Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Penyakit Hipertensi

1. Pengertian Hipertensi

Heart and Stroke Foundation of Ontario(HSFO) and Registered Nurses’

Association of Ontario(RNAO) (2009), menjelaskan bahwa hipertensi adalah sebuah

kondisi medis dalam tekanan darah yang terus-menerus di atas kisaran normal.

Lebih lanjut pengertian hipertensi menurut Perhimpunan Dokter Spesialis

Kardiovaskuler (2015), menyatakan bahwa seseorang akan dikatakan hipertensi bila

memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90

mmHg, pada pemeriksaan yang berulang. Tekanan darah sistolik merupakan

pengukuran utama yang menjadi dasar penentuan diagnosis hipertensi. Adapun

pembagian derajat keparahan hipertensi pada seseorang merupakan salah satu dasar

penentuan tatalaksana hipertensi.

Sedangkan, menurut Udjianti (2013), menjelaskan bahwa hipertensi adalah

suatu peningkatan abnormal tekanan darah dalam pembuluh darah arteri secara terus

menerus lebih dari suatu periode. Hal ini terjadi bila arteriole-arteriole konstriksi.

Kontriksi artiole membuat darah sulit mengalir dan meningkatkan tekanan darah

lewat dinding, arteri. Hipertensi menambah beban kerja jantung dan arteri yang bila

berlanjut dapat menimbulkan kerusakan jantung dan pembuluh darah.

Berdasarkan pengertian hipertensi yang disampaikan oleh beberapa ahli di atas

dapat dijelaskan bahwa hipertensi merupakan kondisi dimana tekanan sistolik ≥ 140

mmHg dan atau tekanan diastolik ≥ 90 mmHg.

2. Klasifikasi Hipertensi
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler (2015), menjelaskan bahwa

klasifikasi hipertensi antara lain sebagai berikut:

a. Optimal

Jika sistolik menunjukan angka <120 dan diastolik menunjukkan angka <80.

b. Normal

Jika sistolik pada angka 120-129 dan/atau diastolik pada 80-84

c. Normal tinggi

Jika sistolik pada angka 130-139 dan/atau diastolik pada 34-89

d. Hipertensi derajat 1

Jika sistolik pada angka 140-159 dan/atau diastolik pada 90-99

e. Hipertensi derajat 2

Jika sistolik pada angka 160-179 dan/atau diastolik pada 100-109

f. Hipertensi derajat 3

Jika sistolik pada angka ≥180 dan/atau diastolik pada ≥110

g. Hipertensi sistolik terisolasi

Jika sistolik pada angka ≥140 dan diastolik pada angka >90
Udjianti (2013), menjelaskan bahwa klasifikasi hipertensi berdasarkan level

tekanan darah antara lain:

a. Normotensi

Jika sistolik pada angka <140 dan diastolik pada angka <90

b. Hipertensi ringan

Jika sistolik pada angka 140-180 atau disatolik pada angka 90-105

c. Subgroup garis batas

Jika sistolik pada angka 140-160 atau diastolik 90-105

d. Subgroup garis bawah

Jika sistolik pada angka 140-160 dan diastolik pada angka <90

e. Hipertensi sedang dan berat

Jika sistolik pada angka >180 atau diastolik pada angka >105

f. Hipertensi sistolik terisolasi

Jika sistolik pada angka >140 dan diastolik pada angka <90

Lebih lanjut Udjianti (2013), menjelaskan bahwa hipertensi berdasarkan etiologinya

dibagi menjadi dua yaitu hipertensi primer atau esensial dan hipertensi sekunder:

a. Hipertensi esensial atau hipertensi primer

Merupakan 90% dari seluruh kasus hipertensi adalah hipertensi esensial yang

didefinisikan sebagai peningkatan darah yang tidak diketahui penyebabnya

(idiopatik). Beberapa faktor diduga berkaitan dengan perkembangannya hipertensi

esensial seperti berikut ini:


1) Genetik

Individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi, beresiko tinggi

untuk meendapatkan penyakit ini.

2) Jenis kelamin dan usia

Laki-laki berusia 35-50 tahun dan waniita pasca menopouse beresiko tinggi

untuk mengalami hipertensi.

3) Diet

Konsumsi diet tinggi garam atau lemak secara langsung, berhubungan dengan

berkembangnya hipertensi.

4) Berat badan

Obesitas (25% diatas BB ideal) dikaitkan dengan berkembangnya hipertensi.

5) Gaya hidup

Merokok dan konsumsialkohol dapat meningkatkan tekanan darah bila gaya

hidup menetap.

b. Hipertensi sekunder

Merupakan 10% dari seluruh kasus hipertensi adalah hipertensi sekunder, yang

didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah karena suatu kondisi fisik yang

ada sebelumnya seperti penyakit ginjal atau gangguan tiroid. Faktor pencetus

munculnya hipertensi sekunder antara lain: gangguan kontasepsi oral, coarctation

aorta, neurogenik (tumor otak, enfefalitis, gangguan psikiatris), kehamilan,

peningkatan volume intravaskular, luka bakar, dan stres.

3. Etiologi Hipertensi

Udjianti (2013), menjelaskan bahwa etiologi yang pasti dari hipertensi belum

diketahui. Namun, sejumlah interaksi beberapa energi homeostatik saling terkait.

Defek awal diperkirakan pada mekanisme pengaturan cairan tubuh dan tekanan oleh
ginjal. Faktor hereditas berperan penting bilamana ketidakmampuan genetik dalam

mengelola kadar natrium normal. Kelebihan intake natrium dalam diet dapat

meningkatkan volume cairan dan curah jantung. Pembuluh darah memberikan reaksi

atas peningkatan aliran darah melalui kontraksi atau peningkatan tahanan perifer.

Tekanan darah tinggi adalah hasil awal dari peningkatan curah jantung yang

kemudian dipertahankkan pada tingkat yang lebih tinggi sebagai suatu timbal balik

peningkatan tahanan perifer. Etiologi hipertensi sekunder pada umumnya diketahui.

Berikut ini beberapa kondisi yang menjadi penyebab terjadinya hipertensi sekunder

yaitu:

a. Penggunaan kontrasepsi hormonal (estrogen)

Oral kontrasepsi yang berisi estrogen dapat menyebabkan hipertensi melalui

mekanisme Renin-aldosteron-mediated volume expansion. Dengan penghentian

oral kontrasepsi, tekanan darah normal kembali setelah beberapa bulan.

b. Penyakit parenkim dan vaskular ginjal

Merupakan penyebab utama hipertensi sekunder. Hipertensi renovaskular

berhubungan dengan penyempitan satu aatu lebih arteri besar yang secara

langsung membawa darah ke ginjal. Sekitar 90% lesi arteri renal pada klien

dengan hipertensi disebabkan oleh aterosklerosis atau fibrous displasia

(pertumbuhan abnormal jaringan fibrous). Penyakit parenkim ginjal terkait dengan

infeksi, inflamasi dan perubahan stuktur, serta fungsi ginjal.

c. Gangguan endokrin

Disfungsi medula adrenal atau kortek adrenal dapat menyebabkan hipertensi

sekunder. Adrenal-mediated hypertension disebabkan kelebihan primer

aldosteron, kortisol, dan katekolamin. Pada aldosteronisme primer biasanya

timbul dari benign adenoma korteks adrenal. Pheochromocytomas pada medula


adrenal yang paling umum dan meningkatkan sekresi ketokolamin yang

berlebihan. Pada Sindrom Cushing’s mungkin disebabkan oleh hiperplasi

adrenokortikal atau adenoma adrenokortikal.

d. Coarctation aorta

Merupakan penyempitan aorta kongenital yang mungkin terjadi beberapa tingkat

pada aorta atau aorta abdominal. Penyempitan menghambat aliran darah melalui

lengkung aorta mengakibatkan peningkatan tekanan darah di atas area kontriksi.

e. Neurogenik seperti: tumor otak, encephalitis, dan gangguan psikiatrik

f. Kehamilan

g. Luka bakar

h. Penigkatan volume intravaskular


i. Merokok

Nikotin dalam rokok merangsang pelepasan katekolami. Peningkatan

ketokolamin menyebabkan iritabilitas miokardial, peningkatan denyut jantung,

dan menyebabkan vasokontriksi, yang mana akhirnya meningkatkan tekanan

darah.

4. Patofisiologi Hipertensi

Nurarif (2013) dalam Nuraini (2015), menjelaskan bahwa tekanan darah

dipengaruhi volume sekuncup dan total peripheral resistance. Apabila terjadi

peningkatan salah satu dari variabel tersebut yang tidak terkompensasi maka dapat

menyebabkan timbulnya hipertensi. Tubuh memiliki sistem yang berfungsi mencegah

perubahan tekanan darah secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi dan

mempertahankan stabilitas tekanan darah dalam jangka panjang. Sistem pengendalian

tekanan darah sangat kompleks. Pengendalian dimulai dari sistem reaksi cepat seperti

reflex kardiovaskuler melalui sistem saraf, refleks kemoreseptor, respon iskemia,

susunan saraf pusat yang berasal dari atrium, dan arteri pulmonalis otot polos.

Sedangkan sistem pengendalian reaksi lambat melalui perpindahan cairan antara

sirkulasi kapiler dan rongga intertisial yang dikontrol oleh hormon angiotensin dan

vasopresin. Kemudian dilanjutkan sistem poten dan berlangsung dalam jangka

panjang yang dipertahankan oleh sistem pengaturan jumlah cairan tubuh yang

melibatkan berbagai organ. Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui

terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting

enzyme(ACE). ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan

darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh

hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE

yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin


II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua

aksi utama.

Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan

rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal

untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat

sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat

dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan

ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume

darah meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. Selanjutnya,

aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron

merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk

mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl

(garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl

akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang

pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.

Manifestasi klinis yang dapat muncul akibat hipertensi ialah sebagian besar

gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun. Manifestasi klinis

yang timbul dapat berupa nyeri kepala saat terjaga yang kadang-kadang disertai mual

dan muntah akibat peningkatan tekanan darah intrakranium, penglihatan kabur akibat

kerusakan retina, ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan saraf,

nokturia(peningkatan urinasi pada malam hari) karena peningkatan aliran darah ginjal

dan filtrasi glomerolus, edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler.

Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan iskemik

transien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi atau

hemiplegia atau gangguan tajam penglihatan. Gejala lain yang sering ditemukan
adalah epistaksis, mudah marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar

tidur, dan mata berkunang-kunang.

5. Manifestasi Klinis Hipertensi

Manifestasi klinis penyakit hipertensi bermacam-macam menurut WHO

(World Health Organization) (2013), menjelaskan bahwa sebagian besar penderita

hipertensi tidak merasakan gejala penyakit. Ada kesalahan pemikiran yang sering

terjadi pada masyarakat bahwa penderita hipertensi selalu merasakan gejala penyakit.

Kenyataannya justru sebagian besar penderita hipertensi tidak merasakan adanya

gejala penyakit. Hipertensi terkadang menimbulkan gejala seperti sakit kepala, nafas

pendek, pusing, nyeri dada, palpitasi, dan epistaksis. Gejala-gejala tersebut berbahaya

jika diabaikan, tetapi bukan merupakan tolak ukur keparahan dari penyakit hipertensi

Sedangkan, menurut Udjianti (2013) menjelaskan bahwa biasanya tanpa gejala

atau tanda-tanda peringatan untuk hipertensi dan sering disebut “silent killer”. Pada

kasus hipertensi beray, gejala yang dialami klien antara lain: sakit kepala (rasa berat

ditengkuk), palpitasi, kelelahan, nausea, vomiting, ansietas, keringat berlebihan,

tremor otot, nyeri dada, epitaksis, pandangan kabur atau ganda, tinnitus (telinga

berdering, serta keluitan tidur.

Corwin (2009), menjelaskan bahwa sebagian besar manifestasi klinis terjadi

setelah mengalami hioertensi bertahun-tahun dan berupa:

a. Sakit kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat

penigkatan tekanan darah intrakranium.

b. Penglihatan kabur akibat kerusakan hipersensitifitas retina.

c. Cara berjalan yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat

d. Nokturia yang disebabkan peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus.

e. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler.


6. Pemeriksaan Penunjang

Beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien

dengan hipertensi. Udjianti (2013), menjelaskan bahwa pemeriksaan penunjang atau

pemeriksaan diagnostik yang dilakukan untuk pasien dengan hipertensi antara lain:

a. Hitung darah lengkap (complete blood cells count) meliputi: pemeriksaan

hemoglobin, hematokrit untuk menilai vikositas dan indikator faktor resiko seperti

hiperkoagulabilitas, anemia.

b. Kimia darah meliputi:

1) BUN, kreatinin

Peningkatan kadar menandakan penurunan perfusi atau faal renal.

2) Serum glukosa

Hiperglisemia (diabetes melitus adalah prespirator hipertensi) akibat dari

peningkatan ketokolamin.

3) Kadar kolesterol atau trigliserida

Peningkatan kadar mengindikasikan predisposisi pembentukan plaque

atheromatus.

4) Kadar serum aldosteron

Menilai adanya hipertirodisme primer.

5) Studi tiroid (T3 dan T4)

Menilai adanya hipertirodisme yang berkontribusi terhadap vasokonstriksi dan

hipertensi.

6) Asam urat

Hiperuremia merupakan implikasi faktor resiko hipertensi.


c. Elektrolit

1) Serum potasium atau kalium (hipoglikemia mengindikasikan adanya

aldosteronisme atau efek samping terapi deuretik).

2) Serum kalsium bila meningkat berkontribusi terhadap hipertensi.

d. Urine

1) Analisis urine adanya darah, protein, glukosa dalam urine mengindikasikan

disfungsi renal dan diabetes.

2) Urine VMA (catecholamine metabolite) jika mengalami peningkatan kadar

mengindikasikan adanya pheochromacytoma.

3) Steroid urine jika mengalami peningkatan kadar mengindikasikan

hiperadrenalisme, pheochomacytoma, atau disfungsi pituitasi, sindrom

cushing’s, kadar renin juga menginkatkan.

e. Radiologi

1) Intra Venous Pyelografi (IVP)

Mengidentifikasi penyebab hipertensi seperti renal pharenchymal disease,

urolithiasis, benign prostate hyperplasia (BPH).

2) Rontgen toraks

Menilai adanya klasifikasi obstruksi katup jantung , deposit kalsium pada

aorta, dan pembesaran jantung.

f. EKG

Menilai adanya hipertrofi miokard, pola strain, gangguan konduksi atau disritmia.
7. Faktor Resiko Hipertensi

Selain faktor penyebab terjadinya hipertensi terdapat pula faktor resiko

hipertensi. Pusat Medis UCSF (University of California San Francisco) (2017),

menjelaskan bahwa faktor risiko terjadi tekanan darah tinggi (hipertensi) antara lain:

a. Obesitas/kegemukan

Semakin besar massa tubuh seseorang maka semakin lebih aliran darah yang

diperlukan untuk memasok oksigen dan zat-zat makanan ke jaringan tubuh.

Sebagian volume darah beredar melalui pembuluh darah meningkat, begitu juga

tekanan di dalam pembuluh darah.

b. Terlalu banyak garam (sodium) yang dikonsumsi

Terlalu banyak sodium dalam makanan yang dikonsumai dapat menyebabkan

tubuh untuk mempertahankan cairan, dan juga menyebabkan pembuluh darah

dalam tubuh untuk menyempit. Kedua-dua faktor meningkatkan tekanan darah.

c. Terlalu sedikit kalium yang dikonsumsi

Kalium membantu menyeimbangkan jumlah natrium di dalam sel-sel tubuh.

Kalium menyebabkan sel-sel otot halus di arteri untuk beristirahat, sehingga akan

menurunkan tekanan darah.

d. Tidak melakukan latihan fisik/olahraga

Latihan fisik yang meningkatkan aliran darah melalui semua arteri tubuh, yang

membantuuntuk melepaskan hormon dan sitokin yang terbaik pembuluh darah,

yang pada akhirnya akan menurunkan tekanan darah. Kurangnya aktivitas fisik

juga meningkatkan risiko kegemukan.

e. Terlalu banyak minum alkohol

Mengkonsumsi lebih dari dua minuman per hari bisa menyebabkan hipertensi,

mungkin dengan mengaktifkan sistem syaraf adrenergik, menyebabkan


menyempitkan pembuluh-pembuluh darah, dan secara bersamaan meningkatkan

dalam aliran darah dan jantung.

f. Stress

Stress akan membuat hormon adrenalin meningkat dan meningkatan tekanan

darah seseorang.

g. Obat anti inflamasi non steroid(OAINS)

Ibuprofen (Advil, Motrin, Ibuprofen) dapat menyebabkan memburuknya

hipertensi yang ada atau menimbulkan tekanan darah tinggi baru. Selain itu, juga

dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal, memburuknya gagal jantung, dan

bahkan serangan jantung atau stroke. Ibuprofen adalah anggota kelas obat-obatan

yang disebut OAINS, yang mencakup naproxen (Aleve, Naprosyn, dan Anaprox),

sulindac (Clinoril), diklofenak (Voltaren), piroxicam (Feldene), indomethacin

(Indocin), Mobic, Lodine dan celecoxib (Celebrex).

h. Kondisi kronik tertentu

Kondisi kronik tertentu juga dapat meningkatkan risiko tekanan darah tinggi,

termasuk diabetes, penyakit ginjal dan sleep apnea.


i. Pola makan yang rendah vitamin D

Jika memiliki terlalu sedikit vitamin D dapat menyebabkan tekanan darah tinggi.

Para peneliti berpendapat bahwa vitamin D dapat mempengaruhi enzim yang

dihasilkan oleh ginjal yang mempengaruhi tekanan darah. Kajian lebih diperlukan

untuk menentukan vitamin D, peran tepat dalam tekanan darah tinggi.

8. Penatalaksanaan Hipertensi

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler (2015), menjelaskan bahwa

tatalaksana penderita hipertensi antara lain sebagai berikut:

a. Non farmakologis

Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan tekanan

darah, dan secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan risiko

permasalahan kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1,

tanpa faktor risiko kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup sehat merupakan

tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4 – 6 bulan. Bila

setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan tekanan darah yang

diharapkan atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain, maka sangat

dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi.

Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak guidelines adalah :
1) Penurunan berat badan

Mengganti makanan tidak sehat dengan memperbanyak asupan sayuran dan

buah-buahan dapat memberikan manfaat yang lebih selain penurunan tekanan

darah, seperti menghindari diabetes dan dislipidemia.

2) Mengurangi asupan garam

Di negara kita, makanan tinggi garam dan lemak merupakan makanan

tradisional pada kebanyakan daerah. Tidak jarang pula pasien tidak menyadari

kandungan garam pada makanan cepat saji, makanan kaleng, daging olahan

dan sebagainya. Tidak jarang, diet rendah garam ini juga bermanfaat untuk

mengurangi dosis obat antihipertensi pada pasien hipertensi derajat ≥ 2.

Dianjurkan untuk asupan garam tidak melebihi 2 gr/ hari

3) Olah raga

Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 – 60 menit/ hari, minimal

3 hari/ minggu, dapat menolong penurunan tekanan darah. Terhadap pasien

yang tidak memiliki waktu untuk berolahraga secara khusus, sebaiknya harus

tetap dianjurkan untuk berjalan kaki, mengendarai sepeda atau menaiki tangga

dalam aktifitas rutin mereka di tempat kerjanya.

4) Mengurangi konsumsi alkohol

Walaupun konsumsi alkohol belum menjadi pola hidup yang umum di negara

kita, namun konsumsi alkohol semakin hari semakin meningkat seiring dengan

perkembangan pergaulan dan gaya hidup, terutama di kota besar. Konsumsi

alkohol lebih dari 2 gelas per hari pada pria atau 1 gelas per hari pada wanita,

dapat meningkatkan tekanan darah. Dengan demikian membatasi atau

menghentikan konsumsi alkohol sangat membantu dalam penurunan tekanan

darah.
5) Berhenti merokok

Walaupun hal ini sampai saat ini belum terbukti berefek langsung dapat

menurunkan tekanan darah, tetapi merokok merupakan salah satu faktor risiko

utama penyakit kardiovaskular, dan pasien sebaiknya dianjurkan untuk

berhenti merokok.

b. Terapi farmakologi

Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien

hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah > 6

bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2.

Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu diperhatikan untuk menjaga

kepatuhan dan meminimalisasi efek samping, yaitu:

1) Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal;

2) Berikan obat generic (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya;

3) Berikan obat pada pasien usia lanjut ( diatas usia 80 tahun ) seperti pada usia

55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid;

4) Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-i)

dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs);

5) Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi

farmakologi;

6) Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur.

9. Komplikasi Hipertensi

Komplikasi dapat terjadi akibat penyakit hipertensi, Corwin (2009)

menjelaskan bahwa komplikasi yang dapat terjadi antara lain:

a. Stroke
Stroke dapat terjadi akibat hemoragi tekanan tinggi di otak atau akibat embolus

yang terlepas dari pembuluh selain otak yang terpajang tekanan tinggi. Stroke

dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri yang memperdarahi otak

mengalami hipertrofi dan penebalan, sehingga aliran darah ke area otak yang

diperdarahi berkurang. Arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat melemah

sengingga meningkatkan kemingkinan terbentuknya aneurisma.

b. Infark miokard

Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerotik tidak dapat

menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang

menghambat aliran darah melewati pembuluh darah. Pada hipertensi kronis dan

hipertrofi ventrikel, kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat dipenuhi

dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark. Demikian juga,

hipertrofi ventrikel sehingga terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan

resiko pembekuan darah.

c. Gagal ginjal

Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresifakibat tekanan tinggi pada

kapiler glomerolus ginjal. Dengan rusaknya glomerolus, aliran darah ke unit

fungsional ginjal yaitu nefron akan terganggu dan berlanjut menjadi hipoksik dan

kematian. Dengan rusaknya membran glomeulus, protein akan keluar melalui

urine sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang dan menyebabkan

edema , sehingga sering dijumpai pada hipertensi kronis.

d. Ensefalipati (kerusakan otak)

Ensefalopati dapat terjadi, terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang

meningkat cepat dan berbahaya). Tekanan sangat tinggi pada kelainan ini

menyebabkan peningkatan kapiler dan mendorong cairan ke ruang interstisial di


seluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron di sekitarnya kolaps dan terjadi koma

serta kematian.

e. Kejang

Kejang dapat terjadi pada wanita preeklamsi. Bayi yang lahir mungkin memiliki

berat lahir kecil masa kehamilan akibat perfusi plasenta yang tidak adekuat,

kemudian dapat mengalami hipoksia dan sisdosis jika ibu mengalami kejang

selama atau sebelim proses perasalinan.

Sedangkan, Nuraini (2015) menjelaskan bahwa hipertensi merupakan faktor

resiko utama untuk terjadinya penyakit jantung, gagal jantung kongesif, stroke,

gangguan penglihatan dan penyakit ginjal. Tekanan darah yang tinggi umumnya

meningkatkan resiko terjadinya komplikasi tersebut. Hipertensi yang tidak diobati

akan mempengaruhi semua sistem organ dan akhirnya memperpendek harapan hidup

sebesar 10-20 tahun. Komplikasi yang terjadi pada hipertensi ringan dan sedang

mengenai mata, ginjal, jantung dan otak. Pada mata berupa perdarahan retina,

gangguan penglihatan sampai dengan kebutaan. Gagal jantung merupakan kelainan

yang sering ditemukan pada hipertensi berat selain kelainan koroner dan miokard.

Pada otak sering terjadi stroke dimana terjadi perdarahan yang disebabkan oleh

pecahnya mikroaneurisma yang dapat mengakibakan kematian. Kelainan lain yang

dapat terjadi adalah proses tromboemboli dan serangan iskemia otak sementara

(Transient Ischemic Attack/TIA). Gagal ginjal sering dijumpai sebagai komplikasi

hipertensi yang lama dan pada proses akut seperti pada hipertensi maligna.

Selain itu, hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara

langsung maupun tidak langsung. Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab

kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan

darah pada organ, atau karena efek tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi
terhadap reseptor angiotensin II, stress oksidatif. Penelitian lain juga membuktikan

bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam

timbulnya kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat

meningkatnya ekspresi transforming growth factor-β (TGF-β).


B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Hipertensi

1. Pengkajian
a. Pengukuran Tekanan Darah

Smeltzer (2002) menjelaskan bahwa pengukuran tekanan darah dilakukan

untuk mendeteksi tekanan darah dengan interval yang sering dan kemudian

dilanjutkan dengan interval dengan jadwal yang rutin. Apabila pasien sedang

dalam masa pengobatan antihipertensi, pengukuran tekanan darah wajib dilakukan

untuk menentukan apakah obat tersebut efektif dan untuk mengetahui adanya

perubahan tekanan darahyang memerlukan penggantian pengobatan.

b. Riwayat

Smeltzer (2002) menjelaskan bahwa riwayat yang lengkap harus

diperoleh untuk mengkaji gejala yang menunjukkan apakah system tubuh lainnya

telah terpengaruh oleh hipertensi. Meliputi tanda seperti :

1) Perdarahan hidung

2) Nyeri angina

3) Napas pendek

4) Perubahan tajam pandang

5) Vertigo

6) Sakit kepala (Nokturia)


c. Pemeriksaan Fisik

Smeltzer (2002) menjelaskan bahwa pemeriksaan fisik juga harus

memperhatikan kecepatan, irama, dan karakter denyut apikal dan perifer untuk

mendeteksi efek hipertensi terhadap jantung dan pembuluh darah perifer.

Pengkajian menyeluruh dapat memberikan informasi berharga mengenai sejauh

mana hipertensi telah mempengaruhi tubuh begitu juga setiap faktor psikologis

yang ada hubungannya dengan masalah ini.

Doenges (2000) menjelaskan bahwa pemeriksaan fisik yang dilakukan

yaitu:

1) Aktivitas atau istirahat

Gejala : Kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup monoton.

Tanda : Frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung, takipnea.

2) Sirkulasi

Gejala : Riwayat hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung korone/katup,

dan penyakit serebrovaskuler. Serta ditemukan episode palpitasi

serta perspirasi.

Tanda : Kenaikan tekanan darah (pengukuran serial dari kenaikan tekanan

darah diperlukan untuk menegakkan diagnosis). Hipotensi postural

(mungkin berhubungan dengan regimen obat). Lebih lanjut lagi

dijelaskan bahwa tanda lain yaitu:

a) Nadi

Denyutan jelas dari karotis, jugularis, radialis, perbedaan denyut seperti

denyut femoral melambat sebagai kompensasi denyutan radialis atau

brakhialis, denyut popliteal, tibialis posterior, dan pedalis tidak teraba atau

lemah.
b) Denyut apical

PMI kemungkinan bergeser dan atau sangat kuat.

c) Frekuensi/irama

Takikardia, berbagai disritmia.

d) Bunyi jantung

Terdengar S2 pada dasar, S3 (CHF dini), S4 (pengerasan ventrikel

kiri/hipertropi ventrikel kiri). Murmur stenosis valvular. Desiran vaskular

terdengar diatas karotis, femoralis, atau epigastrium (stenosis arteri).

e) DVJ (distensi vena jugularis) dan kongesti vena.

f) Ekstremitas

Perubahan warna kulit. Suhu dingin (vasokontriksi perifer), pengisian

kapiler mungkin lambat/tertunda (vasokontriksi). Kulit pucat, sianosis, dan

diaforesis (kongesti, hipoksemia), kemerahan (feokromositoma).

3) Integritas ego

Gejala : Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euforia, atau

marah kronik (dapat mengindikasikan kerusakan serebral). Faktor-

faktor stres multipel (hubungan, keuangan yang berkaitan dengan

pekerjaan).

Tanda : Letupan suasana hati, gelisah, penyempitan kontinu perhatian,

tangisan yang meledak, gerak tangan empati, otot muka tegang

(khususnya sekitar mata), gerakan fisik cepat, pernapasan

menghela, dan peningkatan pola bicara.

4) Eliminasi

Gejala : Gangguan ginjal saat ini atau yang lalu (seperti infeksi/obstruksi

atau riwayat penyakit ginjal yang lalu).


5) Makanan/cairan

Gejala : Makanan yang disukai, yang dapat mencakup makanan tinggi

garam, tinggi lemak, tinggi kolesterol (seperti makanan yang

digoreng, keju, telur), gula-gula yang berwarna hitam, dan

kandungan tinggi kalori. Mual dan muntah, perubahan berat badan

akhir-akhir ini (meningkat/turun), riwayat penggunaan obat

diuretik.

Tanda : Berat badan normal atau obesitas. Adanya edema (mungkin umum

atau tertentu), kongesti vena, DVJ, dan glikosuria (hampir 10%

pasien hipertensi adalah diabetik).


6) Neurosensori

Gejala : Keluhan pening/pusing. Berdenyut, sakit kepala suboksipital

(terjadi saat bangun dan menghilang secara spontan setelah

beberapa jam). Epidose kebas dan/atau kelemahan pada satu sisi

tubuh, gangguan pengelihatan (diplopia, penglihatan kabur),

episode epitaksis

Tanda :

a) Status mental

Perubahan keterjagaan, orientasi, pola/isi bicara,afek, proses pikir, atau

memori (ingatan);

b) Respon motorik

Penurunan kekuatan genggaman tangan dan/atau refleks tendon dalam;

c) Perubahan-perubahan retinal optik

Dari sklerosis/penyempitan arteri ringan sampai berat dan perubahan

sklerotik dengan edema atau papiledema, eksudat, dan hemoragi

tergantung pada berat/lamanya hipertensi.

7) Nyeri/ketidaknyamanan

Gejala : Angina (penyakit arteri koroner atau keterlibatan jantung). Nyeri

hilang timbul pada tungkai atau klaudikasi (indikasi

arteriosklerosis pada arteri ekstremitas bawah). Sakit kepala

oksipital berat, seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Nyeri

abdomen atau massa (feokromositoma)

8) Pernapasan

Secara umum gangguan ini berhubungan dengan efek kardiopulmonal tahap

lanjut dari hipertensi menetap atau berat.


Gejala : Dispnea yang berkaitan dengan aktivitas atau kerja. Takipnea,

ortopnea, dispnea nocturnal paroksismal. Batuk dengan atau tanpa

pembentukan sputum.Riwayat merokok.

Tanda : Distres respirasi atau penggunaan otot aksesori pernafasan. Bunyi

napas tambahan (krakles/mengi), sianosis.

9) Keamanan

Gejala : Episode parestesia unilateral transient. Hipotensi potural.


10) Pembelajaran atau penyuluhan

Gejala : Faktor-faktor resiko keluarga seperti hipertensi, aterosklerosis,

penyakit jantung, diabetes mellitus, dan penyakit serebrovaskular

atau ginjal. Penggunaan pil KB atau hormon lain dan penggunaan

obat atau alkohol.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan pada pasien hipertensi menurut Doenges (2000) adalah

sebagai berikut:

a. Nyeri akut (sakit kepala) yang berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler

serebral;

b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum;

c. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan meningkatnya produksi ADH dan

retensi natrium/air;

d. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan

penurunan/penghentian aliran darah;

e. Kurang pengetahuan mengenai penyakit berhubungan dengan kurangnya

informasi;

f. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan suplai oksigen;

g. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan sensorik.


3. Intervensi Keperawatan

Intervensi pada pasien hipertensi menurut Moorhead (2014) sebagai berikut:

a. Nyeri akut (sakit kepala) yang berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler

serebral.

Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri berkurang.

Kriteria hasil :Klien melaporkan nyeri berkurang, mengungkap metode yang

memberikan pengurangan, mengikuti regimen farmakologi yang

diresepkan.

Intervensi :

1) Kaji skala nyeri

Dengan rencana tindakan tersebut diharapkan skala nyeri terkontrol;

2) Anjurkan tirah baring selama fase akut

Dengan rencana tindakan tersebut diharapkan klien merasa lebih nyaman;

3) Berikan tindakan non farmakologis salah satunya nafas dalam

Dengan rencana tindakan tersebut diharapkan klien lebih rileks;

4) Anjurkan untuk mengurangi aktivitas yang dapat meningkatkan sakit kepala

Dengan rencana tindakan tersebut diharapkan klien tidak terganggu dalam

beristirahat.

b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.

Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien dapat melakukan

aktivitas sesuai tingkat kemampuan.

Kriteria hasil : Klien dapat melakukan aktivitas ringan.

Intervensi :

1) Kaji tingkat kemampuan klien melakukan aktivitas.


Dengan rencana tindakan tersebut dapat mengetahui tingkat kemampuan dan

perkembangan kemampuan aktivitas klien;

2) Motivasi klien untuk melakukan aktivitas ringan

Dengan rencana tindakan tersebut mendorong klien untuk berusaha melakukan

latihan beraktivitas;

3) Ajari klien tentang teknik penghematan energi

Dengan rencana tindakan tersebut diharpkan klien dapat berlatih secara

mandiri melakukan terknik tersebuut;

4) Berikan bantuan sesuai kebutuhan

Dengan rencana tindakan tersebut diharapkan klien terbantu dalam memenuhi

kebutuhan aktivitas.

c. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan meningkatnya produksi ADH dan

retensi natrium/air.

Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan volume cairan seimbang

Kriteria hasil : Berat badan stabil, Tidak ada edema


Intervensi :

1) Pantau tanda vital

Dengan rencana tindakan tersebut diharapkan tanda-tanda vital klien terpantau

tiap waktu;

2) Pantau input dan out put

Dengan rencana tindakan tersebut diharpkan masukan dan keluaran cairan

dapat terkontrol;

3) Timbang berat badan

Dengan rencana tindakan tersebut diharapkan berat badan akibat cairan yang

berlebih dapat terkontrol;

4) Auskultasi bunyi nafas

Dengan rencana tindakan tersebut diharapkan dapat mendeteksi adanya

kemungkinan timbunan cairan di paru.

d. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan

penurunan/penghentian aliran darah.

Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi perubahan

perfusi jaringan.

Kriteria Hasil :Keseimbangan pemasukan/pengeluaran, tak ada edema.

Ektremitas hangat, teraba nadi perifer.

Intervensi :

1) Pantau tanda vital

Dengan rencana tindakan tersebut diharapkan tanda-tandavital terkontrol;

2) Kaji CRT

Dengan rencana tindakan tersebut diharapkan pengisian kapiler dapat

terpantau;
3) Kaji nadi perifer

Dengan rencana tindakan tersebut diharapkan nadi klien dapat terpantau stabil.

4) Pantau data laboratorium (GDA, BUN, kreatinin dan elektrolit)

Dengan rencana tindakan tersebut diharapkan gangguan yang berkaitan

dengan darah dapat terdeteksi.

e. Kurang pengetahuan mengenai penyakit berhubungan dengan kurangnya

informasi.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pengetahuan pasien

tentang penyakit bertambah.

Kriteria Hasil :

1) Klien mampu menjelaskan pengertian hipertensi

2) Klien mampu menjelaskan penyebab hipertensi

3) Klien mampu menjelaskan penatalaksanaan hipertensi

Intervensi :

1) Kaji pengetahuan klien tentang hipertensi

Dengan rencana tindakan tersebut diharapkan perawat tahu batas pengetahuan

klien tentang penyakitnya;


2) Beri pendidikan kesehatan tentang hipertensi

Dengan rencana tindakan tersebut diharapkan tingkat pengetahuan klien

meningkat terkaitdengan penyakit hipertensi;

3) Kaji kembali pengetahuan klien tentang hipertensi

Dengan rencana tindakan tersebut diharapkan klien lebih paham mengenai

penyakit hipertensi;

4) Beri reinforcement positif untuk klien

Dengan rencana tindakan tersebut diharapkan klien terdorong untuk

meningkatkan pengetahuannya.

f. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan suplai oksigen.

Tujuan : Diharapkan pola nafas kembali teratur

Kriteria hasil :

1) Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih


2) Menunjukkan jalan nafas yang paten
3) Tanda tanda vital dalam rentang normal
Intervensi :
1) Pasang nasal kanul
Dengan rencana tindakan tersebut diharapkan kebutuhan oksigen tercukupi;
2) Posisikan pasien semi fowler/fowler
Dengan rencana tindakan tersebut diharapkan membantu mempermudah klien

dalam bernafas;
3) Ajarkan pasien teknik nafas dalam
Dengan rencana tindakan tersebut diharapkan klien lebih rileks;
4) Pertahankan jalan nafas yang paten
Dengan rencana tindakan tersebut diharapkan tidak ada sumbatan yang

menganggu pernafasan;
5) Monitor aliran oksigen
Dengan rencana tindakan tersebut diharapkan kebutuhan oksigen dapat

terkontrol.

g. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan sensorik.

Tujuan : Meminimalkan kemungkinan cidera

Kriteria hasil :

1) Klien terbebas dari cedera


2) Klien mampu menjelaskan cara/metode untuk mencegah injury/cedera
3) Klien mampu menjelaskan factor resiko dari lingkungan/perilaku personal
4) Mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injury
Intervensi :
1) Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
Dengan rencana tindakan tersebut diharapkan klien berada dalam lingkup

aman;
2) Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan kondisi fisik dan

fungsi kognitif pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien


Dengan rencana tindakan tersebut diharapkan dapat diketahui kebutuhan yang

dibutuhkan klien;
3) Memasang side rail tempat tidur
Dengan rencana tindakan tersebut diharapkan kllien selalu aman saat di tempat

tidur;
4) Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
Dengan rencana tindakan tersebut diharapkan klien merasa nyaman dan

terhindar dari cidera.

4. Implementasi Keperawatan

Deswani (2009), menjelaskan bahwa tahap implementasi adalah melakukan

rencana yang telah dibuat pada pasien. Adapun kegiatan yang ada dalam tahap

implementasi meliputi: pengkajian ulang, memperbaharui data, meninjau dan


merevisi rencana keperawatan yang telah dibuat, dan melaksanakan intervensi

keperawatan yang telah direncanakan.

5. Evaluasi keperawatan

Deswani (2009), menjelaskan bahwa pada tahap evaluasi, kegiatan yang

dilakukan adalah mengkaji respon pasien setelah dilakukan intervensi keperawatan,

membandingkan respon pasien dengan kriteria hasil, memodifikasi asuhan

keperawatan sesuai dengan hasil evaluasi, dan mengkaji ulang asuhan keperawatan

yang telah diberikan.

Anda mungkin juga menyukai