Anda di halaman 1dari 8

ASUPAN GIZI MAKRO GURU PREDIABETES MELALUI PEMBERIAN

LABU SIAM DAN EDUKASI GIZI

Jamaludin M. Sakung1, Saifuddin Sirajuddin2


1Bidang biokimia gizi Jurusan Pendididkan MIPA FKIP Universitas Tadulako Palu
2Bidang Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar

Email korespondensi: jamal_utd@yahoo.com

ABSTRAK

Asupan gizi berperan dalam mengendalikan kadar glukosa darah pada pasien diabetes mellitus
karena beberapa zat gizi bersumber dari bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari. Penelitian ini
bertujuan untuk mengevaluasi asupan gizi makro (energi, karbohidrat, lemak, protein dan serat) pada
guru prediabetes melalui pemberian labu siam instan dan edukasi gizi. Jenis penelitian ini adalah quasi
eksperimen dengan rancangan randomized trial, pre test post test with control group. Guru prediabetes
yang memenuhi kriteria inklusi di bagi tiga kelompok secara acak. Asupan gizi makro adalah Jumlah
zat gizi yang dikonsumsi dan diukur melalui pengukuran food recall 24 jam menggunakan program
nutrisurvey. Analisis data menggunakan uji t dan uji anava. Hasil uji statistik menunjukkan kelompok
intervensi labu siam dan kelompok intervensi edukasi gizi serta labu siam secara statistik asupan gizi
makro signifikan (p<0,05) artinya terdapatnya perbedaan nyata dari asupan gizi makro sebelum dan
sesudah inetervensi. Kelompok intervensi edukasi gizi secara statistik asupan gizi makro tidak signifikan
(p>0,05) artinya tidak terdapatnya perbedaan nyata dari asupan gizi makro sebelum dan sesudah
inetervensi. Terdapat perbedaan asupan energi, karbohidrat dan serat sesudah intervensi pada ketiga
kelompok.

Kata-kata kunci: Asupan gizi makro, prediabetes, labu siam, edukasi gizi

ABSTRACT

Nutritional intake plays a role in controlling blood glucose levels in DM patients because some
nutrients that are sourced from food ingredients consumed every day. This study aims to evaluating the
intake of macro nutrients (energy, carbohydrates, fats, protein and fiber) in prediabetic teachers through
the provision of instant sechium edule and nutritional education. This research type is quasi experiment
with randomized trial design, pre test post test with control group. Prediabetic teachers who met the
inclusion criteria in the three groups at random. Intake of macro nutrient from food to be measured
through 24-hour food recall measurements using nutrisurvey program. Data analysis by using t test and
anova test. statistic test result showed The gourd intervention group and nutrition education intervention
group and chayote were statistically significant macro nutrient intake (p <0.05) which means there was
a marked difference of macro nutrition intake. The nutrition education intervention group of intake of
macro nutrition was statistically insignificant (p> 0.05), meaning there was no significant difference in
intake of macro nutrition. there was a difference in energy, carbohydrate and fiber intake after
intervention in all three groups.

Keywords: Intake of macro nutrition, prediabetic, sechium edule, nutrition education

Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 6 No. 1, April 2019 7


PENDAHULUAN
Peningkatan kemakmuran di negara berkembang dan perubahan gaya hidup menyebabkan
peningkatan prevalensi penyakit degeneratif salah satunya Diabetes Melitus (DM). Laporan data
Mc Carty Dan Zimmert menunjukkan bahwa jumlah penderita DM di dunia dari 110,4 juta jiwa
tahun 1994 melonjak 1,5 kali lipat (175,4 juta) tahun 2000 dan melonjak 2 kali lipat (239,3 juta) tahun
2010, diperkirakan pada tahun 2030 terjadi peningkatan 69% pada orang dewasa. Di Amerika serikat
diperkirakan dalam waktu 5 tahun sekitar 25% prediabetes berkembang menjadi DM tipe 2 (1, 2).
Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan
(Riskesdas) tahun 2013 menyebutkan terjadi peningkatan prevalensi penderita DM pada tahun 2007
yaitu 1,1% meningkat pada tahun 2013 menjadi 2,4%. Sementara itu prevalensi DM berdasarkan
diagnosis dokter atau gejala pada tahun 2013 sebesar 2,1% prevalensi yang tertinggi adalah pada
daerah Sulawesi Tengah (3,7%) dan paling rendah pada daerah Jawa Barat (0,5%) (3). Menurut
International Diabetes Federation (IDF), pada tahun 2015 ada 415 juta orang di seluruh dunia (8,8%)
dan 10 juta orang di Indonesia mengalami diabetes (umur 20-79) (4, 5), Data tahun 2015 Dari 16.456
kasus diabetes mellitus yang terjadi di Sulawesi Tengah terdapat 5.472 kasus terjadi di Kota Palu
(33,25%) dan merupakan kasus terbanyak dibandingkan dari 10 kabupaten lain di Sulawesi Tengah (6).
Berdasarkan penelitian Marliana (2005) skrining fitokimia ekstrak etanol dan analisis kromatografi
lapis tipis (KLT) menunjukkan ekstrak buah Labu Siam mengandung alkaloid, saponin, kardenolin,
bufadienol dan flavonoid (7). Penelitian Firdous (2012) melaporkan bahwa buah Labu Siam dapat
melindungi hepar, mampu mencegah kerusakan sel hati, menghancurkan radikal bebas serta memiliki
antiinflamasi (8, 9). Tumbuhan labu siam (Sechium edule) merupakan tanaman sayuran dari famili
Curcubatiacae yang banyak tumbuh di daratan tinggi, labu siam mengandung komponen protein, lemak,
karbohidrat, kalsium, dan mineral zat besi. Dalam buah labu siam terkandung kalsium yang berperan
dalam proses sekresi insulin. Metabolisme glukosa yang diinduksi oleh glukokinase menyebabkan
perubahan rasio ATP/ADP dan hal ini menyebabkan menutupnya kanal ion kalium dan terjadi
depolarisasi sel β pankreas. Sebagai kompensasi, terjadi aktivasi kanal ion kalsium dan ion ini akan
masuk ke sel β selanjutnya kalsium intrasel ini merangsang sekresi insulin dari granulanya, sehingga
kadar glukosa darah dapat menurun karena pengaruh dari insulin.
Asupan gizi berperan dalam mengendalikan kadar glukosa darah pada pasien DM karena
beberapa zat gizi meliputi karbohidrat, protein dan lemak yang ada bersumber dari bahan makanan
yang dikonsumsi setiap hari. Dalam proses metabolisme, insulin sangat berperan penting dalam
memasukkan glukosa ke dalam sel untuk selanjutnya dijadikan bahan bakar. Hormon insulin diproduksi
oleh kelenjar pankreas. Orang dengan DM tipe 2 dapat memiliki insulin normal atau kelebihan insulin,
namun reseptor insulin pada permukaan sel kurang sehingga jumlah glukosa masuk ke dalam sel
kurang. Kadar glukosa darah yang tidak terkontrol pada orang dengan DM tipe 2 disebabkan oleh
produksi glukosa tinggi yang berasal dari asupan energi yang melebihi permintaan sehingga tidak dapat
diserap dan didistribusikan ke dalam sel yang membutuhkan karena reseptor insulin rendah (10).
Asupan energi yang tinggi meningkatkan risiko obesitas, diabetes, dan penyakit kardiovaskular.
Obesitas berhubungan dengan endotoksemia kronis yang dapat menyebabkan inflamasi sistemik dan
menyebabkan sindrom metabolik. Keseimbangan energi dapat terjadi, jika energi yang terbentuk
melalui proses metabolisme makanan (asupan lemak dan glukosa) digunakan, kelebihan berat badan
dan obesitas dapat terjadi jika energi tersebut tidak digunakan (11,12). Penelitian ini bertujuan
mengevaluasi asupan gizi makro (energi, karbohidrat, lemak, protein dan serat) pada guru prediabetes
melalui pemberian labu siam instan dan edukasi gizi.

METODE
Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan rancangan randomized trial, pre test post
test with control group. Randomized trial adalah pembagian subjek penelitian kedalam kelompok
tertentu dilakukan secara random, yaitu menggunakan simple random sampling. Guru SMA prediabetes
yang memenuhi kriteria inklusi di bagi tiga kelompok secara acak. Subyek penelitian adalah sebagian
guru SMA yang berstatus Pegawai Negeri Sipil dikota palu yang mengalami prediabetes berdasarkan
penentuan sampel menggunakan rumus Lamesshow berjumlah 22 sampel dan untuk menghindari
kehilangan sampel ditambah 10% sehingga menjadi 25 guru prediabetes untuk setiap kelompok, jadi
untuk tiga kelompok diperlukan 75 guru prediabetes.
Kelompok intervensi pertama diberikan Labu siam Instan (LS) sebanyak 15 mg pagi dan 15 mg
sore diberikan setiap hari selama 30 hari. Kelompok intervensi diberikan edukasi gizi (EG) dalam bentuk
pelatihan dan pengetahuan tentang asupan makanan penderita prediabetes, dilakukan 3 kali pertemuan
klasikal, selanjutnya diskusi face to face dengan peneliti. Kelompok intervensi ketiga adalah diberikan
Pelatihan edukasi gizi dan labu siam instan (EG+LS). Asupan gizi makro guru SMA prediabetes adalah

Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 6 No. 1, April 2019 8


Jumlah zat gizi (energi, karbohidrat, lemak, protein dan serat) yang dikonsumsi guru prediabetes dari
makanan yang akan diukur melalui pengukuran food recall 24 jam. Pengukuran dilakukan oleh petugas
lapangan yang terlatih. Data yang diperoleh menunjukkan asupan gizi guru prediabetes yang dilakukan
setelah diwawancarai, entry data recall 24 jam dengan menggunakan program nutrisurvey. Analisis
data menggunakan uji t dan uji anava.Pada penelitian ini melibatkan masyarakat (guru) dengan
prediabetes sebagai subyek penelitian, yang kemudian melakukan wawancara asupan gizi makro.
Penelitian ini telah disetujui oleh Komite Etik Fakultas Kedoteran Universitas Hasanuddin Makassar
dengan dikeluarkannya rekomendasi persetujuan etik nomor 440/H4.8.4.5.31/PP36-KOMETIK/2017
tanggal 21 Juni 2017.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik subyek dalam penelitian yaitu jenis kelamin, umur dan pendidikan ditunjukkan pada
tabel 1, jenis kelamin subyek dalam penelitian ini yang diintervensi paling banyak adalah perempuan
51 responden (68.0%) dan laki-laki 24 responden (32,0%). Jumlah subyek yang berumur 41-60 tahun
(dewasa tengah) yang paling banyak yaitu 61 reponden (81,3%) dibandingkan kelompok umur 18-40
tahun (dewasa awal) yaitu 9 responden (12,0%) dan umur diatas 61 tahun (dewasa akhir) yakni 5
responden (6,7%). Pendidikan subyek paling banyak adalah Sarjana (S1) yaitu 66 responden (88,0%)
sedangkan yang berpendidikan Magister (S2) yaitu 9 responden (12,0%).
Tabel 1. Karakteristik Subyek Berdasarkan kelompok intervensi
Kelompok intervensi
Karakteristik LS EG LS+EG Total p-value
n % n % n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 9 36,0 8 32,0 7 28,0 24 32,0 0,834
Perempuan 16 64,0 17 68,0 18 72,0 51 68,0
Umur
Dewasa awal (18-40 th) 2 8,0 5 20,0 2 8,0 9 12,0
Dewasa tengah (41-60th) 22 88,0 17 68,0 22 88,0 61 81,3 0,911
Dewasa akhir (>61 tahun) 1 4,0 3 12,0 1 4,0 5 6,7
Pendidikan
Sarjana (s1) 23 92,0 20 80,0 23 92,0 66 88,0 0,326
Magister (s2) 2 8,0 5 20,0 2 8,0 9 12,0
Sumber: data primer 2017
Keterangan: p>0,05, *Uji Kruskal Wallis

Tabel 2 menunjukkan bahwa rerata perubahan asupan energi pada kelompok intervensi EG
mengalami penurunan namun secara statistik tidak signifikan (p>0,05) yang berarti tidak terdapatnya
perbedaan nyata dari asupan energi antara sebelum dan setelah intervensi. Kelompok intervensi LS
dan LS+EG mengalami peningkatan dan secara statistik signifikan (p<0,05) yang berarti terdapatnya
perbedaan nyata dari asupan energi sebelum dan sesudah inetervensi kedua kelompok. Hasil uji One
way anova menunjukkan Ketiga kelompok intervensi secara signifikan berpengaruh terhadap asupan
energi baik sebelum dan sesudah (p<0,05) yang berarti terdapatnya perbedaan nyata dari asupan
energi ketiga kelompok intervensi.
Tabel 2. Perubahan rerata asupan energi pre-post intervensi
Energi (kkal)
Kelompok
Pre Post p-value
intervensi
mean±SD mean±SD
LS 854,74±93,23 1199.64±386,36 0,000*
EG 1108,04±392,21 1074,34±303,70 0,739*
EG+LS 872,96±275,78 1423,02±427,26 0,000*
Nilai p 0,003** 0,006**
Sumber: Data Primer 2017
Keterangan: * Uji T Berpasangan , ** Uji One way anova
Ketiga kelompok menunjukkan perubahan pola makan pada kelompok yang diberi edukasi berubah
secara signifikan. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor keseimbangan energi.
Diantaranya, pendidikan dan pendapatan. Pendapatan keluarga yang tinggi akan meningkatkan daya
belinya sehingga akan meningkatkan asupan energi sedangkan pendapatan keluarga yang rendah
cenderung untuk memenuhi kebutuhan pokok yang tinggi gizi daripada tinggi energi (asupan sayur dan

Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 6 No. 1, April 2019 9


buah). Selain itu pendapatan keluarga yang rendah menurunkan kesempatan dalam berolahraga bila
dibandingkan dengan pendapatan keluarga tinggi (13).
Asupan energi pada prediabetes dan diabetes tipe 2 akan meningkatkan kadar glukosa, sehingga
lemak tidak akan membentuk energi yang akan berdampak pada peningkatan berat badan dan IMT.
Sekitar 80% penderita diabetes tipe 2 terbukti mengalami obesitas atau kegemukan dan risiko diabetes
meningkat secara progresif dengan peningkatan status gizi (IMT). Risiko diabetes akan meningkat
sebesar 80% sepanjang 10 tahun pada IMT lebih dari 35 kg/m2 jika dibandingkan dengan IMT kurang
dari 22 kg/m2 (14).
Kebutuhan energi membantu mengatur sinyal sistem otak dan kompoisi tubuh yang dapat diketahui
melalui berat badan. Faktor genetika dan kejadian awal kehidupan dapat mempengaruhi kemampuan
tubuh untuk merasakan dan mengelola berat badan, sedangkan faktor lingkungan dan gaya hidup,
termasuk faktor stres dan penghargaan mempengaruhi sinyal tubuh untuk makan. Asupan dan
pengeluaran energi berkontribusi dalam perubahan ukuran dan komposisi tubuh. (15).
Tabel 3 menunjukkan bahwa rerata perubahan asupan karbohidrat pada kelompok intervensi EG
mengalami penurunan namun secara statistik tidak signifikan (p>0,05) yang berarti tidak terdapatnya
perbedaan nyata dari asupan karbohidrat antara sebelum dan setelah intervensi. Kelompok intervensi
LS dan LS+EG mengalami peningkatan dan secara statistik signifikan (p<0,05) yang berarti terdapatnya
perbedaan nyata dari asupan karbohidrat sebelum dan sesudah inetervensi kedua kelompok. Hasil uji
One way anova (sebelum intervensi) dan uji Kruskal Wallis (sesudah intervensi) menunjukkan Ketiga
kelompok intervensi secara signifikan berpengaruh terhadap asupan karbohidrat baik sebelum dan
sesudah (p<0,05) yang berarti terdapatnya perbedaan nyata dari asupan karbohidrat ketiga kelompok
intervensi.
Tabel 3. Perubahan rerata asupan karbohidrat pre-post intervensi
Karbohidrat (gram)
Kelompok
Pre Post p-value
intervensi
mean±SD mean±SD
LS 149,02±18,94 199,88±86,54 0,001*
EG 182,33±46,99 167,47±44,46 0,293**
EG+LS 134,31±52,94 233,99±74,09 0,000**
Nilai p 0,002*** 0,001****
Sumber: Data Primer 2017
Keterangan: * Uji Wilcoxon Signed Ranks Test, , **Uji T Berpasangan,*** Uji One way anova, ****Uji
Kruskal Wallis

Asupan karbohidarat yaitu jumlah rata-rata karbohidrat dalam sehari yang dinyatakan dalam
gram/hari diperoleh melalui wawancara menggunakan form food recall untuk selama 1 bulan
terakhir. Form food recall digunakan untuk memperoleh data gambaran jenis bahan makanan atau
makanan olahan yang dikonsumsi responden selama periode 1 bulan terakhir. Pengambilan data
asupan karbohidrat dilakukan dengan wawancara kepada responden secara langsung
dengan menggunakan form food recall. Data bahan makanan yang diperoleh kemudian dihitung
rata-ratanya dalam sehari dalam satuan gr/hari, selanjutnya dimasukkan dalam nutrisurvey dan
didapatkan jumlah asupan karbohidrat responden sehari dalam satuan gr/hari. Hasil penelitian
menunjukkan rata-rata asupan karbohidrat meningkat setelah dilakukan intervensi (134,31-182,33)
gram sebelum intervensi dan (167,47-233,99) gram sesudah intervensi.
Salah satu faktor utama penyebab kenaikan kadar glukosa darah adalah asupan karbohidrat.
Karbohidrat di dalam tubuh akan diserap dan dipecah dalam bentuk monosakarida, terutama glukosa.
Penyerapan glukosa menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah dan meningkatkan sekresi insulin.
Sekresi insulin yang tidak mencukupi dapat menyebabkan terhambatnya proses penggunaan glukosa
oleh jaringan sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa di dalam darah. Karbohidrat yang berindeks
glikemik tinggi bereaksi cepat terhadap peningkatan kadar glukosa darah (16).
Secara statistik menunjukkan ketiga kelompok intervensi secara signifikan berpengaruh terhadap
asupan karbohidrat baik sebelum dan sesudah (p<0,05) yang berarti terdapatnya perbedaan nyata dari
asupan karbohidrat ketiga kelompok intervensi. Semakin dibatasi asupan karbohidrat, maka terjadi
penurunan glukosa dalam darah. Asupan karbohidrat yang rendah dapat menurunkan kadar HbA1c,
berat badan dan kolesterol. Meta-analisis yang dilakukan sesuai dengan menggunakan GRADE
menunjukkan bahwa asupan karbohidrat rendah dapat menginduksi penurunan kadar HbA1c yang lebih
besar pada subyek prediabetes dan DM tipe 2 (17, 18).
Tabel 4 menunjukkan bahwa rerata perubahan asupan lemak pada ketiga kelompok intervensi
mengalami peningkatan dan secara statistik kelompok intervensi EG dan EG+LS tidak signifikan

Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 6 No. 1, April 2019 10


(p>0,05) yang berarti tidak terdapatnya perbedaan nyata dari asupan lemak sebelum dan sesudah
inetervensi pada kedua kelompok EG dan EG+LS. Hasil uji One way anova menunjukkan Ketiga
kelompok intervensi secara signifikan berpengaruh terhadap asupan lemak sebelum intervensi (p<0,05)
yang berarti terdapatnya perbedaan nyata dari asupan lemak ketiga kelompok sebelum intervensi.
Tabel 4. Perubahan rerata asupan lemak pre-post intervensi
Lemak (gram)
Kelompok
Pre Post p-value
intervensi
mean±SD mean±SD
LS 15,65±6,90 23,24±10,63 0,022*
EG 22,97±9,13 26,90±14,39 0,290*
EG+LS 24,93±12,70 34,49±23,38 0,092*
Nilai p 0,003** 0,064**
Sumber: Data Primer 2017
Keterangan: * Uji T berpasangan, ** Uji one way anova

Lemak merupakan makromolekul yang menghasilkan energi tertinggi dibandingkan dengan


makromolekul yang lain. Oleh karena itu, asupan lemak rendah atau kurang dari 30% total energi
direkomendasikan untuk mencegah diabetes dan penyakit kardiovaskular. Lemak mensekresi asam
lemak bebas atau free faty acid sehingga terjadi proses lipolisis yang meningkat di dalam sel yang
mengakibatkan cadangan energi dalam sel semakin berkurang sehingga mengakibatkan lipotoksik
pada sel-β pankreas, sehingga produksi insulin berkurang. Kekurangan Insulin mengakibatkan ambilan
glukosa ke dalam sel seperti otot dan hepar akan berkurang sehingga gula darah akan meningkat (17).
Hasil penelitian menunjukkan rerata perubahan asupan lemak pada ketiga kelompok intervensi
mengalami peningkatan, namun tidak terdapat perbedaan nyata dari asupan lemak sebelum dan
sesudah inetervensi pada kedua kelompok EG dan EG+LS. Asupan lemak responden sebelum
intervensi sangat rendah dibawah angka kecukupan gizi yang dianjurkan kementrian kesehatan, oleh
karena itu pada saat intervensi disarakan responden menambah asupan lemak. Hasil yang diperoleh
terjadi peningkatan asupan lemak. Asupan lemak yang berlebihan dapat menyebabkan akumulasi
lemak di jaringan adiposa yang berhubungan dengan obesitas dan gangguan toleransi glukosa melalui
mekanisme penurunan ikatan insulin terhadap reseptor, terganggunya transport glukosa, dan
penurunan proporsi glikogen sintase, sehingga memicu terjadinya resistensi insulin. Dimana pankreas
tidak mampu memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup sehingga kadar glukosa dalam darah tinggi
(19).
Tabel 5 menunjukkan bahwa rerata perubahan asupan protein pada ketiga kelompok intervensi
mengalami peningkatan namun pada kelompok intervensi EG secara statistik tidak signifikan (p>0,05)
yang berarti tidak terdapatnya perbedaan nyata dari asupan protein antara sebelum dan setelah
intervensi. Kelompok intervensi LS dan LS+EG secara statistik signifikan (p<0,05) yang berarti
terdapatnya perbedaan nyata dari asupan protein sebelum dan sesudah inetervensi kedua kelompok.
Hasil uji One way anova menunjukkan Ketiga kelompok intervensi secara signifikan berpengaruh
terhadap asupan protein sebelum intervensi (p<0,05) yang berarti terdapatnya perbedaan nyata dari
asupan protein ketiga kelompok sebelum intervensi.
Tabel 5. Perubahan rerata asupan protein pre-post intervensi
Protein (gram)
Kelompok
Pre Post p-value
intervensi
mean±SD mean±SD
LS 25,18±4,16 43,71±24,23 0,002*
EG 31,68±12,36 34,33±9,78 0,347*
EG+LS 28,72±8,21 40,61±12,27 0,001*
Nilai p 0,041** 0,135**
Sumber: Data Primer 2017
Keterangan: * Uji T Berpasangan, ** Uji One way anova

Hasil penelitian tidak terdapatnya perbedaan nyata dari asupan protein antara sebelum dan
setelah intervensi. Hal ini menunjukkan asupan protein tidak mempengaruhi kadar glukosa darah. Hal
ini sejalan dengan penelitian Mirmiran (2017), bahwa asupan protein total makanan (RH = 0,13, 95%
CI = 0,92-1,38) tidak berhubungan dengan pengembangan pradiabetes. Selain itu, tidak ada hubungan
yang signifikan antara asupan protein berbasis hewan atau tumbuhan dengan risiko pradiabetes (HR =
0,86, 95% CI = 0,70-1,06)

Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 6 No. 1, April 2019 11


Asupan protein total tidak terkait dengan risiko disglisemia, namun ada hubungan secara
signifikan pola asam amino yakni kadar asam glutamat dan prolin yang lebih tinggi dengan risiko
pradiabetes selama enam tahun masa tindak lanjut. Asam amino yakni kadar glisin, sistein, arginin, dan
triptofan yang lebih tinggi tidak berhubungan dengan risiko pradiabetes. Asupan biji-bijian, daging, dan
kacang polong mengandung asam amino glutamat dan prolin, sedangkan produk susu mengandung
asam asam amino glisin, sistein, argini dan triptofan (20)
Berbeda halnya dengan studi Rotterdam terhadap subyek berusia 45 tahun di Belanda dari 931
kasus prediabetes yang menunjukkan bahwa asupan protein total yang lebih tinggi berhubungan
dengan risiko prediabetes (RH = 1,19, 95% CI: 1,05-1,34) dan risiko diabetes tipe 2 (RH = 1,35, 95%
CI: 1,18-1,54). Asupan protein sebagian besar dari asupan protein hewani (prediabetes: RH = 1,35,
95% CI: 1,20-1,51 dan diabetes tipe 2: RH = 1,35, CI 95%: 1,18-1,53). Sejalan dengan ini, asupan
protein hewani yang lebih tinggi dibandingkan protein nabati secara signifikan berhubungan dengan
risiko prediabetes dan diabetes tipe 2 (21).
Selanjutnya hasil uji Games-Howell untuk asupan protein sebelum intervensi yang memiliki
perbedaan signifikan secara statistik (p<0,05) adalah pada kelompok pemberian labu siam instan (LS)
dengan kelompok pelatihan edukasi gizi (EG). Asupan protein pada setiap kelompok intervensi tidak
berkontribusi terhadap peningkatan kadar glukosa dalam penelitian ini karena asupan protein dibawah
angka kecukupan gizi yang direkomendasikan kementrian kesehatan RI.
Berdasarkan meta-analisis ada hubungan secara signifikan asupan protein total dengan kejadian
DM tipe 2 dalam bentuk asupan protein hewani. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya di Eropa
dan Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa sumber hewan menyumbang 64-75% dari asupan
protein total. Namun, studi epidemiologi di Belanda sebanyak 38.094 responden dengan 918 kasus DM
tipe 2 menunjukkan bahwa asupan protein total berhubungan dengan kejadian DM tipe 2 tidak terlepas
dari IMT (22).
Penelitian lain yang dilakukan di Eropa selama 10 tahun masa tindak lanjut, didokumentasikan
sebanyak 918 kasus kejadian DM karena protein total yang lebih tinggi (RH= 2,15, 95% CI 1,77-2,60)
dalam bentuk asupan protein hewani yang tertinggi. Asupan protein nabati tidak berhubungan dengan
risiko DM. Menentukan jumlah asupan protein direkomendasikan berguna untuk pencegahan
prediabetes menjadi diabetes (23-25).
Tabel 6 menunjukkan bahwa rerata perubahan asupan serat pada ketiga kelompok intervensi
mengalami peningkatan namun pada kelompok intervensi EG secara statistik tidak signifikan (p>0,05)
yang berarti tidak terdapatnya perbedaan nyata dari asupan serat antara sebelum dan setelah
intervensi. Kelompok intervensi LS dan LS+EG secara statistik signifikan (p<0,05) yang berarti
terdapatnya perbedaan nyata dari asupan serat sebelum dan sesudah inetervensi kedua kelompok.
Hasil uji Kruskal Wallis (sebelum intervensi) dan uji One way anova (sesudah intervensi) menunjukkan
Ketiga kelompok intervensi secara signifikan berpengaruh terhadap asupan serat sebelum dan sesudah
intervensi (p<0,05) yang berarti terdapatnya perbedaan nyata dari asupan serat ketiga kelompok
sebelum dan sesudah intervensi.
Tabel 6. Perubahan rerata asupan serat pre-post intervensi
Serat (gram)
Kelompok
Pre Post p-value
intervensi
mean±SD mean±SD
LS 2,42±0,62 3,83±1,99 0,005*
EG 4,36±1,90 4,81±2,08 0,495*
EG+LS 5,95±10,82 5,99±2,65 0,013**
Nilai p 0,000*** 0,005****
Sumber: Data Primer 2017
Keterangan: * Uji T berpasangan, **Uji Wilcoxon Signed Ranks Test, *** Uji Kruskal Wallis, **** Uji One
way anova

Asupan serat dapat memperbaiki respon glukosa darah dan insulin indeks. Serat ini dapat
menghambat lewatnya glukosa melalui dinding saluran pencernaan menuju pembuluh darah sehingga
kadarnya dalam darah tidak berlebihan. Selain itu, serat dapat membantu penyerapan glukosa dalam
darah dan memperlambat pelepasan glukosa didalam darah. Tidak terdapatnya perbedaan nyata dari
asupan serat antara sebelum dan setelah intervensi, ditunjukan dengan adanya asupan serat dari
responden yang sangat kurang. Namun, hasil uji One way anova menunjukkan Ketiga kelompok
intervensi secara signifikan berpengaruh terhadap asupan serat sesudah intervensi (p<0,05) yang
berarti terdapatnya perbedaan nyata dari asupan serat ketiga kelompok sesudah intervensi.

Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 6 No. 1, April 2019 12


Asupan serat rendah, asupan kalori total tinggi dan indeks glikemik tinggi merupakan faktor risiko
terjadinya prediabetes dan DM. Asupan makanan yang bermanfaat mencegah prediabetes dan DM
harus mengandung serat berlimpah dari makanan seperti sayuran. Studi kohort terhadap 4.304 pria
dan wanita dari 30 komunitas dari berbagai bagian Finlandia selama 23 tahun menunjukkan asupan
sayuran hijau yang banyak dapat mengurangai risiko kejadian prediabetes dan DM (26, 27).
Makanan yang berserat banyak digunakan sebagai bahan tambahan makanan untuk
menggantikan lemak, bisa bermanfaat mengatasi gangguan metabolisme. Serat pada makanan adalah
merupakan asupan karbohidrat yang tidak bisa dicerna untuk menghasilkan indeks glikemik yang
rendah dalam mengendalikan kadar glukosa, memperbaiki profil lemak dan mengurangi resistensi
insulin (28). Telah dilakukan penelitian tentang respons metabolik terhadap 28 orang Asia Timur
Amerika (Korea, Jepang dan China) dan 22 orang Amerika Kaukasia dalam menkonsumsi makanan
tradisional Asia yang mengandung serat sebanyak 33 gr/hari dan makanan khas barat yang
mengandung serat 10-22 gram/hari selama enam minggu yang berisiko terjadinya pengembangan DM
tipe 2. Pengaruh yang signifikan dalam penurunan berat badan, glukosa, sensitivitas insulin dan profil
lemak cenderung disebabkan oleh kandungan serat yang tinggi dari makanan tradisional Asia (29, 30).

PENUTUP
Terdapat perbedaan asupan gizi makro sebelum intervensi antara ketiga kelompok, terdapat
perbedaan asupan energi, karbohidrat dan serat sesudah intervensi pada ketiga kelompok dan tidak
terdapat perbedaan asupan lemak dan protein sesudah intervensi pada ketiga kelompok. Perlu
mengkonsumsi makanan yang beragam dan berserat tinggi seperti buah dan sayur tiap hari bagi
penderita prediabates untuk mencegah atau menunda risiko kejadian DM.

DAFTAR PUSTAKA
1. Khan T, Tsipas S, Wozniak G. Medical Care Expenditures for Individuals with Prediabetes: The
Potential Cost Savings in Reducing the Risk of Developing Diabetes. Population Health
Management. 2017.
2. Shaw JE, Sicree RA, Zimmet PZ. Global estimates of the prevalence of diabetes for 2010 and
2030. Diabetes research and clinical practice. 2010;87(1):4-14.
3. Riskesdas. Riset Kesehatan Dasar. Kementerian Kesehatan RI: Jakarta; 2013.
4. Afifi RM, Saad AE, Al Shehri A. Prevalence and Correlates of Prediabetes and Diabetes Results-I:
A Screening Plan in a Selected Military Community in Central Saudi Arabia. Journal of Diabetes
Mellitus. 2017;7(01):12.
5. IDF. IDF diabetes atlas seventh edition. 2015.
6. Arsyad A. Profil Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tengah (tidak dipublikasikan). Palu: Dinkes
Sulteng; 2016.
7. Marliana SD, Suryanti V. Skrining Fitokimia dan Analisis Kromatografi Lapis Tipis Komponen Kimia
Buah Labu Siam (Sechium edule Jacq. Swartz.) dalam Ekstrak Etanol. Biofarmasi. 2005;3(1):26-
31.
8. Firdous S, Neraja K, Debnath R, Singha D, Sravanthi K. Evaluation of antiulcer activity of ethanolic
extract of Sechium edule fruits in experimental rats. Int J Pharm Pharm Sci. 2012;4:374-77.
9. Ragasa CY, Biona K, Shen C-C. Chemical constituents of Sechium edule (Jacq.) Swartz. Der
Pharma Chemica. 2014;6(5):251-5.
10. Agustina M, editor Correlation Between Dietary Pattern Of Patients With Type 2 Diabetes Mellitus
And Blood Sugar Level. Proceedings of the International Conference on Applied Science and
Health; 2017.
11. Breusing N, Lagerpusch M, Engstler AJ, Bergheim I, Mueller MJ, Bosy-Westphal A. Influence of
Energy Balance and Glycemic Index on Metabolic Endotoxemia in Healthy Men. Journal of the
American College of Nutrition. 2017;36(1):72-9.
12. Sari EM, Juffrie M, Nurani N, Sitaresmi MN. Asupan protein, kalsium dan fosfor pada anak stunting
dan tidak stunting usia 24-59 bulan. Jurnal Gizi Klinik Indonesia. 2016;12(4):152-9.
13. Maillot M, Vieux F, Delaere F, Lluch A, Darmon N. Dietary changes needed to reach nutritional
adequacy without increasing diet cost according to income: An analysis among French adults. PloS
one. 2017;12(3):e0174679.
14. Billous R, Donelly R. Buku Pegangan Diabetes Edisi Ke 4. Jakarta: Bumi Medika. 2014.
15. Manore MM, Larson-Meyer DE, Lindsay AR, Hongu N, Houtkooper L. Dynamic Energy Balance:
An Integrated Framework for Discussing Diet and Physical Activity in Obesity Prevention—Is it
More than Eating Less and Exercising More? Nutrients. 2017;9(8):905.
16. Lingga L. Bebas diabetes tipe-2 tanpa obat: AgroMedia; 2012.

Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 6 No. 1, April 2019 13


17. Watson RR, Dokken B. Glucose Intake and Utilization in Pre-diabetes and Diabetes: Implications
for Cardiovascular Disease: Elsevier; 2014.
18. Snorgaard O, Poulsen GM, Andersen HK, Astrup A. Systematic review and meta-analysis of dietary
carbohydrate restriction in patients with type 2 diabetes. BMJ Open Diabetes Research and Care.
2017;5(1):e000354.
19. Gatineau M, Hancock C, Holman N, Outhwaite H, Oldridge L, Christie A, et al. Adult obesity and
type 2 diabetes. Public Health England. 2014:14-5.
20. Mirmiran P, Bahadoran Z, Esfandyari S, Azizi F. Dietary Protein and Amino Acid Profiles in Relation
to Risk of Dysglycemia: Findings from a Prospective Population-Based Study. Nutrients.
2017;9(9):971.
21. Voortman T, Chen Z, Franco OH. Protein Intake and Risk of Prediabetes and Type 2 Diabetes. The
FASEB Journal. 2017;31(1 Supplement):167.2-.2.
22. Shang X, Scott D, Hodge AM, English DR, Giles GG, Ebeling PR, et al. Dietary protein intake and
risk of type 2 diabetes: results from the Melbourne Collaborative Cohort Study and a meta-analysis
of prospective studies. The American journal of clinical nutrition. 2016:ajcn140954.
23. Sluijs I, Beulens JW, Spijkerman AM, Grobbee DE, Van der Schouw YT. Dietary intake of total,
animal, and vegetable protein and risk of type 2 diabetes in the European Prospective Investigation
into Cancer and Nutrition (EPIC)-NL study. Diabetes care. 2010;33(1):43-8.
24. Ericson U, Sonestedt E, Gullberg B, Hellstrand S, Hindy G, Wirfält E, et al. High intakes of protein
and processed meat associate with increased incidence of type 2 diabetes. British Journal of
Nutrition. 2013;109(6):1143-53.
25. Zheng Y, Li Y, Qi Q, Hruby A, Manson JE, Willett WC, et al. Cumulative consumption of branched-
chain amino acids and incidence of type 2 diabetes. International journal of epidemiology.
2016;45(5):1482-92.
26. Mijajlović MD, Aleksić VM, Šternić NM, Mirković MM, Bornstein NM. Role of prediabetes in stroke.
Neuropsychiatric disease and treatment. 2017;13:259.
27. McGill JA. Preventing disease through lifestyle changes: how diet and exercise can reduce the risk
of developing type 2 diabetes mellitus. 2016.
28. Wu W, Xie J, Zhang H. Dietary fibers influence the intestinal SCFAs and plasma metabolites
profiling in growing pigs. Food & function. 2016;7(11):4644-54.
29. Hsu WC, Lau KHK, Matsumoto M, Moghazy D, Keenan H, King GL. Improvement of insulin
sensitivity by isoenergy high carbohydrate traditional Asian diet: a randomized controlled pilot
feasibility study. PloS one. 2014;9(9):e106851.
30. Hsu W, Lau K, Matsumoto M, Moghazy D, Keenan H. Improvement of Insulin Sensitivity by
Isoenergy High Carbohydrate Traditional. 2014.

Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 6 No. 1, April 2019 14

Anda mungkin juga menyukai