Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PEMBUNUHAN

Disusun oleh;
1. Giopani
2. Irgi Tia Fauzi
3. Ilham Nurfahmi
4. Joko purnama
5. Shandi
6. Jejen Maryana
7. Fatan Firazulah Alpian
8. Kiki Tohanurdi

SMA NEGRI 1 CIBINGBIN


KATA PENGANTAR
          Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Illahi Rabbi yang telah memberikan segala nikmat dan
karunia-Nya yang sempurna kepada setiap hambanya, sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada
waktunya.
            Shalawat serta salam selalu terlimpah curahkan kepada junjungan besar kita, Nabi Muhammad
SAW yang menjadi panutan dan suri tauladan seluruh umatnya. Kepada beliaulah kita meneladani apa
yang diperintahkan Allah untuk mencapai derajat taqwa.
            Makalah ini tersusun atas kerjasama anggota kelompok. Untuk membahas dan menyelesaikan
proses penyusunan dan penulisan makalah ini. Adapun judul dari makalah ini adalah “Pembunuhan
Terhadap Jiwa”, yang merupakan tugas dari mata kuliah Fiqih Jinayat.
Selain itu penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik moril
maupun materiil. Penyusun sadar bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Maka dari itu penyusun menerima kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan di masa
yang akan datang. Akhir kata penyusun mengucapkan syukur Alhamdullilah. Semoga bermanfaat bagi
semua pihak.

Cibingbin, Oktober 2019


                                                                                   Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................            i
DAFTAR ISI...........................................................................................           ii
BAB I PENDAHULUAN   
A.    Latar belakang…………………………………………………..             1
B.     Rumusan Masalah……………………………………………….           1
C.    Tujuan Penulisan………………………………………………...            2
D.    Sistematika Penulisan……………………………………………           2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pembunuhan………………………………………..            4
B.     Klasifikasi Pembunuhan………………………………………..            5
C.     Akibat dari Pembunuhan……………………………………….           19
D.    Pembunuhan Menurut Hukum Positif………………………….           24
E.     Hikam Diterapkannya Hukum Qishash dan Pembayaran Diyat..          27
BAB III PENUTUP……………………………………………………      28
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………         30       
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk Allah yang paling mulia, Allah menciptakan manusia sebagai sebaik-
baiknya makhluk. Allah menjamin segala macam hak-hak yang dibutuhkan manusia, mulai dari hak
hidup, hak kepemilikan, hak memelihara kehormatan, hak kemerdekaan, hak persamaan, hak menuntit
ilmu pengetahuan, dan hak-hak yang lain.
Hak yang paling utama dan wajib mendapat perhatian ialah hak hidup. Sebab hal itu merupakan hak yang
suci dan tidak seorang pun yang dibenarkan secara hukum untuk melanggar hak ini, dengan alasan
apapun yang tidak dibenarkan. Allah SWT berfirman:
ِّ ۗ ‫س الَّتِى َح َّر َم هللاُ اال بِ ْال َح‬
‫ق‬ َ ‫ َوالتَ ْقتُلُوْ االنَّ ْف‬...
”dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu
alasan yang dibenarkan.”(Q.S. Al-Isra: 33)
 Dalam makalah ini, akan diuraikan mengenai masalah pembunuhan, hukumannya, baik dilihat dari
perspektif hukum Islam dan juga dilihat dari perspektif hukum positif yang ada di Indonesia.
B.       Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1.      Apa itu pengertian pembunuhan?
2.      Apa saja klasifikasi pembunuhan itu?
3.      Apa saja akibat dari pembunuhan menurut hukum Islam?
4.      Apa saja yang menjadi syarat si pembunuh dikenai hukum qishash?
5.      Apa saja yang menyebabkan si pembunuh diwajibkan membayar diyat?
6.      Bagaimana akibat pembunuhan menurut hukum positif?
7.      Apa hikmah dibalik penerapan hukum qishash dan pembayaran diyat?

C.      Tujuan Penulisan
Adapun tujan penulisan makalh ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui pengertian pembunuhan.
2.      Mengetahui apa saja klasifikasi pembunuhan itu.
3.      Mengetahui apa saja akibat dari pembunuhan.
4.      Mengetahui apa saja yang menjadi syarat si pembunuh dikenai hukum qishash.
5.      Mengetahui apa saja yang menyebabkan si pembunuh diwajibkan membayar diyat.
6.      Mengetahui bagaimana hukum pembunuhan menurut hukum positif.
7.      Mengetahui apa hikmah dibalik penerapan hukum qishash dan pembayaran diyat.
8.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Jinayat.
D.      Sistematika Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Pembunuhan
Pembunuhan secara etimologi, merupakan bentuk masdar ‫قتال‬, dari fi’il madhi ‫قتل‬yang artinya membunuh.
[1] Adapun secara terminologi, sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili, pembunuhan
didefinisikan sebagai suatu perbuatan mematikan; atau perbuatan seseorang yang dapat menghancurkan
bangunan kemanusiaan.[2] Sedangkan menurut Abdul Qadir ‘Audah, pembunuhan didefinisikan sebagai
suatu tindakan seseorang untuk menghilangkan nyawa; menghilangkan ruh atau jiwa orang lain.[3]Secara
sederhana menurut Wojowasito pembunuhan adalah perampasan nyawa seseorang.[4]
Sedangkan dalam istilah KUHP pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain.
[5] Dari definisi tersebut, maka tindak pidana pembunuhan dianggap sebagai delik material bila delik
tersebut selesai dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang dilarang atau yang tidak
dikehendaki oleh Undang-undang.[6]
Jadi dapat disimpulkan bahwa pembunuhan adalah perampasan hak hidup seseorang atau peniadaan
nyawa seseorang oleh orang lain yang dapat mengakibatkan tidak berfungsinya seluruh anggota badan
disebabkan ketiadaan roh, baik perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja.
Dalam hukum pidana Islam, pembunuhan termasuk ke dalam jarimah qishash-diyat(tindakan pidana yang
bersanksikan hukum qishash atau diyat). Dan dengan penerapanqishash dan diyat masyarkat akan bersih
dari tindakan pidan yang dapat mengacaukan ketertiban umum dan mengganggu stabilitas masyarakat.
B.       Klasifikasi Pembunuhan
Tidak semua tindakan pembunuhan terhadap jiwa membawa konsekuensi untuk dijatuhi
hukum qishash. Sebab, di antara tindakan itu ada yang sengaja, ada yang menyerupai kesengajaan, ada
yang tidak disengaja sama sekali. Dilihat dari segi motivasi terjadinya pembunuhan, ulama Malikiyyah
membagi pembunuhan menjadi dua macam, yaitu pembunuhan sengaja dan tidak disengaja. Ini
didasarkan pada ayat Al-Qur’an surat An-Nissa: 92 dan 93.[7] Sedangkan menurut ulama Hanafiyyah,
Safi’iyyah, dan Hanabilah, membaginya menjadi tiga bentuk, yang apabila diteliti merupakan hasil
kompromistis dari kedua bentuk pembunuhan sebelumnya. Adapun ketiga klasifikasi pembunuhan itu
adlah sebagai berikut:[8]
1.        Pembunuhan dengan disengaja (qathlul amdi), yaitu pembunuhan yang yang dilakukan oleh
seorang mukallaf terhadap seseorang yang darahnya dilindungi, dengan memakai alat yang pada
kebiasaan alat tersebut dapat membuat orang mati. Dalam ajaran Islam, pembunuhan yang dilakukan
dengan disengaja terhadap orang-orang yang dilindungi jiwanya, dianggap sebagai suatu jarimah dan juga
dosa besar (akbarul kaba’ir). Hukuman jarimah ini apabila memenuhi persyaratan dan semua unsur-unsur
adalah dibunuh kembali. Adapun unsur-unsur pembunuhan disengaja ada tiga, yaitu:
a.       Orang yang dibunuh adalah manusia hidup, maksudnya ketika seseorang membunuh, si terbunuh
dalam keadaan hidup. Kerelaan orang yang dibunuh, misalkan karena penyakit yang tak kunjung sembuh
dan menyebabkan keputusasaan (mercy killing atau euthanasia), tidak mengurangi hukuman bagi si
pelaku. Karena kerelaan untuk dibunuh bukan termasuk kebolehan untuk melakukan pembunuhan, dan
bukan hal yang dibenarkan oleh syara’. Oleh sebab itu, ada ulama yang menetapkan sanksi dari perbuatan
ini adalah qishash.

َ ِ‫ ٰيٓايُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا ُكت‬...


َ ِ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ْالق‬
ۗ‫صاصُ فِےالقَ ْتلى‬
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan orang yang dibunuh…”(Q.S.
Al-Baqoroh: 178)
b.      Kematian korban merupakan hasil dari perbuatan si pembunuh. Misalkan dengan menggunakan
alat-alat yang lazim digunakan untuk membunuh.
c.       Adanya niat, karena apabila tidak ada niat, pastinya pelaku tidak akan menyiapkan dan
menggunakan alat yang lazim digunakan untuk membunuh.
Dan syarat-syarat pembunuhan dikategorikan sengaja adalah:[9]
a.       Pembunuh adalah orang yang berakal, baligh, dan sengaja membunuh.
b.      Si terbunuh hendaklah manusia yang darahnya dilindungi.
c.       Alat yang digunakan membunuh adalah alat yang pada kebiasaannya dapat mematikan.
2.        Pembunuhan tidak disengaja (qathlul ghairul amdi), menurut Sayyid Sabiq, pembunuhan tidak
disengaja ketidak sengajaan dalam dua unsur, yaitu perbuatan dan akibat yang ditimbulkan. Pembunuhan
ini disebut juga pembunuhan karena kesalahan. Contohnya, ketika seseorang yang membidik binatang
buruan, kemudian salah sasaran dan terkena kepada manusia yang darahnya dilindungi. Adapun unsur-
unsur pembunuhan tidak disengaja adalah:
a.       Perbuatan ini tidak disengaja atau tidak diniati.
b.      Kematian yang ditimbulkan tidak dikehendaki si pelaku.
c.       Adanya keterkaitan kausalitas antara perbuatan dan kematian.
3.        Pembunuhan semi disengaja (qathlu syighlul amdi), atau pembunuhan yang menyerupai
kesengajaan adalah tindakan yang sengaja dalam pemukulannya tetapi keliru dalam pembunuhannya.
Misalkan seseorang yang memukul dengan alat yang diyakini tidak akan menimbulkan kematian
seseorang, tetapi perbuatan tersebut ternyata menyebabkan kematian si korban pemukulan.
Menurut Sayyid Sabiq, pembunuhan menyerupai kesengajaan ini memiliki kemiripan dengan
pembunuhan disengaja, yaitu dari kesengajaan ia memukul. Adapun kemiripan dengan pembunuhan tidak
disengaja adalah alat yang digunakan tidak lazim dilakukan untuk membunuh.
Klasifikasi  pembunuhan dalam KUHP, ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan yang ditujukan
terhadap nyawa orang lain diatur dalam buku II bab XIX, yang terdiri dari 13 Pasal, yakni Pasal 338
sampai Pasal 350.Kejahatan terhadap nyawa orang lain terbagi atas beberapa jenis, yaitu :
1.        Pembunuhan Biasa (Pasal 338 KUHP)
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP merupakan tindak pidana dalam bentuk yang pokok,
yaitu delik yang telah dirumuskan secara lengkap dengan semua unsur-unsurnya.[10] Adapun rumusan
Pasal 338 KUHP adalah : “Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena
pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama limabelas tahun”.[11] Sedangkan Pasal 340 KUHP
menyatakan: “Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain
diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”[12]
Dari ketentuan dalam Pasal tersebut, maka unsur-unsur dalam pembunuhan biasa adalah sebagai berikut :
Unsur subyektif : perbuatan dengan sengaja
Unsur obyektif : perbuatan menghilangkan, nyawa, dan orang lain.
“Dengan sengaja” artinya bahwa perbuatan itu harus disengaja dan kesengajaan itu harus timbul seketika
itu juga, karena sengaja (opzet/dolus) yang dimaksud dalam Pasal 338 adalah perbuatan sengaja yang
telah terbentuk tanpa direncanakan terlebih dahulu, sedangkan yang dimaksud sengaja dalam Pasal 340
adalah suatu perbuatan yang disengaja untuk menghilangkan nyawa orang lain yang terbentuk dengan
direncanakan terlebih dahulu.[13]
Unsur obyektif yang pertama dari tindak pembunuhan, yaitu : “menghilangkan”, unsur ini juga diliputi
oleh kesengajaan; artinya pelaku harus menghendaki, dengan sengaja, dilakukannya tindakan
menghilangkan tersebut, dan ia pun harus mengetahui, bahwa tindakannya itu bertujuan untuk
menghilangkan nyawa orang lain.[14]
Berkenaan dengan “nyawa orang lain” maksudnya adalah nyawa orang lain dari si pembunuhan.
Terhadap siapa pembunuhan itu dilakukan tidak menjadi soal, meskipun  pembunuhan itu dilakukan 
terhadap bapak/ibu sendiri, termasuk juga pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 338 KUHP. Dari
pernyataan ini, maka undang-undang pidana kita tidak mengenal ketentuan yang menyatakan bahwa
seorang pembunuh akan dikenai sanksi yang lebih berat karena telah membunuh dengan sengaja orang
yang mempunyai kedudukan tertentu atau mempunyai hubungan khusus dengan pelaku.[15] Berkenaan
dengan unsur nyawa orang lain juga, melenyapkan nyawa sendiri tidak termasuk perbuatan yang dapat
dihukum, karena orang yang bunuh diri dianggap orang yang sakit ingatan dan ia tidak dapat
dipertanggung jawabkan.[16]
2.      Pembunuhan Dengan Pemberatan
Pembunuhan dengan pemberatan diatur Pasal 339 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :”Pembunuhan
yang diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan dan yang dilakukan dengan maksud untuk
memudahkan perbuatan itu, jika tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya
daripada hukuman, atau supaya barang yang didapatkannya dengan melawan hukum tetap ada dalam
tangannya, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua
puluh tahun.[17]
Perbedaan dengan pembunuhan Pasal 338 KUHP ialah : “diikuti, disertai, atau didahului oleh
kejahatan”. Kata “diikuti” dimaksudkan diikuti kejahatan lain. Pembunuhan itu dimaksudkan untuk
mempersiapkan dilakukannya kejahatan lain.Misalnya :A hendak membunuh B; tetapi karena B dikawal
oleh P maka A lebih dahulu menembak P, baru kemudian membunuh B. Kata “disertai” dimaksudkan,
disertai kejahatan lain; pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempermudah terlaksananya kejahatan lain
itu. Misalnya : C hendak membongkar sebuah bank. Karena bank tersebut ada penjaganya, maka C lebih
dahulu membunuh penjaganya. Kata “didahului” dimaksudkan didahului kejahatan lainnya atau
menjamin agar pelaku kejahatan tetap dapat menguasai barang-barang yang diperoleh dari
kejahatan. Misalnya : D melarikan barang yang dirampok. Untuk menyelamatkan barang yang dirampok
tersebut, maka D menembak polisi yang mengejarnya.[18]
Unsur-unsur dari tindak pidana dengan keadaan-keadaan yang memberatkan dalam rumusan Pasal 339
KUHP itu adalah sebagai berikut :
a.       Unsur subyektif : (1)dengan sengaja; (2)dengan maksud
b.      Unsur obyektif : (1)menghilangkan nyawa orang lain; (2)diikuti, disertai, dan didahului dengan
tindak pidana   lain; (3)untuk menyiapkan/ memudahkan pelaksanaan dari tindak pidana yang akan,
sedang atau telah dilakukan; (4)untuk menjamin tidak dapat dipidananya diri sendiri atau lainnya
(peserta) dalam tindak pidana yang bersangkutan; (5)untuk dapat menjamin tetap dapat dikuasainya
benda yang telah diperoleh secara melawan hukum, dalam ia/mereka kepergok pada waktu melaksanakan
tindak pidana.[19]
Unsur subyektif yang kedua “dengan maksud” harus diartikan sebagai maksud pribadi dari pelaku; yakni
maksud untuk mencapai salah satu tujuan itu (unsur obyektif), dan untuk dapat dipidanakannya pelaku,
seperti dirumuskan dalam Pasal 339 KUHP, maksud pribadi itu tidak perlu telah terwujud/selesai, tetapi
unsur ini harus didakwakan oleh Penuntut Umum dan harus dibuktikan di depan sidang pengadilan.
Sedang unsur obyektif yang kedua, “tindak pidana” dalam rumusan Pasal 339 KUHP, maka termasuk
pula dalam pengertiannya yaitu semua jenis tindak pidana yang (oleh UU) telah ditetapkan sebagai
pelanggaran-pelanggaran dan bukan semata-mata jenis-jenis tindak pidana yang diklasifikasikan dalam
kejahatan-kejahatan. Sedang yang dimaksud dengan “lain-lain peserta” adalah mereka yang disebutkan
dalam Pasal 55 dan 56 KUHP, yakni mereka yang melakukan (pleger), yang menyuruh melakukan
(doenpleger), yang menggerakkan/membujuk mereka untuk melakukan tindak pidana yang bersangkutan
(uitlokker), dan mereka yang membantu/turut serta melaksanakan tindak pidana tersebut (medepleger).
[20]
Jika unsur-unsur subyektif atau obyektif yang menyebabkan pembunuhan itu terbukti di Pengadilan,
maka hal itu memberatkan tindak pidana itu, sehingga ancaman hukumannya pun lebih berat dari
pembunuhan biasa, yaitu dengan hukuman seumur hidup atau selama-lamanya dua puluh tahun. Dan jika
unsur-unsur tersebut tidak dapat dibuktikan, maka dapat memperingan atau bahkan menghilangkan
hukuman.
3.      Pembunuhan Berencana
Pembunuhan berencana diatur oleh Pasal 340 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :”Barang siapa
sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan
dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu, paling lama dua puluh tahun.”[21]
Pengertian “dengan rencana lebih dahulu” menurut M.v.T. pembentukan Pasal 340 diutarakan, antara lain
:“dengan rencana lebih dahulu” diperlukan saat pemikiran dengan tenang dan berfikir dengan tenang.
Untuk itu sudah cukup jika si pelaku berpikir sebentar saja sebelum atau pada waktu ia akan melakukan
kejahatan sehingga ia menyadari apa yang dilakukannya.[22]
Sedangkan, M.H. Tirtaamidjaja mengutarakan “direncanakan lebih dahulu” antara lain sebagai : “bahwa
ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk berfikir dengan
tenang.”[23] Sedangkan Chidir Ali, menyebutkan: Yang dimaksud dengan direncanakan lebih dahulu,
adalah suatu saat untuk menimbang-nimbang dengan tenang, untuk memikirkan dengan tenang.
Selanjutnya juga bersalah melakukan perbuatannya dengan hati tenang.[24]
Dari rumusan tersebut, maka unsur-unsur pembunuhan berencana adalah sebagai berikut :
a.       Unsur subyektif, yaitu dilakukan dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu
Unsur obyektif, yaitu menghilangkan nyawa orang lain.[25]
Jika unsur-unsur di atas telah terpenuhi, dan seorang pelaku sadar dan sengaja akan timbulnya suatu
akibat tetapi ia tidak membatalkan niatnya, maka ia dapat dikenai Pasal 340 KUHP.
4.      Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya (kinder-doodslag)
Hal ini diatur oleh Pasal 341 KUHP yang bunyinya sebagai berikut : “Seorang ibu yang dengan sengaja
menghilangkan jiwa anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak berapa lama sesudah dilahirkan karena
takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan anak dihukum karena pembunuhan anak dengan hukuman
penjara selama-lamanya tujuh tahun.[26] Unsur pokok dalam Pasal 341 tersebut adalah bahwa seorang
ibu dengan sengajamerampas nyawa anaknya sendiri pada saat ia melahirkan anaknya atau tidak berapa
lama setelah anak dilahirkan. Sedangkan unsur yang penting dalam rumusan Pasal tersebut adalah bahwa
perbuatannya si ibu harus didasarkan atas suatu alasan (motief), yaitu didorong oleh perasaan takut akan
diketahui atas kelahiran anaknya.[27] Jadi Pasal ini hanya berlaku jika anak yang dibunuh oleh si ibu
adalah anak kandungnya sendiri bukan anak orang lain, dan juga pembunuhan  tersebut haruslah pada
saat anak itu dilahirkan atau belum lama setelah dilahirkan. Apabila anak yang dibunuh itu telah lama
dilahirkan, maka pembunuhan tersebut tidak termasuk dalam kinderdoodslag melainkan pembunuhan
biasa menurut Pasal 338 KUHP.
5.      Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya Secara Berencana (kinder-moord)
Hal ini diatur oleh Pasal 342 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :”Seorang ibu dengan sengaja akan
menjalankan keputusan yang diambil sebab takut ketahuan bahwa ia tidak lama lagi akan melahirkan
anak, menghilangkan jiwa anaknya itu pada saat dilahirkan atau tidak lama kemudian daripada itu
dihukum karena membunuh bayi secara berencana dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan
tahun.”[28]
Pasal 342 KUHP  dengan Pasal 341 KUHP  bedanya adalah bahwa Pasal 342 KUHP, telah direncanakan
lebih dahulu, artinya sebelum melahirkan bayi tersebut, telah dipikirkan dan telah ditentukan cara-cara
melakukan pembunuhan itu dan mempersiapkan alat-alatnya. Tetapi pembunuhan bayi yang baru
dilahirkan, tidak memerlukan peralatan khusus sehingga sangat rumit untuk membedakannya dengan
Pasal 341 KUHP khususnya dalam pembuktian karena keputusan yang ditentukan hanya si ibu tersebut
yang mengetahuinya dan baru dapat dibuktikan jika si ibu tersebut telah mempersiapkan alat-alatnya.
6.      Pembunuhan Atas Permintaan Sendiri
Hal ini diatur oleh Pasal 344 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :” arangsiapa menghilangkan jiwa
orang lain atas permintaan orang lain itu sendiri, yang disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh,
dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.[29] Pasal 344 ini membicarakan mengenai
pembunuhan atas permintaan dari yang bersangkutan. Unsur khususnya, yaitu permintaan yang tegas dan
sungguh/nyata, artinya jika orang yang minta dibunuh itu permintaanya tidak secara tegas dan nyata, tapi
hanya atas persetujuan saja, maka dalam hal ini tidak ada pelanggaran atas Pasal 344, karena belum
memenuhi perumusan dari Pasal 344, akan tetapi memenuhi perumusan Pasal 338 (pembunuhan biasa).
Contoh dari pelaksanaan Pasal 344 KUHP adalah jika dalam sebuah pendakian (ekspedisi), dimana kalau
salah seorang anggotanya menderita sakit parah sehingga ia tidak ada harapan untuk meneruskan
pendakian mencapai puncak gunung, sedangkan ia tidak suka membebani kawan-kawannya dalam
mencapai tujuan; di dalam hal ini mungkin ia minta dibunuh saja.
7.      Penganjuran Agar Bunuh Diri
Hal ini diatur oleh Pasal 345 KUHP yang bunyinya sebagai berikut : “Barangsiapa dengan sengaja
membujuk orang supaya membunuh diri, atau menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi ikhtiar
kepadanya untuk itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, kalau jadi
orangnya bunuh diri.”[30] Yang dilarang dalam Pasal ini adalah dengan sengaja menganjurkan atau
memberi daya upaya kepada orang lain, untuk bunuh diri dan kalau bunuh diri itu benar terjadi. Jadi
seseorang dapat terlibat dalam persoalan itu dan kemudian dihukum karena kesalahannya, apabila  orang
lain menggerakkan atau membantu atau memberi daya upaya untuk bunuh diri; dan baru dapat dipidana
kalau nyatanya orang yang digerakkan dan lain sebagainya itu membunuh diri dan mati karenanya.
Unsur “jika pembunuhan diri terjadi” merupakan “bijkomende voor-waarde van strafbaarheid”, yaitu
syarat tambahan yang harus dipenuhi agar perbuatan yang terlarang/dilarang tadi dapat dipidana.[31]
8.      Pengguguran Kandungan
Kata “pengguguran kandungan” adalah terjemahan dari kata “abortus provocatus” yang dalam Kamus
Kedokteran diterjemahkan dengan : “membuat keguguran”. Pengguguran kandungan diatur dalam KUHP
oleh Pasal-Pasal 346, 347, 348, dan 349. Jika diamati Pasal-Pasal tersebut maka akan dapat diketahui
bahwa ada tiga unsur atau faktor pada kasus pengguguran kandungan, yaitu ;
janin
ibu yang mengandung
orang ketiga, yaitu yang terlibat pada pengguguran tersebut.[32]
Tujuan Pasal-Pasal tersebut adalah untuk melindungi janin. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia
dimuat arti “janin” sebagai  (1) bakal bayi (masih di kandungan (2) embrio setelah melebihi umur dua
bulan. Perkataan “gugur kandungan” tidak sama dengan “matinya janin”. Kemungkinan, janin dalam
kandungan dapat dibunuh, tanpa gugur. Namun pembuat undang-undang dalam rumusan KUHP, belum
membedakan kedua hal tersebut.[33]
Pengaturan KUHP mengenai “pengguguran kandungan” adalah sebagai berikut :
1)      Pengguguran Kandungan Oleh si Ibu
Hal ini diatur oleh Pasal 346 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :” Perempuan dengan sengaja
menyebabkan gugur atau mati kandungannya atau menyuruh orang lain menyebabkan itu dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.”[34]
2)      Pengguguran Kandungan oleh Orang Lain Tanpa Izin Perempuan yang Mengandung
Hal ini diatur oleh KUHP Pasal 347 yang bunyinya sebagai berikut :(1) Barang siapa dengan sengaja
menyebabkan gugur atau mati kandungan seseorang perempuan tidak dengan izin perempuan itu,
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun; (2)  Jika perbuatan itu berakibat
perempuan itu mati, ia dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.[35]
3)      Pengguguran Kandungan dengan Izin Perempuan yang Mengandungnya
Hal ini diatur oleh Pasal 348 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :”(1) Barangsiapa dengan sengaja
menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang perempuan dengan izin perempuan itu, dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan; (2) Jika perbuatan itu berakibat
perempuan itu mati, ia dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.[36]
C.      Akibat Dari Pembunuhan Menurut Hukum Islam
Setelah membahas dari klasifikasi pembunuhan menurut Islam, maka dari setiap jenis memiliki akibat
atau sanksi yang berbeda, berikut akan diuraikan sanksi pembunuhan menurut Islam.[37]
1.         Sanksi Atas Pembunuhan yang Disengaja
Pembunuhan yang disengaja, akan membawa akibat kepada empat perkara, yaitu:
a.       Dosa;
b.      Terhlang dari hak waris;
c.       Membayar kifarat;
d.      Di-qishash atau mendapat amnesti.
Si pembunuh sama sekali tidak mendapat warisan dari harta si terbunuh, apabila yang membunuh adalah
ahli waris, baik membunuh karena disengaja atau karena kesalahan. Ulama ushul fiqh dalam masalah ini
menetapkan kaidah: “barang siapa tergesa-gesa untuk mendapatkan sesuatu sebelum saatnya, maka ia
diganjar dengan tidak mendapatkannya.”
Rasulullah SAW, pernah bersabda:
)‫َيءٌ(روه ابوداود النساءى وابن ماجه‬ ِ ‫ْس لِ ْلقَاتِ ِل ِمنَ ال ِمي َْرا‬
ْ ‫ثش‬ َ ‫لَي‬
Artinya: “pembunuh tidak mempunyai hak mewarisi sesuatu….”
Apabila seseorang melakukan pembunuhan maka diwajibkan kepadanya hukumanqishash, namun apabila
wali si terbunuh atau korban memberikan ampunan, hendaklah membayar diyat pada keluarga korban.
Dan dikenakan diyat berat yaitu seratus ekor unta, dengan perincian: 30 ekor unta betina usia 3-4 tahu, 30
ekor unta betina usia 4-5 tahun, dan 40 ekor unta betina yang sedang hamil. Diyat ini wajib dibayar tunai
oleh orang yang membunuh. Dan alangkah utamanya apabila wali korban memaafkannya. Ini didasarkan
pada ayat Q.S Al-Baqoroh: 178

ٍ ۗ ‫ف َواَدَٓاا ٌءاِلَ ْي ِه بِاِحْ َس‬


...‫ان‬ ْ ‫فَ َم ْن ُعفِ َي لَهُ ِم ْن ا ِخ ْي ِه‬...
ٌ ‫شي ٌء فَاتِّبَا‬
ِ ْ‫ع ِبال َم ْعرُو‬
“…maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat), kepada yang memberi
maaf dengan cara yang baik (pula)…” (Al-Baqoroh: 178)
Serta pembunuh diwajibkan membayar kifarat ini didasarkan pada hadits Imam Ahmad meriwayatkan
sebuah hadits dari Wa’ilah bin Ashaqa bahwa pada suatu hari dating kepada nabi SAW sekolompok
orang  dari kalangan bani Salim. Mereka mengadukan permasalahan yang sedang mereka hadapi kepada
beliau, “ada seseorang di antara kami yang wajib atasnya membayar diyat.”Rasulullah SAW menjawab:

ِ َّ‫فَ ْليُ ْعتِ ْق َرقَبةً يَ ْف ِدي هللا بِك ِّل ُغضْ ٍو ِم ْنهَا ُغضْ ًوا ِم ْنهُ ِمنَ الن‬
)‫ار (رواه احمد‬
Artinya: “hendaknya ia memerdekakan maka kelak Allah akan menebus setiap anggota tubuhnya dengan
setiap anggota tubuh budak tersebut, sehingga ia selamat dari neraka.”(H.R Ahmad)
            Adapun bila wali si korban menuntut qishash, maka pembunuh tidak diwajibkan atasnya
membayar kifarat, karena qishash itu sendiri sebagai kifaratnya. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Nua’aim dalam kitab Al-Ma’rifah bahwa Nabi SAW, bersabda
ُ‫ْالقَ ْت ُل َكفَّا َرة‬

      Artinya: “Qishash itu adalah kifarat”


2.         Sanksi Pembunuhan Tidak Sengaja
Pembunuhan karena tidak sengaja atau karena suatu kesalahan membawa kepada dua konsekuensi, ini
didasarkan pada ayat Al-Qur’an yang mmenerangkan Q.S An-Nissa: 92.
ٓ ٰ ٌ‫و َم ْن قَتَ َل ُم ْؤ ِمنًا َخطَأ فَتَحْ ِر ْي ُر َرقَبَ ٍة ُّم ْؤ ِمنَ ٍة َّو ِديَةٌ ُّم َسلَّ َمة‬...
‫الى اَهلِ ٓه‬ َ
“…dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, (hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarga si terbunuh…”(Q.S.
An-Nissa: 92)
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sanksi bagi pembunuhan tidak disengaja adalah sebagai berikut:
a.      Diyat ringan, yang dibebankan atas keluarga pembunuh untuk membayarnya dan boleh membayar
secara berangsur-angsur sampai tiga tahun. Diyatnya berupa 100 ekor unta, dengan perincian: 20 ekor
unta betina usia 1-2 tahun, 20 ekor unta betina usia 2-3 tahun, 20 ekor unta jantan usia 2-3 tahun, 20 ekor
unta betina usia 3-4 tahun, 20 ekor unta betina usia 4-5 tahun. Dan tiap-tiap akhir tahun harus dibayar
sepertiganya.
b.      Kifarat, yaitu memerdekakan budak muslim tanpa cacat , bilamana pelaku tidak dapat memenuhinya
maka diwajibkan berpuasa selama dua bulan berturut-turut.
3.         Pembunuhan Semi Disengaja
       Pembunuhan semi disengaja atau serupa dengan kesengajaan mengharuskan pembunuhnya untuk
membayar diyat berat, yaitu: seratus ekor unta, dengan perincian: 30 ekor unta betina usia 3-4 tahu, 30
ekor unta betina usia 4-5 tahun, dan 40 ekor unta betina yang sedang hamil. Diyat ini wajib dibayar tunai
oleh orang yang membunuh.
Adapun hukum qishash diwajibkan apabila orang yang membunuh memenuhi syarat-syarat dikenakannya
seseorang hukum qishash. Adapun syaratnya adalah sebagai berikut:[38]
a.       Orang yang terbunuh terlindungi darahnya, apabila yang dibunuh adalh kafirharbi, orang yang zina
muhshan, atau orang yang murtad, maka pembunuh tidak dikenakan hukum qishash ataupun keharusan
membayar diyat, ini dikarenakan yang dibunuh adalah orang yang tersia-siakan darahnya dan tidak
dilindungi. Rasulullah Saw bersabda:

ٍ ِ‫اليُ ْقتَ ُل ُمسلِ ٌم ب‬


)‫(رواهالبخارى‬ ‫كافر‬
Artinya: “Orang Islam tidak dibunuh sebab ia membunuh orang kafir.” (H.R Bukhari)
b.      Orang yang membunuh sudah baligh dan berakal, hukum qishash tidak dikenakan pada anak keci,
orang gila, dan orang yang berkebutuhan khusus atau perkembangan akalnya terganggu, karena mereka
bukan orang yang terkena talif syar’i.
c.       Orang yang dibunuh tidak kurang derajatnya dari orang yang membunuh atau sederajat.
Dan  hendaklah ia membayar kifarat. Ini didasarkan pada Q.S Al-Baqaroh : 178
‫بال ُح ِّر َو ْال َع ْب ُد بِ ْال َع ْب ِد‬
ْ ُّ‫صاصُ فِےالقَ ْتلى اَ ْلحُر‬ َ ِ‫ٰيٓايُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا ُكت‬
َ ِ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ْالق‬
“hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan orang yang dibunuh, orang
merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya…”(Q.S Al-Baqoroh: 178)
d.      Pembunuh adalah orang tua dari si korban, ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Imam
Tirmidzi dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Saw, bersabda:
)‫(رواه الترمذى‬ ‫اليَ ْقتُ ُل ال َولِ ُد بِ ْال َول ِد‬
Artinya: Orang tua tidak diqishash oleh sebab membunuh anaknya.” (H.R Tirmidzi)
e.       Pembunuh dalam kondisi bebas memilih, karena bila pembunuh dalam kondisi dipaksa, maka ia
tidak memiliki hak memilih dicabut, dan tanggung jawab tidak dibebankan kepada orang yang tidak
memiliki hak pilih.
Qishash dilaksanakan setelah ada kesepakatan dengan wali korban, qishash dirasakan perlu kepada
seseorang yang kemungkinan besar akan melakukan kejahatan yang sama apabila tidak dijatuhi
hukum qishash. Qishash hendaknya dilakukan setelah ada wali dari pihak korban, dan
hukuman qishash dilaksanakan sama dengan kejahatan yang dilakukan pada korban,
karena qishash menuntut persamaan. Allah SWT berfirman dalam Q.S An-Nahl: 126:
Dan hukum qishash menjadi hak hakim, dan qishash dapat gugur apabila ada ampunan dari pihak wali
korban, atau pembunuh telah mati terlebih dahulu sebelum diqishash.
D.      Pembunuhan Menurut Hukum Positif
Adapun sanksi tindak pidana pembunuhan sesuai dengan KUHP bab XIX buku II adalah sebagai berikut :
Pembunuhan biasa, menurut pasal 338 diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas
tahun
Pembunuhan dengan pemberatan, menurut 339 diancam dengan hukuman penjara seumur hidup atau
penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun
Pembunuhan berencana, menurut 340 diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau
penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun
Pembunuhan bayi oleh ibunya, menurut pasal 341 diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya
tujuh tahun
Pembunuhan bayi oleh ibunya secara berencana, menurut pasal 342 diancam dengan hukuman penjara
selama-lamanya sembilan tahun
Pembunuhan atas permintaan sendiri, menurut pasal 344 bagi orang yang membunuh diancam dengan
hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun
Penganjuran agar bunuh diri, menurut pasal 345 jika benar-benar orangnya membunuh diri pelaku
penganjuran diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun
Pengguguran kandungan
a.         Pengguguran kandungan oleh si ibu, menurut pasal 346 diancam dengan hukuman penjara selama-
lamanya empat tahun
b.         Pengguguran kandungan oleh orang lain tanpa izin perempuan yang mengandung, menurut pasal
347 diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya : (1)dua belas tahun;(2) lima belas tahun, jika
perempuan itu mati.
c.         Pengguguran kandungan dengan izin perempuan yang mengandungnya, menurut pasal 348
diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya :(1) lima tahun enam bulan;(2)tujuh tahun, jika
perempuan itu mati
Adapun alasan-alasan yang menghilangkan sifat tindak pidana dibedakan dalam dua kategori, yaitu :
1.      Alasan yang membenarkan atau menghalalkan perbuatan pidana, adalah :
a.       Keperluan membela diri atau noodweer (Pasal 49 ayat 1 KUHP)
b.      Melaksanakan ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP)
c.       Melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh seorang penguasa yang berwenang (Pasal 51
ayat 1 KUHP)
Ketiga alasan ini menghilangkan sifat melawan hukum dari suatu tindakan sehingga perbuatan si pelaku
menjadi diperbolehkan.
2.      Alasan yang memaafkan pelaku, hal ini termuat dalam :
a.       Pasal 44 ayat 1 KUHP, yang menyatakan seseorang tidak dapat dipertanggung jawabkan
perbuatannya, disebabkan jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu
karena penyakit (ziekelijke storing)
b.      Pasal 48 KUHP, yang menyatakan seseorang yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya
paksa, tidak dipidana
c.       Pasal 49 ayat 2 KUHP, menyatakan bahwa pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang
langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak
dipidana.
d.      Pasal 51 ayat 2 KUHP,  menyatakan terhapusnya pidana karena perintah jabatan tanpa wenang, jika
yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wenang, dan
pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaanya.
Ketentuan-ketentuan tentang alasan dan hal-hal yang mempengaruhi pemidanaan ini bersifat umum,
sehingga berlaku juga pada kejahatan terhadap nyawa.
E.       Hikmah Diterapkannya Hukum Qishash dan Pembayaran Diyat
Qishash memiliki arti persamaan. Pada dasarnya dengan dilaksanakannya hukumqishash ini akan tercipta
kehidupan yang tenang, dan dengan sendirinya masyarakat akan terpelihara dari penganiayaan dan
permusuhan. Dengan qishash akan menghapuskan kejahatan pembunuhan, atau paling tidak mengurangi
pembunuhan.
‫ْالقَ ْت ُل اَ ْنفى لِلقَ ْت ُل‬
“Membunuh itu akan menghapus pembunuhan.”
       Karena, bila seseorang pembunuh hanya sekedar di penjara, dikhawatirkan setelah ia terbebas dari
penjara, masih memiliki dendam dan hendak membunuh kembali. Atau bahkan si pembunuh karena ia
memang ingin tinggal di penjara tanpa harus memikirkan persoalan hidup. [39]
       Adapun diyat dimaksudkan agar jangan sampai terjadi kejahatan yang serupa sekaligus melindungi
jiwa jangan sampai dianggap remeh. Melihat kenyataan ini, maka denda dengan pembayaran yang
memberatkan dirasa harus, agar si pelaku menjadi jera. Dengan demikian diyat dianggap sebagai
pembalasan yang mencakup hukuman dan penggantian. [40]
       Dan dengan penerapan qishash dan diyat, masyarakat akan bersih dari tindakan pidana yang dapat
mengacaukan ketertiban umum dan mengganggu stabilitas masyarakat
BAB III
PENUTUP

          Manusia merupakan makhluk Allah yang paling mulia, manusia memilki hak yang paling utama
dan wajib mendapat perhatian ialah hak hidup, yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun. Dan
pembunuhan merupakan suatu jalan untuk melanggar hak tersebut.Pembunuhan adalah perampasan hak
hidup seseorang atau peniadaan nyawa seseorang oleh orang lain yang dapat mengakibatkan tidak
berfungsinya seluruh anggota badan disebabkan ketiadaan roh, baik perbuatan tersebut dilakukan dengan
sengaja maupun tidak sengaja. Dalam hukum pidana Islam, pembunuhan termasuk ke dalam jarimah
qishash-diyat (tindakan pidana yang bersanksikan hukum qishash atau diyat)..Pembunuhan menurut Islam
dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu:
a.       Pembunuhan disengaja (qathlul amdi), yang dihukumi qishash, dan apabila diampuni oleh wali
korban hendaklah membayar diyat dan kifarat.
b.      Pembunuhan tidak disengaja (qathlul ghairul amdi), pembunuhan ini dihukumdiyat ringan atau
kifarat.
c.       Pembunuhan semi disengaja (qathlul syighrul amdi), pembunuhan ini dihukumidiyat berat.
       Adapun hikmah dibalik penerapan qishash dan diyat ini agar ada efek jera dantercipta kehidupan
yang tenang, dan dengan sendirinya masyarakat akan terpelihara dari penganiayaan dan permusuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Chidir. 1985. Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidan.Bandung: Armico.
Al-Maraghi , Ahmad Mustafa, 1984. Terjemahan Tafsir Al-Maraghi. Semarang; Toha Putra. Juz II.
‘Audah, Abdul Qadir. at-Tasyri’i al-Jina’i al-Islami.  Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi. t.t. Jilid II.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1989. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Damaskus: Dar al-Fikr. Jilid: II. Cet. 3.
Bassar, M. Sudradjat. 1986. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP. Bandung: Remaja Rosda
Karya. Cet. 2.
Hakim, Rahmat. 2010. Hukum Pidana Islam. Bandung: Pustaka Setia. Cet. 2.
Lamintang, P.A.F. 1986. Delik-Delik Khusus. Bandung: Bina Cipta. Cet.1.
Marpaung, Leiden. 1991. Unsur-unsur Perbuatan yang dapat Dihukum. Jakarta: Grafika.
Moeljatno. KUHP.
Rasjid, Sulaiman. 2008. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Cet. 41.
Sabiq , Sayyid, Ter. H. A. Ali. 1997. Fikih Sunnah. Bandung: Al-Maarif.  Jilid 10. Cet. ke-8.
Sabiq, Sayyid. Ter. Nor Hasanuddin, dkk. 2006. Fiqhus Sunnah. Jakarta: Pena Budi Aksara. Jilid. III. Cet.
1.
Tirtaatmadja. 1955. Pokok-pokok Hukum Pidana. Jakarta: Fasco.
Warson, Ahmad. 1992. Al-Munawwir. Yogyakarta; Pustaka Progresif. Cet. 1.

[1] Ahmad Warson, Al-Munawwir, Cet. ke-1,(Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1992), hlm. 172.


[2] Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Cet. ke-3, ( Damaskus: Dar al-Fikr, 1989, Jilid:
VI ),hlm. 217.
[3] Abdul Qadir ‘Audah, at-Tasyri’i al-Jina’i al-Islami, ( Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.t.), Jilid II,
hlm. 6.
[4] Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, Cet. ke-2, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 113.
[5] P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus, Cet. ke-1 (Bandung:  Bina Cipta, 1986), hlm. 1.
[6] Ibid.
[7] Rahmat Hakim, op.cit. hlm.116.
[8] Ibid, hlm. 118.
[9] Sayyid Sabiq, Ter. Nor Hasanuddin, dkk,  Fiqhus Sunnah,Cet. ke-1 (Jakarta: Pena Budi Aksara,
2006), Jilid III, hlm. 411.
[10] P.A.F Laminating, op.cit, hlm. 17.
[11] Moeljatno, KUHP, hlm. 147.
[12] Ibid.
[13] P.A.F Laminating, op.cit, hlm. 30-31.
[14] Ibid., hlm. 31.
[15] Ibid., hlm. 35.
[16] M. Sudradjat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, Cet. ke-2, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1986), hlm. 122.
[17] Moeljatno, KUHP, hlm.147.
[18] Leiden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang dapat Dihukum (Jakarta: Grafika, 1991), hlm. 30.
[19] P.A.F. Lamintang, op.cit., hlm. 37.

[20] Ibid., hlm. 36. Lihat juga Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak
Pidana, (Bandung: Armico, 1985), hlm.9.
[21] Moeljatno, KUHP., hlm. 147.
[22] Leden Marpaung, op.cit, hlm.31.
[23] Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Fasco, 1955)
[24] Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana , (Bandung: Armico,
1985), hlm. 74.
[25] P.A.F. Lamintang, op.cit., hlm. 44.
[26] Moeljatno, op.citP., hlm.147.
[27] Chidir Ali, op.cit., hlm. 76.
[28] Moeljatno,op.cit, hlm.147-148.
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Chidir Ali, Responsi., hlm. 76.
[32] Leden Marpaung, op.cit., hlm.46.
[33] Ibid, hlm.47.
[34] Molejatno,op.cit, hlm. 148.
[35] Ibid.
[36] Ibid., hlm. 149.
[37] Sayyid Sabiq, op.cit, hlm.417.
[38] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam,Cet. ke-41, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2008), hlm. 431.
[39] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemahan Tafsir Al-Maraghi, (Semarang; Toha Putra, 1984), Juz II,
hlm. 112.
[40] Sayyid Sabiq, Ter. H. A. Ali, Fikih Sunnah,, Cet. ke-8, (Bandung: Al-Maarif, 1997), Jilid 10, hlm.
93.

Anda mungkin juga menyukai