Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Aspal alam merupakan salah satu bahan galian yang potensial dan banyak
digunakan pada proyek konstruksi seperti pengaspalan jalan, jembatan, dan lain-
lain. Cadangan aspal alam terbesar di dunia terdapat di Indonesia yaitu sekitar 350
Juta Ton (80% cadangan aspal alam dunia) dan sisanya berada di Trinidad,
Tobago, Meksiko, dan Kanada (Departemen PU, 2006).
Aspal adalah material yang pada temperatur ruang berbentuk padat sampai
agak padat, dan bersifat temoplastis. Jadi aspal akan mencair jika dipanaskan
sampai temperatur tertentu, dan kembali membeku jika temperatur turun. Bersama
dengan agregat, aspal merupakan material pembentuk campuran perkakas jalan.
(Sukirman,S., 2003)
Istilah aspal berasal dari bahasa Yunani kuno asphaltos, kemudian bangsa
Romawi mengubahnya menjadi asphaltus, lalu diadaptasi ke dalam bahasa Inggris
menjadi asphalt, dan kita menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi
aspal.
Secara kuantitatif, biasanya 80% massa aspal adalah karbon, 10%
hydrogen, 6% belerang, dan sisanya oksigen dan nitrogen, serta sejumlah renik
besi, nikel, dan vanadium. Senyawa-senyawa ini sering dikelaskan atas aspalten
(yang massa molekulnya kecil) dan malten (yang massa molekulnya besar).
Biasanya aspal mengandung 5 sampai 25% aspalten. Sebagian besar senyawa di
aspal adalah senyawa polar, sedangkan secara kualitatif, aspal terdiri dari dua
kelas utama yaitu senyawa yang Asphaltenes dan Maltenes (Anonim, 2010).
Asphaltenes merupakan salah satu komponen penyusun aspal yang
berwarna coklat tua, bersifat padat, keras, berbutir dan mudah terurai apabila
berdiri sendiri dengan perbandingan komposisi untuk H/C yaitu 1 : 1, memiliki
berat molekul besar antara 1000 – 100000, dan tidak larut dalam n-heptan. Selain
itu asphaltenes merupakan komponen yang paling rumit diantara komponen

1
penyusun aspal yang lainnya karena ikatan/hubungan antar atomnya sangat kuat.
Asphaltenes juga sangat berpengaruh dalam menentukan sifat reologi bitumen,
dimana semakin tinggi asphaltenes, maka bitumen akan semakin keras dan
semakin kental, sehingga titik lembeknya akan semakin tinggi, dan menyebabkan
harga penetrasinya semakin rendah (Nuryanto, 2008).
Maltenes dengan rumus kimia C6H6O6 terdapat tiga komponen penyusun
yaitu saturate, aromatis, dan resin. Dimana masing-masing komponen memiliki
struktur dan komposisi kimia yang berbeda, dan sangat menentukan dalam sifat
rheologi bitumen.
a. Resin, Resin merupakan senyawa yang berwarna coklat tua, dan berbentuk
padat atau semi padat dan sangat polar, dimana tersusun oleh atom C dan H,
dan sedikit atom O, S, dan N, untuk perbandingan H/C yaitu 1.3–1.4,
memiliki berat molekul antara 500–50.000, serta larut dalam n-heptan.
b. Aromatis. Senyawa ini berwarna coklat tua, berbentuk cairan kental, bersifat
non polar, dan di dominasi oleh cincin tidak jenuh, dengan berat molekul
antara 300–2.000, terdiri dari senyawa naften aromatis, komposisi 40-65%
dari total bitumen.
c. Saturate. Senyawa ini berbentuk cairan kental, bersifat non polar, dan
memiliki berat molekul hampir sama dengan aromatis, serta tersusun dari
campuran hidrokarbon lurus, bercabang, alkil naften, dan aromatis,
komposisinya 5-20% dari total bitumen. Maltene terdiri atas gugusan aromat,
naphtene dan alkan yang berat molekul yang lebih rendah antara 370 hingga
710.
Aspal yang dipergunakan pada konstruksi perkerasan jalan berfungsi sebagai:
a. Bahan pengikat, memberikan ikatan yang kuat antara aspal dan agregat, dan
antara aspal itu sendiri.
b. Bahan pengisi, mengisi rongga antara butir-butir agregat dan pori-pori yang
ada dari segi itu sendiri.
c. Lapisan kedap air, yaitu menyelimuti permukaan butir agregat sehingga tahan
terhadap pengaruh garam, asam dan basa. (Akem, 2012)
Sifat-sifat aspal adalah sebagai berikut:

2
a. Daya tahan (durability) Daya tahan (durability) adalah kemampuan aspal
menahan keausan akibat pengaruh cuaca dan air dan perubahan suhu ataupun
keausan akibat gesekan roda kendaraan.
b. Adesi dan kohesi Adesi adalah kemampuan aspal untuk mengikat agregat
sehingga dihasilkan ikatan yang baik antara agregat dengan aspal. Kohesi
adalah kemampuan aspal untuk mempertahankan agregat tetap di tempatnya
setelah terjadi pengikatan.
c. Kepekaan terhadap temperatur Aspal adalah material yang termoplastis,
berarti akan menjadi keras atau kental jika temperatur berkurang dan akan
lunak atau lebih cair jika temperatur bertambah.
d. Kekerasan aspal Aspal pada proses pencampuran dipanaskan dan dicampur
dengan agregat sehingga agregat dilapisi aspal atau aspal panas disiramkan ke
permukaan agregat yang telah disiapkan (pada proses pelaburan). Pada proses
pemanasan inilah akan terjadi pengerasan. Peristiwa pengerasan akan
mengakibatkan terjadinya proses perapuhan yang terus berlangsung setelah
masa pelaksanaan selesai. (Akem, 2012)

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam penyusunan seminar ini adalah :
1. Bagaimana cara penambangan aspal alam.
2. Bagaimana pengolahan aspal sebagai bahan utama membuat jalan.

1.3. Batasan Masalah


Berdasarkan pada rumusan masalah yang telah ditelaah maka dapat
ditentukan batasan masalah sebagai berikut :
1. Membahas tahapan penambangan dan pengolahan aspal alam.
2. Dalam seminar ini hanya membahas aspal alam dan tidak membahas
mengenai aspal dari minyak.

3
1.4. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan laporan ini adalah :
1. Mengetahui cara penambangan aspal alam dengan metode quarry.
2. Mengetahui bagaimana tahapan pengolahan serta pencampuran aspal
alam dengan menggunakan mesin AMP.

1.5. Metode Penulisan


Metode penulisan yang di pakai adalah menggunakan studi pustaka dari
beberapa literature, internet, jurnal yang membahas tentang pengolahan bahan
galian aspal.

4
2 BAB II
DASAR TEORI

2.1 Genesa Aspal


Ada beberapa teori lain yang dikemukakan Abdul Rosyid (1998) tentang
cara terbentuknya aspal alam yaitu:
a. Cara aliran (over flow) Cara aliran terjadi dalam tiga bentuk:
1. Spring yaitu cairan aspal yang terbentuk dalam bumi muncul permukaan bumi
melalui celah-celah rekahan dan patahan.
2. Lake yaitu aspal cair atau semi cair yang mengalir kepermukaan bumi melalui
celah-celah atau patahan yang kemudian mengendap dalam cekungan.
3. Sepage yaitu aspal yang terdapat dalam batuan dan kemudian mengalir
kebagian yang lebih rendah disebabkan tekanan material disekitarnya atau
karena panas matahari
b. Impregnasi dalam batuan (Impregnating Rock) Aspal cair yang mengalir dan
memasuki pori-pori batu pasir, batu gamping, dan konglomerat sehingga aspal
itu menjadi satu dengan batuan dimana aspal mengalir.
c. Pengisian rekahan (Filling Vein) Aspal cair yang mengalir melalui patahan dan
akhirnya mengisi patahan tersebut hingga berbentuk seperti urat-urat.

2.2 Penambangan Aspal Alam


Penambangan aspal alam kebanyakan menggunakan sistem tambang
terbuka quarry. Sebelum proses penambangan aspal alam dimulai, terlebih dahulu
dilakukan pembersihan lahan atau land clearing menggunakan bulldozer.
Setelah tanah penutup di bersihkan kemudian dilakukan proses
pembongkaran lapisan tanah penutup. Aspal alam merupakan material yang lunak
sehingga tidak memerlukan peledakan dalam pembongkarannya, Proses
pembongkaran lapisan tanah penutup aspal alam menggunakan backhoe.

5
Gambar 2.1 Pembongkaran Aspal Alam
Kemudian material aspal alam yang telah dibongkar dimuat kedalam
dumptruck. Pemuatan aspal alam ke dalam truk menggunakan backhoe.
Dumptruck tersebut kemudian menumpahkan aspal alam ke stockyard yang
letaknya berdekatan dengan lereng yang ditambang. Material aspal alam
ditimbun di stockyard hingga dilakukan pengiriman material aspal alam
menuju pabrik pengolahan.

Gambar 2.2 Pemuatan Aspal Alam


2.3 Agregat
Agregat adalah sekumpulan butir-butir batu pecah, kerikil, pasir atau
mineral lainnya, baik berupa hasil alam maupun hasil buatan. Agregat adalah
material dengan ukuran dan bentuk yang bervariasi yang dipergunakan dalam
pembuatan beton semen dan beton aspal. (Somayaji, Shan, 2001).

Menurut The Asphalt Institute dalam Sukirman (2007), agregat dibedakan


menjadi:
- Agregat kasar adalah agregat yang tertahan dari Mesh. 8 (2,36 mm).

6
- Agregat halus adalah agregat yang lolos Mesh. 8 (2,36 mm).
- Bahan pengisi adalah bagian dari agregat halus yang lolos dari
Mesh. 30 (0,60 mm).
Menurut Bina Marga (2007), agregat dibedakan menjadi :

- Agregat kasar adalah agregat yang tertahan dari Mesh. 4 (4,75 mm).
- Agregat halus adalah agregat yang lolos dari Mesh. 4 (4,75 mm).
- Bahan pengisi harus mengandung bahan yang lolos dari Mesh.
200 (0,074 mm) tidak kurang dari 75% terhadap beratnya.

2.3.1 Sifat agregat


Sifat agregat merupakan salah satu faktor penentu kemampuan perkerasan
jalan memikul beban lalu lintas dan daya tahan terhadap cuaca. Sifat dan bentuk
agregat menentukan kemampuannya dalam memikul beban lalu lintas. Agregat
dengan kualitas dan sifat yang baik dibutuhkan untuk lapisan permukaan yang
langsung memikul beban lalu lintas dan menyebarkannya ke lapisan dibawahnya.
Sifat agregat yang menentukan kualitasnya sebagai bahan konstruksi perkerasan
jalan dapat dikelompokkan menjadi tiga (Sukirman, 1999).
1) Kekuatan dan keawetan (strength and durability).
2) Kemampuan dilapisi aspal yang baik,
3) Kemampuan dalam pelaksanaan dan menghasilkan lapisan yang nyaman
Gradasi agregat merupakan sifat yang sangat luas pengaruhnya terhadap
kualitas perkerasan secara keseluruhan. Gradasi adalah susunan butir agregat
sesuai ukurannya. Gradasi agregat diperoleh dari hasil analisa pemeriksaan
dengan menggunakan 1 set saringan. Gradasi agregat dinyatakan dalam persentase
lolos atau persentase tertahan yang dihitung berdasarkan berat agregat. Sifat ini
sangat menentukan besarnya rongga atau pori yang mungkin terjadi dalam agregat
campuran. Agregat campuran yang terdiri dari agregat berukuran sama akan
berongga atau berpori banyak, karena tak terdapat agregat berukuran lebih kecil
yang dapat mengisi rongga yang terjadi. Sebaliknya, jika campuran agregat
terdistribusi dari agregat berukuran besar sampai kecil secara merata, maka
rongga atau pori yang terjadi sedikit.
Gradasi agregat dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu agregat bergradasi baik
dan agregat bergradasi buruk.

7
1. Agregat bergradasi baik
Agregat bergradasi baik adalah agregat yang ukuran butirnya terdistribusi
merata dalam suatu rentang ukuran butir. campuran agregat bergradasi baik
mempunyai pori sedikit, mudah dipadatkan, dan mempunyai stabilitas tinggi.
Berdasarkan ukuran butiran yang dominan menyusun campuran agregat, maka
agregat bergradasi baik dapat dibedakan atas:
a. Agregat bergradasi kasar, yaitu agregat bergradasi baik yang mempunyai
susunan ukuran menerus dari kasar sampai dengan halus, tetapi dominan
berukuran agregat kasar.
b. Agregat bergradasi halus, yaitu agregat bergradasi baik yang
mempunyai susunan ukuran menerus dari kasar sampai dengan halus,
tetapi dominan berukuran agregat halus.

2. Agregat bergradasi buruk


Agregat bergradasi buruk adalah agregat yang tidak memenuhi
persyaratan gradasi baik. Agregat bergradasi buruk dapat
dikelompokkan menjadi:
a. Agregat bergradasi seragam, yaitu agregat yang hanya terdiri dari butir-
butir agregat berukuran sama atau hamper sama.
b. Agregat bergradasi terbuka, yaitu agregat yang distribusi ukuran butirnya
sedemikian rupa sehingga pori-porinya tidak terisi dengan baik.
c. Agregat bergradasi senjang, yaitu agregat yang distribusi ukuran butirnya
tidak menerus, atau ada bagian ukuran yang tidak ada, jika ada hanya
sedikit sekali.

2.3.1 Klasifikasi Agregat


Agregat dapat dibedakan berdasarkan proses terjadinya, pengolahan, ukuran
dan bentuknya. Berdasarkan proses terjadinya, agregat dapat dibedakan atas :
1. Agregat beku (igneous rock)
Agregat beku adalah agregat yang berasal dari magma yang mendingin
dan membeku. Contoh agregat beku adalah batu apung, andesit, basalt, gabbro,
diorite dan syenit.
2. Agregat sedimen (sedimentary rock)
Agregat sedimen merupakan agregat yang berasal dari campuran partikel

8
mineral, sisa-sisa hewan dan tanaman yang mengalami pengendapan dan
pembekuan. Pada umumnya merupakan lapisan-lapisan pada kulit bumi, hasil
endapan di danau, laut, dan sebagainya. Contoh agregat sedimen adalah batu
pasir, batu lempung, batu gamping, batu bara, garam dan gips.
3. Agregat metamorfik (metamorphic rock)
Agregat metamorpik adalah agregat sedimen maupun agregat beku
yang mengalami proses perubahan bentuk akibat adanya perubahan
tekanan dan temperatur kulit bumi. Contoh agregat metamorpik : marmer,
kuarsit, batu sabak, filit, sekis.
Berdasarkan pengolahannya, agregat dapat dibedakan atas:
1. Agregat siap pakai
Agregat siap pakai adalah agregat yang dapat dipergunakan sebagai
material perkerasan jalan dengan bentuk dan ukuran sebagaimana diperoleh di
lokasi asalnya, atau dengan sedikit proses pengolahan. Contoh agregat siap
pakai adalah kerikil dan pasir.
2. Agregat yang perlu diolah terlebih dahulu sebelum dipakai
Agregat yang perlu diolah terlebih dahulu sebelum dipakai adalah
agregat yang diperoleh di bukit-bukit, di gunung-gunung, ataupun di
sungai-sungai. Agregat jenis ini memerlukan proses pengolahan, misalnya
pemecahan dengan mesin pemecah batu, terlebih dahulu sebelum
digunakan. Contoh agregat ini adalah semen, kapur dan abu terbang.
Berdasarkan bentuknya, agregat dapat dibedakan menjadi:
1. Agregat bulat (rounded)
Agregat yang biasanya dapat ditemui di sungai yang telah
mengalami erosi sehingga berbentuk bulat dan licin. Bidang kontak
antar agregat berbentuk bulat sangat sempit, hanya berupa titik
singgung, sehingga menghasilkan penguncian antar agregat yang tidak
baik, dan menghasilkan kondisi kepadatan lapisan perkerasan yang
kurang baik.
2. Agregat kubus (cubical)
Agregat kubus pada umumnya merupakan agregat hasil
pemecahan batu masif, atau hasil pemecahan mesin pemecah batu.

9
Bidang kontak agregat ini luas, sehingga mempunyai daya saling
mengunci yang baik. Kestabilan yang diperoleh lebih baik dan lebih
tahan terhadap deformasi.
3. Agregat lonjong (elongated)
Agregat berbentuk lonjong dapat ditemui di sungai atau bekas
endapan sungai. Agregat dikatakan lonjong jika ukuran terpanjangnya
lebih besar dari 1,8 kali diameter rata-rata. Sifat agregat berbentuk
lonjong hampir sama dengan agregat berbentuk bulat.
4. Agregat pipih (flaky)
Agregat berbentuk pipih dapat merupakan hasil produksi dari
mesin pemecah batu, dan biasanya agregat ini memang cenderung pecah
dengan bentuk pipih. Agregat pipih adalah agregat yang ketebalannya
lebih tipis dari 0,6 kali diameter rata- rata.
5. Agregat tak beraturan (irregular)
Agegat tak beraturan adalah agregat yang bentuknya tidak
mengikuti salah satu bentuk di atas.

2.2 Tahap Preparasi


Pada tahap preparasi sebagai tahap penyiapan material supaya ukurannya
sesuai dengan kebutuhan konsumen maupun tahap selanjutnya. Tahap ini
membutuhkan beberapa jenis peralatan. Peralatan ini memiliki fungsi fungsi
berbeda-beda maupun fungsi yang sama dengan tujuan yang berbeda. Oleh sebab
itu, pada tahap preparasi dekelompokkan menjadi beberapa kelompok tahapan.

2.3 Proses Kominusi dan Peralatan


Proses Kominusi secara umum merupakan proses yang bertujuan untuk
mereduksi ukuran dari material yang ada menjadi sesuai dengan yang
diinginkan atau dapat disebut proses peremukan. Tahap peremukan ini juga
dapat bertujuan untuk meliberasi atau memisahkan mineral berharga dari
mineral pengotor yang terikat bersama pada suatu batuan.
Tahap peremukan umumnya terdiri dari beberapa tahapan. Tahapan ini
menyesuaikan antara ukuran umpan terbesar dengan ukuran produk yang
diharapkan. Penentuan jumlah tahapan dapat menggunakan pedoman nilai

10
reduction ratio. Peremukan material pada dasarnya bertujuan untuk mereduksi
ukuran material, dari ukuran besar menjadi ukuran kecil.
1) Hammermill
Hammermill adalah sebuah alat peremuk yang mempunyai rotor yang
dapat berputar dan mempunyai alat pemecah berbentuk palu yang palu-palu
tersebut digantung pada suatu piringan/silinder yang dapat berputar dengan
cepat. Alat ini juga dilengkapi dengan ayakan yang juga berfungsi sebagai
penutup lubang tempat keluarnya produk. Tingkat putaran bergantung pada
keras lunaknya material yang akan diremuk.
Hammermill bekerja dengan prinsip material yang masuk akan
dihancurkan dengan diremuk. Alat ini terdiri dari sejumlah pemukul yang
berbentuk palu-palu yang terletak pada poros dan plat pemecah, umpan masuk
melalui atas dan akan dipecah oleh palu-palu yang berputar dengan kecepatan
tinggi ditekan terhadap plat pemecah. Palu-palu pemukul akan memukul
material.

Gambar 2.3 Hammermill


2) Roll Crusher
Roll crusher adalah mesin pereduksi ukuran yang menjepit
danmeremuk material antara dua permukaan yang keras. Pemukaan yang
digunakan biasanya berbentuk roll yang berputar pada kecepatan yang sama

11
dan arahnya berlawanan. Untuk peremuk permukaan roll bisa berkerut atau
bergerigi. Bentuk dari roll crusher ada dua macam, yaitu (Winanto A dkk,
2001, 14):
a) Rigid Roll
Alat ini pada porosnya tidak dilengkapi dengan pegas sehingga
kemungkinan patah pada poros sangat memungkinkan. Roll yang berputar
hanya satu saja tetapi ada juga yang keduanya ikut berputar
b) Spring Roll
Alat ini dilengkapi dengan pegas, sehingga kemungkinan porosnya patah
sangat kecil sekali. Dengan adanya pegas maka roll dapat mundur dengan
sendirinya bila ada material yang sangat keras, sehingga tidak dapat dihancurkan
dan material itu akan jatuh.
Untuk jenisnya, roll crusher ada yang Single roll crusher dan ada yang
double roll crusher. Singgle roll crusher biasanya digunakan untuk penghancuran
primer. Mesin peremuk ini terdiri dari satu roll penghancur. Kebanyakan single
roll crusher dipasang dengan pin penjepit atau bentuk lainnya untuk melindungi
sistem pengendali.
Double Roll Crusher terdiri dari dua buah silinder baja dan masing-masing
dihubungkan pada poros sendiri-sendiri. Double roll crusher meremukkan
material dengan cara menghimpitkan material tersebut di antara dua silinder
logam, dengan sumbu sejajar satu sama lain dan dipisahkan dengan spasi sama
dengan ukuran produk yang diinginkan. Putaran masing-masing silinder tersebut
berlawanan arahnya sehingga material yang ada di atas roll akan terjepit dan
hancur.

12
Sumber: Josepph W. Leonard (1968) Gambar 2.4
Double Roll Crusher
Apabila menggunakan double roll crusher maka harus diperhatikan
agar gigi-gigi dari kedua permukaan roller tidak saling beradu atau
bersinggungan. Bentuk gigi akan sangat mempengaruhi bentuk partikel yang
dihasilkan dari peremukan. Tingkat keausan gigi tergantung pada jenis material
umpan. (Sudarsono A, 2003, 94). Untuk gambar dari double roll bisa dilihat
pada gambar 2.4.
Kapasitas dari roll crusher tergantung pada kecepatan roller, lebar
permukaan roller, diameter roll, dan jarak antar roll yang satu dengan yang
lainnya. Kapasitas teoritis double roll crusher dinyatakan dengan rumus sebagai
berikut
C = 0,0034 N x D x G x S
Keterangan:
C = Kapasitas teoritis roll crusher (ton/jam)
N = Jumlah putaran (rpm)
D = Diameter roll (inch)
W = Panjang permukaan roll (inch)
G= Berat jenis material (ton/m3)
S= Jarak antar roll (inch)

13
2.2.2 Proses Sizing
Tahap sizing bertujuan untuk mengelompokkan material berdasarkan
ukuran partikel. Pengelompokkan ini diperlukan utamanya untuk memenuhi
persyaratan ukuran yang diperlukan ataupun sebagai syarat untuk material
masuk ke tahap selanjutnya.
Screening disebut juga klasifikasi mekanik, yaitu proses pemisahan
yang memanfaatkan perbedaan lubang ayakan. Partikel yang lebih kecil dari
lubang ayakan akan melewati ayakan, sedangkan untuk partikel yang lebih
besar akan tertahan dan jatuh di tempat yang telah ditentukan. Tujuan dari
screening adalah memisahkan umpan menjadi dua atau lebih produk dalam
ukuran yang berbeda. Parameter utamanya adalah ukuran partikel (Dizymala,
2007)
Partikel yang lolos ayakan pada deck screen disebut dengan produk
undersize, diberi tanda minus (-) atau produk dengan ukuran lebih kecil darI
lubang ayakan, sedangkan partikel yang tertahan pada ayakan disebut dengan
oversize diberi tanda positif (+), atau produk dengan ukuran lebih besar dari
lubang ayakan. Screening sering digunakan sebagai metode pemisahan dan dapat
diterapkan sebagai operasi tunggal atau dikombinasikan dengan proses lainnya.
Vibrating Screen memiliki penampang berbentuk persegi panjang dan
oversize produk akan berada di atas deck. Vibrating Screen dapat memproduksi
dengan lebih dari satu deck screen. Pada system multi-deck, umpan masuk
permukaan atas kemudian ukuran material yang lebih kecil dari ukuran lubang
bukaan deck akan jatuh menuju deck screen yang lebih kecil, sehinnga
menghasilkan berbagai fraksi ukuran pada satu screen. (Wills’ 2005). Untuk
sketsa vibrating screen bisa dilihat pada gambar 3.5.

14
(Sumber: Wills’ 2005)
Gambar 2.5 Ayakan Getar Vibrating Screen
Kapasitas teoritis ayakan getar salah satunya dapat diketahui dengan
menggunakan persamaan (Telsmith.ltd):
C = [Area x ( A x B x C x D x E x F)]
Keterangan :
C= Kapasitas Teoritis Screen (ton/jam)
Area= Luas screen (sq.ft)
A= Capacity in Tons Per Hour Passing
B= Estimate percentage of oversize in feed to screen
C = Slight inaccuracies are seldom objectionable in screening aggregate
D= Consider this factor carefully where sand or fine rock is present in feed
E= If material is dry, use factor 1.00. If there is water in material or if water is
sprayed on screen, use proper factor given opposite.
F = Factor Deck Position

15
2.4 Alat Bantu
Pada tahap preparasi yaitu proses kominusi dan sizing dibutuhkan
beberapa alat bantu untuk mendukung jalannya proses tersebut, beberapa alat
bantu yang digunakan antara lain sebagai berikut:
a. Hopper
Hopper terbuat dari baja yang tahan terhadap korosi, dengan sudut ø
sekitar 30°. Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan ketika mendesain hopper
yang akan digunakan.
Ada beberapa aspek penting yang dicatat di sini. Untuk hopper simetris ada
kecenderungan feeder harus menarik umpan dari hopper untuk itu dibuat desain
hopper asimetris dengan dinding belakang setengah sudut α dan dinding depan
dengan sudut α + (5° sampai 8°), atau hopper simetris digunakan untuk umpan
yang seragam dengan menggunakan bahan lapisan kasar di bagian depan

Sumber : Trisna Suwaji,2008


Gambar 2.6 Detail Penampang Hopper
(A=Tampak Samping; B=Tampak Atas; C=Tampak Depan)
Hopper berbentuk gabungan dari balok dan limas sehingga perhitungan
volume hopper menggunakan rumus bangun ruang umum sebagai berikut (Trisna
Suwaji,2008) :
V=1/3x t x ( La + Lb + √La x Lb )
Keterangan :
V = Volume bagian hopper berbentuk limas (m³) t = Tinggi bagian hopper
berbentuk limas (m)
La = Luas Atas = Luas bagian atas hopper berbentuk limas (m²)
Lb = Luas Bawah= Luas bagian bawah hopper berbentuk limas (m²)

16
Dari hasil perhitungan volume total hopper dapat dihitung kapasitas
hopper dalam tonase yaitu dengan :
Q=Vxg
Keterangan :
Q = Kapasiras Hoperr (ton)
V = Volume Limas Terpancung (m3)
g = Berat Isi Batuan (ton/m3)
b. Fedeer
Beberapa bentuk macam pengumpan (Taggart, 1994) antara lain:
1) Vibrating grizly feeder
Merupakan susunan batang-batang baja yang membentuk ukuran
lubang bukaan tertentu. Alat ini dipasang miring terhadap bidang horisontal
dan digunakan dengan motor penggetar. Pemasangan pengumpan ini bertujuan
untuk memisahkan material ukuran tertentu dan mengumpankan material ke
alat peremuk.
2) Resiprocating plat feeder
Merupakan pengumpan yang terbuat dari lempengan baja. Cara kerjanya
dengan bergerak maju dan mundur sehingga pada saat plat bergerak maju,
material umpan akan terbawa masuk ke peremuk.
3) Wobbler feeder
Merupakan alat yang berfungsi sebagai pengumpan dan sekaligus sebagai
alat pemisah umpan yang terdiri dari roll-roll yang berputar untuk memisahkan
dan memasukan umpan ke hopper.
4) Belt feeder
Merupakan pengumpan yang terdiri dari sabuk karet yang dihubungkan
dengan pulley seperti pada belt conveyor
5)Appron feeder
Merupakan salah satu bentuk pengumpan yang terdiri dari kerangka
penggerak dimana satu dengan yang lainnya disambungkan dengan plat rantai,
sambungan ini disangga atau ditahan oleh roll yang berputar di atas rel.
Untuk menentukan kapasitas feeder didasarkan pada perhitungan rumus:

K= T x L x V x Bi

17
Keterangan:
K = Produksi nyata feeder (ton/jam)
T = Tebal material pada feeder (m)
L = Lebar feeder (m)
V = Kecepatan feeder (m/jam)
Bi = Bobot isi material (ton/m3)
3. Ban Berjalan (Belt Conveyor)
Belt Conveyor alat angkut material secara menerus baik pada
keadaanmiring, maupun mendatar. Modifikasinya tergantung dari penggunaannya
dan dapat terbuat dari karet atau logam. Conveyor digerakkan oleh motor
penggerak yang dipasang pada head pulley. Conveyor akan kembali ke tempat
semula karena di belokkan oleh pulley awal dan pulley akhir. Material yang
didistribusikan melalui pengumpan akan dibawa oleh ban berjalan dan berakhir
pada head pulley. Pada saat proses kerja di unit peremuk dimulai, conveyor harus
bergerak lebih dulu sebelum alat peremuk bekerja. Hal ini bertujuan untuk
mencegah terjadinya kelebihan muatan (over load) pada conveyor.
Pemakaian belt conveyor dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
1.) Sifat fisik dan kondisi material
Kemampuan belt conveyor dalam mengangkut material sangat
berhubungan dengan material yang diangkutnya. Kondisi material tersebut
antara lain :

a. Ukuran dan bentuk material


b. Kandungan air
c. Komposisi material
2) Keadaan topografi
Kondisi lapangan dapat mempengaruhi penggunaan belt conveyor.
Belt conveyor biasanya digunakan pada daerah yang relatif landai dan
kemiringan dari belt conveyor yang efektif untuk digunakan yaitu tidak
melebihi 180.
3) Jarak pengangkutan

18
Belt conveyor dapat digunakan untuk mengangkut material jarak
dekat maupun jarak jauh. Untuk pengangkutan jarak jauh belt conveyor
dibuat dalam beberapa unit.
Kapasitas teoritis belt conveyor sangat dipengaruhi oleh luas penampang
melintang material yang terangkut belt conveyor, kecepatan belt conveyor,
dan bobot isi material yang terangkut.
Faktor yang mempengaruhi jumlah material yang dapat diangkut oleh belt
conveyor:

a. Lebar belt
b. Kecepatan belt
c. Sudut roller/idler terhadap bidang datar (throughing angle)
d. Angle of surcharge material
e. Densitas material curah
f. Kemiringan belt
Produksi belt conveyor dari hasil Double Roll Crusher jika batu
keseluruhan masuk 1 ton atau 100%, maka batu tersebet dengan ukuran kasar di
atas 4,75mm tertahan dengan saringan ukuran mesh 8 adalah 65% batu tersebut
masuk ke belt conveyor 1 dan ukuran yang halus lolos di bawah 4,75mm dengan
mesh no 8 adalah 25% masuk ke belt coveyor 2, sisanya 10% adalah batu bahan
pengisi dengan ukuran 0,60 mm masuk ke belt conveyor 3. Jadi belt conveyor 1
membawa 650kg secara bertahap, belt conveyor 2 membawa 250kg dan belt
conveyor 3 membawa 100kg.

19
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Proses Pengolahan Aspal Alam
Sebelum di lakukan pencampuran pada AMP aspal hasil penambangan
akan di lakukan proses kominusi untuk memperkecil ukura aspal karna hasil aspal
dari hasil penambangan ada yang perbentuk bongkahan.

Gambar 3.7 Diagram proses kominusi aspal alam


a. Tahapan proses yang pertama yaitu pemuatan aspal alam dari stock yard ke
Hopper. Aspal alam yang telah ditambang mempunyai ukuran bongkah
terbesar yaitu 650 mm. Aspal alam tersebut akan ditempatkan pada tempat
penimbunan sementara yaitu stock yard. Aspal alam yang berada di stock yard
akan dimasukkan ke dalam hopper dengan menggunakan wheel loader .
Setelah dari hopper aspal alam akan masuk ke dalam belt feeder. Aspal alam
yang berada di belt feeder akan dilakukan proses pengumpanan untuk
dilanjutkan ke proses selanjutnya.

20
Gambar 3.8 Hopper

Gambar 3.9 Wheel Loader


b. Tahapan proses yang kedua yaitu pengumpanan dilakukan dengan alat belt
feeder yang terletak di bawah hopper. belt feeder akan mengatur jumlah umpan
yang keluar menuju belt conveyor 1 yang nantinya akan membawa aspal alam
ke double roll srusher untuk dilakukan proses peremukan.

Gambar 3.10 Belt Feeder

21
Gambar 3.11 Double Roll Crusher

Gambar 3.12 Gigi pada permukaan Double Roll Crusher


c. Setelah dilakukan proses peremukan pertama, aspal alam akan menuju
proses selanjutnya yaitu proses pengayakan dengan single deck
vibrating screen. Produk aspal alam dari double roll crusher diangkut
oleh belt conveyor 2 yang kemudian dimasukkan ke single deck
vibrating, dilakukan proses pengayakan dengan ukuran lubang bukaan
pada single deck vibrating screen sebesar yang akan mengasilkan
produk aspal alam dengan ukuran -20 mm dan +20 mm.

22
Gambar 3.13 Single Deck Vibrating Screen

Gambar 3.14 Lubang bukaan pada Single Deck Vibrating Screen


d. Proses selanjutnya yaitu peremukan kedua dengan hammer mill. Produk
aspal alam yang tidak lolos proses pengayakan pada single deck vibrating
screen dengan ukuran +20 mm akan diangkut belt conveyor 4 dan
dimasukan ke dalam hammer mill untuk dilakukan proses peremukan
kedua,. Produk dari hammer mill akan dibawa menuju single deck
vibrating ggkscreen oleh belt conveyor 5 untuk dilakukan proses
pengayakan kembali.

23
Gambar 3.15 Hammer mill
e. Tahapan proses selanjutnya yaitu pemanasan dengan dryer. Produk aspal
alam yang sudah lolos proses pengayakan pada single deck vibrating
screen dengan ukuran -20 mm dengan belt conveyor 6 akan menuju dryer
untuk dilakukan proses pemanasan, tujuan aspal alam dilakukan proses
pemanasan adalah untuk mengurangi kadar air yang terkandung pada aspal
alam, sesuai dengan permintaan pasar kadar air pada aspal alam maksimal
5%. Pemanas dryer mempunyai panjang keseluruhan 17 m dengan lama
pemanasan pada dryer 1 menit dengan suhu 200˚C. Aspal alam yang
keluar dari dyer mempunyai suhu 50˚C.

Gambar 3.16Dryer
f. Setelah dilakukan proses pemanasan, akan dilakukan proses pendinginan
dengan rotary cooler. Aspal alam akan dibawa oleh belt conveyor 7 untuk
menuju alat pendingin yaitu rotary cooler untuk dilakukan proses

24
pedinginan dengan tujuan mengurangi suhu aspal alam akibat proses
pemanasan. Alat pendingin rotary cooler bekerja dengan cara berputar dan
menghisap udara panas untuk mengurangi suhu aspal alam yang ada
didalamnya dengan menggunakan axial fan, setelah axial fan menghisap
udara panas yang ada didalam rotary cooler, tekanan udara di dalam akan
menurun sehingga udara di luar yang tekanannya lebih tinggi akan masuk
ke dalam rotary cooler. Udara panas yang dihisap axial fan akan dibuang
keluar melalui cerobong udara. Aspal alam yang keluar dari alat pemanas
dryer mempunyai suhu 50˚C dan setelah dilakukan proses pendinginan
menggunakan rotary cooler suhu aspal alam akan menurun menjadi 30˚C

Gambar 3.17 Rotary Cooler


g. Tahapan proses yang terakhir adalah pengantongan jika aspal untuk di
expor atau di simpan, namun jika aspal langsung di gunakan perlu adanya
AMP seperti yang akan saya jelaskan selanjutnya. Setelah proses
pendinginan dengan rotary cooler aspal alam akan dibawa oleh belt
conveyor 8 untuk menuju proses akhir yaitu proses pengantongan. Proses
pengantongan dilakukan setelah aspal alam didiamkan sementara di stock
pile agar pada saat proses pengantongan suhu pada aspal alam tidak terlalu
tinggi sehingga tidak merusak kantong. Proses pengantongan aspal alam
memanfaatkan tenaga manusia.

25
3.2 Asphalt mixing plant
Asphalt mixing plant (AMP) adalah tempat dimana campuran aspal diaduk,
dipanaskan, dan dicampur (Rostiyanti, 2008).
AMP dapat terletak di lokasi yang permanen atau berpindah dari satu tempat ke
tempat lain. Apabila ditinjau dari jenis cara memproduksi campuran beraspal dan
kelengkapannya, ada beberapai jenis AMP yaitu:
a) AMP jenis takaran (batch plant)
b) AMP jenis drum pencampur (drum mix)
c) AMP jenis menerus (continuous plant)
Namun secara umum kebanyakan AMP dikategorikan atas jenis takaran
(timbangan) atau jenis drum pencampur. Perbedaan utama dari AMP jenis
timbangan dan jenis drum adalah dalam hal kelengkapan dan proses bekerjanya.
Pada AMP jenis timbangan komposisi bahan dalam campuran beraspal ditentukan
berdasarkan berat masing-masing bahan sedangkan pada AMP jenis pencampur
drum komposisi bahan dalam campuran ditentukan berdasarkan berat masing-
masing bahan yang diubah ke dalam satuan volume atau dalam aliran berat per
satuan waktu.
Terlepas dari perbedaan jenis dari AMP, tujuan dasarnya adalah sama.
Yaitu untuk menghasilkan campuran beraspal panas yang mengandung bahan
pengikat dan agregat yang memenuhi semua persyaratan spesifikasi.
Proses pencampuran campuran beraspal pada AMP jenis takaran dimulai
dengan penimbangan agregat, bahan pengisi (filler) bila diperlukan dan aspal
sesuai komposisi yang telah ditentukan berdasarkan Rencana Campuran Kerja
(RCK) dan dicampur pada pencampur(mixer/pugmill) dalam waktu tertentu.
Pengaturan besarnya bukaan pintu bin dingin dilakukan untuk menyesuaikan
gradasi agregat dengan rencana komposisi campuran, sehingga aliran material ke
masing-masing bin pada bin panas menjadi lancar dan berimbang
Bagian-bagian AMP jenis timbangan adalah:
1. Bin dingin (cold bins)
2. Pintu pengatur pengeluaran agregat dari bin dingin (cold feed gate)
3. Sistem pemasok agregat dingin (cold elevator)
4. Pengering (dryer)

26
5. Pengumpul debu (dust collector)
6. Cerobong pembuangan (exhaust stack)
7. Sistem pemasok agregat panas (hot elevator)
8. Unit ayakan panas (hot screening unit)
9. Bin panas (hot bins)
10. Timbangan Agregat (weigh box)
11. Pencampur (mixer atau pugmill)
12. Penyimpanan bahan pengisi (mineral filler storage)
13. Tangki aspal (hot asphalt storage)
14. Sistem penimbangan aspal (aspal weigh bucket)

Gambar 3.18 Asphalt mixing plant secara umum

27
3.2.1 Proses pencampuran campuran aspal pada AMP

Berdasarkan Pedoman Konstruksi dan Bangunan, oleh Direktorat Jenderal


Bina Marga (2006) tentang Campuran Beraspal Panas denganAsbuton Olahan,
dijelaskan bahwa Proses pelaksanaan produksi hotmix dengan menggunakan
AMP dapat dilihat pada gambar 3.20 berikut ini.

Gambar 3.19 Bagan alir proses produksi di AMP( direktorat jendral Marga, 2006)

1. Aspal di panaskan hingga mencapai suhu pencampuran, kemudian aspal di


timbang.
a. Material aspal di masukan melalui bin filter

Gambar 3.20 material aspal


a. Material aspal kemudian di bawa oleh belt conveyor menuju sccren untuk
menghindari gumpalan-gumpalan, Setelah itu aspal di panaskan hingga suhu

28
pencampuran sesuai lalu di angkut oleh elevator menuju penyimpanan aspal
panas untuk di teruskan ke penimbangan penimbangan.

Gambar 3.21 Proses sccren


2. Untuk agregat yaitu dari culd bin di bawa menuju dreyer oleh belt
conveyor dan di panaskan hingga temperatur sesuai.
Bin dingin (cold bin) adalah bak tempat menampung material
agregat dari tiap-tiap fraksi mulai dari agregat halus sampai agregat kasar
yang diperlukan dalam memproduksi campuran aspal panas (hot mix)
.Bagian pertama dari AMP adalah bin dingin, yaitu tempat penyimpanan
fraksi agregat kasar, agregat sedang, agregat halus dan pasir. Bin dingin
harus terdiri dari minimum 3 sampai 5 bak penampung (bin). Masing-
masing bin berisi agregat dengan gradasi tertentu. Agregat-agregat tersebut
harus terpisah satu sama lain, untuk menjaga keaslian gradasi dari masing
masing bin sesuai dengan rencana gradasi pada formula campuran kerja.

Gambar 3.22cold bin

29
Dari bin dingin agregat dibawa melalui elevator dinaikkan ke dalam
pengering (dryer) untuk dipanaskan dan dikeringkan pada temperatur yang
diminta. Pengering ini berbentuk silinder dengan panjang dan diameter tertentu
berdasarkan kapasitas maksimum produksi yang direncanakan per jamnya.
Pengering mempunyai fungsi: (1) menghilangkan kandungan air
pada agregat; dan (2) memanaskan agregat sampai temperatur yang
disyaratkan. Komponen yang terdapat pada sistim pengering adalah:
 Silinder berputar (pengering) yang umumnya berdiameter 91 cm sampai
305 cm dan panjang 610 cm sampai 1219 cm.
 Ketel pembakar (burner) yang berisi gas atau minyak bakar untuk
menyalakan pemanas.
 Kipas (fan) sebagai bagian dari system pengumpul debu dan mempunyai
fungsi utama untuk memberikan udara atau oksigen dalam sistim pemanas.

Gambar 3.23 dryer


3. Kemudian agregat yang telah di panaskan di bawa menuju screening oleh hot
elevator dan kemudian menuju hot bin. Kebanyakan AMP menggunakan unit
ayakan panas (hot screening unit) jenis mendatar dengan sistim penggetar yang
umumnya terdiri dari empat susunan. Agregat yang telah dikeringkan dan
dipanaskan diangkut dengan mangkok elevator panas (hot elevatorbucket)
untuk disaring dengan susunan unit ayakan panas dan dipisahkan dalam
beberapa ukuran yang selanjutnya dikirim ke bin panas (hot bin).

30
Gambar 3.24hot bin
Bin panas (hot bin) dipasang pada AMP jenis takaran (batch). Pada AMP
jenis takaran umumnya akan terdapat 4 bin yang dilengkapi dengan pembatas
yang rapat kuat dan tidak boleh berlubang serta mempunyai tinggi yang tepat
sehingga mampu menampung agregat panas dalam berbagai ukuran fraksi yang
telah dipisah- pisahkan melalui unit ayakan panas dengan komposisi 34% abu
batu (0-0,5 mm), 28% batu medium (5-10 mm), 13% batu 1-2 (10-20 mm) dan
25% aspa .Pada bagian bawah dari tiap bin panas harus dipasang saluran pipa
untuk membuang agregat yang berlebih dari tiap bin panas yang dapat
dioperasikan secara manual atauotomatis. Jika agregat halus masih menyisakan
kadar air (pengering kurang baik) setelah pemanasan, maka agregat yang sangat
halus (debu) akan menempel dan menggumpal pada dinding bin panas dan akan
jatuh setelah cukup berat.
4. Seluruh materal kemudian di timbang oleh weight box, dengan takaran yang di
tetapkan, berat takaran material di atur oleh operator, Timbangan disini persis
dibawah HotBin, nah bagi yang hanya melihat AMP dari luar saja, bagian ini
tidak akan nampak karena letaknya tertutup cast Hotbin. Timbangan berfungsi
melakukan menimbang bobot masing - masing fraksi agregat sesuai dengan
Hasil akhir campuran yang diinginkan.

5. Setelah aspal, agregat dan bahan pengisi (bila perlu) ditimbang sesuai dengan
komposisi yang direncanakan, bahan tersebut dimasukkan ke dalam pencampur
(mixer/pugmill). Waktu pencampuran harus sesingkat mungkin untuk mencegah

31
oksidasi yang berlebih namun harus diperoleh penyelimutan yang seragam pada
semua butir agregat.

Pencampur terdiri dari ruang (chamber) dan poros kembar (twin shaft)
yang dilengkapi dengan dengan kayuh atau pedal (paddle). Untuk menghasilkan
pengadukan yang baik, pedal harus dalam kondisi baik (tidak aus) dan posisinya
sedemikian rupa sehingga ruang bebas (clearance) antara ujung pedal dan
dinding ruang pencampuran harus ada jarak. Pengisian yang terlalu banyak akan
menyebabkan hasil pengadukan menjadi kurang sempurna,sementara pengisian
terlalu sedikit tidak efisien. Dalam pugmill terjadi dua jenis pencampuran, yaitu
pencampuran kering dan pencampuran basah (setelah ditambah aspal).Lamanya
pencampuran kering diusahakan sesingkat mungkin untuk meminimalkan
degradasi agregat.Pencampuran basah juga diusahakan seminimal mungkin
untuk menghindari degradasi dan oksidasi atau penuaan (aging) dari aspal.
Apabila campuran sudah tercapur secara merata gate hasil mix di buka untuk
memuat campuran ke dalam truck yang sudah stand bay di bawah back plant,
truk yang sudah mencapai berat maksium akan melanjutkan aspal pada proses
penghamparan.

Gambar 3.25 Pengisian aspal hasil olahan

32
6. Stelah truk tiba di lokasi penghamparan di lakukan sesuai prosedur acuan

Gambar 3.26 Proses penghamparan aspal

33
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Aspal adalah material yang pada temperatur ruang berbentuk padat sampai
agak padat, dan bersifat temoplastis. Jadi aspal akan mencair jika
dipanaskan sampai temperatur tertentu, dan kembali membeku jika
temperatur turun. Bersama dengan agregat, aspal merupakan material
pembentuk campuran perkakas jalan.
2. Produk hasil penambangan sering kali memiliki ukuran yang relatif besar.
Produk ini tidak dapat langsung digunakan sesuai keperluan. Untuk itu
diperlukan suatu proses pengolahan bahan galian yang sesuai dengan
spesifikasi yang dibutuhkan konsumen. Perlakuan terhadap bahan galian satu
akan berbeda dengan bahan galian lainnya sehingga tahapan kegiatan yang
dilalui suatu bahan galian akan berbeda dengan bahan galian lainnya.
Perbedaan tahapan ini akan mempengaruhi peralatan yang akan digunakan.
3. Pengolahan aspal membutuhkan beberapa tahapan dan tahapan tersebut
saling berkaitan satu dengan yang lain dan alat-alat yang di pakai dalam
pengolahan harus di sesuaikan dengan kebutuhan produksi.
4. Asphalt mixing plant (AMP) adalah tempat dimana campuran aspal
diaduk, dipanaskan, dan dicampur (Rostiyanti, 2008).

34
DAFTAR PUSTAKA

Yunita A. Messah Dkk. 2016 Analisis Biyaya Produk Aspalt Mixing Plants
(AMP) Di Pulau Timor. Jurnal Penelitian
Mochammad Zanno. 2017. Kajian Teknis Pengolahan Aspal Alam Pada
Line A di PT. Buton Aspal Nasional Kabupaten Konawe Sulawesi
Tenggara: Universitas Pembangunan Nasional.
Yusran. Dkk. 2017. Estimasi Cadanag Asbuton Menggunakan Block Model
Berdasarkan Penaksiran Keringking Pada PT. Wijaya Karya Bitumen.
Jurnal Penelitian.
Diah, Meutia, 2016. Analisis Struktur Pasar Industri Pengolahan Aspal Di
Slawesi Tenggara: Universitas Hasanuddin Makasar.
Widhiyatna, D. 2002, Tinjauan Konservasi Sumber Daya Aspal Buton,
Kelompok Program Penelitian Konservasi: Bandung.
Suaryana, Nyoman. 2002, Manual Pekerjaan Campuran Beraspal Panas,
Jakarta : Departemen Kimpraswil Republik Indonesia.
Supriyadi, S. 1989. Berbagai Alternative Penggunaan Asbuton Pada
Perkerasan Jalan Beraspal. Bandung : Peneliti Bidang Teknik Jalan
- Puslitbang Jalan Dan Jembatan Bandung.
Tamrin . 2016. Analisi Kadar Air dan Kadar Bitumen Aspal Buton (abuston)
desa Bungi Dengan Metode Sohklet: Universita Islam Negri
Alauddin Makasar.
Sukirman, S. 2003. Beton Aspal Campur Panas. Granit: Jakarta.
Afandi, F. 2008. Pengembangan kontruksi dan pemanfaatan potensi sumber
daya alam untuk perkerasan jalan: Jakarta
Hadiwisastra, S. 2009. Kondisi Aspal Alam Dalam Cekungan Buton, jurnal
Riset Geologi dan Pertambangan, hal. 49-57

35

Anda mungkin juga menyukai