Anda di halaman 1dari 10

LEMBAR PENGESAHAN

MAKALAH KASUS KLINIS PREKLINIK DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH


KABUPATEN SIDOARJO PERIODE 06 MARET – 03 APRIL 2017

Disusun Oleh :

1. Rizky Febriyanti (201310490311005)

2. Maria Monica AMS (201310490311061)

3. Cahyani Irmawati (201310490311081)

4. Alfian Pradana Putra (201310490311092)

Telah diperiksa dan disetujui oleh :

Pada tanggal ……………………………..

Ka. Instalasi Rehabilitasi Medik Pembimbing

dr. Umi Syayyirotin A., Sp.KFR Winar Hartini, SST.Ft


NIP. 19730512 201410 2 001 NIP. 19650929 198903 2 016

Mengetahui,

Kasubag. Pendidikan dan Penelitian

Agus Santoso, S.Kp., M.Kes


NIP. 19690427 199203 1 003
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kasus klinis
preklinik di RSUD Sidoarjo.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang kasus Bell’s Palsy ini dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Sidoarjo, April 2017

Penyusun
DAFTAR ISI
2. Anatomi dan Fisiologi Saraf Fasial

Saraf fasialis juga merupakan saraf sensorik yang menghantarkan rasa pengecap dari lidah. Saraf ini
terutama motorik untuk otot-otot mimik (pada wajah) dan kulit kepala. Saraf otak ke VII mengandung 4
macam serabut, yaitu :

1. Serabut somato motorik


Serabut somato motorik yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator palpebrae (nervus
III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah).
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis)
Serabut visero-motorik yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut saraf ini
mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula
submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik
Serabut visero-sensorik yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian
depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik
Serabut somato-sensorik rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari sebagian
daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.

Nervus fasialis (Nervus VII) terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi otot-otot ekspresi
wajah. Saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dan ke selaput mukosa
rongga mulut dan hidung, dan juga menghantarkan sensasi eksteroseptif dari daerah gendang telinga,
sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan sensasi visceral umum dari kelenjar ludah, mukosa
hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif dari otot yang disarafinya.

Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar sensasi dan serabut
parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel
sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis.

Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan keluar di bagian leteral pons.
Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons, di antara nervus V dan nervus VIII. Nervus VII
bersama nervus intermedius dan nervus VIII memasuki meatus akustikus internus. Di sini nervus fasialis
bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan dalam kanalis fasialis
dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid,
dan bercabang untuk mersarafi otot- otot wajah.

Aferen otonom: mengantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga depanlidah. Sensasi pengecapan
dari 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual ke korda timpani dan kemudian ke ganglion
genikulatum dan kemudian ke nukleus traktus solitarius.

Eferen otonom (parasimpatik eferen): datang dari nukleus salivatoriussuperior. Terletak di kaudal
nukleus. Satu kelompok akson dari nukleusini, berpisah dari saraf fasilalis pada tingkat ganglion
genikulatum dandiperjalanannya akan bercabang dua yaitu ke glandula lakrimalis dan glandula mukosa
nasal. Kelompok akson lain akan berjalan terus kekaudal dan menyertai korda timpani serta saraf
lingualis ke ganglionsubmandibularis. Dari sana, impuls berjalan ke glandula sublingualis dan
submandibularis , dimana impuls merangsang salivasi.

Aferen somatik: rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) darisebagian daerah kulit dan
mukosa yang disarafi oleh nervus trigeminus.Daerah overlapping (disarafi oleh lebih dari satu saraf atau
tumpangtindih) ini terdapat di lidah, palatum, meatus akustikus eksterna, danbagian luar membran
timpani.
2. Definisi Fasial Paralisis

Kelumpuhan wajah adalah hilangnya gerakan wajah karena kerusakan saraf. Otot-otot wajah terkulai
atau menjadi lemah. Ini biasanya terjadi pada salah satu sisi wajah, tapi juga memungkinkan untuk terjadi
pada kedua sisi wajah dan ini biasanya disebabkan oleh: infeksi atau peradangan dari nervus facialis,
trauma kepala, tumor kepala atau leher, dan stroke.

Bell’s palsy (paralisis wajah) adalah paralisis saraf fasialis (Nervus VII) yang dikarenakan keterlibatannya
pada salah satu sisi, yang mengakibatkan kelemahan atau bahkan kelumpuhan otot wajah. Penyebanya
idiopatik, meskipun kemungkinan penyebab dapat meliputi iskemik vaskuler, penyakit virus seperti herpes
zoster, penyakit autoimun, atau bahkan kombinasi dari semua faktor ini (Smeltzer dan Bare, 2002). Bell’s
Palsy juga sering disebut fasial paralisis atau kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif,
non-neoplasmik, non-degeneratifprimer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada nervus fasialis
di foramen stilomastoideus. suatu kelainan, kongenital maupun didapat, yang menyebabkan paralisis
seluruh ataupun sebagian pada pergerakan wajah. (Iwantono, 2008).

2. Etiologi Fasial Paralisis

Bell palsy (paralisis fasial) adalah kondisi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf kranial bagian perifer
pada satu sisi, yang mengakibatkan kelemahan atau paralisis otot fasial. Penyebabnya tidak diketahui,
tetapi kemungkinan penyebab dapat mencakup iskemia vaskular, penyakit virus (herpes simpleks, herpes
zoster), penyakit autoimun, atau kombinasinya. Paralisis bell menunjukkan tipe paralisis tekanan yang
menyebabkanpenyimpangan wajah, peningkatan lakrimasi (mata berair), dan sensasi yang sangat
menyakitkan pada wajah, di belakang telinga, dan mata. Pasien mungkin mengalami kesulitan berbicara
dan tidak mampu untuk makan pada sisi yang sakit. (Baughman, 2000)

Menurut Muttaqin (2008) Penyebabnya tidak diketahui, meskipun kemungkinan penyebab dapat meliputi
iskemia vaskular, penyakit virus (herpes simpleks, herpes zoster), penyakit autoimun, atau kombinasi
semua faktor ini.
Selain itu, tekanan pada saraf fasial selama
persalinan dapat mengakibatkan cedera pada saraf kranial VII. Manifestasi klinis primer adalah hilangnya
gerakan sisi yang terkena, seperti ketidakmampuan menutup mata dengan sempurna, jatuhnya sudut
mulut, dan tidak adanya kerutan dahi dan lipatan nasolabial. Paralisis akan terlihat jelas ketika bayi
menangis. Mulut tertarik ke arah sisi sehat, kerutan lebih dalam pada sisi yang normal, dan mata pada
sisi yang sakit tetap terbuka. Tidak ada intervensi medis yang diperlukan. Paralisis ini biasanya hilang
secara spontan dalam beberapa hari tetapi mungkin juga beberapa bulan. (Wong, 2008)

Kelemahan otot wajah akan tampak karena timbulnya lipatan nasolabial mendatar, salah satu sisi mulut
turun ke bawah dan  penurunan kelopak mata bawah. Nukleus nervus fasialis terletak di bagian lateral
baah pons sehingga lesi di daerah batang otak sering menimbulkan disfungsi  nervus fasialis. Nervus
fasialis masuk ke tulang temporal dan letaknya dekat dengan telinga tengah sehingga saraf ini mudah
terkena trauma fraktur dasar tengkorak dan tulang temporal akibat pembedahan atau akibat penyakit-
penyakit telinga. Gangguan lain yang dapat mengakibatkan kelemahan saraf fasialis adalah miastenia
gravis dan sindrom Guillain-Barre. (Sylvia A. Price, 2005)

2. Faktor Resiko Fasial Paralisis

Priguna Sidharta (1985) dalam Muttaqin (2009) mendefinisikan bahwa Bell’s Palsy adalah kelumpuhan
fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat
mungkin akibat tumor jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal
dari foramen tersebut. Bell’s Palsy sebenarnya penyebabnya tidak diketahui (idiopatik), namun
kemungkinan penyebab dapat meliputi :

1. Iskemia Vaskuler
2. Penyakit virus seperti herpes simplek, herpes zoster
3. Penyakit Autoimun, atau kombinasi semua faktor

2. Patofisiologi Fasial Paralisis

Fasial paralisis dipertimbangkan dengan beberapa tipe paralisis tekanan. Saraf yang radang dan edema
saraf pada titik kerusakan, atau pembuluh nutriennya tersumbat pada titik yang menghasilkan nekrosis
iskemik dalam kanal panjangnya saluran yang paling baik sangat sempit. Ada penyimpangan wajah
berupa paralisis otot wajah; peningkatan lakrimalis (air mata); sensasi nyeri pada wajah, belakang telinga,
dan pada klien mengalami kesukaran bicara dan kelemahan otot wajah pada sisi yang terkena
Pada observasi sudah dapat disaksikan juga, bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat
jika dibanding dengan gerakan kelopak mata yang sehat. Fenomena tersebut dikenal
sebagai lagoftalmus. Lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan, mendatar. Pada saat mengembangkan
pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh tidak mengembung. Pada saat mencibirkan bibir, gerakan bibir
tersebut menyimpang ke sisi yang tidak sehat. Bila klien disuruh untuk memperlihatkan gigi geliginya atau
disuruh meringis, sudut mulut sisi yang lumpuh tidak terangkat sehingga mulut tampaknya mencong ke
arah yang sehat.

Selain kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi tidak didapati gangguan lain yang mengiringinya, bila
paresisnya benar-benar bersifat Bell’s palsy. Tetapi dua hal harus disebut sehubungan dengan ini.
Pertama, air mata yang keluar secara berlebihan di sisi kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi
kelumpuhan kurang tajam. Gejala yang tersebut pertama timbul karena konjungtiva bulbi tidak dapat
penuh ditutupi kelopak mata yang lumpuh, sehingga mudah mendapat iritasi angin, debu, dan
sebagainya.

Berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema nervus fasialis di tingkat foramen
stilomastoideus meluas sampai bagian nervus fasialis, dimana khorda timpani menggabungkan diri
padanya. Setelah paralisis fasialis perifer sembuh, masih sering terdapat gejala sisa. Pada umumnya
gejala itu merupakan proses regenerasi yang salah, sehingga timbul gerakan fasial yang berasosiasi
dengan gerakan otot kelompok lain. Gerakan yang mengikuti gerakan otot kelompok lain itu dinamakan
sinkinesis.

Gerakan sinkinetik tersebut ialah ikut terangkatnya sudut mulut pada waktu mata ditutup dan fisura
palpebrale sisi yang pernah lumpuh menjadi sempit, pada waktu rahang bawah ditarik ke atas atau ke
bawah, seperti sewaktu berbicara atau mengunyah. Lebih-lebih pula otot fasial yang pernah lumpuh
perifer itu dapat terlampau giat berkontraksi tanpa tujuan, sebagaimana dijumpai pada spasmus fasialis.
Dalam hal ini, diluar serangan spasmus fasialis, sudut mulut sisi yang pernah lumpuh tampaknya lebih
tinggi kedudukannya daripada sisi yang sehat. Karena itu banyak kekhilafan dibuat mengenai sisi mana
yang memperlihatkan paresis fasialis, terutama apabila klien yang pernah mengidap Bell’s
palsy kemudian mengalami stroke.

Berbeda dengan Bell’s palsy atau paralis fasial, dimana kelemahan otot wajah sesisi timbul tanpa
diketahui, adalah paresis fasialis unilateral akibat otitis media, dimana nyeri didalam telinga sudah
mendorong orang sakit untuk berobat. Setelah itu, kelumpuhan otot wajah sesisi dapat terjadi. Jadi,
dalam hal paresis fasialis akibat otitis media, klien dapat membantu perawat dengan memberikan
informasi bahwa mulut mengok-nya bersangkutan dengan penyakit didalam telinga.
Tidak semua otitis media menimbulkan paresis fasialis. Terlibatnya nervus fasialis dalam proses dalam
proses radang di kavum timpani harus melalui pengrusakan tulang yang melindungi kanalis fasialis. Otitis
media akut merupakan penyakit anak-anak, bahkan bayi. Bayi dan anak kecil belum dapat mengeluh,
tetapi demam dan tangisan (karena sakit kepala atau nyeri di dalam telinga) sudah cukup indikatif untuk
meneliti membran timpani.

Jika pada bayi atau anak dengan otitis media akut terjadi paresis fasialis, maka secara langsung dapat
disimpulkan bahwa infeksi bakterial yang dihadapi ialah infeksi streptokokus mukosus, oleh karena
kuman tersebut mudah dan cepat menimbulkan perusakan di tulang-tulang yang berada di kavum
timpani. Pada otitis media, akut membran timpani memperlihatkan tanda-tanda inflamasi tanpa perforasi
dan karena itu sekresi tertimbun di dalam kavum timpani. Dalam keadaan itu, proses infeksi dapat
melibatkan perios dan kemudian menimbulkan pengrusakan tulang. Bila dilakukan parasentesis, cairan
berdarah encer yang meredakan/menghilangkan nyeri di dalam telinga, dapat dikeluarkan.

Otitis media akut yang disebabkan oleh kuman-kuman non-streptokokus mukosus pada umumnya jarang
menimbulkan komplikasi paresis fasialis. Namun demikian, otitis media akut dapat berkembangmenjadi
otitis media kronis atau mastoiditis. Jika setelah diadakan evakuasi sekresi dari kavum timpani masih ke
mastoid yang mempunyai banyak pneumatisasi, sehingga pengrusakan tulang mudah dan cepat terjadi.
Melalui dinding kanalis fasialis yang ikut rusak oleh proses matoiditi, nervus fasialis mengalami gangguan
dan timbullah paresis fasialis.

Ganglion genikuli dapat terkena infeksi herpes zoster. Saraf fasialis dan olfaktorius dapat terlibat dalam
infeksis tersebut. Gambaran penyakit dikuasai seluruhnya oleh adanya gelembung herpes di daun
telinga. Beberapa hari setelah vesikel-vesikel tersebut timbul, tanda-tanda paresis fasialis perifer dan
tinitus serta tuli perseptif dapat dijumpai pada sisi ipsilateral juga.

Saraf otak yang paling sering jejas atau putus karena trauma kapitis ialah saraf olfaktorius. Nomor dua
dalam urutan ialah saraf fasialis. Lesi traumatik tersebut hampir selamanya mengenai kanalis fasalis,
yaitu fraktur os temporal, yang tidak selalu dapat diperlihatkan oleh foto rontgen. Perdarahan dan liquor
mengiringi paresis fasialis perifer traumatik. Dengan jalan auroskopi dapat diketahui adanya
hematotimpani dengan/tanpa tersobeknya membran timpani.

Pada leukemia, paresis fasialis biasanya timbul setelah orang sakit mengeluh tentang lesu-letih dan
demam yang bersifat hilang timbul dengan masa bebas demam selama beberapa minggu. Gejala-gejala
awal tersebut sering berlangsung lama sebelum leukemia diketahui. Baru setelah pemeriksaan darah
dilakukan leukemia akan dikenal. Gejala-gejala yang mempercepat dilakukannya pemeriksaan darah
ialah perdarahan, pembekakan kelenjar-kelenjar limfa dan splenohepatomegalia. Infiltrasi dan
perdarahan dapat terjadi di susunan saraf dan tulang tengkorak
.

2. Manifestasi Klinis Fasial Paralisis

Manifestasi klinis Bell’s Palsy secara umum:

1. Terjadi secara tiba-tiba, berupa kelumpuhan ringan sampai total pada salah satu sisi
wajah, menyebabkan pasien sulit tersenyum atau menutup salah satu kelopak mata
2. Beberapa jam sebelum terjadi kelemahan pada otot wajah, penderita merasakan nyeri di
belakang telinga. Kelemahan otot yang terjadi bisa ringan sampai berat, tetapi selalu pada sisi
wajah. Sisi wajah yang mengalami kelumpuhan menjadi datar dan tanpa ekpresi, tetapi
penderita seolah – olah wajahnya terpuntir.
3. Sebagian besar penderita mengalami mati rasa atau merasa ada beban di wajahnya,
meskipun sebetulnya sensasi wajah adalah normal
4. Wajah melorot menjadikan wajah sulit berekspresi
5. Dapat terjadi rasa nyeri di sekitar rahang atau di belakang telinga pada salah satu sisi
wajah yang terpengaruh.
6. Sensitivitas terhadap suara akan meningkat pada sisi wajah yang terpengaruh
7. Kadang timbul nyeri kepala
8. Penurunan kemampuan indera pengecap pada sisi yang lumpuh
9. Penurunan jumlah air mata dan liur yang diproduksi pada sisi yang terkena
10. Pada beberapa kasus, Bell’s Palsy dapat mempengaruhi saraf kedua sisi wajah, walaupun
hal tersebut jarang terjadi

2. Karakteristik Fasial Paralisis

Ciri khas dari Fasial paralisis adalah sebagai berikut:

1. Hilangnya kontrol otot secara tiba-tiba pada satu sisi wajah, dan memberikan tampilan
wajah yang kaku.
2. Sulit untuk tersenyum, menutup mata, mengedip, atau menaikkan alis.
3. Vertigo dan tinnitus
4. Hipersaliva akibat ujung mulut tertarik ke bawah
5. Bicara menjadi tidak jelas dan adanya perubahan fungsi pengecapan.
6. Ulserasi pada konjungtiva akibat palpebra tidak dapat tertutup sehingga kekeringan.
7. Asimetri wajah
8. Tidak adanya kerutan dahi dan lipatan nasolabial. Jika pada bayi terlihat jelas ketika
menangis.
9. Rasa baal/kebas di wajah
10. Peningkatan lakrimasi (mata berair)
11. Sensasi menyakitkan pada wajah, belakang telinga dan mata
12. Tidak tahan suara keras pada sisi yang terkena
13. Sudut mulut turun
14. Kehilangan refleks konjungtiva sehingga tidak dapat menutup mata

2. Pemeriksaan Diagnostik Fasial Paralisis

1. Pemeriksaan Fisik

Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap untuk menyingkirkan
kelainan sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain. Adapun pemeriksaan yang
dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah. Pemeriksaan ini akan menemukan
kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Kemudian, pasien diminta menutup mata dan mata
pasien pada sisi yang terkena memutar ke atas.

Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka suara akan terdengar lebih
jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang paralisis. Tanda klinis yang membedakan Bell’s palsy
dengan stroke atau kelainan yang bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan
saraf kranialis lain, motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien tidak mampu
mengangkat alis dan dahi pada sisi yang lumpuh.

2. Diagnosa Banding

Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan perifer adalah sebagai
berikut

a. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi yang
sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri kontralateral; kelainan tumor apabila
onset gradual dan disertai perubahan mental status atau riwayat kanker di bagian tubuh
lainnya; sklerosis multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis
optika; dan trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii, atau terdapat
riwayat trauma sebelumnya. 
b. Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media supuratif dan
mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan foto mastoid menunjukkan
suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak
vesikel yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan
titer antibodi virus varicella-zoster; sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis
bilateral dan akut; kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa
gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli bilateral; tumor serebello-
pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII; tumor kelenjar parotis
bila ditemukan massa di wajah (angulus mandibula); dan sarcoidosis saat ditemukan tanda-
tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis, eritema nodosa, dan kadang
hiperkalsemia.

3. Pemeriksaan Penunjang

Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk
menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.
a. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk
menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).
b. Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang temporal,
otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat
memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis.
c. Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal sejak tahun 1970 sebagai
prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan kandidat tindakan
dekompresi intrakanikular. Grosheva et al melaporkan pemeriksaan elektromiografi (EMG)
mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan elektroneurografi (ENG).
Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut setelah hari ke-15 mempunyai positive-
predictivevalue (PPV) 100% dan negative-predictive-value (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas
yang didapatkan berupa penurunan amplitudo Compound Motor Action Potential (CMAP),
pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada pemeriksaan blink reflex didapatkan
pemanjangan gelombang R1 ipsilateral. Pemeriksaan blink reflex ini sangat bermanfaat karena
96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu kelima, meski demikian sensitivitas
pemeriksaan ini rendah. Abnormalitas gelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6% kasus.

- See more at: http://sakinahkreatif.blogspot.co.id/2014/08/fasial-paralisis-bells-


palsy.html#sthash.Zb3FKhW4.dpuf

Anda mungkin juga menyukai