BAB I
PENDAHULUAN
Geologi Minyak dan Gas Bumi adalah salah satu cabang ilmu geologi yang bertujuan
untuk mengetahui keberadaan minyak dan gas bumi di bawah permukaan, kemudian melakukan
eksplorasi dan memproduksinya. Dalam pelaksanaannya, eksplorasi membutuhkan berbagai
disiplin ilmu yang terkait dan terikat, salah satunya ialah peran seorang petroleum geologist
dalam menentukan dan menemukan cadangan hidrokarbon baru. Untuk itu, seorang petroleum
geologist haruslah memiliki kemampuan untuk menginterpretasi kondisi bawah permukaan dari
suatu zona yang dijadikan target. Salah satu metode penentuannya yaitu korelasi. Korelasi dapat
dibagi menjadi 2 jenis yaitu korelasi struktur dan korelasi stratigrafi
Korelasi adalah sebuah bagian fundamental dari stratigrafi, dan lebih lagi merupakan
usaha dari stratigraphers dalam membuat unit stratigrafi yang formal yang mengarah pada
penemuan praktis dan metode yang dapat dipercaya untuk korelasi unit ini dari suatu area dengan
lainnya (Boggs, 1987). Setelah melakukan korelasi, hal yang dilakukan adalah melakukan
pemetaan geologi bawah permukaan.
Dalam dunia eksplorasi migas diperlukan suatu pemetaan secara menyereluruh pada
geologi bawah permukaan, untuk mengetahui kondisi saat in dan kondisi masa lampau (proses
terbentuk nya sistem petroleum system yang ada). Hal ini berkaitan dengan 2 metode yaitu
metode struktur (melihat kenampakan saat ini) dan metode statigrafi (melihat kenampakan masa
lampau). Dari situlah korelasikan untuk mengetahui lokasi titik minyak dan gas bumi tersebut.
Dari situ kita membuat peta top dan bottom struktur, peta fluida kontak, peta neteres, peta
netpay, dan menghitung cadangan minyak dan gas bumi yang ada.
Adapun maksud dan tujuan dari korelasi antar sumur pada data sekunder pada base
mapadalah :
BAB II
DASAR TEORI
Sequence Boundary (SB) merupakan batas atas dan bawah satuan sikuen stratigrafi
adalah bidang ketidak selarasan atau bidang-bidang keselarasan padanannya (Sandi Stratigrafi
Indonesia, 1996).Maximum flooding surface teridentifikasi oleh adanya maximum landward
onlap dari lapiasan marine pada batas basin dan mencerminkan kenaikan maksimum secara
relatif dari sea level(Armentout, 1991).
Gambar II.2 Kandidat Sequence Boundary (SB) dan Maximum Flooding Surface (MSF) (Possamentier & Allen
1999)
Untuk sikeun stratigrafi, biasanya dipakai Sequence Boundary (SB) dan Maximum Flooding
Surface (MSF) untuk korelasi.Hal ini dikarenakan pelamparan SB dan MSF yang luas. Sequence
Boundary (SB) dan Maximum Flooding Surface (MFS) ini menandakan suatu proses perubahan
muka air laut yang terjadi secara global.Sehingga Sequence Boundary (SB) dan Maximum
Flooding Surface (MFS) ini sering digunakan untuk korelasi antar sumur. Dari data Well logs,
adanya Sequence Boundary (SB) biasanya ditandai dengan adanya perubahan secara tiba-tiba
dari Coarsening Upward menjadi Fineing Upward atau sebalikknya. Sedangkan Maximum
Flooding Surface (MFS) dari data log ditunjukkan dari adanya akumulasi shale yang banyak, dan
MSF merupakan amplitude dari log yang daerah shale.
Titik Kontrol
Titik Kontrol adalah setiap lokasi dalam dimana data didapatkan. Titik ini dapat berupa sumur
pemboran (kering ataupun yang menghasilkan minyak) ataupun berupa sumur pemboran
disebut control sumur (well-control). Peta-peta, nama serta nomor biasanya dinyatakan pada
titik tersebut.
Pembuatan Peta
1. Peta Top Structure
Peta ini menunjukkan penyebaran puncak suatu lapisan dibawa permukaan.Penyebaran
puncak lapisan dapat berupa sinklin, antiklin ataupun datar. Peta ini didapatkan dengan
mencantumkan “meter bawah permukaan laut” (mbpl) top lapisan pada setiap sumur. Nilai-
nilai ini sebagai acuan untuk membuat kontur struktur.
2. Peta Bottom Structure
Peta ini menunjukkan penyebaran puncak suatu lapisan dibawa permukaan.Penyebaran
puncak lapisan dapat berupa sinklin, antiklin ataupun datar. Peta ini didapatkan dengan
mencantumkan “meter bawah permukaan laut” (mbpl) bottom lapisan pada setiap sumur.
Nilai-nilai ini sebagai acuan untuk membuat kontur struktur.
3. Peta Isopach
Peta ini menggambarkan garis-garis yang menghubungkan titik-titik suatu formasi / lapisan
dengan ketebalan yang sama. Dalam peta bawah permukaan peta ini merupakan peta batas
OWC / GOC yang diplotkan dan di-overlay pada top structure dan bottom structure.
4. Peta Gross Sand
Mekanisme pembuatan peta gross sandsama dengan pembuatan peta top structure, namun
data yang digunakan dalam pembuatan peta ini adalah ketebalan dari suatu lapisan. Dengan
demikian peta gross sand tidak berhubungan dengan ketinggian atau kedalaman tetapi peta ini
menggambarkan penyebaran tebal tipisnya lapisan.
5. Peta Net Sand
Peta ini menggambarkan akumulasi ketebalan batupasir yang ada dalam suatu lapisan.Sama
halnya dengan peta gross sand, peta ini tidak berhubungan dengan ketinggian melainkan
menggambarkan ketebalan.
6. Peta Net Pay
Peta ini menggambarkan ketebalan batupasir yang mengandung hidrokarbon.Lain halnya
dengan peta net isopach yang menginformasikan ketebalan batupasir secara keseluruhan.
Informasi yang dapat dilihat pada ini adalah pola penyebaran lapisan yang ditunjukkan oleh
kontur struktur, penyebaran ketebalan batupasir yang ditunjukkan dengan kontur net isopach
dan batas minyak air / Oil Water Contect (OWC) ataupun Oil Down To (ODT). Dengan
demikian peta net pay merupakan gabungan dari peta isopach dan peta net sand
Atau
IGIP = Vb x Ф x Sh (STM³)
BGI
Dimana :
IGIP : Volume hidrokarbon mula-mula (a) SCF atau (b) STM³
Vb : Volume reservoar, (a) acre-ft atau (b) m³
Ф : Porositas batuan
Sh : Hidrokarbon saturasi
Boi : Faktor volume formasi minyak mula-mula (a) BBL/STB atau (b)
m³/STM³.
43560 : Konstanta konversi,SCF.
b. Cara Trapezoidal
Metode ini digunakan bila harga perbandingan antara kontur yang berurutan lebih dari
0,5 atau An+1/An>0,5 (Sylvan,J.Pirson,1985).
Dimana persamaan yang digunakan :
Dimana :
Vb = Volume Bulk, (m³)
H = Interval garis-garis net pay area (m)
An = Luas daerah yang dibatasi oleh garis net pay terendah (m²)
An+1 = Luas daerah yang dibatasi oleh garis net pay diatasnya (m²)
BAB III
GEOLOGI REGIONAL
Gambar II.1 Posisi Cekungan Sumatera Selatan sebagai cekungan busur belakang (Blake, 1989)
2. Median graben
Zona Semangko dimulai dari teluk Semangko di Sumatara Selatan hingga ke Aceh
dengan lembah Kotaraja di bagian paling ujung utara Pulau Sumatra. Beberapa bagian terdapat
gunung berapi muda. Berupa lembah-lembah yang sempit dan cekungan vulkanik-
tektonik membentuk Zona Semangko. Zona patahan utama yang disebut “patahan Ulu-
Aer” oleh Durham (1940), meluas ke arah utara dan kemudian terdapat gelombang di sebelah
timur laut hingga Sibubuhan dan Sipirok; sebelah barat Rau, patahan Angkola dengan beberapa
percabangan berakhir di ujung sebalah barat kemudian memanjang ke arah barat laut sepanjang
Lembah Batang Gadis dan Batang Angkola, didaerah sekitar Muara Sipongi, Siabu, Sarumai-
tinggi, dan Padang Sidempuan. Di dekat Padang Sidempuan terdapat transisi antara Barisan
Sumatra Tengah dan Puncak Batak di Sumatra Utara.
3. Pegunungan timur
Merupakan bagian timur dari bukit barisan yang terbentuk pada jaman kuarter
vulkanik. Dilihat dari umur batuan relatif sama dengan blok bengkulu.
Terdiri dari:
- Blok Semangka dan Ratai
- Granit dan vulkano Huluwaisamang
- Graben Gedongsurian
- Celah Komering dan Pegunungan Garba
- Gunung Pasemah dan Gumai
- Kaba Volkano
- Gunung Kaba
4. Dataran rendah
Blok Sekampung dikelilingi oleh patahan Lampung di sebelah barat daya hingga timur
laut.Sepanjang patahan Lampung, beberapa dome asam tertekan sepanjang jalur
Tandjongkarang - Kotabumi. Dome asam ini dibentuk akibat proses hidrotermal
(silifikasi, impregnasi dengan sulfida). Proses ini juga berpengaruh secara langsung pada tuff di
sekelilingnya.
konglomerat. Kontak antara Formasi Talang Akar dengan Formasi Lemat tidak selaras pada
bagian tengah dan pada bagian pinggir dari cekungan kemungkinan paraconformable. Umur dari
Formasi Talang Akar ini adalah Oligosen Atas-Miosen Bawah
4. Formasi Baturaja
Anggota ini dikenal dengan Formasi Baturaja. Diendapkan pada bagian intermediate-
shelfal dari Cekungan Sumatera Selatan, di atas dan di sekitar platform dan tinggian.Kontak pada
bagian bawah dengan Formasi Talang Akar atau dengan batuan Pra Tersier. Komposisi dari
Formasi Baturaja ini terdiri dari Batugamping Bank (Bank Limestone) atau platform dan reefal.
Ketebalan bagian bawah dari formasi ini bervariasi, namun rata-ratta 200-250 feet (sekitar 60-75
m). Singkapan dari Formasi Baturaja di Pegunungan Garba tebalnya sekitar 1700 feet (sekitar
520 m). Formasi ini sangat fossiliferous dan dari analisis umur anggota ini berumur Miosen.
Fauna yang ada pada Formasi Baturaja umurnya N6-N7.
5. Formasi Gumai
Formasi Gumai tersebar secara luas dan terjadi pada zaman Tersier, formasi ini
terendapkan selama fase transgresif laut maksimum, (maximum marine transgressive) ke dalam
2 cekungan. Batuan yang ada di formasi ini terdiri dari napal yang mempunyai karakteristik
fossiliferous, banyak mengandung foram plankton. Sisipan batugamping dijumpai pada bagian
bawah.
Batuan penyusun yang ada pada formasi ini berupa batupasir, batulempung, dan lapisan
batubara. formasi ini berumur Miosen Akhir sampai Pliosen, berdasarkan kedudukan
stratigrafinya. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal sampai brackist (pada
bagian dasar), delta plain dan lingkungan non marine.
2. Reservoar
Dalam cekungan Sumatera Selatan, beberapa formasi dapat menjadi reservoar yang
efektif untuk menyimpan hidrokarbon, antara lain adalah pada basement, formasi Lahat, formasi
Talang Akar, formasi Batu Raja, dan formasi Gumai. Sedangkan untuk sub cekungan Palembang
Selatan produksi hidrokarbon terbesar berasal dari formasi Talang Akar dan formasi Batu Raja.
Basement yang berpotensi sebagai reservoar terletak pada daerah uplifted dan paleohigh yang
didalamnya mengalami rekahan dan pelapukan. Batuan pada basement ini terdiri dari granit dan
kuarsit yang memiliki porositas efektif sebesar 7 %. Untuk formasi Talang Akar secara umum
terdiri dari quarzone sandstone, siltstone, dan pengendapan shale.Sehingga pada sandstone
sangat baik untuk menjadi reservoar.Porositas yang dimiliki pada formasi talang Akar berkisar
antara 15-30 % dan permeabilitasnya sebesar 5 Darcy.Formasi Talang Akar diperkirakan
mengandung 75% produksi minyak dari seluruh cekungan Sumatera Selatan (Bishop, 2000).Pada
reservoar karbonat formasi Batu Raja, pada bagian atas 13 merupakan zona yang porous
dibandingkan dengan bagian dasarnya yang relatif ketat (tight).Porositas yang terdapat pada
formasi Baturaja berkisar antara 10-30 % dan permeabilitasnya sekitar 1 Darcy (Ariyanto, 2011).
4. Trap
Jebakan hidrokarbon utama diakibatkan oleh adanya antiklin dari arah baratlaut ke
tenggara dan menjadi jebakan yang pertama dieksplorasi.Antiklin ini dibentuk akibat adanya
kompresi yang dimulai saat awal miosen dan berkisar pada 2-3 juta tahun yang lalu (Bishop,
2000).Selain itu jebakan hidrokarbon pada cekungan Sumatra Selatan juga diakibatkan karena
struktur.Tipe jebakan struktur pada cekungan Sumatra Selatan secara umum dikontrol oleh
struktur-struktur tua dan struktur lebih muda.Jebakan struktur tua ini berkombinasi dengan sesar
naik sistem wrench fault yang lebih muda.Jebakan sturktur tua juga berupa sesar normal regional
yang menjebak hidrokarbon.Sedangkan jebakan struktur yang 14 lebih muda terbentuk
bersamaan dengan pengangkatan akhir Pegunungan Barisan (pliosen sampai pleistosen)
(Ariyanto, 2011).
5. Migrasi
Migrasi hidrokarbon ini terjadi secara horisontal dan vertikal dari source rock serpih dan
batubara pada formasi Lahat dan Talang Akar.Migrasi horisontal terjadi di sepanjang kemiringan
slope, yang membawa hidrokarbon dari source rock dalam kepada batuan reservoar dari formasi
Lahat dan Talang Akar sendiri.Migrasi vertikal dapat terjadi melalui rekahan-rekahan dan daerah
sesar turun mayor.Terdapatnya resapan hidrokarbon di dalam Formasi Muara Enim dan Air
Benakat adalah sebagai bukti yang mengindikasikan adanya migrasi vertikal melalui daerah
sesar kala Pliosen sampai Pliestosen (Ariyanto, 2011).
BAB IV
Korelasi struktur dilakukan menggunakan data kedalaman atau TVDSS yaitu pada
kedalaman 1130 m yang terdapat pada hampir semua sumur sehingga dapat diinterpretasi dan
dikorelasikan berdasarkan data log dan elektrofasies, serta dapat diketahui proses apa yang
menyebabkan perubahan pada penyebaran lapisan secara lateral tersebut. Hasil korelasi struktur
mampu menjelaskan kenampakan bawah permukaan saat ini, dapat diketahui pola penyebaran
lapisan batupasir secara berurutan berpola naik-turun sehingga dapat diketahui bahwa pola
tersebut mencerminkan adanya suatu bentukan struktur yang dapat menyebabkan terbentuknya
basin contoh Horst Grabben, sehingga kemungkinan akumulasi hidrokarbon terdapat pada
daerah tersebut.
Lapisan reservoar target ini terdapat pada kedalaman 1109 – 1246 TVDSS dibawah
permukaan dengan kandungan fluida berupa gas. Lapisan ini memiliki persebaran lateral dan
vertikal pada seluruh sumur bor.
Lapisan reservoar target ini terdapat pada kedalaman 1224 – 1321 TVDSS dibawah
permukaan dengan kandungan fluida berupa gas. Lapisan ini memiliki persebaran lateral dan
vertikal berdasarkan data pada sumur GMB 34, GMB 35, GMB 06, GMB 54, dan GMB 27.
Lapisan reservoar target ini terdapat pada kedalaman 1277 – 1309 TVDSS dibawah
permukaan dengan kandungan fluida berupa gas. Lapisan ini memiliki persebaran lateral dan
vertical berdasarkan data pada sumur GMB 26, GMB 23, GMB 49, dan GMB 46.
Lapisan reservoar target ini terdapat pada kedalaman 1200 – 1235 TVDSS di bawah
permukaan dengan kandungan fluida berupa minyak. Lapisan ini memiliki persebaran lateral
dan vertikal berdasarkan data pada sumur GMB 26, GMB 23, GMB 49, dan GMB 46.
Lapisan reservoar target ini terdapat pada kedalaman 1214 – 1270 TVDSS di bawah
permukaan dengan kandungan fluida berupa minyak. Lapisan ini memiliki persebaran lateral
dan vertikal berdasarkan data pada sumur GMB 54, GMB 27, dan GMB 45.
A.
B.
Gambar 4.4.1 Peta Top & Bottom Structure (A) Reservoar 2 dan
(B) Reservoar 1
2. Peta Fluid Contact
Peta ini dibuat berdasarkan penampalan dari garis GWC pada reservoar 2 (1301 m untuk
reservoar 2) dan garis LKG untuk reservoar 1 (1241 TVDSS)
A. B.
Gambar 4.4.2 Peta Fluid Contact (A) Reservoar 1 dan (B) Reservoar 2.
3. Peta Fasies
Peta ini merupakan fasies pegendapan batuan reservoar target.
A. B.
Gambar 4.4.3 Peta Fasies (A) Reservoar 1 dan (B) Reservoar 2.
A. B.
A. B.
BAB V
PENUTUP
V.1. Kesimpulan
Terdapat 5 lapisan reservoar target yaitu 1 reservoar batugamping Formasi Baturaja dan 4
reservoar batupasir Formasi Talang Akar. Kedalaman reservoar 1 yaitu 1109 – 1246
TVDSS, reservoar 2 antara 1224 – 1321 TVDSS, reservoar 3 berkisar 1277 – 1309
TVDSS, lalu reservoir 4 pada 1200 – 1235 TVDSS, dan reservoir 5 pada 1214 – 1270
TVDSS.
Peta yang dihasilkan dari analisa korelasi adalah Peta Top Structure, Peta Bottom
Structure, Peta Fluid Contact, Peta Fasies, Peta Netres, dan Peta Net Pay.
Pada korelasi log, penggambaran reservoir 1 terputus dikarenakan oleh susunan antar log.
Kontak fluid terletak pada:
a. Reservoar batugamping terdapat pada kedalaman 1241 TVDSS.
b. Reservoar batupasir 1 terdapat pada kedalaman 1301 TVDSS.
Volume gas yang terdapat pada lapisan target sebesar:
a. Reservoar batugamping : 438.611,398550 acre ft.
b. Reservoar batupasir 1 : 8.069,909488 acre ft.
IGIP (Initial Gas In Place) sebesar :
a. Reservoar batugamping : 183.240.567.347 SCF atau 183,24 BCF.
b. Reservoar batupasir 1 : 6.979.436.102 SCF atau 6,98 BCF.