Kisah Nabi Sulaiman
Kisah Nabi Sulaiman
TINJAUAN PUSTAKA
labiqatun/)
Gagasan dasar dari maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan
adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk
selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan
pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan
melaksanakan maksim kebijaksanaan, ia akan dapat menghindarkan sikap dengki,
iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap si mitra tutur.
Sebagai pemerjelas atas pelaksanaan maksim kebijaksanaan ini di dalam
komunikasi yang sesungguhnya dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Contoh maksim kebijaksanaan dalam Al-Qur’an terdapat pada surat Yusuf ayat 4
dan 6, sebagai berikut:
/iz qala yusufu liabihi ya’bati inni raaytu ahada `asyara kawakaban wa
syamsa wa al-qamara ra’aytuhum li sajidina/’(ingatlah), ketika Yusuf
berkata kepada ayahnya:”Wahai ayahku sesungguhnya aku bermimpi
melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan. Kulihat semuanya sujud
kepadaku” ’.
Berdasarkan kutipan diatas bahwasannya pada suatu ketika nabi Yusuf a.s
memberitahukan kepada ayahnya nabi Ya’qub bin Ishak bin Ibrahim bahwa ia
bermimpi dan melihat dalam mimpinya itu sebelas buah bintang, matahari, dan
bulan, semuanya tunduk dan sujud kepadanya. Tentu saja sujud disini bukanlah
dengan arti menyembah seperti yang kita kenal, tetapi hanyalah sujud dengan arti
kiasan yaitu tunduk dan patuh. Sujud dengan arti tunduk dan patuh itu ada juga
terdapat dalam Al-Qur’an. Setelah mendengar cerita itu, mengertilah nabi Ya’qub
a.s bahwa mimpi anaknya itu bukanlah mimpi biasa, sekedar hiasan tidur, tetapi
mimpinya itu adalah suatu ilham dari Allah SWT sebagaimana kerapkali dialami
oleh para nabi. Ia yakin bahwa anaknya ini akan menghadapi suatu urusan yang
sangat penting dan setelah dewasa menjadi penguasa dimana masyarakat akan
tunduk kepadanya tidak terkecuali saudara-saudaranya, dan tentulah mereka akan
/qala yabunaya la taqsus ru’yaka ‘ala ikhwatika fayakidu laka kaidan inna
syastana lil’insani ‘aduwwun mubinun/’Ayahnya berkata: “Hai anakku.
Janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka
mereka membuat maker (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan
itu adalah musuh yang nyata”.
sakhiyatun/)
Dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta
pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan orang lain
akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan
memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain.
Tuturan pada contoh berikut ini dapat memperjelas maksim kedermawanan.
Anak kos A : “Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak, kok,
yang kotor.”
Anak kos B : “Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga, kok”
Dari tuturan yang disampaikan si A di atas, dapat dilihat dengan jelas
bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara
menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara
menawarkan bantuan untuk mencucikan pakaian kotornya si B.
Contoh maksim kedermawanan dalam Al-Qur’an terdapat pada surat Yusuf ayat
62, sebagai berikut:
Q.S Yusuf ayat 62
mutawādi’atun/)
Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta
tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian
terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila
di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri.
itifāqiyatun/)
Di dalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur dapat saling
membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila
Contoh maksim simpati dalam Al-Qur’an terdapat dalam surat Yusuf ayat 31,
sebagai berikut: