Anda di halaman 1dari 50

UNIVERSITAS INDONESIA

EVALUASI FUNGSI KONTINENSIA PASCA


POSTERIOR SAGITTAL ANORECTOPLASTY
(PSARP)

TESIS

dr. Rico Darmayanto Simorangkir


0706310955

Program
Progr am Pendidikan Dokter Spesialis 1
Departemen Bedah FKUI-RSCM
Jakarta, April 2014

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


UNIVERSITAS INDONESIA

EVALUASI FUNGSI KONTINENSIA PASCA


POSTERIOR SAGITTAL ANORECTOPLASTY
(PSARP)

TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar spesialis bedah

dr. Rico Darmayanto Simorangkir


0706310955

Pembimbing :
dr. Sastiono, SpB, SpBA
dr. Aria Kekalih, MTI

Program
Progr am Pendidikan Dokter Spesialis 1
Departemen Bedah FKUI-RSCM
Jakarta, April 2014

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014
Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar spesialis
bedah Jurusan Ilmu bedah pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya
menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, mulai masa
studi hingga pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk dapat
menyelesaikan skripsi ini.Oleh karena itu, saya mengucapkan terimakasih kepada:
(1) dr. Sastiono, SpB, SpBA selaku pembimbing yang telah menyediakan waktu,
tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan tesis ini;
(2) dr. Aria Kekalih, MTI, selaku dosen pembimbing statistik yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
menyusun tesis ini;
(3) DR. dr. Toar J.M. Lalisang, SpB (K) BD selaku Kepala Departemen Ilmu
Bedah;
(4) dr. Riana P.Tamba,SpB, SpBA, selaku Ketua Program Studi Ilmu Bedah, para
staff pengajar di lingkungan FKUI-RSCM dan rumah sakit jejaring;
(5) Dr. dr. Yefta Moenadjat, SpBP (K), selaku Koordinator Penelitian
Departemen Ilmu Bedah;
(6) Pihak-pihak di RSCM yang telah banyak membantu dalam usaha memperoleh
data yang saya perlukan;
(7) Para pasien yang mau memberikan kesempatan belajar, kalianlah guru-guru
saya yang sesungguhnya;
(8) Orang tua, mertua, istriku Rima dan anak-anakku Ariel, Azel dan Aleeandra
yang selalu mendoakan memberikan bantuan dukungan material dan moral
dalam keadaan apapun;
(9) Teman-teman seperjuanganku dr. Aseane Femelia, dr. Marethania Maheranny,
dr, Syarif Mustika, semua teman residen bedah periode Januari 2008, para
iv Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


sahabat-sahabat berikut, dr. Febiansyah, dr. Bonauli, dr. Okian, dr. Kshetra,
dr. Dorothy, dr. Danny yang menjadi tempat berbagi suka dan duka bersama;
(10) Para konsulen yang sering menjadi teman diskusi dan selalu memberi motivasi
dr. Wifanto, SpB (K) BD, dr. A. Yani, SpB, SpBA, dr. Iskandar, SpB, SpBA,
dr. Wuryantoro, SpB, SpBTKV, para senior yang sering saya repotkan baik
untuk bertanya ataupun dimintakan bantuannya dr. Adianto, SpB (K) BD dan
dr. Gunawan, SpB serta para junior dr. Eko Ristiyanto, dr. Dogma, dr. Okta,
dr. Liberty, dr. Wulan, dr. Fransisca, dr. Vania yang banyak menyediakan
waktu, dukungan, masukan maupun kritikan;
(11) Tidak lupa saya ucapkan terimakasih pada dr. Sumanto, dr. Ganesha, dr. Novi
Kurnia, dr. Aris serta pihak staff penelitian ilmu bedah mbak Dina, sekretaris
divisi Bedah Anak bu Narti, dan sekretaris Kepala Departemen Ilmu Bedah
mbak Ratih Jitowijaya yang telah banyak membantu saya dalam
menyelesaikan tesis ini. Dan banyak nama-nama lain yang saya tidak sebutkan
satu-satu.
Akhir kata, saya berharapTuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat
bagi para pasien dan pengembangan ilmu bedah, khususnya ilmu bedah anak.

Jakarta, 30 April 2014

Penulis

v Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014
ABSTRAK

Nama : dr. Rico Darmayanto Simorangkir


Program Studi : IlmuBedah
Judul : EVALUASI FUNGSI KONTINENSIA PASCA POSTERIOR
SAGITTAL ANORECTOPLASTY (PSARP)

EVALUASI FUNGSI KONTINENSIA PASCA


POSTERIOR SAGITTAL ANORECTOPLASTY
(PSARP)

Abstrak

Latar Belakang : Sejak diperkenalkan oleh Pena dan deVries, posterior sagittal anorectoplasty
(PSARP) telah menjadi operasi standar pada tatalaksanan malformasi anorektal. Masalah kontinensia
merupakan salah satu faktor yang memengaruhi kualitas hidup pasien-pasien malformasi anorektal.
Saat ini tidak ditemukan kepustakaan Indonesia yang melakukan studi evaluasi fungsi kontinensia
pasca tindakan PSARP dan kaitannya dengan usia saat operasi.
Metode: Dilakukan penelitian cross sectional pada 40 pasien pasca PSARP di RSCM pada periode 1
Januari 2006 – 31 Desember 2012. Evaluasi fungsi kontinensia pasca PSARP menggunakan skoring
Rintala dan uji statistik menggunakan SPSS 20.
Hasil: Dari 40 pasien, 28 (70%) pasien perempuan dengan 26 pasien dengan fistel (17 rektovestibuler,
6 perineal, 2 rektovagina dan 1 kloaka. Pada pasien laki-laki 9 dengan fistel (7 rektouretra dan 2
perineal). Pada evaluasi kontinensia dengan skor Rintala didapatkan 47,5% pasien dengan kontinensia
normal, dimana 73,7% diantaranya adalah pasien atresia ani letak rendah. Rata-rata Functional
Outcome Score (FOS) adalah 16,17.
Kesimpulan: Pasien PSARP di RSCM memiliki kemungkinan untuk mendapat fungsi kontinensia
yang lebih baik. Tidak ada hubungan yang bermakna antara usia saat operasi dengan hasil kontinensia
pasien.

Keyword : PSARP, skoring Rintala, kontinensia.

vii Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


EVALUATION OF CONTINENCE FUNCTION AFTER
POSTERIOR SAGITTAL ANORECTOPLASTY
(PSARP)
Abstract

Background: Since introduced by Pena and deVries, posterior sagittal anorectoplasty (PSARP) has
became standard operation for management of anorektal malformation. Continens problem is the one
of factors that impact the quality of life who had anorektal malformations. Until now, there is no
discovered about references in Indonesia which is doing evaluation study about continence function
after PSRAP operation and the correlation between age at procedure and continence result.
Method: The study used cross sectional study in 40 patients who had post PSRAP operation in RSCM
from 1 January 2006 – 31 Desember 2012. Performing evaluation of continence function of after
PSRAP Operation was using the Rintala score and the statistic test was using SPSS 20.
Result: from 40 patients, there were 28 (70%) female patients with 26 patients had fistula (17
rectovestibular, 6 perineal, 2 rectovagina and 1 cloaca). In 9 male patients had fistula (7 rectouretra, 2
perineal). Based on evaluation of continens with using the Rintala score, there is 45,% patients with
normal continens, which is 73,7% is the patient who had atresia ani low location. The average of
Functional Outcome Score (FOS) is 16.17.
Conclusion: Patients who had PSRAP Operation in RSCM has probability to get better continence
function. There is no significant correlation between age at operation and continence.
Keyword: PSRAP, Rintala score, continence

viii Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... iii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ......................... vi
ABSTRAK ........................................................................................................ vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR......................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii
1. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 2
1.3 Pertanyaan Penelitian ........................................................................ 2
1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................. 2
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................ 3
1.5.1 Bagi Pasien dan Pelayanan ................................................... 3
1.5.2 Bagi Bidang Keilmuan ......................................................... 3
1.5.3 Bagi Pengembangan Penelitian ............................................ 3
2. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 4
2.1 Sejarah............................................................................................... 4
2.2 Insiden .............................................................................................. 4
2.3 Klasifikasi ........................................................................................ 5
2.4 Anatomi dan Patofisiologi Kontinensia ............................................ 6
2.4.1 Mekanisme Sfingter ............................................................ 6
2.4.2 Sensasi dan Propriosepsi .................................................... 8
2.4.3 Motilitas Kolon dan Rektosigmoid ................................... 8
2.5 Mekanisme Terjadinya Kontinensia dan Defekasi ........................... 9
2.6 Patofisiologi Inkontinensia ............................................................... 10
2.7 Rekosntruksi Anorektal .................................................................... 10
2.8 Penilaian Fungsi Pasca Rekonstruksi ................................................ 12
2.9 Rekosntruksi Anorektal .................................................................... 12
3. Kerangka Konsep ........................................................................................ 16
3.1 Kerangka Teori ................................................................................. 16
3.2 Kerangka Konsep .............................................................................. 16
3.3 Definisi Operasional ......................................................................... 17
3.4 Hipotesis ........................................................................................... 18

ix Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


4. Metodologi .................................................................................................. 19
4.1 Jenis Penelitian .................................................................................. 19
4.2 Populasi dan Sampel ......................................................................... 19
4.2.1 Populasi .............................................................................. 19
4.2.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Sampel ................................. 19
4.2.3 Cara Pengambilan Sampel .................................................. 20
4.2.4 Besar Sampel ...................................................................... 20
4.3 Metode Pengumpulan Data ............................................................... 20
4.3.1 Instrumen ............................................................................ 20
4.3.2 Sumber Data ....................................................................... 21
4.3.3 Cara Pengumpulan Data ..................................................... 21
4.4 Rencana Analisis Data ...................................................................... 22
4.5 Alur Penelitian .................................................................................. 23
5. Hasil ............................................................................................................. 24
6. Diskusi ......................................................................................................... 27
7. Penutup ........................................................................................................ 28
7.1 Simpulan ............................................................................................. 28
7.2 Saran ................................................................................................... 28
8. Daftar Pustaka ............................................................................................. 30

x Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Diagram dari otot-otot ekstrinsik kanalis anal ........................... 7


Gambar 2.2. Mekanisme kerja sfingter ........................................................... 9
Gambar 3.1. Kerangka Konsep ....................................................................... 16
Gambar 4.1 Alur Penelitian ........................................................................... 23
Gambar 5.1. Scatter plot hubungan usia saat operasi dengan skor Rintala sebelum
usia 24 bulan .............................................................................. 25

xi Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Malformasi Anorektal Menurut Wingspread............... 5


Tabel 2.2 Klasifikasi Pena ............................................................................. 5
Tabel 2.3 Malformasi Anorektal Klasifikasi Diagnostik Krickenbeck .......... 6
Tabel 2.4 Metode Kelly untuk Menilai Kontinensia Fekal ............................ 12
Tabel 2.5 Sistem Skoring Rintala .................................................................. 14
Tabel 2.6 Klasifikasi Krickenbeck untuk Hasil Fungsional Pasca Operasi ... 15
Tabel 4.1 Kriteria inklusi dan eksklusi .......................................................... 19
Tabel 4.2 Parameter Pengukuran Variabel Terikat ........................................ 21
Tabel 4.3 Parameter Pengukuran Variabel Independen ................................. 23
Tabel 5.1 Gambaran Umum Responden yang Masuk dalam Penelitian ........ 24
Tabel 5.2 Analisa Korelasi Usia saat Prosedur PSARP dengan Skor Rintala 25

xii Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Malformasi anorektal merupakan anomali kongenital yang cukup sering


ditemukan, dengan insiden 1:3.500 sampai 1:5.000 kelahiran hidup.1-5Anomali lain
seperti kelainan urogenital sering ikut serta dalam malformasi anorectal. Defek yang
ditimbulkan mulai dari bentuk minor dengan prognosis baik hingga defek kompleks
dengan prognosis buruk1,2,5,6.
Sejak diperkenalkan tahun 1982 oleh Pena dan deVries, tatalaksana
malformasi anorektal secara universal menggunakan posterior sagittal
anorectoplasty (PSARP) sebagai operasi standar1,5,7,8. PSARP memudahkan paparan
kompleks otot-otot sfingter ani lebih baik melalui insisi di bagian posterior dari garis
tengah, sehingga rektum yang baru dapat diletakkan di tempat yang tepat5,6,9. Pasca
diperkenalkannya PSARP, hasil operasi secara anatomis dan fungsional lebih baik
dibandingkan teknik sebelumnya, namun pengendalian defekasi secara normal masih
tidak dapat dilakukan oleh banyak pasien8.
Masalah tersering dan merupakan konsekuensi dari anak yang lahir dengan
malformasi anorektal adalah masalah kontinensia10. Evaluasi hasil secara fungsional
pasca perbaikan malformasi anorektal masih banyak terkendala karena kerancuan
klasifikasi dan metode penilaian kontinensiasecara universal1. Goyal, dkk (2006)
melakukan penelitian fungsional pasca operasi malformasi anorektal dengan
menggunakan sistem skoring Rintala1. Pada penelitian tersebut functional outcome
score (FOS) rata-rata adalah 13,7 pada pasien laki laki dan 14 pada pasien
perempuan. FOS memburuk secara progresif seiring dengan beratnya malformasi
anorektal1.

1 Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


2

Masalah inkontinensia cenderung lebih buruk pada pasien dengan malformasi


anorektal letak tinggi. Namun hal ini tidak berlaku untuk masalah konstipasi yang
menjadi masalah pada seluruh jenis malformasi anorektal10.
Hingga saat ini penulis tidak menemukan data tentang evaluasi fungsi
kontinensia yang dilakukan di Indonesia. Dengan perkiraan tindakan PSARP
pertahun di RSCM sekitar 20-30 pasien, maka rasanya perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui fungsi kontinensia pasca tindakan PSARP. Penulis juga ingin
mengetahui apakah usia saat prosedur PSARP memengaruhi hasil kontinensia.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Masalah kontinensia merupakan salah satu faktor yang memengaruhi kualitas


hidup pasien-pasien malformasi anorektal. Namun hingga saat ini tidak ditemukan
kepustakaan Indonesia yang melakukan studi evaluasi fungsi kontinensia pasca
tindakan PSARP. Juga belum ada yang mengaitkan data usia saat operasi dengan
fungsi kontinensia pasca PSARP.

1.3. PERTANYAAN PENELITIAN


• Bagaimana sebaran fungsi kontinensia pasien pasca PSARP di RSCM ?
• Apakah ada hubungan usia saat operasi dengan fungsi kontinensia pasca
PSARP?

1.4. TUJUAN PENELITIAN


• Diketahuinya sebaran fungsi kontinensia pasien pasca PSARP di RSCM.
• Diketahuinya hubungan usia saat operasi dengan fungsi kontinensia pasca
PSARP.

Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


3

1.5. MANFAAT PENELITIAN


1.5.1. Bagi Pasien dan Pelayanan
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai pelayanan PSARP
dan dapat menjadi masukan untuk peningkatan pelayanan bedah bagi pasien pasca
PSARP Divisi Bedah Anak RSCM.

1.5.2.Bagi Bidang Keilmuan


Untuk bidang Ilmu Bedah, dari penelitian ini dapat diketahui sebaran fungsi
kontinensia pasien pasca PSARP di RSCM dan hubungan usia saat operasi dengan
fungsi kontinensia pasca PSARP.

1.5.3. Bagi Pengembangan Penelitian


Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber literatur bagi penelitian-
penelitian berikutnya.

Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. SEJARAH

Upaya untuk menangani malformasi anorektal sudah lama dilakukan.


Kolostomi inguinal pertama kali dilaporkan pada tahun 1783, kemudian pada tahun
1835 berhasil dilakukan prosedur anoplasti yang pertama. Pada pertengahan tahun
1900an, berkembang prosedur abdominoperineal satu tahap dengan reseksi
rektosigmoid.4,5,11Sejak diperkenalkan Pena dan deVries pada tahun 1982,
tatalaksana malformasi anorektal menggunakan posterior sagittal anorectoplasty
(PSARP) telah menjadi standar.1,5,7,8,12 PSARP mengekspos kompleks otot-otot
sfingter ani dengan lebih baik melalui insisi posterior di garis tengah, sehingga
rektum baru dapat diposisikan di tempat yang tepat dengan bantuan stimulator
otot.3,5,6,9,12Hasil operasi secara anatomi dan fungsional lebih baik daripada teknik
sebelumnya, namun kendali defekasi normal masih belum dapat dicapai oleh banyak
pasien.8

2.2. INSIDEN

Malformasi anorektal merupakan anomali kongenital yang cukup sering


ditemukan, dengan insiden 1:3.500-5.000 kelahiran hidup.1-5Faktor predisposi
termasuk faktor genetik (dengan atresia ani sebagai bagian dari suatu
sindrom).Atresia ani lebih banyak ditemukan pada pasien laki-laki, dengan temuan
tersering fistel rektouretra. Sedangkan pada pasien wanita yang tersering adalah fistel
rektovestibuler.4,11

4 Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


5

2.3. KLASIFIKASI

Klasifikasi yang umum dipakai adalah Wingspread (1984) International


Classification for Anorectal Malformation dan klasifikasi menurut
7
Krickenbeck. Klasifikasi menurut Wingspread (1984) membagi kelainan letak
“tinggi”, “intermediate”, dan “rendah” berdasarkan letak ujung rektum dengan
levator ani dengan memisahkan kategori laki-laki dan perempuan (tabel 2.1).2,3

Tabel 2.1. Klasifikasi malformasi anorektal menurut Wingspread (1984)


Letak Malforasi
Letak Tinggi Letak Rendah Kloaka
Intermediate Jarang
Perempuan Agenesisanorectal • Fistel • Fistel Kloaka Malformasi
a. Fistel rektovestibuler anovestibuler jarang
rektovagina • Fistel • Fistel
b. Tanpa fistel rektovagina anokutan
Atresia rekti • Agenesis anus • Stenosis ani
tanpa fistel
Laki laki Agenesis anorectal • Fistel uretra• Fistel Malformasi
a. Fistel uretra rektobulbar anokutan jarang
rektoprostat • Agensis anus • Stenosis ani
b. Tanpa fistel tanpa fistel
Atresia rekti
Di ambil dari Hassett S, et al. 10-Year outcome of children born with anorectal malformation, treated
by posterior sagittal anorectoplasty,assessed according to the Krickenbeck classification. Journal of
Pediatric Surgery 2009;44:399 - 403.2

Dengan pengalaman dari PSARP, Pena (1995) membuat klasifikasi berdasarkan


posisi dan ada tidaknya fistel (tabel 2.2).2,6
Tabel 2.2. Klasifikasi Pena
Laki laki Perempuan
Fistel perineal Fistel perineal
Fistel rektouretra Fistel vestibular
a. Bulbar
b. Prostatik
Fistel rektovesika Kloaka persisten
common channel <3 cm
cm common channel >3
Tanpa fistel Tanpa fistel
Atresia rekti Atresia rekti
Diambil dari kepustakaan nomor Levitt MA, Peña A. Anorectal malformations. Orphanet Journal of
6
Rare Diseases 2007;2:1 - 13.

Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


6

Karena banyak variasi dalam penilaian hasil fungsional dari tatalaksana


malformasi anorektal, sebuah International Workshop mengeluarkan klasifikasi
Krickenbeck yang terdiri atas kategori diagnostik, prosedur dan hasil (tabel 2.3).2

Tabel 2.3. Malformasi anorectal klasifikasi diagnostik Krickenbeck


Major clinical group Rare regional variants
Fistel perineal Pouch kolon
Fistel rektouretra Atresia/stenosis rekti
a. Bulbar Fistel rektovaginal
b. Prostatik H fistula
Fistel rektovesika Lain-lain
Fistel vestibuler
Kloaka
Tanpa fistel
Stenosis ani
Diambil dari kepustakaan nomor Hassett S, et al. 10-Year outcome of children born with anorectal
malformation, treated by posterior sagittal anorectoplasty,assessed according to the Krickenbeck
classification. Journal of Pediatric Surgery 2009;44:399 - 403.2

2.4. ANATOMI DAN PATOFISIOLOGI KONTINENSIA


2.4.1. MEKANISME SFINGTER

Kontinensia diperankan oleh struktur-struktur otot pada dasar panggul, yang


terdiri dari dua komponen yakni otot levator ani dan otot koksigeus (Gambar 2.1).
Otot-otot yang termasuk sebagai kelompok levator ani terdiri atas otot puborektalis,
pubokoksigeus dan ileokoksigeus.Selain kedua komponen otot tersebut, terdapat
juga kanalis anal yang dikelilingi oleh otot sfingter interna dan eksterna. Sfingter ani
interna merupakan suatu penebalan dari lapisan otot polos yang secara sirkuler
mengelilingi kolon yang dipisahkan oleh septa-septa yang besar.13

Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


7

Gambar 2.1. Diagram dari otot-otot ekstrinsik kanalis anal


1, Coccyx. 2, Pubis. 3, Levator ani muscle. 4, Puborektalis muscle. 5, Deep external sfingter. 6,
Superficial external sfingter. 7, Subcutaneousexternal sfingter. 8, Anococcygeal ligament. 9, Anal
verge. 10, Rektum.
Diambil dari Skandalakis JE, Colborn GL, Weidman TA, et al. Large Intestine and Anorektum In:
Skandalakis JE, ed. Skandalakis' Surgical Anatomy2004.14

Sfingter ani eksterna tersusun atas 3 loop yang terdiri loop atas, intermediate
dan dasar. Tiap loop memiliki tempat perlekatannya sendiri dan arah serabut dan
persarafan sendiri.14Seluruh kelompok otot yang bekerja dalam mekanisme sfingter
dipersarafi oleh nervus pudendus yang berasal dari pleksus sakralis S2-S4, baik
secara motorik pada otot lurik maupun sensorik pada kulit disekitar anus maupun
kanalis anal dan secara otonom melalui nervus erigentes.5
Pada pendekatan posterosagital, otot-otot levator tampak sebagai serat otot
lurik yang tersusun vertikal sampai anal dimple. Stimulasi listrik pada muscle
complex mengangkat anus dan stimulasi pada serat yang mengarah parasagital akan
menutup anus. Anak dengan malformasi anorektal mengalami variasi pertumbuhan
otot lurik tersebut, mulai dari yang pertumbuhannya normal hingga yang hampir
tidak berkembang sama sekali.5
Umumnya pasien dengan malformasi letak rendah masih memiliki refleks
relaksasi rektoanal, sedang pada pasien dengan malformasi letak tinggi jarang.
Insiden konstipasi pasca prosedur PSARP dilaporkan 10-73%, dan tampak lebih
sering timbul ketika teknik preservasi sfingter interna digunakan.7

Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


8

2.4.2. SENSASI DAN PROPRIOSEPSI

Jalur perjalanan serabut parasimpatis pada kolon memiliki komponen


excitatory dan inhibitory. Jalur excitatory memainkan peran penting dalam aktifitas
propulsi kolon, terutama saat defekasi. Jalur inhibitory memungkinkan adaptasi
kolon terhadap isi, dan memediasi relaksasi kolon di proksimal dari bolus
fekal.13Kanalis anal berespon terhadap distensi dan stimulasi gaya regang proksimal-
distal dari mukosa karena terdapat banyak ujung saraf sehingga area ini sensitif
terhadap sentuhan ringan, nyeri, perubahan suhu.13Respon kontraktilitas rektum
membutuhkan kemampuan untuk menilai atau merasakan adanya feses dalam rektum
atau kanalis anal. Sfingter ani juga dapat mengalami relaksasi secara independen
terhadap distensi rektal, yang memungkinkan epitel pada anus menilai apakah isi
dari rektum gas, cair ataupun kotoran padat.13Mekanisme diatas menggarisbawahi
bahwa defekasi merupakan suatu proses terintegrasi dari propriosepsi.5

2.4.3. MOTILITAS KOLON DAN REKTOSIGMOID

Relaksasi anus yang diawali oleh distensi rektaldimediasi oleh saraf intrinsik.
Refleks ini tidak ditemukan pada pasien dengan penyakit Hirschprung’s. Saraf
ekstrinsik tidak berperan pada refleks ini, namun persarafan ekstrinsik dapat
memodulasi refleks ini.13(Gambar 2.2.)

Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


9

A B C D

Gambar 2.2. Mekanisme kerja sfingter.


A.Saat istirahat, B. Saat defekasi, C. Saat sfingter ani eksterna di kontraksikan menyebabkan
kegagalan kontraksi otot detrusor,D. Refleks relaksasi detrusor setelah voluntary inhibitor reflex
Diambil dari Skandalakis JE, Colborn GL, Weidman TA, et al. Large Intestine and Anorektum In:
Skandalakis JE, ed. Skandalakis' Surgical Anatomy2004.14

Anak dengan malformasi anorektal memiliki berbagai spektrum gangguan


motilitas rektosigmoid. Pasien malformasi anorektal yang menjalani operasi dimana
rektosigmoid dipertahankan, umumnya mengalami konstipasi. Hal ini mungkin
karena hipomotilitas area rektosigmoid pada pasien malformasi anorektal, oleh
karena itu konstipasi lebih sering timbul pada pasien atresia ani letak rendah, sedang
pada anak atresia ani yang kehilangan rektosigmoid akan mengalami hal yang
sebaliknya.5

2.5. MEKANISME TERJADINYA KONTINENSIA DAN DEFEKASI

Mekanisme untuk kontinensia tergantung dari faktor anatomi (pelvic barrier,


rectal curvature, transverse rektal folds), sensasi rekto-anal, dan rektal compliance.
Kontinensia merupakan fungsi gabungan dari sfingter ani eksterna dan interna.
Sfingter ani eksterna bertanggung jawab dalam kontinensia secara volunter, dan
sfingterani interna secara involunter. Saat terjadi relaksasi sfingter akibat distensi
rektum, isi dari rektum akan terpapar di epitel anus yang memiliki reseptor untuk
menilai apakan isi dari rektum gas, cair ataupun kotoran padat. Saat itu akan
Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


10

diputuskan apakah akan mengeluarkan atau menahan isi rektum. Jika dirasa proses
defekasi kurang nyaman, maka proses tersebut dapat ditunda, respon kontraktilitas
rektum terhadap distensi kemudian menghilang saat rektum mengalami akomodasi.
Mekanisme diatas menggarisbawahi bahwa defekasi merupakan suatu proses
terintegrasi dari refleks somato-viseral.13

2.6. PATOFISIOLOGI INKONTINENSIA

Kemampuan mengendalikan defekasi dipengaruhi mekanisme sfingter yang


baik, kemapuan untuk menampung dan menahan massa feses, volume dan
konsistensi fekal, motilitas kolon, integritas struktur dasar panggul, kesadaran
kortikal, fungsi kognitif, mobilitas dan kemampuan mencapai tempat defekasi.
Defekasi yang normal merupakan suatu proses integrasi respon somato-visceral,
yang melibatkan fungsi koordinasi dari kolo-rekto-anal. Inkontinensia timbul
manakala satu atau lebih dari mekanisme tersebut terganggu dan tidak dapat
dikompensasi tubuh.Aspek-aspek lain yang juga berperan adalah konsistensi dan
volume fekal, waktu transit kolon, komplians dan sensasi rektal, sensasi anorektal
dan refleks anorektal. Pada pasien malformasi anorektal, hal-hal tersebut
terganggu4.Secara umum faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi disfungsi supra
sfingter dan disfungsi sfingter.15

2.7. REKONSTRUKSI ANOREKTAL

Pada pemeriksaan awal pasien dengan malformasi anorektal, inspeksi


lengkap pada perineum harus dilakukan untuk mencari adanya fistel dan memastikan
jenis malformasi. Keputusan untuk melakukan kolostomi sebaiknya ditunda setelah
24 jam, karena dibutuhkan tekanan intraluminal yang cukup untuk memaksa
mekonium keluar melalui fistula dan memberi informasi letak fistula. 4

Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


11

Pemeriksaan radiologi baru dilakukan setelah anak berusia 24 jam. Selama


masa observasi tersebut, hal-hal yang dapat membahayakan pasien harus diatasi
terlebih dahulu. Juga dilakukan pemeriksaan untuk melihat ada tidaknya kelainan
kongenital lain dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi tulang belakang,
dan ultrasonografi abdomen. Endoskopi dilakukan pada pasien dengan kloaka untuk
memastikan anatomi dan panjangnya common channel, agar dapat membantu
perencanaan operasi definitif.4
Jika pasien dengan fistel perineal, dapat segera dilakukan anoplasti tanpa
kolostomi pelindung, jika setelah 24 jam tidak juga ditemukan adanya mekonium,
maka dilakukan pemeriksaan radiologis cross table untuk memastikan letak rektum.
Pemilihan tindakan anoplasti primer atau didahului kolostomi tergantung
pada kemampuan dan pengalaman dari ahli bedah. Jika dilakukan kolostomi terlebih
dahulu, maka tindakan definitif dapat dilakukan 1-3 bulan kemudian. Melakukan
tindakan definitif pada usia 1-3 bulan memiliki keuntungan besar bagi pasien,
termasuk penggunaan kolostomi yang lebih singkat, ukuran puntung distal dan
proksimal saat penutupam kolostomi relatif tidak berbeda, lebih mudah untuk
melakukan dilatasi anal, tidak terdapat sekuele psikologis pada anak akibat tindakan
di daerah perineal, dan yang secara teoritis sulit dipastikan, penempatan rektum pada
tempat yang semestinya pada usia dini memberikan keuntungan dalam hal potensi
untuk mendapatkan sensasi lokal. 4-6,11
Seluruh tipe defek dapat di rekonstruksi dengan prosedur PSARP. Kurang
lebih 10% pasien laki-laki (dengan fistel recto-bladder neck) dan 40% pasien dengan
kloaka membutuhkan tambahan akses per abdominal baik secara terbuka ataupun
laparoskopi.4,11

Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


12

2.8. PENILAIAN FUNGSI PASCA REKONSTRUKSI

Untuk evaluasi fungsi pasca tindakan rekontruksi anorektal pada pasien


atresia ani, terdapat beberapa sistem penilaian (tabel 2.5-2.7). Sistem skoring Rintala
menggunakan sistem skoring multivariat dengan elemen kontrol volunter, sensasi,
frekuensi defekasi, soiling, konstipasi serta dampak sosial dari inkontinensia (tabel
2.6).1,16 Metode deskriptif non skoring yang diajukan Pena merupakan dasar dari
metode klasifikasi Krickenbeck (tabel 2.7.).Metode deskriptif non skoring juga
diajukan oleh kelompok bedah anak Wingspread.2,7,17

Tabel 2.4. Metode Kelly Untuk Menilai Kontinensia Fekal


a Staining / smearing (terdapat bercak fekal pada celana dalam) Skor
Tidak ada staining / soiling, selalu bersih 2
Kadang – kadang terjadi soiling / staining 1
Selalu staining / soiling 0
b Ada atau tidaknya defekasi diluar kendali
Tidak pernah 2
Kadang – kadang, atau keluar feses / flatus diluar kendali 1
Selalu 0
c Kekuatan jepit sfingter (otot puborektalis) pada pemeriksaan colok dubur
Kuat dan efektif 2
Lemah dan parsial 1
Tidak ada kontraksi 0
d Total skor
Baik 5-6
Sedang 3-4
Buruk 0-2
Diambil dari Goyala A, Williamsa JM, Kennya SE, et al. Functional outcome and quality of life in
1
anorectal malformations. Journal of Pediatric Surgery 2006;41:318 - 22.

Untuk pengujian fungsi rektum secara obyektif dapat dilakukan dengan


menggunakan balon manometri yang berisi cairan yang dimasukkan ke dalam
saluran rektoanal dan dilakukan pengukuran statik, dan dilakukan penilaian korelasi
antara refleks inhibitor rektoanal dan kontinensia secara klinis.7
Teknik rekonstruksi malformasi anorektal merupakan faktor prognostik yang
penting menentukan fungsi kontinensia anak di masa selanjutnya. Holchscneider
melaporkan kontinensia yang lebih baik pada pasien yang menjalani prosedur
Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


13

PSARP dibandingkan dengan prosedur abdominoperineal pull through dengan atau


tanpa reseksi submukosa rektal cara Rehbein. Sedangkan Mulder dkk menemukan
tidak ada perbedaan antara kedua populasi pasien tersebut7. Untuk malformasi letak
tinggi, De Vries tidak menemukan literatur yang mendukung suatu prosedur lebih
superior dari PSARP.7
Penelitian terkait hasil kontinensia pada malformasi anorektal pada anak
umumnya hanya memberi hasil “baik”, “sedang”, ataupun “buruk”7. Hasil yang baik
bukan berarti fungsi defekasi baik, namun lebih ke arah kontinensia secara sosial.
Pada era sebelum PSARP, pasien yang dinilai secara klinis “baik” berkisar antara 6-
56% dengan 10-70% pasien dengan hasil yang “buruk” dalam hal kontinensia.
Setelah era PSARP, Pena melaporkan sekitar sepertiga pasien dengan malformasi
letak tinggi atau menengah dapat diperkirakan akan memiliki kontinensia yang
total.Pada penelitian Rintala dkk, yang membandingkan fungsi defekasi anak sehat
dengan umur dan distribusi kelamin yang sama dengan pasien malformasi anorektal,
didapatkan 35% pasien memiliki fungsi defekasi sesuai usia. Seiring dengan
peningkatan usia, kontinensia semakin membaik, hal ini mungkin dikarenakan proses
adaptasi dari pasien.1,7,18 Rintala melaporkan hasil “baik” meningkat dari 35% pada
usia 5-10 tahun menjadi 58% pada setelah pasien berusia antara 11-15 tahun. Pena
dan Rintala juga melaporkan pada pasien dengan anatomi tertentu, fungsi defekasi
normal dapat dicapai pada usia 3 tahun.7

Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


14

Tabel 2.5. Sistem Skoring Rintala


A. Kemampuan untuk menahan defekasi
Selalu dapat / tidak mempunyai masalah 3
Bermasalah kurang dari 1x dalam seminggu 2
Bermasalah paling tidak 1x dalam seminggu 1
Tidak dapat mengendalikan 0
B. Keinginan / kemampuan melaporkan rasa ingin defekasi
Selalu 3
Hampir selalu 2
Tidak pasti 1
Tidak dapat 0
C. Frekuensi defekasi
Setiap hari atau tiap dua hari 2
Lebih sering 1
Lebih jarang 1
D. Soiling (terdapat bercak di pakaian dalam)
Tidak pernah 3
Staining kurang dari 1x dalam 1 minggu, tidak membutuhkan pergantian celana dalam 2
Staining cukup sering, membutuhkan pergantuan celana dalam 1
Soiling setiap hari, membutuhkan alat bantu untuk menahannya 0
E. Accidents (kejadian bab tanpa disadari)
Tidak pernah 3
Kurang 1x dalam seminggu 2
Setiap minggu terjadi, seringkali memerlukan alat bantu 1
Setiap hari, membutuhkan alat batu siang dan malam 0
F. Konstipasi
Tidak mengalami konstipasi 3
Diatasi dengan pengaturan diet 2
Diatasi dengan laksatif 1
Diatasi dengan Emma 0
G.Masalah sosial
Tidak mengalami masalah sosial 3
Kadang kala (masalah bau) 2
Bermasalah yang membatasi kehidupan sosial 1
Gangguan sosial dan atau psikis berat 0
H.Penilaian
Normal 18-20
Baik 9-16
Sedang 7-11
Buruk 6-9
Diambil dari Ure BM, Rintala RJ, Holschneider AM. Scoring Postoperative Results. In: Holschneider
AM, Hutson JM, eds. Anorectal Malformations in Children. Heidelberg: Springer-Verlag Berlin
2006:351 - 61.16

Ketinggian anomali merupakan faktor prognostik penting fungsi defekasi.


Secara konvensional, malformasi anorektal letak rendah dikaitkan dengan hasil yang
lebih baik, dan hasil yang buruk dihubungkan dengan kerusakan neurologis atau
retardasi mental. Hal ini sesuai dengan laporan dari Yeung dkk,Ong dkk.dan
Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


15

penelitian Rintala7.Laki-laki dengan fistel bladder neck dan wanita dengan kloaka
secara signifikan berprognosis buruk dibandingkan dengan pasien dengan fistel
urogenital rendah.1 Penyebab prognosis buruk pada pasien malformasi letak tinggi
adalah hipoplasia dari otot sfingter. Selain itu, adanya abnormalitas berat sakral,
berhubungan dengan hipoplasia sfingter. Jika lebih dari dua vertebra sakralis hilang,
atau pasien memiliki deformitas sakral lain seperti hemivertebra, fusi vertebra, hasil
fungsional akan lebih buruk dibanding pasien dengan sakrum normal atau derajat
kelainan sakrum yang lebih rendah7,13.

Tabel 2.6. Klasifikasi Krickenbeck untuk hasil fungsional pasca operasi


Gerakan usus sukarela Ya / Tidak
Soiling Ya / Tidak
• Grade 1 Kadang kadang
• Grade 2 Setiap hari, tidak menimbulkan gangguan sosial
• Grade 3 Konstan, menimbulkan gangguan sosial
Konstipasi Ya / Tidak
• Grade 1 Diatasi dengan pengaturan diet
• Grade 2 Membutuhkan laksatif
• Grade 3 Resisten terhadap laksatif
Memerlukan MACE (Malone Antegrade Ya / Tidak
Continence Enema)
Diambil dari Hassett S, Snell S, Hughes-Thomas A, Holmes K. 10-Year outcome of children born
with anorectal malformation, treated by posterior sagittal anorectoplasty,assessed according to the
Krickenbeck classification. Journal of Pediatric Surgery 2009;44:399 - 403.

Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


BAB 3
KERANGKA KONSEP

3. 1. KERANGKA TEORI

Kerangka teori yang menjadi dasar dari penelitian ini diambil berdasarkan
sistem skoring Rintala yang dihasilkan dari uji multivariat dengan memasukkan
elemen kontrol volunter, sensasi, frekuensi defekasi, soiling, konstipasi serta dampak
sosial dari inkontinensia1,16 Berdasarkan literatur dan penelitian-penelitian terdahulu
juga telah diidentifikasi faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi kontinensia
setelah prosedur PSARP, yaitu usia saat dilakukan PSARP, letak/ketinggian defek
dan jenis kelamin.

3. 2. KERANGKA KONSEP

Berdasarkan kerangka teori diatas maka dibuatlah kerangka konsep pada


penilitian ini. Semua faktor yang telah di identifikasi berdasarkan skor Rintala
maupun penelitian-penelitian sebelumnya diikutsertakan dalam penelitian ini.

Data kuesioner responden


• Kemampuan menahan
defekasi Uji kontinensia
dengan skoring
• Kemampuan menyampaikan
Rintala / Variabel
keinginan untuk defekasi Variabel Bebas
Terikat
• Frekuensi defekasi • Usia saat dilakukan
• Normal
• Soiling
• Baik PSARP
• Accident
• Sedang
• Konstipasi
• Buruk
• Masalah sosial akibat
gangguan fungsi kontinensia

Gambar 3.1. Kerangka Konsep

16 Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


17

3. 3. DEFINISI OPERASIONAL
• Kemampuan menahan defekasi adalah kemampuan pasien untuk menahan
keinginan untuk defekasi hingga mendapatkan tempat yang layak untuk
defekasi.
• Kemampuan menyampaikan keinginan untuk defekasi adalah kemampuan
pasien merasakan keinginan defekasi dan menyampaikannya.
• Frekuensi defekasi adalah frekuensi defekasi pasien dalam sehari.
• Soiling adalah kejadian terdapatnya bercak faeses pada pakaian dalam / popok
yang dipakai pasien atau terdapatnya faeses pada lipat bokong pasien yang
tidak dapat dikendalikan pasien.
• Accident adalah kejadian dimana pasien tidak dapat menahan keinginan buang
air besar hingga di tempat yang seharusnya / kejadian pasien BAB tanpa dapat
ditahan.
• Konstipasi adalah frekuensi buang air besar yang kurang dari 3x dalam 1
minggu BAB yang memerlukan mengedan berat sebelum dapat mengevakuasi
faeses, rasa tidak puas / merasa ada sisa setelah defekasi
• Masalah sosial akibat gangguan fungsi kontinensia adalah masalah yang
mengganggu sehingga pasien mengalami kesulitan dalam berinteraksi sosial
dengan lingkungannya, seperti kesulitan mendapatkan teman bermain karena
masalah soiling.
• Usia saat dilakukan PSARP adalah usia pasien saat dilakukannya prosedur
PSARP.
• Jenis kelamin adalah jenis kelamin pasien.

Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


18

3.4. HIPOTESIS

Terdapat korelasi antara usia saat operasi PSARP terhadap fungsi kontinensia
anak dengan atresia ani. Dimana semakin muda usia anak saat dilakukan PSARP (1-
3 bulan) maka akan semakin baik prognosis kontinensia yang didapatkan.

Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


BAB 4
METODOLOGI

4.1. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik kategorikal dengan disain cross


sectional.Data pada penelitian ini berasal dari rekam medik pasien dan kuesioner.
Kuesioner dilakukan untuk mengetahui uji fungsi kontinensia pasca PSARP.

4.2. POPULASI DAN SAMPEL


4.2.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah semua pasien pasca PSARP di RSCM pada
periode 1 Januari 2006 – 31 Desember 2012.

4. 2. 2. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Sampel

Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan kriteria berikut ini :

Table 4.1 Kriteria inklusi dan eksklusi


Kriteria Inklusi Kriteria Ekslusi
• Pasien dengan diagnosa atresia ani • Pasien menjalani operasi ulangan untuk
• Menjalani operasi PSARP di RSCM PSARP
• Memiliki data yang cukup dalam rekam • Atresia ani letak rendah yang dapat
medik ditangani dengan mini PSARP/ cutback
• Pasien masih dapat dihubungi • Atresia ani dengan fistel rektovesika
• Bersedia untuk diikutsertakan dalam
penelitian
• Sudah berusia lebih dari 2 tahun saat
penelitian berlangsung
Keterangan : PSARP = Posterior Sagital Anorectoplasty

19 Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


20

4. 2. 3. Cara Pengambilan Sampel

Sampel yang diambil pada penelitian ini adalah semua pasien atresia ani yang
dilakukan PSARP di RSCM pada tahun 2006-2012.

4. 2. 4. Besar Sampel
1. Dilakukan penilaian pasien berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi
2. Pasien yang terseleksi diberikan penjelasan tentang tata cara penelitian,
pengisian kuesioner setelah menandatangani surat persetujuan penelitian
3. Penghitungan besar sampel
n = Zα2pq
d2
n = 1,962.0,35.0,65 = 87
0,12
Jadi besar sampel yang dibutuhkan adalah 87 orang
Keterangan :
n : Besar sampel
Zα : 1,96
P : 35% (didapatkan dari penelitian sebelumnya)
d : 10%

4. 3. METODE PENGUMPULAN DATA


4.3.1 Instrumen

Insrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang berisi
komponen-komponen skoring kontinensia PSARP yang dapatkan berdasarkan
penelitian sebelumnya oleh Rintala, dkk. (2008).

Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


21

4.3.2. Sumber Data

Dalam penelitian ini digunakan 2 jenis data yaitu data sekunder dari rekam
medis untuk melengkapi kuesioner skoring yang ada dan data primer mengenai
kontinensia pasca operasi yang diperoleh dari wawancara via telepon atau kunjungan
pasien di poliklinik bedah anak RSCM.

4.3.3. Cara Pengumpulan Data

Pertama-tama peneliti mencari pasien-pasien yang dilakukan PSARP di buku


registrasi pasien rawat bedah anak dan poliklinik RSCM tahun 2006-2012.
Kemudian data pasien diambil dari rekam medik dan diisi berdasarkan kuesioner
yang digunakan dalam penelitian ini. Data fungsi kontinensia pasca operasi diperoleh
dengan menelepon orang tua pasien yang bersangkutan . Bila terdapat data-data yang
tidak lengkap dari rekam medis, peneliti juga melengkapi dengan melakukan
wawancara melalui telepon.

Tabel 4.2 Parameter pengukuranvariabel terikat


Alat Cara Skala
Variabel Hasil Ukur
Ukur Ukur Ukur
Kemampuan Kuesioner Diisi 3 = Selalu dapat/tidak mempunyai masalah Ordinal
menahan defekasi oleh 2 = Bermasalah kurang dari 1x dalam
peneliti seminggu
1 = Bermasalah paling tidak 1x dalam
seminggu
0 = Tidak dapat mengendalikan
Kemampuan Kuesioner Diisi 3 = Selalu Ordinal
menyampaikan oleh 2 = Hampir selalu
keinginan untuk peneliti 1 = Tidak pasti
defekasi 0 = Tidak dapat
Frekuensi defekasi Kuesioner Diisi 2 = Setiap hari atau setiap 2 hari Ordinal
oleh 1 = Lebih sering
peneliti 0 = Lebih jarang
Soiling Kuesioner Diisi 3 = Tidak pernah Ordinal
oleh 2 = Staining < dari 1x dalam 1 minggu,
peneliti tidak membutuhkan penggantian celana
dalam

Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


22

Accident Kuesioner Diisi 3 = Tidak pernah Ordinal


oleh 2 = Kurang 1x dalam seminggu
peneliti 1 = Setiap minggu terjadi, seringkali
mememerlukan alat bantu
0 = Setiap hari, membutuhkan alat bantu
siang dan malam
Konstipasi Kuesioner Diisi 3 = Tidak mengalami konstipasi Ordinal
oleh 2 = Diatasi dengan pengaturan diet
peneliti 1 = Diatasi dengan laksatif
0 = Diatasi dengan enema
Masalah sosial Kuesioner Diisi 3 = Tidak mengalami masalah sosial Ordinal
akibat gangguan oleh 2 = Kadang kala (masalah baru)
fungsi kontinensia peneliti 1 = Bermasalah membatasi kehidupan
sosial
0 = Gangguan sosial dan atau psikis berat

Table 4.3 Parameter pengukuran variabel independen


Variabel Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Usia saat dilakukan Kuesioner Diisi oleh 3 = >diatas 24 bulan Ordinal
PSARP peneliti 2 = >12-24 bulan
1 = >3-12 bulan
0 = >kurang dari 3 bulan
Jenis kelamin Kuesioner Diisi oleh 0 = Laki-laki Nominal
peneliti 1 = Perempuan

4.4. RENCANA ANALISIS DATA

Analisis korelasi bivariat digunakan untuk melihat distribusi frekuensi


(proporsi) dari karakteristik demografik, komponen skoring kontinensia dari
reponden. Pengolahan data menggunakan SPSS 20.

Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


23

4. 5. ALUR PENELITIAN

Pasien Atresia Ani yang menjalani operasi PSARP di RSCM dalam periode 1 Januari
2006 – 31Desember 2012

Memenuhi Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Uji Fungsional sesuai sistem skoring Rintala

Normal Tidak Normal

Analisis Data Pre Operatif yang Memengaruhi Hasil

Uji Statistik

Hasil penelitian

Gambar 4.1. Alur Penelitian

Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


BAB 5
HASIL PENELITIAN

Pada penelitian potong lintang dengan penelusuran rekam medis pasien


atresia ani dari Januari 2003 hingga Desember 2012, jumlah rekam medis yang
ditemukan 208 buah, dan dari sejumlah itu yang dapat dihubungi untuk
diikutsertakan dan sesuai dengan kriteria inklusi sebanyak 40 pasien. Distribusi
lengkap dalam tabel 5.1

Tabel 5.1. Gambaran umum responden yang masuk dalam penelitian


Normal Tidak Normal
Jumlah Total
Skor (18-20) Skor (6-16)
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Berdasarkan jenis kelamin
• Perempuan 15 53,6% 13 46,4% 28 70%
• Laki-laki 4 33,3% 8 66,7% 12 30%
Berdasarkan usia saat operasi
• <3 bulan 1 100% 0 0% 1 2,5%
• 3-12 bulan 9 56,3% 7 43,7% 16 40%
• 13-24 bulan 4 30,7% 9 69,3% 13 32,5%
• >24 bulan 5 50% 5 50% 10 25%
Berdasarkan letak atresia
• Letak tinggi 5 33,3% 10 66,7% 15 37,5%
• Letak rendah 14 56% 11 44% 25 62,5%

Usia termuda pasien saat menjalani prosedur PSARP dalam penelitian ini
adalah 1 bulan dan usia tertua 15 tahun 8 bulan. Lebih dari separuh subyek penelitian
berjenis kelamin perempuan. Sebagian besar pasien menjalani prosedur PSARP
sebelum usia 2 tahun (75%, n=30) dan sisanya setelah usia 2 tahun (25%, n=10)
yang artinya operasi PSARP dilakukan setelah pasien melewati usia toilet training.
Tipe atresia ani pada penelitian ini didominasi oleh atresia ani letak rendah
62,5% (n=25), dimana 92% (n=23) diantaranya berjenis kelamin perempuan. Setelah
dilakukan wawancara untuk melihat fungsi kontinens pasien menggunakan skor
Rintala, didapatkan 47,5% pasien mencapai kontinensia normal dengan rerata FOS
pada penelitian ini adalah 16,17 yang jika dibedakan berdasarkan jenis kelamin:

24 Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


25

16,78 untuk pasien perempuan dan 14,75 untuk pasien pria. Dari pasien yang
mencapai kontinensia normal tersebut 73,7% diantaranya adalah pasien atresia ani
letak rendah. Kemudian dilakukan uji korelasi Spearman’s antara skor Rintala
dengan usia saat operasi. Tabel 5.2.

Tabel 5.2. Analisa korelasi usia saat prosedur PSARP dengan skor Rintala
Spearman’s Correlation
P
Coefficient
Usia saat operasi -0,116 0,477

Peneliti melakukan analisa statistik dengan melihat korelasi antara usia saat
prosedur dengan hasil skor Rintala dengan memisahkan pasien berdasarkan usia saat
toilet training (2 tahun). Ditemukan korelasi terbalik, dimana semakin dini usia saat
operasi akan didapatkan skor Rintala yang lebih tinggi hingga pasien berusia 2 tahun.
Namun hasil tersebut tidak bermakna secara statistik; usia saat operasi (r=-0,116,
p=0,477) Tren korelasi negatif ini tergambarkan dalam gambar 5.1.

Gambar 5.1. Scatter plot hubungan usia saat operasi dengan skor Rintala sebelum usia 24 bulan
Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


26

Dari penelusuran rekam medik terhadap kelainan kongenital penyerta yang


menyertai malformasi anorektal, hanya ditemukan satu pasien laki-laki dengan
agenesis sacrum, yang saat wawancara didapatkan skor Rintala 9.

Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


BAB 6
DISKUSI

Pada penelitian ini penulis terdapat beberapa kekurangan, diantaranya jumlah


sampel yang didapatkan tidak memenuhi jumlah target sampel yang diharapkan
sebelum penelitian dimulai. Pada penghitungan besar sampel minimal yang
dibutuhkan sebesar 87 sampel, penelitian ini hanya mendapatkan 40 sampel yang
dapat dimasukkan sebagai obyek penelitian. Hal ini dikarenakan kesulitan pencarian
data pada rekam medik, ataupun pasien yang tidak dapat dihubungi lagi. Pada
penelitian ini juga data didapatkan dari wawancara, sehingga masih terdapat bias
yang cukup besar dikarenakan subyektifitas dari responden dan sebagian besar
responden yang dihubungi adalah orang tua atau orang yang mengasuh pasien, bukan
pasiennya langsung. Peneilitian ini menggunakan sistem skoring Rintala karena
peneliti menyadari sulitnya mengumpulkan data dari pasien di RSCM, karena
banyaknya pasien yang berdomisili jauh dari RSCM. Memang sistem yang terbaru
dipakai adalah klasifikasi Krickenbeck yang sesuai dengan klasifikasi anatomi
sebelum operasi. Tapi karena penelitian ini hanya berniat melihat seberapa normal
kontinensia pasca PSARP di RSCM, maka peneliti memilih sistem skoring Rintala.
Empat puluh pasien yang masuk dalam penlitian ini, terdiri dari 28
perempuan (70%) dan 12 laki-laki (30%). Hal ini berbeda dengan literatur yang
mengatakan atresia ani cenderung lebih banyak terjadi pada pasien laki laki. Tipe
atresia pada pasien laki-laki di penelitian ini, terdiri dari 9 atresia ani dengan fistel (7
tipe rektouretra, 2 perineal), dan 3 atresia ani tanpa fistel 3 letak tinggi. Sementara
pada pasien perempuan, terdiri dari 26 atresia ani dengan fistel (17 tipe
rektovestibuler, 6 tipe perineal, 2 tipe rektovagina, 1 kloaka), dan 2 atresia ani tanpa
fistel letak tinggi. Hal ini sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa untuk
pasien laki-laki didominasi oleh tipe fistel rektouretra dan pada perempuan mayoritas
tipe fistel rektovestibuler.Penilaian kontinensia pasca PSARP dilakukan dengan
menggunakan sistem Skor Rintala.

27 Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


28

Pada penelitian ini didapatkan 47,5% pasien dengan kontinensia normal,


dengan 73,7% diantaranya adalah pasien atresia ani letak rendah. Hal ini lebih baik
dari penelitian yang dilakukan oleh Rintala yaitu 35% pasien dengan kontinensia
normal.
Perbedaan ini dapat terjadi karena pada penelitian ini dilakukan eksklusi
pada sampel yang menjalani reoperasi PSARP walaupun pada penelitian Rintala
tidak dijelaskan kriteria eksklusi penelitian.
Rata-rata Functional Outcome Score (FOS) dari seluruh pasien pada
penelitian ini adalah 16,17 yang jika dibedakan berdasarkan jenis kelamin: 16,78
untuk pasien perempuan dan 14,75 untuk pasien pria. Hal ini lebih baik dari
penelitian Goyal, dkk (2006) yang melakukan penelitian pasca operasi malformasi
anorektal dengan menggunakan sistem skoring Rintala dengan hasil rata-rata FOS
adalah 14 pada pasien perempuan dan13,7 pada pasien laki laki. Selain karena
eksklusi pasien reoperasi, hal ini dapat juga terjadi karena jumlah sampel yang tidak
mencukupi jumlah sampel minimal secara statistik sehingga hasil penelitian ini tidak
bisa menggambarkan FOS yang sebenarnya.
Pada penelitian ini, tidak ditemukan hubungan yang bermakna secara statistik
antara fungsi kontinensia pasca PSARP yang diukur dengan sistem skor Rintala
dengan usia saat prosedur PSARP dilakukan. Rata-rata usia saat operasi adalah 25,6
bulan dengan sebaran dari 1 bulan hingga 188 bulan. Pada kelompok usia operasi 1-
24 bulan, terdapat korelasi terbalik, dimana semakin dini usia saat operasi didapatkan
skor Rintala yang lebih tinggi. Namun hasil tersebut tidak bermakna secara statistik;
usia saat operasi (r=-0,116, p=0,477). Peneliti mendapatkan bahwa semakin tua usia
anak (mendekati usia toilet training), maka semakin rendah skor Rintala. Hal ini
dapat juga terkait dengan pendeknya waktu adaptasi pasien terhadap anus yang baru
dengan waktu untuk toilet training. Hal ini sesuai dengan pendapat Pena yang
mengatakan sedini mungkin dilakukan penempatan anus yang baru pada tempat yang
semestinya memungkinkan anak mendapatkan sensasi anal sesuai dengan yang
seharusnya.
Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


BAB 7
PENUTUP

7.1. SIMPULAN

Dari penelitian ini didapatkan bahwa pasien pasien yang menjalani PSARP di
RSCM memiliki kemungkinan untuk mendapat fungsi kontinensia yang lebih baik
daripada yang dikatakan dalam literatur. Juga didapatkan tidak ada hubungan yang
bermakna secara statistik antara usia saat operasi dengan hasil kontinensia pasien
walaupun didapatkan kecenderungan bahwa semakin muda pasien maka akan
didapatkan fungsi kontinensia yang lebih baik.

7.2 SARAN

Dikarenakan jumlah sampel yang didapatkan pada penelitian ini hanya


sedikit, diperlukan penelitian selanjutnya dengan sampel yang lebih banyak agar data
yang didapatkan lebih dapat menggambarkan hasil yang sebenarnya.
Dikarenakan penelitian dengan skor Rintala bersifat wawancara, maka ada
baiknya jika didapat sampel yang cukup besar, dapat dibuat stratifikasi subyek yang
diwawancara untuk mengurangi bias.
Karena didapatkan kecenderungan hasil kontinensia yang lebih baik jika
pasien di operasi pada usia muda, ada baiknya dalam pelayanan pasien atresia ani di
RSCM prosedur PSARP dilakukan sedini mungkin sesuai anjuran Pena dimana
dilakukan anoplasti pada usia 1-3 bulan.

29 Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


DAFTAR PUSTAKA

1. Goyala A, Williamsa JM, Kennya SE, et al. Functional outcome and quality of
life in anorectal malformations. Journal of Pediatric Surgery 2006;41:318 - 22.
2. Hassett S, Snell S, Hughes-Thomas A, Holmes K. 10-Year outcome of children
born with anorectal malformation, treated by posterior sagittal
anorectoplasty,assessed according to the Krickenbeck classification. Journal of
Pediatric Surgery 2009;44:399 - 403.
3. Osifo O, Osagie T, Udefiagbon E. Outcome of primary posterior sagittal
anorectoplasty of high anorectal malformation in well selected neonates.
Nigerian Journal of Clinical Practice 2014;17:1 - 5.
4. Pena A, Levitt MA. Anorectal Malformation. In: Grosfeld JL, James A. O'Neill
J, Fonkalsrud EW, Coran AG, eds. Pediatric Surgery. 6th ed. Philadelphia, PA:
Mosby Elsevier; 2006:1566 - 89.
5. Levitt MA, Pena A. Anorectal Malformations. In: Coran AG, Adzick NS,
Krummel TM, Laberge J-M, Shamberger RC, Caldamone AA, eds. Pediatric
Surgery. 7th ed. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2012:1289 - 309.
6. Levitt MA, Peña A. Anorectal malformations. Orphanet Journal of Rare Diseases
2007;2:1 - 13.
7. Rintala RJ, Pakarinen MP. Imperforate anus: long- and short-term outcome.
Seminars in Pediatric Surgery 2008;17:79 - 89.
8. Yoo SY, Bae KS, Kang SJ, Kim SY, Hwang EH. How Important Is the Role of
the Internal Anal Sphincter in Fecal Continence? An Experimental Study in
Dogs. Journal of Pediatric Surgery 1995;30:687 - 91.
9. Tsuji H, Okada A, Nakai H, Azuma T, Yagi M, Kubota A. Follow-Up Studies of
Anorectal Malformations After Posterior Sagittal Anorectoplasty. Journal of
Pediatric Surgery 2002;37:1529 - 33.
10. Kuyk EMv, Wissink-Essink M, Brugman-Boezeman ATM, et al.
Multidisciplinary Behavioral Treatment of Defecation Problems: A Controlled
Study in Children With Anorectal Malformations. Journal of Pediatric Surgery
2001;36:1350 - 6.
11. Levitt MA, Peña A. Imperforate Anus and Cloacal Malformations. In: III GWH,
Murphy JP, eds. Aschraft Pediatric Surgery. 5th ed. Philadelphia, PA: Saunders
Elsevier; 2010:468 - 90.
12. Akhter N, Ishaque N, Chaudhary A, et al. Posterior Sagittal Anorectoplasty in the
treatment of Anorectal Malformation. Annals of Pakistan Institute for Medical
Science 2008;4:156 - 8.
13. Bharucha AE, Blandon RE. Anatomy and Physiology of Continence. In: Ratto C,
Doglietto GB, eds. Fecal Incontinence Diagnosis and Treatment. Milan, Italy:
Springer-Verlag; 2007:3 - 12.

30 Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


14. Skandalakis JE, Colborn GL, Weidman TA, et al. Large Intestine and Anorectum
In: Skandalakis JE, ed. Skandalakis' Surgical Anatomy2004.
15. Zorcolo L, Bartolo DCC. Pathophysiology of Faecal Incontinence. In: Ratto C,
Doglietto GB, eds. Fecal Incontinence Diagnosis and Treatment. Milan, Italy:
Springer-Verlag; 2007:35 - 9.
16. Ure BM, Rintala RJ, Holschneider AM. Scoring Postoperative Results. In:
Holschneider AM, Hutson JM, eds. Anorectal Malformations in Children.
Heidelberg: Springer-Verlag Berlin 2006:351 - 61.
17. Wong KKY, Wu X, Chan IHY, Tam PKH. Evaluation of defecative function 5
years or longer after laparoscopic-assisted pull-through for imperforate anus.
Journal of Pediatric Surgery 2006;46:2313 - 5.
18. Borg HC, Holmdahl G, Gustavsson K, Doroszkiewicz M, Sillén U. Longitudinal
study of bowel function in children with anorectal malformations. Journal of
Pediatric Surgery (2013) 48, 597–606 2013;48:597 - 606.

Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


Lampiran 1 : Kuesioner
Kuesioner Penilaian fungsi kontinensia pasca PSARP

Nama Pasien :
No RM :
TanggalLahir :
Alamat :
Telpon/HP :
TanggalOperasi PSARP :

Identitas penjawab kuesioner


Nama :
Hubungan dengan pasien :

Kemampuan untuk menahan keinginan Buang Air Besar (BAB)


• Apakah pasien mampu menahan keinginan untuk BAB jika sedang berada di
tempat yang tidak tersedia / jauh dari kamar kecil?
Selalu dapat / tidak ada masalah
Bermasalah, namun tidak sampai 1x dalam 1 minggu
Bermasalah paling tidak 1x dalam 1 minggu
Selalu ada masalah / tidak dapat menahan

Keinginan / kemampuan untuk melaporkan rasa ingin BAB


• Apakah pasien dapat melaporkan keinginan untuk BAB?
Selalu
Hampir selalu
Tidak selalu / tidak pasti
Tidak dapat

Frekuensi BAB
• Berapa kali dalam sehari pasien BAB?
Setiap satu atau dua hari sekali
Lebih sering / lebih dari 1x dalam sehari
Lebih jarang / BAB kurang dari 1x dalam 2 hari

Soiling
• Apakah pasien sering cepirit / ada bercak kotoran / faeces di celana / pakaian /
popok?
Tidak pernah

Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


Lampiran 1 : Kuesioner (Lanjutan)

Kurang dari 1x dalam 1 minggu, tidak memerlukan penggantian pakaian


dalam
Cukup sering dan membutuhkan penggantian pakaian dalam
Selalu, dan membutuhkan alat untuk dapat menahannya

Accident
• Seberapa sering pasien BAB di celana / tidak bisa menahan BAB?
Tidak pernah
Tidak sampai 1x dalam 1 minggu
Bermasalah paling tidak 1x dalam 1 minggu, seringkali membutuhkan
alat bantu
Setiap hari dan membutuhkan alat bantu siang dan malam

Konstipasi
• Apakah pasien sulit untuk BAB / memerlukan perjuangan ekstra untuk dapat
BAB?
Tidak ada masalah
Ya, namun dapat diatasi dengan pengaturan makanan
Ya, dapat diatasi dengan obat obat pelancar BAB / laksatif
Ya, diatasi dengan obat pencahar / enema

Masalah sosial
• Apakah pasien terganggu secara sosial dikarenakan ketidak mampuan untuk
menahan BAB?
Tidak
Kadang – kadang, terganggu karena masalah bau
Ya, pasien membatasi pergaulan sosial
Ya, pasien terganggu dalam hubungan sosial dan mengalami psikis

Jakarta,………………………….2014

(………………………………………….)
Namalengkap
Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


Lampiran 2 : Informed Consent

INFORMED CONSENT
EVALUASI FUNGSI KONTINENSIA PASCA POSTERIOR SAGITTAL
ANORECTOPLASTY (PSARP)

Bapak/ibu yang terhormat


Departemen Ilmu Bedah FKUI-RSCMsaat ini sedang mengadakan penelitian
mengenai evaluasi fungsi kontinensia pasca posterior sagittal anorectoplasty
(PSARP) pada pasien-pasien dengan atresia ani yang telah menjalani prosedur
PSARP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fungsi kontinens pasca PSARP
di RSCM setelah dilakukan operasi dan karakteristik pasien yang ada.
Penelitian ini bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan klinisi mengenai
keluhan gangguan fungsi kontinens gejala yang mungkin timbul atau menetap
setelah dilakukan PSARP dan sebagai data dasar dalam penelitian selanjutnya.
Pasien yang telah menjalani prosedur PSARP di RSCM periode 1 Januari
2006 sampai 31Desember 2012 serta memenuhi kriteria, setelah mendapatkan
persetujuan, akan diberikan kuesioner yang dapat diisi sendiri oleh pasien ataupun
dibantu oleh peneliti.
Anda bebas untuk menolak ikut dalam penelitian ini. Bila anda telah
memutuskan untuk ikut, anda juga bebas untuk mengundurkan diri setiap saat tanpa
menyebabkan berkurangnya mutu pelayanan. Semua data penelitian ini akan
diberlakukan secara rahasia sehingga tidak memungkinkan untuk disalahgunakan
oleh orang lain.
Anda memiliki kesempatan untuk menanyakan semua hal yang berhubungan
dengan penelitian ini dengan cara menghubungi dr.Rico Darmayanto di Departemen
Ilmu Bedah FKUI dengan nomor HP 0811 717 6465
Terima Kasih
dr. Rico Darmayanto

Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


Lampiran 3 : Persetujuan Tindakan Medis

PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS


(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Alamat :
Dengan ini menyatakan sesungguhnya telah memberikan PERSETUJUAN untuk
mengisi formulir kuesioner.
Yang tujuandan manfaat dari kuesioner ini telah cukup dijelaskan oleh dokter dan
telah saya mengerti sepenuhnya.
Demikian pernyataan persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa
paksaan

..........,.........................2014

Dokter /Peneliti Yang membuat pernyataan

(dr. Rico Darmayanto) ( )

Universitas Indonesia

Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014


Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014
Evaluasi fungsi..., Rico Darmayanto, FK UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai