameter yang mudah terdeteksi sebagai indikator tingkat kerusakan
oksidatif sel/jaringan tubuh akibat radikal bebas. Senyawa tersebut dapat
menimbulkan kerusakan pada komponen sel, seperti lipid, protein dan asam
nukleat (Clarkson dan Thomson, 2000). Kandungan MDA plasma darah ayam
broiler yang dipelihara pada kondisi cekaman panas dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Kandungan MDA Plasma Darah (ηg/ml) Ayam Broiler pada Kondisi
Cekaman Panas
Vitamin E (ppm)
Selenium (ppm) Kontrol
0 100 200
0 2,46±0,40b 2,43±0,17b 2,70±0,14b

0,15 3,26±0,27c 2,23±0,33ab 2,15±0,23ab 1,84±0,31


0,30 2,14±0,23ab 1,85±0,50a 1,76±0,23a
Keterangan : Superskrip non-kapital yang berbeda pada kolom dan faktor yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (P<0,05).
Kontrol= E1S1 pada kondisi thermonetral zone (rataan suhu lingkungan 25,22±0,05 oC).

Hasil penelitian menunjukkan terjadinya peningkatan kandungan MDA


plasma darah pada ayam broiler yang diberi cekaman panas dibandingkan pada
perlakuan kontrol (Tabel 7). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sahin et al. (2008)
yang menyatakan bahwa cekaman panas dapat meningkatkan kandungan MDA
plasma darah, hati, otot leher dan otot dada pada burung puyuh.
Rataan kandungan MDA plasma darah pada perlakuan cekaman panas
sebesar 2,33±0,46 ηg/ml, lebih tinggi bila dibandingkan kandungan MDA plasma
darah pada perlakuan kontrol yaitu sebesar 1,84±0,31 ηg/ml. Kandungan MDA
plasma darah pada perlakuan kontrol menunjukkan kandungan MDA dalam batas
normal karena pada kelompok ini ayam broiler tidak diberi perlakuan dan
ditempatkan pada kondisi yang sesuai untuk kebutuhan pertumbuhan optimal.
Terjadinya peningkatan kandungan MDA plasma darah pada perlakuan cekaman
panas ini mengindikasikan bahwa telah terjadinya stres oksidatif pada ayam broiler.
Suplementasi selenium dan vitamin E pada ayam broiler yang diberi cekaman
panas menghasilkan kandungan MDA plasma darah yang berbeda pada masing-

27
masing perlakuan yang berkisar antara 1,76-3,26 ηg/ml (Tabel 7). Tinggi rendahnya
kandungan MDA dipengaruhi oleh kadar peroksidasi lipid, yang secara tidak
langsung menunjukkkan adanya aktivitas radikal bebas akibat dari perlakuan
cekaman panas yang diberikan. Ayam yang diberi suplementasi selenium dan
vitamin E pada taraf maksimum penelitian memiliki kandungan MDA sebesar
1,76±0,23 ηg/ml, lebih rendah 4,35% dibandingkan dengan perlakuan kontrol
(1,84±0,31ηg/ml). Hal ini memperlihatkan bahwa suplementasi selenium dan
vitamin E memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) menurunkan kandungan MDA
darah ayam broiler yang diberi cekaman panas. Berdasarkan uji lanjut Duncan
diketahui bahwa level suplementasi selenium dan vitamin E yang efektif
menurunkan kandungan MDA darah yaitu pada perlakuan E2S3 (kombinasi vitamin
E 100 ppm dengan selenium 0,30 ppm) dan E3S3 (kombinasi vitamin E 200 ppm
dengan selenium 0,30 ppm).
Kandungan MDA plasma darah yang paling rendah terdapat pada kombinasi
suplementasi selenium 0,3 ppm dan vitamin E 200 ppm (E3S3). Hal ini berarti
kombinasi tersebut sangat efektif meredam stres oksidatif akibat cekaman panas.
Suplementasi vitamin E 100 dan 200 ppm, saat dikombinasikan dengan selenium
0,15 dan 0,30 ppm cenderung menurunkan kadar MDA plasma darah. Kombinasi
selenium 0,15 ppm dengan vitamin E 0 ppm menghasilkan kandungan MDA plasma
darah paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa selenium dan vitamin E dalam
mekanisme penurunan radikal bebas di dalam tubuh tidak dapat berdiri sendiri.
Selenium dan vitamin E bekerja secara sinergi untuk melindungi membran seluler.
Selenium dan vitamin E berfungsi sebagai antioksidan yang bereaksi dengan
radikal bebas untuk membentuk produk yang lebih stabil. Peran antioksidan adalah
untuk mengubah bentuk radikal bebas ke dalam ikatan-ikatan yang aman sehingga
menghentikan proses peroksidasi lipid. Vitamin E bekerja mencegah terbentuknya
peroksida bebas sedangkan selenium bekerja mengurangi peroksida yang sudah
terlanjur terbentuk (Fellenberg dan Speisky, 2006). Menurut Noguchi dan Niki
(1999), vitamin E termasuk antioksidan primer yang bekerja sebagai antioksidan
pemutus rantai peroksidasi lipid dengan cara menjadi donor ion hidrogen bagi radikal
bebas menjadi molekul yang lebih stabil yaitu hidroperoksida (H2O2).

28
Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Glutathione Peroksidase
(GSH-Px) Plasma Darah
Metabolisme nutrien dalam tubuh ternak yang mengalami cekaman panas,
menghasilkan radikal bebas yang berpotensi merusak membran sel dan mengurangi
fungsi-fungsi sel. GSH-Px adalah satu enzim antioksidan yang mengurangi pengaruh
negatif dari radikal bebas di dalam sel-sel. Menurut Jenkinson et al. (1982) fungsi
utama enzim GSH-Px yaitu mendetoksifikasi hidrogen peroksida dan mengubah
hidroperoksida lipid menjadi komponen yang tidak beracun. GSH-Px mereduksi
hidroperoksida (H2O2) yang dibentuk oleh vitamin E menjadi H2O dan glutathione
disulfide (GSSG) dengan bantuan glutathione tereduksi (GSH) (Fellenberg dan
Speisky, 2006). Selenium berperan dalam pertahanan antioksidan dan merupakan
bagian penting dari GSH-Px, serta ketersediaan selenium merupakan kunci efektif
sintesis GSH-Px (Surai et al., 2006). Kandungan GSH-Px plasma darah ayam broiler
pada kondisi cekaman panas dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Kandungan GSH-Px Plasma Darah (mU/mg protein) Ayam Broiler pada
Kondisi Cekaman Panas
Selenium Vitamin E (ppm)
Kontrol
(ppm) 0 100 200
0 88,59±4,83CD 91,21±1,13D 86,39±2,60CD
0,15 57,77±1,45AB 108,15±5,09E 62,59±6,94AB 64,31±16,08
0,30 72,88±12,17BC 95,28±6,75D 42,77±29,95A
Keterangan: Superskrip kapital yang berbeda pada kolom dan faktor yang sama menunjukkan
perbedaan yang sangat nyata (P<0,01).
Kontrol= E1S1 pada kondisi thermonetral zone (rataan suhu lingkungan 25,22±0,05 oC).

Hasil penelitian menunjukkan terjadinya peningkatan kandungan GSH-Px


plasma darah pada ayam broiler yang diberi cekaman panas. Hal ini sejalan dengan
Pamok et al. (2009) bahwa aktivitas enzim GSH-Px pada ayam broiler yang diberi
cakaman panas meningkat pada awal periode, kemudian menurun seiring dengan
berlangsungnya cekaman panas. Rataan kandungan GSH-Px plasma darah pada
perlakuan cekaman panas sebesar 78,40±20,85 mU/mg protein, lebih tinggi bila
dibandingkan kandungan GSH-Px plasma darah pada perlakuan kontrol yaitu sebesar
64,31±16,08 mU/mg protein. Peningkatan kandungan GSH-Px plasma darah ini
mengindikasikan bahwa telah terjadinya stres oksidatif pada ayam broiler.

29
Suplementasi selenium dan vitamin E pada ayam broiler yang diberi cekaman
panas menghasilkan kandungan GSH-Px plasma darah yang berbeda pada masing-
masing perlakuan yang berkisar antara 42,77-108,15 mU/mg protein (Tabel 8).
Suplementasi selenium dan vitamin E memberikan pengaruh yang sangat nyata
(p<0,01) menurunkan kandungan GSH-Px plasma darah ayam broiler yang diberi
cekaman panas. Ayam yang diberi suplementasi selenium dan vitamin E pada taraf
maksimum penelitian memiliki kandungan GSH-Px sebesar 42,77±29,95 mU/mg
protein lebih rendah 33,49% dibandingkan dengan perlakuan kontrol (64,31±16,08
mU/mg protein). Berdasarkan uji lanjut Duncan diketahui bahwa level suplementasi
selenium dan vitamin E yang efektif menurunkan kandungan GSH-Px darah yaitu
pada perlakuan E3S3 (kombinasi vitamin E 200 ppm dengan selenium 0,30 ppm).
Kandungan GSH-Px tertinggi terdapat pada perlakuan E2S2 yaitu sebesar
108,15 mU/mg protein. Hal ini menunjukkan bahwa taraf kombinasi selenium dan
vitamin E tersebut kurang efektif dalam menetralisir radikal bebas akibat cekaman
panas. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi taraf
suplementasi selenium (0,3 ppm) mengakibatkan semakin rendahnya kandungan
GSH-Px plasma darah ayam broiler. Hal ini membuktikan bahwa selenium sebagai
komponen enzim GSH-Px bekerja mengurangi peroksida yang sudah terlanjur
terbentuk, sehingga menekan sekresi enzim GSH-Px di dalam tubuh dengan bantuan
vitamin E sebelumnya. Menurut Piliang (2004), vitamin E dapat mencegah
kehilangan selenium dari tubuh atau mempertahankannya dalam bentuk aktif, dengan
mencegah oto-oksidasi lemak membran dari dalam, vitamin E juga mengurangi
jumlah GSH-Px yang dibutuhkan untuk merusak peroksida yang dibentuk dalam sel.

Pengaruh Perlakuan tehadap Bobot Organ Limfoid


Kinerja sistem imun dapat diukur dari bobot relatif organ limfoid. Menurut
Tizard (1988) beberapa organ yang berperan di dalam reaksi tanggap kebal antara
lain bursa fabricius, timus, limpa dan caecal tonsil. Organ limfoid primer pada
unggas terdiri dari bursa fabricius dan timus. Bursa fabricius berperan pada
pematangan limfosit B dan timus berperan pada pematangan limfosit T. Penurunan
bobot relatif organ limfoid bursa fabricius dan timus yang dapat dijadikan sebagai
indikator imunosupresi sebagai akibat dari perlakuan cekaman panas.

30
Sistem imun pada unggas bekerja secara umum seperti sistem imun pada
mamalia. Stimulasi antigenik menginduksi respons imun yang dilakukan sistem
seluler secara bersama-sama diperankan oleh makrofag, limfosit B, dan limfosit T.
Makrofag memproses antigen dan menyerahkannya kepada limfosit. Limfosit B
berperan sebagai mediator imunitas humoral, mengalami transformasi menjadi sel
plasma dan memproduksi antibodi. Limfosit T mengambil peran pada imunitas
seluler dan mengalami diferensiasi fungsi yang berbeda sebagai subpopulasi
(Sharma, 1991).

Bursa Fabricius
Suplementasi selenium dan vitamin E serta interaksi antar keduanya tidak
mempengaruhi bobot bursa fabricius ayam broiler yang diberi cekaman panas (Tabel
9). Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase bobot bursa fabricius pada
perlakuan kontrol lebih tinggi (0,08±0,02%) dibandingkan persentase bobot bursa
fabricius pada perlakuan cekaman panas yang berkisar antara 0,04%-0,06%. Nilai
persentase bobot bursa fabricius pada penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan
hasil penelitian Niu et al. (2009) yang menyatakan bahwa persentase bobot bursa
fabricius ayam broiler umur 42 hari (6 minggu) pada kondisi thermoneutral zone
(23,9 oC) rata-rata 0,17% dari bobot hidup. Persentase bobot bursa fabricius ayam
broiler pada kondisi cekaman panas dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Persentase Bobot Bursa Fabricius Ayam Broiler pada Kondisi Cekaman
Panas
Vitamin E (ppm)
Selenium (ppm) Rata-rata Kontrol
0 100 200
0 0,06±0,02 0,05±0,02 0,06±0,00 0,06±0,00
0,15 0,05±0,01 0,05±0,02 0,05±0,02 0,05±0,00
0,30 0,05±0,00 0,04±0,00 0,04±0,01 0,04±0,00 0,08±0,02

Rata-rata 0,05±0,00 0,05±0,01 0,05±0,001 0,05±0,01


Keterangan : Kontrol= E1S1 pada kondisi thermonetral zone (rataan suhu lingkungan 25,22±0,05 oC).

Penurunan persentase bobot bursa fabricius pada perlakuan cekaman panas


mengindikasikan bahwa telah terjadinya stres oksidatif pada ayam broiler. Keadaan
ini sesuai dengan hasil penelitian Kusnadi (2009), yang menyatakan bahwa

31
meningkatnya suhu lingkungan dapat menyebabkan menurunnya bobot bursa
fabricius.
Bursa fabricius sebagai organ limfoid primer sangat dipengaruhi oleh hormon
kortikosteron. Ternak yang menderita cekaman panas biasanya terjadi peningkatan
kandungan hormon kortikosteron dan kortisol dalam darah. Hormon kortikosteron
dan kortisol diklasifikasikan sebagai glukokortikoid. Pelepasan glukokortikoid
menimbulkan berbagai efek terhadap metabolisme normal tubuh, seperti gangguan
sekresi hormon, pertahanan (imunitas) tubuh, pertumbuhan dan aktivitas reproduksi
(Sugito, 2007). Menurut Guyton (1983), peranan utama kortikosteron dan kortisol
terdapat pada peristiwa glukoneogenesis yaitu perombakan (katabolisme) dari non
karbohidrat sebagai usaha penyediaan glukosa darah, sehingga terjadi penurunan
pertumbuhan. Selain itu menurut Siegel (1995) hormon kortikosteron juga dapat
menekan pertumbuhan organ limfoid (bursa fabricius dan timus). Pengaruh suhu
lingkungan tinggi terhadap aktivitas hormonal tubuh ayam, secara skematis disajikan
pada Gambar 8.

Gambar 8. Pengaruh Suhu Lingkungan Tinggi terhadap Aktivitas Hormonal Ayam


Sumber : Guyton, 1983

32
Menurunnya bobot bursa fabricius pada penelitian ini menunjukkan bahwa
suplementasi selenium dan vitamin E pada ransum ayam broiler yang dipelihara pada
kondisi cekaman panas diduga tidak dapat menurunkan produksi hormon
kortikosteron, sehingga bobot bursa fabricius tetap rendah.

Timus
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplementasi selenium dan vitamin E
tidak mempengaruhi persentase bobot timus pada ayam broiler yang dipelihara pada
kondisi cekaman panas. Sama halnya dengan persentase bobot bursa fabricius,
persentase bobot timus juga cenderung mengalami penurunan selama berada pada
kondisi cekaman panas. Persentase bobot timus pada perlakuan kontrol lebih tinggi
(0,50±0,09%) dibandingkan persentase bobot timus pada perlakuan cekaman panas
yang berkisar antara 0,28%-0,48%. Hasil penelitian Niu et al. (2009) menyatakan
bahwa persentase bobot timus ayam broiler umur 42 hari (6 minggu) rata-rata 0,30%
dari bobot hidup. Persentase bobot timus ayam broiler pada kondisi cekaman panas
disajikan dalam Tabel 10.

Tabel 10. Persentase Bobot Timus Ayam Broiler pada Kondisi Cekaman Panas
Vitamin E (ppm)
Selenium (ppm) Rata-rata Kontrol
0 100 200
0 0,37±0,16 0,39±0,03 0,48±0,13 0,41±0,06

0,15 0,37±0,13 0,32±0,13 0,32±0,02 0,34±0,03


0,50±0,09
0,30 0,29±0,11 0,28±0,08 0,31±0,05 0,29±0,02

Rata-rata 0,34±0,05 0,33±0,06 0,37±0,10


Keterangan : Kontrol= E1S1 pada kondisi thermonetral zone (rataan suhu lingkungan 25,22±0,05 oC).

Terjadinya penurunan bobot timus pada perlakuan cekaman panas


mengindikasikan bahwa ayam broiler pada penelitian mengalami tingkat stres yang
tinggi akibat cekaman panas. Tizard (1988) menyatakan bahwa timus yang
mengalami atrofi cepat merupakan indikator reaksi terhadap stres, sehingga hewan
yang mati sesudah menderita sakit yang lama mungkin mempunyai timus yang
sangat kecil.
Timus berperan pada pematangan limfosit T. Limfosit T adalah sel di dalam
salah satu grup sel darah putih yang memainkan peran utama pada kekebalan selular.

33
Limfosit T mampu membedakan jenis patogen dengan kemampuan berevolusi
sepanjang waktu demi peningkatan kekebalan setiap kali tubuh terpapar patogen. Hal
ini dimungkinkan karena sejumlah sel T teraktivasi menjadi sel T memori dengan
kemampuan untuk berkembang biak dengan cepat untuk mengingat infeksi tertentu
dan sistematika perlawanannya. Oleh karena itu, pengaruh level suplementasi
selenium dan vitamin E belum memberikan pengaruh terhadap persentase bobot
timus ayam broiler yang diberi cekaman panas. Hal ini dapat dimengerti mengingat
cekaman panas tidak secara langsung menyerang organ atau jaringan limfoglanula
(pembentuk kekebalan) atau jaringan pertahanan, tetapi cekaman panas dapat
menimbulkan efek imunosupresi (penekanan/penurunan kekebalan).
Rao et al. (2004) melaporkan bahwa suplementasi selenium sebesar 0,25-0,50
ppm dalam ransum diperlukan untuk imunitas ayam pedaging. Taraf suplementasi ini
bisa menguntungkan selama ayam terjangkit penyakit, stres, keracunan akibat pakan,
dan vaksinasi. Namun pada penelitian ini suplementasi selenium tidak
mempengaruhi imunitas ayam broiler yang dipelihara pada kondisi cekaman panas.
Hal ini diduga karena masih rendahnya taraf suplementasi selenium yang diberikan,
sehingga pemanfaatannya di dalam tubuh juga rendah.

34
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Peningkatan suhu lingkungan menyebabkan naiknya kandungan MDA dan
GSH-Px plasma darah sebagai indikator tingginya stress oksidatif. Peningkatan suhu
lingkungan juga menurunkan persentase bobot bursa fabricius dan timus. Kombinasi
suplementasi vitamin E (100 dan 200 ppm) dengan selenium (0,3 ppm) dapat
mengurangi stres oksidatif akibat radikal bebas pada ayam broiler yang dipelihara
pada kondisi cekaman panas. Namun kondisi stres tetap terjadi yang ditunjukkan
dengan menurunnya persentase bobot bursa fabricius dan timus.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai retensi selenium dan
vitamin E di dalam tubuh ayam broiler dan penambahan peubah yang diukur untuk
memberikan hasil yang lebih akurat (pengukuran hormon kortikosteron).
UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillaahirabbil’aalamiin. Sujud syukur, segala puji bagi Allah, Tuhan


Semesta Alam yang memberikan segala limpahan berkah, izin, nikmat, dan karunia-
Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada Dr. Ir. Muhammad Ridla, M.Agr sebagai dosen pembimbing utama
sekaligus dosen pembimbing akademik dan Ir. Widya Hermana, M.Si sebagai dosen
pembimbing anggota atas segala kesabarannya dalam memberikan bimbingan,
nasihat dan sarannya selama penelitian hingga penulisan skripsi. Penulis juga
mengucapkan terima kasih atas saran yang telah diberikan kepada Dr. Ir. Rita Mutia,
M.Agr sebagai dosen pembahas seminar sekaligus penguji sidang, dan kepada
Ahmad Yani, S.TP, M.Si sebagai dosen penguji sidang serta kepada Sumitomo
Chemical Co., Ltd yang telah mendanai penelitian ini.
Sembah bakti dan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya dan tak terkira,
penulis haturkan kepada Ayahanda Supriatna dan Ibunda Rachmawati yang telah
berjuang dengan tenaga dan pikiran, memberikan doa, motivasi moril dan material,
nasihat, kesabaran dan rasa kasih sayang yang tiada hentinya. Terima kasih penulis
ucapkan juga untuk saudara penulis yang tercinta Deny Agustian, Cepy Apriyanto,
dan Gustiana yang menjadi penyemangat bagi penulis untuk menjadi yang terbaik,
serta keluarga besar dan teman-teman di Subang yang telah memberi doa, dukungan,
motivasi dan nasihat kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
Ibu Lanjar, Mas Mul, Pak Ugan, yang telah membantu selama penelitian di
Laboratorium Lapang Blok A dan C serta Pak Wardi dan Pak Atip saat pembuatan
pakan di Laboratorium Industri Pakan. Teman-teman satu tim penelitian Sukma,
Mumu, Dewi, Yasir dan Sani serta teman-teman INTP 43 Firman, Eka, Bian, Shally,
Taryati, Ina, Loris, Heru dan semuanya yang tidak dapat disebutkan satu persatu,
penulis ucapkan terima kasih atas bantuan dan dukungannya. Terima kasih atas
persahabatan selama di INTP. Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih
kepada teman-teman kosan Saung Kuring : Dian, Jihad, Iwan, Agus, Wendi yang
selalu menemani dikala suka dan duka. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk
peternakan di masa depan.
Bogor, Maret 2011

Penulis
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Sidik Ragam Kandungan MDA Plasma Darah
Sumber Jumlah Kuadrat
db F hit F 0,05 F 0,01
Keragaman Kuadrat Tengah
Vitamin E (A) 2 1,141 0,57 6,389** 3,55 6,01
Selenium (B) 2 2,309 1,154 12,93** 3,55 6,01
A*B 4 1,520 0,38 4,257* 2,93 4,58
Error 18 1,607 0,089
Total 26 6.577
Keterangan : * = berbeda nyata (P<0,05)
** = sangat berbeda nyata (P<0,01)

Lampiran 2. Uji Lanjut Duncan Kandungan MDA Plasma Darah


Subset
Perlakuan N
A b c
E3S3 3 1.7623
E2S3 3 1.8497
E1S3 3 2.1430 2.1430
E3S2 3 2.1493 2.1493
E2S2 3 2.2290 2.2290
E2S1 3 2.4320
E1S1 3 2.4643
E3S1 3 2.6983
E1S2 3 3.2583

Lampiran 3. Hasil Sidik Ragam Kandungan GSH-Px Plasma Darah


Sumber Jumlah Kuadrat
db F hit F 0,05 F 0,01
Keragaman Kuadrat Tengah
Vitamin E (A) 2 30630000 15320000 32,391** 3,55 6,01
Selenium (B) 2 5844250,129 2922125,064 6,180** 3,55 6,01
A*B 4 15380000 3844248,222 8,131** 2,93 4,58
Error 18 8510702,521 472816,807
Total 26 60364952,65
Keterangan : ** = sangat berbeda nyata (P<0,01)

41
Lampiran 4. Uji Lanjut Duncan Kandungan GSH-Px Plasma Darah
Subset
Perlakuan N
A B C D E
E3S3 3 42,7653
E1S2 3 57,7706 57,7706
E3S2 3 62,5938 62,5938
E1S3 3 72,8832 72,8832
E3S1 3 86,3880 86,3880
E1S1 3 88,5949 88,5949
E2S1 3 91,2111
E2S3 3 95,2840
E2S2 3 108,1458

Lampiran 5. Hasil Sidik Ragam Persentase Bobot Bursa Fabricius


Sumber Jumlah Kuadrat
db F hit F 0,05 F 0,01
Keragaman Kuadrat Tengah
Vitamin E (A) 2 0,000 0,000 0,811tn 3,55 6,01
Selenium (B) 2 0,001 0,001 3,302tn 3,55 6,01
tn
A*B 4 0,000 0,000 0,189 2,93 4,58
Error 18 0,004 0,000
Total 26 0,005
Keterangan : tn = tidak berbeda nyata

Lampiran 6. Hasil Sidik Ragam Persentase Bobot Timus


Sumber Jumlah Kuadrat
db F hit F 0,05 F 0,01
Keragaman Kuadrat Tengah
Vitamin E (A) 2 0,008 0,004 0,389tn 3,55 6,01
Selenium (B) 2 0,064 0,032 2,953tn 3,55 6,01
A*B 4 0,018 0,005 0,422tn 2,93 4,58
Error 18 0,194 0,011
Total 26 0,284
Keterangan : tn = tidak berbeda nyata

42

Anda mungkin juga menyukai