Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN


SISTEM MUSKULOSKLETAL PADA KASUS BPH

KMB II

DOSEN PENGAMPU: ISTIANAH, S.KEP., Ns., M.KEP


DISUSUN OLEH KELOMPOK 4

ANNISA MUZRIAH 002STYC18

DITA ARDIANA 010STYC18

DWI DARMAYANTI 012STYC18

FENI FERNIANSYAH 017STYC18

HAIRUL AZMI 022STYC18

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN JENJANG S1
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya.
Salawat serta salam tak lupa pula kita haturkan kepada junjungan alam nabi
besar muhammad SAW, seorang nabi yang telah membawa kita dari jaman
kegelapan menuju jaman yang terang benerang seperti yang kita rasakan seperti
saat sekarang ini.
Ucapan terimakasih juga kami haturkan kepada Ibu dosen yang telah ikut serta
dalam memberikan tugas makalah “ASUHAN KEPERAWATAN PADA
PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKLETAL PADA
KASUS BPH”. Makalah ini kami susun berdasarkan beberapa sumber buku dan
jurnal yang telah kami peroleh. Kami berusaha menyajikan makalah ini dengan
bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti.

Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada rekan-rekan yang telah


memberikan sumbang dan sarannya untuk menyelesaikan makalah ini. Kami
menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kesalahan dan
kekurangan, hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan pengetahuan dan
pengalaman yang kami miliki. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi kita semua. Aamiin.

Mataram, 3 Maret 2020

Kelompok 4
Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Masalah

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................

2.1 Konsep Dasar Penyakit BPH

2.1.1 Definisi BPH

2.1.2 Etiologi BPH

2.1.3 Manifestasi Klinis BPH

2.1.4 Patofisiologi BPH

2.1.5 Pathway BPH

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang BPH

2.1.7 Penatalaksanaan BPH

2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

2.2.1 Pengkajian

2.2.2 Diagnosa Keperawatan

2.2.3 Intervensi Keperawatan

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jumlah penduduk Indonesia terutama jumlah lansia semakin lama
semakin meningkat, berdasarkan data yang diperoleh dari departemen
kesehatan tahun 2010 Jumlah populasi pria diatas usia 65 di Indonesia
pada tahun 2010 di menempati urutan ke-4 dengan 6,1% dari jumlah umur
lebih dari 65 tahun di negara-negara asia tenggara. Tentunya hal tersebut
akan menimbulkan persoalan-persoalan baru, tidak saja di bidang sosial-
ekonomi, tetapi juga di bidang kesehatan. Salah satu masalah kesehatan
yang sering dijumpai pada pria diatas 60 tahun adalah Benigna Prostatic
Hyperplasia atau BPH, keadaan ini di alami oleh 50% pria yang berusia
60 tahun, dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun (Nursalam dan
Fransisca, 2009).
Benign Prostatic Hyperplasia atau BPH adalah masalah umum
pada sistem genitourinari pada pria dewasa yang ditunjukan dengan
adanya peningkatan jumlah sel-sel epitel dan jaringan stroma di dalam
kelenjar prostat. Menurut kejadiannya pembesaran prostat disebabkan oleh
dua faktor penting yaitu ketidakseimbangan hormon estrogen dan
androgen, serta faktor umur atau proses penuaan sehingga obstruksi
saluran kemih dapat terjadi. Adanya obstruksi ini akan menyebabkan,
respon nyeri pada saat buang air kecil dan dapat menyebabkan komplikasi
yang lebih parah seperti gagal ginjal akibat terjadi aliran balik ke ginjal
selain itu dapat juga menyebabkan peritonitis atau radang perut akibat
terjadinya infeksi pada kandung kemih (Andre, Terrence & Eugene, 2011).
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa pengertian BPH ?
1.2.2 Apa etiologi BPH ?
1.2.3 Apa saja Manifestasi Klinis BPH ?
1.2.4 Bagaimana Patofisiologi BPH ?
1.2.5 Bagaimana Pathway BPH ?
1.2.6 Apa saja pemeriksaan penunjang BPH ?
1.2.7 Bagaimana penatalaksanaan BPH ?
1.2.8 Bagaimana Asuhan Keperawatan BPH ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk memenuhi tugas mata kuliah KMB II.
1.3.2 Untuk mengetahui pengertian BPH.
1.3.3 Untuk mengetahui apa etiologi BPH.
1.3.4 Untuk mengetahui apa saja Manifestasi Klinis BPH.
1.3.5 Untuk mengetahui bagaimana Patofisiologi BPH.
1.3.6 Untuk mengetahui bagaimana Pathway BPH.
1.3.7 Untuk mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang BPH.
1.3.8 Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan BPH.
1.3.9 Untuk mengetahui bagaimana Asuhan Keperawatan BPH.
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1 Konsep Dasar Penyakit BPH
2.1.1 Definisi BPH
Benigna prostat hyperplasia (BPH) adalah masalah umum
pada sistem genitourinari pada pria dewasa yang ditunjukan
dengan adanya penigkatan jumlah sel-sel epitel dan jaringan
stroma di dalam kelenjar prostat (Andre, Terrence & Eugene,
2011).
Benigna prostat hyperplasia (BPH) adalah suatu penyakit
perbesaran atau hipertrofi dari dari prostat. Kata kata hipertrofi
sering kali menimbulkan kontroversi dikalangan klinik karena
sering terancu dengan hyperplasia. Hipertrofi bermakna bahwa dari
segi kualitas terjadi pembesaran sel, namun tidak diikuti oleh
jumlah (kualitas). Namun, hiperplsia merupakan pembesaran
ukuran sel (kualitas) dan diikuti oleh penambahan jumlah sel
(kuantitas). BPH sering kali menyebabkan gangguan dalam
eliminasi urine karena pembesaran prostat yang cenderung kearah
depan/menekan vesika urinaria.
Hiperplasia noduler ditemukan pada sekitar 20 % laki-laki
dengan usia 40 tahun, meningkat 70% pada usia 60 tahun dan
menjadi 90 % pada usia 70 tahun. Pembesaran ini bukan
merupakan kanker prostat, karena konsep BPH dan karsinoma
prostat berbeda. Secara anatomis, sebenarnya kelenjar prostat
merupakan kelenjar ejakulat yang membantu menyemprotkan
sperma dari saluran (ductus). Pada waktu melakukan ejakulasi,
secara fisiologis prostat membesar untuk mencegah urine dari
vesika urinaria melewati uretra. Namun, pembesaran prostat yang
terus menerus akan berdampak pada obstruksi saluran kencing
(meatus urinarius internus). (Eko Prabowo, Andi Eka Pranata,
2014:130)
2.1.2 Etiologi BPH
Penyebab pastinya belum diketahui secara pasti dari
hyperplasia prostat, namun faktor usia dan hormonal menjadi
predisposisi terjadinya BPH. Beberapa hipotesis menyebutkan
bahwa hyperplasia prostat sangan erat kaitannya dengan (Purnomo,
2007). (Eko Prabowo, Andi Eka Pranata, 2014:131)
1. Peningkatan DHT (Dehidrotestosteron)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseftor androgen akan
menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat
mengalami hyperplasia.
2. Ketidak seimbangan estrogen-testosteron
Ketidak seimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. Pada
proses penuaan, pada pria terjadi peningkatan hormone
estrogen dan penurunan hormone testosteron. Hal ini yang
memicu terjadinya hyperplasia stroma pada prostat.
3. Interaksi antar sel stroma dan sel epitel prostat
Peningkatan kadar epidermal growth faktor atau fibroblast
growth faktor dan penurunan transforming growth factor beta
menyebabkan hyperplasia stroma dan epitel, sehingga akan
terjadi BPH.
4. Berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Estrogen yang meningkat akan menyebabkan peningkatan lama
hidup storma dan epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori stem sel
Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel
transit dan memicu terjadi benigna prostat hyperplasia.
2.1.3 Manifestasi Klinis BPH
BPH merupakan yang di derita oleh klien laki-laki dengan
usia rata-rata lebih dari 50 tahun. Gambaran klinis dari BPH
sebenarnya sekunder dari dampak obstruksi saluran kencing,
sehingga klien kesulitan untuk miksi. Berikut ini adalah beberapa
gambaran klinis pada klien BPH (Schwartz, 2000: grace, 2006).
(Eko Prabowo, Andi Eka Pranata, 2014:131)
1. Gejala prostastismus (nokturia, urgency, penurunan daya aliran
urine).
Kondisi ini di kerenakan oleh kemampuan fesika urinaria yang
gagal mengeluarkan urine secara spontan dan regular, sehingga
volume urine masih sebagian besar tertinggal dalam vesika.
2. Retensi urine.
Pada awal obstruksi, biasanya pancaran urine lemah, terjadi
hesistansi, intermitensi, urine menetes, dorongan mengenjan
yang kuat saat miksi, dan retensi urine. Retensi urine sering di
alami oleh klien yang mengalami BPH kronis. secara fisiologis,
resika urinaria memiliki kemamuan untuk mengeluarkan urine
melalui kontraksi otot detrusor. Namun, obstruksi yang
berkepanjangan akan membuat bebean kerja M.detrusor
semakin berat dan pada akhirnya mengalami dekompensasi.
3. Pembesaran prostat.
Hal ini diketahui melalui pemeriksaan rektal taucher (RT)
anterior. Biasanya didapatan gambaran pembesaran prostat
dengan konsistensi jinak.
4. Inkontinesia.
Inkontinasia yang terjadi menunjukan bahwa m.detrusor gagal
dalam melakukan kontraksi. Dekompensasi yang berlangsung
lama akan menyiritabilitas serabut saraf urinarius, sehingga
kontrol untuk miksi hilang.
2.1.4 Patofisiologi BPH
Prostat sebagai kelenjar ejakulat memiliki hubungan
fisiologis yang sangat erat dengan di hidrotestosteron (DHT).
Hormone ini merupakan hormone yang mengacu pertumbuhan
prostat sebagai kelenjar ejakula yang nantinya akan
mengoptimalkan fungsinya. Hormone ini disintesis dalam kelenjar
prostat dari hormone testosterone dalam darah. Proses sitensis ini
dibantu oleh enzim 5-reduktase tipe 2. Selain DHT yang sebagai
precursor, estrogen juga memiliki pengaruh terhadap pembesaran
kelenjar prostat. . Seiring dengan pertambahan usia,maka prostat
akan lebih sensitif dengan stimulasi androgen sedangkan estrogen
mampu memberikan proteksi terhadap BPH. Dengan pembesaran
yang sudah melebihi normal maka akan terjadi di desa kan pada
traktus urinarius pada tahap awal, obstruksi traktus urinariusjarang
menimbulkan keluhan, karena dengan dorongan mengejan dan
kontraksi yang kuat dari m. D mampu mengeluarkan urine secara
spontan. Namun, obstruksiyang sudah kronis membuat
dekompensasi dari m. Detrusor untuk berkontraksi yang akhirnya
menimbulkan obstruksi saluran kemih (Mitchell, 2009).
Keluhan yang biasanya muncul dari obstruksi ini adalah
dorongan mengejan saat miksi yang kuat pancaran lemah/menetes,
di Surya hipertrofi prostat,distensi vesika. N hipertrofi
fibromuskuler yang terjadi pada klien BPH menimbulkan
penekanan pada prostat dan jaringan sekitar sehingga
menimbulkan iritasi pada mukosa uretra. Iritabilitas inilah nantinya
akan menyebabkan keluar frekuensi, urgensi, inkontinensia
urgensi, dan nuktoria.obstruksi yang berkelanjutan akan
menimbulkan komplikasi yang lebih besar, misalnya
hidronefrosis,gagal ginjal,dan lain sebagainya. Oleh karena itu,
kateterisasi untuk tahap awal sangat efektif untuk mengurangi
distensi vesika urinaria (Mitchell, 2009; Heffner, 2002).
Pembesaran pada BPH (Hiperplasia prostat) terjadi secara
bertahap mulai dari zona periuretral dan transisional. Hiperplasiaini
terjadi secara modular dan seri diiringi oleh proliferasi
fibromuskular untuk lepas dari jaringan epitel titik oleh karena itu,
hiperplasia zona transisional ditandai oleh banyaknya jaringan
kelenjar yang tumbuh pada pucuk dan cabang daripada
duktus.sebenarnya proliferasi zona transisional dan zona sentral
pada prostat berasal dari turunan wolffii dan proliferasi zona
perifer berasal dari sinus urogenitalis. Sehingga, berdasarkan latar
belakang embriologis inilah bisa diketahui mengapa BPH terjadi
pada zona transisional dan sentral, sedangkan Ca prostat terjadi
pada zona perifer (Heffner, 2002).
2.1.5 Pathway BPH
Degeneratif

Peingkatan
Epidermal growth
Dehidrotestosteron factor
Estrogen meningkat Testosteron
meningkat
turun
Penurunan
Transforming Growth
Peningkatan sel stem Hiperproksia epitel & Factor beta
stroma prostat

Proliferasi sel
BPH

Obstruksi sal. Kronis Secondary


Kencing bawah
effect

Residual urine
tinggi Iritabilitas N. Urinarius Fungsi seksual turun

Tekanan intraveska Kehilangan kontrol miksi Disfungsional


meningkat

Refleks berkemih meningkat Inkontenensia


Urinarius Fungsional
Urgensi Sensitifitas
meningkat
Hambatan
Retensi urine
Nyeri Akut
Dekonmpensasi vesika
urinaria

Aliran fistula urine

Kerusakan Integritas
Kulit
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang BPH
Pemeriksaan klinis dilakukan untuk mengetahui apakah
pembesaran prostat ini bersifat benigna atau maligna dan untuk
memastikan tidak adanya penyakit lainnya. Berikut pemeriksaanya
(Grace,2006). (Eko Prabowo, Andi Eka Pranata, 2014:134)
1. Urinalisis dan Kultur Urine
Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan
RBC (Red BloodCell) dalam urine yang memanifestasikan
adanya perdarahan/hematuria.
2. DPL (deepperitoneallavage)
Pemeriksaan pendukun ini untuk melihat ada tidaknya
perdarahan internal dalam abdomen titik sampel yang diambil
adalah cairan abdomen dan diperiksa jumlah sel darah
merahnya.
3. Ureum, Elektrolik dan Serum Kreatinin
Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi ginjal. Hal ini
sebagai data pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi
dari BPH, karena obstruksi yang berlangsung kronis seringkali
menimbulkan hidronefrosis yang lambat laun akan
memperberat fungsi ginjal dan pada akhirnya menjadi gagal
ginjal.
4. PA (Patologi Anatomi)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca
operasi. Sampel jaringan akan dilakukan pemeriksaan
mikroskopis untuk mengetahui apakah hanya bersifat benigna
atau maligna sehingga akan menjadi landasan untuk treatment
selanjutnya.
5. Catatan harian berkemih
Setiap hari perlu dilakukan evaluasi output urine sehingga akan
terlihat bagaimana siklus rutinitas miksi dari pasien. Data ini
menjadi bekal untuk membandingkan dengan pola eliminasi
urine yang normal.
6. Uroflowmetri
Dengan menggunakan alat pengukur, maka akan terukur
pancaran. Pada obstruksi dini seringkali pancaran melemah
bahkan meningkat hal ini disebabkan obstruksi dari kelenjar
prostat pada traktus urinarius selain itu volume residu juga
harus diukur titik normalnya residual urine < 100 ml. namun,
residual yang tinggi membuktikan bahwa vesikaurinaria tidak
mampu mengeluarkan urine secara baik karena adanya
obstruksi.
7. USG Ginjal dan VesikaUrinaria
USG ginjal bertujuan untuk melihat adanya komplikasi
penyerta dari BPH, misalnya hidronephrosis. Sedangkan USG
pada vesika urinaria akan memperlihatkan gambaran
pembesaran kelenjar prostat.
2.1.7 Penatalaksanaan BPH
Penyakit bph merupakan penyakit bedah, sehingga tetap
bersifat simptomatis untuk mengurangi tanda gejala yang
diakibatkan oleh obstruksi pada saluran kemih. Terapi simptomatis
ditujukan untuk merelaksasi otot polos prostat atau dengan
menurunkan kadar hormon yang mempengaruhi pembesaran
prostat, sehingga obstruksi akan berkurang. Jika keluhan masih
bersifat ringan, maka observasi diperlukan dengan pengobatan
simtomatis untuk mengevaluasi perkembangan klien.namun, jika
telah terjadi obstruksi/retensi urine infeksi vesikolitiasis, infus
pasien ginjal, maka harus dilakukan pembedahan. (Eko Prabowo,
Andi Eka Pranata, 2014:136)
1. Terapi simptomatis
Pemberian obat golongan reseptor Alfa-adrenergik
inhibitoxmampu merelaksasikan otot polos prostat dan saluran
kemih akan lebih terbuka. Obat golongan 5 Alfa
reduktaseinhibitor mampu menurunkan kadar
dihidrotestosteron intra prostat,sehingga dengan turunnya kadar
testosteron dalam plasma maka prostat akan mengecil
(Schwartz, 2002).
2. TUR-P (transuretralresectionprostatectomy)
Tindakan ini merupakan tindakan pembedahan non fisik yaitu
pemotongan secara elektris melalui meatus uretra list jaringan
prostat yang membesar dan menghalangi jalannya urine akan
dibuangmelalui electrocauter dan dikeluarkan melalui
ingasidilator. Tindakan ini memiliki banyak keuntungan, yaitu
meminimalisir tindakan pembedahan terbuka sehingga masa
penyembuhan lebih cepat dan tingkat resiko infeksi bisa
ditekan.
3. Pembedahan terbuka (Prostatectomy)
Tindakan ini dilakukan jika prostat terlalu besar diikuti oleh
penyakit penyerta lainnya. Misalnya tumor vesikaurinaria,
vesikolitiasis, dan adanya adenoma yang besar (Schwartz,
2002).
2. 2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
1. Anamnesa
Prostat hanya dialami oleh klien laki-laki titik keluhan yang
sering dialami oleh klien dikenal dengan istilah LUTS (Lower
Urinary Tracy Symptoms) antara lain hesistensi, pancaran urine
yang lemah, intermitensi ada sisa urine pasca miksi, urgensi,
frekuensi dan disuria (jika obstruksi meningkat).
2. Pemeriksaan fisik
Adanya peningkatan nadi dan tekanan darah (tidak
signifikan, kecuali ada penyakit penyerta). hal ini merupakan
bentuk kompensasi dari nyeri yang timbul akibat obstruksi
meatus uretra dan adanya distensibladder titik-titik jika retensi
urine berlangsung lama sering ditemukan adanya tanda
gejalaurosepsis (peningkatan suhu tubuh) sampai pada syok
septik.
Obstruksi kronis pada saluran kemih akibat BPH
menimbulkan retensi urin pada bladder. hal ini memicu
terjadinya repluks urine dan terjadi hidronefrosis dan
pyelonefrosis. Sehingga pada palpasi bimanual ditemukan
adanya rabaan pada ginjal. Pada palpasi suprasimfisis akan
teraba distensibladder (ballotemen).
Pada pemeriksaan penis, uretra dan skrotum tidak
ditemukan adanya kelainan, kecuali adanya penyakit penyerta
seperti stenosismeatus, struktur uretralis, uretharalithiasis, Ca
penis, maupunepididimitis.
Pemeriksaan RC (RectalTouncher) adalah pemeriksaan
sederhana yang paling mudah untuk menegakkan BPH.
Tujuannya adalah untuk menentukan konsistensi sistem
persyarafan unit vesiko ureter dan besarnya prostat.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan darah lengkap tidak menunjukkan
adanya kelainan, kecuali disertai dengan urosepsi yaitu adanya
peningkatan leukosit. selain itu, pada pemeriksaan urine
lengkap akan ditemukan adanya bakteri patogen pada kultur
jika
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang biasanya muncul pada klien dengan
Benigna Prostat Hipertensia (BPH) adalah (NANDA I 2012-2014):
1. Retensi urine (00023)
a. Definisi: pengosongan kandung kemih tidak komplet
b. Batasan karakteristik:
1) Tidak ada haluan urine
2) Ditensi kandung kemih
3) Urine menetes
4) Dysuria
5) Sering berkemih
6) Inkontinensia aliran berlebihan
7) Residu urine
8) Sensasi kandung kemih penuh
9) Berkemih sedikit
c. Faktor yang berhubungan:
1) Sumbatan
2) Tekanan ureter tinggi
2. Nyeri akut (00132)
a. Definisi: pengalaman sensori dan emosionanl yang tidak
menyenagkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang
actual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan
sedemikian rupa, awitan tiba-tiba atau lambat dari intensitas
ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi
atau diprediksi dan berlangsung <6 bulan.
b. Batasan karakteristik:
1) Perubahan selera makan, tekanan darah, frekuensi
jantung, frekuensi pernafasan
2) Diaphoresis
3) Perilaku didtraksi (jalan mondar mandie, mencari orang
lain, aktifitas berulang)
4) Mengekspresikan perilaku (gelisah, merengek,
menangis, waspada, iritabilitas)
5) Melindungi area nyeri dan focus meyempit (gangguan
persepsi nyeri, hambatan proses piker, penurunan
interaksi)
6) Melaporkan nyeri secara verbal
7) Focus pada diri sendiri
8) Gangguan tidur
c. Faktor yang berhubungan:
1) Agens cedera (biologis, zat kimia, fisik dan psikologis)
3. Ansietas (00146)
a. Definisi: perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang
samar disertai respon autonomy (seringkali sumber tidak
spesifik dan tidak diketahui oleh individu); perasaan takut
yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya
b. Batasan karakteristik:
1) Penurunan prokduktifitas
2) Gerakan irelevan
3) Gelisah
4) Insomnia
5) Kontak mata buruk
6) Ekspresi kekhawatiran karena perubahan peritiwa
kehidupan
7) Agtasi
8) Waspada
9) Rasa nyeri yang menigkatkan ketidak berdayaan
10) Wajah tegang
11) Tremor tangan
12) Penigkatan keringat, ketegangan, gemetar dan suara
bergetas
c. Faktor yang berhubungan:
1) Perubahan dalam status kesehatan
2) Infeksi
4. Disfungsi seksual (00059)
a. Definisi: kondisi yang ditandai dengan individu mengalami
perubahan fungsi selsual selama fase respon selsual hasrat,
terangsang, dan/orgasme, yang dipandang tidak
memuaskan tidak berharga atau tidak adekuat
b. Betasan karakteristik:
1) Keterbatasan actual akibat penyait
2) Perubahan dalam mencapai presesi peran seks dan
kepuasan seksual
3) Ketidak mampuan mencapai kepuasan yang di harapkan
4) Presepsi perubahan pada rangsangan seksual
5) Presepsi defisiensi hasrat seksual
6) Presepsi keterbatasan akibat penyakit
7) Mengungkapkan maslah
c. Faktor yang berhubungan:
1) Perubahan struktur tubuh (proses penyakit )
2.2.3 Intervensi Keperawatan
Masalah keperawatan pada klien dengan Benigna Prostat
Hiperplasia (BPH) (NANDA – I, NIC NOC):
1. Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status
kesehatan, infeksi.
Nursing Outcome Classification (NOC):
Setelah dilakukan tidakan keperawatan selama….x 24 jam,
klien akan:
1211. Anxiety Level
1402. Anxiety Self-Control
1302.Coping yang dibutuhkan dengan indicator (1: Tidak
Pernah, 2: Jarang, 3: Kadang-Kadang, 4: Sering, 5: Selalu)
Kriteria Hasil:
a. Tidak adanya gangguan istirahat, gemeteran, distress,
gelisah, kontraksi otot, wajah tegang, iritabilitas meningkat,
dan marah
b. Tidak adanya penurunan konsentrasi dan kesulitan
menyelesaikan masalah
c. Tidak ada kepanikan
d. TTV dalam rentang normal
e. Mampu memonitoring intensitas kecemasan
f. Mampu meredam penyebab kecemasan
g. Mencari informasi untuk mengurangi cemas
h. Mampu mengidentifikasi koping yang efektif dan tidak
efektif
i. Mampu merencanakan strategi koping untuk mengatasi
situasi stress
j. Menggunakan koping yang efektif dan teknik relaksasi
untuk menurunkan ansietas
k. Mampu merubah gaya hidup untuk mengurangi ansietas
dan adaptasi dengan segala bentuk perubahan
l. Mampu memanfaatkan support sistem yang ada untuk
mengurangi ansietas
Nursing Interventations Classification (NIC):
5820. Anxienty Reduction
Aktifitas keperawatan :
a. Anjurkan klien untuk tenang
b. Rencanakan seluruh prosedur tindakaan dengan baik untuk
menghindari suasana yang tidak menyenangkan bagi klien
c. Berikan informasi yang faktual tentang diagnosa, treatment,
dan prognosis dengan baik
d. Anjurkan keluarga untuk menemani klien
e. Lakukan masase punggun/ leher untuk menurunkan
ansietas
f. Catat perubahan tingkat kecemasan
g. Bantu klien untuk mengidentifikasi faktor pencetus
ansiestas
h. Bantu klien untuk memecahkan masalah sesuai kemampuan
klien
i. Anjurkan klien untuk menggunakan teknik relaksasi
j. Observasi tanda verbal/non verbal terjadinya ansietas pada
klien
k. Kolaborasi pengobatan untuk menurunkan ansietas (jika
dibuttuhkan)
5230. Coping Enhancement
Aktifitas Keperawatan:
a. Kaji penilaian klien terhadap dirinya sendiri
b. Kaji dampak situasi kehidupan klien terhadap peran dan
hubungan klien itu sendiri
c. Bantu klien untuk menerima situasi nyata yang sedang
dihadaapinya
d. Kaji pemahaman klien tentang proses penyakit yang
dialaminya
e. Gunakan pendekatan yang tenang dan lembutt saat bersama
klien
f. Ciptakan suasana yang nyaman terhadap klien
g. Bantu klien untuk mengidentifikasi kesukaan dirinya
h. Evaluasi kemampuan klien dalam memecahkan masalah
i. Dorong klien untuk melakukan aktifitas dilingkungan
sosialnya dengan percayan diri
j. Dorong klien untuk menerima segala bentuk
kekurangannya
k. Anjurkan klien untuk mengontrol marah dan emosinya
l. Hindari stimulasi yang mampu menimbulkan ansietas bagi
klien
m. Dorong klien untuk melakukan koping yang konstruktif
saat mengalami ansietas
2. Disfungsi seksual berhubungan dengan peruubahan struktur
tubuh (proses penyakit)
Nursing Outcome Classification (NOC):
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama….x 24 jam,
klien akan:
0119: Sexual Functioning yang dibuktikan dengan indikator (1:
Tidak pernah, 2: Jarang, 3: Kadang-Kadang, 4: Sering, 5:
Selalu)
Kriteria hasil:
a. Menunjukkan gairah seksual
b. Menunjukkan orgasme
c. Beradaptasi dan menerapkan teknik adaptasi seksual
d. Menujukkan kepuasan seksual dan kemampuan
berhubungan seksual
e. Melaporkan adanya kepuasan dari pasangan seksual
f. Memahami keterbatasan kondisi untuk melaksanakan
aktifitas seksual
Nursing Intervrentations Classification (NIC)
5248. Sexual Counseling
Aktifitas keperawatan:
a. Jalin hubungan secara trapeutik dengan klien secara
kontinyu
b. Jamin privasi dan yakinkan klien merasa nyaman dan
percaya diri.
c. Beritahu klien bahwa seksualitas merupakan sebuah bagian
dari kehidupan yang penting dank arena suatu hal
(penyakit, pengobatan dan stress) terjadi gangguan fungsi.
d. Sediakan informasi mengenai seksual dengan adekuat.
e. Diskusikan dampak dari penyakit klien terhadap pola
seksualitas.
f. Diskusikan dengan klien tentang kebutuhan untuk aktifitas
seksual.
g. Hibur klien untuk mengurangi kecemasan akibat
penyakitnya.
h. Jelaskan kepada klien untuk aktifitas seksual pasca
penyembuhan penyakitnya.
i. Bantu klien untuk menjelaskan gangguan aktifitas
seksualnya kepada pasangannya karena proses penyakit.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Benigna prostat hyperplasia (BPH) adalah masalah umum pada
sistem genitourinari pada pria dewasa yang ditunjukan dengan adanya
penigkatan jumlah sel-sel epitel dan jaringan stroma di dalam kelenjar
prostat (Andre, Terrence & Eugene, 2011).
Penyebab pastinya belum diketahui secara pasti dari hyperplasia
prostat, namun faktor usia dan hormonal menjadi predisposisi terjadinya
BPH. BPH merupakan yang di derita oleh klien laki-laki dengan usia rata-
rata lebih dari 50 tahun. Gambaran klinis dari BPH sebenarnya sekunder
dari dampak obstruksi saluran kencing, sehingga klien kesulitan untuk
miksi.
Pemeriksaan klinis dilakukan untuk mengetahui apakah
pembesaran prostat ini bersifat benigna atau maligna dan untuk
memastikan tidak adanya penyakit lainnya seperti pemeriksaan
Uroflowmetri, USG Ginjal, DPL, PA (Patologi Anatomi), dll. Penyakit
bph merupakan penyakit bedah, sehingga tetap bersifat simptomatis untuk
mengurangi tanda gejala yang diakibatkan oleh obstruksi pada saluran
kemih. Terapi simptomatis ditujukan untuk merelaksasi otot polos prostat
atau dengan menurunkan kadar hormon yang mempengaruhi pembesaran
prostat, sehingga obstruksi akan berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
Prabowo, Eko & Pranata, Andi Eka. 2014. BUKU AJAR KEPERAWATAN
SISTEM PERKEMIHAN. Yogyakarta : Nuha Medika
Wijaya, Andra Saferi & Putri, Yessie Mariza. 2013. KMB 1 KEPERAWATAN
MEDIKAL BEDAH KEPERAWATAN DEWASA TEORI DAN CONTOH
ASKEP. Yogyakarta : Nuha Medika
Amadea, Riselena Alyssa, dkk. 2019. BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA
(BPH). Medical Profession (MedPro), 1(2), 172-176.

Anda mungkin juga menyukai