Askep Inkontinensia Alvi
Askep Inkontinensia Alvi
MELINDA WULANDARI
RIZKY AMELIA
Tingkat 2 A
Penulis
i
DAFTAR ISI
halaman
Halaman Judul
BAB I PENDAHULUAN
2.2. Etiologi...........................................................................................5
2.3. Gejala.............................................................................................6
2.4. Patofisiologi...................................................................................7
2.7. Penatalaksanaan.............................................................................11
3.1 .Pengkajian......................................................................................16
3.2 .Diagnosa........................................................................................18
3.3 .Intervensi........................................................................................18
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan....................................................................................23
4.2. Saran..............................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
mempengaruhi bau feses. Fungsi usus tergantung pada keseimbangan
beberapa faktor, pola eliminasi dan kebiasaan (Berman, et.al., 2009).
Inkontinensia alvi merupakan salah satu masalah kesehatan yang
cukup serius pada pasien geriatri. Angka kejadian inkontinensia alvi ini
lebih sedikit dibandingkan pada kejadian inkontinensia urin. Namun
demikian, data di luar negeri menyebutkan bahwa 30-50% pasien geriatri
yang mengalami inkontinensia urin juga mengalami inkontinensia alvi.
Inkontinensia alvi merupakan hal yang sangat mengganggu bagi
penderitannya, sehingga harus diupayakan mencari penyebabnya dan
penatalaksanaannya dengan baik. Seiring dengan meningkatnya angka
kejadian inkontinensia urin, maka tidak menutup kemungkinan akan
terjadi pula peningkatan angka kejadian inkontinensia alvi. Untuk itu
diperlukan penanganan yang sesuai baik untuk inkontinensia urin maupun
inkontinensia alvi, agar tidak menimbulkan masalah yang lebih sulit lagi
sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Berikut ini akan
dibahas mengenai inkontinensia alvi dan penanganannya.
2
I.3. Tujuan Penulisan
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
II.2. Etiologi Inkontinensia Alvi
5
rektum. Proses normal dari defekasi melalui reflek gastro-kolon.
Beberapa menit setelah makanan sampai di lambung/gaster, akan
menyebabkan pergerakan feses dari kolon desenden ke arah rekum.
Distensi rektum akan diikuti relaksasi sfingter interna. Dan seperti
halnya kandung kemih, tidak terjadi kontraksi intrinsik dari rektum
pada orang dewasa normal, karena ada inbisi atau hambatan dari pusat
di korteks serebri (broklehurst dkk, 1987).
4. Inkontinensia alvi karena hilangnya reflek anal
Inkontinensia alvi ini terjadi akibat karena hilangnya refleks anal,
disertai kelemahan otot-otot seran lintang.
Parks, Henry dan Swash dalam penelitiannya (seperti dikutip oleh
broklehurst dkk, 1987), menunjukkan berkurangnya unit – unit yang
berfungsi motorik pada otot – otot daerah sfingter dan pubo-rektal,
keadaan ini menyebabkan hilangnya reflek anal, berkurangnya sensasi
pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal ini dapat berakibat
inkontinensia alvi pada peningkatan tekanan intra abdomen dan
prolaps dari rektum. Pengelolaan inkontinensia ini sebaiknya
diserahkan pada ahli progtologi untuk pengobatannya (broklehurst
dkk, 1987).
6
Bagi beberapa orang termasuk anak-anak inkontinensia tinja adalah
masalah yang relative kecil,terbatas pada sesekali mengotori pakaian
mereka.bagi yang lain,kondisi bisa menghancurkan lengkap karena
kurangnya control usus.
Secara klinis, inkontinensia alvi dapat tampak sebagai feses yang
cair atau belum berbentuk dan feses keluar yang sudah berbentuk, sekali
atau dua kali sehari dipakaian atau tempat tidur. Perbedaan penampilan
klinis ini dapat menunjukkan penyebab yang berbeda-beda, antara lain
inkontinensia alvi akibat konstipasi (sulit buang air besar), simtomatik
(berkaitan dengan penyakit usus besar), akibat gangguan saraf pada proses
defekasi (neurogenik), dan akibat hilangnya refleks pada anus.
II.4. Patofisiologi
Integritas neuromuskular dari rektum, anus, dan otot-otot dasar
panggul membantu mempertahankan kontinensia fekal normal. Rektum
adalah tabung muskuler terdiri dari lapisan otot longitudinal kontinyu yang
menyatu dengan otot sirkuler yang mendasarinya. Komposisi otot yang
unik tersebut memungkinkan rektum berperan baik sebagai reservoir bagi
feces maupun sebagai pompa untuk mengosongkan feces. Anus adalah
tabung muskuler dengan panjang 2-4 cm, yang saat istirahat membentuk
sudut dengan sumbu rektum. Pada saat istirahat, sudut anorektal adalah
sekitar 90 derajat, saat berkontraksi secara volunter sudut tersebut menjadi
lebih kecil, sekitar 70 derajat, dan saat defekasi menjadi lebih tumpul,
sekitar 110-130 derajat.
Secara anatomi, sfingter ani terdiri dari dua komponen, yaitu
sfingter ani interna, yang terdiri otot polos dan sfingter ani eksterna yang
berasal dari otot lurik. Sfingter ani interna, memiliki ketebalan 0,3-0,5 cm
yang merupakan ekspansi lapisan otot polos sirkuler rektum, dan sfingter
ani eksterna dengan ketebalan 0,6-1 cm yang merupakan ekspansi dari otot
levator ani lurik. Secara morfologis, kedua sfingter tersebut terpisah dan
heterogen.
Kontraksi otot sfingter ani interna yang dapat bertahan lama, dapat
7
membantu penutupan liang anus sampai 85% dan ini cukup membuat
terjadi kontinensia, selama 24 jam termasuk waktu tidur. Sfingter ani
eksterna akan membantu sfingter ani interna pada saat-saat tertentu yang
mendadak; dimana tekanan abdominal meningkat seperti pada batuk,
berbangkis dan sebagainya. Akan tetapi bantuan sfingter ani eksterna ini
sangat terbatas, karena otot ini akan menjadi lelah dalam waktu 60 menit
kemudian. Kerja sama sfingter ani interna dan eksterna akan membentuk
daerah yang secara fisiologi mempunyai daerah dengan tekanan tinggi,
sepanjang 4 cm.
8
Gambar 1. Anatomi dari anal kanal dan rektum menunjukkan mekanisme
fisiologis penting bagi kontinensia serta defekasi.
9
pervaginam. Tampaknya isi rektum secara periodik dirasakan oleh proses
"ano rectal sampling " Proses ini dapat difasilitasi oleh relaksasi transien
dari sfingter ani interna yang memungkinkan pergerakan feces atau flatus
dari rektum ke dalam anal kanal bagian atas di mana feces kemudian
kontak dengan banyak end organ end organ sensorik khusus seperti
Krause end-bulbs, Golgi–Mazzoni bodies dan genital corpuscles, serta the
relatively sparse Meissner’s corpuscles dan Pacinian corpuscles.
10
6. Posisi
7. Nyeri
8. Kehamilan : menekan rectum
9. Operasi & anestesi
10. Obat-obatan
11. Test diagnostik : Barium enema dapat menyebabkan konstipasi
12. Kondisi patologis
13. Iritan
1. Upaya-Upaya Suportif
Upaya-upaya suportif seperti menghindari makanan yang iritatif,
membiasakan buang air besar pada waktu tertentu, memperbaiki
higiene kulit, dan melakukan perubahan gaya hidup dapat bermanfaat
dalam penatalaksanaan inkontinensia fekal.
Pada manajemen lansia atau penderita-penderita yang dirawat
dengan inkontinensia fekal, ketersediaan tenaga yang berpengalaman
pada terapi inkontinensia fekal, pengenalan yang tepat waktu untuk
defekasi, dan pembersihan segera kulit perianal merupakan hal yang
11
penting. Upaya-upaya kebersihan seperti mengganti baju bagian
bawah, membersihkan kulit perianal segera setelah episode
inkontinensia, penggunaan kertas tisu basah (tisu bayi), dan bukannya
tisu toilet yang kering, dan krim penghalang misalnya zinc oxide dan
calamine lotion (Calmoseptine®, Calmoseptine Inc: Huntington
Beach, CA) berguna untuk mencegah ekskoriasi kulit.
Upaya-upaya suportif lainnya meliputi modifikasi diet, misalnya
mengurangi asupan kafein atau serat. Kopi yang mengandung kafein
meningkatkan respons gastro-kolonik dan meningkatkan motilitas
kolon, dan menginduksi sekresi cairan pada usus halus. Karenanya,
mengurangi konsumsi kafein, terutama setelah makan dapat
membantu mengurangi urgensi postprandial dan diare.
2. Terapi Spesifik
Beberapa terapi dapat dipertimbangkan, antara lain beberapa
kategori sebagai berikut:
a. Terapi farmakologis
b. Terapi biofeedback
c. Sumbat anus, pemadat masa sfingter (sphincter bulkers),
d. Bedah
a. Terapi Farmakologis:
Loperamide atau diphenoxylate/atropine dapat memberikan
perbaikan sedang pada gejala-gejala inkontinensia fekal.
Beberapa obat, masing-masing dengan mekanisme kerja yang
berbeda, telah diajukan untuk memperbaiki inkontinensia fekal.
Agen-agen antidiare misalnya loperamide hydrochloride
(Imodium®—Janssen Pharmaceuticals: Titusville, NJ) atau
diphenoxylate/atropine sulphate (Lomotil®, Searle, Chicago, IL)
tetap menjadi obat pilihan yang utama.
Suatu studi dengan kontrol plasebo untuk penggunaan
loperamide 4 mg tiga kali sehari telah terbukti mengurangi
frekuensi inkontinensia, memperbaiki urgensi feces dan
meningkatkan waktu transit feces di kolon, juga meningkatkan
tekanan sfingter ani istirahat dan mengurangi berat feces.
b. Terapi Biofeedback .
12
Terapi biofeedback merupakan terapi yang aman dan efektif.
Terapi ini memperbaiki gejala-gejala inkontinensia fekal,
mengembalikan kualitas hidup, dan memperbaiki parameter-
parameter obyektif fungsi anorektal. Terapi ini berguna pada
penderita-penderita dengan sfingter yang lemah dan/atau sensasi
rektal yang terganggu.
Tujuan terapi biofeedback pada penderita dengan
inkontinensia fekal adalah:
1. Untuk memperbaiki kekuatan otot sfingter ani;
2. Untuk memperbaiki koordinasi antara otot abdomen, gluteal,
dan sfingter ani selama berkontraksi secara volunter dan
setelah persepsi rektum;
3. Untuk meningkatkan persepsi sensorik anorektal.
c. Sumbatan, Pemadatan Massa Sfingter, Stimulasi Listrik
Alat sumbat anus, terapi pemadatan massa sfingter, atau
stimulasi listrik harus bersifat eksperimental dan memerlukan
studi-studi klinis terkontrol.
Sumbat anus sekali pakai yang inovatif telah dirancang untuk
oklusi sementara anal kanal. Alat ini ditempelkan pada perineum
menggunakan perekat dan dapat dengan mudah diambil.
Sayangnya, karena berbagai faktor, banyak penderita tidak
mampu mentolerir penggunaan jangka panjang dari alat ini. Alat
ini berguna bagi penderita-penderita dengan gangguan sensasi
anal kanal, mereka yang memiliki penyakit neurologis, dan
mereka yang di menjalani perawatan atau mengalami imobilisasi.
Pada beberapa penderita dengan rembesan feces, insersi
sumbat anus yang terbuat dari wol kapas terbukti bermanfaat.
Stimulasi Listrik
13
pada 2 dari 10 penderita dan tidak ada perubahan pada tekanan
sfingter. Kedua studi tersebut tidak terkontrol dan metode yang
dilakukan pada terapi ini tidak jelas. Pada suatu meta analisis,
dilaporkan bahwa tidak terdapat cukup data untuk menarik
kesimpulan yang bermakna terkait efikasi terapi ini.
d. Tindakan Bedah
Pembedahan harus dipertimbangkan pada penderita-penderita
tertentu yang gagal ditangani dengan upaya-upaya konservatif atau
terapi biofeedback.
Pada sebagian besar penderita dengan inkontinensia fekal,
misalnya setelah trauma obstetrik, repair sfingter secara
overlapping seringkali sudah cukup memadai. Bagian tunggul otot
sfingter yang robek ditautkan. Repair sfingter secara overlapping
sebagaimana dijelaskan oleh Parks dilakukan dengan membuat
incisi melengkung di anterior anal kanal dengan mobilisasi sfingter
ani eksterna, membebaskannya dari jaringan parut, preservasi
jaringan parut untuk menautkan jahitan, dan overlapping repair
menggunakan dua baris jahitan. Jika defek sfingter ani interna
diidentifikasi, maka imbrikasi terpisah dari sfingter ani interna juga
dilakukan. Dilaporkan terjadi perbaikan gejala pada 70–80%
penderita, meskipun satu studi melaporkan tingkat perbaikan yang
lebih rendah. Pada penderita-penderita dengan inkontinensia akibat
sfingter ani yang lemah tetapi utuh, repair postanal telah dicoba.
Keberhasilan jangka panjang dari pendekatan ini memiliki rentang
antara 20% dan 58%.
14
BAB III
ASUHAN KEPERWATAN
III.1. Pengkajian
a. Data identitas pasien
Meliputi nama,tempat tanggal lahir, pendidikan, agama,status
perkawinan,TB/BB, penampilan, alamat.
b. Riwayat keluarga
Terdiri atas susunan anggota keluarga, genogram, tipe keluarga.
c. Riwayat pekerjaan
15
Meliputi pekerjaan saat ini, pekerjaan masa lalu, alat transportasi yang
digunakan,jarak dengan tempat tinggal, serta sumber pendapatan saat
ini.
d. Riwayat lingkungan hidup
Meliputi tipe rumah, jumlah tongkat di kamar, kondisi tempat tinggal,
jumlah orang yang tinggal dalam 1 rumah, tetangga terdekat dan
bagaimana pola interaksi dengan tetangga.
e. Riwayat rekreasi
Hobi/minat yang dimiliki, keanggotaan dan kegiatan liburan yang
biasa dilakukan, hal ini dikaji untuk mengetahui aktivitas yang dapat
dilakukan untuk menguragi kebosanan.
f. Sistem pendukung
Sistem pendukung yang dimiliki keluarga yang memiliki pengaruh
terhadap kesehatan seperti dokter, bidan, klinik, dan dukungan dari
keluarga untuk merawat anggota keluarga yang mengalami
inkontinensia alvi, termasuk kebutuhan personal hygiene.
g. Status kesehatan
Status kesehatan yang pernah diderita selama 5 tahun yang lalu,
keluhan utama yag dirasakan sekarang yaitu ketidakmampuan
menahan bab, dan diuraiaka secara PQRST, obat,obatan yang pernah
diminum,status imunisasi dan riwayat alergi.
h. Aktivitas hidup sehari hari
Dikaji melalui indeks katz,khususnya pengkajian eliminasi Termasuk
pola eliminasi,keadan feses : warna bau konsistensi ,bentuk.
1) Kegiatan yang mampu dilakukan
2) Kekuatan fisik (otot, sendi, pendengaran, penglihatan,)
3) Kebiasaan merawat diri sendiri
4) Kebiasaan makan,
5) minum, istirahat/tidur,BAB / BAK.
6) Kebiasaan gerak badan / olah raga.
7) Perubahan-perubahan fungsi tubuh yang sangat bermakna
dirasakan.
16
Pola komunikasi dan interaksi dengan orang lain,perlu dikaji
untuk mengetahui sebagai respon terhadap keterbatan fisik dan psikis
yang terjadi, meliputi persepsi diri,bagaimana penilaian dia terhadap
kondisinya yang mengalami inkontinensia, konsep diri ,apakah dia
merasa malu dengan kondisinya yang mengalami inkontinensia,dan
meknisme koping yang dilakukan.
i. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum, tingkat kesadaran, GCS, TTV, dan pemeriksaan
persistem
1) khususnya pemeriksaan gastrointestinal, termasuk bising
usus,peristaltik dan sistem integumen sekitar anus
2) Sistem integumen / kulit
3) Muskuluskletal
4) Respirasi
5) Kardiovaskuler
6) Perkemihan
7) Persyarafan
8) Fungsi sensorik (penglihatan, pendengaran, pengecapan dan
penciuman)
17
berbentuk. Hydration samping
Batasan karakteristik : pengobatan
Electrolyte and
Nyeri abdomen terhadap
Acid base Balance
sedikitnya tiga kali gastrointestinal
defekasi per hari Kriteria Hasil : - Ajarkan pasien
Kram untuk
Feses berbentuk,
Bising usus hiperaktif menggunakan obat
BAB sehari sekali
Ada dorongan antidiare
3hari.
Factor berhubungan : - Instruksikan
Menjaga daerah
Psikologis pasien/keluarga
sekitar rektal dari
untuk mencatat
- Ansietas iritasi
warna, jumlah,
- Tingkat stress Tidak mengalami
frekuensi, dan
tinggi diare
konsistensi dari
Situasional Menjelaskan
feses.
- Efek smaping obat penyebab diare dan
- Evaluasi intake
- Penyalahgunaan rasional tindakan
makanan yang
alcohol Mempertahankan
masuk
- Kontaminan turgor kulit.
- Identifikasi faktor
- Penyalahgunaan Mampu duduk turun
penyebab dan
laksatif dari kloset
diare.
- Radiasi, toksin Membersihkan diri
setelah eliminasi - Monitor tanda dan
- Melakukan
Mengenali dan gejala diare.
perjalanan mengetahui
kebutuhan bantuan - Observasi turgor
- Slang makan
untuk elimina kulit secara rutin.
Fisiologis
- Ukur
- Proses infeksi dan
diare/keluaran
parasit
BAB.
- Inflamasi dan iritasi
- Hubungi dokter
Ansietas berat
jika ada kenaikan
- Kelemahan
bising usus.
- Instruksikan pasien
18
untuk makan
rendah serat, tinggi
protein dan tinggi
kalori jika
memungkinkan.
- Instruksikan untuk
menghindari
laksative
- Ajarkan tehnik
menurunkan stress.
- Monitor persiapan
makanan yang
aman.
19
berhubungan pemeliharaan - Membantu pasien
Gangguan kognitif
ostomi untuk ke toilet/
Penurunan motivasi
Kendala lingkungan eiminasi commode/
Keletihan Perawatan diri bedpan/ fraktur
Hambatan mobilitas
Hambatan kemampuan ostomi: tindakan pan urinoir/ pada
20
tanpa alat bantu. mengelilingi
Mampu duduk dan kamar mandi,
turun dari kloset sesuai dan
Membersihkan diri dibutuhkan
setelah eliminasi - Menyediakan alat
Mengenali dan bantu (misalnya,
mengetahui kateter eksternal
kebutuhan bantuan tau urinal), sesuai
untuk eliminasi memantau
integritas kulit
pasien.
BAB IV
PENUTUP
IV.1. Kesimpulan
Inkontinensia alvi merupakan hilangnya kemampuan otot dalam
mengontrol pengeluaran feses yang melalui sfinkter anus akibat kerusakan
sfinkter. Berbagai penyebab inkontinensia feses kebanyakan dipicu karena
kerusakan sfinkter dan obat-obatan yang mengandung unsur besi.
Gejala yang dihasilkan umumnya berupa merembesnya feses cair
disertai dengan buang gas dari dubur. Pemeriksaan dapat dilihat pada
kelainan struktur dan kelainan saraf. Pengobatan tergantung penyebab
inkontinensia, dapat mencakup perubahan pola makan, obat-obatan &
21
latihan khusus yang membantu untuk lebih mengontrol perut atau
pembedahan.
IV.2. Saran
Agar supaya terhindar dari masalah defekasi seperti inkontinensia
feses, sebaiknya mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung serat
seperti buah-buahan dan sayuran. Selain itu tingkatkan pula pola hidup
sehat dan olahraga yang teratur serta hindari penggunaan obat – obat
pencahar.
LAMPIRAN
Pathway
Anorektum
Saraf sensorik,
motorik, otonom
parasimpatis, dan
inervansi sfingter ani eksterna, enterik.
mukosa ani, dan dinding anorektal
Cidera regangan
http://lizanurviana.blog.com/2011/05/20/askep-lansia-dengan-inkontinensia-alvi/
(diakses tanggal 8 april 2016)
23