Anda di halaman 1dari 8

Konsep Tuhan Sebagai Asas Worldview

Oleh: Akmal, M.Pd.I.

Dalam sebuah worldview, konsep Tuhan menduduki posisi sentral. Keyakinan akan
Tuhan (termasuk juga ketidakyakinan akan eksistensi-Nya) mempengaruhi pandangan hidup
manusia dalam segala aspek kehidupannya. Mereka yang meyakini adanya Tuhan akan
menjalani hidup dengan cara yang sangat berbeda dengan mereka yang ateis. Mereka yang
beragama pun memiliki worldview yang berbeda-beda menurut konsep Tuhan dalam ajaran
agamanya masing-masing.
Para pemeluk agama meyakini sepenuhnya bahwa Tuhan-lah yang telah menciptakan
dirinya dan segala sesuatunya di alam semesta ini. Oleh karena itu, Tuhan pula yang dapat
menjelaskan segala sesuatu dalam hidupnya. Dalam pencarian makna itu, manusia senantiasa
akan merujuk kepada penjelasan Tuhan untuk mendapatkan jawaban yang paling benar.
Adapun mereka yang tidak meyakini adanya Tuhan atau ateis akan mendefinisikan
segalanya sendirian, termasuk juga mendefinisikan ‘Tuhan’ itu sendiri. Ada, misalnya, yang
mendefinisikan ‘Tuhan’ sebagai khayalan manusia belaka. Tuhan, katanya, hanya sebatas
ide, dan karena itu, tergantung bagaimana cara kita menggambarkan Tuhan di dalam kepala
kita masing-masing. Ateisme ini pun banyak ragamnya. Dalam bukunya, Misykat, Dr. Hamid
Fahmy Zarkasyi menulis:

Ateisme dipicu oleh kebencian terhadap dan kebebasan (liberalisme) dari


agama. “Now hatred is by far the greatest pleasure,” kata Don Juan. Karena
itu banyak yang menjadi kafir. Ada yang ingkar Tuhan saja (atheis), ada yang
ingkar agama saja (infidel) dan ada yang menolak pengetahuan tentang
Tuhan dan eksistensiNya sekaligus (agnostic).

Ada yang meragukan wahyu Tuhan (skeptic), dan ada yang menolak Bible
sebagai wahyu Tuhan (deist). Tapi ada juga yang menolak wahyu secara
intelektual, yaitu disbeliever. Untuk yang minat ingkar Tuhan dengan akal
dan hatinya, ia bisa memilih cara unbeliever. (lihat The New International
1
Webster Comprehensive Dictionary, Hal. 1177). Banyak jalan menjadi kafir.

Jika seorang ateis bersikeras menyatakan bahwa Tuhan adalah perasaan subyektif
manusia, maka sebaliknya, segala konsep dalam benak orang ateis pun dapat dijelaskan

1
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat: Refleksi Tentang Islam, Westernisasi & Liberalisasi, Jakarta: INSISTS, Cet.
I, 2012, hlm. 91.

1
sebagai perasaan subyektifnya semata. Pandangannya terhadap dunia, manusia, interaksi
sosial, ilmu, moralitas dan seterusnya, itu pun berdasarkan perasaan subyektif yang juga tidak
kukuh, sebab bisa berganti seiring perkembangan intelektualnya. Dengan mengabaikan
Tuhan, kaum ateis juga ‘terpaksa’ mendefinisikan dirinya dengan kemampuan akalnya yang
terbatas itu. Akibatnya, seringkali mereka justru terjerumus dalam kezaliman terhadap diri
sendiri. Terhadap kaum ateis yang mengikuti Nietzsche dalam pemikirannya yang
‘membunuh Tuhan’, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi menyimpulkan:

Jika beriman pada Tuhan adalah fitrah semua insan, maka ketika Nietzsche
membunuh Tuhan – dalam hati dan pikirannya – sejatinya ia telah membunuh
fitrah-nya sendiri. Jadi Nietzsche benar-benar telah melakukan bunuh diri
2
spiritual, spiritual suicide.

Studi Kasus: Mitologi Yunani Kuno


Dalam kepercayaannya, masyarakat Yunani kuno bersandar pada mitologi, bukan
wahyu. Oleh karena itu, yang menjelaskan perihal masalah-masalah ketuhanan pun bukan
seorang Nabi, melainkan para penyair. Sebagian di antara mitologi itu ada yang secara
khusus bercerita tentang dewa-dewi, misalnya kitab Theogony karya Hesiod yang
menguraikan silsilah dan kelahiran dewa-dewi itu, namun ada juga yang justru difokuskan
pada karakter manusia yang banyak berinteraksi dengan para dewa, semisal kisah klasik The
Odyssey karya Homer (Homeros).
Pada bagian awal dari kisah The Odyssey, Homer sendiri mengaitkan dirinya dengan
para dewa, yang dalam hal ini secara spesifik dengan Muse, putri-putri Zeus yang bertugas
memberikan inspirasi kepada para penyair. Di bawah ini adalah beberapa baris pertama
dalam kisah The Odyssey yang fenomenal itu:

Tell me, O Muse, of the man of many devices, who wandered full many ways
after he had sacked the sacred citadel of Troy. Many were the men whose
cities he saw and whose mind he learned, aye, and many the woes he suffered
in his heart upon the sea, seeking to win his own life and the return of his
comrades. Yet even so he saved not his comrades, though he desired it sore,
for through their own blind folly they perished—fools, who devoured the kine
of Helios Hyperion; but he took from them the day of their returning. Of
these things, goddess, daughter of Zeus, beginning where thou wilt, tell thou
3
even unto us.

2
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat, hlm. 97.
3
Homer, The Odyssey, Buku I, Baris 1-10, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh A.T. Murray. Semua
bahan dari karya-karya Yunani kuno yang dikutip dalam makalah ini diambil dari laman situs
http://www.perseus.tufts.edu/ [Online], 24 September 2014. Terjemahan bahasa Indonesia adalah dari
penyusun.

2
[Ceritakan padaku, wahai Muse, perihal seorang lelaki yang banyak akalnya,
yang telah berkelana kesana kemari setelah ia turut menghancurkan benteng
suci Kota Troya. Banyak orang yang telah ia lihat kota-kotanya dan telah ia
pelajari pemikirannya, dan banyak penderitaan yang ia alami di lautan, dalam
usahanya untuk memperoleh kembali kehidupannya dan kembali kepada
rekan-rekan seperjuangannya. Meski demikian ia tak mampu menyelamatkan
rekan-rekannya, meskipun ia sangat menginginkannya, karena mereka mati
akibat kebodohannya sendiri – orang-orang bodoh, yang telah mengganyang
hewan-hewan ternak milik Helios Hyperion; namun ia telah merampas
kebebasan mereka. Tentang hal-hal ini, wahai dewi, putri Zeus, mulailah di
tempat engkau menghendakinya, ceritakanlah kepada kami.]

Para dewa dalam mitologi Yunani tidaklah serbatahu, meskipun memiliki kekuasaan
yang sangat besar. Ketika Telemachus, putra Odysseus, dilanda keraguan akan peluang
kembalinya sang Ayah, Athena – dalam samarannya sebagai Mentor – meyakinkan dirinya
dengan kata-kata yang penuh kontradiksi berikut ini:

“Telemachus, what a word has escaped the barrier of thy teeth! Easily might
a god who willed it bring a man safe home, even from afar. But for myself, I
had rather endure many grievous toils ere I reached home and saw the day of
my returning, than after my return be slain at my hearth, as Agamemnon was
slain by the guile of Aegisthus and of his own wife. But of a truth death that is
common to all the gods themselves cannot ward from a man they love, when
4
the fell fate of grievous death shall strike him down.”

[“Telemachus, betapa berani kata-kata yang meluncur dari mulutmu! Dewa


dapat dengan mudah mengembalikan seseorang ke rumahnya, betapa pun jauh
jarak yang harus ditempuh. Akan tetapi bagiku sendiri, lebih baik
menanggung penderitaan bertubi-tubi hingga akhirnya aku tiba di rumahku
sendiri, ketimbang pulang dan dibunuh di rumah sendiri seperti Agamemnon
yang dibunuh karena pengkhianatan Aegisthus dan istrinya sendiri.
Bagaimana pun, kematian yang menjadi takdir bagi semua orang, semua dewa
pun tak dapat mencegahnya dari manusia yang mereka sukai, ketika takdir
kematian itu datang menerjangnya.”]

Dengan demikian, para dewa, termasuk Zeus yang paling perkasa di antara semua
dewa Yunani lainnya, juga tidak memiliki kekuasaan untuk mencegah kematian manusia,
meskipun mereka menginginkannya. Tentu hal ini kemudian menjadikan konsep ketuhanan
ala Yunani kuno menjadi sangat rancu. Meski para dewa itu bertanggung jawab dalam
menciptakan dan memelihara manusia dalam kehidupannya, namun ternyata mereka tak
berkuasa akan kematiannya. Di sisi lain, mitologi Yunani juga menyebut nama Thanatos

4
Homer, The Odyssey, Buku III, Baris 230-239.

3
yang merupakan Dewa Kematian, meski nama ini jauh dilampaui ketenarannya oleh Hades,
Penguasa Orang-orang Mati. Agaknya, ‘tugas’ Thanatos hanya mencabut nyawa manusia,
bukan menentukan jadwal kematiannya.
Para dewa Yunani pun ‘saling membatasi’ dengan kekuatan dahsyatnya masing-
masing. Di awal kisah The Odyssey, misalnya, Athena-lah yang pertama kali menyampaikan
kepada Zeus nasib malang Odysseus yang terkatung-katung jauh dari negerinya sendiri. Zeus
kemudian menjelaskan kepada Athena bahwa ia telah mengetahui nasib Odysseus, namun
sayang Odysseus telah membuat marah Poseidon, sehingga ia dibuat menderita sedemikian
5
rupa.
Bukan hanya saling membatasi, dewa-dewi Yunani pun dikenal saling menjatuhkan.
Pada awalnya, Uranus dan Gaia – dua dari beberapa dewa yang paling awal – telah
melahirkan banyak anak. Ketika Uranos menjadi jahat, Gaia pun meminta salah satu dari
anak-anaknya untuk menghentikan kejahatan ayah mereka. Permintaan ini kemudian
6
dipenuhi oleh Cronos. Di kemudian hari, Kronos pun menjadi jahat dan menelan anak-
7
anaknya sendiri dari hasil hubungannya dengan Rheia. Zeus, yang diselamatkan oleh Rheia
8
dengan suatu muslihat, di kemudian hari menggulingkan Cronos. Pada akhirnya, Zeus
berhasil memenangkan kompetisi dengan dua saudaranya, Poseidon dan Hades, sehingga ia
berhasil menjadi penguasa Olympus.
Perilaku Zeus sendiri tidak bisa dianggap mulia. Metis, istri pertamanya, telah meramal
bahwa kelak dirinya akan melahirkan anak-anak yang akan menjadi penguasa manusia. Demi
9
mencegah lahirnya anak-anak yang akan menjadi pesaingnya, Zeus pun menelan Metis. Istrinya
yang lain, yaitu Hera, adalah saudara perempuannya sendiri, yaitu anak dari Cronos dan Rheia.
Hades, kakak Zeus, menculik Persephone (salah satu putri Zeus, yang artinya tidak lain adalah
10
keponakan Hades sendiri) untuk kemudian diperistrinya. Zeus sendiri juga dikenal karena
perbuatan yang kurang lebih sama bejatnya, misalnya ketika ia berubah wujud menjadi seekor
11
angsa dan memperkosa Leda dalam wujud tersebut. Selain itu, Zeus juga kerap turun ke bumi
dan menghamili manusia, sehingga lahirlah anak-anak setengah dewa seperti Heracles
12
(Hercules). Tidak cukup sampai di sana, Zeus pun pernah menculik seorang anak laki-laki
13
bernama Ganymedes untuk dijadikan budak seksnya.

5
Homer, The Odyssey, Buku I, Baris 44-79.
6
Hesiod, Theogony, Baris 166-172, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Hugh G. Evelyn-White.
7
Hesiod, Theogony, Baris 453-468.
8
Hesiod, Theogony, Baris 492-506.
9
Hesiod, Theogony, Baris 886-900.
10
Homeric Hymn to Demeter, Baris 1-39, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Hugh G. Evelyn-White.
11
Mitos tentang Leda dan Angsa (Leda and the swan) cukup dikenal di tengah-tengah masyarakat Yunani,
sehingga ia menjadi bagian dari berbagai kisah drama, antara lain drama Helen sebagaimana yang dituliskan oleh
Euripides.
12
Homer, The Iliad, Buku XIX, Baris 74-113, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh A.T. Murray.
13
Homer, The Iliad, Buku XX, Baris 231-235.

4
Mitologi Yunani kemudian diwariskan kepada bangsa Romawi yang kemudian
melakukan modifikasi di sana-sini, termasuk mengubah nama-namanya. Meski demikian,
ajaran paganisme ini tetaplah bersandar pada mitologi yang memenuhi segala persyaratan
untuk menjadi kisah klasik yang jalan ceritanya mengasyikkan, namun tidak sepi dari
kontradiksi.

Pengaruh Konsep Tuhan


Kisah-kisah mitologi Yunani, baik yang diceritakan melalui lisan para penyair,
dituliskan dalam kisah-kisah yang secara khusus membahas tentang dewa-dewi seperti
Theogony, atau yang berkisah tentang legenda manusia yang berinteraksi dengan dewa-dewi
seperti The Odyssey, atau juga yang diadaptasi ke dalam bentuk drama, dapat memanjakan
imajinasi para penikmatnya. Akan tetapi, karena kisah-kisah itu juga bercerita tentang dewa-
dewi, maka di dalamnya juga terdapat ajaran tentang konsep tuhan versi Yunani kuno.
Dengan kata lain, mitologi menunjukkan cara masyarakat Yunani kuno memandang dewa-
dewi mereka, dan apa yang mereka pikirkan itu kemudian juga berpengaruh pada cara
mereka menjalani hidup.
Bagi masyarakat Yunani kuno, ‘pembagian’ manusia berdasarkan orientasi seksual
tidaklah seperti yang lazim digunakan di jaman sekarang. Bagi mereka, homoseksualitas
adalah suatu hal yang biasa terjadi di tengah-tengah masyarakat. Banyak dewa Yunani yang
telah mempraktikkan homoseksualitas ini, baik dengan sesama dewa yang sejenis (misalnya
Apollo dengan Hymen), dewa dengan manusia (misalnya Poseidon dengan Pelops), atau
dengan dewa yang menyamar menjadi lawan jenisnya (misalnya Zeus yang menyamar
menjadi Artemis untuk berhubungan seks dengan Callisto). Tidaklah mengherankan kiranya
jika tokoh-tokoh legendaris Yunani juga banyak yang dikisahkan melakukan hubungan
sejenis, misalnya antara Achilles dan Patroclus, atau Heracles dan Iolaus. Sebagaimana Zeus
berhubungan seks dengan Ganymedes, masyarakat Yunani juga mengenal tradisi pederasty,
yaitu hubungan sejenis antara laki-laki dewasa dengan remaja. Hubungan semacam ini konon
juga dijalani oleh salah seorang filsuf terkenal, yaitu Socrates, dengan seorang pemuda
bernama Alcibiades. Sebagaimana hubungan seks dengan binatang juga dikisahkan dalam
mitologinya, masyarakat Yunani pun dikenal telah mempraktekkannya dalam kehidupan.
Singkatnya, orang-orang Yunani kuno hanya melakukan apa yang biasa dilakukan oleh
dewa-dewi mereka.
Dalam memandang hubungan antara manusia dengan dewa-dewi tersebut, masyarakat
Yunani kuno cenderung ambigu. Di satu sisi, jelas manusia memiliki kewajiban untuk
menyembah dewa-dewi tersebut, namun di sisi lain, dewa-dewi itu lebih sering terlihat sibuk
dengan urusannya masing-masing ketimbang mempedulikan manusia. Oleh karena itu, sejak
jaman Yunani kuno, muncul paham Deist yang menekankan eksistensi tuhan, dan bahwa
tuhan telah menciptakan alam semesta, namun kemudian ‘berlepas tangan’ dan tidak ikut
campur tangan lagi dalam segala proses di alam semesta ini. Oleh karena itu, kaum Deist ini
berpendapat bahwa penggunaan akal dalam memahami alam adalah satu-satunya metode
untuk memahami tuhan, sebab tuhan tidak berbicara dengan manusia dan tidak mengajarkan
apa pun kepada manusia secara langsung.

5
‘Kegemaran’ masyarakat Yunani dengan filsafat, karena itu, dapat dipahami sebagai
rangkaian yang tak terpisahkan dari sikap ambigu mereka terhadap agama. Di satu sisi,
mereka tetap meyakini keberadaan Tuhan, namun di sisi lain, mereka merasa ‘ditinggalkan’
Tuhan dan terpaksa mencari kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran itu ditentukan sendiri-
sendiri, maka pada akhirnya kebenaran itu menjadi kabur, bahkan ada yang ragu apakah
kebenaran itu benar-benar ada atau tidak. Sebagian lagi mengatakan bahwa semua kebenaran
itu relatif, atau dengan kata lain mengatakan bahwa kebenaran absolut itu tidak ada. Dr.
Hamid Fahmy Zarkasyi mengomentari absurditas pendapat ini sebagai berikut:

Kalau anda mengatakan “Tidak ada kebenaran mutlak” maka kata-kata anda
itu sendiri sudah mutlak, padahal anda mengatakan semua relatif. Kalau
anda mengatakan “Semua adalah relatif” atau “Semua kebenaran adalah
relatif” maka pernyataan anda itu juga relatif alias tidak absolute.

Kalau “Semua adalah relatif” maka yang mengatakan “Disana ada


kebenaran mutlak” sama benarnya dengan yang menyatakan “Disana tidak
14
ada kebenaran mutlak”. Tapi ini self-contradictory yang absurd.

Karena dewa-dewi Yunani tidak banyak menjelaskan tentang hakikat dan martabat
manusia, kewajiban manusia dalam interaksi dengan sesamanya, moralitas dan semacamnya,
maka sejarah Yunani kuno pun penuh dengan pertumpahan darah dan penindasan. Salah satu
contoh yang baik adalah ketika Athena, dalam persaingannya berebut pengaruh dengan
Sparta, menginvasi sebuah pulau kecil bernama Melian. Sebelum pertempuran dahsyat
berkecamuk, utusan dari Athena datang untuk bernegosiasi (atau lebih tepatnya berdialog)
dengan para pemuka Melian. Dialog ini kemudian dikenal dengan peristiwa “The Melian
Dialogue”.
Awalnya, para pemuka Melian berargumen bahwa mereka mengambil posisi netral,
tidak memihak pada Athena atau Sparta, dan karenanya, tidak ada manfaatnya mengobarkan
konflik. Duta Athena kemudian berargumen bahwa meskipun Melian netral, namun Athena
akan dianggap lemah jika membiarkan mereka begitu saja. Ketika Melian bersikeras bahwa
menyerah adalah sikap pengecut, Athena berargumen bahwa sikap pragmatis adalah jalan
terbaik, karena yang ini adalah masalah hidup dan mati. Begitu pula ketika Melian
berargumen bahwa para dewa akan berpihak kepada mereka, Athena justru mengatakan
bahwa para dewa niscaya akan berpihak kepada mereka, sebab para dewa lebih menghormati
kekuatan ketimbang moralitas. Dalam dialog ini, kalimat yang paling terkenal adalah “...the
strong do what they can and the weak suffer what they must” (yang kuat melakukan apa saja
yang mereka dapat lakukan dan yang lemah menanggung penderitaan sebagaimana
15
mestinya).

14
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat: Refleksi Tentang Islam, Westernisasi & Liberalisasi, Jakarta: INSISTS, Cet. I,
2012, hlm. 156-157.
15
Thucydides, The Peloponnesian War, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh J.M. Dent. Episode “The
Melian Dialogue” ini dapat ditemukan pada Buku 5, Bab 84-116.

6
The Melian Dialogue memperlihatkan bagaimana bangsa Athena (atau bangsa Yunani
kuno secara umum, karena mereka memiliki kepercayaan yang sama) memandang dunianya.
Bagi mereka, yang paling utama adalah kekuatan, karena kekuatan memberikan mereka
legitimasi untuk melakukan apa saja, termasuk menzalimi yang lemah. Meski agama mereka
sama dengan agama bangsa Melian, namun mereka tidak memiliki rasa persaudaraan sedikit
pun dan menganggap Melian sama saja seperti bangsa-bangsa lainnya yang telah mereka
taklukkan. Mereka pun berpikir secara pragmatis dan materialistis, menempatkan
kepentingan duniawi di atas segala-galanya, meski dengan mengorbankan kehormatan dan
prinsip. Di mata mereka, kezaliman terhadap sesama manusia adalah perkara ringan, sebab
para dewa sendiri tak pernah ambil pusing dengan urusan manusia.

Tauhidullaah: Sebuah Perbandingan Singkat


Dalam ajaran Islam, Allah SWT menempati peran sentral. Setiap urusan manusia
dikaitkan dengan-Nya, karena hanya kepada-Nya-lah segala sesuatunya bergantung (QS.
112:2). Allah SWT bukan hanya telah menciptakan manusia, namun juga telah menunjuknya
sebagai khalifah di muka bumi (QS. 2:30). Manusia pada dasarnya diciptakan dengan fitrah
yang baik, yaitu yang mengenal dan mengakui Allah sebagai Rabb mereka (QS. 7:172). Oleh
karena manusia adalah makhluk yang amat disayangi oleh Allah SWT, maka membunuh
manusia dengan kezaliman dikategorikan sebagai dosa besar yang amat dimurkai Allah,
bahkan Allah mengatakan bahwa membunuh seorang manusia itu sama halnya dengan
membunuh seluruh manusia (QS. 5: 32). Persoalannya bukan hanya pada kezaliman kepada
manusia yang dibunuh, melainkan implikasi yang ditimbulkan kepada Sang Pemilik insan
tersebut. Karena manusia adalah milik Allah, maka kezaliman terhadap manusia adalah sikap
yang luar biasa tidak beradab di hadapan Allah.
Manusia pun adakalanya tersesat dan terjerumus ke dalam dosa. Meski banyak
dosanya, tidaklah selayaknya manusia berputus asa dan merasa takkan mendapat ampunan
dari Allah (QS. 39:53). Allah SWT tidaklah sama dengan selain-Nya (QS. 112:4), dan Dia
dapat memberikan ampunan untuk dosa apa pun jika manusia mau bertaubat. Bahkan Allah
SWT memberikan jaminan:

“Wahai anak Adam, jika engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi
kemudian engkau tidak menyekutukan-Ku dengan apa pun, maka Aku akan
mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi itu pula.” (HR. Tirmidzi)

Allah SWT tidak memperbolehkan manusia untuk menyekutukan-Nya dengan apa


pun, atau menjadikan sesuatu sebagai perantara di antara dirinya dengan Allah. Bahkan Allah
sendiri yang menjelaskan bahwa Dia dekat (QS. 2:186). Dalam kesempatan lain, Allah SWT
pun menyatakan kasih sayang-Nya kepada manusia, dan bahkan mendahulukan kasih sayang-
Nya itu ketimbang kemurkaan-Nya:
Tatkala Allah menciptakan para makhluk, Dia menulis dalam Kitab-Nya,
yang Kitab itu terletak di sisi-Nya di atas ‘Arsy, “Sesungguhnya rahmat-Ku
mengalahkan kemurkaan-Ku.” (HR. Bukhari)

7
Dengan mengenal sifat-sifat Allah, umat Muslim bukan hanya memahami-Nya,
melainkan juga memiliki pemahaman yang cukup baik untuk menempatkan segala sesuatu
pada tempatnya. Seorang Muslim tidak menempatkan dirinya terlalu tinggi, sebab ia
mengetahui statusnya sebagai hamba Allah, namun juga tidak merendahkan dirinya dan
melakukan perbuatan-perbuatan yang nista, sebab ia pun mengetahui bahwa dirinya adalah
khalifah Allah di muka bumi. Ketika berhadapan dengan orang lain, ia pun berhadapan
dengan sesama hamba dan khalifah Allah, dan karenanya, ia tidak terjebak pada
pengkultusan, tidak pula berani merendahkan martabat orang lain.
Karena Allah SWT adalah satu-satunya tujuan hidup, maka kehidupan di dunia akan
dibaktikan kepada Allah. Dengan mengatakan demikian, bukan berarti seorang Muslim boleh
mengabaikan hak-hak pribadinya sendiri, karena Islam tidak mengenal kerahiban, dan
lagipula menunaikan hak-hak tubuh adalah bagian dari perintah Allah. Seorang Muslim
makan dan menikmati makanannya, menikah dan berbahagia bersama keluarganya, dan
menjalani segala aspek kehidupannya dengan penuh ketentraman hati, karena mencari
kebaikan di muka bumi adalah perintah Allah SWT.
Seorang Muslim mencari ilmu juga karena Allah, sebab Allah sendirilah yang telah
menyatakan bahwa segala hal di langit dan bumi adalah tanda-tanda kebesaran-Nya. Oleh
karena itu, dengan mempelajari alam semesta, kita akan semakin mengenal Allah. Muslim
yang belajar sains akan semakin religius, karena ilmunya telah mempertebal keimanannya.
Meski tidak mengharamkan kenikmatan duniawi bagi dirinya, setiap Muslim pun
mengetahui bahwa hakikat dirinya adalah makhluk Allah, dan kelak ia akan kembali kepada
Allah. Oleh karena itu, dunia dimaknainya sebagai tempat perhentian sementara, sedangkan
kampung akhirat adalah tempat tinggalnya yang abadi kelak. Menghindari kemaksiatan,
karenanya, tidak dianggap berat, sebab siksa neraka niscaya lebih berat. Demikian juga
segala kenikmatan di dunia akan dipandang kecil, karena kenikmatan di akhirat jauh lebih
besar. Dengan mengenal Allah, seorang Muslim terlatih untuk tidak mencintai apa pun
melebihi cintanya kepada Allah, tidak takut kepada apa pun melebih takutnya kepada Allah,
dan tidak pernah kehilangan harapan selama masih berada di jalan yang Allah ridhai.
Segala pemahaman yang demikian bersumber dari pengetahuan kita terhadap Allah
SWT sebagaimana yang Dia ajarkan melalui agama-Nya. Demikianlah konsep Tuhan dalam
Islam – yaitu Tauhidullaah – melahirkan worldview yang khas milik Islam, yaitu the
Worldview of Islam.

Anda mungkin juga menyukai