Dalam sebuah worldview, konsep Tuhan menduduki posisi sentral. Keyakinan akan
Tuhan (termasuk juga ketidakyakinan akan eksistensi-Nya) mempengaruhi pandangan hidup
manusia dalam segala aspek kehidupannya. Mereka yang meyakini adanya Tuhan akan
menjalani hidup dengan cara yang sangat berbeda dengan mereka yang ateis. Mereka yang
beragama pun memiliki worldview yang berbeda-beda menurut konsep Tuhan dalam ajaran
agamanya masing-masing.
Para pemeluk agama meyakini sepenuhnya bahwa Tuhan-lah yang telah menciptakan
dirinya dan segala sesuatunya di alam semesta ini. Oleh karena itu, Tuhan pula yang dapat
menjelaskan segala sesuatu dalam hidupnya. Dalam pencarian makna itu, manusia senantiasa
akan merujuk kepada penjelasan Tuhan untuk mendapatkan jawaban yang paling benar.
Adapun mereka yang tidak meyakini adanya Tuhan atau ateis akan mendefinisikan
segalanya sendirian, termasuk juga mendefinisikan ‘Tuhan’ itu sendiri. Ada, misalnya, yang
mendefinisikan ‘Tuhan’ sebagai khayalan manusia belaka. Tuhan, katanya, hanya sebatas
ide, dan karena itu, tergantung bagaimana cara kita menggambarkan Tuhan di dalam kepala
kita masing-masing. Ateisme ini pun banyak ragamnya. Dalam bukunya, Misykat, Dr. Hamid
Fahmy Zarkasyi menulis:
Ada yang meragukan wahyu Tuhan (skeptic), dan ada yang menolak Bible
sebagai wahyu Tuhan (deist). Tapi ada juga yang menolak wahyu secara
intelektual, yaitu disbeliever. Untuk yang minat ingkar Tuhan dengan akal
dan hatinya, ia bisa memilih cara unbeliever. (lihat The New International
1
Webster Comprehensive Dictionary, Hal. 1177). Banyak jalan menjadi kafir.
Jika seorang ateis bersikeras menyatakan bahwa Tuhan adalah perasaan subyektif
manusia, maka sebaliknya, segala konsep dalam benak orang ateis pun dapat dijelaskan
1
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat: Refleksi Tentang Islam, Westernisasi & Liberalisasi, Jakarta: INSISTS, Cet.
I, 2012, hlm. 91.
1
sebagai perasaan subyektifnya semata. Pandangannya terhadap dunia, manusia, interaksi
sosial, ilmu, moralitas dan seterusnya, itu pun berdasarkan perasaan subyektif yang juga tidak
kukuh, sebab bisa berganti seiring perkembangan intelektualnya. Dengan mengabaikan
Tuhan, kaum ateis juga ‘terpaksa’ mendefinisikan dirinya dengan kemampuan akalnya yang
terbatas itu. Akibatnya, seringkali mereka justru terjerumus dalam kezaliman terhadap diri
sendiri. Terhadap kaum ateis yang mengikuti Nietzsche dalam pemikirannya yang
‘membunuh Tuhan’, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi menyimpulkan:
Jika beriman pada Tuhan adalah fitrah semua insan, maka ketika Nietzsche
membunuh Tuhan – dalam hati dan pikirannya – sejatinya ia telah membunuh
fitrah-nya sendiri. Jadi Nietzsche benar-benar telah melakukan bunuh diri
2
spiritual, spiritual suicide.
Tell me, O Muse, of the man of many devices, who wandered full many ways
after he had sacked the sacred citadel of Troy. Many were the men whose
cities he saw and whose mind he learned, aye, and many the woes he suffered
in his heart upon the sea, seeking to win his own life and the return of his
comrades. Yet even so he saved not his comrades, though he desired it sore,
for through their own blind folly they perished—fools, who devoured the kine
of Helios Hyperion; but he took from them the day of their returning. Of
these things, goddess, daughter of Zeus, beginning where thou wilt, tell thou
3
even unto us.
2
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat, hlm. 97.
3
Homer, The Odyssey, Buku I, Baris 1-10, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh A.T. Murray. Semua
bahan dari karya-karya Yunani kuno yang dikutip dalam makalah ini diambil dari laman situs
http://www.perseus.tufts.edu/ [Online], 24 September 2014. Terjemahan bahasa Indonesia adalah dari
penyusun.
2
[Ceritakan padaku, wahai Muse, perihal seorang lelaki yang banyak akalnya,
yang telah berkelana kesana kemari setelah ia turut menghancurkan benteng
suci Kota Troya. Banyak orang yang telah ia lihat kota-kotanya dan telah ia
pelajari pemikirannya, dan banyak penderitaan yang ia alami di lautan, dalam
usahanya untuk memperoleh kembali kehidupannya dan kembali kepada
rekan-rekan seperjuangannya. Meski demikian ia tak mampu menyelamatkan
rekan-rekannya, meskipun ia sangat menginginkannya, karena mereka mati
akibat kebodohannya sendiri – orang-orang bodoh, yang telah mengganyang
hewan-hewan ternak milik Helios Hyperion; namun ia telah merampas
kebebasan mereka. Tentang hal-hal ini, wahai dewi, putri Zeus, mulailah di
tempat engkau menghendakinya, ceritakanlah kepada kami.]
Para dewa dalam mitologi Yunani tidaklah serbatahu, meskipun memiliki kekuasaan
yang sangat besar. Ketika Telemachus, putra Odysseus, dilanda keraguan akan peluang
kembalinya sang Ayah, Athena – dalam samarannya sebagai Mentor – meyakinkan dirinya
dengan kata-kata yang penuh kontradiksi berikut ini:
“Telemachus, what a word has escaped the barrier of thy teeth! Easily might
a god who willed it bring a man safe home, even from afar. But for myself, I
had rather endure many grievous toils ere I reached home and saw the day of
my returning, than after my return be slain at my hearth, as Agamemnon was
slain by the guile of Aegisthus and of his own wife. But of a truth death that is
common to all the gods themselves cannot ward from a man they love, when
4
the fell fate of grievous death shall strike him down.”
Dengan demikian, para dewa, termasuk Zeus yang paling perkasa di antara semua
dewa Yunani lainnya, juga tidak memiliki kekuasaan untuk mencegah kematian manusia,
meskipun mereka menginginkannya. Tentu hal ini kemudian menjadikan konsep ketuhanan
ala Yunani kuno menjadi sangat rancu. Meski para dewa itu bertanggung jawab dalam
menciptakan dan memelihara manusia dalam kehidupannya, namun ternyata mereka tak
berkuasa akan kematiannya. Di sisi lain, mitologi Yunani juga menyebut nama Thanatos
4
Homer, The Odyssey, Buku III, Baris 230-239.
3
yang merupakan Dewa Kematian, meski nama ini jauh dilampaui ketenarannya oleh Hades,
Penguasa Orang-orang Mati. Agaknya, ‘tugas’ Thanatos hanya mencabut nyawa manusia,
bukan menentukan jadwal kematiannya.
Para dewa Yunani pun ‘saling membatasi’ dengan kekuatan dahsyatnya masing-
masing. Di awal kisah The Odyssey, misalnya, Athena-lah yang pertama kali menyampaikan
kepada Zeus nasib malang Odysseus yang terkatung-katung jauh dari negerinya sendiri. Zeus
kemudian menjelaskan kepada Athena bahwa ia telah mengetahui nasib Odysseus, namun
sayang Odysseus telah membuat marah Poseidon, sehingga ia dibuat menderita sedemikian
5
rupa.
Bukan hanya saling membatasi, dewa-dewi Yunani pun dikenal saling menjatuhkan.
Pada awalnya, Uranus dan Gaia – dua dari beberapa dewa yang paling awal – telah
melahirkan banyak anak. Ketika Uranos menjadi jahat, Gaia pun meminta salah satu dari
anak-anaknya untuk menghentikan kejahatan ayah mereka. Permintaan ini kemudian
6
dipenuhi oleh Cronos. Di kemudian hari, Kronos pun menjadi jahat dan menelan anak-
7
anaknya sendiri dari hasil hubungannya dengan Rheia. Zeus, yang diselamatkan oleh Rheia
8
dengan suatu muslihat, di kemudian hari menggulingkan Cronos. Pada akhirnya, Zeus
berhasil memenangkan kompetisi dengan dua saudaranya, Poseidon dan Hades, sehingga ia
berhasil menjadi penguasa Olympus.
Perilaku Zeus sendiri tidak bisa dianggap mulia. Metis, istri pertamanya, telah meramal
bahwa kelak dirinya akan melahirkan anak-anak yang akan menjadi penguasa manusia. Demi
9
mencegah lahirnya anak-anak yang akan menjadi pesaingnya, Zeus pun menelan Metis. Istrinya
yang lain, yaitu Hera, adalah saudara perempuannya sendiri, yaitu anak dari Cronos dan Rheia.
Hades, kakak Zeus, menculik Persephone (salah satu putri Zeus, yang artinya tidak lain adalah
10
keponakan Hades sendiri) untuk kemudian diperistrinya. Zeus sendiri juga dikenal karena
perbuatan yang kurang lebih sama bejatnya, misalnya ketika ia berubah wujud menjadi seekor
11
angsa dan memperkosa Leda dalam wujud tersebut. Selain itu, Zeus juga kerap turun ke bumi
dan menghamili manusia, sehingga lahirlah anak-anak setengah dewa seperti Heracles
12
(Hercules). Tidak cukup sampai di sana, Zeus pun pernah menculik seorang anak laki-laki
13
bernama Ganymedes untuk dijadikan budak seksnya.
5
Homer, The Odyssey, Buku I, Baris 44-79.
6
Hesiod, Theogony, Baris 166-172, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Hugh G. Evelyn-White.
7
Hesiod, Theogony, Baris 453-468.
8
Hesiod, Theogony, Baris 492-506.
9
Hesiod, Theogony, Baris 886-900.
10
Homeric Hymn to Demeter, Baris 1-39, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Hugh G. Evelyn-White.
11
Mitos tentang Leda dan Angsa (Leda and the swan) cukup dikenal di tengah-tengah masyarakat Yunani,
sehingga ia menjadi bagian dari berbagai kisah drama, antara lain drama Helen sebagaimana yang dituliskan oleh
Euripides.
12
Homer, The Iliad, Buku XIX, Baris 74-113, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh A.T. Murray.
13
Homer, The Iliad, Buku XX, Baris 231-235.
4
Mitologi Yunani kemudian diwariskan kepada bangsa Romawi yang kemudian
melakukan modifikasi di sana-sini, termasuk mengubah nama-namanya. Meski demikian,
ajaran paganisme ini tetaplah bersandar pada mitologi yang memenuhi segala persyaratan
untuk menjadi kisah klasik yang jalan ceritanya mengasyikkan, namun tidak sepi dari
kontradiksi.
5
‘Kegemaran’ masyarakat Yunani dengan filsafat, karena itu, dapat dipahami sebagai
rangkaian yang tak terpisahkan dari sikap ambigu mereka terhadap agama. Di satu sisi,
mereka tetap meyakini keberadaan Tuhan, namun di sisi lain, mereka merasa ‘ditinggalkan’
Tuhan dan terpaksa mencari kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran itu ditentukan sendiri-
sendiri, maka pada akhirnya kebenaran itu menjadi kabur, bahkan ada yang ragu apakah
kebenaran itu benar-benar ada atau tidak. Sebagian lagi mengatakan bahwa semua kebenaran
itu relatif, atau dengan kata lain mengatakan bahwa kebenaran absolut itu tidak ada. Dr.
Hamid Fahmy Zarkasyi mengomentari absurditas pendapat ini sebagai berikut:
Kalau anda mengatakan “Tidak ada kebenaran mutlak” maka kata-kata anda
itu sendiri sudah mutlak, padahal anda mengatakan semua relatif. Kalau
anda mengatakan “Semua adalah relatif” atau “Semua kebenaran adalah
relatif” maka pernyataan anda itu juga relatif alias tidak absolute.
Karena dewa-dewi Yunani tidak banyak menjelaskan tentang hakikat dan martabat
manusia, kewajiban manusia dalam interaksi dengan sesamanya, moralitas dan semacamnya,
maka sejarah Yunani kuno pun penuh dengan pertumpahan darah dan penindasan. Salah satu
contoh yang baik adalah ketika Athena, dalam persaingannya berebut pengaruh dengan
Sparta, menginvasi sebuah pulau kecil bernama Melian. Sebelum pertempuran dahsyat
berkecamuk, utusan dari Athena datang untuk bernegosiasi (atau lebih tepatnya berdialog)
dengan para pemuka Melian. Dialog ini kemudian dikenal dengan peristiwa “The Melian
Dialogue”.
Awalnya, para pemuka Melian berargumen bahwa mereka mengambil posisi netral,
tidak memihak pada Athena atau Sparta, dan karenanya, tidak ada manfaatnya mengobarkan
konflik. Duta Athena kemudian berargumen bahwa meskipun Melian netral, namun Athena
akan dianggap lemah jika membiarkan mereka begitu saja. Ketika Melian bersikeras bahwa
menyerah adalah sikap pengecut, Athena berargumen bahwa sikap pragmatis adalah jalan
terbaik, karena yang ini adalah masalah hidup dan mati. Begitu pula ketika Melian
berargumen bahwa para dewa akan berpihak kepada mereka, Athena justru mengatakan
bahwa para dewa niscaya akan berpihak kepada mereka, sebab para dewa lebih menghormati
kekuatan ketimbang moralitas. Dalam dialog ini, kalimat yang paling terkenal adalah “...the
strong do what they can and the weak suffer what they must” (yang kuat melakukan apa saja
yang mereka dapat lakukan dan yang lemah menanggung penderitaan sebagaimana
15
mestinya).
14
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat: Refleksi Tentang Islam, Westernisasi & Liberalisasi, Jakarta: INSISTS, Cet. I,
2012, hlm. 156-157.
15
Thucydides, The Peloponnesian War, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh J.M. Dent. Episode “The
Melian Dialogue” ini dapat ditemukan pada Buku 5, Bab 84-116.
6
The Melian Dialogue memperlihatkan bagaimana bangsa Athena (atau bangsa Yunani
kuno secara umum, karena mereka memiliki kepercayaan yang sama) memandang dunianya.
Bagi mereka, yang paling utama adalah kekuatan, karena kekuatan memberikan mereka
legitimasi untuk melakukan apa saja, termasuk menzalimi yang lemah. Meski agama mereka
sama dengan agama bangsa Melian, namun mereka tidak memiliki rasa persaudaraan sedikit
pun dan menganggap Melian sama saja seperti bangsa-bangsa lainnya yang telah mereka
taklukkan. Mereka pun berpikir secara pragmatis dan materialistis, menempatkan
kepentingan duniawi di atas segala-galanya, meski dengan mengorbankan kehormatan dan
prinsip. Di mata mereka, kezaliman terhadap sesama manusia adalah perkara ringan, sebab
para dewa sendiri tak pernah ambil pusing dengan urusan manusia.
“Wahai anak Adam, jika engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi
kemudian engkau tidak menyekutukan-Ku dengan apa pun, maka Aku akan
mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi itu pula.” (HR. Tirmidzi)
7
Dengan mengenal sifat-sifat Allah, umat Muslim bukan hanya memahami-Nya,
melainkan juga memiliki pemahaman yang cukup baik untuk menempatkan segala sesuatu
pada tempatnya. Seorang Muslim tidak menempatkan dirinya terlalu tinggi, sebab ia
mengetahui statusnya sebagai hamba Allah, namun juga tidak merendahkan dirinya dan
melakukan perbuatan-perbuatan yang nista, sebab ia pun mengetahui bahwa dirinya adalah
khalifah Allah di muka bumi. Ketika berhadapan dengan orang lain, ia pun berhadapan
dengan sesama hamba dan khalifah Allah, dan karenanya, ia tidak terjebak pada
pengkultusan, tidak pula berani merendahkan martabat orang lain.
Karena Allah SWT adalah satu-satunya tujuan hidup, maka kehidupan di dunia akan
dibaktikan kepada Allah. Dengan mengatakan demikian, bukan berarti seorang Muslim boleh
mengabaikan hak-hak pribadinya sendiri, karena Islam tidak mengenal kerahiban, dan
lagipula menunaikan hak-hak tubuh adalah bagian dari perintah Allah. Seorang Muslim
makan dan menikmati makanannya, menikah dan berbahagia bersama keluarganya, dan
menjalani segala aspek kehidupannya dengan penuh ketentraman hati, karena mencari
kebaikan di muka bumi adalah perintah Allah SWT.
Seorang Muslim mencari ilmu juga karena Allah, sebab Allah sendirilah yang telah
menyatakan bahwa segala hal di langit dan bumi adalah tanda-tanda kebesaran-Nya. Oleh
karena itu, dengan mempelajari alam semesta, kita akan semakin mengenal Allah. Muslim
yang belajar sains akan semakin religius, karena ilmunya telah mempertebal keimanannya.
Meski tidak mengharamkan kenikmatan duniawi bagi dirinya, setiap Muslim pun
mengetahui bahwa hakikat dirinya adalah makhluk Allah, dan kelak ia akan kembali kepada
Allah. Oleh karena itu, dunia dimaknainya sebagai tempat perhentian sementara, sedangkan
kampung akhirat adalah tempat tinggalnya yang abadi kelak. Menghindari kemaksiatan,
karenanya, tidak dianggap berat, sebab siksa neraka niscaya lebih berat. Demikian juga
segala kenikmatan di dunia akan dipandang kecil, karena kenikmatan di akhirat jauh lebih
besar. Dengan mengenal Allah, seorang Muslim terlatih untuk tidak mencintai apa pun
melebihi cintanya kepada Allah, tidak takut kepada apa pun melebih takutnya kepada Allah,
dan tidak pernah kehilangan harapan selama masih berada di jalan yang Allah ridhai.
Segala pemahaman yang demikian bersumber dari pengetahuan kita terhadap Allah
SWT sebagaimana yang Dia ajarkan melalui agama-Nya. Demikianlah konsep Tuhan dalam
Islam – yaitu Tauhidullaah – melahirkan worldview yang khas milik Islam, yaitu the
Worldview of Islam.