Laporan Pendahuluan Meningitis
Laporan Pendahuluan Meningitis
1706107333
Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. Otak
merupakan pusat regulasi sistem saraf dan seluruh sistem tubuh, sedangkan sumsum
tulang belakang merupakan pusat refleks dan jalan untuk mengantarkan impuls dari
dan ke otak. Otak dan medula spinalis dilindungi oleh selaput yang disebut meninges.
Lapisan terluar dari selaput tersebut dinamakan duramater, lapisan tengahnya yakni
arachnoid, dan lapisan terdalam yakni piamater. Rongga diantara duramater dan
arachnoid disebut rongga subdural, sedangkan rongga diantara arachnoid dan
piamater disebut rongga subarachnoid. Di subarachnoid, terdapat cairan serebrospinal
(Ignatavicius & Workman, 2013; Martini, Nath, & Bartholomew, 2012).
Ruang antara lapisan duramater dengan tengkorak disebut epidural yang
bagian bawahnya terhubung dengan medula spinalis dan menjadi ruang untuk
diberikan analgesik ataupun anestesi epidural. Selanjutnya, duramater juga terletak di
antara belahan otak dan otak kecil yang disebut tentorium dan dapat meminimalkan
atau mencegah penularan tekanan dari satu hemisfer ke hemisfer lainnya dan
melindungi batang otak bagian bawah terhadap trauma. Area di atas tentorium disebut
supratentorium, dan di bawah tentorium disebut infratentorium (Ignatavicius &
Workman, 2013).
Selanjutnya, bagian-bagian otak terdiri dari tiga bagian utama, yakni otak
depan, cerebellum, dan batang otak. Otak depan terdiri dari diensefalon, cerebrum,
dan korteks serebral. Diensefalon terdiri dari talamus, hipotalamus, dan epitalamus.
Talamus adalah stasiun relay utama untuk sistem saraf pusat. Hipotalamus berperan
dalam mengontrol sistem saraf otonom. Epitalamus berisi ujung dari ventrikel ketiga
dan kelenjar pineal (Ignatavicius & Workman, 2013).
Cerebrum merupakan bagian terbesar dari otak yang mengendalikan
kecerdasan, daya ingat, dan kreativitas. Cerebrum dibagi menjadi bagian kanan dan
kiri yang dihubungkan oleh korpus kallosum. Di cerebrum terdapat ventrikel lateral
kanan dan kiri. Di bagian dasar cerebrum tepatnya di dekat ventrikel terdapat ganglia
basal yang merupakan sekelompok neuron yang membantu mengatur mobilitas
(Ignatavicius & Workman, 2013).
Korteks serebral merupakan bagian dari cerebrum yang memproses dan
mengomunikasikan semua informasi dari sistem saraf perifer. Bagian ini terbagi
menjadi empat lobus yakni: 1) lobus frontalis yang memproses gerakan otot volunter
(korteks motorik), dan pikiran, ucapan (area broca), suasana hati, tujuan, perencanaan,
dan membuat penilaian; 2) lobus parietal yang terletak di belakang lobus frontal dan
berperan dalam memproses kesadaran spasial, menerima dan memproses informasi
terkait suhu, sentuhan, rasa, membaca, berhitung, dan gerakan dari seluruh tubuh; 3)
lobus temporal terletak di area yang sejajar dengan telinga dan berperan dalam
pendengaran, memori, dan bahasa (area wernicle); 4) lobus oksipital terletak di
posterior otak berperan dalam proses informasi visual (Ignatavicius & Workman,
2013).
C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari meningitis yang khas adalah kaku kuduk, demam, dan
sakit kepala, namun gejala lainnya yakni kejang, kemerahan, disorientasi, dan
gangguan memori (Ignatavicius & Workman, 2013; Lewis, Dirksen, Heitkemper,
Bucher, & Harding, 2014). Selain itu, tanda adanya meningitis yakni adanya kaku
kuduk, kernig’s sign positif, brudzinski’s sign positif, nistagmus, dan fotophobia
(Smeltzer et al., 2010). Hampir semua pasien dengan meningitis cryptococcus
mengalami demam. Selain itu, tanda dan gejalanya yakni sakit kepala, mual, diare,
bingung, pikun, kejang, paralisis, penurunan berat badan, gatal-gatal, malnutrisi,
kemerahan, kandidiasis oral, anemia, herpes zoster, tanda-tanda meningeal, kaku
kuduk, kernig’s sign positif, fotophobia, dan papiloedema (Islam & Ashraf, 2018).
D. Patofisiologi
Mulanya, jamur masuk melalui inhalasi dan menetap di alveolus paru.
Selanjutnya, hal ini memicu respon imun tubuh dan sel natural killer serta antibodi
berusaha untuk memberantas jamur tersebut. Ketika imunitas lemah, maka jamur ini
masuk ke pembuluh darah hingga ke sistem saraf pusat melalui barrier darah-otak
(Islam & Ashraf, 2018). Selanjutnya, mikroorganisme tersebut mengitari seluruh
sistem saraf pusat melalui ruang subarachnoid dan menyebabkan respon inflamasi
pada lapisan piamater, arachnoid, cairan serebrospinal dan ventrikel. Ketika
mikroorganisme masuk ke cairan serebrospinal dan memperbanyak diri, maka sel
darah putih akan meningkat di cairan serebrospinal yang selanjutnya menarik cairan
lebih banyak dan meningkatkan kadar protein di cairan serebrospinal. Selanjutnya,
eksudat yang terbentuk dari hasil inflamasi menyebar ke saraf kranial dan spinal yang
menyebabkan kerusakan neurologis lebih lanjut dan menyebabkan edema serebral.
Peningkatan tekanan intrakranial terjadi karena adanya sumbatan aliran cairan
serebrospinal, perubahan aliran darah otak, atau pembentukan trombus (Ignatavicius
& Workman, 2013; Lewis et al., 2014).
E. Komplikasi
Komplikasi dari meningitis yakni peningkatan tekanan intrakranial, disfungsi
saraf kranial, hemiparesis, disfasia, hemianopsia, kejang, edema serebral, dan
hidrosefalus. Disfungsi pada saraf kranial II menyebabkan papiloedema dan kebutaan.
Jika yang terkena adalah saraf kranial III, IV, dan IV maka pergerakan bola mata akan
terganggu, mungkin terjadi ptosis, dan diplopia. Selanjutnya jika saraf kranial V yang
terkena maka kehilangan sensiru dan refleks kornea. Jika saraf kranial VII yang
terkena maka akan terjadi paresis fasial. Jika yang terkena adalah saraf kranial VIII
maka akan menimbulkan tinitus, vertigo, dan tuli mendadak (Lewis et al., 2014).
F. Pengkajian
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2014;
Ignatavicius & Workman, 2013)
Pengkajian Data
Aktivitas/istirahat Kelelahan
Sirkulasi Suhu dan warna ekstremitas
Denyut nadi perifer
Adanya perdarahan abnormal
Takikardia
Makanan/Cairan Mual, muntah, kehilangan
napsu makan
Neurosensori Kaku kuduk, brudzinsky’s
sign, kernig’s sign
Bingung, perubahan status
mental
Kelemahan otot, tidak kuat
untuk berdiri, paralisis,
hemiparesis, hemiplegia
Fotophobia
nistagmus
Kejang
Nyeri/Ketidaknyamanan Sakit kepala
Keamanan Demam
Kemerahan
Kejang
Risiko jatuh
b. Pemeriksaan Penunjang (Doenges et al., 2014; Ignatavicius & Workman, 2013;
Lewis et al., 2014; Smeltzer et al., 2010)
- Lumbal pungsi untuk memeriksa kandungan cairan serebrospinal termasuk
protein, konsentrasi glukosa, dan kandungan mikroorganisme di dalamnya
- CT scan, MRI untuk memvisualisasi otak dan menilai adanya peningkatan
tekanan intrakranial, hidrosefalus, ataupun abses otak
- Couterimmunoelectrophoresis (CIE) untuk menentukan adanya virus atau
protozoa di cairan serebrospinal
- Hitung darah lengkap untuk mengetahui kadar sel darah putih
- Kultur darah untuk megetahui adanya infeksi yang melalui darah
I. Treatment/Pengobatan
a. Farmakologi (World Health Organization, 2018)
- Untuk rejimen induksi, diberikan amphotericin B deoxyxholate
(1,0mg/kg/hari) dan flucytosine (100 mg/kg/hari) selama satu minggu,
selanjutnya diberikan fluconazole 1200mg/hari selama 1 minggu berikutnya.
- Untuk induksi alternatif, 2 minggu diberikan fluconazole 1200mg per hari dan
flucytosine 100mg/kg/hari) atau 2 minggu amphotericin B deoxycholate (1,0
mg/kg/hari) dan fluconazole 1200mg
- Untuk konsolidasi, diberikan fluconazole 800mg per hari selama 8 minggu
setelah fase induksi
- Untuk maintenance, diberikan fluconazole 200mg per hari untuk profilaksis
sekunder
- Pemberian terapi kortikosteroid secara rutin selama fase induksi tidak
dianjurkan untuk penyakit ini
- Pemberian ARV segera tidak dianjurkan selama pemberian obat antijamur,
sehingga harus berjarak empat hingga 6 minggu dari inisiasi obat antijamur
- Untuk mengurangi demam dapat diberikan aspirin atau acetaminophen (Lewis
et al., 2014)
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. (2013). Nursing
Interventions Classifications (NIC). Missouri: Elsevier Mosby.
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C. (2014). Nursing Care Plans: Guidelines
for Individualizing Clients Care Across the Life Span (9th edition). Philadelphia: F. A.
Davis.
Ignatavicius, D. D., & Workman, M. L. (2013). Medical Surgical Nursing: Patient-Centered
Collaborative Care (7th edition). Missouri: Elsevier Saunders.
Islam, A., & Ashraf, I. (2018). Cryptococcal meningitis: A deadly fungal disease of peoples
living with HIV/AIDS: Improving access to essential antifungal medicines: A review
study. Journal of Prevention and Infection Control, 4(1), 1–9.
https://doi.org/10.21767/2471-9668.100037
Kumar, V., Abas, A. K., & Aster, J. C. (2015). Robbins and Cotran Pathologic Basis of
Disease (9th edition). Philadelphia: Elsevier Saunders.
Lewis, S. L., Dirksen, S. R., Heitkemper, M. M., Bucher, L., & Harding, M. M. (2014).
Medical-Surgical Nursing: Assessment and Management of Clinical Problems (9th
edition). Missouri: Elsevier Mosby. Retrieved from
https://evolve.elsevier.com/cs/product/9780323086783
Martini, F. H., Nath, J. L., & Bartholomew, E. F. (2012). Fundamentals of Anatomy &
Physiology (9th edition). California: Pearson Education.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classifications (NOC) (5th edition). Missouri: Elsevier Mosby.
NANDA International. (2018). Nursing diagnoses: definitions and classification 2018-2020.
(T. H. Herdman & S. Kamitsuru, Eds.) (11th edition). New York: Thieme Publisher.
Smeltzer, S. C., Hinkle, J. L., Bare, B. G., & Cheever, K. H. (2010). Brunner & Suddarth’s
Textbook of Medical-Surgical Nursing (12th edition Volume 1). Hong Kong: Lippincott
Williams & Wilkins.
White, L., Duncan, G., & Baumle, W. (2013). Medical-Surgical Nursing: An Integrated
Approach (3rd edition). New York: Cengage Learning.
World Health Organization. (2018). The Diagnosis, Prevention and Management of
Cryptococcal Disease in HIV-Infected Adults, Adolescents and Children. Geneva: World
Health Organization.