Anda di halaman 1dari 14

Laporan Pendahuluan: Meningitis Cryptococcus pada Penderita AIDS

Iskandar Zulkarnaen Sababa

1706107333

Profesi Ners FIK UI 2019

A. Anatomi dan Fisiologi

Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. Otak
merupakan pusat regulasi sistem saraf dan seluruh sistem tubuh, sedangkan sumsum
tulang belakang merupakan pusat refleks dan jalan untuk mengantarkan impuls dari
dan ke otak. Otak dan medula spinalis dilindungi oleh selaput yang disebut meninges.
Lapisan terluar dari selaput tersebut dinamakan duramater, lapisan tengahnya yakni
arachnoid, dan lapisan terdalam yakni piamater. Rongga diantara duramater dan
arachnoid disebut rongga subdural, sedangkan rongga diantara arachnoid dan
piamater disebut rongga subarachnoid. Di subarachnoid, terdapat cairan serebrospinal
(Ignatavicius & Workman, 2013; Martini, Nath, & Bartholomew, 2012).
Ruang antara lapisan duramater dengan tengkorak disebut epidural yang
bagian bawahnya terhubung dengan medula spinalis dan menjadi ruang untuk
diberikan analgesik ataupun anestesi epidural. Selanjutnya, duramater juga terletak di
antara belahan otak dan otak kecil yang disebut tentorium dan dapat meminimalkan
atau mencegah penularan tekanan dari satu hemisfer ke hemisfer lainnya dan
melindungi batang otak bagian bawah terhadap trauma. Area di atas tentorium disebut
supratentorium, dan di bawah tentorium disebut infratentorium (Ignatavicius &
Workman, 2013).
Selanjutnya, bagian-bagian otak terdiri dari tiga bagian utama, yakni otak
depan, cerebellum, dan batang otak. Otak depan terdiri dari diensefalon, cerebrum,
dan korteks serebral. Diensefalon terdiri dari talamus, hipotalamus, dan epitalamus.
Talamus adalah stasiun relay utama untuk sistem saraf pusat. Hipotalamus berperan
dalam mengontrol sistem saraf otonom. Epitalamus berisi ujung dari ventrikel ketiga
dan kelenjar pineal (Ignatavicius & Workman, 2013).
Cerebrum merupakan bagian terbesar dari otak yang mengendalikan
kecerdasan, daya ingat, dan kreativitas. Cerebrum dibagi menjadi bagian kanan dan
kiri yang dihubungkan oleh korpus kallosum. Di cerebrum terdapat ventrikel lateral
kanan dan kiri. Di bagian dasar cerebrum tepatnya di dekat ventrikel terdapat ganglia
basal yang merupakan sekelompok neuron yang membantu mengatur mobilitas
(Ignatavicius & Workman, 2013).
Korteks serebral merupakan bagian dari cerebrum yang memproses dan
mengomunikasikan semua informasi dari sistem saraf perifer. Bagian ini terbagi
menjadi empat lobus yakni: 1) lobus frontalis yang memproses gerakan otot volunter
(korteks motorik), dan pikiran, ucapan (area broca), suasana hati, tujuan, perencanaan,
dan membuat penilaian; 2) lobus parietal yang terletak di belakang lobus frontal dan
berperan dalam memproses kesadaran spasial, menerima dan memproses informasi
terkait suhu, sentuhan, rasa, membaca, berhitung, dan gerakan dari seluruh tubuh; 3)
lobus temporal terletak di area yang sejajar dengan telinga dan berperan dalam
pendengaran, memori, dan bahasa (area wernicle); 4) lobus oksipital terletak di
posterior otak berperan dalam proses informasi visual (Ignatavicius & Workman,
2013).

Bagian terbesar kedua setelah cerebrum adalah cerebellum. Cerebellum atau


otak kecil berperan dalam koordinasi gerakan dan fungsi otot. Letak dari otak kecil
yakni di bawah lobus oksipital dan berdekatan dengan batang otak (Ignatavicius &
Workman, 2013). Otak kecil memiliki belahan yang ditutupi oleh materi abu-abu,
yang disebut dengan korteks cerebellar (Martini et al., 2012).
Batang otak merupakan bagian yang menghubungkan bagian otak lain dengan
sistem saraf pusat. Bagian ini merupakan bagian terpenting yang menunjang
kehidupan dan berperan dalam pergerakan (Ignatavicius & Workman, 2013). Batang
otak terdiri dari midbrain, pons, dan medula oblongata. Midbrain atau mesencephalon
berfungsi untuk memproses informasi visual dan auditori serta mengendalikan refleks
yang dipicu oleh rangsangan visual dan auditori. Selain itu juga berperan dalam
mempertahankan kesadaran. Pons menghubungkan cerebellum dan batang otak yang
berperan dalam mengontrol motorik somatik dan viseral. Medula oblongata berperan
dalam menyampaikan informasi sensorik ke thalamus dan bagian lain dari batang
otak, mengatur fungsi otonom termasuk denyut jantung, tekanan darah, dan
pencernaan (Martini et al., 2012).
Selain otak, sistem saraf pusat juga terdapat di sumsum tulang belakang.
Sumsum tulang belakang berperan dalam mengontrol gerakan tubuh, mengatur fungsi
organ, memproses informasi sensorik dari ekstremitas dan organ internal, serta
mentransmisikan informasi dari dan ke otak. Bagian ini terdiri dari materi abu-abu
yang berbentuk H dan dikelilingi oleh materi putih (Ignatavicius & Workman, 2013).
B. Definisi, Etiologi, dan Faktor Risiko
Meningitis merupakan inflamasi pada meninges yang melapisi otak dan
medula spinalis. Penyakit ini dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, ataupun
protozoa (Ignatavicius & Workman, 2013). Meningitis dapat diklasifikasikan pada
septik dan aseptik. Meningitis septik disebabkan karena bakteri, sedangkan meningitis
aseptik disebabkan oleh virus ataupun penyakit sekunder dari limfoma, leukimia,
ataupun infeksi HIV (Smeltzer, Hinkle, Bare, & Cheever, 2010). Selanjutnya, 10%
dari penderita AIDS mengalami cryptococcosis (terutama yang disebabkan oleh C.
Neoformans) yang manifestasi klinisnya yakni meningitis (Kumar, Abas, & Aster,
2015). Secara umum, faktor risiko terjadinya meningitis adalah merokok, infeksi virus
pada saluran napas atas, otitis media, mastoiditis, dan pasien dengan defisiensi
imunitas (Smeltzer et al., 2010). Pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Cryptococcus, faktor risikonya yakni pasien dengan HIV/AIDS, kanker, penyakit
vaskuler kolagen, sarcoidosis, imunosupresi, terapi steroid, alkoholisme, predisposisi
genetik, diabetes mellitus, kehamilan, sirosis, COPD, gagal ginjal, limfopenia, dan
antibodi monoklonal (Islam & Ashraf, 2018).

C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari meningitis yang khas adalah kaku kuduk, demam, dan
sakit kepala, namun gejala lainnya yakni kejang, kemerahan, disorientasi, dan
gangguan memori (Ignatavicius & Workman, 2013; Lewis, Dirksen, Heitkemper,
Bucher, & Harding, 2014). Selain itu, tanda adanya meningitis yakni adanya kaku
kuduk, kernig’s sign positif, brudzinski’s sign positif, nistagmus, dan fotophobia
(Smeltzer et al., 2010). Hampir semua pasien dengan meningitis cryptococcus
mengalami demam. Selain itu, tanda dan gejalanya yakni sakit kepala, mual, diare,
bingung, pikun, kejang, paralisis, penurunan berat badan, gatal-gatal, malnutrisi,
kemerahan, kandidiasis oral, anemia, herpes zoster, tanda-tanda meningeal, kaku
kuduk, kernig’s sign positif, fotophobia, dan papiloedema (Islam & Ashraf, 2018).

D. Patofisiologi
Mulanya, jamur masuk melalui inhalasi dan menetap di alveolus paru.
Selanjutnya, hal ini memicu respon imun tubuh dan sel natural killer serta antibodi
berusaha untuk memberantas jamur tersebut. Ketika imunitas lemah, maka jamur ini
masuk ke pembuluh darah hingga ke sistem saraf pusat melalui barrier darah-otak
(Islam & Ashraf, 2018). Selanjutnya, mikroorganisme tersebut mengitari seluruh
sistem saraf pusat melalui ruang subarachnoid dan menyebabkan respon inflamasi
pada lapisan piamater, arachnoid, cairan serebrospinal dan ventrikel. Ketika
mikroorganisme masuk ke cairan serebrospinal dan memperbanyak diri, maka sel
darah putih akan meningkat di cairan serebrospinal yang selanjutnya menarik cairan
lebih banyak dan meningkatkan kadar protein di cairan serebrospinal. Selanjutnya,
eksudat yang terbentuk dari hasil inflamasi menyebar ke saraf kranial dan spinal yang
menyebabkan kerusakan neurologis lebih lanjut dan menyebabkan edema serebral.
Peningkatan tekanan intrakranial terjadi karena adanya sumbatan aliran cairan
serebrospinal, perubahan aliran darah otak, atau pembentukan trombus (Ignatavicius
& Workman, 2013; Lewis et al., 2014).

E. Komplikasi
Komplikasi dari meningitis yakni peningkatan tekanan intrakranial, disfungsi
saraf kranial, hemiparesis, disfasia, hemianopsia, kejang, edema serebral, dan
hidrosefalus. Disfungsi pada saraf kranial II menyebabkan papiloedema dan kebutaan.
Jika yang terkena adalah saraf kranial III, IV, dan IV maka pergerakan bola mata akan
terganggu, mungkin terjadi ptosis, dan diplopia. Selanjutnya jika saraf kranial V yang
terkena maka kehilangan sensiru dan refleks kornea. Jika saraf kranial VII yang
terkena maka akan terjadi paresis fasial. Jika yang terkena adalah saraf kranial VIII
maka akan menimbulkan tinitus, vertigo, dan tuli mendadak (Lewis et al., 2014).

F. Pengkajian
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2014;
Ignatavicius & Workman, 2013)

Pengkajian Data
Aktivitas/istirahat  Kelelahan
Sirkulasi  Suhu dan warna ekstremitas
 Denyut nadi perifer
 Adanya perdarahan abnormal
 Takikardia
Makanan/Cairan  Mual, muntah, kehilangan
napsu makan
Neurosensori  Kaku kuduk, brudzinsky’s
sign, kernig’s sign
 Bingung, perubahan status
mental
 Kelemahan otot, tidak kuat
untuk berdiri, paralisis,
hemiparesis, hemiplegia
 Fotophobia
 nistagmus
 Kejang
Nyeri/Ketidaknyamanan  Sakit kepala
Keamanan  Demam
 Kemerahan
 Kejang
 Risiko jatuh
b. Pemeriksaan Penunjang (Doenges et al., 2014; Ignatavicius & Workman, 2013;
Lewis et al., 2014; Smeltzer et al., 2010)
- Lumbal pungsi untuk memeriksa kandungan cairan serebrospinal termasuk
protein, konsentrasi glukosa, dan kandungan mikroorganisme di dalamnya
- CT scan, MRI untuk memvisualisasi otak dan menilai adanya peningkatan
tekanan intrakranial, hidrosefalus, ataupun abses otak
- Couterimmunoelectrophoresis (CIE) untuk menentukan adanya virus atau
protozoa di cairan serebrospinal
- Hitung darah lengkap untuk mengetahui kadar sel darah putih
- Kultur darah untuk megetahui adanya infeksi yang melalui darah

G. Masalah Keperawatan dan Diagnosis Keperawatan yang Mungkin Muncul (Doenges


et al., 2014; Lewis et al., 2014; NANDA International, 2018)
- Penurunan kapasitas adaptif intrakranial berhubungan dengan penurunan
perfusi serebral dan peningkatan tekanan intrakranial
- Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema
serebral dan penurunan aliran darah serebral
- Nyeri akut berhubungan dengan cedera biologis
- Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan demam, iritasi meningeal
- Hipertermia berhubungan dengan infeksi
- Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respon imun yang
tertekan, terpapar patogen lain
- Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kontrol otot akibat
gangguan neurosensori

H. Prioritas Diagnosis Keperawatan (NANDA International, 2018)


a. Nyeri akut berhubungan dengan cedera biologis
b. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema
serebral dan penurunan aliran darah serebral
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kontrol otot akibat
gangguan neurosensori

I. Treatment/Pengobatan
a. Farmakologi (World Health Organization, 2018)
- Untuk rejimen induksi, diberikan amphotericin B deoxyxholate
(1,0mg/kg/hari) dan flucytosine (100 mg/kg/hari) selama satu minggu,
selanjutnya diberikan fluconazole 1200mg/hari selama 1 minggu berikutnya.
- Untuk induksi alternatif, 2 minggu diberikan fluconazole 1200mg per hari dan
flucytosine 100mg/kg/hari) atau 2 minggu amphotericin B deoxycholate (1,0
mg/kg/hari) dan fluconazole 1200mg
- Untuk konsolidasi, diberikan fluconazole 800mg per hari selama 8 minggu
setelah fase induksi
- Untuk maintenance, diberikan fluconazole 200mg per hari untuk profilaksis
sekunder
- Pemberian terapi kortikosteroid secara rutin selama fase induksi tidak
dianjurkan untuk penyakit ini
- Pemberian ARV segera tidak dianjurkan selama pemberian obat antijamur,
sehingga harus berjarak empat hingga 6 minggu dari inisiasi obat antijamur
- Untuk mengurangi demam dapat diberikan aspirin atau acetaminophen (Lewis
et al., 2014)

b. Nonfarmakologi (Lewis et al., 2014; White, Duncan, & Baumle, 2013)


- Meminimalkan terjadinya cedera, termasuk pencahayaan yang baik dan
komplikasi dari tirah baring
- Pemberian terapi cairan untuk meminimalkan terjadinya dehidrasi akibat
demam
- Pemberian nutrisi yang optimal untuk mempromosikan respon terhadap
infeksi
J. Rencana Asuhan Keperawatan (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013; Moorhead, Johnson, Maas, & Swanson, 2013;
NANDA International, 2018)

Diagnosis Keperawatan NOC NIC Rasional


Nyeri akut Level Nyeri (2102) Manajemen Nyeri (1400) - Sebagai data untuk
berhubungan dengan - Memverb - Kaji lokasi, karakteristik, menentukan intervensi
cedera biologis alisasi durasi, frekuensi, selanjutnya
nyeri kualitas, intensitas, dan - Pada budaya tertentu,
berkurang faktor presipitasi nyeri bisa saja tanda
- Tanda - Observasi tanda nonverbal nyeri baru
nonverbal nonverbal nyeri dan terlihat ketika nyeri
nyeri pengaruh pengetahuan sudah sedang, ataupun
berkurang dan budaya terhadap sebaliknya sudah
- Frekuensi nyeri yang dirasakan terlihat sejak nyeri
merintih - Diskusikan dampak nyeri ringan
berkurang terhadap kualitas hidup - Nyeri dapat
- Diskusikan faktor yang menyebabkan
Kontrol Nyeri (1605) dapat mengurangi ketidaknyamanan yang
- Dapat ataupun memperparah berdampak pada
menyadari nyeri kualitas hidup
onset - Minimalkan situasi yang - Sebagai antisipasi
nyeri dapat memicu nyeri terhadap nyeri
- Dapat - Libatkan keluarga dalam - Untuk meminimalkan
mengontr mengatasi nyeri timbulnya nyeri
ol nyeri - Ajarkan teknik - Memberikan dukungan
dengan nonfarmakologi nyeri moral dan
teknik seperti tarik napas dalam, meningkatkan pelibatan
nonfarma distraksi, pijat, dan keluarga dalam
kologi aromaterapi perawatan klien
- Dapat - Kolaborasikan - Dapat mengatasi nyeri
diberikan pemberian analgesik ringan-sedang
analgesik sesuai kebutuhan - Dapat mengatasi nyeri
sesuai sedang-berat
indikasi
Risiko ketidakefektifan Perfusi Jaringan: Monitoring Tekanan Intrakranial (2590) - Adanya peningkatan
perfusi jaringan Serebral (0406) - Monitor status tekanan intrakranial
serebral berhubungan - Tekanan neurologis dapat memengaruhi
dengan edema serebral intrakrani - Monitor temperatur dan status neurologis
dan penurunan aliran al jumlah leukosit - Tingginya jumlah
darah serebral mendekati - Cek kaku kuduk leukosit
atau - Posisikan kepala dan mengindikasikan
normal leher pada posisi yang adanya inflamasi di
- Tekanan netral, hindari fleksi otak yang dapat
darah, panggul meningkatkan tekanan
frekuensi intrakranial
nadi dan Manajemen Edema Serebral (2540) - Untuk mengetahui
napas - Monitor tanda-tanda vital adanya meningitis
normal - Monitor status mental - Meminimalkan tekanan
- MAP - Monitor status respirasi intraabdomen yang
normal - Elevasikan kepala 30 dapat memicu
- Sakit derajat peningkatan tekanan
kepala - Monitor intake dan intrakranial
berkurang output cairan serta
lakukan restriksi cairan - Sebagai data untuk
- Hindari valsava manuver menentukan intervensi
- Kolaborasikan selanjutnya
pemberian pelunak feses - Peningkatan tekanan
- Kolaborasikan intrakranial dapat
pemberian diuretik memengaruhi status
mental
- Untuk mengetahui
adanya peningkatan
usaha bernapas akibat
penurunan perfusi
jaringan otak
- Memaksimalkan aliran
balik vena
- Membatasi intake
cairan dapat mengatasi
kelebihan volume
cairan
- Mencegah peningkatan
tekanan intrakranial
- Mencegah peningkatan
tekanan intrakranial
- Mengeluarkan
kelebihan cairan di otak
Gangguan mobilitas Mobilitas (0208) Perawatan Tirah Baring (0740) - Untuk menentukan
fisik berhubungan - Pergeraka - Tentukan alasan tirah intervensi selanjutnya
dengan penurunan n otot baring - Bantuan yang diberikan
kontrol otot akibat dapat - Bantu klien untuk disesuaikan dengan
gangguan neurosensori mendekati beraktivitas kemampuan klien
normal - Monitor komplikasi tirah - Selama tirah baring,
- Dapat baring terdapat berbagai
memposis - Libatkan keluarga untuk komplikasi seperti
ikan tubuh membantu klien konstipasi dan ulkus
sendiri beraktivitas tekan yang harus
- Dapat dicegah
berpindah Terapi Latihan: Kontrol Otot (0226) - Memberikan dorongan
dengan - Lakukan latihan rentang moral dan pelibatan
mudah gerak sendi sesuai keluarga dalam
Status Neurologis: kemampuan klien perawatan klien
Kontrol Motorik Pusat - Bantu klien untuk
(0911): meningkatkan - Mencegah kekakuan,
- Gerakan keseimbangan untuk atrofi otot dan
bermakna duduk secara mandiri deformitas
dapat - Dorong klien untuk - Melatih klien untuk
dilakukan latihan bergerak dengan beraktivitas kembali
sesuai memaksimalkan secara bertahap
perintah ekstremitas dan bagian - Melatih klien untuk
tubuh yang masih beraktivitas dengan
berfungsi dengan baik kondisi yang ada saat
- Libatkan keluarga dalam ini
mendorong klien untuk - Memberi dukungan
latihan moral dan semangat
kepada klien
Referensi:

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. (2013). Nursing
Interventions Classifications (NIC). Missouri: Elsevier Mosby.
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C. (2014). Nursing Care Plans: Guidelines
for Individualizing Clients Care Across the Life Span (9th edition). Philadelphia: F. A.
Davis.
Ignatavicius, D. D., & Workman, M. L. (2013). Medical Surgical Nursing: Patient-Centered
Collaborative Care (7th edition). Missouri: Elsevier Saunders.
Islam, A., & Ashraf, I. (2018). Cryptococcal meningitis: A deadly fungal disease of peoples
living with HIV/AIDS: Improving access to essential antifungal medicines: A review
study. Journal of Prevention and Infection Control, 4(1), 1–9.
https://doi.org/10.21767/2471-9668.100037
Kumar, V., Abas, A. K., & Aster, J. C. (2015). Robbins and Cotran Pathologic Basis of
Disease (9th edition). Philadelphia: Elsevier Saunders.
Lewis, S. L., Dirksen, S. R., Heitkemper, M. M., Bucher, L., & Harding, M. M. (2014).
Medical-Surgical Nursing: Assessment and Management of Clinical Problems (9th
edition). Missouri: Elsevier Mosby. Retrieved from
https://evolve.elsevier.com/cs/product/9780323086783
Martini, F. H., Nath, J. L., & Bartholomew, E. F. (2012). Fundamentals of Anatomy &
Physiology (9th edition). California: Pearson Education.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classifications (NOC) (5th edition). Missouri: Elsevier Mosby.
NANDA International. (2018). Nursing diagnoses: definitions and classification 2018-2020.
(T. H. Herdman & S. Kamitsuru, Eds.) (11th edition). New York: Thieme Publisher.
Smeltzer, S. C., Hinkle, J. L., Bare, B. G., & Cheever, K. H. (2010). Brunner & Suddarth’s
Textbook of Medical-Surgical Nursing (12th edition Volume 1). Hong Kong: Lippincott
Williams & Wilkins.
White, L., Duncan, G., & Baumle, W. (2013). Medical-Surgical Nursing: An Integrated
Approach (3rd edition). New York: Cengage Learning.
World Health Organization. (2018). The Diagnosis, Prevention and Management of
Cryptococcal Disease in HIV-Infected Adults, Adolescents and Children. Geneva: World
Health Organization.

Anda mungkin juga menyukai