Anda di halaman 1dari 18

RESILIENSI ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL YANG

DILAKUKAN OLEH KELUARGA

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I


pada Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi

Oleh :
HAYINAH IPMAWATI
F 100 150 211

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019
RESILIENSI PADA ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL YANG
DILAKUKAN OLEH KELUARGA

Abatrsak

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran resiliensi pada anak korban
kekerasan seksual yang dilakukan oleh keluarga. Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif: studi kasus, dimana pengumpulan datanya dilakukan dengan
wawancara semi terstruktur. Informan dalam penelitian ini dipilih dengan
menggunakan teknik purposive sampling, berjumlah satu orang yang merupakan
seorang anak korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh keluarga di daerah
Surakarta. Informan pendukung dalam penelitian ini adalah ibu kandung
informan. Data dalam penelitian dianalisis secara tematik, dan keabsahan data
diuji dengan metode triangulasi perspektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
setelah mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh ayah dan kakak
kandung, informan bisa melakukan resiliensi walaupun pada awalnya informan
sempat berubah menjadi pribadi yang pemurung, tidak semangat dan tidak mau
keluar dari rumah. Dukungan sosial dari ibu, nenek, dan guru informan sangat
berpengaruh dalam proses resiliensi informan. Konsep diri informan yang
optimis, mandiri, dan penuh harapan juga sangat membantu proses resiliensi
informan. Mengikuti kegiatan positif di lingkungan rumah yang baru,
mendapatkan rangking di sekolah yang baru dan mempunyai sahabat di sekolah
yang baru juga merupakan hal-hal yang mendorong informan untuk mencapai
puncak resiliensi, sehingga dapat disimpulkan bahwa penelitian mampu
menunjukkan bagaimana proses dan hal apa saja yang mempengaruhi resiliensi
anak korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh keluarga.

Kata kunci: inses, kekerasan seksual , resiliensi

Abstract

The aim of this study is to obtain an overview of resilience towards children with
incest sexual abuse. This is a qualitative study; case study, where the data is
collected by interview. Informant of this research was determined by purposive
sampling technique. This research has only one informant that was a child with
incest sexual abuse in Surakarta. While this research has another informant, that
was the children’s mother as a proponent informant. Data of this research was
analyzed by thematic technique, while perspective triangulation method is used
for validity on this research. This study show that, after getting sexual abuse from
her dad and her brother, informant could conduct resilience even though she had
initially turned into a moody and sad person. Social support from mother,
grandmother, and informant’s teacher is super meaningful towards informant
resilience progress. The self-concept of informant who is optimistic, independent,
and hopeful also greatly helps informant to resilience. Doing positive activities in
a better environment, get a ranking in new school and having best friends in new
school are also things that encourage informants to do resilience. So from this

1
research we know that how the resilience prosess and what factor that affected on
child of incest sexual abuse.

Keywords: incest, resilience, sexual abuse

1. PENDAHULUAN
Kasus kekerasan seksual di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan,
bahkan korbannya bukan hanya orang dewasa saja, remaja, anak-anak bahkan
balita kini menjadi sasaranya. Meningkatnya jumlah kasus kekerasan seksual pada
anak tidak hanya dilihat dari segi kuantitas atau jumlah kasus yang terjadi, bahkan
juga dari segi kualitasnya. Hal yang semakin tragis adalah pelaku dari kekerasan
seksual itu sendiri yang ternyata pelakunya berasal dari lingkungan keluarga atau
lingkungan sekitar anak, seperti didalam rumah, disekolah, lembaga pendidikan
hingga lingkungan social anak (Noviana, 2015) Data dari Komisi Nasional
Perlindungan Anak (Komnas PA) menunjukan bahwa adanya pertambahan
jumlah kasus kekerasan seksual pada anak dari tahun ke tahun. Dari tahun 2010
hingga tahun 2014 tercatat sebanyak 21.869.797 kasus pelanggaran anak yang
tersebar di 34 propinsi dan 179 kabupaten serta kota. 42.58% dari data tersebut
merupakan kejahatan seksual terhadap anak. Kemudian pada tahun 2015, tercatat
2.898 kasus kekerasan terhadap anak dan meningkat dari tahun lalu yaitu sebesar
59,30 % untuk kasus kekerasan seksual terhadap anak. Sementara pada 2016,
KPAI mencatat terdapat 120 kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Kemudian di 2017, tercatat sebanyak 116 kasus kekeraasan seksual terhadap anak
(Tuliah, 2018)
Kekerasan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan terhadap
anak dimana orang yang lebih tua menggunakan anak sebagai sebuah objek
seksual. Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait
mengatakan kekerasan seksual yang terjadi saat ini sudah sangat darurat.
Kekerasan seksual, tidak hanya terjadi di luar rumah tetapi ada juga yang terjadi
di dalam rumah di mana pelakunya adalah orang tua kandung, paman, kakak dan
juga orang tua tiri (Hikmah, 2017) Penelitian tentang kekerasan seksual dari
Humaira, dkk (2015) menyatakan bahwa dari hubungan pelaku dengan korban,

2
diketahui bahwa dari 16 sampel kasus kejahatan kekerasan seksual yang telah
dipaparkan pelaku kejahatan hanya 1 sampel kasus yang dilakukan oleh orang
tidak dikenal oleh korban dan 15 sisanya dilakukan oleh seseorang yang dikenal
oleh korban seperti teman, pacar, tetangga, guru, bahkan ada pelaku yang
merupakan keluarga dekat korban seperti ayah kadung, ayah tiri dan kakek
korban.
Data-data menunjukan bahwa banyaknya kekerasan seksual yang dilakukan
oleh keluarga atau orang-orang terdekat. Banyaknya kekerasan seksual pada anak
yang dilakukan oleh anggota keluarga ternyata menambah kompleksitas dari
penanganan kasus kejahatan seksual pada anak (Humaira, Rohmah, & dkk, 2015)
disfungsi keluarga dan tingginya tingkat perceraian menyebabkan anak-anak
mengenal dan berhubungan baik dengan ayah tiri, ibu tiri, pacar dan orang
terdekat lainya yang menimbulkan sebuah hubungan diantaranya hubungan
seksual (Merrick & Greydanus, 2017) Intervensi atau penanganan terhadap
kekerasan seksual yang efektif harus berfokus pada berbagai faktor, termasuk
promosi dukungan sosial dan jejaring sosial yang mensuport korban kekerasan
seksual mulai dari unit keluarga, organisasi, dan masyarakat. Efektifitas intervensi
tersebut tergantung pada kecocokan antara sumber, jenis, dan waktu dukungan
sosial dan kebutuhan individu itu sendiri (Sippel, Pieterzrk, & dkk, 2015) disisi
lain, keluarga atau orang-orang terdekat dari anak adalah salah satu sumber
resiliensi yang sangat berpengaruh untuk mengembalikan kondisi anak seperti
semula. Resiliensi sering diartikan sebagai ketahanan. Ketahanan secara umum
didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengatasi kesulitan, atau untuk
berkembang meskipun menghadapi tantangan dan kesulitan dalam hidup
(Mawarpury & Mirza, 2017) kemudian menurut Sippel, Pieterzrk, dkk (2015)
sebuah cara efektif untuk menambah resiliensi dari individu adalah dengan
menyediakan sebuah lingkungan yang aman, stabil dan penuh rasa cinta yang
akan meningkatkan sistem proteksi natural anak seperti otak, kognitif, emosi, dan
sistem fisik untuk berkembang dan beroperasi secara efektif. Mawarpury & Mirza
(2017) juga menyatakan bahwa Keluarga, sebagai unit integral dari masyarakat
sangat penting dalam menentukan bagaimana masyarakat pulih setelah terjadinya

3
peristiwa yang menyebabkan trauma. Terlepas dari tingkat trauma, keluarga
adalah inti dari semua penyembuhan karena efek trauma dapat dikurangi secara
melalui penanganan yang tepat dalam keluarga. Lantas bagaimana jika pelaku
kekerasan seksual itu berasal dari keluarga sendiri yang seharusnya banyak
membantu anak untuk bisa mencapai resiliensi?
Masten & Reed (2011) berpendapat bahwa ada 3 sumber resiliensi, yang
pertama adalah, In the child, yang meliputi kemampuan kognitif yang baik,
termasuk pemecahan masalah dan keterampilan attentional, kemampuan
beradaptasi, kemampuan mengembangkan persepsi diri yang positif, efikasi diri,
iman dan makna dalam hidup, pandangan positif, daya tarik kepada orang lain.
sumber resiliensi yang kedua adalah In the family and close relationships, yang
meliputi kelekatan yang positif, hubungan dekat dengan orang dewasa yang
kompeten, prososial, dan mendukung, hubungan dengan teman yang prososial dan
taat pada aturan, orangtua yang otoritatif (penuh kehangatan, pengawasan)
lingkungan rumah yang terorganisasi, perlindungan orangtua. Dan yang terahir
adalah In the community and relationship with organization, meliputi sekolah
yang efektif, organisasi, ekstrakulikuler, tingkat keamanan publik yang tinggi,
lingkungan dengan budaya kolektifis yang tinggi, layanan sosial darurat yang baik
dan ketersediaan kesehatan masyarakat dan perawatan kesehatan yang baik.
Selain itu, sumber resiliensi juga bisa didapatkan dari 3 sumber, yaitu I have
(yang saya punya) adalah dukungan dari luar diri individu yang meliputi
hubungan yang bisa dipercaya seperti hubungan dengan orang tua, guru, struktur
dan aturan didalam rumah, role model (panutan), dorongan untuk mandiri, dan
akses untuk pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan keamanan. Subner yang
kedua adalah I am (saya) adalah faktor kekuatan internal individu yang meliputi,
perasaan dicintai, mencintai, empati dan altruistic, bangga terhadap diri sendiri,
mandiri dan bertanggung jawab, dipenuhi dengan harapan, keyakinan dan
kepercayaan. Faktor yang ketiga adalah I can (saya mampu) adalah kemampuan
social dan interpersonal individu yang meliputi, kemampuan komunikasi, problem
solving, mengelola perasaan dan rangsangan, mengukur tempramen diri sendiri
dan orang lain, mencari hubungan yang dapat dipercaya (Grotberg, 1995)

4
Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial dari orang
lain terutama dari keluarga sangat dibutuhkan untuk meningkatkan resiliensi
seseorang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Marriott, dkk (dalam Sippel, dkk,
2015) bahwa secara umum, dukungan sosial pada tingkat keluarga dan
masyarakat, misalnya, gereja atau sekolah, telah terbukti dapat meningkatkan
resiliensi di antara anak-anak yang mengalami pelecehan seksual masa kanak-
kanak. Sebuah literatur tentang veteran militer memberikan beberapa contoh
ilustratif tentang hubungan antara dukungan sosial dan ketahanan
psikologis/resiliensi dan kesehatan mental. Data cross-sectional menunjukkan
bahwa veteran yang dikatakan mampu melakukan resiliensi (yaitu, jumlah trauma
seumur hidup yang tinggi, gangguan psikologis saat ini rendah) memiliki lebih
banyak dukungan sosial, karena mereka lebih mungkin untuk menikah atau hidup
dengan pasangan dan dinilai lebih tinggi pada ukuran hubungan sosial (yaitu, gaya
keterikatan yang aman, dukungan sosial) dan integrasi komunitas, daripada
veteran yang diidentifikasi sebagai veteran yang tertekan (mis., jumlah trauma
seumur hidup yang tinggi, tekanan psikologis yang tinggi saat ini (Sippel,
Pieterzrk, & dkk, 2015)
Data kekerasan seksual pada anak di Yayasan KAKAK Surakarta menunjukan
bahwa terdapat 4 kasus kekerasan seksual yang pelakunya adalah orang-orang
terdekat seperti ayah, kakak, dan paman dalam 3 tahun terahir. Dari 4 kasus
tersebut, 1 kasus kekerasan seksual pada anak diantaranya dilakukan oleh ayah
dan kakak kandungnya sekaligus. Setelah kasus tersebut selesai dipersidangan,
korban kekerasan seksual tersebut masih hidup bersama dengan kakak dan
ibunya, hal ini tentunya akan menghambat proses resiliensi korban, karena
menurut Masten & Reed (2011) resiliensi bisa didapatkan dari kelekatan yang
positif, hubungan dekat dengan orang dewasa, lingkungan rumah yang
terorganisasi, dan perlindungan orang tua. Berdasarkan hal diatas maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Resiliensi pada Korban Kekerasan
Seksual Anak yang Dilakukan oleh Keluarga”

5
2. METODE
Gejala penelitian dalam penelitian ini adalah resiliensi (kemampuan seseorang
untuk bangkit dari masalah yang dialami) yang akan diteliti pada anak yang
mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh keluarga atau kerabat terdekat.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif: studi kasus dengan informan
seorang remaja korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh keluarga, berusia
±13 tahun di Surakarta. Pengambilan informan dalam penelitian ini menggunakan
teknik purposive sampling dengan kriteria: Merupakan korban kekerasan seksual
yang dilakukan oleh keluarga, Remaja yang secara hukum masih tergolong dalam
usia anak (kurang dari 18 tahun) Berdomisili di Surakarta, Mengalami kekerasan
seksual 2 kali oleh ayah dan 1 kali oleh kakak
Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah wawancara. Peneliti menggunakan wawancara semi terstuktur. Wawancara
tersebut akan dilakukan kepada 1 informan korban kekerasan seksual anak yang
berpedoman pada guide interview yang telah dibuat oleh peneliti. Wawancara juga
dilakukan kepada Ibu informan untuk memastikan validitas data yang diberikan
oleh informan. Wawancara yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan data
secara langsung dari narasumber. Sebelum melakukan wawancara, peneliti
melakukan informed consent (IC) sebagai bukti bahwa informan bersedia untuk
menjadi informan dalam penelitian ini. Wawancara akan dilakukan dengan
menggunakan alat bantu yaitu voice recorder sehingga peneliti mendapatkan data
yang utuh.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN.
Kekerasan seksual yang dialami informan termasuk familial abuse yang biasa
disebut incest karena kekerasan seksual yang dialami informan dilakukan oleh
ayah dan kakak kandung informan. Menurut Finkel (1994) kekerasan seksual
pada anak yang dilakukan oleh kerabat dekat atau anggota keluarga sering disebut
“incest” yang merupakan sebuah tindakan eksploitasi seksual pada anak dibawah
16 tahun oleh orang-orang terdekat atau keluarga. Kasus incest memang sering
terjadi diantara kakak adik serta ayah kandung dengan anak perempuanya, hal ini
sesuai dengan pendapat Widyarini (2009) bahwa Incest sering terjadi antara kakak

6
dan adik, serta ayah kandung dengan anaknya. Dalam kasus incest antara ayah
dan anak jarang terjadi atas dasar suka sama suka, dan biasanya terjadi atas dasar
pemaksaan atau perkosaan, sehingga terjadi proses kekerasan seksual yang
dilakukan ayah kepada anak perempuanya.
Setelah mengalami kekerasan seksual, informan berubah menjadi anak
yang pemurung, sering melamun dan tidak pernah mau bermain dengan teman-
temannya, sedangkan sebelum mengalami kekerasan seksual, informan adalah
pribadi yang ceria, tidak pendiam, sering bermain bersama teman-temannya,
sampai bermain ke mall bersama teman. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Syahputra (2018) bahwa jika pelaku melakukan kekerasan seksual secara
berulang, biasanya anak yang semula ceria akan berubah menjadi anak yang
pemurung. Informan yang pada awalnya selalu ceria, bermain bersama teman-
teman, tiba-tiba berubah menjadi lesu dan tidak bersemangat.
Informan juga mengalami proses persidangan untuk menyelesaikan
masalah kekerasan seksual yang informan alami. Selama masa persidangan,
informan tidak pernah keluar rumah, informan selalu mengikuti ibu, kemanapun
ibu informan pergi. Hal ini berhubungan dengan attachment atau kelekatan.
Menurut Bowlby, attachment atau kelekatan adalah suatu ikatan emosional yang
dikembangkan oleh anak melalui interaksi, biasanya dengan orang tua. Bowlby
juga menyatakan bahwa prinsip dibalik munculnya kelekatan adalah kebutuhan
akan rasa aman. Dalam kasus ini, informan merasa aman apabila berada
disamping ibunya, sehingga informan ingin selalu berada didekat ibunya setiap
saat, bahkan sampai informan tidak mengikuti kegiatan sekolah. (Bowlby, 1969)
Setelah mengalami kekerasan seksual, informan juga pernah dibully oleh
teman-temannya disekolah dan dijauhi teman-temannya dilingkungan rumah.
Fenomena ini menunjukkan bahwa sistem social di lingkungan informan tidak
menyediakan dukungan positif kepada informan, dalam artian, teman informan
tidak mendukung informan untuk melupakan masalah kekerasan seksualnya,
malahan teman informan membuka kembali ingatan-ingatan tentang masalah
kekerasan seksual yang pernah informan alami. Tekanan dari teman informan
yang berusaha menyebarkan “issue” masalah kekerasan seksual informan juga

7
membuat informan merasa semakin sedih, hal ini tentunya sangat mepengaruhi
proses resiliensi informan karena menurut hasil penelitian Sippel, dkk (2015)
resiliensi pada individu sangat tergantung pada sistem social yang menyediakan
dukungan positif dan dapat meningkatkan resiliensi melalui berbagai mekanisme
psikososial dan neurobiologis.
Dengan adanya perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri informan
setelah mengalami kekerasan seksual maka informan melakukan resiliensi supaya
informan bisa kembali bangkit lagi. Dalam proses resiliensi, perlu diketahui juga
bagaimana konsep diri informan atau bagaimana infoman memandang dirinya
setelah kasus kekerasan seksual menimpanya, karena menurut Carl Rogers dalam
Ewen (2010) konsep diri adalah bagian inti dari pengalaman individu yang bisa
menentukan siapa diri kita dan apa yang harus kita lakukan. Kekerasan seksual
yang informan alami tentunya mempengaruhi konsep diri informan, karena
kekerasan seksual yang informan alami merupakan pengalaman informan dimasa
lalu. Hal yang membangun konsep diri informan antara lain Perasaan dicintai,
mencintai, empati dan altruistic, bangga terhadap diri sendiri, mandiri dan
bertanggung jawab, dipenuhi dengan harapan, keyakinan dan kepercayaan juga
merupakan sumber resiliensi I am (faktor kekuatan internal individu) menurut
Grotberg (1995), dimana informan juga memiliki sumber resiliensi internal yang
sekaligus membangun konsep diri informan, dalam artian informan memiliki
dorongan atau kekuatan dari dalam diri informan yang bisa mendorong informan
untuk melakukan resiliensi. Perasaan dicintai dan mencintai membuat informan
mengerti bahwa ada orang yang menyayangi informan disaat senang ataupun
sedih. Rasa bangga terhadap diri menunjukkan adanya rasa cinta terhadap diri
sendiri, walaupun disisi lain, informan merasa tidak percaya diri karena merasa
malu pada beberapa situasi. Kemandirian menunjukkan informan masih mampu
dan mau melakukan aktivitas, walaupun informan sedang mengalami masalah
kekerasan seksual. Dipenuhi dengan harapan, keyakinan dan kepercayaan
menunjukkan bahwa informan adalah pribadi yang optimis, dimana informan
mempunyai cita-cita, mengetahui cara meraih cita-cita dan yakin bisa mencapai
cita-citanya, hal ini menunjukkan bahwa informan masih mempunyai pandangan

8
dan tujuan dalam hidupnya setelah mengalami kekerasan seksual. Konsep diri ini
merupakan faktor internal yang membantu informan untuk melakukan resiliensi.
Disamping itu, ada juga foktor eksternal yang membantu informan dalam
mencapai resiliensi. Faktor eksternalnya yaitu dukungan social dari individu lain
yaitu ibu, nenek dan guru. Individu yang sangat membantu informan adalah ibu.
Informan mempercayai ibu untuk membantu informan dalam menyelesaikan
kasus kekerasan sesualnya Kedekatan ini pula yang mendorong informan untuk
mempercayai ibu dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksualnya karena ibu
selalu memberikan dukungan semangat kepada informan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Chen (2009) yang mengatakan bahwa, kualitas hubungan orang tua-anak
merefleksikan tingkatan dalam hal kehangatan (warmth), rasa aman (security),
kepercayaan (trust), afeksi positif (positive affect) dan ketanggapan
(responsiveness) dalam hubungan mereka.
Informan mempercayai ibu untuk membantu informan dalam
menyelesaikan kasus kekerasan seksualnya, hal ini menunjukkan adanya
kepercayaan, afeksi positif dan rasa aman yang informan dapatkan dari ibu.
Hubungan yang dapat dipercaya juga merupakan sumber resiliensi yang kedua
menurut Grotberg (1995) yaitu I have (yang saya punya) yang merupakan
dukungan dari luar diri individu. Hubungan informan dengan ibu yang dalam
skala satu hingga sepuluh adalah delapan yang berarti dekat menghasilkan sebuah
rasa percaya yang bisa menjadi sumber resiliensi informan. Informan
mempercayai ibu dalam menyelesaikan masalah kekerasan seksual yang informan
alami, karena ibu selalu memberikan dukungan dan semangat kepada informan
untuk menyelesaikan masalah kekerasan seksualnya. Kondisi seperti ini
menunjukkan bahwa informan merasa ada orang yang mendukungnya, sehingga
informan terus berjuang untuk menyelesaikan masalahnya hingga mencapai
resiliensi. Hasil penelitian Novianti (2018) juga menunjukan bahwa orangtua
berperan mutlak dalam menumbuhkan resiliensi pada anak, terutama pada saat
anak masih berusia dini. Peran ibu informan dalam proses resiliensi informan
sangatlah besar. Ibu informan berusaha menjauhkan informan dari kakak dan

9
ayahnya, dengan cara ingin menempatkan informan ke pondok, namun hal
tersebut tidak jadi dilakukan karena lokasi pondok dan sekolah terlalu jauh.
Selain ibu, individu lain yang turut membantu informan dalam proses
recovery informan adalah guru dan nenek informan. Peran guru informan dalam
proses recovery informan adalah adanya bantuan dari sekolah berupa SPP gratis
dan support buku-buku sekolah. Hal ini menunjukan adanya akses pendidikan
untuk informan yang juga merupakan sumber reiliensi yang kedua menurut
Grotberg (1995) yaitu I have (yang saya punya). Grotberg (1995) juga
menyatakan bahwa orang tua dan orang dewasa lain bisa membantu proses
resiliensi anak-anak melalui nasihat, perlakuan dan lingkungan yang diciptakan.
Hal ini sesuai dengan temuan data bahwa nenek dan guru informan juga berperan
dalam proses resiliensi, dengan cara memberi nasehat untuk terus belajar dan
tidak memikirkan hal yang telah lalu, memberikan buku-buku dan memberi
bantuan SPP gratis.
Setelah kasus kekerasan seksual informan selesai, informan mengikuti
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, seperti TPA yang menjadi wadah informan
untuk belajar mengaji, remaja masjid yang membantu informan untuk belajar
berorganisasi dan mengikuti bela diri WSP agar informan bisa melindungi dirinya
sendiri. Selain menjadi sarana untuk pengembangan diri, mengikuti kegiatan yang
bermanfaat juga membantu informan untuk menemukan makna positif dalam
hidupnya, sehingga informan merasa dirinya berharga dan bisa kembali berperan
dalam masyarakat social kembali. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari
Ambarwati dan Pihasniwati (2017) menunjukkan bahwa remaja yang pernah
menjadi korban kekerasan orang tua bisa bangkit dari keterpurukannya di masa
lalu. Bangkitnya remaja tersebut dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu; faktor
protektif dan faktor resiko. Adapun faktor protektifnya berupa kemauan individu
untuk berubah, dukungan sosial, adanya kegiatan bermanfaat, suasana kehidupan
yang berbeda & lebih nyaman, memiliki minat & bakat, serta memiliki kapasitas
untuk belajar.

10
4. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan
bahwa setelah mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh ayah dan kakak
kandung, informan bisa melakukan resiliensi walaupun pada awalnya informan
sempat berubah menjadi pribadi yang pemurung, tidak semangat dan tidak mau
keluar dari rumah. Semangat informan mulai tumbuh ketika ibu informan
melaporkan kasus kekerasan seksual yang informan alami ke pihak kepolisian,
kemudian melakukan persidangan hingga pindah ke lingkungan yang lebih baik.
Dalam proses menuju resiliensinya, semangat informan tidak selalu tinggi, namun
pada titik semangat yang rendah, ibu, nenek dan guru informan memberikan
dukungan kepada informan untuk terus semangat dan melupakan kejadian yang
telah lalu. Konsep diri informan yang optimis, mandiri, dan penuh harapan sangat
membantu proses resiliensi informan. Mengikuti kegiatan positif di lingkungan
rumah yang baru, mendapatkan rangking di sekolah yang baru dan mempunyai
sahabat di sekolah yang baru juga merupakan hal-hal yang mendorong informan
untuk mencapai puncak resiliensi.

DAFTAR PUSTAKA
Affiah, N. D. (2017). Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Ambarwati, R., & Pihasniwati. (2017). Dinamika Resiliensi Remaja yang Pernah
Mengalami Kekerasan Orangtua. Psikologika, 22(1), 50-68.

Andriani, R. D., Afiatin, T., & Sulistyarini, R. (2017). Efektivitas Pelatihan


Regulasi Emosi Untuk Meningkatkan Resiliensi Caregiver-Keluarga
Pasien Skizofrenia. Intervensi Psikologi, 9(2), 254-273.

Andri, & Dewi P, Y. (2007). Teori Kecemasan Berdasarkan Psikoanalisis Klasik


dan Berbagai Mekanisme Pertahanan terhadap Kecemasan. Magister
Kedokteran Indonesia, 57(7) 233-238.

Azzopardi, C., Alaggia, R., & Fallon, B. (2017). From Freud to Feminism:
Gendered Constructions of Blame Accros Theoris of Child Sexual
Abuse. Journal of Child Sexual Abuse, 27(3), 254-275.

Bowlby, J. (1969). Attachment and Loss. United States of America: Basic books.

11
Calista, D., & Garvin. (2018). Sumber-Sumber Resiliensi pada Remaja Ahir yang
Mengalami Kekerasan dari Orangtua pada Masa Kanak-Kanak.
Psibernetika, 11(1), 67-78.

Chen, Z. (2009). Parent-child relationships, childhood and adolesence. In D. Carr


(Ed), Encyclopedia of The Life Course and Homan Delevopment. Volume
1: Childhood and Adolesence (pp. 335-30). New York: The Gale Group
Inc.

David, N., Ezechi, O., Wapmuk, A., Gbajabiamila, T., Ohihoin, A., Herbertson,
E., et al. (2018). Child sexual abuse and disclosure in South Western
Nigeria: a community based study. African Health Sciences, 18(2), 199-
208.

Ewen, R. B. (2010). An Intoduction to The Theories of Personality. New York:


Taylor and Francis Group.

Fadhli, A. (2017). Buruknya Kualitas Perkawinan Pemicu Kekerasan Seksual:


Studi terhadap Pelaku Kekerasan Seksual Anak di Kabupaten Agam.
Kafaah, 7(1), 173-189.

Fauzi'ah, S. (2016). Faktor Penyebab Pelecehan Seksual terhadap Anak. An-Nisa',


9(2), 81-101.

Finkel, K. C. (1994). Sexual Abuse and Incest: What Can You Do? Canadian
Family Physician, 40, 935-944.

Folke, C. (2016). Resilience (Republished). Ecology and Society, 21(4), 44-75.

Greydanus, D. E., Hawver, E. K., & dkk. (2017). A Review Of Sibling Abuse. Int
J Child Adolesc Health, 10(3), 295-304.

Grotberg, E. (1995). A Guide To Promoting Resilience in Children: Strengthening


the Human Spirit. Netherlands: Bernard van Leer Foundation.

Hikmah, S. (2017). Mengantisipasi Kejahatan Seksual Terhadap Anak Melalui


Pembelajaran "Aku Anak Berani Melindungi Diri Sendiri" . Sawwa, 12(2),
187-206.

Humaira, D., Rohmah, N., & dkk. (2015). Kekerasan Seksual Pada Anak: Telaah
Relasi Pelaku Korban Dan Kerentanan Pada Anak. Psikoislamika, 12(2),
5-10.

Karnaji. (2017). Perkosaan Anak Perempuan: Pelaku dan Pola Kejadian.


Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, 30(1), 76 - 83.

12
Kent, M., Davis, M. C., & Reich, J. W. (2014). The Resilience Handbook:
Approach to Stress and Trauma. New York: Routledge.

Lak, P., Noroozi, M., & Ehsanpoor, S. (2018). Comparing the Effect of Two
Methods of Group Education and Education by Multimedia Compact Disk
on Mothers’ Knowledge and Attitude About Child Sexual Abuse. Annals
of Tropical Medicine and Public Health, 10(6), 1720 - 1723.

Margaretha., Nuringtyas, Rahmaniar., & Rachim, Rani. 2013. Trauma Kekerasan


Masa Kanak dan Kekerasan dalam Relasi Intim. Makara Seri Sosial
Humaniora, 17(1), 33-42.

Maslihah, S. (2013). Play Therapy dalam Identifikasi Kasus Kekerasan Seksual


Terhadap Anak. Jurnal Penelitian Psikologi, 4(1), 21-34.

Masten, A. S., & Reed, M.-G. J. (2011). Resilience in Development. In S. J.


Lopez, & C. R. Synder, The Handbook of Positive Psychology (p. 126).
New York: Oxford University Press.

Mawarpury, M., & Mirza. (2017). Resiliensi dalam Keluarga: Perspektif


Psikologi. Psikoislamedia, 2(1), 96-106.

Merrick, J., & Greydanus, D. E. (2017). Incest: Child Sexual Abuse Within The
Family. Int J Child Adolesc Health, 10(3), 295-304.

Neenan, M. (2009). Developing Resilience: A Cognitive and Behavioral


Approach. United Kingdom: Routledge.

Newsom, K., & Bowman, K. M. (2017). “I Am Not A Victim. I Am A Survivor”:


Resilience as a Journey for Female. Journal of Child Sexual Abuse, 10(2),
1-20.

Noviana, I. (2015). Kekerasan Seksual Pada Anak: Dampak Dan Penanganannya .


Sosio Informa, 1(1), 13-28.

Novianti, R. (2018). Orang Tua Sebagai Pemeran Utama Dalam Menumbuhkan


Resiliensi Anak. Educhild, 7(1), 26-33.

Purnomo, N. A. (2014). Resiliensi pada Pasien Stroke Ringan ditinjau dari Jenis
Kelamin. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 2(2), 241 - 262.

RI, K. K. (2014). Kondisi Pencapaian Program Kesehatan Anak Indonesia.


Jakarta: Kementrian Kesehata RI.

13
Setiawan, M. A., & Ahmad, K. I. (2018). Ketrampilan Resiliensi dalam Perspektif
Surah Ad Dhuha. Fokus Konseling, 4(1), 37-50.

Silva, W. d., Ribeiro, F. M., Guimarães, G. K., Santo, M. d., Almeida, V. d., &
Barroso-Junior, U. d. (2018). Factors Associated with Child Sexual Abuse
Confirmation at Forensic Examination. Ciência & Saúde Coletiva, 23(2),
599-606.

Sippel, L. M., Pieterzrk, R. H., & dkk. (2015). How does social support enhance
resilience in the trauma-exposed individual? Ecology and Society, 20(4),
1-11.

Steven, J., & Prihatsanti, U. (2017). Hubungan Antara Resiliensi dengan Work
Engagement pada Karyawan Bank Panin Cabang Menara Imperium
Kuningan Jakarta. Jurnal Empati, 7(3), 160-169.

Syahputra, R. (2018). Penanggulangan Terhadap Tindakan Kekerasan Seksual


pada Anak Ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Anak. Lex Crimen,
7(3), 123 - 131.

Synder, C., & Lopez, S. J. (2007). Positive Psychology The Scientific and
Practical Explorations of Human Strenghts. United States of America:
Sage Publications.

Tuliah, S. (2018). Kajian Motif Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak


Melalui Modus Operandi Di Lingkungan Keluarga. Sosiatri-Sosiologi,
6(2), 1-17.

Utami, C. T., & Helmi, A. F. (2017). Self-Efficacy dan Resiliensi: Sebuah


Tinjauan Meta-Analisis. Buletin Psikologi, 25(1), 54-65.

Widyarini, N. (2009). Relasi Orangtua & Anak. Jakarta: Elex Media


Komputindo.

14

Anda mungkin juga menyukai