Anda di halaman 1dari 40

PRESENTASI KASUS

G1P0A0H0 Gravid Aterm 38-39 Minggu + PEB dalam


Regimen MgSO4 Dosis Maintenance + Asma Bronkial

UNIVERSITAS ANDALAS

oleh :
dr. Calvindra Leenesa
Peserta PPDS OBGIN

Pembimbing :
dr. H. Erman Ramli, SpOG(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS)


OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP M. DJAMIL PADANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Hipertensi terjadi pada 10-15% seluruh kehamilan di dunia. Ini merupakan


sindrom paling umum yang terjadi sebagai salah satu penyebab utama kematian
ibu dan bayi.1 2 Setiap tahunnya sindrom ini terjadi pada jutaan wanita hamil yang
tidak memiliki riwayat hipertensi sebelumnya. 1,2 Berdasarkan data ASEAN
Statistical Report on Millennium Development Goals 2017, angka kematian ibu di
Indonesia pada tahun 2015 menempati urutan kedua tertinggi dengan 305/100.000
kelahiran hidup. Angka ini meningkat pesat dibandingkan pada tahun 2010 lalu
dengan 228 / 100.000 kelahiran hidup.3
Preeklampsia merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu setiap
tahunnya dilaporkan 50.000-60.000 orang meninggal dunia. Etiologi terjadinya
preeklampsi masih belum diketahui. Tetapi patofiologiny disebabkan oleh
plasenta iskemik dimana terjadi hipoperfusi pada perkembangan plasenta.
Plasenta yang hipoxia mengeluarkan antiangiogenic dan pro inflammatory factor
yang menyebabkan disfungsi endotel pembuluh darah ibu, hipertensi, dan
kerusakan organ lainnya.4
Asma merupakan salah satu penyakit saluran nafas yang sering dijumpai
dalam kehamilan dan persalinan. Pengaruhnya terhadap kehamilan dan
persalinanpun tidaklah selalu sama pada setiap penderita, bahkan pada seorang
penderita asma, serangannya tidak sama pada kehamilan pertama dan berikutnya.
Kurang dari sepertiga penderita asma akan membaik dalam kehamilan, lebih dari
sepertiga akan menetap, serta kurang dari sepertiga lagi akan menjadi buruk atau
serangan akan bertambah. Biasanya serangan akan timbul pada umur kehamilan
24 minggu sampai 36 minggu, dan pada akhir kehamilan serangan jarang terjadi.5
Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat tergantung dari sering dan
beratnya serangan, karena ibu dan janin akan kekurangan oksigen (O2) atau
hipoksia. Keadaan hipoksia bila tidak segera diatasi tentu akan berpengaruh pada
janin, dan sering terjadi keguguran, persalinan prematur atau berat janin tidak
sesuai dengan usia kehamilan (gangguan pertumbuhan janin).5
BAB II

KASUS

Nama : Ny. A
Umur : 28 tahun
Alamat : Bukittinggi
No. RM : 219035
Pendidikan : SMA

Seorang pasien wanita, 28 tahun, masuk PONEK RSUD. Dr. Achmad


Mochtar Bukittinggi pada tanggal 18 Februari 2018 pukul 11.30 WIB, kiriman RS
YARSI Bukittinggi dengan diagnosis G1P0A0H0 gravid aterm 38-39 minggu +
PEB + Asma bronkial.

Riwayat penyakit sekarang :


 Sebelumnya pasien datang untuk kontrol kehamilan ke RS YARSI,
didapatkan tekanan darah 180/100 mmHg. Pasien diberikan Metildopa 500
mg, Nifedipine 10 mg. Pasien dirujuk ke RSUD Achmad Mochtar
Bukittinggi dengan alasan ruangan penuh, serta terpasang infus dan
kateter.
 Keluhan nyeri kepala (-), nyeri ulu hati (-), pandangan mata kabur (-)
 Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (-)
 Keluar lendir campur darah (-)
 Keluar air-air yang banyak dari kemaluan (-)
 Keluar darah yang banyak dari kemaluan (-)
 Tidak haid sejak  9 bulan yang lalu
 HPHT : 27-05-2018 TP : 04-03-2019
 Gerak janin dirasakan  5 bulan yang lalu
 Riwayat hamil muda : Mual (+), muntah (-), perdarahan (-)
 Riwayat ANC : Kontrol Bidan sejak usia kehamilan 2, 4, 5, 6 dan 8 bulan,
tidak pernah didapatkan tekanan darah tinggi. Kontrol SpOG 1x usia
kehamilan 9 bulan dan ditemukan dengan tensi tinggi
 Riwayat hamil tua : Mual (+), muntah (-), perdarahan (-)
 Riwayat menstruasi : Menarche usia 13 tahun, siklus teratur 28 hari, lama
5-7 hari, ganti pembalut 2-3 x/hari, nyeri haid (-)

Riwayat penyakit dahulu


Menderita penyakit asma bronkial dalam terapi.
Tidak ada riwayat penyakit jantung, hati, ginjal, DM, hipertensi, dan alergi tidak
ada.

Riwayat penyakit keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit keturunan dan kejiwaan.

Riwayat perkawinan : 1x tahun 2018


Riwayat kehamilan/abortus/persalinan : 1/0/0
1. Sekarang
Riwayat kontrasepsi : Tidak ada
Riwayat imunisasi : Tidak ada
Riwayat kebiasaan : Merokok (-), narkoba (-), minum alkohol (-)

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis
Keadaan umum : Sedang Keadaan gizi : Sedang
Kesadaran : CMC TB : 157 cm
Tekanan darah : 160 / 100 mmHg BB : 53 kg
Frekuensi nadi : 84x /menit BMI : 21,5 (normoweight)
Frekuensi nafas : 26 x /menit LILA : 24 cm
Suhu : 36.80C

Mata : Konjungtiva anemis (-/-) , sklera ikterik (-/-)


Leher : JVP 5-2 cm H2O, kelenjar tiroid tidak membesar

Thorak :
Paru
I : Pergerakan simetris kiri = kanan
Pa : Fremitus normal kiri = kanan
Pe : Sonor, kiri = kanan
Au : Vesikuler normal, wheezing ( - ), ronkhi ( - )
Jantung
I : Iktus tidak terlihat
Pa : Iktus teraba satu jari medial LMCS RIC V
Pe : Batas jantung dalam batas normal
Au : Murni, teratur, bising ( - )
Abdomen : Status obstetrikus
Genitalia : Status obstetrikus
Ekstremitas : Edema +/+, RF + / +, RP-/-

Status obstetrikus

Abdomen :
Inspeksi : Tampak membuncit sesuai usia kehamilan aterm, Linea
mediana hiperpigmentasi, striae gravidarum (+), sikatrik (-)
Palpasi
LI : Teraba fundus uteri 3 jari dibawah proc. xyphoideus
Teraba massa besar, lunak, noduler
L II : Teraba tahanan terbesar di sebelah kiri
Teraba bagian-bagian kecil di sebelah kanan
L III : Teraba massa bulat keras, terfiksir
L IV : Konvergen
TFU : 33 cm His: (-)
Auskultasi : DJJ : 130-140 x/menit

Genitalia :
Inspeksi : V/U tenang, PPV (-)
VT : Pembukaan 1-2 cm, ketuban (+), penipisan portio 40-50%,
medial, UUK lintang, Hodge I-II
Bishop score : 6
TBJ : 3255 gr

USG

- Janin hidup hunggal intrauterin presentasi kepala


- Aktivitas gerak janin baik
- Biometri : BPD : 94,2 mm
AC : 348,6 mm
FL : 74,9 mm
EFW : 3275 gr
SDP : 5,23 cm
FHR : 137 x/mnt
- Plasenta di korpus depan maturasi grade II-III
Kesan : Gravid 38-39 minggu sesuai biometri
Janin hidup tunggal intrauterine presentasi kepala

CTG :

Baseline :135x/mnt
Variabilitas : 5-10
Akselerasi : (+)
Deselerasi : (-)
Gerak janin : (+)
Kontraksi : (-)
Kesan : Kategori 1

Laboratorium :

Parameter Hasil Range normal


Hemoglobin 11,5 gr/dl (9.5–15.0)
Hematokrit 19 % (28.0–40.0)
Leukosit 15.610 /mm3 (5000–10.000)
Trombosit 183.000 /mm3 (150-400 x 103)
PT 12,3 detik (10,0-13,2)
APTT 36,4 detik (33,5-43,7)
Kalium 3,6 mmol/L ( 3.5-5.1)
Natrium 135 mmol/L (139-145 )
Chlorida 108 mmol/L (97-111 )
GDS 109 mg/dl ( < 200 )
SGOT 15 u/l ( <32 )
SGPT 30 u/l ( <31 )
Ureum 42 mg/dl (16.6-48.5 )
Creatinin 1,0 mg/dl (0.6-1.2 )
HBsAg non reaktif
Anti- HIV non reaktif
URINALISA
Warna Kuning Muda
Protein +3

A/ G1P0A0H0 gravid aterm 38-39 minggu + PEB + Asma bronkial


Janin hidup tunggal intrauterin presentasi kepala

P/
- Kontrol KU, VS, His , DJJ, Tanda impending, Reflek patella, Urin
- Informed consent
- IVFD 2 line
o RL + drip regimen MgSo4 dosis inisial, lanjut dosis
maintenance 28 tpm
o RL + drip oksitosin 5 IU, mulai 10 tpm, naik 5 tpm/30 menit,
sampai 60 tpm atau his adekuat
- Metildopa 500 mg po

R/
Induksi persalinan

Tanggal 18/02/19 pukul 16.00 WIB


S/ Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (+)
Gerak anak (+)
Tanda impending (-)
O/
KU Kes TD Nd Nf T
Sdg CMC 150/100 88 22 36,9

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)


Pulmo : suara nafas vesikular, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen :
His : 1-2x/20-25”/sedang
DJJ : 140-149 x/mnt
Genitalia :
Inspeksi : V/U tenang, PPV (-)
VT : Pembukaan 2-3 cm, ketuban (+), penipisan portio 50-60%,
medial, UUK lintang, Hodge I-II

A/ G1P0A0H0 parturien aterm 38-39 minggu kala I fase laten + PEB dalam
regimen MgSO4 dosisi maintenance + Asma bronkial
Janin hidup tunggal intrauterin presentasi kepala

P/
• Kontrol KU, VS, His , DJJ, Tanda impending, Reflek patella, Urin
• IVFD 2 line
• RL + drip regimen MgSo4 dosis inisial, lanjut dosis maintenance
28 tpm
• RL + drip oksitosin 5 IU 50 tpm, naik 5 tpm/30 menit, sampai 60
tpm atau his adekuat

Tanggal 18/02/19 pukul 18.00 WIB


S/ Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (+)
Gerak anak (+)
Tanda impending (-)
O/
KU Kes TD Nd Nf T
Sdg CMC 150/90 92 22 36,9

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)


Pulmo : suara nafas vesikular, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen :
His : 2-3x/25-30”/sedang
DJJ : 138-148 x/mnt
Genitalia :
Inspeksi : V/U tenang, PPV (-)
VT : Pembukaan 2-3 cm, ketuban (+), penipisan portio 50-60%,
medial, UUK lintang, Hodge I-II

A/ G1P0A0H0 parturien aterm 38-39 minggu kala I fase laten + PEB dalam
regimen MgSO4 dosisi maintenance + Asma bronkial + Gagal induksi
Janin hidup tunggal intrauterin presentasi kepala

P/
• Kontrol KU, VS, His , DJJ, Tanda impending, Reflek patella, Urin
• Informed consent
• IVFD 2 line
• RL + drip regimen MgSo4 dosis inisial, lanjut dosis maintenance
28 tpm
• RL + drip oksitosin 5 IU 60 tpm
• Inj. Ceftriaxone 2 gr pre op (skin test)
• Konsul anestesi
• Lapor OK dan perinatologi
R/
SCTPP Cito

Tanggal 18/02/2019 pukul 19.00


Dilakukan SCTPP, lahir bayi laki-laki :
BB : 3200 gram
PB : 50 cm
A/S : 8/9
Plasenta lahir dengan sedikit tarikan ringan pada plasenta ukuran 16x15x2 cm,
berat 500 gr, panjang tali pusat 50 cm, insersi parasentralis
Perdarahan intraoperatif 350 cc

A/ P1A0H1 post SCTPP ai Gagal induksi + PEB dalam regimen MgSO4 dosis
maintenance + Asma bronkial, NH-1
Anak dan ibu dalam perawatan
P/
• Kontrol KU, VS, PPV, Reflek Patela, Balance cairan, Tanda
impending
• IVFD 2 line
 RL + oksitosin 20 IU à 28 tpm
 RL + Regimen MgSO4 dosis maintanance
• Inj. Ceftriaxone 2x1 gram
• Metildopa 3x500 mg po
• As. Mefenamat 3x500 mg po
• Vitamin C 3x50 mg po
• Tablet tambah darah 2x1 tab po

R/
Cek laboratorium darah rutin 6 jam post op

Tanggal 19/02/2019 pukul 08.00


S/ Nyeri luka operasi (+)
Demam (-)
PPV (-)
O/
KU Kes TD Nd Nf T
Sdg CMC 140/90 81 20 36,7

Abdomen : Luka op tertutup verban


FUT 3 jari bawah pusat, kontraksi baik
Genitalia : V/U tenang, PPV (-)

A/ P1A0H1 post SCTPP ai Gagal induksi + PEB dalam regimen MgSO4 dosis
maintenance + Asma bronkial, NH-1
Anak dan ibu dalam perawatan

P/
• Kontrol KU, VS, PPV, Reflek Patela, Balance cairan, Tanda
impending
• IVFD RL + Regimen MgSO4 dosis maintanance 28 tpm
• Inj. Ceftriaxone 2x1 gram
• Metildopa 3x500 mg po
• As. Mefenamat 3x500 mg po
• Vitamin C 3x50 mg po
• Tablet tambah darah 2x1 tab po

Parameter Hasil Range normal


Hemoglobin 10,6 gr/dl (9.5–15.0)
Hematokrit 21 % (28.0–40.0)
Leukosit 12.380 /mm3 (5000–10.000)
Trombosit 13.000 /mm3 (150-400 x 103)

Tanggal 20/02/2018 pukul 08.00


S/ Nyeri luka operasi (+)
Demam (-)
PPV (-)
O/
KU Kes TD Nd Nf T
Sdg CMC 130/80 84 20 36,8

Abdomen : Luka op tertutup verban


FUT 3 jari bawah pusat, kontraksi baik
Genitalia : V/U tenang, PPV (-)

A/ P1A0H1 post SCTPP ai Gagal induksi + PEB selesai regimen MgSO4 dosis
maintenance + Asma bronkial, NH-2
Anak dan ibu dalam perawatan
P/
• Kontrol KU, VS, PPV, Reflek Patela, Balance cairan, Tanda
impending
• Inj. Ceftriaxone 2x1 gram
• Metildopa 3x500 mg po
• As. Mefenamat 3x500 mg po
• Vitamin C 3x50 mg po
• Tablet tambah darah 2x1 tab po

Tanggal 21/02/2019 pukul 08.00


S/ Nyeri luka operasi (+) <<
Demam (-)
PPV (-)
O/
KU Kes TD Nd Nf T
Sdg CMC 130/80 82 21 37,0

Abdomen : Luka op tertutup verban


FUT 3 jari bawah pusat, kontraksi baik
Genitalia : V/U tenang, PPV (-)

A/ P1A0H1 post SCTPP ai Gagal induksi + PEB selesai regimen MgSO4 dosis
maintenance + Asma bronkial, NH-3
Anak dan ibu dalam perawatan
P/
• Kontrol KU, VS, PPV, Reflek Patela, Balance cairan, Tanda
impending
• Inj. Ceftriaxone 2x1 gram
• Metildopa 3x500 mg po
• As. Mefenamat 3x500 mg po
• Vitamin C 3x50 mg po
• Tablet tambah darah 2x1 tab po

R/
Pulang

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
PREEKLAMPSIA
Preeklampsia merupakan sindrom spesifik dalam kehamilan yang dapat
memperngaruhi semua sistem organ. Penegakan kriteria preeklampsia tidak hanya
dengan pemeriksaan protein urin, tetapi juga kegagalan multi organ lainnya.
Preeklampsia adalah keadaan serius yang muncul setelah kehamilan 20 minggu
dengan faktor kontribusi utama adalah peningkatan tekanan darah.6

Klasifikasi dan Diagnosa


Pembagian preeklampsia ringan dan berat hanya digunakan secara
administratif, seperti dalam coding ICD. Secara klinis dan sesuai literatur terbaru
hanya digunakan istilah preeklampsia dan preeklampsia berat dengan tujuan tidak
meringankan preeklampsia terutama difasilitas kesehatan dasar.
Berikut ini Tabel klasifikasi dan diagnosis hipertensi yang berhubungan
dengan kehamilan :6

Kondisi Kriteria
Hipertensi gestasional TD > 140/90 mmHg setelah 20 minggu dimana
sebelumnya normotensi tanpa diikuti gejala
preeklampsia
Preeklampsia : Hipertensi dengan
Proteinuria  ≥ 300mg/ 24 jam, atau
 Rasio Protein urin: kreatinin ≥ 0.3, atau
 Dipstick 1+ menetap
atau
Trombositopenia Trombosit < 100.000/ul
Gangguan ginjal Level kreatinin > 1.1 mg/dL atau meningkat 2x
lipat dari normal
Gangguan liver AST & ALT Meningkat 2x diatas batas normal
Cerebral Symptoms Sakit kepala, gangguan penglihatan, konvulsi
Pulmonary edema Sesak nafas, ronkhi
Microangiopathic hemolysis Peningkatan LDH
Gangguan pertumbuhan janin Oligohidramnion
FGR
Adanya (Absent or Reversed end Diastolic
Velocity) ARDV
Tabel 1 Klasifikasi dan diagnosis preeklampsia (sumber: Cunningham L,
Bloom, Dashe. Hypertensive Disorders. Williams Obstetric 25 ed. New York: Mc
Graw Hill; 2017. p. 1086-8.)

Gejala klinis Preeklampsia berat berdasarkan ACOG ( 2013) :7

Gambar 1 Gejala klinis preeklampsia berat ( Sumber: ACOG. Task Force on


Hypertension in Pregnancy. In: James M Roberts PAA, George Bakris, John R.
Barton, editor. Classification of Hypertensive Disorders. Washington DC: ACOG;
2013. p. 13-73.)

Sebelumnya, salah satu kriteria preeklampsia adalah proteinuria yang


didefinisikan sebagai ekskresi >300 mg protein dalam urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin minimal 0,3 (masing- masing diukur sebagai mg/dL). Metode
dipstick tidak lagi disarankan untuk diagnostik kecuali pendekatan lain tidak
tersedia. Protein 1+ dianggap sebagai cut off untuk diagnosis proteinuria.10
Saat ini, diagnosis preeklampsia berat tidak lagi tergantung pada adanya
proteinuria. Manajemen preeklampsia tanpa proteinuria tidak boleh ditunda. Task
Force on Hypertension in Pregnancy juga menyarankan untuk mengeliminasi
kriteria proteinuria masif, yang didefinisikan sebagai proteinuria >5 g, karena
kurangnya bukti bahwa kuantitas protein berhubungan dengan luaran kehamilan
dengan preeklampsia. Pertumbuhan janin terhambat juga bukan lagi indikasi
preeklampsia berat mengingat tatalaksana PJT pada kehamilan dengan atau tanpa
preeklampsia tidak berbeda.7
Gambar 2 Rangkuman executive hipertensi dalam kehamilan. ( Sumber:
ACOG. Task Force on Hypertension in Pregnancy. In: James M Roberts PAA,
George Bakris, John R. Barton, editor. Classification of Hypertensive Disorders.
Washington DC: ACOG; 2013. p. 13-73.)

Etiologi
Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum dapat diketahui dengan pasti.
Banyak teori-teori dikemukakan tetapi belum ada yang mampu memberi jawaban
yang memuaskan tentang penyebabnya sehingga disebut sebagai “penyakit teori”.6
Ada beberapa faktor yang diyakini dapat menyebabkan terjadinya
preeklampsia, yaitu :
1. Implantasi plasenta disertai invasi trofoblastik abnormal pada
pembuluh darah uterus.
2. Toleransi imunologis yang bersifat maladaptif di antara jaringan
maternal, paternal, dan fetal.
3. Maladaptasi rnaternal terhadap perubahan kardiovaskular atau
inflamatorik yang terjadi pada keharnilan normal
4. Faktor-faktor genetik, termasuk gen predisposisi yang diwariskan,
serta pengaruh epigenetik.

Pada implantasi normal terjadi remodelling arteri spiralis karena diinvasi


oleh trofoblas endovaskular. Pada preeklamsia terjadi invasi trofoblastik
inkomplet karena invasi trofoblas yang dangkal. Pembuluh desidua akan dilapisi
oleh trofoblas endovaskular. Arteriola miomerrium yang lebih dalam tidak
kehilangan lapisan endotel dan jaringan muskuloelastik dan rerata diameter
eksternal hanya setengah diameter pembuluh pada plasenta normal.8

Gambar 3 Perbedaan arteri spiralis pada kehamilan dengan preeklampsia.


(sumber: Cunningham L, Bloom, Dashe. Hypertensive Disorders. Williams
Obstetric 25 ed. New York: Mc Graw Hill; 2017. p. 1086-8.)

Pada gambar di atas  gambar sebelah kiri  :  kehamilan normal terjadi


perubahan pada cabang arteri spiralis dari dinding otot yang tebal menjadi dinding
pembuluh darah yang lunak sehingga memungkinkan terjadinya sejumlah aliran
darah ke uteroplasenta. Sedangkan pada gambar sebelah kanan :  preeklampsia,
perubahan arteri spiralis ini tidak terjadi dengan sempurna sehingga dinding otot
tetap kaku dan sempit dan akibatnya akan terjadi penurunan aliran darah ke
sirkulasi uteroplasenta yang mengakibatkan hipoksia di plasenta yang berakibat
terganggunya pertumbuhan janin intra uterin hingga kematian bayi.9

Patofisiologi
Plasenta merupakan kunci utama dalam patogenesis Hipertensi Dalam
Kehamilan (HDK). Karena awal terjadi dan berakhirnya HDK berhubungan
dengan ada atau tidaknya plasenta, dan hanya melepaskan plasenta dapat
menghilangkan gejala preeklampsi. Plasenta menghubungkan perkembangan fetus
dengan sistem uterus dengan krusial dengan peran krusial seperti transpor Gas,
nutrisi dan limbah fetus dan ibu, imunoproteksi dan pelepasan zat kimia yang
dibutuhkan dalam kehamilan.24
Plasenta iskemik merupakan pusat keluarnya berbagai kimia dan sinyal
sebagai pencetus hipertensi dalam kehamilan. Konsep ini terkenal dengan “two
stage theory”. Stage 1 berupa banyak faktor termasuk genetik, imunologi,
pengaruh lingkungan yang dapat menyebabkan plasentasi abnormal sehingga
aliran darah berkurang sehingga terjadi plasenta iskemik. Pada Stage 2 dimana
plasenta mengeluarkan kimiawi atau molekul ke dalam sirkulasi.11

Gambar 4 Skema preeklampsia (Sumber : Williams Obstetric, 25rd edition.


2017)
Di dalam william obstetric edisi 25 dijelaskan bahwa terdapat 2 tingkatan
terjadinya preeklampsi seperti pada bagan diatas. Suatu kondisi lokal iskemik
seperti pada plasenta berhubungan dengan sistem vaskular atas 3 kondisi, yaitu
peningkatan resisten vaskular, berkurangnya vaskular tone, dan perubahan
diameter pembuluh darah yang pada akhirnya menyebabkan plasenta iskemik.
Teori yang menyatakan penyebab terjadinya preeklampsi adalah teori
keseimbangan antara faktor angiogenic dan anti-angiogenik. Dengan pengukuran
sirkulasi protein angiogenic dan anti-angiogenik dapat membedakan preeklampsi
dengan gestasional hipertensi dan kronik glomerulonephritis, selain itu karena
terjadi disfungsi plasenta mengeluarkan mediator patogen kedalam darah ibu yang
menyebabkan disfunsi endotelial semua,gangguan koagulasi, hipertensi, dan
disfungsi organ.12

Faktor resiko Preeklampsia

 Kehamilan pertama
 Riwayat Eklampsia atau Preeklampsi pada hamil sebelumnya
 Jarak anak sebelumnya >10 tahun
 Usia > 40 tahun
 Riwayat Preeklampsia pada keluarga (ibu & saudara perempuan)
 Memiliki riwayat penyakit Hipertensi, ginjal & diabetes.
 Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru
 Kehamilan multipel
 Sindrom antifosfolipid (APS)
 Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit, dan embrio
 Obesitas sebelum hamil

Pencegahan Preeklampsia
PNKP POGI Cabang Jawa Barat tentang pedoman diagnosa dan
tatalaksana preeklampsi membagi menjadi 3 bagian, yaitu primer artinya
menghindari sebelum terjadinya penyakit, sekunder artinya memutus proses
terjadinya penyakit yang sedang berlangsung sebelum timbul gejala kedaruratan
klinis karena penyakit tersebut. Dan tersier merupakan berupa tatalaksana. Yang
akan dibahas pada bagian ini pencegahan primer dan sekunder.13
Pencegahan primer
Dilakukan dengan menelaah Faktor risiko yang telah diidentifikasi pada
kunjungan awal antenatal. Berdasarkan hasil penelitian dan panduan Internasional
terbaru kami membagi dua bagian besar faktor risiko yaitu risiko tinggi / mayor
dan risiko tambahan / minor.13
Tabel 2 Klasifikasi risiko yang dapat dinilai pada kunjungan antenatal
pertama (Sumber: POGI Cabang Jawa Barat. Panduan Praktek Klinis Hipertensi
Dalam Kehamilan 2018)

Setelah diketahui pasien termasuk beresiko tinggi, maka akan


meningkatkan kewaspadaan dalam kontrol kehamilan selanjutnya. Pemeriksaan
skrining preeklampsia selain menggunakan riwayat medis pasien seperti
penggunaan biomarker dan USG Doppler Velocimetry masih belum dapat
direkomendasikan secara rutin, sampai metode skrining tersebut terbukti
meningkatkan luaran kehamilan.13

Pencegahan Sekunder
 Istirahat
Istirahat dirumah tidak direkomendasikan untuk pencegahan primer
eklampsi. Tirah baring tidak direkomendasikan untuk memperbaiki luaran
pada wanita hamil dengan hipertensi (dengan atau tanpa proteinuria).
 Restriksi garam
Pembatasan garam untuk mencegah terjadinya preeklampsi masih
kontroversi. Diet makanan harus dikonsulkan ke ahli gizi. Disarankan
garam yang dikomsumsi 2-4gr/hari
 Aspirin dosis rendah
Hasil penelitian penggunaan aspirin setelah 16 minggu kehamilan dapat
mengurangi insidensi 10%. ACOG 2013 merekomendasikan penggunaan
aspirin dosis rendah (60-80mg/hari) direkomendasikan untuk prevensi
preeklampsia pada wanita dengan risiko tinggi. Aspirin dosis rendah
sebaiknya digunakan sebelum usia gestasi 16 minggu sampai 37 minggu.
 Suplemen Kalsium
Suplementasi kalsium minimal 1 g/hari direkomendasikan terutama pada
wanita dengan asupan kalsium yang rendah
 Suplemen antioksidan
Pemberian vitamin C dan E dosis tinggi tidak menurunkan risiko
hipertensi dalam kehamilan, preeklampsia dan eklampsia, serta berat lahir
bayi rendah, bayi kecil masa kehamilan atau kematian perinatal. Sehingga
tidak direkomendasikan.14

Penatalaksanaan Preeklampsia
PNKP POGI 2016 membagi 2 jenis tatalaksana:
1. Penatalaksanaan Ekspetatif
Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk
memperbaiki luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal
serta memperpanjang usia kehamilan tanpa membahayakan ibu.
Manajemen ekspektatif tidak meningkatkan kejadian morbiditas
maternal seperti gagal ginjal, sindrom HELLP, angka seksio sesar, atau
solusio plasenta. Sebaliknya dapat memperpanjang usia kehamilan, serta
mengurangi morbiditas perinatal seperti penyakit membran hialin,
necrotizing enterocolitis, kebutuhan perawatan intensif dan ventilator
serta lama perawatan. Berat lahir bayi rata – rata lebih besar pada
manajemen ekspektatif, namun insiden pertumbuhan janin terhambat
juga lebih banyak.13
Pemberian kortikosteroid mengurangi kejadian sindrom gawat
napas, perdarahan intraventrikular, infeksi neonatal serta kematian
neonatal.13

Tatalaksana Ekspetatif pada Preeklampsi


Gambar 5 Alur manajemen ekspetatif (Sumber: POGI Cabang Jawa Barat.
Panduan Praktek Klinis Hipertensi Dalam Kehamilan2018 Oktober 2018.

Rekomendasi:
 Manajemen ekspektatif dipertimbangkan pada kasus preeklampsi
pada usia kehamilan 26-34 minggu bertujuan untuk memperbaiki
luaran perinatal
 Perawatan poliklinis secara ketat dapat dilakukan pada kasus
preeklampsia tanpa gejala berat.
 Evaluasi ketat yang dilakukan adalah:
 Evaluasi gejala maternal dan gerakan janin setiap hari
oleh pasien
 Evaluasi tekanan darah 2 kali dalam seminggu secara
poliklinis
 Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver setiap minggu
 Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara berkala (dianjurkan 2
kali dalam seminggu)
 Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin terhambat, evaluasi
menggunakan Doppler velocimetry terhadap arteri umbilikal
direkomendasikan.13

Ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan patokan untuk dilakukan terminasi
segera:

Tabel 3 Kriteria untuk dilakukan terminasi kehamilan


(Sumber : POGI Jawa Barat. Panduan Praktek Klinis Hipertensi Dalam
Kehamilan 2018)
Terapi Farmakologi pada Preeklampsia

Tabel 4 Tatalaksana preeklampsia menurut Magee 2018 (Sumber: Magee LA,


von Dadelszen P. State-of-the-Art Diagnosis and Treatment of Hypertension in
Pregnancy. Mayo Clinic proceedings. 2018;93(11):1664-77)

Obat Anti Hipertensi

Antihipertensi diberikan terutama bila tekanan darah sistolik > 160 mmHg
dan diastolik > 110 mmHg. Untuk keadaan gawat darurat dapat diberikan
nifedipin 10 mg per oral dan dapat diulangi setiap 30 menit (maksimal 120 mg/24
jam) sampai terjadi penurunan MABP 20%. Selanjutnya diberikan dosis rumatan
3x10mg ( pemberian nifedipine tidak diperkenankan diberikan sub lingual).
Nikardipine diberikan bila tekanan darah ≥ 180/110 mmHg/ hipertensi emergensi
dengan dosis 1 ampul 10 mg dalam larutan 50cc per jam atau 2 ampul 10 mg
dalam larutan 100cc tetes per menit mikro drip. Pelarut yang tidak dapat
digunakan adalah ringer laktat dan bikarbonat natrikus.13

Penggunaan antihipertensi pada preeklampsia dimaksudkan untuk


menurunkan tekanan darah dengan segera demi memastikan keselamatan ibu
tanpa mengesampingkan perfusi plasenta untuk fetus. Terdapat banyak pendapat
tentang penentuan batas tekanan darah (cut off) untuk pemberian antihipertensi.
Belfort mengusulkan cut off yang dipakai adalah ≥ 160/110 mmHg dan MAP
(mean arterial pressure) ≥ 126 mmHg. Penurunan tekanan darah dilakukan secara
bertahap dimana tidak lebih dari 25% penurunan dalam waktu 1 jam. Hal ini
untuk mencegah terjadinya penurunan aliran darah uteroplasenter.15
Obat antihipertensi yang harus dihindari pada kehamilan adalah obat
antihipertensi golongan ACE inhibitor (misalnya captopril, lisinopril). Hal ini
disebabkan karena terdapatnya risiko kerusakan atau kematian janin bila
digunakan pada trimester kedua atau ketiga. Selain itu, penggunaan ACE inhibitor
pada trimester pertama akan meningkatkan risiko malformasi sistem saraf pusat
dan kardiovaskuler pada janin. Golongan obat antihipertensi angiotensin receptor
blocker (ARB), seperti valsartan, irbesartan, candesartan, dan losartan juga tidak
disarankan untuk digunakan pada kehamilan karena mekanisme kerjanya hampir
sama dengan ACE inhibitor.14
Nifedipin merupakan salah satu penghambat kanal kalsium yang sudah
digunakan sejak dekade terakhir untuk mencegah persalinan preterm (tokolisis)
dan sebagai antihipertensi. Berdasarkan uji kontrol teracak samar, penggunaan
nifedipin oral menurunkan tekanan darah lebih cepat dibandingkan labetalol
intravena, kurang lebih 1 jam setelah awal pemberian. Nifedipin selain berperan
sebagai vasodilator arteriolar ginjal yang selektif dan bersifat natriuretik, dan
meningkatkan produksi urin. Dibandingkan dengan labetalol yang tidak
berpengaruh pada indeks kardiak, nifedipin meningkatkan indeks kardiak yang
berguna pada preeklampsia berat.14
Dosis yang direkomendasikan adalah 10 mg kapsul oral, diulang tiap 15 –
30 menit, dengan dosis maksimum 30 mg. Penggunaan berlebihan penghambat
kanal kalsium dilaporkan dapat menyebabkan hipoksia janin dan asidosis. Hal ini
disebabkan akibat hipotensi relatif setelah pemberian penghambat kanal kalsium.13
Metildopa, agonis reseptor-α yang bekerja di sistem saraf pusat, adalah
obat antihipertensi yang paling sering digunakan untuk wanita hamil dengan
hipertensi kronis. Digunakan sejak tahun 1960, metildopa mempunyai batas aman
yang luas (paling aman). Walaupun metildopa bekerja terutama pada sistem saraf
pusat, namun juga memiliki sedikit efek perifer yang akan menurunkan tonus
simpatis dan tekanan darah arteri. Frekuensi nadi, curah jantung, dan aliran darah
ginjal relatif tidak terpengaruh. Efek samping pada ibu antara lain letargi, mulut
kering, mengantuk, depresi, hipertensi postural, anemia hemolitik dan hepatitis
yang disebabkan obat.16

Terapi Pemberian MgSO4


Pemberian MgSO4 sebagai antikonvulsan untuk mencegah terjadinya
eklampsia (kejang). Magnesium sulfat merupakan pilihan pertama untuk
antikejang pada preeklampsia atau eklampsia. Magnesium sulfat akan bekerja
dengan menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat
saraf dengan menghambat transmisi neuromuscular yang membutuhkan kalsium
pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium akan menggeser
kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi.13
Cara pemberian MGSO4 menurut Guideline RCOG merekomendasikan
dosis loading magnesium sulfat 4-6 g selama 5 – 10 menit, dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 1-2 g/jam selama 24 jam post partum atau setelah kejang
terakhir, kecuali terdapat alasan tertentu untuk melanjutkan pemberian magnesium
sulfat. MgSo4 dalam dilakukan dengan pemberian intravena dan intramuscular.
Dari penelitian tidak ada perbedaan signifikan untuk tingkat keefektifannya.13

Pemberian kortikosteroid

 Kortikosteroid diberikan pada usia kehamilan 24-34 minggu untuk


menurunkan risiko RDS dan mortalitas janin serta neonatal.
 Indikasi pemberian kortikosteroid (pada kehamilan 24-34 minggu)
o PPROM
o Inpartu
o Trombosit < 100.000
o IUGR
o Oligohidroamnion berat (AFI<5)
o Reversed end-diastolic flow pada pemeriksaan doppler
o Onset baru disfungsi renal / peningkatan disfungsi renal
 Betametason merupakan obat terpilih, diberikan secara injeksi
intramuskuler dengan dosis 12 mg dan diulangi 24 jam kemudian. Efek
optimal dapat dicapai dalam 1-7 hari pemberian, setelah 7 hari efeknya
masih meningkat. Selain betametason, dapat diberikan deksametason
dengan dosis 4-6 mg iv per hari selama 2 hari.13

ASMA BRONKIAL

Asma bronkial merupakan masalah kesehatan yang serius pada ibu


hamil dan pada saat persalinan. Asma bronkial adalah sindroma yang kompleks
dengan berbagai tipe klinis. Penyakit ini dapat disebabkan oleh faktor genetik
ataupun faktor lingkungan (virus, alergen maupun paparan bahan kerja). Pada
asma bronkial terdapat penyempitan saluran pernafasan yang disebabkan oleh
spasme otot polos saluran nafas, edema mukosa dan adanya hipersekresi yang
kental. Penyempitan ini akan menyebabkan gangguan ventilasi (hipoventilasi),
distribusi ventilasi tidak merata dalam sirkulasi darah pulmonal dan gangguan
difusi gas ditingkat alveoli, akhirnya akan berkembang menjadi hipoksemia,
hiperkapnia dan asidosis pada tingkat lanjut. Pada asma terjadi peningkatan
daya responsif percabangan trakheo-bronkhial terhadap berbagai stimulus, dan
terjadi manifestasi fisiologis berbentuk penyempitan yang meluas pada saluran
udara pernafasan yang dapat sembuh spontan atau sembuh dengan terapi dan
secara klinis ditandai oleh serangan mendadak dispnea, batuk, serta mengi.17

Epidemiologi
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak status atopi, faktor keturunan,
serta faktor lingkungan. Pada masa kanak-kanak berbanding anak perempuan
1,5:1, tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama. Di
Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5-7%. Insidensi asma dalam
kehamilan adalah sekitar 0,5-1% dari seluruh kehamilan, dimana serangan
asma biasanya timbul pada usia kehamilan 24-36 minggu, dan jarang pada
akhir kehamilan. Prevalensi asma dalam kehamilan sekitar 3,7 – 4 %. Hal
tersebut membuat asma menjadi salah satu permasalahan yang biasa ditemukan
dalam kehamilan.17

Patofisiologi
Pada asma terdapat penyempitan saluran pernafasan yang disebabkan
oleh spasme otot polos saluran nafas, edema mukosa dan adanya hipersekresi
yang kental. Penyempitan ini akan menyebabkan gangguan ventilasi
(hipoventilasi), distribusi ventilasi tidak merata dalam sirkulasi darah pulmonal
dan gangguan difusi gas di tingkat alveoli. Akhirnya akan berkembang menjadi
hipoksemia, hiperkapnia dan asidosis pada tingkat lanjut.17
Ciri patofisiologi asma adalah inflamasi kronis and hiperaktif bronkial
termasuk interaksi antara banyak sel dan mediator radang. Sel infiltrate saluran
pernapasan yang radang termasuk T sel aktif, terdiri dari yang terbesar adalah
eosinofil dan limfosit TH2. Karena alasan inilah, agen anti-inflamasi
merupakan hal pokok dalam pengawasan asma persisten. Walaupun
kortikosteroid mengurangi produksi sitokin dan chemokines pada pasien asma
atau dengan rhinitis dan alur pengobatan utama untuk banyak pasien,
leukotriene modifiers and antagonis juga bersifat anti-inflamasi. Timbulnya
serangan asma disebabkan terjadinya reaksi antigen antibodi pada permukaan
sel mast paru, yang akan diikuti dengan pelepasan berbagai mediator kimia
untuk reaksi hipersentifitas cepat. Terlepasnya mediator-mediator ini
menimbulkan efek langsung cepat pada otot polos saluran nafas dan
permiabilitas kapiler bronkus. Mediator yang dilepaskan meliputi bradikinin,
leukotrien C,D,E, prostaglandin PGG2, PGD2a, PGD2, dan tromboksan A2.
Mediator-mediator ini menimbulkan reaksi peradangan dengan
bronkokonstriksi, kongesti vaskuler dan timbulnya edema, di samping
kemampuan mediator-mediator ini untuk menimbulkan bronkokontriksi,
leukotrien juga meningkatkan sekresi mukus dan menyebabkan terganggunya
mekanisme transpor mukosilia.17
Pada asma dengan kausa non alergenik terjadinya bronkokontriksi
tampaknya diperantarai oleh perubahan aktifitas eferen vagal yang mana terjadi
ketidak seimbangan antara tonus simpatis dan parasimpatis. Saraf simpatis
dengan reseptor beta-2 menimbulkan bronkodilatasi, sedangkan saraf
parasimpatis menimbulkan bronkokontriksi. Perubahan fisiologis selama
kehamilan mengubah prognosis asma, Hal ini berhubungan dengan perubahan
hormonal selama kehamilan. Bronkodilatasi yang dimediasi oleh progesteron
serta peningkatan kadar kortisol serum bebas merupakan salah satu perubahan
fisiologis kehamilan yang dapat memperbaiki gejala asma, sedangkan
prostaglandin F2 dapat memperburuk gejala asma karena efek bronkokonstriksi
yang ditimbulkannya.17

Pengaruh kehamilan pada asma

Perubahan hormonal yang terjadi selama kehamilan mempengaruhi hidung,


sinus dan paru. Peningkatan hormon estrogen menyebabkan kongesti kapiler
hidung, terutama selama trimester ketiga, sedangkan peningkatan kadar hormon
progesteron menyebabkan peningkatan laju pernapasan.17
Beecroft dkk mengatakan bahwa jenis kelamin janin dapat
mempengaruhi serangan asma pada kehamilan. Pada studi prospektif blind,
ditemukan 50% ibu bayi perempuan mengalami peningkatan gejala asma
selama kehamilan dibandingkan dengan 22,2% ibu bayi laki-laki. Ibu dengan
bayi laki-laki menunjukkan perbaikan gejala asma (44,4%), sementara tidak
satu pun ibu dari bayi perempuan mengalami perbaikan. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa gejolak adrenergik yang dialami ibu selama mengandung
janin laki-laki dapat meringankan gejala asma. Ada hubungan antara keadaan
asma sebelum hamil dan morbiditasnya pada kehamilan. Pada asma ringan 13
% mengalami serangan pada kehamilan, pada asma moderat 26 %, dan asma
berat 50 %. Sebanyak 20 % dari ibu dengan asma ringan dan moderat
mengalami serangan intrapartum, serta peningkatan risiko serangan 18 kali
lipat setelah persalinan dengan seksio sesarea jika dibandingkan dengan
persalinan per vaginam.17
Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya serangan asma pada setiap
penderita tidaklah sama, bahkan pada seorang penderita asma serangannya
tidak sama pada kehamilan pertama dan kehamilan berikutnya. Biasanya
serangan akan timbul mulai usai kehamilan 24 minggu sampai 36 minggu, dan
akan berkurang pada akhir kehamilan. Pengaruh asma pada ibu dan janin
sangat bergantung dari frekuensi dan beratnya serangan asma, karena ibu dan
janin akan mengalami hipoksia. Keadaan hipoksia jika tidak segera diatasi tentu
akan memberikan pengaruh buruk pada janin, berupa abortus, persalinan
prematur, dan berat janin yang tidak sesuai dengan umur kehamilan.17
Efek kehamilan pada asma tidak dapat diprediksi. Turner et al dalam
suatu penelitian yang melibatkan 1054 wanita hamil yang menderita asma
menemukan bahwa 29% kasus membaik dengan terjadinya kehamilan, 49%
kasus tetap seperti sebelum terjadinya kehamilan, dan 22% kasus memburuk
dengan bertambahnya umur kehamilan. Sekitar 60% wanita hamil yang
mendapat serangan asma dapat menyelesaikan kehamilannya dengan baik.
Sekitar 10% akan mengalami eksaserbasi pada persalinan. Mabie dkk (1992)
melaporkan peningkatan 18 kali lipat resiko eksaserbasi pada persalinan dengan
seksio sesarea dibandingkan dengan pervaginam.17
Asma pada kehamilan pada umumnya tidak mempengaruhi janin,
namun serangan asma berat dan asma yang tak terkontrol dapat menyebabkan
hipoksemia ibu sehingga berefek pada janin. Hipoksia janin terjadi sebelum
hipoksia ibu terjadi. Asma pada kehamilan berdampak penting bagi ibu dan
janin selama kehamilan dan persalinan. Dampak yang terjadi dapat berupa
kelahiran prematur, usia kehamilan muda, hipertensi pada kehamilan, abrupsio
plasenta, korioamnionitis, dan seksio sesaria. Asma pada kehamilan yang tidak
terkontrol dapat mengakibatkan penurunan asupan oksigen ibu, sehingga
berefek negative bagi janin. Asma tak terkontrol pada kehamilan menyebabkan
komplikasi baik bagi ibu maupun janin. Komplikasi asma pada kehamilan bagi
ibu Asma tak terkontrol dapat menyebabkan stres yang berlebihan bagi ibu.
Status asmatikus dapat menyebabkan gagal napas, pneumotoraks,
pneumomediastinum, kor pulmonale akut, dan aritmia jantung. Mortalitas
meningkat pada penggunaan ventilasi mekanik. Penyulit yang mengancam
nyawa adalah pnemotoraks, pneumomediastinum, kor pulmonale akut, aritmia
jantung, dan kelelahan otot disertai henti napas. Angka kematian secara
substantive meningkatkan apabila asmanya memerlukan ventilasi mekanis.17
Komplikasi asma pada kehamilan bagi janin Kekurangan oksigen ibu ke
janin menyebabkan beberapa masalah kesehatan janin, termasuk : 1) Kematian
perinatal; 2) IUGR (12 %), gangguan perkembangan janin dalam rahim
menyebabkan janin lebih kecil dari umur kehamilannya; 3) Kehamilan preterm
(12 %); 4) Hipoksia neonatal, oksigen tidak adekuat bagi sel-sel; 5) Berat bayi
lahir rendah. Satu studi mencatat kematian janin disebabkan oleh asma berat
sebagai akibat episode wheezing yang tidak terkontrol. Mekanisme penyebab
berat bayi lahir rendah pada wanita asma masih belum diketahui, akan tetapi
terdapat beberapa factor yang mendukung seperti perubahan fungsi plasenta,
derajat berat asma dan terapi asma.17
Plasenta memegang peranan penting dalam mengontrol perkembangan
janin dengan memberi suplai nutrisi dan oksigen dari ibu. Plasenta juga
mencegah transfer konsentrasi kortisol dalam jumlah besar dari ibu ke janin.
Enzim plasenta 11β-hidroksisteroid dehidrogenase tipe-2 (11β- HSD2)
berperan sebagai barrier dengan memetabolisme kortisol menjadi kortison
inaktif, sehingga dapat menghambat perkembangan janin.17

Penatalaksanaan Asma Pada Persalinan


Serangan asma akut selama kelahiran dan persalinan sangat jarang
ditemukan. Ibu hamil dapat melanjutkan penggunaan inhaler rutin sampai
persalinan. Pada ibu dengan asma yang selama kehamilan telah menggunakan
steroid oral (>7,5 mg prednisolon setiap hari selama lebih dari 2 minggu) saat
awal kelahiran atau persalinan harus mendapatkan steroid parenteral
(hidrokortison 100mg setiap 6-8 jam) selama persalinan, sampai ia mampu
memulai kembali pengobatan oralnya. Pada kehamilan dengan asma yang
terkontrol baik, tidak diperlukan suatu intervensi obstetri awal. Pertumbuhan janin
harus dimonitor dengan ultrasonografi dan parameter-parameter klinik, khususnya
pada penderita-penderita dengan asma berat atau yang steroid dependen, karena
mereka mempunyai resiko yang lebih besar untuk mengalami masalah
pertumbuhan janin. Onset spontan persalinan harus diperbolehkan, intervensi
preterm hanya dibenarkan untuk alasan obstetrik. Karena pada persalinan
kebutuhan ventilasi bisa mencapai 20 l/menit, maka persalinan harus berlangsung
pada tempat dengan fasilitas untuk menangani komplikasi pernapasan yang berat ;
peneliti menunjukkan bahwa 10% wanita memberat gejala asmanya pada waktu
persalinan.17
Selama persalinan kala I pengobatan asma selama masa prenatal harus
diteruskan, ibu yang sebelum persalinan mendapat pengobatan kortikosteroid
harus hidrokortison 100 mg intravena, dan diulangi tiap 8 jam sampai
persalinan. Bila mendapat serangan akut selama persalinan, penanganannya
sama dengan penanganan serangan akut dalam kehamilan seperti telah
diuraikan di atas. Pada persalinan kala II persalinan per vaginam merupakan
pilihan terbaik untuk penderita asma, kecuali jika indikasi obstetrik
menghendaki dilakukannya seksio sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea. Jika
dilakukan seksio sesarea lebih dipilih anestesi regional daripada anestesi umum
karena intubasi trakea dapat memacu terjadinya bronkospasme yang berat. Pada
penderita yang mengalami kesulitan pernapasan selama persalinan pervaginam,
memperpendek, kala II dengan menggunakan ekstraksi vakum atau forceps
akan bermanfaat. Prostaglandin E2 adalah suatu bronkodilator yang aman
digunakan sebagai induksi persalinan untuk mematangkan serviks atau untuk
terminasi awal kehamilan. Prostaglandin F2α yang diindikasikan untuk
perdarahan post partum berat, harus digunakan dengan hati-hati karena
menyebabkan bronkospasme.17
Dalam memilih anestesi dalam persalinan, golongan narkotik yang tidak
melepaskan histamin seperti fentanyl lebih baik digunakan daripada meperidine
atau morfin yang melepas histamin. Bila persalinan dengan seksio sesarea atas
indikasi medik obstetrik yang lain, maka sebaiknya anestesi cara spinal. Selama
kehamilan semua bentuk penghilang rasa sakit dapat digunakan dengan aman,
termasuk analgetik epidural. Hindarkan penggunaan opiat pada serangan asma
akut. Bila dibutuhkan tindakan anestesi, sebaiknya menggunakan epidural
anestesi daripada anestesi umum karena peningkatan risiko infeksi dada dan
atelektasis. Ergometrin dapat menyebabkan bronkospasme, terutama pada
anestesi umum. Sintometrin (oksitosin/ergometrin) yang digunakan untuk
mencegah perdarahan post partum, aman digunakan pada wanita asma.
Sebelum menggunakan obat-obat analgetik harus ditanyakan mengenai
sensitivitas pasien terhadap aspirin atau NSAID.17

Penanganan Asma Post Partum


Penanganan asma post partum dimulai jika secara klinik diperlukan.
Perjalanan dan penanganan klinis asma umumnya tidak berubah secara
dramatis setelah post partum. Pada wanita yang menyusui tidak terdapat
kontra indikasi yang berkaitan dengan penyakitnya ini. Teofilin bisa dijumpai
dalam air susu ibu, tetapi jumlahnya kurang dari 10% dari jumlah yang
diterima ibu. Kadar maksimal dalam air susu ibu tercapai 2 jam setelah
pemberian, seperti halnya prednison, keberadaan kedua obat ini dalam air susu
ibu masih dalam konsentrasi yang belum mencukupi untuk menimbulkan
pengaruh pada janin.17
BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang pasien wanita, 28 tahun, masuk PONEK RSUD. Dr. Achmad


Mochtar Bukittinggi pada tanggal 18 Februari 2018 pukul 11.30 WIB, kiriman RS
YARSI Bukittinggi dengan diagnosis G1P0A0H0 gravid aterm 38-39 minggu +
PEB + Asma bronkial.
Dari anamnesis, sebelumnya pasien datang untuk kontrol kehamilan ke RS
YARSI Bukittinggi, didapatkan tekanan darah 180/100 mmHg. Pasien diberikan
Metildopa 500 mg, Nifedipine 10 mg. Pasien dirujuk ke RSUD Achmad Mochtar
Bukittinggi dengan alasan ruangan penuh, serta terpasang infus dan kateter. Tidak
ada tanda-tanda impending dan inpartu. Diketahui pasien memiliki penyakit asma
bronkial dalam terapi.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan KU sedang, kesadaran composmentis
cooperatif, TD 160/100 mmHg, frekuensi nadi 84 x/mnt, frekuensi nafas 26
x/mnt, dan suhu afebris. Pada pemeriksaan obstetrik, tidak ditemukan adanya his
dengan DJJ 130-140 x/mnt. Tidak ditemukan tanda inpartu pada pasien ini dengan
bishop score 6. Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan hasil dalam batas
normal dengan protein urin +3. Pada pemeriksaan ultrasonografi, didapatkan
kesan gravid 38-39 minggu sesuai biometri, presentasi kepala. Pemeriksaan CTG
didapatkan kategori I.
Pasien didiagnosis dengan G1P0A0H0 gravid aterm 38-39 minggu + PEB
+ Asma bronkial Janin hidup tunggal intrauterin presentasi kepala. Dilakukan
induksi persalinan pada pasien ini, induksi persalinan gagal, dilakukan terminasi
secara caesar.

1. Dasar diagnosis
Pasien didiagnosis dengan G1P0A0H0 gravid aterm 38-39 minggu
+ PEB + Asma bronkial Janin hidup tunggal intrauterin presentasi kepala.
Penegakan diagnosis ini didasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis sebelumnya pasien datang untuk
kontrol kehamilan ke RS YARSI Bukittinggi, didapatkan tekanan darah
180/100 mmHg. Pasien diberikan Metildopa 500 mg, Nifedipine 10 mg.
Pasien dirujuk ke RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi dengan alasan
ruangan penuh, serta terpasang infus dan kateter. Tidak ada tanda-tanda
impending dan inpartu. Diketahui pasien memiliki penyakit asma bronkial
dalam terapi. Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan hasil dalam
batas normal dengan protein urin +3.
Berdasarkan data pemeriksaan yang didapat ;
sebelumnya, salah satu kriteria preeklampsia adalah proteinuria yang
didefinisikan sebagai ekskresi >300 mg protein dalam urin 24 jam atau
rasio protein/kreatinin minimal 0,3 (masing- masing diukur sebagai
mg/dL). Metode dipstick tidak lagi disarankan untuk diagnostik kecuali
pendekatan lain tidak tersedia. Protein 1+ dianggap sebagai cut off untuk
diagnosis proteinuria. Saat ini, diagnosis preeklampsia berat tidak lagi
tergantung pada adanya proteinuria. Manajemen preeklampsia tanpa
proteinuria tidak boleh ditunda. Task Force on Hypertension in Pregnancy
juga menyarankan untuk mengeliminasi kriteria proteinuria masif, yang
didefinisikan sebagai proteinuria >5 g, karena kurangnya bukti bahwa
kuantitas protein berhubungan dengan luaran kehamilan dengan
preeklampsia. Pertumbuhan janin terhambat juga bukan lagi indikasi
preeklampsia berat mengingat tatalaksana PJT pada kehamilan dengan
atau tanpa preeklampsia tidak berbeda.
2. Manajemen
Antihipertensi diberikan terutama bila tekanan darah sistolik > 160
mmHg dan diastolik > 110 mmHg. Untuk keadaan gawat darurat dapat
diberikan nifedipin 10 mg per oral dan dapat diulangi setiap 30 menit
(maksimal 120 mg/24 jam) sampai terjadi penurunan MABP 20%.
Selanjutnya diberikan dosis rumatan 3x10mg ( pemberian nifedipine tidak
diperkenankan diberikan sub lingual). Pemberian MgSO4 sebagai
antikonvulsan untuk mencegah terjadinya eklampsia (kejang). Magnesium
sulfat merupakan pilihan pertama untuk antikejang pada preeklampsia atau
eklampsia. Magnesium sulfat akan bekerja dengan menghambat atau
menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan
menghambat transmisi neuromuscular yang membutuhkan kalsium pada
sinaps.
Pada kehamilan dengan asma yang terkontrol baik, tidak
diperlukan suatu intervensi obstetri awal. Pertumbuhan janin harus
dimonitor dengan ultrasonografi dan parameter-parameter klinik,
khususnya pada penderita-penderita dengan asma berat atau yang steroid
dependen, karena mereka mempunyai resiko yang lebih besar untuk
mengalami masalah pertumbuhan janin. Onset spontan persalinan harus
diperbolehkan, intervensi preterm hanya dibenarkan untuk alasan
obstetrik. Karena pada persalinan kebutuhan ventilasi bisa mencapai 20
l/menit, maka persalinan harus berlangsung pada tempat dengan fasilitas
untuk menangani komplikasi pernapasan yang berat; peneliti menunjukkan
bahwa 10% wanita memberat gejala asmanya pada waktu persalinan.
3. Pilihan persalinan
Untuk pasien preeklampsia, cara persalinan disarankan tidak
selalu caesar. Cara terminasi kehamilan harus ditentukan oleh usia
kehamilan, presentasi janin, status serviks, dan kondisi janin dan ibu.
Selama persalinan kala I pengobatan asma selama masa prenatal harus
diteruskan, ibu yang sebelum persalinan mendapat pengobatan
kortikosteroid harus hidrokortison 100 mg intravena, dan diulangi tiap 8
jam sampai persalinan. Bila mendapat serangan akut selama persalinan,
penanganannya sama dengan penanganan serangan akut dalam kehamilan
seperti telah diuraikan di atas. Pada persalinan kala II persalinan per
vaginam merupakan pilihan terbaik untuk penderita asma, kecuali jika
indikasi obstetrik menghendaki dilakukannya seksio sesarea. Jika
dilakukan seksio sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea lebih dipilih
anestesi regional daripada anestesi umum karena intubasi trakea dapat
memacu terjadinya bronkospasme yang berat. Pada penderita yang
mengalami kesulitan pernapasan selama persalinan pervaginam,
memperpendek, kala II dengan menggunakan ekstraksi vakum atau forceps
akan bermanfaat.
BAB V
KESIMPULAN

1. Pada pasien ini ditegakkan diagnosis G1P0A0H0 gravid aterm 38-


39 minggu + PEB + Asma bronkial Janin hidup tunggal intrauterin presentasi
kepala berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
2. Preeklampsia merupakan sindrom spesifik dalam kehamilan yang
dapat mempengaruhi semua sistem organ. Penegakan kriteria preeklampsia tidak
hanya dengan pemeriksaan protein urin, tetapi juga kegagalan multi organ
lainnya. Preeklampsia adalah keadaan serius yang muncul setelah kehamilan 20
minggu dengan faktor kontribusi utama adalah peningkatan tekanan darah.
Etiologi preeklampsi sampai saat ini masih belum dapat ditentukan. Secara
patofiologi disebabkan oleh iskemik plasenta yang terdiri dari 2 tingkatan.
3. Untuk pasien preeklampsia dengan tekanan darah sistolik kurang dari 160 mmHg
dan diastolik kurang dari 110 mmHg dan tanpa gejala, magnesium sulfat untuk
pencegahan eklampsia tidak disarankan.
4. Untuk pasien preeklampsia berat pada atau di luar 34 minggu kehamilan, dan pada
kondisi ibu atau janin tidak stabil terlepas dari usia kehamilan, dianjurkan
persalinan setelah stabilisasi ibu.
5. Asma pada kehamilan merupakan suatu hal yang selayaknya
mendapatkan perhatian dikarenakan banyak ibu hamil yang khawatir bahwa
penyakit yang dideritanya dapat memberi pengaruh bagi janin, sehingga
dibutuhkan terapi yang komprehensif dimulai dari edukasi hingga terapi
farmakologis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Gao Q, Tang J, Li N, Liu B, Zhang M, Sun M, et al. What is precise


pathophysiology in development of hypertension in pregnancy? Precision
medicine requires precise physiology and pathophysiology. Drug discovery today.
2018;23(2):286-99.
2. Vivian Ukah DDS, Beth Payne. Prediction of adverse maternal outcomes from
pre-eclampsia and other hypertensive disorders of pregnancy: A systematic
review. Internationa Society for Study of Hypertension in Pregnancy.
2018;11:115-23.
3. Secretariat A. ASEAN Statistical Report on Millennium Development Goals
2017. Jakarta: 2017.
4. Sava RI, March KL, Pepine CJ. Hypertension in pregnancy: Taking cues from
pathophysiology for clinical practice. Clinical cardiology. 2018;41(2):220-7.
5. From the Global Strategy for Asthma Management and Prevention,
GlobalInitiative for Asthma (GINA) 2014.
6. Cunningham L, Bloom, Dashe. Hypertensive Disorders. Williams Obstetric 25
ed. New York: Mc Graw Hill; 2017. p. 1086-8.
7. ACOG. Task Force on Hypertension in Pregnancy. In: James M Roberts PAA,
George Bakris, John R. Barton, editor. Classification of Hypertensive Disorders.
Washington DC: ACOG; 2013. p. 13-73.
8. Gathiram P, Moodley J. Pre-eclampsia: its pathogenesis and pathophysiolgy.
Cardiovascular Journal Of Africa. 2016;27(2):71-9.
9. Treatment of Severe Persistent Hypertension in Pregnancy. Maine Medical
Partners. (Hypertensive Disorders in Pregnancy). 2017;4:2-8.
10. Przybyl L, Haase N, Golic M, Rugor J, Solano ME, Arck PC, et al. CD74-
Downregulation of Placental Macrophage-Trophoblastic Interactions in
Preeclampsia. Circulation research. 2016;119(1):55-68.
11. Zhang D, Liu H, Zeng J, Miao X, Huang W, Chen H, et al. Glucocorticoid
exposure in early placentation induces preeclampsia in rats via interfering
trophoblast development. General and comparative endocrinology. 2016;225:61-
70.
12. Webster LM, Gill C, Seed PT, Bramham K, Wiesender C, Nelson-Piercy C, et al.
Chronic hypertension in pregnancy: impact of ethnicity and superimposed
preeclampsia on placental, endothelial, and renal biomarkers. American journal of
physiology Regulatory, integrative and comparative physiology.
2018;315(1):R36-R47.
13. POGI (Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia) Cabang Jawa Barat. Panduan
Praktek Klinis Hipertensi Dalam Kehamilan. 2018.
14. Brown MA, Magee LA, Kenny LC, Karumanchi SA, McCarthy FP, Saito S, et al.
The hypertensive disorders of pregnancy: ISSHP classification, diagnosis &
management recommendations for international practice. Pregnancy hypertension.
2018;13:291-310.
15. Committee on Obstetric P. Committee Opinion No. 692: Emergent Therapy for
Acute-Onset, Severe Hypertension During Pregnancy and the Postpartum Period.
Obstetrics and gynecology. 2017;129(4):e90-e5.
16. Dymara-Konopka W, Laskowska M, Oleszczuk J. Preeclampsia - Current
Management and Future Approach. Current pharmaceutical biotechnology. 2018.
17. The Ohio State University Medical Center. Asthma and Pregnancy. September 9,
2011.

Anda mungkin juga menyukai