Anda di halaman 1dari 35

Nefrolitiasis (Batu Ginjal)

DEFINISI

Merupakan suatu penyakit yang salah satu gejalanya adalah pembentukan batu di
dalam ginjal.(1)

Gambar. Batu Ginjal (2)

ETIOLOGI

Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan aliran
urin, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan keadaan-keadaan lain yang
masih belum terungkap (idiopatik). Secara epidemiologik terdapat beberapa faktor yang
mempermudah terbentuknya batu pada saluran kemih pada seseorang. Faktor tersebut adalah
faktor intrinsik yaitu keadaan yang berasal dari tubuh orang itu sendiri dan faktor ekstrinsik
yaitu pengaruh yang berasal dari lingkungan di sekitarnya.(3)

Faktor intrinsik antara lain :

1. Herediter (keturunan) : penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.


2. Umur : penyakit ini paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun
3. Jenis kelamin : jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan
pasien perempuan
Faktor ekstrinsik diantaranya adalah :

1. Geografis : pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran kemih
yang lebih tinggi dari pada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah stonebelt.
2. Iklim dan temperatur
3. Asupan air : kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang
dikonsumsi.
4. Diet : Diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya batu.
5. Pekerjaan : penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk
atau kurang aktifitas atau sedentary life.(3)

EPIDEMIOLOGI

Abad ke-16 hingga abad ke-18 tercatat insiden tertinggi penderita batu saluran kemih
yang ditemukan diberbagai negara di Eropa. Berbeda dengan eropa, di negara-negara
berkembang penyakit batu ini masih ditemukan hingga saat ini, misalnya Indonesia,
Thailand, India, Kamboja, dan Mesir.(1)

EFEK BATU PADA SALURAN KEMIH

Ukuran dan letak batu biasanya menentukan perubahan patologis yang terjadi pada
traktus urinarius : (4)
a. Pada ginjal yang terkena

 Obstruksi
 Infeksi
 Epitel pelvis dan calis ginja menjadi tipis dan rapuh.
 Iskemia parenkim.
 Metaplasia

b. Pada ginjal yang berlawanan

 Compensatory hypertrophy
 Dapat menjadi bilateral
GAMBARAN KLINIS

Batu ginjal dapat bermanifestasi tanpa gejala sampai dengan gejala berat. Umumnya gejala
berupa obstruksi aliran kemih dan infeksi. Gejala dan tanda yang dapat ditemukan pada
penderita batu ginjal antara lain : (1)

1. Tidak ada gejala atau tanda


2. Nyeri pinggang, sisi, atau sudut kostovertebral
3. Hematuria makroskopik atau mikroskopik
4. Pielonefritis dan/atau sistitis
5. Pernah mengeluarkan baru kecil ketika kencing
6. Nyeri tekan kostovertebral
7. Batu tampak pada pemeriksaan pencitraan
8. Gangguan faal ginjal.

DIAGNOSIS

Selain dari anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis, penyakit batu
ginjal perlu didukung dengan pemeriksaan radiologik, laboratorium, dan penunjang lain
untuk menentukan kemungkinan adanya obstruksi saluran kemih, infeksi dan gangguan faal
ginjal.
A. Anamnesis

Anamnesa harus dilakukan secara menyeluruh. Keluhan nyeri harus dikejar mengenai
onset kejadian, karakteristik nyeri, penyebaran nyeri, aktivitas yang dapat membuat
bertambahnya nyeri ataupun berkurangnya nyeri, riwayat muntah, gross hematuria, dan
riwayat nyeri yang sama sebelumnya. Penderita dengan riwayat batu sebelumnya sering
mempunyaitipenyeriyangsama.(5)
B. Pemeriksaan Fisik

 Penderita dengan keluhan nyeri kolik hebat, dapat disertai takikardi, berkeringat, dan
nausea.
 Masa pada abdomen dapat dipalpasi pada penderita dengan obstruksi berat atau
dengan hidronefrosis.
 Bisa didapatkan nyeri ketok pada daerah kostovertebra, tanda gagal ginjal dan retensi
urin.
 Demam, hipertensi, dan vasodilatasi kutaneus dapat ditemukan pada pasien dengan
urosepsis.(5,3)

C. Pemeriksaan penunjang
- Radiologi

Secara radiologi, batu dapat radiopak atau radiolusen. Sifat radiopak ini berbeda untuk
berbagai jenis batu sehingga dari sifat ini dapat diduga batu dari jenis apa yang ditemukan.
Radiolusen umumnya adalah jenis batu asam urat murni.

Pada yang radiopak pemeriksaan dengan foto polos sudah cukup untuk menduga adanya
batu ginjal bila diambil foto dua arah. Pada keadaan tertentu terkadang batu terletak di depan
bayangan tulang, sehingga dapat luput dari penglihatan. Oleh karena itu foto polos sering
perlu ditambah foto pielografi intravena (PIV/IVP). Pada batu radiolusen, foto dengan
bantuan kontras akan menyebabkan defek pengisian (filling defect) di tempat batu berada.
Yang menyulitkan adalah bila ginjal yang mengandung batu tidak berfungsi lagi sehingga
kontras ini tidak muncul. Dalam hal ini perludilakukan pielografi retrograd. (1)

Ultrasonografi (USG) dilakukan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan IVP,
yaitu pada keadaan-keadaan; alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang menurun dan
(3)
pada wanita yang sedang hamil . Pemeriksaan USG dapat untuk melihat semua jenis batu,
selain itu dapat ditentukan ruang/ lumen saluran kemih. Pemeriksaan ini juga dipakai unutk
menentukan batu selama tindakan pembedahan untuk mencegah tertinggalnya batu (1).
- Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk mencari kelainan kemih yang dapat


menunjang adanya batu di saluran kemih, menentukan fungsi ginjal, dan menentukan
penyebab batu.(1)
PENATALAKSANAAN

1. Terapi medis dan simtomatik

Terapi medis berusaha untuk mengeluarkan batu atau melarutkan batu. Terapi simtomatik
berusaha untuk menghilangkan nyeri. Selain itu dapat diberikan minum yang berlebihan/
banyak dan pemberian diuretik.

2. Litotripsi
Pada batu ginjal, litotripsi dilakukan dengan bantuan nefroskopi perkutan untuk
membawa tranduser melalui sonde kebatu yang ada di ginjal. Cara ini disebut nefrolitotripsi.
Salah satu alternatif tindakan yang paling sering dilakukan adalah ESWL. ESWL
(Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy) yang adalah tindakan memecahkan batu ginjal dari
luar tubuh dengan menggunakan gelombang kejut.

 3. Tindakan bedah

Tindakan bedah dilakukan jika tidak tersedia alat litotripsor, alat gelombang kejut, atau
bila cara non-bedah tidak berhasil.(1)
Apakah sinusitis itu?

Sinusitis adalah peradangan yang terjadi pada rongga sinus. Sinusitis banyak ditemukan pada
penderita hay fever yang mana pada penderita ini terjadi pilek menahun akibat dari alergi
terhadap debu dan sari bunga. Sinusitis juga dapat disebabkan oleh bahan bahan iritan seperti
bahan kimia yang terdapat pada semprotan hidung serta bahan bahan kimia lainnya yang
masuk melalui hidung. Jangan dilupakan kalau sinusitis juga bisa disebabkan oleh infeksi
virus atau bakteri. Tulisan kali ini lebih menitikberatkan pembahasan pada sinusitis yang
disebabkan oleh infeksi.

Apakah sinus itu?

Sinus atau sering pula disebut dengan sinus paranasalis adalah rongga udara yang terdapat
pada bagian padat dari tulang tenggkorak di sekitar wajah, yang berfungsi untuk
memperingan tulang tenggkorak. Rongga ini berjumlah empat pasang kiri dan kanan. Sinus
frontalis terletak di bagian dahi, sedangkan sinus maksilaris terletak di belakang pipi.
Sementara itu, sinus sphenoid dan sinus ethmoid terletak agak lebih dalam di belakang
rongga mata dan di belakang sinus maksilaris. Dinding sinus terutama dibentuk oleh sel sel
penghasil cairan mukus. Udara masuk ke dalam sinus melalui sebuah lubang kecil yang
menghubungkan antara rongga sinus dengan rongga hidung yang disebut dengan ostia. Jika
oleh karena suatu sebab lubang ini buntu maka udara tidak akan bisa keluar masuk dan cairan
mukus yang diproduksi di dalam sinus tidak akan bisa dikeluarkan.

Apa yang menyebabkan sinusitis?

Sinusitis dapat terjadi bila terdapat gangguan pengaliran udara dari dan ke rongga sinus serta
adanya gangguan pengeluaran cairan mukus. Adanya demam, flu, alergi dan bahan bahan
iritan dapat menyebabkan terjadinya pembengkakan pada ostia sehingga lubang drainase ini
menjadi buntu dan mengganggu aliran udara sinus serta pengeluaran cairan mukus. Penyebab
lain dari buntunya ostia adalah tumor dan trauma. Drainase cairan mukus keluar dari rongga
sinus juga bisa terhambat oleh pengentalan cairan mukus itu sendiri. Pengentalan ini terjadi
akibat pemberiaan obat antihistamin, penyakit fibro kistik dan lain lain. Sel penghasil mukus
memiliki rambut halus (silia) yang selalu bergerak untuk mendorong cairan mukus keluar
dari rongga sinus. Asap rokok merupakan biang kerok dari rusaknya rambut halus ini
sehingga pengeluaran cairan mukus menjadi terganggu. Cairan mukus yang terakumulasi di
rongga sinus dalam jangka waktu yang lama merupakan tempat yang nyaman bagi hidupnya
bakteri, virus dan jamur.

Apa saja tipe sinusitis?

Sinusitis dapat dibagi menjadi dua tipe besar yaitu berdasarkan lamanya penyakit (akut,
subakut, khronis) dan berdasarkan jenis peradangan yang terjadi (infeksi dan non infeksi).
Disebut sinusitis akut bila lamanya penyakit kurang dari 30 hari. Sinusitis subakut bila
lamanya penyakit antara 1 bulan sampai 3 bulan, sedangkan sinusitis khronis bila penyakit
diderita lebih dari 3 bulan. Sinusitis infeksi biasanya disebabkan oleh virus walau pada
beberapa kasus ada pula yang disebabkan oleh bakteri. Sedangkan sinusitis non infeksi
sebagian besar disebabkan oleh karena alergi dan iritasi bahan bahan kimia. Sinusitis subakut
dan khronis sering merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang tidak mendapatkan
pengobatan adekuat.

Apa saja gejala sinusitis?

Gejala sinusitis yang paling umum adalah sakit kepala, nyeri pada daerah wajah, serta
demam. Hampir 25% dari pasien sinusitis akan mengalami demam yang berhubungan dengan
sinusitis yang diderita. Gejala lainnya berupa wajah pucat, perubahan warna pada ingus,
hidung tersumbat, nyeri menelan, dan batuk. Beberapa pasien akan merasakan sakit kepala
bertambah hebat bila kepala ditundukan ke depan. Pada sinusitis karena alergi maka
penderita juga akan mengalami gejala lain yang berhubungan dengan alerginya seperti gatal
pada mata, dan bersin bersin.

Bagaimana mendiagnosa sinusitis?

Sinusitis sebagian besar sudah dapat didiagnosa hanya berdasarkan pada riwayat keluhan
pasien serta pemeriksaan fisik yang dilakukan dokter. Hal ini juga disebabkan karena
pemeriksaan menggunakan CT Scan dan MRI yang walaupun memberikan hasil lebih akurat
namun biaya yang dikeluarkan cukup mahal. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan adanya
kemerahan dan pembengkakan pada rongga hidung, ingus yang mirip nanah, serta
pembengkakan disekitar mata dan dahi. Pemeriksaan menggunakan CT Scan dan MRI baru
diperlukan bila sinusitis gagal disembuhkan dengan pengobatan awal. Rhinoskopi, sebuah
cara untuk melihat langsung ke rongga hidung, diperlukan guna melihat lokasi sumbatan
ostia. Terkadang diperlukan penyedotan cairan sinus dengan menggunakan jarum suntik
untuk dilakukan pemeriksaan kuman. Pemeriksaan ini berguna untuk menentukan jenis
infeksi yang terjadi.

Bagaimana mengobati sinusitis?

Untuk sinusitis yang disebabkan oleh karena virus maka tidak diperlukan pemberian
antibiotika. Obat yang biasa diberikan untuk sinusitis virus adalah penghilang rasa nyeri
seperti parasetamol dan dekongestan. Curiga telah terjadi sinusitis infeksi oleh bakteri bila
terdapat gejala nyeri pada wajah, ingus yang bernanah, dan gejala yang timbul lebih dari
seminggu. Sinusitis infeksi bakteri umumnya diobati dengan menggunakan antibiotika.
Pemilihan antibiotika berdasarkan jenis bakteri yang paling sering menyerang sinus karena
untuk mendapatkan antibiotika yang benar benar pas harus menunggu hasil dari biakan
kuman yang memakan waktu lama. Lima jenis bakteri yang paling sering menginfeksi sinus
adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis,
Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pyogenes. Antibiotika yang dipilih harus dapat
membunuh kelima jenis kuman ini. Beberapa pilihan antiobiotika antara lain amoxicillin,
cefaclor, azithromycin, dan cotrimoxazole. Jika tidak terdapat perbaikan dalam lima hari
maka perlu dipertimbangkan untuk memberikan amoxicillin plus asam klavulanat. Pemberian
antibiotika dianjurkan minimal 10 sampai 14 hari. Pemberian dekongestan dan mukolitik
dapat membantu untuk melancarkan drainase cairan mukus. Pada kasus kasus yang khronis,
dapat dipertimbangkan melakukan drainase cairan mukus dengan cara pembedahan.
Apa komplikasi dari sinusitis?

Komplikasi yang serius jarang terjadi, namun kemungkinan yang paling gawat adalah
penyebaran infeksi ke otak yang dapat membahayakan kehidupan.

Kesimpulan

Sinusitis jika diobati secara dini dengan pengobatan yang tepat akan mampu sembuh dengan
baik. Segeralah ke dokter jika anda menjumpai gejala gejala sinusitis. Dibaca sebanyak
30178 kali. Terima kasih.
Hidrosefalus (hydrocephalus) adalah keadaan dimana terdapat banyak cairan di otak, yaitu
pada ventrikel serebral, ruang subarachnoid, atau ruang subdural. Cairan ini disebut sebagai
cairan serebrospinal atau cerebrospinal fluid (CSF). CSF adalah cairan bening yang lazim
mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang. Hidrosefalus bisa terjadi sejak seseorang
dilahirkan atau muncul setelah terkena cedera atau sakit.

Penyebab Hidrosefalus

Hidrosefalus terjadi ketika:

 Produksi CSF berlebihan (jarang terjadi).


 Terjadi penyumbatan yang membuat CSF tidak bisa mengering (lebih umum terjadi).

Masalah-masalah pada CSF dapat disebabkan oleh:

 Tumor otak
 Kanker pada CSF
 Pembengkakan pada CSF (seperti sarkoidosis)
 Kista pada otak
 Malformasi otak, seperti:

- Sindrom Dandy-Walker
- Malformasi Arnold-Chiari
- Spina bifida

 Cedera otak
 Infeksi otak atau meninges yang dapat disebabkan oleh sejumlah agen, seperti bakteri,
mikrobakteri, jamur, virus, dan parasit seperti:

- Ensefalitis - radang otak


- Meningitis - radang pada selaput yang melindungi otak dan sumsum tulang belakang

 Masalah dengan pembuluh darah di otak


 Perdarahan ke dalam otak atau ruang CSF.

Faktor Risiko

Faktor yang dapat meningkatkan risiko terkena hidrosefalus, antara lain:

 Cacat tabung saraf - masalah perkembangan otak pada janin.


 Terjadi infeksi selama kehamilan, seperti:

- Cytomegalovirus
- Toxoplasmosis (toksoplasmosis)
- Lymphocytic choriomeningitis virus
- Chickenpox
- Mumps (gondong).
 Infeksi otak
 Malformasi otak
 Cedera otak
 Perdarahan otak.

Gejala Hidrosefalus

Gejala hidrosefalus tergantung pada tingkat keparahannya. CSF yang berlebih akan
memberikan tekanan pada otak. Gejala yang muncul bisa ringan sampai parah akibat
meningkatnya tekanan CSF. Gejala yang mungkin terjadi antara lain:

 Sakit kepala (sering bertambah buruk ketika berbaring atau saat bangun tidur)
 Mual/muntah
 Masalah dengan keseimbangan
 Sulit berjalan
 Koordinasi lemah
 Inkontinensia
 Perubahan kepribadian
 Linglung
 Masalah memori
 Dementia
 Koma hingga kematian.

Pada bayi, gejala yang mungkin terjadi yaitu:

 Perkembangan yang lambat


 Kehilangan hasil perkembangan - tidak mampu lagi melakukan kegiatan yang
sebelumnya bisa mereka lakukan
 Bulging fontanelle (titik lembut pada kepala)
 Lingkar kepala besar

Diagnosa Hidrosefalus

Untuk menegakkan diagnosa hidrosefalus, beberapa jenis pemeriksaan pada otak yang akan
dilakukan adalah:

 Computed tomography scan (CT-Scan) - jenis pemeriksaan X-ray yang menggunakan


komputer untuk membuat gambar bagian dalam otak.
 Magnetic Resonance Imaging scan (MRI-scan) - pemeriksaan yang menggunakan
gelombang magnetik untuk membuat gambar bagian dalam otak.
 USG - pemeriksaan yang menggunakan gelombang suara untuk memeriksa otak.
MRI Scan otak dengan hidrosefalus (kiri) dan MRI Scan otak normal (kanan). Area gelap
yang besar di sebelah kiri adalah ventrikel, menjadi lebih besar karena penumpukan CSF.
Gambar:seattlechildrens.org.

Pengobatan Hidrosefalus

Pengobatan untuk hidrosefalus antara lain:

 Pemasangan shunt (ventriculoperitoneal shunt) - shunt (semacam selang yang


ditempatkan di dalam otak) akan mengalirkan CSF ke daerah lain, biasanya perut.
 Third ventriculostomy - tiga lubang dibuat di otak. CSF akan mengalir keluar dari
area penumpukannya.
 Menghilangkan obstruksi aliran CSF - Contoh: menghilangkan tumor atau kista
 Lumbar puncture (spinal tap) atau pungsi lumbal - penyisipan jarum di antara tulang
belakang untuk membuang kelebihan CSF.
 Obat - dalam beberapa kasus, obat-obatan seperti acetazolamide dan furosemide dapat
menurunkan produksi CSF.
 Obat-obatan lain seperti steroid atau manitol dapat menurunkan pembengkakan di
sekitar lesi yang menyebabkan obstruksi aliran CSF.

Orang-orang yang memiliki faktor risiko mengidap hidrosefalus harus dipantau dengan
seksama. Pengobatan secara dini akan mencegah komplikasi jangka panjang. Jika berisiko
mengidap hidrosefalus, harus mengikuti petunjuk dokter.
Mencegah Hidrosefalus

Belum ditemukan cara tepat untuk mencegah hidrosefalus. Namun pencegahan secara umum
adalah:

 Periksa kehamilan secara rutin


 Vaksinasi anak Anda
 Lindungi diri dan anak Anda dari cedera kepala.

Infeksi tertentu selama kehamilan dapat menyebabkan hidrosefalus pada bayi yang akan
dilahirkan. Beberapa contoh infeksi yang dapat menyebabkan masalah selama kehamilan
antara lain:

 Toxoplasmosis, yang dapat dicegah dengan:

- Masak daging dan sayuran dengan benar


- Menjaga kebersihan alat-alat makan, termasuk pisau
- Hindari kontak dengan kotoran kucing, pakai selalu sarung tangan saat
membersihkan sampah.

 Cytomegalovirus (CMV) - tanyakan pada dokter bagaiamana mengidentifikasi CMV


saat kehamilan
 Lymphocytic choriomeningitis virus (LCV) dari hewan pengerat (tikus, hamster) -
hindari kontak dengan hewan pengerat selama kehamilan.
 Virus yang menyebabkan cacar air atau gondong - dapat dicegah dengan vaksinasi. 
Kanker Payudara
DEFINISI

Kanker Payudara adalah tumor ganas yang tumbuh di dalam jaringan payudara.

Kanker bisa mulai tumbuh di dalam kelenjar susu, saluran susu, jaringan lemak maupun
jaringan ikat pada payudara.

Terdapat beberapa jenis kanker payudara:

1. Karsinoma in situ
Karsinoma in situ artinya adalah kanker yang masih berada pada tempatnya, merupakan
kanker dini yang belum menyebar atau menyusup keluar dari tempat asalnya.
2. Karsinoma duktal
Karsinoma duktal berasal dari sel-sel yang melapisi saluran yang menuju ke puting susu.
Sekitar 90% kanker payudara merupakan karsinoma duktal.
Kanker ini bisa terjadi sebelum maupun sesudah masa menopause.
Kadang kanker ini dapat diraba dan pada pemeriksaan mammogram, kanker ini tampak
sebagai bintik-bintik kecil dari endapan kalsium (mikrokalsifikasi).
Kanker ini biasanya terbatas pada daerah tertentu di payudara dan bisa diangkat secara
keseluruhan melalui pembedahan.
Sekitar 25-35% penderita karsinoma duktal akan menderita kanker invasif (biasanya pada
payudara yang sama).
3. Karsinoma lobuler
Karsinoma lobuler mulai tumbuh di dalam kelenjar susu, biasanya terjadi setelah menopause.
Kanker ini tidak dapat diraba dan tidak terlihat pada mammogram, tetapi biasanya
ditemukan secara tidak sengaja pada mammografi yang dilakukan untuk keperluan lain.
Sekitar 25-30% penderita karsinoma lobuler pada akhirnya akan menderita kanker invasif
(pada payudara yang sama atau payudara lainnya atau pada kedua payudara).
4. Kanker invasif
Kanker invasif adalah kanker yang telah menyebar dan merusak jaringan lainnya, bisa
terlokalisir (terbatas pada payudara) maupun metastatik (menyebar ke bagian tubuh
lainnya).
Sekitar 80% kanker payudara invasif adalah kanker duktal dan 10% adalah kanker lobuler.
5. Karsinoma meduler
Kanker ini berasal dari kelenjar susu.
6. Karsinoma tubuler
Kanker ini berasal dari kelenjar susu.
PENYEBAB

Penyebabnya tidak diketahui, tetapi ada beberapa faktor resiko yang menyebabkan seorang
wanita menjadi lebih mungkin menderita kanker payudara.
Beberapa faktor resiko tersebut adalah:

1. Usia.
Sekitar 60% kanker payudara terjadi pada usia diatas 60 tahun. Resiko terbesar ditemukan
pada wanita berusia diatas 75 tahun.
2. Pernah menderita kanker payudara.
Wanita yang pernah menderita kanker in situ atau kanker invasif memiliki resiko tertinggi
untuk menderita kanker payudara.
Setelah payudara yang terkena diangkat, maka resiko terjadinya kanker pada payudara yang
sehat meningkat sebesar 0,5-1%/tahun.
3. Riwayat keluarga yang menderita kanker payudara.
Wanita yang ibu, saudara perempuan atau anaknya menderita kanker, memiliki resiko 3 kali
lebih besar untuk menderita kanker payudara.
4. Faktor genetik dan hormonal.
Telah ditemukan 2 varian gen yang tampaknya berperan dalam terjadinya kanker payudara,
yaitu BRCA1 dan BRCA2. Jika seorang mwanita memiliki salah satu dari gen tersebut, maka
kemungkinan menderita kanker payudara sangat besar.
Gen lainnya yang juga diduga berperan dalam terjadinya kanker payudara adalah p53,
BARD1, BRCA3 dan Noey2.
Kenyataan ini menimbulkan dugaan bahwa kanker payudara disebabkan oleh pertumbuhan
sel-sel yang secara genetik mengalami kerusakan.
Faktor hormonal juga penting karena hormon memicu pertumbuhan sel. Kadar hormon yang
tinggi selama masa reproduktif wanita, terutama jika tidak diselingi oleh perubahan
hormonal karena kehamilan, tampaknya meningkatkan peluang tumbuhnya sel-sel yang
secara genetik telah mengalami kerusakan dan menyebabkan kanker.
5. Pernah menderita penyakit payudara non-kanker.
Resiko menderita kanker payudara agak lebih tinggi pada wanita yang pernah menderita
penyakit payudara non-kanker yang menyebabkan bertambahnya jumlah saluarn air susu
dan terjadinya kelainan struktur jaringan payudara (hiperplasia atipik).
6. Menarke (menstruasi pertama) sebelum usia 12 tahun, menopause setelah usia 55 tahun,
kehamilan pertama setelah usia 30 tahun atau belum pernah hamil.
Semakin dini menarke, semakin besar resiko menderita kanker payudara. Resiko menderita
kanker payudara adalah 2-4 kali lebih besar pada wanita yang mengalami menarke sebelum
usia 12 tahun.
Demikian pula halnya dengan menopause ataupun kehamilan pertama. Semakin lambat
menopause dan kehamilan pertama, semakin besar resiko menderita kanker payudara
7. Pemakaian pil KB atau terapi sulih estrogen.
Pil KB bisa sedikit meningkatkan resiko terjadinya kanker payudara, yang tergantung kepada
usia, lamanya pemakaian dan faktor lainnya. Belum diketahui berapa lama efek pil akan tetap
ada setelah pemakaian pil dihentikan.
Terapi sulih estrogen yang dijalani selama lebih dari 5 tahun tampaknya juga sedikit
meningkatkan resiko kanker payudara dan resikonya meningkat jika pemakaiannya lebih
lama.
8. Obesitas pasca menopause.
Obesitas sebagai faktor resiko kanker payudara masih diperdebatkan. Beberapa penelitian
menyebutkan obesitas sebagai faktor resiko kanker payudara kemungkinan karena tingginya
kadar estrogen pada wanita yang obes.
9. Pemakaian alkohol.
Pemakaian alkoloh lebih dari 1-2 gelas/hari bisa meningkatkan resiko terjadinya kanker
payudara.
10. Bahan kimia.
Beberapa penelitian telah menyebutkan pemaparan bahan kimia yang menyerupai estrogen
(yang terdapat di dalam pestisida dan produk industri lainnya) mungkin meningkatkan resiko
terjadinya kanker payudara.
11. DES (dietilstilbestrol).
Wanita yang mengkonsumsi DES untuk mencegah keguguran memiliki resiko tinggi
menderita kanker payudara.
12. Penyinaran.
Pemaparan terhadap penyinaran (terutama penyinaran pada dada), pada masa kanak-kanak
bisa meningkatkan resiko terjadinya kanker payudara.
13. Faktor resiko lainnya.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kanker rahim, ovarium dan kanker usus besar serta
adanya riwayat kanker dalam keluarga bisa meningkatkan resiko terjadinya kanker payudara.
GEJALA

 Gejala awal berupa sebuah benjolan yang biasanya dirasakan berbeda dari jaringan payudara
di sekitarnya, tidak menimbulkan nyeri dan biasanya memiliki pinggiran yang tidak teratur.
 Pada stadium awal, jika didorong oleh jari tangan, benjolan bisa digerakkan dengan mudah di
bawah kulit.
 Pada stadium lanjut, benjolan biasanya melekat pada dinding dada atau kulit di sekitarnya.
 Pada kanker stadium lanjut, bisa terbentuk benjolan yang membengkak atau borok di kulit
payudara. Kadang kulit diatas benjolan mengkerut dan tampak seperti kulit jeruk.

Gejala lainnya yang mungkin ditemukan:

 Benjolan atau massa di ketiak


 Perubahan ukuran atau bentuk payudara
 Keluar cairan yang abnormal dari puting susu (biasanya berdarah atau berwarna kuning
sampai hijau, mungkin juga bernanah)
 Perubahan pada warna atau tekstur kulit pada payudara, puting susu maupun areola (daerah
berwana coklat tua di sekeliling puting susu)
 Payudara tampak kemerahan
 Kulit di sekitar puting susu bersisik
 Puting susu tertarik ke dalam atau terasa gatal
 Nyeri payudara atau pembengkakan salah satu payudara .
 Pada stadium lanjut bisa timbul nyeri tulang, penurunan berat badan, pembengkakan lengan
atau ulserasi kulit.

Penyaringan
Kanker pada stadium awal jarang menimbulkan gejala, karena itu sangat penting untuk
melakukan penyaringan.

Beberapa prosedur yang digunakan untuk penyaringan kanker payudara:

1. SADARI (Pemeriksaan Payudara Sendiri).


Jika SADARI dilakukan secara rutin, seorang wanita akan dapat menemukan benjolan pada
stadium dini.
Sebaiknya SADARI dilakukan pada waktu yang sama setiap bulan. Bagi wanita yang masih
mengalami menstruasi, waktu yang paling tepat untuk melakukan SADARI adalah 7-10 hari
sesudah hari 1 menstruasi. Bagi wanita pasca menopause, SADARI bisa dilakukan kapan saja,
tetapi secara rutin dilakuka setiap bulan (misalnya setiap awal bulan).
2. Mammografi.
Pada mammografi digunakan sinar X dosis rendah untuk menemukan daerah yang abnormal
pada payudara.
Para ahli menganjurkan kepada setiap wanita yang berusia diatas 40 tahun untuk melakukan
mammogram secara rutin setiap 1-2 tahun dan pada usia 50 tahun keatas mammogarm
dilakukan sekali/tahun.
3. USG payudara.
USG digunakan untuk membedakan kista (kantung berisi cairan) dengan benjolan padat.
4. Termografi.
Pada termografi digunakan suhu untuk menemukan kelainan pada payudara.

SADARI (Pemeriksaan Payudara Sendiri)


1. Berdiri di depan cermin, perhatikan payudara. Dalam keadaan normal, ukuran payudara kiri
dan kanan sedikit berbeda. Perhatikan perubahan perbedaan ukuran antara payudara kiri
dan kanan dan perubahan pada puting susu (misalnya tertarik ke dalam) atau keluarnya
cairan dari puting susu. Perhatikan apakah kulit pada puting susu berkerut.
2. Masih berdiri di depan cermin, kedua telapak tangan diletakkan di belakang kepala dan
kedua tangan ditarik ke belakang. Dengan posisi seperti ini maka akan lebih mudah untuk
menemukan perubahan kecil akibat kanker. Perhatikan perubahan bentuk dan kontur
payudara, terutama pada payudara bagian bawah.
3. Kedua tangan di letakkan di pinggang dan badan agak condong ke arah cermin, tekan bahu
dan sikut ke arah depan. Perhatikan perubahan ukuran dan kontur payudara.
4. Angkat lengan kiri. Dengan menggunakan 3 atau 4 jari tangan kanan, telusuri payudara kiri.
Gerakkan jari-jari tangan secara memutar (membentuk lingkaran kecil) di sekeliling payudara,
mulai dari tepi luar payudara lalu bergerak ke arah dalam sampai ke puting susu. Tekan
secara perlahan, rasakan setiap benjolan atau massa di bawah kulit.
Lakukan hal yang sama terhadap payudara kanan dengan cara mengangkat lengan kanan dan
memeriksanya dengan tangan kiri.
Perhatikan juga daerah antara kedua payudara dan ketiak.
5. Tekan puting susu secara perlahan dan perhatikan apakah keluar cairan dari puting susu.
Lakukan hal ini secara bergantian pada payudara kiri dan kanan.
6. Berbaring terlentang dengan bantal yang diletakkan di bawah bahu kiri dan lengan kiri ditarik
ke atas. Telusuri payudara kiri dengan menggunakan jari-jari tangan kanan. Dengan posisi
seperti ini, payudara akan mendatar dan memudahkan pemeriksaan.
Lakukan hal yang sama terhadap payudara kanan dengan meletakkan bantal di bawah bahu
kanan dan mengangkat lengan kanan, dan penelusuran payudara dilakukan oleh jari-jari
tangan kiri.

Pemeriksaan no. 4 dan 5 akan lebih mudah dilakukan ketika mandi karena dalam keadaan
basah tangan lebih mudah digerakkan dan kulit lebih licin.
DIAGNOSA

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala, hasil pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan
berikut:

 Biopsi (pengambilan contoh jaringan payudara untuk diperiksa dengan mikroskop)


 Rontgen dada
 Pemeriksaan darah untuk menilai fungsi hati dan penyebaran kanker
 Skening tulang (dilakukan jika tumornya besar atau ditemukan pembesaran kelenjar getah
bening)
 Mammografi
 USG payudara.

Staging (Penentuan Stadium Kanker)

Penentuan stadium kanker penting sebagai panduan pengobatan, follow-up dan menentukan
prognosis.

Staging kanker payudara (American Joint Committee on Cancer):

 Stadium 0 : Kanker in situ dimana sel-sel kanker berada pada tempatnya di dalam jaringan
payudara yang normal
 Stadium I : Tumor dengan garis tengah kurang dari 2 cm dan belum menyebar keluar
payudara
 Stadium IIA : Tumor dengan garis tengah 2-5 cm dan belum menyebar ke kelenjar getah
bening ketiak atau tumor dengan garis tengah kurang dari 2 cm tetapi sudah menyebar ke
kelenjar getah bening ketiak
 Stadium IIB : Tumor dengan garis tengah lebih besar dari 5 cm dan belum menyebar ke
kelenjar getah bening ketiak atau tumor dengan garis tengah 2-5 cm tetapi sudah menyebar
ke kelenjar getah bening ketiak
 Stadium IIIA : Tumor dengan garis tengah kurang dari 5 cm dan sudah menyebar ke kelenjar
getah bening ketiak disertai perlengketan satu sama lain atau perlengketah ke struktur
lainnya; atau tumor dengan garis tengah lebih dari 5 cm dan sudah menyebar ke kelenjar
getah bening ketiak
 Stadium IIIB : Tumor telah menyusup keluar payudara, yaitu ke dalam kulit payudara atau ke
dinding dada atau telah menyebar ke kelenjar getah bening di dalam dinding dada dan tulang
dada
 Stadium IV : Tumor telah menyebar keluar daerah payudara dan dinding dada, misalnya ke
hati, tulang atau paru-paru.

Selain stadium kanker, terdapat faktor lain yang mempengaruhi jenis pengobatan dan
prognosis:

 Jenis sel kanker


 Gambaran kanker
 Respon kanker terhadap hormon
Kanker yang memiliki reseptor estrogen tumbuh secara lebih lambat dan lebih sering
ditemukan pada wanita pasca menopause.
 Ada atau tidaknya gen penyebab kanker payudara.
PENGOBATAN

 Biasanya pengobatan dimulai setelah dilakukan penilaian secara menyeluruh terhadap


kondisi penderita, yaitu sekitar 1 minggu atau lebih setelah biopsi.
 Pengobatannya terdiri dari pembedahan, terapi penyinaran, kemoterapi dan obat
penghambat hormon.
 Terapi penyinaran digunakan membunuh sel-sel kanker di tempat pengangkatan tumor dan
daerah sekitarnya, termasuk kelenjar getah bening.
 Kemoterapi (kombinasi obat-obatan untuk membunuh sel-sel yang berkembanganbiak
dengan cepat atau menekan perkembangbiakannya) dan obat-obat penghambat hormon
(obat yang mempengaruhi kerja hormon yang menyokong pertumbuhan sel kanker)
digunakan untuk menekan pertumbuhan sel kanker di seluruh tubuh.

Pengobatan untuk kanker payudara yang terlokalisir

 Untuk kanker yang terbatas pada payudara, pengobatannya hampir selalu meliputi
pembedahan (yang dilakukan segera setelah diagnosis ditegakkan) untuk mengangkat
sebanyak mungkin tumor.
 Terdapat sejumlah pilihan pembedahan, pilihan utama adalah mastektomi (pengangkatan
seluruh payudara) atau pembedahan breast-conserving (hanya mengangkat tumor dan
jaringan normal di sekitarnya).

Pembedahan breast-conserving

1. Lumpektomi : pengangkatan tumor dan sejumlah kecil jaringan normal di sekitarnya


2. Eksisi luas atau mastektomi parsial : pengangkatan tumor dan jaringan normal di sekitarnya
yang lebih banyak
3. Kuadrantektomi : pengangkatan seperempat bagian payudara.

 Pengangkatan tumor dan beberapa jaringan normal di sekitarnya memberikan peluang


terbaik untuk mencegah kambuhnya kanker.
 Keuntungan utama dari pembedahan breast-conserving ditambah terapi penyinaran adalah
kosmetik.
 Biasanya efek samping dari penyinaran tidak menimbulkan nyeri dan berlangsung tidak lama.
Kulit tampak merah atau melepuh.

Mastektomi

1. Mastektomi simplek : seluruh jaringan payudara diangkat tetapi otot dibawah payudara
dibiarkan utuh dan disisakan kulit yang cukup untuk menutup luka bekas operasi.
Rekonstruksi payudara lebih mudah dilakukan jika otot dada dan jaringan lain dibawah
payudara dibiarkan utuh.
Prosedur ini biasanya digunakan untuk mengobati kanker invasif yang telah menyebar luar ke
dalam saluran air susu, karena jika dilakukan pembedahan breast-conserving, kanker sering
kambuh.
2. Mastektomi simplek ditambah diseksi kelenjar getah bening atau modifikasi mastektomi
radikal : seluruh jaringan payudara diangkat dengan menyisakan otot dan kulit, disertai
pengangkatan kelenjar getah bening ketiak.
3. Mastektomi radikal : seluruh payudara, otot dada dan jaringan lainnya diangkat.
 Terapi penyinaran yang dilakukan setelah pembedahan, akan sangat mengurangi resiko
kambuhnya kanker pada dinding dada atau pada kelenjar getah bening di sekitarnya.
 Ukuran tumor dan adanya sel-sel tumor di dalam kelenjar getah bening mempengaruhi
pemakaian kemoterapi dan obat penghambat hormon.
 Beberapa ahli percaya bahwa tumor yang garis tengahnya lebih kecil dari 1,3 cm bisa diatasi
dengan pembedahan saja. Jika garis tengah tumor lebih besar dari 5 cm, setelah
pembedahan biasanya diberikan kemoterapi. Jika garis tengah tumor lebih besar dari 7,6 cm,
kemoterapi biasanya diberikan sebelum pembedahan.

 Penderita karsinoma lobuler in situ bisa tetap berada dalam pengawasan ketat dan tidak
menjalani pengobatan atau segera menjalani mastektomi bilateral (pengangkatan kedua
payudara).
 Hanya 25% karsinoma lobuler yang berkembang menjadi kanker invasif sehingga banyak
penderita yang memilih untuk tidak menjalani pengobatan.
 Jika penderita memilih untuk menjalani pengobatan, maka dilakukan mastektomi bilateral
karena kanker tidak selalu tumbuh pada payudara yang sama dengan karsinoma lobuler.
 Jika penderita menginginkan pengobatan selain mastektomi, maka diberikan obat
penghambat hormon yaitu Tamoxifen.

 Setelah menjalani mastektomi simplek, kebanyakan penderita karsinoma duktal in situ tidak
pernah mengalami kekambuhan.
 Banyak juga penderita yang menjalani lumpektomi, kadang dikombinasi dengan terapi
penyinaran.
 Kanker payudara inflamatoir adalah kanker yang sangat serius meskipun jarang terjadi.
Payudara tampak seperti terinfeksi, teraba hangat, merah dan membengkak.
 Pengobatannya terdiri dari kemoterapi dan terapi penyinaran.

Rekonstruksi payudara

 Untuk rekonstruksi payudara bisa digunakan implan silikon atau salin maupun jaringan yang
diambil dari bagian tubuh lainnya.
 Rekonstruksi bisa dilakukan bersamaan dengan mastektomi atau bisa juga dilakukan di
kemudian hari.

 Akhir-akhir ini keamanan pemakaian silikon telah dipertanyakan. Silikon kadang merembes
dari kantongnya sehingga implan menjadi keras, menimbulkan nyeri dan bentuknya berubah.
Selain itu, silikon kadang masuk ke dalam laliran darah.

Kemoterapi & Obat Penghambat Hormon

 Kemoterapi dan obat penghambat hormon seringkali diberikan segera setelah pembedahan
dan dilanjutkan selama beberapa bulan atau tahun.
 Pengobatan ini menunda kembalinya kanker dan memperpanjang angka harapan hidup
penderita.
 Pemberian beberapa jenis kemoterapi lebih efektif dibandingkan dengan kemoterapi
tunggal. Tetapi tanpa pembedahan maupun penyinara, obat-obat tersebut tidak dapat
menyembuhkan kanker payudara.

 Efek samping dari kemoterapi bisa berupa mual, lelah, muntah, luka terbuka di mulut yang
menimbulkan nyeri atau kerontokan rambut yang sifatnya sementara.
 Pada saat ini muntah relatif jarang terjadi karena adanya obat ondansetron. Tanpa
ondansetron, penderita akan muntah sebanyak 1-6 kali selama 1-3 hari setelah kemoterapi.
Berat dan lamanya muntah bervariasi, tergantung kepada jenis kemoterapi yang digunakan
dan penderita.
 Selama beberapa bulan, penderita juga menjadi lebih peka terhadap infeksi dan perdarahan.
 Tetapi pada akhirnya efek samping tersebut akan menghilang.

 Tamoxifen adalah obat penghambat hormon yang bisa diberikan sebagai terapi lanjutan
setelah pembedahan.
 Tamoxifen secara kimia berhubungan dengan esrogen dan memiliki beberapa efek yang
sama dengan terapisulih hormon (misalnya mengurangi resiko terjadinya osteoporosis dan
penyakit jantung serta meningkatkan resiko terjadinya kanker rahim). Tetapi Tamoxifen tidak
mengurangi hot flashes ataupun merubah kekeringan vagina akibat menopause.

Pengobatan kanker payudara yang telah menyebar

 Kanker payudara bisa menyebar ke berbagai bagian tubuh. Bagian tubuh yang paling sering
diserang adalah paru-paru, hati, tulang, kelenjar getah bening, otak dan kulit.
 Kanker muncul pada bagian tubuh tersebut dalam waktu bertahun-tahun atau bahkan
berpuluh-puluh tahun setelah kanker terdiagnosis dan diobati.

 Penderita kanker payudara yang telah menyebar tetapi tidak menunjukkan gejala biasanya
tidak akan memperoleh keuntungan dari pengobatan. Akibatnya pengobatan seringkali
ditunda sampai timbul gejala (misalnya nyeri) atau kanker mulai memburuk.
 Jika penderita merasakan nyeri, diberikan obat penghambat hormon atau kemoterapi untuk
menekan pertumbuhan sel kanker di seluruh tubuh.
 Tetapi jika kanker hanya ditemukan di tulang, maka dilakukan terapi penyinaran. Terapi
penyinaran merupakan pengobatan yang paling efektif untuk kanker tulang dan kanker yang
telah menyebar ke otak.

Obat penghambat hormon lebih sering diberikan kepada:

 Kanker yang didukung oleh estrogen


 Penderita yang tidak menunjukkan tanda-tanda kanker selama lebih dari 2 tahun setelah
terdiagnosis – kanker yang tidak terlalu mengancam jiwa penderita.
 Obat tersebut sangat efektif jika diberikan kepada penderita yang berusia 40 tahun dan
masih mengalami menstruasi serta menghasilkan estrogen dalam jumlah besar atau kepada
penderita yang 5 tahun lalu mengalami menopause.

 Tamoxifen memiliki sedikit efek samping sehngga merupakan obat pilihan pertama.
 Selain itu, untuk menghentikan pembentukan estrogen bisa dilakukan pembedahan untuk
mengangkat ovarium (indung telur) atau terapi penyinaran untuk menghancurkan ovarium.

 Jika kanker mulai menyebar kembali berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah pemberian
obat penghambat hormon, maka digunakan obat penghambat hormon yang lain.
 Aminoglutetimid adalah obat penghambat hormon yang banyak digunakan untuk mengatasi
rasa nyeri akibat kanker di dalam tulang. Hydrocortisone (suatu hormon steroid) biasanya
diberikan pada saat yang bersamaan, karena aminoglutetimid menekan pembentukan
Hydrocortisone alami oleh tubuh.
 Kemoterapi yang paling efektif adalah cyclophosphamide, doxorubicin, paclitaxel, dosetaxel,
vinorelbin dan mitomycin C. Obat-obat ini seringkali digunakan sebagai tambahan pada
pemberian obat penghambat hormon.

PROGNOSIS

Stadium klinis dari kanker payudara merupakan indikator terbaik untuk menentukan
prognosis penyakit ini.
Angka kelangsungan hidup 5 tahun pada penderita kanker payudara yang telah menjalani
pengobatan yang sesuai mendekati:

 95% untuk stadium 0


 88% untuk stadium I
 66% untuk stadium II
 36% untuk stadium III
 7% untuk stadium IV

PENCEGAHAN

 Banyak faktor resiko yang tidak dapat dikendalikan.


 Beberapa ahli diet dan ahli kanker percaya bahwa perubahan diet dan gaya hidup secara
umum bisa mengurangi angka kejadian kanker.

 Diusahakan untuk melakukan diagnosis dini karena kanker payudara lebih mudah diobati dan
bisa disembhan jika masih pada stadium dini.
 SADARI, pemeriksan payudara secara klinis dan mammografi sebagai prosedur penyaringan
merupakan 3 alat untuk mendeteksi kanker secara dini.

 Penelitian terakhir telah menyebutkan 2 macam obat yang terbukti bisa mengurangi resiko
kanker payudara, yaitu tamoksifen dan raloksifen. Keduanya adalah anti estrogen di dalam
jaringan payudara.
 Tamoksifen telah banyak digunakan untuk mencegah kekambuhan pada penderita yang telah
menjalani pengobatan untuk kanker payudara.
 Obat ini bisa digunakan pada wanita yang memiliki resiko sangat tinggi.

 Mastektomi pencegahan adalah pembedahan untuk mengangkat salah satu atau kedua
payudara dan merupakan pilihan untuk mencegah kanker payudara pada wanita yang
memiliki resiko sangat tinggi (misalnya wanita yang salah satu payudaranya telah diangkat
karena kanker, wanita yang memiliki riwayat keluarga yang menderita kanker payudara dan
wanita yang memiliki gen p53, BRCA1 atauk BRCA 2).
Epilepsi (berasal dari kata kerja Yunani Kuno ἐπιλαμβάνειν yang berarti "menguasai,
memiliki, atau menimpa")[1] adalah sekelompok gangguan neurologis jangka panjang yang
cirinya ditandai dengan serangan-serangan epileptik.[2] Serangan epileptik ini episodenya bisa
bermacam-macam mulai dari serangan singkat dan hampir tak terdeteksi hingga guncangan
kuat untuk periode yang lama.[3] Dalam epilepsi, serangan cenderung berulang, dan tidak ada
penyebab yang mendasari secara langsung [2] sementara serangan yang disebabkan oleh
penyebab khusus tidak dianggap mewakili epilepsi.[4]

Dalam kebanyakan kasus, penyebabnya tidak diketahui, walaupun beberapa orang menderita
epilepsi sebagai akibat dari cedera otak, stroke, kanker otak, dan penyalahgunaan obat dan
alkohol, di antaranya. Kejang epileptik adalah akibat dari aktivitas sel saraf kortikal yang
berlebihan dan tidak normal di dalam otak.[4] Diagnosisnya biasanya termasuk menyingkirkan
kondisi-kondisi lain yang mungkin menyebabkan gejala-gejala serupa (seperti sinkop) serta
mencari tahu apakah ada penyebab-penyebab langsung. Epilepsi sering bisa dikonfirmasikan
dengan elektroensefalografi (EEG).

Epilepsi tidak bisa disembuhkan, tetapi serangan-serangan bisa dikontrol dengan pengobatan
pada sekitar 70% kasus.[5] Bagi mereka yang serangannya tidak berespon terhadap
pengobatan, bedah, stimulasi saraf atau perubahan asupan makanan bisa dipertimbangkan.
Tidak semua gejala epilepsi berlangsung seumur hidup, dan sejumlah besar orang mengalami
perbaikan bahkan hingga pengobatan tidak diperlukan lagi. Epilepsi seperti halnya
tuberkulosis pengobatannya harus tuntas, walaupun tampaknya sudah sehat. Pada epilepsi
pengobatan dihentikan satu tahun setelah serangan terakhir.

Sekitar 1% penduduk dunia (65 juta) menderita epilepsi,[6] dan hampir 80% kasus muncul di
negara-negara berkembang.[3] Epilepsi menjadi lebih sering ditemui seiring dengan
berjalannya usia.[7][8] Di negara-negara maju, gejala awal dari kasus-kasus baru muncul paling
sering di kalangan anak-anak dan manula;[9] di negara-negara berkembang paling sering
muncul di kalangan anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa muda,[10] karena perbedaan
dalam kekerapan penyebab-penyebab yang mendasarinya. Sekitar 5–10% dari semua orang
akan mengalami kejang tanpa sebab sebelum mencapai usia 80,[11] dan kemungkinan
mengalami serangan kedua berkisar antara 40 dan 50%.[12] Di banyak wilayah dunia, mereka
yang menderita epilepsi dibatasi dalam mengemudi atau tidak diperbolehkan sama sekali,[13]
tetapi kebanyakan bisa kembali mengemudi setelah periode tertentu bebas serangan.

Tanda-tanda dan gejala-gejala

Putar media

Video mengenai serangan kejang


Seseorang yang menggigit ujung lidahnya saat mengalami serangan epilespi

Epilepsi ditandai dengan risiko jangka panjang untuk terjadinya serangan berulang.[14]
Serangan ini bisa terjadi dalam beberapa cara tergantung pada bagian otak mana yang terlibat
dan usia penderita.[14][15]

Serangan

Jenis serangan epilepsi yang paling umum (60%) adalah konvulsi/kejang.[15] Dari serangan-
serangan ini, dua per tiga mulai dengan serangan kejang fokal (yang kemudian bisa menjadi
umum) sementara sepertiganya mulai dengan serangan kejang umum.[15] Sisa 40% jenis
serangan lainnya adalah non konvulsi. Contoh dari jenis ini adalah serangan absans, yang
menunjukkan adanya penurunan level kesadaran dan biasanya berlangsung sekitar 10 detik.
[16][17]

Serangan epilepsi fokal sering diawali dengan pengalaman tertentu, yang dikenal sebagai
aura.[18] Ini bisa termasuk: fenomena indera (penglihat, pendengar atau pembau), psikis,
otonomik, atau motorik.[16] Kekejangan bisa mulai dengan sekelompok otot tertentu dan
menyebar ke kelompok otot sekitarnya yang dikenal sebagai serangan epilepsi Jacksonian.[19]
Otomatisme bisa terjadi; ini adalah gerakan yang tidak disadari dan kebanyakan gerakan
berulang sederhana seperti memainkan bibir atau gerakan yang lebih kompleks seperti
mencoba mengambil sesuatu.[19]

Ada enam jenis utama serangan epilepsi umum: tonik-klonik, tonik, klonik, myoklonik,
absans, dan serangan atonik.[20] Semuanya melibatkan hilangnya kesadaran dan biasanya
terjadi tanpa peringatan. Serangan tonik-klonik terjadi dengan kontraksi anggota tubuh diikuti
dengan ekstensi disertai dengan punggung melengkung ke belakang yang berlangsung selama
10–30 detik (fase tonik). Jeritan mungkin terdengar karena kontraksi otot-otot dada. Ini
kemudian diikuti dengan gerakan anggota tubuh secara serempak (fase klonik). Serangan
tonik menyebabkan kontraksi otot terus-menerus. Penderita sering menjadi biru karena
pernafasan terhenti.Dalam serangan klonik anggota tubuh bergerak serempak. Setelah
gerakan terhenti, penderita mungkin perlu waktu 10–30 menit untuk kembali normal; periode
ini disebut "fase postiktal".

Hilangnya kontrol buang air besar atau air kecil bisa muncul selama serangan epilesi.[3] Ujung
atau sisi lidah bisa tergigit selama serangan epilespi.[21] Dalam kejang tonik-klonik, gigitan
pada sisi lidah lebih sering terjadi.[21] Gigitan lidah juga cukup biasa terjadi dalam serangan
psikogenik non-epileptik.[21]
Serangan miotonik melibatkan kejang otot di beberapa atau di seluruh area.[22] Serangan
absans [kehilangan kesadaran mendadak] bisa tersamar dengan hanya kepala menoleh sedikit
atau mata berkedip-kedip.[16] Orangnya tidak terjatuh dan kembali normal setelah serangan
terhenti.[16] Serangan atonik melibatkan hilangnya aktivitas otot selama lebih dari satu detik.
[19]
Ini biasanya terjadi di kedua sisi tubuh.[19]

Sekitar 6% dari penderita epilepsi mengalami serangan yang sering dipicu oleh kejadian-
kejadian khusus dan dikenal sebagai serangan refleks.[23] Penderita epilepsi refleks mengalami
serangan yang hanya dipicu oleh rangsangan tertentu. [24] Pemicu umum termasuk kilatan
cahaya dan suara-suara tiba-tiba.[23] Pada epilepsi jenis tertentu, serangan lebih sering terjadi
pada saat tidur,[25] dan pada jenis lain serangan-serangan terjadi hampir hanya waktu tidur.[26]

Postiktal

Setelah serangan aktif biasanya ada periode kebingungan yang disebut periode postiktal
sebelum tingkat kesadaran normal kembali.[18] Ini biasanya berlangsung selama 3 hingga 15
menit[27] tetapi bisa berlangsung selama berjam-jam.[28] Gejala umum lainnya termasuk:
merasa lelah, sakit kepala, susah bicara, dan tingkah laku abnormal.[28] Psikosis setelah
sebuah serangan cukup sering, terjadi pada 6-10% penderita.[29] Penderita sering tidak ingat
apa yang terjadi selama waktu ini.[28] Kelemahan lokal, dikenal sebagai kelumpuhan Todd,
bisa juga terjadi setelah serangan epilepsi fokal. Bila terjadi, ini biasanya berlangsung selama
beberapa detik hingga menit tetapi jarang berlansung selama satu atau dua hari.[30]

Psikososial

Epilepsi bisa memiliki efek merugikan pada kesejahteraan sosial dan psikologis seseorang.[15]
Efek-efek ini bisa termasuk isolasi sosial, stigmatisasi, atau ketidakmampuan.[15] Efek-efek itu
bisa menyebabkan pencapaian prestasi belajar yang rendah dan kesempatan kerja yang lebih
buruk.[15] Kesulitan belajar umum ditemukan pada penderita epilepsi, dan terutama dalam
anak-anak penderita epilepsi.[15] Stigma epilepsi bisa juga mempengaruhi keluarga penderita.
[3]

Gangguan-gangguan tertentu muncul lebih sering di kalangan penderita epilepsi, sebagian


tergantung pada gejala epilepsi yang ada. Ini bisa termasuk: depresi, gangguan cemas, dan
migrain.[31] Attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD) atau Gangguan Pemusatan
Pikiran/Hiperaktivitas (GPPH) mempengaruhi anak-anak penderita epilepsi tiga hingga lima
kali lebih sering dibandingkan anak-anak dalam populasi umum.[32] GPPH dan epilepsi
memiliki konsekuensi penting pada tingkah laku, kemampuan belajar dan perkembangan
sosial anak.[33] Epilepsi juga lebih sering terjadi pada mereka yang menderita autisme.[34]

Penyebab

Epilepsi bukanlah penyakit tunggal, melainkan suatu gejala yang dapat dihasilkan oleh
sejumlah gangguan berbeda.[15] Menurut definisinya, serangan epilepsi terjadi secara spontan
dan tanpa ada sebab langsung seperti pada penyakit akut.[6] Penyebab yang mendasari epilepsi
dapat diidentifikasikan sebagai masalah genetik, struktural, atau metabolisme, namun 60%[3]
[15]
kasus epilepsi tidak diketahui sebabnya.[35] Genetik, cacat bawaan lahir, dan gangguan
perkembangan lebih umum dialami mereka yang lebih muda, sedangkan tumor otak dan
stroke lebih mungkin pada orang yang lebih tua.[15] Serangan juga dapat terjadi sebagai akibat
masalah kesehatan lain;[20] jika serangan terjadi tepat setelah adanya sebab tertentu, seperti
stroke, cedera kepala, konsumsi bahan toksik, atau masalah metabolisme, serangan ini
disebut kejang simtomatik akut, dan termasuk kejang-kejang dalam klasifikasi yang lebih
luas gangguan terkait-kejang bukan epilepsi.[6][36] Banyak di antara sebab-sebab kejang
simtomatik akut yang juga dapat mengarah pada kejang yang disebutkan belakangan, yaitu
epilepsi sekunder.[3]

Genetik

Genetik diyakini ikut terlibat dalam sebagian besar kasus, baik secara langsung maupun tidak
langsung.[37] Beberapa penyakit epilepsi disebabkan oleh kerusakan gen tunggal (1-2%);
sebagian besar adalah akibat interaksi beberapa gen dan faktor lingkungan.[37] Masing-masing
kerusakan gen tunggal jarang terjadi, dengan lebih dari 200 telah diuraikan. [38] Beberapa gen
yang terlibat memengaruhi saluran ion, enzim, GABA, dan reseptor terkait protein G.[22]

Pada kembar identik, jika salah satu menderita epilepsi, ada kemungkinan 50-60% kembar
lainnya juga ikut menderita epilepsi.[37] Pada kembar non-identik, risikonya 15%.[37] Risiko ini
lebih besar pada penderita dengan kejang umum daripada kejang fokal.[37] Jika kedua kembar
tersebut menderita epilepsi, kebanyakan (70-90%) memiliki sindrom epilepsi yang sama.[37]
Kerabat dekat lainnya dari penderita epilepsi memiliki risiko lima kali lebih besar
dibandingkan mereka yang tidak.[39] Antara 1 dan 10% penderita sindrom Down dan 90%
penderita sindrom Angelman menderita epilepsi.[39]

Sekunder

Epilepsi dapat terjadi sebagai akibat sejumlah kondisi lain yang meliputi: tumor, stroke,
cedera kepala, infeksi sistem saraf pusat terdahulu, abnormalitas genetik, dan sebagai akibat
kerusakan otak saat persalinan.[3][20] Bagi mereka yang memiliki tumor otak, hampir 30%
penderitanya menderita epilepsi, yang terhitung dalam 4% penyebab kasus epilepsi.[39] Risiko
paling besar adalah pada tumor yang berada di lobus temporal dan tumor yang tumbuh secara
perlahan.[39] Lesi lain yang berupa massa seperti malformasi kavernosus serebral dan
malformasi arteriovena memiliki risiko sebesar 40Templat:Endash60%.[39] Mereka yang
pernah mengalami stroke, sebanyak 2-4% mengalami epilepsi di kemudian hari.[39] Di
Inggris, stroke bertanggung jawab atas 15% kasus epilepsi[15] dan hal ini diyakini bertanggung
jawab atas 30% kasus epilepsi pada lanjut usia.[39] Antara 6 hingga 20% kasus epilepsi
diyakini disebabkan oleh cedera kepala.[39] Cedera otak ringan meningkatkan risiko sekitar
dua kali lipat, sedangkan cedera otak berat meningkatkan risiko hingga tujuh kali lipat.[39]
Pada mereka yang pernah mengalami luka tembak berkekuatan tinggi pada kepala, risikonya
mencapai hampir 50%.[39]

Risiko epilepsi setelah mengalami meningitis atau radang selaput otak adalah kurang dari
10%; penyakit tersebut umumnya menyebabkan kejang selama terjadinya infeksi itu sendiri.
[39]
Pada ensefalitis herpes simpleks risiko timbulnya kejang berkisar 50%[39] disertai dengan
risiko tinggi timbulnya epilepsi setelahnya (mencapai 25%).[40][41] Infeksi akibat cacing pita
babi, yang dapat menyebabkan neurosistiserkosis, adalah penyebab lebih dari separuh kasus
epilepsi di daerah dimana parasit ini banyak ditemukan.[39] Epilepsi juga dapat terjadi setelah
infeksi otak lain seperti malaria serebral, toksoplasmosis, dan toksokariasis.[39] Penggunaan
alkohol menahun meningkatkan risiko epilepsi: mereka yang minum enam unit alkohol per
hari memiliki dua setengah kali lipat risiko.[39] Risiko lainnya termasuk penyakit Alzheimer,
multipel sklerosis, sklerosis tuberosa, dan ensefalitis autoimun.[39] Vaksinasi meningkatkan
risiko epilepsi.[39] Malnutrisi adalah faktor risiko yang banyak dijumpai di negara-negara
berkembang, meskipun tidak jelas apakah faktor ini menjadi penyebab langsung atau sekedar
ada hubungan.[10]

Sindrom

Ada sejumlah sindrom epilepsi yang biasanya dikelompokkan menurut usia pada saat awal
mulanya serangan yaitu: periode neonatus, kanak-kanak, dewasa, dan serangan tanpa
hubungan usia yang erat.[20] Selain itu, ada kelompok-kelompok dengan kumpulan gejala
spesifik, kelompok yang disebabkan oleh sebab-sebab metabolik atau struktural tertentu, dan
kelompok yang tidak diketahui penyebabnya.[20] Pengklasifikasian sebab epilepsi ke dalam
suatu sindrom tertentu lebih sering terjadi pada anak-anak.[36] Beberapa tipe tersebut antara
lain: epilepsi Roland benigna (2,8 per 100.000), epilepsi absans anak-anak (0,8 per 100.000)
dan epilepsi mioklonik juvenil (0,7 per 100.000).[36] Kejang demam dan kejang neonatal
benigna bukanlah jenis dari epilepsi.[20]

Mekanisme

Normalnya, aktivitas listrik otak bersifat tak-sinkron.[16] Pada kejang epilepsi, karena masalah
struktural atau fungsi di dalam otak,[3] sekelompok neuron/sel saraf mulai melepaskan muatan
listrik secara abnormal, berlebihan,[15] dan tersinkron.[16] Hal ini menghasilkan gelombang
depolarisasi yang disebut dengan pergeseran depolarisasi paroksismal.[42]

Normalnya, setelah sel saraf eksitatori melepas muatan listrik, sel saraf menjadi lebih resistan
untuk kembali melepas muatan listrik selama jangka waktu tertentu.[16] Hal ini disebabkan
oleh efek sel saraf inhibitorik, perubahan listrik di dalam sel saraf eksitatori, dan efek negatif
dari adenosin.[16] Pada epilepsi, resistansi sel saraf eksitatori untuk kembali melepas muatan
listrik selama periode ini berkurang.[16] Hal ini dapat terjadi karena adanya perubahan pada
saluran ion atau sel saraf penghambat tidak berfungsi dengan baik.[16] Kemudian, hal ini
berakibat pada timbulnya area tertentu yang daripadanya dapat timbul kejang, yang dikenal
sebagai "fokus kejang".[16] Mekanisme lain epilepsi kemungkinan adalah terjadinya
peningkatan sirkuit eksitatori atau pengurangan jumlah sirkuit inhibitori setelah terjadinya
cedera otak.[16][43] Epilepsi sekunder seperti ini terjadi melalui proses yang disebut dengan
epileptogenesis.[16][43] Kegagalan sawar darah otak juga dapat menjadi mekanisme penyebab
karena kegagalan ini memungkinkan zat-zat dalam darah memasuki otak.[44]

Kejang fokal dimulai di dalam satu hemisfer otak sedangkan kejang umum dimulai di kedua
hemisfer.[20] Beberapa jenis kejang dapat mengubah struktur otak, sedangkan jenis lain
tampaknya hanya memiliki sedikit efek.[45] Gliosis, hilangnya sel saraf, dan atrofi area
tertentu pada otak dikaitkan dengan epilepsi, namun hal ini belum jelas apakah epilepsi
menyebabkan perubahan-perubahan tersebut atau apakah perubahan ini mengakibatkan
epilepsi.[45]
Diagnosis

EEG dapat membantu menemukan fokus kejang pada penderita epilepsi.

Diagnosis epilepsi biasanya dilakukan berdasarkan deskripsi kejang dan peristiwa seputar
kejang.[15] Elektroensefalogram dan neuroimaging atau pencitraan sel saraf biasanya juga
menjadi bagian dari pemeriksaan medis.[15] Meskipun usaha untuk menemukan sindrom
epilepsi tertentu sering dilakukan, hal ini tidak selalu memungkinkan.[15] Pemantauan video
dan EEG jangka panjang dapat berguna pada kasus-kasus yang sulit.[46]

Definisi

Dalam praktik, epilepsi didefinisikan sebagai dua atau lebih serangan epilepsi, yang terpisah
lebih dari 24 jam, tanpa sebab yang jelas; sementara, serangan epilepsi didefinisikan sebagai
tanda dan gejala sementara yang dihasilkan oleh aktivitas listrik abnormal di dalam otak.[6]
Epilepsi juga dapat dilihat sebagai gangguan dimana seseorang sudah mengalami paling tidak
satu kejang epilepsi dengan risiko berkelanjutan untuk serangan selanjutnya.[6]

Forum Internasional Melawan Epilepsi dan Biro Internasional untuk Epilepsi— sebagai mitra
kolaborasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)[47]—mendefinisikan epilepsi dalam
pernyataan bersama tahun 2005 sebagai “gangguan otak yang ditandai oleh predisposisi
terus-menerus yang menghasilkan serangan epilepsi dan oleh adanya konsekuensi
neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial atas kondisi ini. Definisi epilepsi mensyaratkan
terjadinya paling tidak satu serangan epilepsi.”[48][49]

Klasifikasi

Serangan-serangan pada penderita epilepsi sebaiknya diklasifikasikan menurut jenis


serangan, sebab yang mendasari, sindrom epilepsi, dan peristiwa selama dan seputar
terjadinya serangan tersebut.[46] Jenis serangan disusun menurut apakah sumber serangan
terlokalisasi (kejang fokal) atau tersebar (kejang umum) di dalam otak.[20] Kejang umum
dibagi berdasarkan dampaknya pada tubuh, antara lain: kejang tonik-klonik (grand mal),
serangan absans (petit mal), mioklonik, klonik, tonik, dan atonik.[20][50] Beberapa kejang
seperti spasme epileptik adalah jenis epilepsi yang tak diketahui.[20] Kejang fokal(sebelumnya
dikenal sebagai kejang parsial[15]) dahulu dibagi menjadi kejang parsial sederhana atau parsial
kompleks.[20] Pembagian ini tidak lagi direkomendasikan, dan sebagai gantinya lebih dipilih
untuk mendeskripsikan gejala yang terjadi pada kejadian kejang.[20]

Pemeriksaan laboratorium
Untuk orang dewasa, pemeriksaan elektrolit, gula darah dan kadar kalsium sangat penting
untuk menyingkirkan masalah ini sebagai penyebab.[46] Pemeriksaan elektrokardiogram dapat
menyingkirkan masalah yang berhubungan dengan ritme jantung.[46] Pungsi lumbal dapat
dimanfaatkan untuk mendiagnosis infeksi sistem saraf pusat tetapi tidak selalu diperlukan.[11]
Pada anak-anak pemeriksaan tambahan mungkin diperlukan, misalnya biokimia urin dan tes
darah untuk melihat adanya kelainan metabolik.[46][51]

Tingkat prolaktin darah yang tinggi pada 20 menit pertama setelah kejang merupakan tanda
yang penting untuk mengkonfirmasi kejang epilepsi dan bukannya kejang psikogenik non-
epileptik.[52][53] Kadar prolaktin serum kurang bermanfaat dalam hal mendeteksi kejang
parsial.[54] Bila kadarnya normal maka kejang epileptik masih berupa kemungkinan[53] dan
prolaktin serum tidak membedakan antara kejang epileptik dengan sinkop (pingsan).[55]
Pemeriksaan ini tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin untuk mendiagnosis
epilepsi.[46]

EEG

Pemeriksaan elektroensefalogram (EEG) dapat membantu memberikan gambaran aktivitas


otak yang menunjukkan peningkatan risiko terjadinya seranga. Pemeriksaan ini
direkomendasikan hanya pada mereka yang menunjukkan kejang epileptik sebagai gejala.
Pada diagnosis epilepsi, elektroensefalografi dapat membantu membedakan jenis kejang atau
sindrom yang ada saat itu. Pada anak-anak biasanya hanya diperlukan setelah adanya
kejadian kejang kedua. Pemeriksaan ini tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan
diagnosis, dan dapat menyebabkan tanda positif palsu pada mereka yang tidak mengidap
penyakit ini. Pada situasi tertentu akan membantu apabila pemeriksaan dilakukan ketika
pasien tertidur atau dalam keadaan kurang tidur.[46]

Pencitraan

Pencitraan diagnostik menggunakan CT scan dan MRI direkomendasikan setelah kejang non-
febril pertama untuk mendeteksi adanya masalah struktural di dalam dan sekitar otak.[46] MRI
pada umumnya merupakan tes pencitraan yang lebih baik kecuali bila dicurigai terjadi
pendarahan, dimana CT lebih sensitif dan lebih mudah dilakukan.[11] Bila seseorang masuk ke
ruang gawat darurat dengan kejang tetapi pulih dengan cepat, pemeriksaan pencitraan dapat
dilakukan kemudian.[11] Bila sebelumnya, seseorang telah didiagnosis epilepsi dengan
pemeriksaan pencitraan, pemeriksaan pencitraan ulang tidak diperlukan walaupun terjadi
kejang kembali.[46]

Diagnosis banding

Menegakkan diagnosis untuk epilepsi dapat menyulitkan, dan dapat sering terjadi salah
diagnosis (terjadi pada 5 hingga 30% dari kasus).[15] Sejumlah kondisi mungkin menunjukkan
ciri-ciri dan gejala yang mirip dengan epilepsi, di antaranya: sinkop, hiperventilasi, migren,
narkolepsi, serangan panik dan kejang psikogenik non-epileptik (PNES).[56][57] Sekitar satu di
antara lima orang yang berada di klinik epilepsi menderita PNES[11] dan dari mereka yang
mengalami PNES sekitar 10% juga menderita epilepsi.[58] Memisahkan keduanya berdasarkan
episode kejang saja tanpa pemeriksaan lebih jauh pada umumnya sulit dilakukan.[58]

Anak-anak dapat memiliki sikap yang mudah disalahartikan sebagai kejang epileptic, padahal
sebenarnya bukan. Hal ini meliputi: breath-holding spell (kondisi menahan napas yang tidak
dapat dikendalikan oleh anak), mengompol, teror tidur, tik dan shudder attacks (gerakan bayi
atau anak secara tiba-tiba).[57] Refluks gastroesofageal dapat menyebabkan punggung yang
melengkung dan kaku dan terpelintirnya leher ke arah samping pada bayi, yang kemudian
dapat salah dianggap sebagai kejang tonik klonik.[57]

Pencegahan

Walaupun banyak kasus yang tidak dapat dicegah, usaha untuk mengurangi cedera kepala,
yaitu dengan penanganan yang baik untuk wilayah sekitar kepala saat kelahiran, dan
menekan parasit dari lingkungan seperti misalnya cacing pita dapat memberikan hasil yang
efektif.[3] Langkah yang dilakukan di salah satu wilayah Amerika Tengah utuk menurunkan
tingkat infeksi cacing pita telah berhasil menurunkan kasus baru epilepsi hingga 50%.[10]

Penatalaksanaan

Epilepsi biasanya ditangani dengan pemberian obat setiap hari bila telah timbul kejang yang
kedua,[15][46] tetapi untuk pasien dengan risiko tinggi, pengobatan dapat dimulai segera setelah
kejang yang pertama kali.[46] Pada sejumlah kasus mungkin perlu dilakukan diet khusus,
implantasi neurostimulator, atau pembedahan saraf.

Pertolongan pertama

Memposisikan penderita dengan kejang tonik klonik aktif pada posisi bertumpu pada sisi
badan dan pada posisi pulih akan membantu mencegah cairan masuk ke paru-paru.[59]
Meletakkan jari, kotak gigitan atau penekan lidah di mulut tidak disarankan karena dapat
menyebabkan penderita muntah atau menyebabkan penolong tergigit.[18][59] Usaha-usaha yang
ada harus dilakukan agar penderita tidak mencederai diri sendiri.[18] Tindakan pencegahan
cedera tulang belakang biasanya tidak diperlukan.[59]

Bila kejang berlangsung lebih dari 5 menit atau terjadi dua atau lebih kejang dalam satu jam
tanpa proses pemulihan ke keadaan normal di antaranya maka keadaan ini dianggap sebagai
darurat medis yang dikenal sebagai status epileptikus.[46][60] Kondisi ini memerlukan
pertolongan medis agar jalan napas tetap terbuka dan terlindung;[46] jalan napas nasofaringeal
akan sangat membantu pada keadaan ini.[59] Untuk di rumah, pengobatan awal yang diberikan
pada kejang dengan durasi yang lama adalah midazolam yang diletakkan di mulut.[61]
Diazepam dapat juga diberikan dalam bentuk sediaan secara rektal.[61] Di rumah sakit,
pemberian lorazepam secara intravena lebih disukai.[46] Bila dua dosis benzodiazepine tidak
efektif, penggunaan obat lain yang dianjurkan adalah fenitoin.[46] Status epileptiku konvulsif
yang tidak memberikan respon terhadap penanganan awal biasanya memerlukan perawatan di
unit gawat darurat dan perawatan dengan senyawa yang lebih kuat seperti tiopenton atau
propofol.[46]

Pengobatan
Antikonvulsan

Penanganan andalan untuk epilepsi adalah dengan pemberian obat antikonvulsan, dengan
kemungkinan pemberian seumur hidup.[15] Pemilihan penggunaan antikonvulsan tergantung
pada tipe kejang, sindrom epilepsi, pengobatan lain yang digunakan, masalah kesehatan
lainnya, dan usia serta gaya hidup penderita.[61] Pada awalnya direkomendasikan pengobatan
tunggal;[62] bila tidak efektif, direkomendasikan beralih ke pengobatan tunggal lainnnya.[46]
Dua jenis pengobatan sekaligus hanya direkomendasikan bila pengobatan tunggal tidak
bekerja dengan baik.[46] Pada kurang lebih setengahnya, agen pertama efektif; agen tunggal
kedua membantu sekitar 13% dan yang ketiga atau dua agen pada waktu bersamaan mungkin
memberi tambahan bantuan sebanyak 4%.[63] Sekitar 30% dari penderita tetap mengalami
kejang walaupun sudah mendapatkan penanganan dengan antikonvulsan.[5]

Terdapat berbagai pengobatan yang tersedia. Fenitoin, carbamazepin dan valproat tampaknya
memberikan pengaruh yang sama pada kejang fokal dan yang umum.[64][65] Pelepasan
terkontrol dari carbamazepin juga tampaknya bekerja dengan baik sebagaimana pelepasan
langsung carbamazepin, dan mungkin hanya memberikan sedikit efek samping.[66] Di Inggris,
carbamazepin atau lamotrigin direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama untuk
kejang fokal, dengan levetirasetam dan valproat sebagai lini kedua atas pertimbangan
masalah biaya dan efek sampingnya.[46] Valproat direkomendasikan sebagai pengobatan lini
pertama untuk kejang secara umum dengan lamotrigin sebagai pengobatan lini kedua.[46] Pada
penderita yang tidak disertai kejang, direkomendasikan penggunaan etosuksimid atau
valproat; valproat pada umumnya efektif untuk kejang mioklonik dan kejang tonik atau
atonik.[46] Bila kejang telah terkontrol dengan baik dengan penaganan tertentu, biasanya tidak
selalu diperlukan pemeriksaan rutin kadar obat dalam darah.[46]

Jenis antikonvulsan yang lebih ekonomis adalah fenobarbital dengan harga sekitar Rp60.000 
satu tahun.[10] The World Health Organization (Organisasi Kesehata Dunia) menjadikannya
rekomendasi lini pertama di negara berkembang dan sangat umum dipakai di sana.[67][68]
Akses untuk mendapatkannya mungkin sulit karena sejumlah negara menggolongkannya
sebagai obat dengan pengontrolan.[10]

Efek simpang dari obat ini ini dilaporkan pada 10 hingga 90% penderita, tergantung pada
cara dan sumber data yang dikumpulkan.[69] Kebanyakan efek yang merugikan berhubungan
dengan tingkat dosis yang diberikan dan sifatnya ringan.[69] Beberapa contoh di antaranya
termasuk perubahan suasana hati, rasa mengantuk, atau cara berjalan yang tidak stabil.[69]
Sejumlah obat memberikan efek samping yang tidak berhubungan dengan dosis seperti
misalnya ruam, keracunan hati, atau penekanan sumsum tulang.[69] Hingga seperempat
penderita menghentikan pengobatan karena efek merugikan ini.[69] Sejumlah pengobatan
dihubungkan dengan terjadinya cacat lahir bila digunakan pada saat hamil.[46] Valproat juga
dikhawatirkan seperti ini, terutama selama trimester pertama.[70] Walaupun demikian,
pengobatan dilanjutkan ketika sudah memberikan respon efektif, karena risiko epilepsi yang
tidak ditangani dengan baik akan lebih berbahaya dibandingkan dengan risiko yang
ditimbulkan dari pengobatan itu sendiri.[70]

Menghentikan pengobatan secara perlahan dapat dilakukan pada penderita yang tidak
mengalami kejang selama dua hingga empat tahun, namun demikian, sepertiga dari penderita
mengalami kejang kembali, pada umumnya selama enam bulan pertama.[46][71] Penghentian
pengobatan dimungkinkan pada kurang lebih 70% anak-anak dan 60% dewasa.[3]

Bedah

Bedah epilepsi bisa menjadi pilihan bagi mereka yang menderita kejang fokal yang tak
kunjung membaik setelah ditempuhnya penanganan-penanganan lain.[72] Penanganan lain
tersebut mencakup paling tidak uji satu atau dua jenis pengobatan.[73] Sasaran bedah adalah
kendali tuntas atas kejang yang dialami oleh pasien[74] dan ini bisa berhasil terlaksana dalam
60-70% kasus.[73] Prosedur-prosedur yang lazim ditempuh meliputi: pemotongan hipokampus
lewat reseksi lobus temporal anterior, pengangkatan tumor, dan pengangkatan sebagian
neokorteks.[73] Beberapa prosedur seperti kalosotomi korpus dilakukan dalam upaya
mengurangi jumlah kejang alih-alih menyembuhkan kondisi si pasien.[73] Setelah bedah,
pengobatan sering kali bisa dikurangi secara perlahan.[73]

Stimulasi saraf bisa menjadi pilihan alternatif bagi pasien yang tidak bisa menjalani
pembedahan.[46] Ada tiga jenis yang telah terbukti efektif pada pasien yang tidak
menunjukkan respons terhadap pengobatan:stimulasi saraf vagus, stimulasi talamik anterior,
dan stimulasi responsif gelung tertutup.[75]

Lainnya

Anda mungkin juga menyukai