OLEH :
Nama : NIM :
1. Pengertian
Leukemia adalah keganasan hematologi akibat proses neoplastik yang
disertai gangguan diferensiasi (maturation arrest) pada berbagai tingkatan sel
induk hemopoetik sehingga terjadi ekspansi progresif dari kelompok (clone)
sel ganas tersebut dalam susu tulang, kemudian leukemia beredar secara
sistemik (Bakta, 2006).
Leukemia adalah poliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas, sering
disertaai bentuk leukosit yang lain dari pada normal, jumlahnya yang
berlebihan dan dapat menyebabkan anemia, trombositopenia dan diakhiri
dengan kematian (soeparman dan sarwo w, 2001).
Leukimia adalah neoplasma akut dan kronis dari sel-sel pembentuk
darah dalam sumsum tulang dan limfa nadi (reeves, 2001). Sifat khas dari
leukimiaadalah proliferasi tidak teratur atau akumulasi sel darah putih dalam
sumsum tulang, menggantikan elemen sumsum tulang normal juga terjadi
proliferasi di hati, limpa, nodus limfatikus, dan invansi organ non
hematologis, seperti meningen, traktus gastrointestinal, ginjal dan kulit.
2. Klasifikasi
Leukemia akut
Berdasarkan klasifikasi French American British ( FAB ), leukemia
akut terbagi menjadi 2 ( dua ), Acute Limphocytic Leukemia ( ALL ) dan
Acute Myelogenous Leukemia (AML). Sedangkan Leukemia Kronis jg
dibagimmnjadi 2 yaitu Leukemia Mielogenus Kronis (CML) dan Leukemia
Limfositik Kronis (CLL).
Luekemia Limfositik Akut (ALL) dianggap sebagai proliferasi ganas
limfoblast. Sering terjadi pada anak-anak, laki-laki lebih banyak dibanding
perempuan, puncak insiden usia 4 tahun, setelah usia 15 ALL jarang terjadi.
Manifestasi limfosit immatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan
jaringan perifer, sehingga mengganggu perkembangan sel normal..
Acute Limphocytic Leukemia (ALL) sendiri terbagi menjadi 3, yakni :
a) L1
Sel-sel leukemia terdiri dari limfoblas yang homogen dan L1 ini
banyak menyerang anak.
b) L2
Terdiri dari sel sel limfoblas yang lebih heterogen bila dibandingkan
dengan L1. ALL jenis ini sering diderita oleh orang dewasa.
c) L3
Terdiri dari limfoblas yang homogen, dengan karakteristik berupa sel
Burkitt. Terjadi baik pada orang dewasa maupun anak-anak dengan prognosis
yang buruk
Leukemia Mielogenus Akut (AML) mengenai sel stem hematopeotik
yang kelak berdiferensiasi ke semua sel Mieloid: monosit, granulosit, eritrosit,
eritrosit dan trombosit. Semua kelompok usia dapat terkena; insidensi
meningkat sesuai bertambahnya usia. Merupakan leukemia nonlimfositik
yang paling sering terjadi.
2. Leukemia kronis
1) Leukemia Mielogenus Kronis (CML) terbagi menjadi 8 tipe :
Mo ( Acute Undifferentiated Leukemia )
Merupakan bentuk paling tidak matang dari AML, yang juga disebut
sebagai AML dengan diferensiasi minimal .
M1 ( Acute Myeloid Leukemia tanpa maturasi )
Merupakan leukemia mieloblastik klasik yang terjadi hampir
seperempat dari kasus AML. Pada AML jenis ini terdapat gambaran
azurophilic granules dan Auer rods. Dan sel leukemik dibedakan menjadi 2
tipe, tipe 1 tanpa granula dan tipe 2 dengan granula, dimana tipe 1 dominan di
M1 .
M2 ( Akut Myeloid Leukemia )
Sel leukemik pada M2 memperlihatkan kematangan yang secara
morfologi berbeda, dengan jumlah granulosit dari promielosit yang berubah
menjadi granulosit matang berjumlah lebih dari 10 % . Jumlah sel leukemik
antara 30 – 90 %. Tapi lebih dari 50 % dari jumlah sel-sel sumsum tulang di
M2 adalah mielosit dan promielosit .
M3 ( Acute Promyelocitic Leukemia )
Sel leukemia pada M3 kebanyakan adalah promielosit dengan
granulasi berat, stain mieloperoksidase + yang kuat. Nukleus bervariasi dalam
bentuk maupun ukuran, kadang-kadang berlobul . Sitoplasma mengandung
granula besar, dan beberapa promielosit mengandung granula berbentuk
seperti debu . Adanya Disseminated Intravaskular Coagulation ( DIC )
dihubungkan dengan granula-granula abnormal ini.
M4 ( Acute Myelomonocytic Leukemia )
Terlihat 2 ( dua ) type sel, yakni granulositik dan monositik , serta sel-
sel leukemik lebih dari 30 % dari sel yang bukan eritroit. M4 mirip dengan
M1, dibedakan dengan cara 20% dari sel yang bukan eritroit adalah sel pada
jalur monositik, dengan tahapan maturasi yang berbeda-beda.
Jumlah monosit pada darah tepi lebih dari 5000 /uL. Tanda lain dari
M4 adalah peningkatan proporsi dari eosinofil di sumsum tulang, lebih dari
5% darisel yang bukan eritroit, disebut dengan M4 dengan eoshinophilia.
Pasien–pasien dengan AML type M4 mempunyai respon terhadap
kemoterapi-induksi standar.
M5 ( Acute Monocytic Leukemia )
Pada M5 terdapat lebih dari 80% dari sel yang bukan eritroit adalah
monoblas, promonosit, dan monosit. Terbagi menjadi dua, M5a dimana sel
monosit dominan adalah monoblas, sedang pada M5b adalah promonosit dan
monosit. M5a jarang terjadi dan hasil perawatannya cukup baik.
M6 ( Erythroleukemia )
Sumsum tulang terdiri lebih dari 50% eritroblas dengan derajat
berbeda dari gambaran morfologi Bizzare. Eritroblas ini mempunyai
gambaran morfologi abnormal berupa bentuk multinukleat yang raksasa.
Perubahan megaloblastik ini terkait dengan maturasi yang tidak sejalan antara
nukleus dan sitoplasma . M6 disebut Myelodisplastic Syndrome ( MDS ) jika
sel leukemik kurang dari 30% dari sel yang bukan eritroit . M6 jarang terjadi
dan biasanya kambuhan terhadap kemoterapi-induksi standar .
M7 ( Acute Megakaryocytic Leukemia )
Beberapa sel tampak berbentuk promegakariosit/megakariosit.
( Yoshida, 1998; Wetzler dan Bloomfield, 1998 ).
Leukemia Mielogenus Kronis (CML) juga dimasukkan dalam sistem
keganasan sel sistem mieloid. Namun lebih banyak sel normal dibanding
bentuk akut, sehingga penyakit ini lebih ringan. CML jarang menyerang
individu di bawah 20 tahun. Manifestasi mirip dengan gambaran AML tetapi
tanda dan gejala lebih ringan, pasien menunjukkan tanpa gejala selama
bertahun-tahun, peningkatan leukosit kadang sampai jumlah yang luar biasa,
limpa membesar.
2) Leukemia Limfositik Kronis (CLL)
Leukemia Limfositik Kronis (CLL) merupakan kelainan ringan
mengenai individu usia 50 sampai 70 tahun. Manifestasi klinis pasien tidak
menunjukkan gejala, baru terdiagnosa saat pemeriksaan fisik atau penanganan
penyakit lain.
3. Etiologi
Etiologi Sampai saat ini penyebab penyakit leukemia belum diketahui
secara pasti, akan tetapi terdapat faktor predisposisi yang menyebabkan
terjadinya leukemia, yaitu :
1.Neoplasma
Ada persamaan antara leukemia dengan penyakit neoplastik lain,
misalnya poliferasi sel yang tidak terkendali, abnormalitas morfologi sel,
dan infiltrasi organ. Lebih dari itu, kelainan sumsum kronis lain dapat
berubah bentuk yang akhirnya menjadi leukemia akut.
2. Radiasi.
Hal ini ditunjang dengan beberapa laporan dari beberapa riset yang
menangani kasus leukemia bahwa para pegawai radiologi lebih sering
menderita leukemia. Penderita dengan radioterapi lebih sering menderita
leukemia, Leukemia ditemukan pada korban hidup kejadian bom atom
Hiroshima dan Nagasaki, Jepang.
3. Leukemogenik.
Beberapa zat kimia dilaporkan telah diidentifikasi dapat
mempengaruhi frekuensi leukemia, misalnya racun lingkungan seperti
benzena, bahan kimia industri seperti insektisida, obat-obatan yang
digunakan untuk kemoterapi.
4. Herediter.
Penderita Down Syndrom memiliki insidensi leukemia akut 20x lebih
besar dari orang normal.
5. Virus.
Beberapa jenis virus menyebabkan terjadinya perubahan struktur gen
dan dapat menyebabkan leukemia, seperti HTLV-1(T-Cell leukemia
lymphoma virus).
6. Obat-Obatan
Misalnya obat imunosupresif, obat karsinogenik seperti
diethylstilbestrol
Walaupun penyebab dasar leukemia tidak di ketahui. pengaruh
genetic maupun faktor – faktor lingkungan tetap ada, tetapi kelihatannya
terdapat insidens leukemia lebih tinggi dari saudara kandung anak-anak yang
terserang pada kembar monozigot (identik). Individu dengan kelainan
kromosom, seperti: down syndrom, kelihatannya mempunyai insidens
leukemia akut dua puluh kali lipat (soeparman dan waspanji, 2001).
4. Patifisiologi
Jaringan pembentuk darah ditandai oleh pergantian sel yang sangat cepat.
normalnya produksi sel darah tertentu dari prekusor sel stem diatur sesuai
kebutuhan tubuh. apabila mekanisme yang mengatur produksi sel tersebut
terganggu, sel akan membelah diri sampai ketingkat sel yang membahayakan
(proliferasi neoplastik). Ploriferasi noeplastik dapat terjadi karena kerusakan
sumsum tulang akibat radiasi, virus onkogenik, maupun herediter.
Sel polimorfonuklear dan monosit normalnya dibentuk hanya dalam
sumsum tulang sedangkan limfosit dan sel plasma di hasilkan dalam berbagai
organ limfogen (kelenjar limfe, limpa, timus, tongsil). Beberapa sel darah
putih yang dibentuk dalam tulang, khuusnya granulosit, disimpan dalam
sumsum tulang sampai mereka dibutuhkan dalam sirkulasi. Bila terjadi
kerusakan sumsum tulang, misalnya akibat radiasi atau bahan kimia, maka
akan teradi poliferasi sel – sel darah putih yang berlebihan dan imatur.
Sedangkan secara imunologik, patogenesis leukemia dapat diterangkan
sebagai berikut. bila virus dinggap sebagai penyebabnya (virus onkogenik
yang mempunyai struktur antigen tertentu), maka virus tersebut dengan
mudah akan masuk ke dalam tubuh manusia dan merusak mekanisme
poliferasi. Seandainya struktur antignnya sesuai dengan struktur anti gen
manusia tersebut, maka virus mudah masuk. Bila struktur antigen individu
tidak sama dengan struktur antigen virus, maka virus tersebut akan
ditolaknnya. struktur antigen ini terbentuk dari struktur antigen dari berbagai
alat tubuh terutama kulit dan selaput lendir yang terletak di permukaan kulit
tubuh atau HL-A (Human Leucocyte Locus A). Sistem HL-A diturunkan
menurut hukum genetik, sehingga etiologi leukimia sangat erat kaitannya
dengan faktor herediter.
Akibat koliferasi mieloid yang neuplastik, maka produksi elemen darah
yang lain tertekan karena terjadi kompetinsi nutrisi untuk proses metabolime
(terjadi granulositopenia, trombositopenia). Sel-sel lukimia juga menginpasi
tulang sekelilingnya yang menyebabkan nyeri tulang dan cenderung mudah
patah tulang. Poliferasi sel leukemia dalam organ mengakibatkan gejala
tambahan : nyeri akibat pembesaran limfa atau hati, masalah kelenjar limfa;
sakit kepala atau muntah akibat leukimia meningeal.
5. Gejala Klinis
Manifestasi klinik yang sering dijumpai pada penyakit leukemia adalah
sebagai berikut :
6. Pemeriksaan Penunjang
Darah tepi
Gejala yang terlihat pada darah tepi sebenarnya berdasarkan pada kelainan
sumsum tulang, yaitu berupa pansitopenia, limfositosis yang kadang
menyebabkan gambaran darah tepi monoton dan terdapatnya sel blas.
Terdapatnya sel blas pada darah tepi merupakan gejala untuk leukemia.
Sumsum tulang
Dari pemeriksaan sumsum tulang akan ditemukan gambaran yang monoton
yaitu hanya terdiri dari sel lomfopoetik patologis sdangkan pada sistem lain
terdesak (aplasia sekunder) pada MLA selain gambaran yang monoton,
terlihat pula gambaran hiatus luekumikus yaitu keadaan yang memperlihatkan
banyak sel blash (mioloblas), beberapa sel tu (segmen) dan sangat kurang
bentuk pematangan sel yang berada diantara (promielosit, mielosit,
metamielosit dan batang)
hiperselular, hampir semua sel sumsum tulang diganti sel leukemia(blash),
tanpa monoton oleh sel blast, dengan adanya leukemic gap (terdapat
perubahan tiba-tiba dari sel mudah (blast) ke sel yang matang tanpa sel
antara ). sistem hemopoesis normal mengalami depresi. Jumlah blast minimal
30% dari sel berinti dalam sumsum tulang (dalam hitungn 500 sel pada
apusan sumsum tulang )
Biopsy limpa
Pemeriksaaan ini akan memperlihatkan proliferasi sel leukemia dan sel yang
basal dari jaringan limfa akan terdesak seperti limfosit normal, RES,
granulosit, pulpcell.
Kimia darah
Kolesterol mungkin merendah, asam urat dapat meningkat ,
hipogamaglobulinemia.
Cairan serebrospinal
Bila terjadi peninggian jumlah sel (sel patologis) dan protein, maka hal ini
berarti suatu leukemia menigeal. kelainan ini dapat terjadi setiap saat dari
perjalanan penyakit pada keadaan remisi maupun keadaan kambuh. Untuk
mencegah melakukan fungsi lumbal dan pemberian metrotreksat (MTX)
intratekal secara rutin pada setiap penderita baru atu mereka yang menunjukan
gejala tekanan intracranial yang meninggi.
Sitogenetik
70-90 % dari kasus LMK menunjuka kelainan kromosom, yaitu pada
kromosom 21 (kromosom Phiadelphia atau Ph 1) 50-70% dari penelitian LLA
dan LMA mempunyai kelainan berupa :
Kelainan jumlah kromosom seperti diploid (2n), haploid (2n-a), hiperploid
(2n+a)
Kariotip yang pseudodiploid pada kasus dengan jumlah kromosom yang
ploid
Bertambah atau hilangnya bagaian kromosom (partial depletion)
Pemeriksaan immunolophenotyping.
Pemeriksaan ini menjadi sangat penting untuk menentukan klasifikasi
imunologi leukemia akut. pemeriksaan ini dikerjakan surface marker guna
membedakan jenis leukemia.
7. Penatalaksanaan
1. Pelaksanaan kemoterapi
Sebagian besar pasien leukemia menjalani kemoterapi. Jenis
pengobatan kanker ini menggunakan obat-obatan untuk membunuh sel-sel
leukemia. Tergantung pada jenis leukemia, pasien bisa mendapatkan satu
jenis obat atau kombinasi dari dua obat atau lebih.
Pasien leukemia bisa mendapatkan kemoterapi dengan berbagai cara:
Melalui mulut
Dengan suntikan langsung ke pembuluh darah balik (atau intravena).
Melalui kateter (tabung kecil yang fleksibel) yang ditempatkan di
dalam pembuluh darah balik besar, seringkali di dada bagian atas –
Perawat akan menyuntikkan obat ke dalam kateter, untuk menghindari
suntikan yang berulang kali. Cara ini akan mengurangi rasa tidak
nyaman dan/atau cedera pada pembuluh darah balik/kulit.
Dengan suntikan langsung ke cairan cerebrospinal – jika ahli patologi
menemukan sel-sel leukemia dalam cairan yang mengisi ruang di otak
dan sumsum tulang belakang, dokter bisa memerintahkan kemoterapi
intratekal. Dokter akan menyuntikkan obat langsung ke dalam cairan
cerebrospinal. Metode ini digunakan karena obat yang diberikan
melalui suntikan IV atau diminum seringkali tidak mencapai sel-sel di
otak dan sumsum tulang belakang.
2. Terapi Biologi
Orang dengan jenis penyakit leukemia tertentu menjalani terapi
biologi untuk meningkatkan daya tahan alami tubuh terhadap kanker.
Terapi ini diberikan melalui suntikan di dalam pembuluh darah balik. Bagi
pasien dengan leukemia limfositik kronis, jenis terapi biologi yang
digunakan adalah antibodi monoklonal yang akan mengikatkan diri pada
sel-sel leukemia. Terapi ini memungkinkan sistem kekebalan untuk
membunuh sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang. Bagi
penderita dengan leukemia myeloid kronis, terapi biologi yang digunakan
adalah bahan alami bernama interferon untuk memperlambat pertumbuhan
sel-sel leukemia.
3. Terapi Radiasi
Terapi Radiasi (juga disebut sebagai radioterapi) menggunakan sinar
berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel leukemia. Bagi sebagian besar
pasien, sebuah mesin yang besar akan mengarahkan radiasi pada limpa,
otak, atau bagian lain dalam tubuh tempat menumpuknya sel-sel leukemia
ini. Beberapa pasien mendapatkan radiasi yang diarahkan ke seluruh tubuh.
(Iradiasi seluruh tubuh biasanya diberikan sebelum transplantasi sumsum
tulang.)
4. Transplantasi Sel Induk (Stem Cell)
Beberapa pasien leukemia menjalani transplantasi sel induk (stem
cell). Transplantasi sel induk memungkinkan pasien diobati dengan dosis
obat yang tinggi, radiasi, atau keduanya. Dosis tinggi ini akan
menghancurkan sel-sel leukemia sekaligus sel-sel darah normal dalam
sumsum tulang. Kemudian, pasien akan mendapatkan sel-sel induk (stem
cell) yang sehat melalui tabung fleksibel yang dipasang di pembuluh darah
balik besar di daerah dada atau leher. Sel-sel darah yang baru akan tumbuh
dari sel-sel induk (stem cell) hasil transplantasi ini.
Setelah transplantasi sel induk (stem cell), pasien biasanya harus
menginap di rumah sakit selama beberapa minggu. Tim kesehatan akan
melindungi pasien dari infeksi sampai sel-sel induk (stem cell) hasil
transplantasi mulai menghasilkan sel-sel darah putih dalam jumlah yang
memadai.
Terdapat tiga fase pelaksanaan kemoterapi :
a. Fase induksiDimulasi 4-6 minggu setelah diagnosa ditegakkan. Pada
fase ini diberikan terapi kortikostreroid (prednison), vincristin dan L-
asparaginase. Fase induksi dinyatakan behasil jika tanda-tanda
penyakit berkurang atau tidak ada dan dalam sumsum tulang
ditemukan jumlah sel muda kurang dari 5%.
b. Fase Profilaksis Sistem saraf pusatPada fase ini diberikan terapi
methotrexate, cytarabine dan hydrocotison melaui intrathecal untuk
mencegah invsi sel leukemia ke otak. Terapi irradiasi kranial
dilakukan hanya pada pasien leukemia yang mengalami gangguan
sistem saraf pusat.
c. KonsolidasiPada fase ini kombinasi pengobatan dilakukan unutk
mempertahankan remisis dan mengurangi jumlah sel-sel leukemia
yang beredar dalam tubuh. Secara berkala, mingguan atau bulanan
dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk menilai respon sumsum
tulang terhadap pengobatan. Jika terjadi supresi sumsum tulang, maka
pengobatan dihentikan sementara atau dosis obat dikurangi.
B.konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Menurut American Nursing Association (ANA) proses keperawatan
adalah suatu metode yang sistematis yang diberikan kepada individu, keluarga
dan masyarakat dengan berfokus pada respon unik dari individu, keluarga,
dan masyarakat terhadap masalah kesehatan yang potensial maupun aktual.
( Marilynn E. Doengoes, dkk .2000 : 6 ). Di dalam memberikan asuhan
keperawatan terdiri dari beberapa tahap atau langkah-langkah proses
keperawatan yaitu ; pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan,
implementasi, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian adalah dasar utama dari proses keperawatan, pengumpulan
data yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan status kesehatan dan
pola pertahanan klien, mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan klien serta
merumuskan diagnosa keperawatan. (Budi Anna Keliat, 1994)
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut The North American Nursing Diagnosis
Association (NANDA) adalah “ suatu penilaian klinis tentang respon individu,
keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan/proses kehidupan yang
aktual dan potensial. Diagnosa keperawatan memberikan dasar untuk pemilihan
intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan dimana perawat bertanggung
jawab (Wong,D.L, 2004 :331).
Menurut Wong, D.L (2004 :596 – 610) , diagnosa pada anak dengan
leukemia adalah:
3. Rencana Keperawatan
Rencana keperawatan merupakan serangkaian tindakan atau intervensi untuk
mencapai tujuan pelaksanaan asuhan keperawatan. Intervensi keperawatan adalah
preskripsi untuk perilaku spesifik yang diharapkan dari pasien dan atau tindakan
yang harus dilakukan oleh perawat. Berdasarkan diagnosa yang ada maka dapat
disusun rencana keperawatan sebagai berikut (Wong,D.L,2004):
No diagnosa Tujuan & Kriteria Intervensi Rasional
. Hasil
1 Resiko Tujuan: a. Pantau suhu a. untuk
infeksi Anak tidak dengan teliti mendeteksi
berhubunga mengalami gejala- b. Tempatkan kemungkinan infeksi
n dengan gejala infeksi anak dalam b. untuk
menurunnya Kriteria Hasil: ruangan khusus meminimalkan
sistem Infeksi tidak c. Anjurkan terpaparnya anak dari
pertahanan terjadi semua pengunjung sumber infeksi
tubuh dan staff rumah c. untuk
sakit untuk meminimalkan
menggunakan pajanan pada
teknik mencuci organisme infektif
tangan dengan d. untuk mencegah
baik kontaminasi
d. Gunakan silang/menurunkan
teknik aseptik resiko infeksi.
yang cermat untuk
semua prosedur e. untuk intervensi
invasive. dini penanganan
e. Evaluasi infeksi
keadaan anak
terhadap tempat-
tempat munculnya f. rongga mulut
infeksi seperti adalah medium yang
tempat penusukan baik untuk
jarum, ulserasi pertumbuhan
mukosa, dan organism
masalah gigi g. menambah
f. Inspeksi energi untuk
membran mukosa penyembuhan dan
mulut. Bersihkan regenerasi seluler
mulut dengan baik h. untuk
g. Berikan mendukung
periode istirahat pertahanan alami
tanpa gangguan tubuh
h. Berikan diet i. diberikan
lengkap nutrisi sebagai profilaktik
sesuai usia atau mengobati
i. Berikan infeksi khusus
antibiotik sesuai
ketentuan
2 Intoleransi Tujuan : a. Evaluasi a. menentukan
aktivitas terjadi peningkatan laporan derajat dan efek
berhubunga toleransi aktifitas kelemahan, ketidakmampuan
n dengan Criteria Hasil: perhatikan
kelemahan - Peningkatan ketidakmampuan b. menghemat
akibat toleransi aktivitas untuk energi untuk aktifitas
anemia yang dapat diukur berpartisipasi dala dan regenerasi seluler
- Berpartisipasi aktifitas sehari- atau penyambungan
dalam aktivitas hari jaringan
sehari-hari sesuai b. Berikan c. mengidentifikas
tingkat lingkungan tenang i kebutuhan
kemampuan dan perlu istirahat individual dan
- Menunjukkan tanpa gangguan membantu pemilihan
penurunan tanda c. Kaji intervensi
fisiologis tidak kemampuan untuk d. memaksimalkan
toleran misal nadi, berpartisipasi pada sediaan energi untuk
pernafasan dan TD aktifitas yang tugas perawatan diri
dalam batas diinginkan atau
normal dibutuhkan
d. Berikan
bantuan dalam
aktifitas sehari-
hari dan ambulasi
- Pemberian
Alluporinol
a.Mandiri: aktivitas perawat yang didasarkan pada kemampuan sendiri dan bukan
merupakan petunjuk atau perintah dari petugas kesehatan
b. Delegatif: tindakan keperawatan atas instruksi yang diberikan oleh petugas
kesehatan yang berwenang.
c.Kolaboratif: tindakan perawat dan petugas kesehatan yang lain dimana
didasarkan pada keputusan bersama.
( implementasi menyesuaikn dengan intervensi )
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari suatu proses keperawatan yang merupakan
perbandingan yang sistematis dan yang terencanakan kesehatan pasien dengan
tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan, dengan cara melibatkan pasen yang
nantinya diharapkan dapat memperoleh evaluasi disetiap diagnosa sebagai berikut.
No Evaluasi
dx
1 S : Evaluasi perasaan atau keluhan yang dikeluhkan pasien secara
subjektif setelah diberikan implementasi
- Pasien mengatakan tidak mengalami nyeri
- Pasien mengatakan sudah bisa beristirahat
- Pasien mengatakan sudah merasa lebih nyaman
O : Evaluasi keadaan pasien dengan pengamatan dari perawat secara
objektif
- Pasien tidak mengalami pendarahan
- Kulit tetap bersih dan utuh
- Pasien terlihat lebih nyaman
A : Analisa masalah klien oleh perawat setelah mengetahui respon
secara subjektif dan objektif. Apakah masalah teratasi, masalah
teratasi sebagian atau masalah belum teratasi
- Masalah teratasi sebagian
P : Perencanaan selanjutnya yang akan diberikan kepada pasien.
Apakah perencanaan keperawatan dipertahankan, perencanaan
keperawatan dimodifikasi atau melanjutkan perencanaan
keperawatan yang lainnya
- Pertahankan intervensi keperawatan
DAFTAR PUSTAKA