UNIVERSITAS ANDALAS
oleh :
dr. Calvindra Leenesa
Peserta PPDS OBGIN
Pembimbing :
dr. H. Erman Ramli, SpOG(K)
KASUS
Nama : Ny. A
Umur : 28 tahun
Alamat : Bukittinggi
No. RM : 219035
Pendidikan : SMA
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : Sedang Keadaan gizi : Sedang
Kesadaran : CMC TB : 157 cm
Tekanan darah : 160 / 100 mmHg BB : 53 kg
Frekuensi nadi : 84x /menit BMI : 21,5 (normoweight)
Frekuensi nafas : 26 x /menit LILA : 24 cm
Suhu : 36.80C
Thorak :
Paru
I : Pergerakan simetris kiri = kanan
Pa : Fremitus normal kiri = kanan
Pe : Sonor, kiri = kanan
Au : Vesikuler normal, wheezing ( - ), ronkhi ( - )
Jantung
I : Iktus tidak terlihat
Pa : Iktus teraba satu jari medial LMCS RIC V
Pe : Batas jantung dalam batas normal
Au : Murni, teratur, bising ( - )
Abdomen : Status obstetrikus
Genitalia : Status obstetrikus
Ekstremitas : Edema +/+, RF + / +, RP-/-
Status obstetrikus
Abdomen :
Inspeksi : Tampak membuncit sesuai usia kehamilan aterm, Linea
mediana hiperpigmentasi, striae gravidarum (+), sikatrik (-)
Palpasi
LI : Teraba fundus uteri 3 jari dibawah proc. xyphoideus
Teraba massa besar, lunak, noduler
L II : Teraba tahanan terbesar di sebelah kiri
Teraba bagian-bagian kecil di sebelah kanan
L III : Teraba massa bulat keras, terfiksir
L IV : Konvergen
TFU : 33 cm His: (-)
Auskultasi : DJJ : 130-140 x/menit
Genitalia :
Inspeksi : V/U tenang, PPV (-)
VT : Pembukaan 1-2 cm, ketuban (+), penipisan portio 40-50%,
medial, UUK lintang, Hodge I-II
Bishop score : 6
TBJ : 3255 gr
USG
CTG :
Baseline :135x/mnt
Variabilitas : 5-10
Akselerasi : (+)
Deselerasi : (-)
Gerak janin : (+)
Kontraksi : (-)
Kesan : Kategori 1
Laboratorium :
P/
- Kontrol KU, VS, His , DJJ, Tanda impending, Reflek patella, Urin
- Informed consent
- IVFD 2 line
o RL + drip regimen MgSo4 dosis inisial, lanjut dosis
maintenance 28 tpm
o RL + drip oksitosin 5 IU, mulai 10 tpm, naik 5 tpm/30 menit,
sampai 60 tpm atau his adekuat
- Metildopa 500 mg po
R/
Induksi persalinan
A/ G1P0A0H0 parturien aterm 38-39 minggu kala I fase laten + PEB dalam
regimen MgSO4 dosisi maintenance + Asma bronkial
Janin hidup tunggal intrauterin presentasi kepala
P/
• Kontrol KU, VS, His , DJJ, Tanda impending, Reflek patella, Urin
• IVFD 2 line
• RL + drip regimen MgSo4 dosis inisial, lanjut dosis maintenance
28 tpm
• RL + drip oksitosin 5 IU 50 tpm, naik 5 tpm/30 menit, sampai 60
tpm atau his adekuat
A/ G1P0A0H0 parturien aterm 38-39 minggu kala I fase laten + PEB dalam
regimen MgSO4 dosisi maintenance + Asma bronkial + Gagal induksi
Janin hidup tunggal intrauterin presentasi kepala
P/
• Kontrol KU, VS, His , DJJ, Tanda impending, Reflek patella, Urin
• Informed consent
• IVFD 2 line
• RL + drip regimen MgSo4 dosis inisial, lanjut dosis maintenance
28 tpm
• RL + drip oksitosin 5 IU 60 tpm
• Inj. Ceftriaxone 2 gr pre op (skin test)
• Konsul anestesi
• Lapor OK dan perinatologi
R/
SCTPP Cito
A/ P1A0H1 post SCTPP ai Gagal induksi + PEB dalam regimen MgSO4 dosis
maintenance + Asma bronkial, NH-1
Anak dan ibu dalam perawatan
P/
• Kontrol KU, VS, PPV, Reflek Patela, Balance cairan, Tanda
impending
• IVFD 2 line
RL + oksitosin 20 IU à 28 tpm
RL + Regimen MgSO4 dosis maintanance
• Inj. Ceftriaxone 2x1 gram
• Metildopa 3x500 mg po
• As. Mefenamat 3x500 mg po
• Vitamin C 3x50 mg po
• Tablet tambah darah 2x1 tab po
R/
Cek laboratorium darah rutin 6 jam post op
A/ P1A0H1 post SCTPP ai Gagal induksi + PEB dalam regimen MgSO4 dosis
maintenance + Asma bronkial, NH-1
Anak dan ibu dalam perawatan
P/
• Kontrol KU, VS, PPV, Reflek Patela, Balance cairan, Tanda
impending
• IVFD RL + Regimen MgSO4 dosis maintanance 28 tpm
• Inj. Ceftriaxone 2x1 gram
• Metildopa 3x500 mg po
• As. Mefenamat 3x500 mg po
• Vitamin C 3x50 mg po
• Tablet tambah darah 2x1 tab po
A/ P1A0H1 post SCTPP ai Gagal induksi + PEB selesai regimen MgSO4 dosis
maintenance + Asma bronkial, NH-2
Anak dan ibu dalam perawatan
P/
• Kontrol KU, VS, PPV, Reflek Patela, Balance cairan, Tanda
impending
• Inj. Ceftriaxone 2x1 gram
• Metildopa 3x500 mg po
• As. Mefenamat 3x500 mg po
• Vitamin C 3x50 mg po
• Tablet tambah darah 2x1 tab po
A/ P1A0H1 post SCTPP ai Gagal induksi + PEB selesai regimen MgSO4 dosis
maintenance + Asma bronkial, NH-3
Anak dan ibu dalam perawatan
P/
• Kontrol KU, VS, PPV, Reflek Patela, Balance cairan, Tanda
impending
• Inj. Ceftriaxone 2x1 gram
• Metildopa 3x500 mg po
• As. Mefenamat 3x500 mg po
• Vitamin C 3x50 mg po
• Tablet tambah darah 2x1 tab po
R/
Pulang
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
PREEKLAMPSIA
Preeklampsia merupakan sindrom spesifik dalam kehamilan yang dapat
memperngaruhi semua sistem organ. Penegakan kriteria preeklampsia tidak hanya
dengan pemeriksaan protein urin, tetapi juga kegagalan multi organ lainnya.
Preeklampsia adalah keadaan serius yang muncul setelah kehamilan 20 minggu
dengan faktor kontribusi utama adalah peningkatan tekanan darah.6
Kondisi Kriteria
Hipertensi gestasional TD > 140/90 mmHg setelah 20 minggu dimana
sebelumnya normotensi tanpa diikuti gejala
preeklampsia
Preeklampsia : Hipertensi dengan
Proteinuria ≥ 300mg/ 24 jam, atau
Rasio Protein urin: kreatinin ≥ 0.3, atau
Dipstick 1+ menetap
atau
Trombositopenia Trombosit < 100.000/ul
Gangguan ginjal Level kreatinin > 1.1 mg/dL atau meningkat 2x
lipat dari normal
Gangguan liver AST & ALT Meningkat 2x diatas batas normal
Cerebral Symptoms Sakit kepala, gangguan penglihatan, konvulsi
Pulmonary edema Sesak nafas, ronkhi
Microangiopathic hemolysis Peningkatan LDH
Gangguan pertumbuhan janin Oligohidramnion
FGR
Adanya (Absent or Reversed end Diastolic
Velocity) ARDV
Tabel 1 Klasifikasi dan diagnosis preeklampsia (sumber: Cunningham L,
Bloom, Dashe. Hypertensive Disorders. Williams Obstetric 25 ed. New York: Mc
Graw Hill; 2017. p. 1086-8.)
Etiologi
Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum dapat diketahui dengan pasti.
Banyak teori-teori dikemukakan tetapi belum ada yang mampu memberi jawaban
yang memuaskan tentang penyebabnya sehingga disebut sebagai “penyakit teori”.6
Ada beberapa faktor yang diyakini dapat menyebabkan terjadinya
preeklampsia, yaitu :
1. Implantasi plasenta disertai invasi trofoblastik abnormal pada
pembuluh darah uterus.
2. Toleransi imunologis yang bersifat maladaptif di antara jaringan
maternal, paternal, dan fetal.
3. Maladaptasi rnaternal terhadap perubahan kardiovaskular atau
inflamatorik yang terjadi pada keharnilan normal
4. Faktor-faktor genetik, termasuk gen predisposisi yang diwariskan,
serta pengaruh epigenetik.
Patofisiologi
Plasenta merupakan kunci utama dalam patogenesis Hipertensi Dalam
Kehamilan (HDK). Karena awal terjadi dan berakhirnya HDK berhubungan
dengan ada atau tidaknya plasenta, dan hanya melepaskan plasenta dapat
menghilangkan gejala preeklampsi. Plasenta menghubungkan perkembangan fetus
dengan sistem uterus dengan krusial dengan peran krusial seperti transpor Gas,
nutrisi dan limbah fetus dan ibu, imunoproteksi dan pelepasan zat kimia yang
dibutuhkan dalam kehamilan.24
Plasenta iskemik merupakan pusat keluarnya berbagai kimia dan sinyal
sebagai pencetus hipertensi dalam kehamilan. Konsep ini terkenal dengan “two
stage theory”. Stage 1 berupa banyak faktor termasuk genetik, imunologi,
pengaruh lingkungan yang dapat menyebabkan plasentasi abnormal sehingga
aliran darah berkurang sehingga terjadi plasenta iskemik. Pada Stage 2 dimana
plasenta mengeluarkan kimiawi atau molekul ke dalam sirkulasi.11
Kehamilan pertama
Riwayat Eklampsia atau Preeklampsi pada hamil sebelumnya
Jarak anak sebelumnya >10 tahun
Usia > 40 tahun
Riwayat Preeklampsia pada keluarga (ibu & saudara perempuan)
Memiliki riwayat penyakit Hipertensi, ginjal & diabetes.
Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru
Kehamilan multipel
Sindrom antifosfolipid (APS)
Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit, dan embrio
Obesitas sebelum hamil
Pencegahan Preeklampsia
PNKP POGI Cabang Jawa Barat tentang pedoman diagnosa dan
tatalaksana preeklampsi membagi menjadi 3 bagian, yaitu primer artinya
menghindari sebelum terjadinya penyakit, sekunder artinya memutus proses
terjadinya penyakit yang sedang berlangsung sebelum timbul gejala kedaruratan
klinis karena penyakit tersebut. Dan tersier merupakan berupa tatalaksana. Yang
akan dibahas pada bagian ini pencegahan primer dan sekunder.13
Pencegahan primer
Dilakukan dengan menelaah Faktor risiko yang telah diidentifikasi pada
kunjungan awal antenatal. Berdasarkan hasil penelitian dan panduan Internasional
terbaru kami membagi dua bagian besar faktor risiko yaitu risiko tinggi / mayor
dan risiko tambahan / minor.13
Tabel 2 Klasifikasi risiko yang dapat dinilai pada kunjungan antenatal
pertama (Sumber: POGI Cabang Jawa Barat. Panduan Praktek Klinis Hipertensi
Dalam Kehamilan 2018)
Pencegahan Sekunder
Istirahat
Istirahat dirumah tidak direkomendasikan untuk pencegahan primer
eklampsi. Tirah baring tidak direkomendasikan untuk memperbaiki luaran
pada wanita hamil dengan hipertensi (dengan atau tanpa proteinuria).
Restriksi garam
Pembatasan garam untuk mencegah terjadinya preeklampsi masih
kontroversi. Diet makanan harus dikonsulkan ke ahli gizi. Disarankan
garam yang dikomsumsi 2-4gr/hari
Aspirin dosis rendah
Hasil penelitian penggunaan aspirin setelah 16 minggu kehamilan dapat
mengurangi insidensi 10%. ACOG 2013 merekomendasikan penggunaan
aspirin dosis rendah (60-80mg/hari) direkomendasikan untuk prevensi
preeklampsia pada wanita dengan risiko tinggi. Aspirin dosis rendah
sebaiknya digunakan sebelum usia gestasi 16 minggu sampai 37 minggu.
Suplemen Kalsium
Suplementasi kalsium minimal 1 g/hari direkomendasikan terutama pada
wanita dengan asupan kalsium yang rendah
Suplemen antioksidan
Pemberian vitamin C dan E dosis tinggi tidak menurunkan risiko
hipertensi dalam kehamilan, preeklampsia dan eklampsia, serta berat lahir
bayi rendah, bayi kecil masa kehamilan atau kematian perinatal. Sehingga
tidak direkomendasikan.14
Penatalaksanaan Preeklampsia
PNKP POGI 2016 membagi 2 jenis tatalaksana:
1. Penatalaksanaan Ekspetatif
Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk
memperbaiki luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal
serta memperpanjang usia kehamilan tanpa membahayakan ibu.
Manajemen ekspektatif tidak meningkatkan kejadian morbiditas
maternal seperti gagal ginjal, sindrom HELLP, angka seksio sesar, atau
solusio plasenta. Sebaliknya dapat memperpanjang usia kehamilan, serta
mengurangi morbiditas perinatal seperti penyakit membran hialin,
necrotizing enterocolitis, kebutuhan perawatan intensif dan ventilator
serta lama perawatan. Berat lahir bayi rata – rata lebih besar pada
manajemen ekspektatif, namun insiden pertumbuhan janin terhambat
juga lebih banyak.13
Pemberian kortikosteroid mengurangi kejadian sindrom gawat
napas, perdarahan intraventrikular, infeksi neonatal serta kematian
neonatal.13
Rekomendasi:
Manajemen ekspektatif dipertimbangkan pada kasus preeklampsi
pada usia kehamilan 26-34 minggu bertujuan untuk memperbaiki
luaran perinatal
Perawatan poliklinis secara ketat dapat dilakukan pada kasus
preeklampsia tanpa gejala berat.
Evaluasi ketat yang dilakukan adalah:
Evaluasi gejala maternal dan gerakan janin setiap hari
oleh pasien
Evaluasi tekanan darah 2 kali dalam seminggu secara
poliklinis
Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver setiap minggu
Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara berkala (dianjurkan 2
kali dalam seminggu)
Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin terhambat, evaluasi
menggunakan Doppler velocimetry terhadap arteri umbilikal
direkomendasikan.13
Ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan patokan untuk dilakukan terminasi
segera:
Antihipertensi diberikan terutama bila tekanan darah sistolik > 160 mmHg
dan diastolik > 110 mmHg. Untuk keadaan gawat darurat dapat diberikan
nifedipin 10 mg per oral dan dapat diulangi setiap 30 menit (maksimal 120 mg/24
jam) sampai terjadi penurunan MABP 20%. Selanjutnya diberikan dosis rumatan
3x10mg ( pemberian nifedipine tidak diperkenankan diberikan sub lingual).
Nikardipine diberikan bila tekanan darah ≥ 180/110 mmHg/ hipertensi emergensi
dengan dosis 1 ampul 10 mg dalam larutan 50cc per jam atau 2 ampul 10 mg
dalam larutan 100cc tetes per menit mikro drip. Pelarut yang tidak dapat
digunakan adalah ringer laktat dan bikarbonat natrikus.13
Pemberian kortikosteroid
ASMA BRONKIAL
Epidemiologi
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak status atopi, faktor keturunan,
serta faktor lingkungan. Pada masa kanak-kanak berbanding anak perempuan
1,5:1, tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama. Di
Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5-7%. Insidensi asma dalam
kehamilan adalah sekitar 0,5-1% dari seluruh kehamilan, dimana serangan
asma biasanya timbul pada usia kehamilan 24-36 minggu, dan jarang pada
akhir kehamilan. Prevalensi asma dalam kehamilan sekitar 3,7 – 4 %. Hal
tersebut membuat asma menjadi salah satu permasalahan yang biasa ditemukan
dalam kehamilan.17
Patofisiologi
Pada asma terdapat penyempitan saluran pernafasan yang disebabkan
oleh spasme otot polos saluran nafas, edema mukosa dan adanya hipersekresi
yang kental. Penyempitan ini akan menyebabkan gangguan ventilasi
(hipoventilasi), distribusi ventilasi tidak merata dalam sirkulasi darah pulmonal
dan gangguan difusi gas di tingkat alveoli. Akhirnya akan berkembang menjadi
hipoksemia, hiperkapnia dan asidosis pada tingkat lanjut.17
Ciri patofisiologi asma adalah inflamasi kronis and hiperaktif bronkial
termasuk interaksi antara banyak sel dan mediator radang. Sel infiltrate saluran
pernapasan yang radang termasuk T sel aktif, terdiri dari yang terbesar adalah
eosinofil dan limfosit TH2. Karena alasan inilah, agen anti-inflamasi
merupakan hal pokok dalam pengawasan asma persisten. Walaupun
kortikosteroid mengurangi produksi sitokin dan chemokines pada pasien asma
atau dengan rhinitis dan alur pengobatan utama untuk banyak pasien,
leukotriene modifiers and antagonis juga bersifat anti-inflamasi. Timbulnya
serangan asma disebabkan terjadinya reaksi antigen antibodi pada permukaan
sel mast paru, yang akan diikuti dengan pelepasan berbagai mediator kimia
untuk reaksi hipersentifitas cepat. Terlepasnya mediator-mediator ini
menimbulkan efek langsung cepat pada otot polos saluran nafas dan
permiabilitas kapiler bronkus. Mediator yang dilepaskan meliputi bradikinin,
leukotrien C,D,E, prostaglandin PGG2, PGD2a, PGD2, dan tromboksan A2.
Mediator-mediator ini menimbulkan reaksi peradangan dengan
bronkokonstriksi, kongesti vaskuler dan timbulnya edema, di samping
kemampuan mediator-mediator ini untuk menimbulkan bronkokontriksi,
leukotrien juga meningkatkan sekresi mukus dan menyebabkan terganggunya
mekanisme transpor mukosilia.17
Pada asma dengan kausa non alergenik terjadinya bronkokontriksi
tampaknya diperantarai oleh perubahan aktifitas eferen vagal yang mana terjadi
ketidak seimbangan antara tonus simpatis dan parasimpatis. Saraf simpatis
dengan reseptor beta-2 menimbulkan bronkodilatasi, sedangkan saraf
parasimpatis menimbulkan bronkokontriksi. Perubahan fisiologis selama
kehamilan mengubah prognosis asma, Hal ini berhubungan dengan perubahan
hormonal selama kehamilan. Bronkodilatasi yang dimediasi oleh progesteron
serta peningkatan kadar kortisol serum bebas merupakan salah satu perubahan
fisiologis kehamilan yang dapat memperbaiki gejala asma, sedangkan
prostaglandin F2 dapat memperburuk gejala asma karena efek bronkokonstriksi
yang ditimbulkannya.17
1. Dasar diagnosis
Pasien didiagnosis dengan G1P0A0H0 gravid aterm 38-39 minggu
+ PEB + Asma bronkial Janin hidup tunggal intrauterin presentasi kepala.
Penegakan diagnosis ini didasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis sebelumnya pasien datang untuk
kontrol kehamilan ke RS YARSI Bukittinggi, didapatkan tekanan darah
180/100 mmHg. Pasien diberikan Metildopa 500 mg, Nifedipine 10 mg.
Pasien dirujuk ke RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi dengan alasan
ruangan penuh, serta terpasang infus dan kateter. Tidak ada tanda-tanda
impending dan inpartu. Diketahui pasien memiliki penyakit asma bronkial
dalam terapi. Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan hasil dalam
batas normal dengan protein urin +3.
Berdasarkan data pemeriksaan yang didapat ;
sebelumnya, salah satu kriteria preeklampsia adalah proteinuria yang
didefinisikan sebagai ekskresi >300 mg protein dalam urin 24 jam atau
rasio protein/kreatinin minimal 0,3 (masing- masing diukur sebagai
mg/dL). Metode dipstick tidak lagi disarankan untuk diagnostik kecuali
pendekatan lain tidak tersedia. Protein 1+ dianggap sebagai cut off untuk
diagnosis proteinuria. Saat ini, diagnosis preeklampsia berat tidak lagi
tergantung pada adanya proteinuria. Manajemen preeklampsia tanpa
proteinuria tidak boleh ditunda. Task Force on Hypertension in Pregnancy
juga menyarankan untuk mengeliminasi kriteria proteinuria masif, yang
didefinisikan sebagai proteinuria >5 g, karena kurangnya bukti bahwa
kuantitas protein berhubungan dengan luaran kehamilan dengan
preeklampsia. Pertumbuhan janin terhambat juga bukan lagi indikasi
preeklampsia berat mengingat tatalaksana PJT pada kehamilan dengan
atau tanpa preeklampsia tidak berbeda.
2. Manajemen
Antihipertensi diberikan terutama bila tekanan darah sistolik > 160
mmHg dan diastolik > 110 mmHg. Untuk keadaan gawat darurat dapat
diberikan nifedipin 10 mg per oral dan dapat diulangi setiap 30 menit
(maksimal 120 mg/24 jam) sampai terjadi penurunan MABP 20%.
Selanjutnya diberikan dosis rumatan 3x10mg ( pemberian nifedipine tidak
diperkenankan diberikan sub lingual). Pemberian MgSO4 sebagai
antikonvulsan untuk mencegah terjadinya eklampsia (kejang). Magnesium
sulfat merupakan pilihan pertama untuk antikejang pada preeklampsia atau
eklampsia. Magnesium sulfat akan bekerja dengan menghambat atau
menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan
menghambat transmisi neuromuscular yang membutuhkan kalsium pada
sinaps.
Pada kehamilan dengan asma yang terkontrol baik, tidak
diperlukan suatu intervensi obstetri awal. Pertumbuhan janin harus
dimonitor dengan ultrasonografi dan parameter-parameter klinik,
khususnya pada penderita-penderita dengan asma berat atau yang steroid
dependen, karena mereka mempunyai resiko yang lebih besar untuk
mengalami masalah pertumbuhan janin. Onset spontan persalinan harus
diperbolehkan, intervensi preterm hanya dibenarkan untuk alasan
obstetrik. Karena pada persalinan kebutuhan ventilasi bisa mencapai 20
l/menit, maka persalinan harus berlangsung pada tempat dengan fasilitas
untuk menangani komplikasi pernapasan yang berat; peneliti menunjukkan
bahwa 10% wanita memberat gejala asmanya pada waktu persalinan.
3. Pilihan persalinan
Untuk pasien preeklampsia, cara persalinan disarankan tidak
selalu caesar. Cara terminasi kehamilan harus ditentukan oleh usia
kehamilan, presentasi janin, status serviks, dan kondisi janin dan ibu.
Selama persalinan kala I pengobatan asma selama masa prenatal harus
diteruskan, ibu yang sebelum persalinan mendapat pengobatan
kortikosteroid harus hidrokortison 100 mg intravena, dan diulangi tiap 8
jam sampai persalinan. Bila mendapat serangan akut selama persalinan,
penanganannya sama dengan penanganan serangan akut dalam kehamilan
seperti telah diuraikan di atas. Pada persalinan kala II persalinan per
vaginam merupakan pilihan terbaik untuk penderita asma, kecuali jika
indikasi obstetrik menghendaki dilakukannya seksio sesarea. Jika
dilakukan seksio sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea lebih dipilih
anestesi regional daripada anestesi umum karena intubasi trakea dapat
memacu terjadinya bronkospasme yang berat. Pada penderita yang
mengalami kesulitan pernapasan selama persalinan pervaginam,
memperpendek, kala II dengan menggunakan ekstraksi vakum atau forceps
akan bermanfaat.
BAB V
KESIMPULAN