PRAKTIKUM I
MULA KERJA, PUNCAK EFEK, DAN LAMA KERJA OBAT
ANALGETIK PADA PEMBERIAN PER ORAL DAN
INTRAPERITONEAL
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019/2020
KATA PENGANTAR
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................................ii
I. Judul Praktikum...................................................................................................................................1
II. Tujuan Instruksional Khusus................................................................................................................1
III. Dasar Teori...........................................................................................................................................1
IV. Alat dan Bahan.....................................................................................................................................5
V. Bagan Prosedur Kerja...........................................................................................................................6
VI. Perhitungan.........................................................................................................................................7
VII. Tabel Pengamatan...............................................................................................................................9
VIII. Pembahasan......................................................................................................................................10
IX. Kesimpulan........................................................................................................................................11
X. Bahan Diskusi.....................................................................................................................................12
XI. Daftar Pustaka....................................................................................................................................14
ii
I. Judul Praktikum
Mula kerja, puncak efek, dan lama kerja obat analgetik pada pemberian per oral
dan intraperitoneal.
Efek farmakologik obat merupakan fungsi dari konsentrasi obat ditempat kerja
obat. Ada 3 fase yang didapatkan dari hubungan waktu dan efek obat, yaitu : (1) Mula
kerja (onset of action), (2) Puncak efek (peak effect), dan (3) Lama kerja obat (duration
of action) seperti terlihat pada gambar. Ketiga fase ditentukan oleh kecepatan absorbsi,
distribusi, metabolisme
dan ekskresi obat.
1
Mula kerja obat adalah waktu yang diperlukan antara saat obat diberikan dan saat
pertama kali didapatkan tanda obat berespon. Fase ini lebih ditentukan oleh kecepatan
absorbsi dan distribusi daripada kecepatan ekskresi. Tetapi pada prodrug, kecepatan
metabolisme juga berpengaruh besar pada fase ini.
Puncak kerja obat adalah waktu yang diperlukan mencapai intensitas efek
maksimal obat, dimana pada sebagian besar obat akan didapatkan ketika konsentrasi
obat ditempat kerja obat mencapai konsentrasi maksimal. Waktu yang diperlukan untuk
mencapai fase ini ditentukan oleh keseimbangan antara proses yang berperan pada
sampainya obat pada tempat kerja obat (kecepatan absorbs dan distribusi) dan pada
proses obat meninggalkan tempat kerja dan tubuh (ikatan dengan reseptor dan
kecepatan ekskresi).
Lama kerja obat adalah jangka waktu dari mula kerja obat hingga respon obat
terakhir. Fase ini lebih ditentukan oleh kecepatan ekskresi obat, meskipun fase ini juga
dapat dipengaruhi oleh adanya absorbs obat yang terus berlangsung.
Cara pemberian obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi absorbsi
obat. Perbedaan dalam hal kecepatan absorbs dan berbagai cara pemberian tersebut
yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap efek atau aktivitas farmakologinya.
Pemberian per oral merupakan cara pemberian obat yang lebih banyak kita jumpai dari
pada pemberian parentral karena lebih aman, nyaman dan murah. Tetapi berbeda
dengan cara pemberian parentral, pada per oral didapatkan keunikan dalam absorbs
obat akibat pengaruhh system GIT dan adanya pre sistemik eleminasi (First Pass
2
Elemination atau First Pass Effect). Pada praktikum ini akan belajar pengaruh cara
pemberian (per oral dan intraperitoneal) obat analgetik pada mula kerja, puncak efek
dan lama kerja obat ditikus.
Untuk mencapai efek farmakologi (efek sistemik) seperti yang diinginkan, obat
dapat diberikan dengan berbagai cara, diantaranya melalui oral, sub cutan,
intramuscular, intravena, intraperitoneal dan rectal. Masing-masing cara pemberian ini
memiliki keuntungan dan manfaat tertentu. Suatu senyawa atau obat mungkin efektif
jika diberikan melalui salah satu cara pemberian tetapi tidak atau kurang efektif jika
diberikan melalui cara lain.
Fase yang diperoleh dari hitungan waktu dan efek obat, yaitu :
A. Peak effect (puncak efek) adalah waktu dimana obat mencapai konsentrasi
tertinggi, didalam plasma setelah tubuh menyerap semakin banyak obat maka
konsentrasinya didalam tubuh semakin meningkat sehingga mencapai konsentrasi
puncak respon.
B. Onset of action (mula kerja obat) adalah waktu yang dibutuhkan suatu obat untuk
mempengaruhi tubuh (Fadhli dkk. 2016). Onset adalah waktu dan saat obat
diberikan hingga obat terasa kerjanya. Waktu onset ini sangat tergantung pada
rute pemberian dan farmakokinetik obat (Noviani & Murliawati, 2017).
C. Duration of action (durasi kerja obat) adalah lama waktu obat menghasilkan suatu
efek terapi atau efek farmakologis (Noviani & Murliawati, 2017).
Kebanyakan obat diberikan melalui oral karena mudah dan nyaman. Pemberian
per oral ditujukan untuk efek sistemik. Permasalahannya adalah proses sampainya obat
pada plasma darah berlangsung lambat factor seperti pengosongan lambung dan
enzimatus yang berperan akan mempengaruhi sampainya obat pada sistemik.
Pemberian Intraperitoneal
3
Rongga peritoneal mempunyai permukaan distribusi yang sangat luas sehingga
obat dapat masuk ke sirkulasi sistemil secara tepat. Absorbsi peritoneal lebih cepat
daripada pemberian per oral sehingga kadar obat yang mencapai sistemik bisa
mencapai 100%. Namun kekurangannya adalah kontaminasi bakteri lebih rawan. Jika
terjadi kelebihan dosis akan sukar diatasi serta penggunaannya tidak semudah per oral
(harus dengan bantuan tenaga medis) (Lab. Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya, Catatan Kuliah Farmakologi, Bagian I, 1992).
Pemberian Intramuscular
Injeksi intramuscular diberikan jauh ke dalam obat rangka, warnanya pada obat
pinggul atau pinggang. Tempat menyuntikkan dipilih yang bahaya perusakan terhadap
saraf atau pembuluh darahnya kecil. Larutan air minyak atau suspense dapat digunakan
secara intramuscular dengan efek yang cepat atau sebagai depot yang dipilih untuk
memenuhi kebutuhan pasien (Ansel (1989 : 96 – 105)).
Absorbsi adalah proses dimana obat masuk ke dalam tubuh (sirkutasi) dari tempat
ia diberikan. Efisiensi absorbsi bergantung pada cara pemberian. Absorpsi juga sangat
memengaruhi bioavailabilitas obat. Sebagai contoh, pemberian obat secara intravena
bioavailabilitasnya akan lebih besar daripada pemberian obat secara oral, karena
seluruh dosis obat akan mencapai sirkulasi sistemik tanpa melalui first pass elimination
(Mary J. Mycek, Farmakologi Ulasan Bergambar, 2001).
Distribusi adalah adalah proses dimana molekul obat yang diabsorbsi mulai
meninggalkan tempat yang diabsorbsi, masuk sirkulasi sistemik, bersama aliran darah
menuju ke seluruh tubuh melewati berbagai barier untuk mencapai tempat kerjanya
pada jaringan atau organ target sehingga tercapai efek terapi. Distribusi obat
dipengaruhi oleh aliran darah, afinitas (kekuatan penggabungan) terhadap jaringan, dan
efek pengikatan terhadap protein (Joyce L. Kee & Evelyn R. Hayes, Farmakologi
Pendekatan Proses Keperawatan, 1996).
4
utama metabolisme. Penyakit-penyakit hati seperti sirosis dan hepatitis, mempengaruhi
metabolisme obat (Joyce L. Kee & Evelyn R. Hayes, Farmakologi Pendekatan Proses
Keperawatan, 1996).
Setelah dimetabolisme, obat akan diekskresikan dalam urin atau udara mellaui
ekspirasi, dll (James Olsen, 2003). Ekskresi memiliki rute untuk eleminasi obat adalah
melalui ginjal, rute-rute lain meliputi empedu, feses, paru-paru, saliva, keringat, dan
asi. Obat bebas yang tidak berikatan yang larut dalam air dan obat-obat yang tidak
diubah difiltrasi oleh ginjal.
Jenis obat yang digunakan untuk mengurangi intensitas nyeri adalah obat
analgetik. Analgetik adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik dapat meringankan
atau menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anastesi umum/menghilangkan
kesadaran (Mutschler, 1991) (Soemardjo, 2009). Obat analgetik terdiri dari dari obat
analgetik narkotik/opioid/sentral dan obat analgetik non-narkotik/perifer (Tan dan
Rahardja, 2002). Analgetik narkotik memiliki sifat-sifat seperti opium/morfin,
digunakan untuk meredakan rasa nyeri pada fraktur atau kanker, seperti metadon,
fentanyl, dan kodein. Analgetik non-narkotik tidak bersifat narkotik, sehingga dapat
meringankan rasa nyeri tanpa berpengaruh ke sistem saraf pusat dan tidak
menyebabkan adiksi pada penggunanya (Soraya Ratnawulan, 2017).
5
Antalgin bekerja sebagai analgesic. Antalgin diabsorbsi dari saluran pencernaan
dan mempunyai waktu paruh 1-4 jam. Mekanisme kerja antalgin adalah dengan
menghambat secara reversible enzim siklooksigenase 1 dan 2 yang mengakibatkan
penurunan pembentukan precursor prostaglandin (COX 1 dan 2). Antalgin akan
mengurangi produksi mediator seperti prostaglandin yang dapat menyebabkan
inflamasi, demam, dan nyeri pada tubuh. Tiga efek utama antalgin adalah sebagai
analgesic, antipiretik dan anti-inflamasi (Binar Alkes. 2015).
A. Alat
1. Analgesimeter beban geser
2. Spuit 1 ml
3. Sonde
4. Stopwatch
B. Bahan
1. Tikus
2. Obat analgesic : Antrain (500 mg/ml metamizole sodium)
Dosis yang digunakan 50 mg/200 g BB tikus.
3. Antalgin tablet (500 mg/tab) dipuyer + CMC + air ad 20 ml
Dosis yang digunakan 50 mg/200 g BB tikus.
6
V. Bagan Prosedur Kerja
A. Menentukan ambang batas nyeri tikus
Siapkan analgesimeter
↓
Atur beban pada posisi terkecil
↓
Pegang tikus
|
↓ ↓
Tangan kiri Tangan kanan
↓ ↓
Menekan jari pada alat Memegang tikus
penekan
| |
↓
Jalankan beban dengan menggeser, kecepatan stabil (menentukan ambang nyeri)
↓
Respon nyeri dengan menarik kaki
↓
Lepaskan beban
↓
Catat ambang nyeri (dalam gram)
7
VI. Perhitungan
Dosis
x = 44,5 mg
→ 2 ml x
=
1000 mg 44,5 mg
44,5 mg x 2 ml
x =
1000 mg
8
x = 0,089 ml ~ 0,09 ml
9
2. Tikus II (Rute per oral, BB tikus = 121 gram)
- Dosis obat = 50 mg/200 g BB tikus
- Dosis sediaan = 25 mg/1 ml
→ 50 mg x
=
200 g 121 g
50 mg x 121 g
x =
200 g
x = 30,25 mg
→ 1 ml x
=
25 mg 30,25 mg
1ml x 30,25 mg
x =
25 mg
x = 1,21 ml
10
VII. Tabel Pengamatan
50 55
5’ 10’ 15’ 20’ 25’ 30’ 35’ 40’ 45’ 60’
’ ’
Intraperitoneal
Kelompok I + + + + + + - - - - - -
Kelompok II - - + + + + - - - - - -
Kelompok III - - + + - - - - - - - -
Kelompok IV - - - - + + + - - - - -
Kelompok V - - - + + + - - - - - -
Kelompok VI - - - + + + + + - - - -
Per Oral
Kelompok I - - - + + - - - - - - -
Kelompok II - - - + + - - - - - - -
Kelompok III - - - - - + - - - - - -
Kelompok IV - + + + + + + - - - - -
Kelompok V - - - + - - - - - - - -
Kelompok VI - - - - - + + + + - - -
11
VIII. Pembahasan
Tikus I
12
Tikus II
Dalam praktikum ini, tikus II diberikan obat analgetik melalui oral. Obat yang
diberikan sebanyak 1,21 ml dan disuntikkan dengan sonde. Setelah obat disuntikkan,
tikus diberi rangsangan nyeri dengan alat analgesimeter dengan beban 2x dari beban
ambang nyeri. Pada menit ke-5 obat masih belum memberikan efek terapi dan tikus
masih merasa kesakitan. Pada menit ke-10, tikus mulai tidak merasa kesakitan, namun
hanya dalam waktu ±3 detik. Pada menit ke-10 ini adalah fase mula kerja obat (onset of
action), dimana obat mulai bekerja dan memberikan efek terapi ke tubuh tikus. Pada
menit ke-15, tikus juga tidak memberikan tanda-tanda kesakitan hingga pada menit ke-
35. Dalam rentang waktu menit ke-15 hingga menit ke-35, tikus mampu menahan 2x
beban control. Namun, waktu tikus dapat menahan beban dan tidak memberikan tanda-
tanda kesakitan paling lama terjadi pada menit ke-25, yaitu sekitar ±8-9 detik. Pada
menit ke-25 ini adalah fase puncak efek (peak effect), dimana obat mencapat
konsentrasi maksimum dalam darah, sehingga efek terapi yang dihasilkan juga
maksimal, yang dapat dilihat dari respon tikus yang tidak memberikan tanda-tanda
kesakitan dalam waktu yang lama. Pada menit ke-40 hingga menit ke-60, tikus kembali
merasa kesakitan karena obat tidak lagi memberikan efek terapi. Sehingga dapat
disimpulkan, pada pemberian obat analgetik secara per oral pada tikus II, waktu mula
kerja obat (onset of action) dimulai dari menit ke-10. Puncak efek (peak effect) obat
dimulai dari menit ke-25, dan selanjutnya kerja obat mulai menurun. Sedangkan lama
kerja obat (duration of action) adalah selama 30 menit, dimulai dari menit ke-10 hingga
menit ke-40, dimana setelah lewat menit ke-40 tikus kembali memberikan tanda-tanda
kesakitan.
IX. Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum yang dilakukan adalah pemberian obat secara per oral
dan intraperitoneal memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Pemberian obat secara
per oral memiliki durasi waktu efek farmakologik obat (mula kerja (onset of action),
puncak kerja (peak effect), dan lama kerja obat (duration of action)) lebih cepat
daripada pemberian obat secara intraperitoneal.
13
Namun secara teoritis, seharusnya pemberian obat secara intraperitoneal akan
lebih cepat memberikan efek daripara pemberian obat secara per oral. Hal ini
disebabkan karena pada pemberian secara per oral obat akan mengalami proses
absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Proses-proses itulah yang
memperpanjang durasi waktu efek farmakologik obat. Sebaliknya, pemberian obat
secara intraperitoneal hanya akan mengalami proses distribusi, metabolisme, dan
ekskresi serta langsung masuk ke dalam sirkulasi sistemik lalu didistribusikan menuju
jaringan-jaringan, sehingga obat akan memberikan efek terapi pada tubuh lebih cepat.
1. Kurang tepat saat menentukan ambang nyeri tikus, jarak antar ambang nyeri
seringkali terlalu jauh, sehingga beban control tidak akurat
2. Tidak teliti ketika menguji tikus dengan 2x beban control, karena bisa saja
selaput kaki tikus belum terkena alat penekan, sehingga didapatkan respon
negative
3. Lokasi pemberian obat intraperitoneal tidak tepat, ada bercak darah di perut
tikus, sehingga kemungkinan obat yang masuk lebih sedikit
4. Ketidaksigapan praktikan dalam memegang tikus, sehingga tikus stress
karena terusik
X. Bahan Diskusi
1. Mengapa mula kerja obat pada pemberian per oral lebih lambat dari pada
pemberian intraperitoneal? Jelaskan!
Mula kerja obat pada pemberian per oral lebih lambat daripada pemberian
intraperitoneal disebabkan karena:
- Permberian per oral memiliki banyak faktor yang dapat mempengaruhi
bioavailabilitasnya, sehingga waktu onset obat yang didapat cukup lama.
- Pada pemberian per oral, obat akan dimetabolisme pada lintasan
pertamanya melalui organ-organ tertentu (first pass metabolism) di saluran
cerna.
14
Sedangkan, pemberian intraperitoneal cukup efektif daripada pemberian per
oral karena obat tidak mengalami tahap absorbsi dan metabolism lintas pertama,
kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat sehingga waktu onset obat menjadi
lebih cepat.
15
3. Buatlah kurva waktu vs kadar
16
XI. Daftar Pustaka
17