Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tumor ovarium adalah suatu massa yang tumbuh pada ovarium.


Tumor jinak ovarium, yang juga dikenal sebagai atypical proliferating tumors
adalah massa yang terdiri dari kelompok tumor yang menunjukan proliferasi
epitel yang biasanya jinak dan non invasive. Diantara tumor-tumor ovarium
ada yang bersifat neoplastik dan ada yang bersifat non neoplastik (Adriansz
G, 2016).
Tumor ovarium Borderline (BOT) telah dikualifikasikan sebagai
tumor potensial ganas rendah oleh FIGO sejak 1971. BOT diklasifikasikan
10-20% dalam tumor ovarium epitel dengan angka kejadian rendah. Eropa
sekitar 4,8 / 100.000 kasus baru per tahun dan bahkan Amerika jauh lebih
rendah ( 1,5- 2,5 / 100.000 kasus per tahun. BOT terjadi pada wanita sekitar
usia 40 tahun (dalam 27-36% kasus tumor terjadi pada usia yang lebih muda)
dibandingkan dengan kejadian rata-rata pada usia 60 tahun dalam kasus
karsinoma invasif. Risiko dan faktor protektif untuk terjadinya BOT mirip
dengan karsinoma; Namun, asosiasi dengan mutasi pada Gen BCRA luar
biasa. Dalam beberapa penelitian, peningkatan insiden (dua sampai empat
kali lebih besar) dari BOT serosa pada wanita yang menjalani teknik
reproduksi berbantu. Ini tampaknya memiliki beberapa korelasi dengan kadar
hormon yang dicapai selama ovarium stimulasi. Beberapa pasien dengan
BOT (16-30%) tidak menunjukkan gejala ketika didiagnosis dan
penemuannya incidental. Namun, ketika ada gejala sering tidak spesifik,
mirip dengan tumor adneksa lainnya, seperti nyeri panggul atau distensi
abdomen. ( Steffen, 2017)
Tumor borderline ovarium jarang terjadi. Tumor tersebut memiliki
kategori berada diantara tumor jinak dan ganas. Seromucinous borderline
tumor juga dikenal sebagai atypical proliferative seromucinous tumor, dahulu
termasuk mucinous borderline ovarian tumor (BOT) tipe endoservikal atau
mullerian mucinous BOT. Meskipun lama dikenal dengan nama yang

1
bervariasi, tumor ini sekarang secara resmi masuk kedalam kategori yang
terpisah pada revisi 2014 WHO Classification of Tumours of the Female
Genital Organs. ( Luh ayu, 2017)
Borderline ovarium tumor adalah kelompok tumor patologis yang
menunjukkan aktivitasi proliferatif yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan tumor jinak, tetapi tidak menunjukka invasi stroma. BOT Juga
dikenal sebagai tumor ganas potensial rendah. BOT pertama kali dijelaskan
oleh Taylor, 10–15% dari semua neoplasma epitel ovarium .BOT terlihat
pada kelompok usia yang lebih muda dan sering didiagnosis pada stadium
awal serta menghasilkan prognosis yang sangat baik. Tingkat kelangsungan
hidupnya lebih baik daripada wanita dengan ovarium yang ganas. Tingkat
kelangsungan hidup 5 tahun untuk batas stadium I dari 95-97%. Bahkan
perempuan dengan stadium III memiliki prognosis yang baik, dengan tingkat
kelangsungan hidup 50-86%. Tingkat kelangsungan hidup 10 tahun berkisar
70-80%, karena terlambat rekurensi. ( Bagade, 2012)
BOT Musinosum cenderung lebih besar daripada BOT serosa dan
memiliki struktur kistik unilokular atau multilokular, dengan septa halus di
bagian dalam dan nodul intramural. Invasi ke peritoneum sangat jarang terjadi
( 15%). (Alejandra et all, 2014)
Prediksi angka kelangsungan hidup pada pasien BOT ini, membuat
beberapa wanita menyerah terhadap penyakitnya, karenanya perlu dilakukan
tatalaksana yang dikelolah dengn tepat. Faktor-faktor seperti heterogenitas,
jenis tumor, usia dan kesuburan wanita dan penentuan staging membuat
pengambilan keputusan perawatan lanjut yang kompleks dan
membingungkan ( Bagada, 2012).
Banyak wanita dengan kanker ovarium stadium lanjut menjalani
operasi suboptimal primer di rumah sakit daerah. Banyaknya jaringan tumor
yang tersisa setelah operasi sitoreduktif primer merupakan salah satu faktor
terpenting prognosa dari kanker ovarium. Jenis operasi juga pengalaman dari
dokter yang melakukan pembedahan merupakan faktor utama lain yang
mempengaruhi prognosis. Oleh karena itu, diagnosis preoperatif yang tepat
merupakan hal yang sangat krusial dan masih merupakan tantangan bagi

2
ginekologist. Dikarenakan tidak adanya metode skrining, kanker ovarium
sering didiagnosis saat pasien sudah memiliki keluhan, atau saat sudah
stadium lanjut. Hal ini membawa kesulitan dan kerumitan dalam
menatalaksana yang berujung pada prognosis yang lebih buruk. Efisiensi
penatalaksanaan pada pasien dengan kanker ovarium dapat ditingkatkan
dengan melakukan standarisasi evaluasi preoperatif. (Abdel, 2014 )
Definisi tumor ovarium jenis epitelial borderline memang sudah
dicantumkan dalam WHO, namun pada praktiknya masih sering ditemukan
masalah terutama dalam menilai ada tidaknya pertumbuhan invasif.( Tantri,
2017)
Deteksi dini merupakan kunci dari keberhasilan pengobatan kanker
ovarium, tetapi kanker ovarium jarang terdeteksi pada stadium awal karena
penyakit ini hanya menyebabkan sedikit gejala spesifik saat hanya
terlokalisasi di ovarium. Beberapa uji diagnostik yang saat ini tersedia adalah
dengan pencitraan, tumor marker dan penggabungan tumor marker dan
pencitraan. (Brett, 2017).
USG merupakan alat diagnostik imaging yang utama untuk kista
ovarium. Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan letak,batas tumor,
dibedakan apakah tumor kistik atau solid, dan dapat pula dibedakan antara
cairan dalam rongga perut yang bebas dan yang tidak. USG juga merupakan
deteksi dini terbaik dalam membedakan antara massa adneksa yang jinak dan
ganas. IOTA mengembangkan metode IOTA SR untuk mengarah ke jinak
dan ganas .(Tantipalakorn, 2014).

3
BAB II

LAPORAN KASUS

Nama : Nn. Pxxxxxx xxxx


Umur : 22 Tahun
Alamat : Padang Panjang
Pekerjaan : Mahasiswi
Tanggal masuk RS : 23 Januari 2019
No MR : 788916

ANAMNESIS
Seorang pasien usia 22 tahun datang ke poli kebidanan RSUD Padang Panjang
pada tanggal 23 Januari 2019 pukul 10.00 WIB dengan keluhan perut terasa
membesar sejak 5 bulan sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang


• Perut terasa membesar sejak 5 bulan sebelum masuk RS sebesar sebesar
kehamilan cukup bulan
• Nyeri pada perut bagian bawah dirasakan hilang timbul sejak 1 bulan
sebelum masuk RS
• Keluar darah dari kemaluan diluar siklus haid tidak ada
• Riwayat demam, trauma, keputihan tidak ada
• Riwayat penurunan berat badan dirasakan sejak sejak 1 bulan sebelum
masuk RS
• BAB dan BAK tidak ada keluhan
• Pasien belum menikah dan belum pernah menggunakan alat kontrasepsi.
• Riw menstruasi : menarche usia 13 tahun, siklus teratur 1x28 hari, selama
5-6 hari, 2-3 kali ganti duk per hari, nyeri haid tidak ada
• Pasien saat ini masih haid setiap bulannya

Riwayat Penyakit Dahulu:


Tidak ada riwayat penyakit jantung, paru, hati, ginjal, DM, hipertensi, dan alergi

4
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada keluarga yang mempunyai riwayat penyakit keturunan, penyakit
menular, dan penyakit kejiwaan.

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan, Dan Kebiasaan


- Riw. Perkawinan :-
- Riwayat kehamilan/abortus/persalinan : -
- Riw. Kontrasepsi :-
- Riwayat Pekerjaan : Mahasiswi
- Riwayat Kebiasaan : Merokok (-), alkohol (-), obat
terlarang (-)

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
- Keadaan umum : Sedang
- Kesadaran : CMC
- TD : 120/80 mmHg
- Nadi : 82 x/menit
- Nafas : 20 x/menit
- Suhu : 36,9 ͦC
- TB : 155 cm
- BB : 44 kg
- BMI : 18.33 kg/m2( normoweight)
- Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
- Leher : JVP 5 – 2 CmH2O, kelenjar tiroid tidak membesar
- Thorax : Jantung/paru dalam batas normal
- Abdomen : Status Ginekologi
- Benitalia : Status Ginekologi
- Ekstremitas : Edem -/-
Status Ginekologis
Abdomen
- Inspeksi : Tampak membuncit, sikatriks (-)

5
- Palpasi : Teraba massa kistik setinggi 3 jari di bawah procesus
xyphoideus, rata,pergerakan sukar dinilai. Nyeri tekan (-),
nyeri lepas (-), Defans muskular (-)
- Perkusi : Pekak di atas massa, shifting dullness (-)
- Auskultasi : BU (+) N
Genitalia : Inspeksi : V/U tenang, PPV (-)
Inspekulo : Tidak dilakukan pemeriksaan
VT Bimanual : Tidak dilakukan pemeriksaan

LABORATORIUM
Hemoglobin : 14,1 gr/dl
Leukosit : 10.620 /mm3
Hematokrit : 41 %
Trombosit : 332.000/mm3
GDR : 87 mg/dl
CT : 5’
BT : 6’
HbsAg : (-)
Rapiid HIV test : (-)

Interprestasi USG
 Masa kistik sebesar layar monitor
Kesan: Kista Ovarium
DIAGNOSA
Kista Ovarium
SIKAP
 Kontrol KU, VS
 Informed consent laparatomi
 Injeksi Antibiotik Cefotaxime 1gr IV 30 menit pre op  Skin test

RENCANA
Laparotomi tanggal 28 Januari 2019

6
==========================================================
LAPORAN OPERASI ---------------------------------------------------------------
Nama : Ny. Pxxxxxx xxxx No. MR : 78.89.16
Umur : 22 tahun Bangsal : Kebidanan
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Nama Operator : dr.Syahrial Syukur, Sp.OG
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Nama Ahli Anestesi : dr. Riki, Sp.An
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Jenis Anestesi : Spinal
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Jenis Operasi : Khusus
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Diagnosa Pra Bedah : Kista Ovarium
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Indikasi Operasi : Kista Ovarium
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Diagnosa Paska Bedah : Post Salpingo-ooforektomi Dekstra ai Kista
Ovarium dekstra
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Nama Operasi : Salpingo-ooforektomi Dekstra
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Jaringan yang diinsisi : Tuba& Ovarium
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Dikirim ke PA : Ya
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Tanggal Operasi Jam dimulai Jam selesai Lama Operasi
28-01-2019 13.30 WIB 14.30 WIB 60 menit
---------------------------------------------------------------------------------------------------
 Pasien tidur telentang diatas meja operasi dalam spinal anestesi
 Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik.
 Pasang duk steril.
 Dilakukan insisi kulit padaabdomen secara linea mediana.
 Dilakukan eksplorasi, tampak masa kistik dengan ukuran sebesar bola volly.
 Dilakukan Salpingo-ooforektomi dekstra
 Perdarahan dirawat.
 Dilakukan penjahitan luka operasi, luka dirawat dijahit dan dirawat.
 Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
 Kulit dijahit secara subkutikuler.
 Perdarahan selama operasi ± 80 cc.

7
Pukul 13.30. Dilakukan Salpingo-ooforektomi Dekstra ai kista ovarium.
Didapatkan masa kistik seukuran bola volly. Perdarahan intra operatif ± 80cc.
A/ Post Salpingo-ooforektomi Dekstra ai kista ovarium dekstra
P/ Kontrol KU, VS, PPV, balance cairan
IVFD RL 28 tts/menit
Antibiotik : Cefotaxim 2 x 1 gr.
Pronalges sup II K/P
Kateter menetap
FOLLOW UP
Tanggal : 29-01-2019 pukul 08.00 WIB
Anamnesa
 Demam (-), nyeri perut (-), PPV (-), flatus (+), BAK (+) terpasang kateter

Pemeriksaan Fisik
KU Kes TD N R T Urin
Sedang CMC 110/80 80 20 af 60 cc/jam jernih
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera tidak ikterik
Abdomen
 Inspeksi : tidak tampak membuncit, luka operasi tertutup verban
 Palpasi : NT (-), NL (-), DM (-)
 Perkusi : timpani
 Auskultasi : bising usus (+) normal

Genitalia
 Inspeksi : V/U tenang, ppv(-), terpasang kateter

Diagnosa
Post Salpingo-ooforektomi Dekstra ai kista ovarium dekstra
Rawatan hari II

Sikap
 Kontrol KU, VS
 Mobilisasi (boleh duduk)
 Diet TKTP

8
 Aff Infus Kateter urin ( pukul 14.30)

Terapi
 Cefotaxime 2 x 1 gram (IV)
 Asam Mefenamat 3 x 500mg tab

FOLLOW UP
Tanggal : 30-01-2019, pukul 08.00 WIB
Anamnesa
 Demam (-), nyeri perut (-), PPV (-), BAK (+) jenih, BAB (+)

Pemeriksaan Fisik
KU Kes TD N R T urine
Sedang CMC 110/80 78 20 A 60 cc/jam
f

Abdomen
 Inspeksi : tidak tampak membuncit, luka operasi tertutup verban
 Palpasi : NT (-), NL (-), DM (-)
 Perkusi : timpani
 Auskultasi : bising usus (+)
 Inspeksi : V/U tenang, ppv (-),

Diagnosa
Post Salfingo-ooforektomi Dekstra ai Kista Ovarium Dekstra
Rawatan hari III
Sikap
 Kontrol KU, VS
 Mobilisasi (boleh jalan)
 Diet TKTP

Terapi
 Cefotaxime 2 x 1 gram (IV)
 Asam Mefenamat 3 x 500 mg tab

FOLLOW UP

9
Tanggal : 31-01-2019, pukul 08.00 WIB
Anamnesa
 Demam (-), nyeri perut (-), PPV (-),BAK (+)jernih, BAB (+)

Pemeriksaan Fisik
KU Kes TD N R T
Sedang CMC 120/80 78 21 Af

Abdomen
 Inspeksi : tidak tampak membuncit, luka operasi kering, pus (-)
 Palpasi : NT (-), NL (-), DM (-)
 Perkusi : timpani
 Auskultasi : bising usus (+) normal

Genitalia
 Inspeksi : V/U tenang, ppv (-)

Diagnosa
Post Salpingo-ooforektomi Dekstra ai Kista Ovarium Dekstra
Rawatan hari IV

Sikap
 Kontrol KU, VS
 Mobilisasi (boleh jalan)
 Diet TKTP
 Edukasi perawatan luka

Terapi
 Cefixime 2 x 100 mgtab
 Asam Mefenamat 3 x 500mg tab

Rencana : Pulang, Kontrol Poliklinik Kebidanan RSUD Padang Panjang tanggal


7-02-2019

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

11
A. Definisi
Tumor ovarium adalah sebuah proses penumbuhan jaringan baru yang
berasal dari ovarium baik yang bersifat jinak maupun ganas. Beberapa literatur
menggolongkan kista sebagai tumor namun beberapa literatur lain memisahkan
antara tumor dengan kista. Perlu diketahui bahwa definisi kista adalah suatu
jenis tumor berupa kantong abnormal yang berisi cairan. Karena secara definisi
tumor adalah jaringan, oleh karena itu beberapa literatur membedakan antara
kista dengan tumor ovarium. ( Rima, 2018)
Tumor ovarium jinak dapat berupa non-neoplasma atau neoplasma. Non-
neoplasma disebabkan oleh radang atau pengaruh lanjut dari seksresi endokrin,
sedangkan neoplasma disebabkan pertumbuhan sel-sel ovarium yang abnormal.
Berdasarkan asal sel, tumor ovarium terbagi menjadi tumor ovarium epitelial,
tumor ovarium germinal, dan tumor ovarium stroma. ( Tryanda, 2014).

Gambar 3.1. Tumor ovarium berdasarkan asal sel


Tumor epitelial ovarium borderline menunjukkan proliferasi epitel yang
lebih berat dibandingkan dengan tumor epitelial jinak, ditemukan pula berbagai
derajat atipia inti. Perbedaan dengan tumor epitelial ovarium ganas adalah pada
tumor borderline tidak ditemukan invasi stroma, prognosis tumor
borderlinepun lebih baik dibanding dengan karsinoma. ( Yayi, 2015)
B. Anatomi Ovarium

12
Struktur ovarium terdiri dari korteks pada bagian luar yang diliputi oleh
epitelium germinativum berbentuk kubik dan di dalamnya terdiri atas stroma
serta folikel-folikel primordial dan medulla pada bagian di sebelah dalam
korteks terdapat stroma dengan pembuluh- pembuluh darah, serabut-serabut
saraf, dan sedikit otot polos. Ovarium berisi sejumlah besar ovum yang belum
matang, yang disebut oosit primer. Folikel ini akan berkembang menjadi
folikel de Graaf. Setiap bulan folikel akan berkembang dan melepaskan sebuah
ovum. Ovulasi ini terjadi pada saat pertengahan (hari ke-14) siklus menstruasi.
Ovarium juga menghasilkan hormon yaitu progesteron dan estrogen (hormon
seks wanita), inhibin, dan relaksin ( Prawiharjo, 2010)
Selama masa reproduksi ovarium mempunyai ukuran 4 x 2,5 x 1,5 cm.
Ovarium dilapisi oleh satu lapisan yang merupakan modifikasi macam-macam
mesotelium yang dikenal sebagai epitel permukaan dan germinal. Stroma
ovarium dibagi dalam region kortikal dan medullari, tapi batas keduanya tidak
jelas. Stroma terdiri dari sel-sel spindel menyerupai fibroblast, biasanya
tersusun berupa whorls atau storiform pattern.Sel-sel terdiri atas cytoplasmic
lipid dan dikelilingi oleh suatu serat retikulin. Beberapa sel menyerupai
gambaran seperti miofibroblastik dan immunoreaktif dengan smooth muscle
actin (SMA) dan desmin. Bagian korteks dilapisi suatu lapisan biasanya
ditutupi oleh jaringan ikat kolagen yang aseluler. Folikel mempunyai tingkatan
maturasi yang bervariasi di luar korteks. Setiap siklus menstruasi, satu folikel
akan berkembang menjadi suatu folikel grafian, yang mana akan berubah
menjadi korpus luteum selama ovulasi. Medula ovarium disusun oleh jaringan
mesenkim yang longgar dan terdiri dari kedua duktus (rete ovarii) dan small
clusters yang bulat, sel epiteloid yang mengelilingi pembuluh darah dan
pembuluh saraf. Pembuluh darah limfe ovarium mengalir ke saluran yang lebih
besar membentuk pleksus pada hilus, dimana akan mengalir melewati
mesovarium kenodus para aortik, aliran lain ke iliaka interna, iliaka eksterna,
interaorta, iliaka pada umumnya dan nodus inguinal. ( Sarah S, 2015)

13
Gambar 3.2. Anatomi Ovarium
C. Etiologi/ Faktor Predisposisi
Faktor risiko tumor ovarium adalah usia yang produktif dan meningkat
pada usia premenopause, indeks masa tubuh (IMT) yang berlebih, wanita yang
tidak pernah mengalami kehamilan dan jumlah paritas, riwayat pembedahan
ginekologi, terapi hormon estrogen, riwayat keluarga dengan kanker, serta life
style. Penelitian lain menyatakan bahwa faktor risiko kanker ovarium terbagi
atas 5 bagian besar yaitu faktor reproduksi (jumlah paritas & kehamilan,
laktasi, serta usia menarke dan menopause), hormon eksogen (kontrasepsi
hormonal, obat penyubur, dan terapi hormon pengganti), kondisi terkait
ginekologi (endometriosis, PID (pelvic inflamematory disease) dan polycystic
ovarian syndrome, faktor lingkungan, dan faktor genetik. Penelitian lainnya
menemukan bahwa umur menarke dini, jumlah paritas, riwayat keluarga, dan
IMT yang overweight memiliki besar risiko yang bermakna terhadap kejadian
kanker ovarium. Sementara paritas memiliki risiko yang tidak bermakna
terhadap kejadian kanker ovarium. ( Mitayani, 2018)
Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan etiologi tumor ganas
ovarium. Berikut ini akan diuraikan beberapa teori tentang etiologi tersebut.
1. Hipotesis Incessant Ovulation

14
Teori ini pertama sekali diperkenalkan oleh Fathalla pada tahun 1972,
yang menyatakan bahwa pada saat terjadi ovulasi terjadi kerusakan pada sel-
sel epitel ovarium. Untuk penyembuhan luka yang sempurna dibutuhkan
waktu. Jika sebelum penyembuhan tercapai terjadi lagi ovulasi atau trauma
baru, proses penyembuhan akan terganggu dan dapat menimbulkan proses
transformasi dari sel-sel ovarium menjadi sel-sel tumor ( Rian, 2018).
2. Hipotesis Gonadotropin
Hormon hipofisa diperlukan untuk perkembangan tumor ovarium
pada beberapa percobaan pada binatang rodenria. Pada percobaan ini
ditemukan bahwa jika kadar hormon estrogen rendah di sirkulasi perifer,
maka kadar hormon gonadotropin akan meningkat. Peningkatan kadar
hormon gonadotropin ini ternyata berhubungan dengan makin bertambah
besarnya tumor ovarium pada binatang percobaan. ( Rian, 2018).
3. Hipotesis Androgen
Dalam percobaan invitro, androgen dapat menstimulasi pertumbuhan
epithel ovarium normal dan sel-sel tumor ganas ovarium jenis epitel dalam
kultur sel. Dalam penelitian epidemiologi juga ditemukan tingginya kadar
androgen (androstenedion, dehidroepiandrosteron) dalam darah wanita
penderita tumor ganas ovarium. Jadi, berdasarkan hipotesis ini menurunnya
risiko terjadinya tumor ganas ovarium pada wanita yang memakai pil
kontrasepsi dapat dijelaskan yaitu dengan terjadinya penurunan kadar
androgen. ( Rian, 2018).
4. Hipotesis Progesteron
Progesteron menginduksi terjadinya apoptosis sel epitel ovarium,
sedangkan estrogen menghambatnya. Pada kehamilan, dimana kadar
progesteron tinggi akan menurunkan risiko tumor ganas ovarium. Hal ini
menjelaskan mengapa risiko terjadinya tumor ganas ovarium pada wanita
dengan paritas yang tinggi lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang
nulipara. Pil kontrasepsi kombinasi atau yang hanya mengandung
progesteron yang menekan ovulasi juga menurunkan risiko tumor ganas
ovarium ( Rian, 2018).
5. Paritas

15
Penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan paritas yang tinggi
memiliki risiko terjadinya tumor ganas ovarium yang lebih rendah dari pada
nulipara. ( Rian, 2018).
6. Pil Kontrasepsi
Penelitian dari Centre for Disease Control menemukan penurunan
risiko terjadinya tumor ganas ovarium sebesar 40% pada wanita usia 20-54
tahun yang memakai pil kontrasepsi, yaitu dengan risiko relatif 0,6.
Penurunan risiko semakin nyata dengan semakin lama pemakaiannya
( Rian, 2018 ).
7. Terapi Hormon Pengganti pada Masa Menopause
Pemakaian terapi hormon pengganti pada masa menopause
(Menopausal Hormone Therapy = MHT) dengan estrogen saja secara nyata
meningkatkan risiko relatif terkena tumor ganas ovarium. Pemakaian MHT
dengan kombinasi estrogen dan progestin, meskipun lebih aman dari MHT
dengan estrogen saja, untuk jangka panjang tidak dianjurkan lagi sebagai
salah satu terapi suportif bagi wanita yang telah menopause. ( Rian, 2018).
8. Obat-obat yang Meningkatkan Kesuburan (Fertility Drugs)
Obat-obat yang meningkatkan fertilitas seperti klomifen sitrat, yang
diberikan secara oral, dan obat-obat gonadotropin yang diberikan dengan
suntikan seperti Follicle stimulating hormone (FSH), kombinasi FSH
dengan Luteinizing Hormone (LH), akan menginduksi terjadinya ovulasi
atau multipel ovulasi. Menurut hipotesis incessant ovulation dan hipotesis
gonadotropin, pemakaian obat penyubur ini jelas akan meningkatkan risiko
relatif terjadinya tumor ganas ovarium. Tumor ovarium yang terjadi adalah
tumor ovarium jenis borderline ( Rian, 2018).
9. Peningkatan Asam Lemak Bebas
Indeks masa tubuh tidak berhubungan dengan peningkatan jumlah
pasien kanker ovarium. Peningkatan kadar asam lemak bebas di dalam
tubuh menyebabkan berkurangnya kapasitas sex hormone-binding globulin,
peningkatan persentase serum testosteron bebas di plasma, dan penurunan
progesteron luteal yang diduga menyebabkan peningkatan risiko kanker
ovarium. Lemak juga diduga merupakan sumber energi utama sel kanker

16
sehingga banyaknya lemak menyebabkan perkembangan tumor yang cepat.
( Ida Ayu, 2017)
10. Faktor Herediter
Sekitar 5-10% dari tumor ganas ovarium dianggap bersifat herediter
disebabkan oleh terjadinya mutasi di gen BRCA1 dan BRCA2. Wanita
dengan gen BRCA1 yang telah bermutasi, mempunyai risiko terkena tumor
ganas ovarium sebesar 40%-60%. Risiko untuk menderita tumor ganas
ovarium pada wanita dengan gen BRCA2 yang telah bemutasi lebih rendah
daripada risiko pembawa gen BRCA1 yang bermutasi yaitu 16%-27%.
Secara biologi molekuler, gen BRCA1 dan BRCA2 menyandi protein yang
bertugas untuk memperbaiki kerusakan DNA. Mutasi yang terjadi pada gen
BRCA menyebabkan hilangnya fungsi perbaikan sehingga bisa
menyebabkan akumulasi mutasi pada DNA atau instabilitas genom. Maka
tanpa gen BRCA (yang juga dikenal sebagai gen penekan tumor/tumor
suppressor gene) yang sehat, tubuh menjadi rentan untuk terkena kanker.
Gen BRCA1 dan BRCA2 adalah jenis penekan tumor. Ketika berfungsi
secara normal, mereka membantu mencegah pertumbuhan sel tak terkendali
yang dapat menyebabkan tumor ganas. ( Rian, 2018).
D. Patogenesis
Kanker Ovarium Patogenesis kanker ovarium belum diketahui secara
jelas, tetapi sudah terdapat beberapa teori yang menunjukkan proses terjadinya
kanker ini. Setelah melewati siklus ovulasi, epitel permukaan ovarium banyak
mengalami kerusakan dan perbaikan. Proliferasi selsel epitel semakin besar,
sehingga meningkatkan kemungkinan terjadi mutasi secara tiba-tiba. Selama
proses ovulasi, sel dapat terperangkap pada jaringan ikat yang mengelilingi
ovarium dan kemudian membentuk kista. Jika hal ini terjadi maka sel epitel
dapat membentuk lingkungan mikro pro-inflamasi yang menyebabkan
peningkatan kerusakan DNA dan risiko terjadinya kanker. Banyak kejadian
kanker ovarium terjadi tanpa diketahui sebelumnya, meskipun 5-10% kasus
berkembang akibat predisposisi genetic. Akhir-akhir ini, disfungsi gen BRCA1
dan BRCA2 diketahui dapat menyebabkan karsinoma stadium lanjut. Pada
kondisi normal, gen BRCA1 dan BRCA2 membantu mempertahankan

17
stabilitas DNA dan mengontrol pertumbuhan sel-sel tubuh. Namun, ketika gen
ini bermutasi, fungsinya pun menjadi terganggu. Wanita yang mengalami
pemutasian kedua gen ini menjadi lebih berisiko terkena kanker payudara atau
rahim dibandingkan wanita lain pada umumnya. ( Rian, 2018)
E. Klasifikasi
Tumor ovarium epitelial tumbuh dari serosa ovarium, kavum celomic
terbentuk selama masa embrionik yang dibatasi oleh mesotelium yang berasal dari
mesoderm. Bagian mesotelium akan membentuk epitel serosa yang menutupi
daerah gonad. Selama pertumbuhan ovarium, permukaan epitel akan meluas ke
dalam stroma ovarium dan membentuk kelenjar dan kista, jika terjadi perubahan
menjadi ganas, maka dapat terlihat berbagai macam diferensiasi Mullerian . Tipe
dari epitel ini seperti lesi tipe serosa, musinosa, endometroid, sel clear , sel
transisional , dan epitel campuran. Tipe sel ini dapat jinak, borderline,dan lesi yang
ganas. ( Wiwi, 2018)

18
Gambar 3.3. International histological classification of tumours WHO, 1973.
( Berek

Gambar 3.4. Klasifikasi Borderline Tumor Ovarium ( Alajandra, 2014)


1. Tumor Epitelial
a. Boderline Ovarian Tumor ( BOT) Serous
Tumor ini bersifat bilateral pada sepertiga kasus. Ini terkait dengan
peritoneum inplant pada 35% kasus, 15-25% invasif. Organ yang sering
ikut terlibat panggul, omental dan mesenterika, dan daerah paraaortik dan
supradiafragmatik. BOT serous dapat dibagi lagi menjadi dua subtipe:
- Pola umum (90%) sering berupa massa kistik unilokular dengan septa
halus di bagian dalamnya.
- Pola Micropapillary (10%) dengan histologis spesifik (penampilan
mikropapiler berdekatan> 5mm atau lebih dari 10% tumor). Pola ini
memiliki prognosis yang lebih buruk karena mayoritas dikaitkan
dengan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi dalam bentuk invasif,
persentase yang lebih besar dari bilateralitas dan kehadiran implan
invasif, dan restaging operasi. (Alejandra et all, 2014)
b. Boderline Ovarian Tumor ( BOT) Musinosum
BOT Musinosum cenderung lebih besar daripada BOT serosa dan
memiliki struktur kistik unilokular atau multilokular, dengan septa halus di
bagian dalam dan nodul intramural. Invasi ke peritoneum sangat jarang
terjadi ( 15%). (Alejandra et all, 2014)

19
Tumor musinosa jinak pada umumnya terjadi pada usia 30- 50 tahun,
jarang bilateral, ukurannya besar dan sering mengalami putaran tangkai.
Secara makroskopis multilokuler, berisi cairan kental dan mikroskopis
tumor serosa dilapisi satu lapis epitel kolumnar dengan sitoplasma
mengandung musin, kecil dan inti terletak di dasar . Tumor musinosa
borderline ditandai bentuk papiler sel stratifikasi dengan inti yang atipia
ringan sampai sedang, tanpa menembus stroma. Mikroinvasif < 5 mm pada
stroma dan tidak berpengaruh pada prognosis. Musinosa borderline dibagi
menjadi 2 yaitu tipe intestinal dan endoservik, keduanya mempunyai
perbedaan yang signifikan baik penampilan makroskopis maupun implikasi
klinisnya. ( Wiwi, 2018)

Gambar 3.5. Mucinous borderline tumor of endocervical type (transvaginal scan).


Multilocular-solid tumor with larger number of endophytic and exophytic tumor
papillae, high intrapapillary flow density, and intracystic fluid with low-level
echogenicity. (Fischerova, 2012)

20
Gambar 3.6. Mucinous borderline tumor of intestinal type (transabdominal scan).
Large, multilocular tumor with “honeycomb” nodule on the posterior inner wall
and intracystic fluid of low-level echogenicity. (Fischerova, 2012)

Tumor borderline musinosum (proliferatif atipikal) adalah tipe kedua


yang paling umum dan menyebabkan sekitar 35 hingga 45% dari tumor
borderlien ovarium. Tumor ini biasanya besar, unilateral, dan kistik dengan
permukaan ovarium halus, terdiri dari beberapa ruang kistik dengan
diameter variabel. Kista dilapisi oleh lendir kolumnar epitel diferensiasi
lambung atau usus, dengan papiler atau pseudopapillary infoldings, dan sel-
sel piala yang dicampur dan sel-sel neuroendokrin . 10% dari volume epitel
harus menunjukkan peningkatan proliferasi dengan lipatan papiler atau
pseudostratifikasi dan atipia nuklir ringan sampai sedang untuk memenuhi
syarat sebagai tumor borderline musinosum . ( Steffen, 2017)
Pada BOT Selain fokus mikro-invasif luas, terdapat gambaran umum
yang dapat dikategorikan sebagai keganasan yaitu pola konfluen, solid dan
kribriform.Selain berpatokan pada contoh pola pertumbuhan serta atipia inti
sel tumor, sumber kepustakaan menyebutkan untuk tipe histologik serosum
dan musinosum dapat digunakan patokan luas area mikroinvasi maupun
pertumbuhan ekspansil maksimal 10 mm2 untuk memisahkan tumor
epitelial borderline dari tumor epitelial ganas. Untuk memenuhi kriteria
diagnosis tumor epitelial borderline pada semua tipe histologik digunakan
patokan minimal 10% gambaran mikroskopik borderline dari total massa
tumor. Jika ditemukan area tumor dengan gambaran borderline, namun

21
dalam area <10%, hal ini dikategorikan sebagai tumor epitelial jinak dengan
fokus proliferasi. ( Tantri, 2017)
c. Tumor transisional sel / Brenner
Tumor Borderline Brenner dimungkinkan jinak. Umumnya prognosis
baik, rekurensi langka. Borderline Tumor Brenner biasanya lebih besar dari
10 cm (rata-rata 18 cm) dengan proliferasi epitel yang mendominasi. Area
kistik menunjukkan papiler atau polipoid lipatan, ditutupi oleh lapisan tebal
sel tipe transisional menyerupai karsinoma urothelial papiler non – invasif
saluran kemih. ( Steffen, 2017)

2. Tumor jinak berasal dari sel germinal.


Tumor ini jarang bersifat ganas dan merupakan tumor sel germinal
yang terbentuk dari sel yang berasal dari lapisan embriyonik (ektoderm,
mesoderm dan endoderm), tetapi sebagian besar teratoma terbentuk dari
unsur endoderm ataupun ektoderm. Dapat bersifat matur (jinak) ataupun
immatur (jinak ataupun ganas). Teratoma jinak yang bersifat matur mungkin
dapat berisi welldiffrentiated tissue, seperti rambut dan gigi. Teratoma matur
dapat bersifat padat maupun kistik. ( Steffen, 2017)
Teratoma matur pada ovarium merupakan jenis tumor yang berasal
dari germ cell yang paling sering terjadi, merupakan 20% dari keseluruhan
kista ovarium. Kejadian transformasi ke arah keganasan merupakan
komplikasi yang jarang terjadi (1 - 3 %). ( INASGO, 2017)
3. Tumor jinak berasal dari sex cord-stromal.
a. Fibroma
Fibroma adalah tumor jaringan ikat yang berasal dari stroma
ovarium. Berukuran kecil, tumor jinak padat yang berasal dari jaringan
fibrosa dan biasanya dihubungkan dengan Meig’s sindrom dan asites.
Biasanya terjadi pada wanita diusia post-menopause. Bersifat unilateral
dan berukuran lebih kurang 3 cm.
b. Tekoma
Ini merupakan tumor ovarium jinak yang terbentuk dari sel stroma
yang mirip dengan sel theka yang normalnya berada mengelilingi folikel

22
ovarium. Biasanya bersifat unilateral dan terjadi pada wanita
postmenopause. Jarang ditemukan pada wanita berusia dibawah 30 tahun.
Tumor ini memiliki manifestasi estrogenik, seperti perdarahan uterus
postmenopause ataupun endometrial hiperplasia.
F. Diagnosa
Anamnesa
Pada anamnesa rasa sakit atau tidak nyaman pada perut bagian bawah.
Rasa sakit tersebut akan bertambah jika kista tersebut terpuntir atau terjadi
ruptur. Terdapat juga rasa penuh di perut.Tekanan terhadap alat-alat di
sekitarnya dapat menyebabkan rasa tidak nyaman, gangguan miksi dan
defekasi. Dapat terjadi penekanan terhadap kandung kemih sehingga
menyebabkan frekuensi berkemih menjadi sering. (Pernoll’s, 2011)
Pemeriksaan Fisik
Kista yang besar dapat teraba dalam palpasi abdomen.Walau pada wanita
premonopause yang kurus dapat teraba ovarium normal tetapi hal ini adalah
abnormal jika terdapat pada wanita postmenopause. Perabaan menjadi sulit
pada pasien yang gemuk. Teraba massa yang kistik, mobile, permukaan massa
umumnya rata. Cervix dan uterus dapat terdorong pada satu sisi. Dapat juga
teraba, massa lain, termasuk fibroid dan nodul pada ligamentum uterosakral,
ini merupakan keganasan atau endometriosis. Pada perkusi mungkin
didapatkan ascites yang pasif. (Pernoll’s, 2011)
Pemeriksaan Penunjang
Tidak jarang tentang penegakkan diagnosis tidak dapat diperoleh kepastian
sebelum dilakukan operasi, akan tetapi pemeriksaan yang cermat dan analisis
yang tajam dari gejala-gejala yang ditemukan dapat membantu dalam
pembuatan differensial diagnosis. Beberapa cara pemeriksaan yang dapat
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis adalah :
1. Ultrasonografi
USG adalah alat diagnostik imaging yang utama untuk kista
ovarium. Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan letak dan batas tumor,
apakah tumor berasal dari uterus, ovarium, atau kandung kencing, apakah
tumor kistik atau solid, dan dapat pula dibedakan antara cairan dalam

23
rongga perut yang bebas dan yang tidak. Pada umumnya, tumor ganas
ovarium mempunyai gambaran multilokulasi, komponen padat atau echogenik
dan mempunyai septa yang tebal dengan area nodular. ( Glugno, 2011)
Metode USG terbaik dalam membedakan antara massa adneksa
yang jinak dan ganas adalah dengan penilaian subjektif oleh ahli USG yang
berpengalaman. IOTA mengembangkan suatu alogaritma diagnostik untuk
mengawal klinisi dalam mengelompokan patologi adneksa, yang tidak
dipengaruhi oleh tingkatan keahliannya. Pada pengembangan pertama
dihasilkan metode IOTA SR, yang berdasarkan pada 5 tampilan USG yang
mengarah ke jinak (tampilan B) dan 5 tampilan USG yang mengarah ke
ganas (tampilan M. Hal yang menjadi kekurangan pada SR adalah adanya
hasil yang inkonklusif dan tidak adanya perkiraan resiko keganasan
(Tantipalakorn, 2014).
Tampilan USG yang digunakan pada SR digunakan untuk
memperkirakan resiko keganasan, dalam metode Simple Rules Risk (SRR).
Lebih dari tiga perempat dari seluruh massa di adneksa dapat dinilai dengan
IOTA SR ini dan keberhasilan diagnosisnya tinggi, dengan sensitivitas 92%
dan spesifikasinya 96%. (Froyman, 2017).

Gambar 3.7.USG yang diklasifikasikan sebagai B-rule

24
Gambar 3.8. USG yang diklasifikasikan sebagai M-rule

Tabel 3.1. Aturan simpel IOTA untuk membedakan tumor jinak atau ganas
Berdasarkan aturan simpel IOTA, jika terdapat satu atau lebih
gambaran M-rule tanpa adanya gambaran B-rule, maka massa tersebut
diklasifikasikan sebagai ganas. Jika terdapat satu atau lebih gambaran B-rule
tanpa adanya gambaran M-rule, maka massa tersebut diklasifikasikan sebagai
jinak. Jika, terdapat kedua gambaran M-rule dan B-rule secara bersamaan,
maka massa tersebut tidak dapat diklasifikasikan atau inkonklusif. Demikian
juga, bila tidak ditemukan keduanya, maka massa tidak dapat diklasifikasikan
atau inkonklusif
Indeks morfologi berdasarkan ultrasonografi dapat digunakan untuk
mendeteksi kanker ovarium
Variabel Indeks Morfologi
0 1 2 3 4
Struktur Halus Halus Papiler Papiler Domina

25
dinding kista ( tebal <3 ( tebal ≥3 ( diamete ( diamete n Solid
mm) mm) r <3 mm) r ≥ 3 mm)
Volume < 10 cm3 10.50cm3 >50-200 >200- > 500
tumor cm3 500cm3 cm3
Struktur Tidak ada Septa tipis Septa Area Domina
septa septa ( tebal < tebal Solid n Solid
3mm) ( tebal 3- ( tebal ≥
10mm) 10mm)
Tabel 3.2. Indeks morfologi
Skor morfologi lebih dari 5 sangat dicurigai suatu keganasan ovarium
dengan sensitifitas 89%, spesifisitas 70%, positive predictive value 46%.
Pemeriksaan Doppler digunakan untuk melihat neovaskularitas tumor dalam
massa solid dan complex area dari massa kistik. Pemeriksaan Doppler dapat
membedakan massa jinak dan ganas karena karakteristik vaskuler pada
neoplasma ganas berbeda dari neoplasma jinak. ( Imade, 2017)
Septum diartikan sebagai tali jaringan tipis dengan batas jelas yang
melintasi kavitas kista dari satu permukaan dalam kista ke sisi didepannya.
Adanya septum inkomplit tanpa adanya septum berarti kista adalah unilokular.
Bagian padat menunjukan ekogenik yang tinggi pada suatu jaringan (seperti
miometrium, stroma ovarium, myoma, dan fibroma). Pada tumor adneksa,
penebalan dinding difus, stroma ovarium normal, dan septum regular tidak
dianggap bagian padat. Jika sulit membedakan gumpalan darah dengan bagian
padat, maka lesi tersebut dikelompokan kedalam bagian padat. Tonjolah
papiler padat diartikan sebagai tonjolan padat kedalam kavitas kista dari
dinding kista dengan tingginya sama dengan / lebih dari 3 mm. Daerah
hiperreflektif dan avaskuler pada bagian tengah kista dermoid harus
dikelompokan kedalam tonjolan papiler padat. Begitu juga, endapan pada
bagian dalam kista endometriosis tidak dianggap sebagai tonjolan papiler
padat. Tonjolan papiler padat dijabarkan apakah licin atau ireguler
( menyerupai bunga kol). (Timmerman, 2000).
Pemeriksaan Doppler digunakan untuk melihat neovaskularitas tumor
dalam massa solid dan complex area dari massa kistik. Pemeriksaan Doppler

26
dapat membedakan massa jinak dan ganas karena karakteristik vaskuler pada
neoplasma ganas berbeda dari neoplasma jinak. (Timmerman, 2000).
Tonjolan padat papiler diartikan sebagai tonjolan padat kedalam kavitas
kista dari dinding kista yang tinggi nya lebih dari atau sama dengan 3 mm.
Tonjolan papiler yang terbesar diukur dalam 3 arah tinggi, dasar dan dasar.
Adanya aliran darah yang terdeteksi pada tonjolan-tonjolan ini harus dicatat.
(Timmerman, 2000).
Sassone dkk telah mengembangkan sistim skoring untuk membedakan
tumor ovarium jinak dan tumor ovarium ganas dengan mencakup struktur
dinding dalam, tebal dinding kapsul, adanya septa, tebal septa, dan
echogenesitas. Setiap karakteristik diberikan skor antara 1 dan 5. Skor
minimum adalah 4 dan skor maksimum adalah 15. Skor < 9 mengindikasikan
resiko keganasan rendah. Skor ≥ 9 beresiko tinggi keganasan. Sistim skor
tersebut mencapai maksimum sensitivitas 100%. Ukuran ovarium > 5 cm pada
ultrasonografi transvaginal mempunyai 2.5 kali resiko malignan dibanding
dengan ovarium yang lebih kecil. Jika ovariumnya normal atau tidak terlihat,
maka dianggap skor ultrasonografinya < 5. ( Glucgno, 2011).

Gambar 3.9. Sistim skoring dari Sassone. ( Glugno, 2011)


2. CT Scan dan MRI

27
Untuk mengidentifikasi kista ovarium dan massa pelvik, CT Scan
kurang baik bila dibanding dengan MRI. CT Scan dapat dipakai untuk
mengidentifikasi organ intraabdomen dan retroperitoneum dalam kasus
keganasan ovarium. MRI memberikan gambaran jaringan lunak lebih baik
dari CT scan, dapat memberikan gambaran massa ginekologik yang lebih
baik. Informasi yang dapat diperoleh dari MRI seperti lesi peritoneum dan
ekstraovarian yang dapat membantu tatalaksana perencanaan bedah
konservatif. ( Bagade P, 2012)
3. Pengukuran Marker Tumor
Ada banyak marker tumor yang digunakan, pengukuran marker tumor yang
sering digunakan, adalah:
 CA- 125
CA 125 antigen adalah serum marker yang sering digunakan secara
rutin, untuk memonitor pasien dengan kanker ovarium. CA 125 meningkat
sekitar 80% pada penderita kanker epithelial ovarium dibandingkan pada
wanita yang sehat. Sejak saat itu banyak penelitian dilakukan untuk
mengkonfirmasi kegunaan CA 125 untuk memonitor perkembangan pasien
dengan kanker ovarium. Kadar Ca125 meningkat lebih dari 80% pada
kanker ovarium tipe epitel stadium lanjut dan meningkat hanya 50% pada
kanker ovarium stadium awal. Banyak penelitian menyebutkan bahwa
kelainan klinik akan tampak setelah terjadi kenaikan kadar CA 125 setelah
kurang lebih 3 bulan. ( Ninuk, 2018)
Hanya beberapa jaringan normal menghasilkan Ca125 dengan kadar
rendah seperti endometrium, epitel tuba fallopi, parenkim paru, dan kornea.
Kadar Ca125 yang signifikan ditemukan dalam deposit endometriosis dan
dalam beberapa tumor ovarium jinak. Setiap kondisi yang mengiritasi
peritoneum, perikardium, atau pleura juga dapat meningkatkan kadar
Ca125. Akibatnya, tingkat Ca125 dapat meningkat pada penyakit radang
panggul, sirosis dengan ascites, dan gagal jantung kongestif dengan efusi
pleura. Peningkatan positif palsu dari Ca125 menjadi masalah khusus pada
wanita premenopause di antaranya dengan endometriosis yang lebih aktif
dan Ca125 juga dapat sedikit meningkat dengan menstruasi yang normal.

28
Tetapi peningkatan kadar Ca125 juga diakibatkan oleh keadaan-keadaan
inflamasi seperti endometriosis, penyakit radang panggul atau kehamilan
dan pada kanker-kanker non ginekologi seperti kanker payudara, kanker
paru, dan kanker gastrointestinal. Nilai diagnostik kadar Ca125 serum untuk
memprediksi keganasan ovarium mempunyai sensitivitas berkisar antara 56-
100% dan spesifisitas 60- 92% (Budiana IN, 2013).
 Human Epididymis 4 (HE4)
Kadar serum HE4 tidak begitu terpengaruh oleh menstruasi, ovulasi
dan kondisi ovarium jinak lainnya (misalnya endometriosis) dibandingkan
dengan Ca125. Pada wanita pra-menopause, HE4 adalah tumor marker yang
lebih sensitif dan spesifik terhadap keganasan ovarium, termasuk kanker
ovarium stadium awal. Pada wanita pasca menopause dapat membantu
dalam menentukan apakah suatu massa ovarium ganas atau tidak dan
terjadinya peningkatan kadar yang minim pada kondisi ovarium jinak.
Dalam sebuah penelitian yang mengevaluasi beberapa tumor marker untuk
kanker ovarium, kombinasi Ca125 dan HE4 unggul dibandingkan dengan
tumor marker lain atau 2 tumor marker dalam kombinasi. Peningkatan HE4
sensitivitas ini telah digunakan untuk mengembangkan algoritma ROMA
yang akan meningkatkan triase pada wanita dengan massa adneksa.
Sehingga kombinasi Ca125 dan HE4 memberikan peningkatan sensitivitas
longitudinal. (Moore RG, et al, 2009).
Penelitian yang dilakukan pada Rumah Sakit Hasanaudin menyatakan
terjadinya peningkatan kadar HE4 pada penderita kanker ovarium tipe
epitelial resisten dibandingkan kadar HE4 pada penderita kanker ovarium
tipe epitelial tidak resisten, secara statistik mempunyai hubungan yang
bermakna. Tetapi tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara kadar
HE4 dengan kanker ovarium tipe epitelial resisten pada kelompok usia
menopause dan Premenopause. Kemungkinan kanker ovarium tipe epitelial
pada kelompok usia menopause dengan kadar HE4 > 140pM/L untuk
resisten sebesar dua kali. ( Wiwi Irawan, 2017)
4. Kombinasi USG dan Tumor Marker
 The Risk Of Malignancy Index (RMI)

29
The risk of malignancy index (RMI) adalah sistem penilaian dari
kombinasi berbagai fitur klinis. Ini telah dikembangkan untuk meningkatkan
akurasi diagnostik untuk keganasan ovarium. Jacob et al. (1990) awalnya
mengembangkan RMI berdasarkan temuan ultrasonografi, status
menopause, dan kadar serum Ca125. (Anton C, et al, 2012)
RMI mudah digunakan namun, belum secara rutin dilaksanakan di
Amerika Utara. Jika lebih banyak perempuan yang dioperasi pada awal
perjalanan kanker, ini dapat mengakibatkan peningkatan kelangsungan
hidup. The risk of malignancy index (RMI-1) menurut Jacob et al, dihitung
dengan menggunakan rumus : ( Alwiandono, 2017).
RMI 1 = U X M X Serum CA 125

Keterangan:
RMI 1 menurut Jacob dan kawan – kawan
U = hasil ultrasonografi
Dimana karakteristik ultrasonografi yang dijumpai:
Multilokulare kista ovarium
 Komponen solid pada tumor ovarium
 Lesi bilateral
 Asites
 Adanya bukti metastasis intra abdomen
Nilai U = 0, jika tidak dijumpai karakteristik ultrasonografi di atas.
Nilai U = 1, jika dijumpai salah satu karakteristik ultrasonografi di atas RMI
1 = U X M X Serum CA 125 11
Nilai U = 3, jika dijumpai dua hingga lima karakteristik ultrasonografi di
atas
M = status menopause
Nilai M = 1 jika belum menopause
Nilai M = 3 jika sudah menopause.
Serum CA 125 = kadar serum penanda tumor CA 125 dalam U/ml
Ganas : jika RMI ≥ 200 dan jinak : jika RMI < 200
 Risk Of Ovarian Malignancy Algorithm (ROMA)

30
The Risk of Ovarian Malignancy Algorithm (ROMA) adalah suatu tes
kualitatif yang menggabungkan hasil kadar serum HE4, kadar serum CA
125 dan status menopause dan menjadikannya skor numerik. ROMA
dimaksudkan untuk membantu dalam menilai apakah seorang wanita
premenopause atau menopause dengan massa adneksa ovarium dengan
kemungkinan tinggi atau rendah untuk menemukan keganasan pada
pembedahan. ROMA diindikasikan untuk wanita yang memenuhi kriteria
sebagai berikut: di atas usia 18, ada massa adneksa ovarium yang
direncanakan akan operasi, dan belum dikonsulkan ke onkologi. (Fujirebio
Diagnostics, 2011).
Untuk menghitung ROMA, indeks prediksi dihitung dengan
menggunakan kadar serum HE4 dan Ca125 dan memasukkan dalam salah
satu persamaan berikut, tergantung pada status menopause:
- Premenopause : Indeks prediktif (IP): -12,0 + 2.38 x LN [HE4] + 0,0626 x
LN [Ca125]
- Postmenopause: Indeks prediktif (IP): -8,09 + 1,04 x LN [HE4] + 0,732 x
LN [Ca125] dimana LN : Natural Logarithm. (jangan menggunakan LOG
= Log10)
Dari persamaan ini didapatkan indeks prediktif untuk setiap pasien
untuk menghitung risiko skor keganasa kanker ovarium tipe epitel : Skor
ROMA (%) = exp (IP) / [1 + exp (IP)] x 100.
Dimana, IP = exp(IP) = eIP (Anton C, et al, 2012)
- Wanita premenapause:
a. PP ≥ 12.5% =Karsinoma ovarium Risiko Tinggi
b. PP < 12,5 % = Karsinoma Ovarium Risiko Rendah
- Wanita menapause :
a. PP ≥ 14, 4 % =Karsinoma ovarium Risiko Tinggi
b. PP < 14,4 % = Karsinoma Ovarium Risiko Rendah
G. Stadium kanker ovarium
Stadium kanker ovarium dibagi berdasarkan kriteria Federation
Internationale de Gynecologie et de Obstetrique (FIGO) (2014).
 Stadium I : Pertumbuhan terbatas pada ovarium

31
I a : Pertumbuhan terbatas pada 1 ovarium. Tidak ada asites yang berisi sel
ganas atau dengan bilasan peritoneum, tidak ada pertumbuhan di
permukaan luar, kapsul utuh.
I b : Pertumbuhan terbatas pada kedua ovarium, tidak ada asites berisi sel
ganas, tidak ada tumor dipermukaan luar, kapsul utuh.
I c : Tumor terbatas pada satu atau kedua ovarium diikuti
Ic1 : kapsul pecah intraoperasi
Ic2 : kapsul pecah sebelum operasi atau tumor tumbuh pada
permukaan ovarium
Ic3 : Asites atau bilasan peritoneum berisi sel-sel ganas
 Stadium II Pertumbuhan pada satu atau kedua ovarium dengan perluasan
ke panggul
II a : Perluasan dan atau metastasis ke uterus dan atau ke tuba
II b : Perluasan ke jaringan intraperitoneal panggul
 Stadium III Tumor mengenai satu atau kedua ovarium dengan konfirmasi
secara mikroskopik terdapat di peritoneum di luar pelvis dan atau
metastasis ke kelenjar getah bening regional.
III a : Secara mikroskopik tumor terbatas di pelvis
III a1(i) : Metastasis Kelenjar getah bening retroperitoneal, metastasis
≤10mm
III a1(ii) : Metastasis Kelenjar getah bening retroperitoneal, metastasis
≤10mm
III a2 : Mikroskopik, metastasis kelenjar getah bening regional diluar
rongga pelvik
III b : Makroskopik, di luar rongga pelvik, metastasis kelnjer getah bening
retroperitoneal ≤ 2cm. Termasuk metastasis ke kapsul hepar/Limfe.
III c : Makroskopik, di luar rongga pelvik, metastasis kelnjer getah bening
retroperitoneal > 2cm. Termasuk metastasis ke kapsul hepar/Limfe
 Stadium IV : Metastasis jauh (selain rongga peritoneum)
IV a : Cairan pleura positif
IV b: Metastasis ke organ-organ ekstraabdominal (Parenkim hepar/Limfe)
H. Penatalaksanaan

32
Gambar. 3.10. Management Borderline Ovarium Tumor ( Berek, 2007)
Tatalaksana Borderline ovarium tumor tergantung pada usia pasien,
keinginan reproduksinya, tahap diagnosis, dan tidak adanya implan invasif.
Klasifikasi tahap FIGO dianggap sebagai faktor prognostik terbesar untuk
rekurensi dan kelangsungan hidup borderline ovarium tumor. Sebuah
penelitian menyimpulkan bahwa tingkat kelangsungan hidup 97-99% pada
lima tahun ketika didiagnosis pada stadium I, yang menurun menjadi 70-95%
pada sepuluh tahun karena terlambat kambuh dan hingga 65-87% secara
bertahap stadium II dan III pada lima tahun. Stadium bedah didasarkan pada
temuan operasi. Staging yang tidak optimal pada pasien dengan borderline
ovarium tumor memiliki prognosis yang buruk karena tanpa eksplorasi
peritoneum yang mendalam, mungkin ada implan peritoneum invasif.
(Alejandra et all, 2014)
Penatalaksanaan neoplasma ovarium ganas membutuhkan surgical
staging yang pelaksanaannya meliputi pengambilan semua jaringan yang
kemungkinan mengandung masa tumor, antara lain melakukukan bilasan
peritoneum dengan cairan saline normal untuk dilakukan analisis sitologi,
histerektomi dengan salpingo- oophorektomi bilateral, limfadenektomi kelenjar
getah bening pelvis dan para aorta, omentektomi, dan biopsi peritoneum dari
pelvis, region parakolon, dan diafragma. Surgical Staging harus dilakukan
seakurat mungki karena akan digunakan sebagai dasar terapi selanjutnya. Data
epidemologi menunjukkan bahwa sebanyak 28% pasien diduga stadium 1,

33
ternyata mengalami peningkatan stadium setelah dilakukan eksplorasi ulang.
FIGO telah menetapkan surgical staging untuk karsinoma ovarium.
Penatalaksanaan secara umum kanker ovarium setelah dilakukan surgical
staging adalah sebagai berikut :
- Untuk kanker ovarium dini ( stadium I dan II), akan diklasifikasikan
menjadi kanker ovarium dini risiko rendah ( stadium 1A, grade 1 atau
2) dan kanker ovarium dini risiko tinggi ( stadium 1A, grade 3 atau
stadium IB-II dengan grade berapapun). Kanker ovarium dini risiko
rendah tidak memerlukan pengobatan lanjut setelah operasi, sedangkan
kanker ovarium dini risiko tinggi memerlukan 3 siklus kemoterapi
setelah pembedahan.
- Untuk kanker ovarium lanjut ( stadium III-IV) setelah syrgical staging
dilanjutkan dengan kemoterapi kombinasi intravena dan
intraperitoneal ( Yayi, 2015)
Kesempatan yang paling baik untuk mengurangi progresifitas kanker
ovarium adalah pada saat laparatomi pertama pada pasien. Tujuan penanganan
bedah pada saat ini adalah untuk menentukan secara akurat tingkat keparahan
penyakit dan untuk mengurangi volume residual tumor menjadi minimal.
Dokter bedah seharusnya mengkonfirmasi diagnosis, menentukan stadium
sebaran penyakit dan kemudian melakukan operasi kuratif atau mengeluarkan
sebanyak mungkin jaringan ganas pada operasi primer (debulking operation)
sehingga memungkinan suksesnya lanjutan kemoterapi atau radioterapi.
Efektifitas operasi debulking yang optimal memperpanjang interval bebas
penyakit dan memperpanjang ketahanan hidup. Operasi pengangkatan tumor
yang agresif, yang diikuti dengan kemoterapi berbasis platinum, biasanya
menyebabkan perbaikan secara klinis. Akan tetapi hingga 80 % wanita akan
terjadi kekambuhan yang akhirnya menyebabkan bertambah parahnya penyakit
dan kematian. Prognosis kanker epitel ovarium tergantung pada stadium kanker
pada saat diagnosis, tipe histologi dan grading, dan residu volume tumor.
( Glugno,2011)

34
Berdasarkan temuan saat operasi dan evaluasi patologis, pasien dengan
kanker ovarium stadium I dapat dikelompokkan ke dalam risiko rendah dan
kategori berisiko tinggi .

Gambar. 3.11. Prognostik Variables in early stage Epitelial Ovarian Cancer


Pada Tumor Ovarium Borderline stadium I dengan high risk, laparatomi
sebaiknya mencakup histerektomi dan salpingo-ooforektomi bilateral sebagai
tambahan pada laparotomi. Terapi tambahan seperti kemoterapi diindikasikan.
pada pasien dengan stadium lanjut, jika pasien stabil secara medis, ia harus
menjalani operasi cytoreductive untuk diangkat semua tumor dan
metastasisnya. Skema pengobatan dijelaskan pada gambar dibawah ini :

35
Gambar 3.12. Skema terapi BOT stadium lanjut. ( Berek, 2007)
1. Operasi radikal
Pada wanita pascamenopause, dan wanita yang tidak menginginkan
anak, prosedur standar adalah eksplorasi menyeluruh dari rongga perut,
salpingo-ooforektomi bilateral, histerektomi total, omentektomi
inframesocolic, bilas peritoneum untuk mendapatkan sampel untuk sitologi,
reseksi lesi yang mencurigakan secara makroskopik, dan beberapa biopsi
peritoneum (termasuk omentum, serosa usus, mesenterium, panggul, dan
perut peritoneum). Dalam kasus borderline ovarium tumor mucinous,
appendektomi dilakukan untuk mengenyampingkan metastasis ovarium
yang asalnya adalah karsinoma primer. (Alejandra et all, 2014)
Jika saat eksplorasi ditemukan tanda keganasan ovarium dan tumor
terbatas pada ovarium atau panggul, pementasan bedah dilakukan secara
menyeluruh seperti dilakukan sitologi terhadap cairan bebas, jika tidak ada
cairan bebas, lakukan pencucian peritoneal dengan saline 50 hingga 100
mL. ( Berek, 2007)
2. Bedah konservatif

36
Bedah konservatif dilakukan pada wanita di bawah usia 40 tahun
yang masih menginginkan anak, BOT dengan implant non invasif.
Pendekatan pengobatan konservatif pada stadium I (tanpa perlengketan
peritoneum), namun tindakan bedah konservatif ini dapat menurunkan
tingkat infertilitas (10-35%) karena hilangnya jaringan ovarium dan
perlengketan panggul. Faktor prognostik buruk adalah rekurensi, operasi
tidak lengkap, dengan tingkat kekambuhan 10-20% dibandingkan dengan
setelah operasi radikal ( 5%). Ooforektomi, salpingo-ooforektomi atau
kistektomi unilateral dapat digunakan seperti halnya dengan operasi
radikal. Biopsi rutin pada ovarium kontralateral tidak dianggap perlu kecuali
jika kelainan muncul secara makroskopik, karena meningkatkan risiko
perlengketan pasca operasi. Selain itu, kistektomi meningkatkan risiko
kekambuhan pada ovarium ipsilateral (31%) hanya dilakukan pada wanita
dengan tumor bilateral, dengan hanya satu ovarium, atau pada pasien yang
sangat muda. Tingkat kekambuhan yang meningkat setelah kistektomi dapat
disebabkan oleh kista intraoperatif pecah, adanya borderline ovarium tumor
multifokal, atau margin tumor yang terpengaruh setelah kistektomi.
(Alejandra et all, 2014)
Data dari literatur lain menyatakan kemanjuran dan keamanan operasi
konservatif (mempertahankan rahim dan satu ovarium.) Ketika bedah
konservatif tidak layak karena tumor ovarium bilateral terlibatan, setidaknya
rahim dapat dipertahankan untuk transfer embrio beku yang diperoleh
sebelum operasi radikal. Indikasi bedah konservatif dibatasi pada kelompok
pasien dengan reseksi lengkap, penyebaran peritoneum dan implan
noninvasif. ( Fischerova, 2012)
Kistektomi dengan laparoskopi dapat menyebabkan tingkat
kekambuhan lebih tinggi dibandingkan dengan laparotomi, pembedahan
tidak lengkap, penyebaran seluler, dan peningkatan jaringan parut trocar.
Beberapa penelitian retrospektif menjelaskan prognosis laparoskopi lebih
baik karena morbiditas yang lebih rendah dan lebih sedikit adhesi pasca
bedah, serta mengurangi rasa sakit dan perawatan rumah sakit yang tidak
lama. Pada BOT Musinosum, kistektomi tidak direkomendasikan sebagai

37
pengobatan untuk menjaga kesuburan karena risiko tinggi kekambuhan
dalam bentuk karsinoma (13%) dibandingkan borderline ovarium tumor
serosa( 2%) dalam 10 tahun. Untuk wanita di bawah usia 40 yang ingin
memiliki anak dan borderline ovarium tumor pada stadium II dan III, teknik
bedah akan bervariasi sesuai dengan invasif. (Alejandra et all, 2014)
Wanita muda yang memerlukan fungsi reproduksinya, maka ada
tempat untuk dilakukan tindakan konservatif dengan meninggalkan uterus
dan ovarium yang sehat. Tetapi sebaiknya, sesuai kepustakaan menyatakan
walaupun dilakukan tindakan konservatif, tetap dilakukan surgical staging
yang adekuat. Dari hasil penelitian BOT stadium awal yang hanya
dilakukan pengangatan masa tumor tampa dilakukan penentuan stadium,
kemudian dilakukan pembedahan ulang untuk menentukan stadium
penyakitnya, ternyata sepertiganya telah berada pada stadium yang lebih
tinggi. Dan harus dilakukan terapi adjuvan dengan berbasis kemoterapi
platinum kecuali pada stadium Ia dengan deferensiasi sel baik. ( Sahil,
2008)
Risiko kambuh untuk borderline ovarium tumor juga tergantung pada
invasi implan, sebesar 11% untuk implan non-invasif, dan naik menjadi
45% untuk implan invasif pada 15 tahun. Pengulangan dengan transformasi
menjadi karsinoma dapat terjadi hingga 77% kasus, yang mengarah pada
peningkatan angka kematian. Histerektomi dilakukan bila diindikasi
borderline ovarium tumor dengan risiko kekambuhan tinggi (implan invasif,
invasi mikro, pola mikropapiler, atau karsinoma intrakistik. (Alejandra et
all, 2014)
3. Perawatan ajuvan
Belum dibuktikan bahwa pengobatan ajuvan (kemoterapi atau terapi
radiasi) meningkatkan tingkat kelangsungan hidup pada pasien borderline
ovarium tumor. Respons terhadap agen sitotoksik biasa rendah, mungkin
terkait dengan proliferasi lambat dari tumor. (Alejandra et all, 2014)
Kemoterapi ajuvan tidak direkomendasikan dilakukan pada kasus
tumor borderline, karena tidak ada uji coba yang relevan terhadap kasus ini.

38
Kemoterapi direkomendasikan untuk tumor ovarium borderline berulang
yang tidak setuju dengan reseksi bedah.( Bagada P, 2012)
Pada kanker ovarium epitel stadium I tahap awal dengan risiko
rendah menurut penelitian Guthrie et al. mempelajari dari 656 pasien
dengan ovarium epitel tahap awal kanker menyatakan bahwa tidak ada
pasien yang memiliki stadium Ia yang tidak menerima radiasi atau
kemoterapi meninggal karena penyakit tersebut, dengan demikian, terapi
tambahan kemoterapi tidak diperlukan. Selanjutnya, GOG melakukan
percobaan prospektif acak membandingkan pasien dengan stadium Ia dan Ib
didapati kelangsungan hidup lima tahun untuk setiap kelompok adalah 94%
dan 96%, artinya pengobatan tambahan seperti kemoterapi tambahan tidak
dianjurkan. ( Berek, 2007)
Tetapi pada pasien stadium awal dengan risiko tinggi seperti terdapat
sel-sel ganas baik dalam cairan asites atau dalam pencucian peritoneal,
terapi tambahan seperti kemoterapi diindikasikan. Sebagian besar peneliti
merekomendasikan kemoterapi pada kanker ovarium epitel risiko tinggi
tahap awal dapat berupa agen tunggal atau multi agen. Beberapa peneliti
mempertanyakan kebijaksanaan kemoterapi yang terlalu agresif pada wanita
dengan stadium awal, menunjukkan bahwa bukti kelangsungan hidup adalah
marginal. Selanjutnya, risiko leukemia dengan agen alkilasi dan platinum
membuat pemberian terapi adjuvant berisiko kecuali ada signifikan
manfaatnya.( Berek, 2007)
Rekomendasi untuk kemoterapi apabila pasien dengan kanker
ovarium epitel stadium I resiko tinggi. Pengobatan dengan kemoterapi
carboplatin dan paclitaxel selama tiga hingga enam siklus tampaknya
diinginkan pada pasien, sedangkan agen tunggal, baik carboplatin atau
paclitaxel lebih disukai untuk wanita yang lebih tua. Kemoterapi
neoadjuvant disarankan pada pasien dengan stadium III dan IV sebagai
pengganti operasi debulking. Dua atau tiga siklus kemoterapi sebelum
operasi sitoreduktif dapat membantu pasien dengan asites masif dan efusi
pleura besar. Kemoterapi dapat mengeringkan efusi, meningkatkan status
kinerja pasien, dan mengurangi morbiditas pasca operasi. ( Berek, 2007)

39
Efektivitas GnRH agonis (GnRHa) selama kemoterapi untuk
mempertahankan fungsi ovarium pertama kali ditunjukkan pada tikus dan kera
pada sekitar tahun 1980. Kemudian lebih 20 tahun terakhir banyak laporan hasil
penggunaan GnRHa saat kemoterapi dibanding kemoterapi saja, kebanyakan
memperoleh hasil positif. Mekanisme GnRHa melindungi ovarium selama
kemoterapi masih diperdebatkan. Pemberian terapi tambahan GnRHa
meningkatkan kemungkinan mempertahankan fungsi ovarium dan dapat
mempunyai anak 65– 68 % lebih tinggi dibanding kemoterapi saja. Clowse et
al. melakukan meta-analisis pada 9 artikel mendapatkan bahwa terapi tambahan
dengan GnRHa selama kemoterapi dihubungkan dengan kenaikan pada
kelompok wanita yang fungsi ovariumnya normal dan terjadi kehamilan
sebanyak 68%. Hasil meta analisis rata-rata 40% wanita yang mendapat
kemoterapi akan terjadi kegagalan fungsi ovarium. Kejadian kegagalan fungsi
ovarium umumnya tergantung pada jenis kemoterapinya, dosis kumulatif, dan
umur pasien yang diterapi. ( Pradjatmo, 2015)
4. Potong Beku
Protokol kanker ginekologi yang dikeluarkan oleh Himpunan
Onkologi Ginekologi Indonesia tahun 2011 menyatakan bahwa indikasi
dilakukannya pemeriksaan potong beku pada tumor ovarium adalah adanya
kecurigaan keganasan dan pasien usia muda. Hasil pemeriksaan potong
beku pada kasus dengan dugaan keganasan digunakan sebagai pertimbangan
untuk tindakan selanjutnya selama operasi berlangsung, sedangkan pada
pasien usia muda digunakan untuk pertimbangan konservasi fertilitas. Hasil
pemeriksaan potong beku tumor ovarium ganas atau tumor ovarium
borderline ditindaklanjuti dengan surgical staging pada stadium awal
(berupa complete surgical staging atau conservative surgical staging) dan
debulking atau sitoreduksi pada stadium lanjut. ( Tantri, 2012)
Berbagai sumber menyatakan sensitivitas diagnosis pada tumor
epitelial borderline adalah 45,5–71,6%. Hasil prevalensi akurasi diagnosis
potong beku orisinil tumor epitelial borderline pada beberapa penelitian
berada dalam rentang tersebut (63,6%). Sensitivitas pada tumor epitelial
jinak dan ganas dari berbagai sumber adalah 98,2-100% dan adalah 79,6-
93,5%.8-12. Prevalensi akurasi diagnosis potong beku orisinil pada tumor

40
epitelial jinak sebesar 82,1% dan ganas sebesar 88,6%. Diagnosis intra-
operatif memiliki keterbatasan karena beberapa kendala yaitu keterbatasan
sampling, waktu dan teknik. Selain itu, tidak dapat dilakukannya pulasan
khusus atau pemeriksaan lanjutan serta sulitnya mengakses opini sejawat
patologi juga merupakan kendala yang membatasi ketajaman diagnosis
intraoperatif. ( Tantri, 2012)
5. Agonis GnRH
GnRH agonis memiliki potensi biologik yang lebih tinggi daripada
GnRH endogen. Setelah berikatan dengan reseptor GnRH pada hipofisis,
maka LH dan FSH dilepaskan. Namun, kontak yang lama dengan GnRH
agonis pada hipofisis menghasilkan desensitisasi sel gonado-tropin dalam
beberapa jam dan penurunan cepat dalam sintesis gonadotropin, khusus-nya
LH. Sel gonadotropin akan tetap tidak responsif selama hipofisis terus
terkena GnRH agonis dosis tinggi tersebut. Setelah pemberian GnRH agonis
dosis tunggal, langsung terjadi kenaikan tajam konsentrasi LH dan FSH.
Konsentrasi maksimum dicapai setelah 4 jam, diikuti dengan penurunan
bertahap mencapai konsentrasi hingga di bawah nilai normal setelah 2
minggu. Konsentrasi LH tetap ditekan di bawah batas deteksi selama jangka
waktu 7 minggu. Fungsi ovarium menunjukkan respon awal terhadap
lonjakan gonadotropin, di mana konsentrasi estradiol meningkat menjadi
seperti kadar pada masa folikular tengah atau akhir. Setelah 1-2 minggu
konsentrasi estradiol telah jatuh ke seperti pada keadaan pasca-menopause
dan tetap demikian sampai minggu keenam setelah pemberian dosis tunggal
GnRH. Pemberian GnRH berulang akan terus menghasilkan keadaan hipo-
estrogenism. Jadi di sini terlihat bahwa permulaan pemberian agonis GnRH
tidak terjadi penekanan fungsi hipofisis, justru memicu pengeluaran FSH
dan LH dari hipofisis (flare-up effect). Setelah beberapa hari sensitivitas
hipofisis terhadap rangsangan GnRH agonis terus berkurang yang
menyebabkan penurunan LH, FSH, serta estrogen dan progesteron (down
regulation, desensititation). ( Suparman, 2016)
Agonis GnRH menghentikan produksi estrogen, sehingga dapat
menekan sel tumor tumbuh. Jenis terapi ini jarang digunakan untuk

41
mengobati kanker ovarium epithelial, biasanya digunakan untuk mengobati
tumor stroma ovarium dan jarang digunakan untuk mengobati kanker
ovarium epitel lanjut. Contoh agonis GNRH yang sering digunakan adalah
goserelin (Zoladex ®) dan leuprolide (Lupron ®). ( Christian AW, 2015)
Agonis GnRH juga melindungi ovarium melalui penurunan aliran darah
ke ovarium. Rereseptor GnRH juga diidentifikasi di cell lines kanker ovarium,
epitel permukaan ovarium, folikel preovulasi, dan corpus luteum tetapi tidak
didapat di folikel primordial atau antrum folikel. Hasil metaanalisis
menyarankan memberikan terapi GnRH agonis pada wanita premenopausal
yang masih memerlukan fertilitasnya dikemudian hari dimana mereka
dipersiapkan untuk mendapat kemoterapi, dari analisis pemberian terapi
tambahan GnRH agonis meningkatkan kemungkinan mempertahankan fungsi
ovarium dan dapat mempunyai anak 65– 68 % lebih tinggi dibanding
kemoterapi saja. Clowse et al. melakukan meta-analisis pada 9 artikel
mendapatkan bahwa terapi tambahan dengan GnRH agonis selama kemoterapi
dihubungkan dengan kenaikan pada kelompok wanita yang fungsi ovariumnya
normal dan terjadi kehamilan sebanyak 68%. Hasil meta analisis rata-rata 40%
wanita yang mendapat kemoterapi akan terjadi kegagalan fungsi ovarium.
Kejadian kegagalan fungsi ovarium umumnya tergantung pada jenis
kemoterapinya, dosis kumulatif, dan umur pasien yang diterapi. ( Prajatmo H,
2015)
6. Reoperasi
Ada dua jenis perawatan bedah untuk ovarium ipsilateral:
- Konservatif: dengan syarat wanita <40 tahun yang ingin menjaga
kesuburan mereka, yang berkomitmen untuk tindak lanjut yang lengkap,
dan yang tidak memiliki implan invasif.
- Radikal: pasien> 40 tahun, hasrat melahirkan anak selesai dan implan
invasif. Ketika batas ekstra-ovarium atau kekambuhan invasif terjadi,
operasi sitoreduktif seperti kanker ovarium primer harus dilakukan.
(Alejandra et all, 2014)
Operasi setelah laparatomi/ laparaskopi pertama dilakukan pada
pasien yang tidak memiliki bukti klinis setelah kemoterapi untuk
menentukan respon terapi. Laparotomi kedua pada dasarnya untuk staging

42
laparotomi. Pada pasien tertentu yang ditemukan tumor residual bruto pada
pembedahan kedua, reseksi massa yang terisolasi dapat dilakukan.
Laparotomi kedua belum terbukti mempengaruhi kelangsungan hidup
pasien. Kemoterapi lini kedua dilakukan jika penyakit berlanjut pada saat
laparotomi kedua, atau secara klinis, penyakit progresif berkembang selama
terapi primer. Respon kemoterapi lini kedua adalah 15% hingga 35%.
( Berek, 2007)
Prediktor kekambuhan pada BOT adalah stadium I atau II dengan
implan invasif, kistektomi, kadar CA125 serum pra-operasi (≥144 U/ml).
Sebagian besar kekambuhan dapat diselamatkan dengan pembedahan.
Cytoreduksi optimal adalah pilihan pengobatan. Tapi jika kesuburan masih
menjadi perhatian, operasi konservatif dapat dilakukan jika non invasif
implan, kepatuhan dengan tindak lanjut, kesadaran yang lebih tinggiakan
insiden relaps. Sedangkan manfaat dari kemoterapi ajuvan, masih
kontroversial. Beberapa penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh negatif
kehamilan pada pasien BOT. Ini terbukti dalamkasus yang diteliti, dimana
semua wanita yang memiliki hasil reproduksi yang baik. ( Bagada P, 2012)

BAB IV
DISKUSI

Telah dilaporkan kasus pasien perempuan 22 tahun, dengan diagnosa kista


Ovarium Dextra. Pada pasien ini kemudian setelah dilakukan laparotomi
ditemukan kista ovarium musinosum dektra dan kemudian dilakukan
salfingoovarektomi dekstra. Setelah dilakukan pemeriksaan histopatologi post
operatif didapatkan hasil PA, sebagai berikut :

43
Makroskopis : Sepotong jaringan berupa kista yang sudah dibelah, 13x 10x 4 cm,
diameter kista banyak rongga berisi cairan kuning kecoklatan,
dinding ada yang tebal dan tipis.
Mikroskopis : Tampak potongan jaringan berupa dinding kista dengan permukaan
dilapisi epitel kolumnar bersel Goblet selapis- pseudostratified,
sebagian dengan inti agak pleomorfik, vesikular, anak inti nyata,
mitosis dapat ditemukan dan ada yang menginfiltrasi ke stroma.
Stroma jaringan ikat dibawahnya mengandung pembuluh-
pembuluh darah hiperemis dan sebukan sel- sel limfosit dan sel
plasma.
Diagnosis : Mucinous Borderline Tumor With Microinvasion.
Permasalahan pada pasien ini adalah:
1. Apakah prosedur pemeriksaan untuk menegakkan diagnosa pada pasien ini
sudah tepat?
2. Apakah diagnosis pre operatif pada pasien ini sudah tepat ?
3. Apakah tatalaksana yang dilakukan sudah tepat ?
4. Apakah diagnosis dan tatalaksana post operatif sesuai?
5. Apakah tatalaksana lanjutan setelah hasil PA keluar?

1. Apakah prosedur pemeriksaan untuk menegakkan diagnosa pada pasien


ini sudah tepat ?
Pada pasien ini dilakukan anamnesa, pemeriksaan fisik abdomen terdapat
masa kistik setinggi 3 jari bawah proccesus xyphoideus, dan pemeriksaan
penunjang berupa laboratorium ( Darah rutin, gula darah, waktu perdarahan,
waktu pembekuan, golongan darah, HbsAg, HIV), pemeriksaan USG dengan
foto usg tidak ditemukan pada status rekam medis dengan hasil interprestasi
USG terdapat masa kistik melebihi layar monitor.
Menurut kepustakaan pada pasien dengan tumor ovarium sebaiknya
dilakukan pemeriksaan tumor marker seperti Ca 125, HE-4 untuk menilai
apakah tumor cenderung jinak atau ganas. Meskipun tidak ada standarisasi
interprestasi pemeriksaan USG ginekologi, sebaiknya terdapat interprestasi
uterus, endometrium, adneksa kanan, adneksa kiri, rongga pelvik dan lain-lain.

44
Pada pemeriksaan kista ovarium sebaiknya juga dinilai volume ovarium,
karakteristik dinding kista, septa, indeks morfologi, vegetasi atau pembentukan
papil, diameter massa kista, komponen solid atau lesi solid, adanya ascites atau
nodul peritoneum serta gambaran vaskular untuk membedakan lesi jinak
dengan ganas.
Kepustakaan lainnya, pada pasien tumor ovarium dapat dilakukan
pemeriksaan modifikasi tumor marker dan USG seperti The Risk Of
Malignancy Index (RMI) dan Risk Of Ovarian Malignancy Algorithm
(ROMA), IOTA SR, dan Sistim skoring dari Sassone untuk meningkatkan
akurasi diagnostik keganasan ovarium dengan menilai kemungkinan tinggi atau
rendah keganasan pada pembedahan.

2. Apakah diagnosis pre operatif pada pasien sudah tepat ?


Pada pasien ini diagnosis kista ovarium dekstra ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis
didapatkan pasien mengeluhkan perut terasa semakin membesar sejak 6 bulan
terakhir, nyeri perut dirasakan hilang timbul. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan abdomen tampak membuncit setinggi 2 jari di bawah procesus
xyphoideus, permukaan rata, terfiksir.
Diagnosis pre operatif pada pasien ini sudah tepat yaitu kista ovarium.
Hal ini dikarenakan minimnya pemeriksaan, sebaiknya diagnosa dapat
dilakukan pemeriksaan USG menggunakan SR IOTA, marker tumor seperti
CA- 125, HE-4 sehingga kita dapat melakukan tatalaksana yang lebih tepat
menginggat pada kasus ini pasien masih sangat muda. Semetara pada kasus ini
hal tersebut belum dapat dikerjakan karena keterbatasan fasilitas di RSUD
Padang Panjang untuk pemeriksaan CA- 125 dan HE-4.
3. Apakah tindakan tatalaksana dilakukan sudah tepat ?
Pada kasus ini dipilih tatalaksana dengan perlaparatomi dibadingkan
dengan per laparaskopi, karena ukuran massa yang yang sangat besar. Menurut
Protokol kanker ginekologi yang dikeluarkan oleh Himpunan Onkologi
Ginekologi Indonesia tahun 2011 menyatakan bahwa indikasi dilakukannya
pemeriksaan potong beku pada tumor ovarium adalah adanya kecurigaan

45
keganasan dan pasien usia muda untuk menyingkirkan resiko keganasan. Hasil
pemeriksaan potong beku tumor ovarium ganas atau tumor ovarium borderline
ditindaklanjuti dengan surgical staging pada stadium awal (berupa complete
surgical staging atau conservative surgical staging) dan debulking atau
sitoreduksi pada stadium lanjut. Namun fasilitas surgicall staging ini masih
terbatas diberbagai rumah sakit termasuk RSUD Padang Panjang.
Berdasarkan kepustakaan lainnya pembedahan konservatif adalah suatu
alternatif yang dapat dilakukan bagi perempuan dengan stadium awal yang
ingin mempertahankan kesuburan. Pembedahan konservatif dilakukan dengan
syarat pasien yang masing menginginkan infertilitas, stadum 1 dan BOT
dengan implant non invasif ( Haritwal A, 2014)
Konseling yang cermat tentang risiko kekambuhan dan kesuburan
selanjutnya adalah penting. Pembedahan konservatif didefinisikan sebagai
pembedahan lengkap tetapi tetap mempertahankan rahim dan satu ovarium
untuk menjaga kesuburan. Pilihannya adalah kistektomi dan salpingo-
ooforektomi unilateral, dengan / tanpa omentektomi infrakolik dan pencucian
peritoneum. ( Bagada P, 2012)
Pada pasien ini kemudian dipilih tindakan salphingo-oophorektomi
dekstra dibandingkan kistektomi, hal ini dilakukan dengan pertimbangan
ukuran massa tumor cukup besar sehingga jaringan normal dari ovarium
diperkirakan hampir tidak ada.

4. Apakah tatalaksana operatif pada pasien ini sudah tepat?


Pada laporan operasi pasien ini, dilakukan tindakan laparatomi dengan
dilakukan insisi secara linea mediana, setelah peritoneum dibuka, tampak masa
kista sebesar bola volly, kemudin diputuskan untuk dilakukan Salpingo-
ooforektomi dektra.
Tindakan ini sudah sesuai dengan kepustakaan, menurut berbagai
kepustakaan pada wanita muda yang memerlukan fungsi reproduksinya, maka
ada tempat untuk dilakukan tindakan konservatif dengan meninggalkan uterus
dan ovarium yang sehat. Tetapi sebaiknya, sesuai kepustakaan menyatakan
walaupun dilakukan tindakan konservatif, tetap dilakukan surgical staging

46
yang adekuat meliputi biopsi dengan pengambilan cairan asites bila ada, bila
tidak ada asites, lakukan pencucian/ bilasan peritoneum dengan saline 50-
100cc diempat tempat seperti subdiafragma, pelvis ( cavum douglas), rongga
parakolik kiri dan kanan. Eksplorasi rongga peritoneal, dan seluruh lesi/ adhesi
yang mencurigai dibiopsi begitu juga dengan omentum dan dan kelenjar getah
bening. ( Sahil, 2008)

5. Apakah tatalaksana lanjutan setelah hasil PA keluar?


Setelah hasil PA diketahui, pasien dirujuk ke RSUP DR. M. Djamil
Padang untuk mendapatkan tatalaksana lanjutan karena pasien didiagnosa
dengan Mucinous Borderline Tumor With Microinvasion, mengingat
keterbatasan fasilitas di RSUD Padang Panjang.
Menurut kepustakaan tingkat kekambuhan meningkat setelah kistektomi
karena kista intraoperatif pecah, adanya BOT multifokal, atau margin tumor
yang terpengaruh setelah kistektomi. 25% pasien terdiagnosis kambuh setelah
lima tahun, meskipun kambuh sebenarnya dapat terjadi 15 tahun setelah
operasi, jadi pasien harus dimonitor untuk waktu yang lama. Tiga tindak lanjut
per tahun direkomendasikan untuk dua tahun pertama, kemudian satu tindak
lanjut setiap enam bulan selama tiga hingga lima tahun ke depan, dan
sesudahnya setiap tahun. Monitoring ketat disarankan untuk wanita yang
dirawat dengan pembedahan konservatif karena tingkat kekambuhan yang
tinggi. Kunjungan tindak lanjut harus mencakup eksplorasi klinis, USG
transvaginal, dan kadar Ca125, beberapa peneliti menyarankan pemeriksaan
kadar Ca19.9 Jika dicurigai adanya penyakit peritoneum atau ekstra-
peritoneum evolusioner, perlu dilakukan pemeriksaan CT scan. (Alejandra et
all, 2014)
Alejandra et all (2014) menjelaskan, secara umum obat kemoterapi adalah
sitotoksik terhadap ovarium dengan berbagai tingkatan toksisitas, kemoterapi
ajuvan tidak direkomendasikan dilakukan pada kasus tumor borderline, karena
tidak ada uji coba yang relevan terhadap kasus ini. Kemoterapi
direkomendasikan untuk tumor ovarium borderline berulang yang tidak setuju
dengan reseksi bedah. Tetapi pada pasien stadium awal dengan risiko tinggi

47
seperti terdapat sel-sel ganas baik dalam cairan asites atau dalam pencucian
peritoneal, terapi tambahan seperti kemoterapi diindikasikan. Sebagian besar
peneliti merekomendasikan kemoterapi pada kanker ovarium epitel risiko
tinggi tahap awal dapat berupa agen tunggal atau multi agen. ( Berek, 2007)
Keputusan untuk melakukan operasi restaging ditentukan oleh tiga
factor, yaitu subtipe histologis tumor ovarium borderline, kelengkapan primer
operasi dan masalah kesuburan. Operasi restaging baik untuk wanita dengan
tumor mikropapiler, implan invasif atau aneuploidi DNA dan yang tidak
memiliki masalah kesuburan. Operasi restaging harus mencakup pencucian
peritoneum, omentektomi dan pemeriksaan lengkap peritoneum dengan / tanpa
histerektomi dan pengangkatan kontralateral ovarium (tergantung keinginan
kesuburan). ( Bagade P, 2012)
Menurut kepustakaan lainnya pengobatan utama tumor ovarium
borderline (low malignant potential) adalah reseksi bedah dari tumor primer.
Setelah potong beku, diketahui histologinya borderline dan pasien
premenopause yang ingin mempertahankan fungsi ovarium dapat menjalani
operasi konservatif seperti ooforektomi unilateral. Untuk pasien yang sudah
dilakukan ooforektomi atau kistektomi, kemudian setelah hasil PA keluar
diketahui tumor borderline maka tidak perlu dilakukan operasi tambahan.
( Berek, 2007)

BAB V
KESIMPULAN

 Prosedur pemeriksaan penunjang pada pasien ini sangat minim. Pada


pemeriksaan laboratorium perlu ditambahkan pemeriksaan tumor marker Ca
125, HE-4 bila tersedia, bila tidak tersedia dapat dilakukan pemeriksaan
USG dengan interprestasi yang lengkap dan modifikasi seperti RMI/ ROMA/
IOTA SR/ sistim skoring dari sassone sehingga dapat memprediksi apakah
tumor tersebut jinak atau ganas.

48
 Tatalaksana pada kasus ini sudah tepat, dengan dilakukan tindakan
konservatif tepat dengan meninggalkan uterus dan ovarium yang sehat
( Salpingo-ooforektomi dekstra), tetapi sebaiknya saat laparatomi dilakukan
surgical staging yang adekuat. Untuk menghindari pembedahan ulangan
dalam menentukan staging.
 Pada pasien ini dilakukan monitorin untuk waktu yang lama. Tiga
tindak lanjut per tahun direkomendasikan untuk dua tahun pertama, kemudian
satu tindak lanjut setiap enam bulan selama tiga hingga lima tahun ke depan,
dan sesudahnya setiap tahun. Kunjungan tindak lanjut harus mencakup
eksplorasi klinis, USG transvaginal, dan kadar Ca125, beberapa peneliti
menyarankan pemeriksaan kadar Ca19.9 Jika dicurigai adanya penyakit
peritoneum atau ekstra-peritoneum evolusioner, perlu dilakukan pemeriksaan
CT scan.

49
DAFTAR PUSTAKA

Abdel Baset, et al, 2014. Validation of the Risk of Malignancy Index in primary
evaluation of ovarian masses. Middle East Fertility Society Journal ,
324–328.
Adriansz G. Tumor Jinak Organ Genitalia. Dalam: Ilmu Kandungan. Edisi ketiga.
Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2016.
Alejandra, Abascal-Saiz, Laura Sotillo-Mallo, Javier de Santiago and Ignacio
Zapardiel, 2014. Management of borderline ovarian tumours: a
comprehensive review of the literature.www. ecancer.org
Anton C,etal, 2012. Acomparisonof CA125, HE4, Risiko Ovarian Malignancy
Algorithm (ROMA), And Risk Maligncy Index( RMI)
Fortheclassification Of Ovarian Masses Clinical Science. 437- 41.
Bagade P, Edmondson R, Nayar A. Management of borderline ovarian tumours.
The Obstetrician & Gynaecologist 2012;14:115–120
Berek, Jonathan S, Editors. Berek & Novak's Gynecology, 14th Edition.
Lippincott Williams & Wilkins 2007; pp 2172-2179.
Brett M. Reid, et al, 2017. Epidemiology of ovarian cancer: a review. Cancer Biol
Med 2017.
Christian Adiputra Wijaya, 2015. Keganasan pada Ovarium. Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Kridawacana
Dewi Rokhayah, 2015. Tumor Jinak dan Ganas pada Ovarium.
http://dewirokhayah.blogspot.com/2015/06/makalah-tumor-jinak-dan-
ganas-pada_87.html
Ekweani JC, 2017. An 8-year review of ovarian cyst accidents at a tertiary
healthcenter in Northwestern Nigeria : Tropical Journal of Obstetrics
and Gynaecology.
Glugno Joshimin Foead, 2011. Keakuratan Indeks Resiko Keganasan- 1 Dalam
Membedakan Tumor Ovarium Jinak Dan Tumor Ovarium Ganas
Sebelum Pembedahan Di RSUP. H. Adam Malik- RSUD DR.
Pirngadi Medan. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.
Tesis.
Haritwal A, Bela M , Manjeet A , Dipti A, Prashant G. Management Dilemmas in
Borderline Ovarian Tumor. International Journal of Women’s Health
and Reproduction Sciences Vol. 2, No. 4, Summer 2014, 219–224
Ida Ayu Dhitayoni, I Nyoman Gede Budiana, 2017. Profil Pasien Kanker
Ovarium Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar – Bali
Periode Juli 2013 – Juni 2014. e-jurnal medika,vol 6 no 3,maret 2017
1 http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
I Made Adi Saputra Wijaya, 2017. Hubungan Kadar Ca 125, He4 Dan Indeks
Morfologi Usg Dengan Kanker Ovarium Tipe Epitelial Masa
Premenopause. Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik.
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
INASGO ( Indonesia Society Ginecologic Oncology), 2017. Teratoma Matur
Dengan Degenerasi Maligna Adenokarsinoma Musinosum
Berdiferensiasi Baik . Confrensi Kasus Patalogi 12 juli 2017.

50
Indrahany Alwiandono, 2017. Uji Diagnostik Pada Pasien Dengan Kecurigaan
Keganasan Ovarium Yang Diukur Dengan RMI Dan RMIP 4.
Universitas Gadjah mada.
I Nyoman Gede Budiana, 2013. Tumor Ovarium: Prediksi Keganasan Prabedah.
Universitas Udayana.  medicina, [s.l.], v. 44, n. 3, dec. 2014. issn
2540-8321.
Iwani Rahmah Rambe, Aswiyanti Asri, Adrial, 2014. Profil Tumor Ganas
Ovarium di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas Periode Januari 2011 Sampai Desember 2012 .
Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(1)
Luh Ayu Widayanti , 2017. Seromucinous Borderline Tumor dengan
Endometriosis Ovarium. Bagian/SMF Patologi Anatomi, FK
Universitas Udayana/ RSUP Sanglah, Denpasar
Mitayani Purwoko, 2018. Association of Education Level and Occupation with
Knowledge Level of Ovarian Cancer. Mutiara medika, jurnal
kedokteran dan kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang Vol 18 No 2 Hal 45-48 Juli 2018
Moeloek FA, Nuranna L, Wibowo N, Purbadi S, 2016. Standar Pelayanan Medik
Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia.
Moore RG, McMeekin DS, Brown AK, DiSilvestro P, Miller MC, Allard
WJ, Gajewski W, Kurman R, Bast RC Jr, Skates SJ, 2009. A novel
multiple marker bioassay utilizing HE4 and CA125 for the prediction
of ovarian cancer in patients with a pelvic mass.Pubmed.
Jan;112(1):40-6. doi: 10.1016/j.ygyno.2008.08.031.
Ninuk Dwi Ariningtyas, 2018. Ca 125 Dan Pemakaian Klinis Dalam
Penatalaksanaan Kanker Ovarium. Ganun Medika vol.02 no.02, juli
2018.
Pernoll’s & ML. Transverse Lie In : Benson & Pernoll handbook of Obstetrics &
Ginecology, 11th ed. Mcgraw-Hill International Edition, America,
2011.
Prajatmo H, 2015. Preservasi Fertilitas Pada Penderita Kanker. Jurnal Kesehatan
Reproduksi Vol. 2 No. 3, Desember 2015; 182-189
Prawirohardjo, Wiknjosastro, 2010. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-3. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono
Rian Parsaoran Andreas Simamora, 2018. Hubungan Usia, Jumlah Paritas, Dan
Usia Menarche Terhadap Derajat Histopatologi Kanker Ovarium Di
Rsud Dr. H. Abdul Moeloek Bandarlampung Tahun 2015-2016. Skripsi
Rima Karlina, Jumiarti, 2018. Tumor Ovarii Musinosum. Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas Padang.
Sahil MP, 2008. Penatalaksanaan Kanker Ovarium Pada Wanita Muda Dengan
Mempertahankan Fungsi Reproduksi. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatra Barat.
Steffen Hauptmann, Katrin Friedrich, Raymond Redline, Stefanie Avril, 2017.
Ovarian borderline tumors in the 2014 WHO classification: evolving
concepts and diagnostic criteria . Virchows Arch (2017) 470:125–142

51
Tantipalakor Charuwan, et al, 2014. IOTA Simple Rules in Differentiating
between Benign and Malignant Ovarian Tumor. Asian Pacific Journal
of Cancer Prevention, Vol 15, 5123-5126
Tantri Hellyanti, Hartono Tjahjadi, 2012. Penilaian Akurasi Diagnosis Potong
Beku pada Tumor Ovarium Jenis Epitelial di Departemen Patologi
Anatomik FKUI/RSCM Tahun 2009-2011. Majalah Patologi
Departemen Patologi Anatomik, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
Timmerman Dirk, et al, 2010. Simple Ultrasound Rules to Distinguish Between
Benign and Malignant Adnexal Masses Before Surgery : Prospective
Validation by IOTA Group. British Medical Journal, 1-8
Tryanda Ferdyansyah , Amru Sofian , Fatmawati, 2014. Hubungan Tumor Marker
ca-125 Dengan Sifat Dan Tipe Sel Tumor Ovarium Di Rsud Arifin
Achmad Pekanbaru. Fakultas Kedokteran Universitas Riau
Wiwi Irawan, 2017. Perbandingan Kadar HE-4 Antara Karsinoma Ovarium
Rekurent dengan Karsinoma Ovarium Tidak Rekuren. Fakultas
Kedokteran Universitas Hassanuddin Makasar.
Yasmin Jaffar, et al, 2010. Clinical Presentation of Ovarian Tumors. Journal of
Surgery Pakistan (International) 18 (2).
Yayi Dwina Billianti Susanto, 2015. Perubahan Arsitektur Dan Sitomorfologi Sel
Pada Cairan Peritoneum Sebagai Penanda Keganasan Neoplasma
Epitelial Ovarium. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Froyman W, et al, 2017. Validation of the Performance of International Ovarian
Tumor Analysis (IOTA) Methods in the Diagnosis of Early Stage
Ovarian Cancer in a Non-Screening Population. Licensee MDPI,
Basel, Switzerland, 1-11

52

Anda mungkin juga menyukai