Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

PRAKTIKUM I
MULA KERJA, PUNCAK EFEK, DAN LAMA KERJA OBAT
ANALGETIK PADA PEMBERIAN PER ORAL DAN
INTRAPERITONEAL

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 4 (FARMASI G)

GHASSANI SHABRINA PUTRI 201810410311319


DIAJENG WINDIHASMIEGA P. 201810410311320
NISAIYAH WAHIDATUL M. 201810410311321
AMARA FEBRIYANTI P. 201810410311323
SAKTI BAGASKARA 201810410311324
FIRZANNIDA 201810410311325
BELA SELVYANA DEA P. 201810410311326
DEVI INDAH P. 201810410311328

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019/2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puji syukur kehadirat Allah Swt., yang telah melimpahkan rahmat, taufik, serta
hidayah-Nya kepada kita sehingga penulisan laporan ini dapat terselesaikan, dengan judul
“Mula Kerja, Puncak Efek, dan Lama Kerja Obat Analgetik pada Pemberian Per Oral dan
Intraperitoneal”.
Dalam kesempatan ini, penyusun mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Firasti Agung N. S., M. Biotech., Apt. dan tim selaku Dosen Mata Kuliah
Praktikum Farmakologi yang telah memberikan dorongan moril untuk melaksanakan
praktikum dan penulisan laporan.
2. Kakak-kakak asisten laboratorium yang telah membimbing penyusun dalam penulisan
laporan.
3. Kedua orang tua penyusun yang telah memberikan dorongan moril dan material.
4. Semua pihak yan turut memberi semangat penyusun dalam penulisan laporan yang
tidak dapat penyusun sebutkan satu persatu.
Penyusun menyadari bahwa penulisan laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, penyusun bersedia menerima kritik dan saran dari pembaca guna perbaikan
laporan di masa yang akan datang.

Malang, September 2013

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................................ii
I. Judul Praktikum...................................................................................................................................1
II. Tujuan Instruksional Khusus................................................................................................................1
III. Dasar Teori...........................................................................................................................................1
IV. Alat dan Bahan.....................................................................................................................................5
V. Bagan Prosedur Kerja...........................................................................................................................6
VI. Perhitungan.........................................................................................................................................7
VII. Tabel Pengamatan...............................................................................................................................9
VIII. Pembahasan......................................................................................................................................10
IX. Kesimpulan........................................................................................................................................11
X. Bahan Diskusi.....................................................................................................................................12
XI. Daftar Pustaka....................................................................................................................................14

ii
I. Judul Praktikum

Mula kerja, puncak efek, dan lama kerja obat analgetik pada pemberian per oral
dan intraperitoneal.

II. Tujuan Instruksional Khusus


Membedakan mula kerja (onset of action), puncak efek (peak effect), dan lama
kerja obat (duration of action) obat analgetik pada pemberian per oral dan
intraperitoneal.

III. Dasar Teori

Efek farmakologik obat merupakan fungsi dari konsentrasi obat ditempat kerja
obat. Ada 3 fase yang didapatkan dari hubungan waktu dan efek obat, yaitu : (1) Mula
kerja (onset of action), (2) Puncak efek (peak effect), dan (3) Lama kerja obat (duration
of action) seperti terlihat pada gambar. Ketiga fase ditentukan oleh kecepatan absorbsi,
distribusi, metabolisme
dan ekskresi obat.

1
Mula kerja obat adalah waktu yang diperlukan antara saat obat diberikan dan saat
pertama kali didapatkan tanda obat berespon. Fase ini lebih ditentukan oleh kecepatan
absorbsi dan distribusi daripada kecepatan ekskresi. Tetapi pada prodrug, kecepatan
metabolisme juga berpengaruh besar pada fase ini.

Puncak kerja obat adalah waktu yang diperlukan mencapai intensitas efek
maksimal obat, dimana pada sebagian besar obat akan didapatkan ketika konsentrasi
obat ditempat kerja obat mencapai konsentrasi maksimal. Waktu yang diperlukan untuk
mencapai fase ini ditentukan oleh keseimbangan antara proses yang berperan pada
sampainya obat pada tempat kerja obat (kecepatan absorbs dan distribusi) dan pada
proses obat meninggalkan tempat kerja dan tubuh (ikatan dengan reseptor dan
kecepatan ekskresi).

Lama kerja obat adalah jangka waktu dari mula kerja obat hingga respon obat
terakhir. Fase ini lebih ditentukan oleh kecepatan ekskresi obat, meskipun fase ini juga
dapat dipengaruhi oleh adanya absorbs obat yang terus berlangsung.

Cara pemberian obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi absorbsi
obat. Perbedaan dalam hal kecepatan absorbs dan berbagai cara pemberian tersebut
yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap efek atau aktivitas farmakologinya.
Pemberian per oral merupakan cara pemberian obat yang lebih banyak kita jumpai dari
pada pemberian parentral karena lebih aman, nyaman dan murah. Tetapi berbeda
dengan cara pemberian parentral, pada per oral didapatkan keunikan dalam absorbs
obat akibat pengaruhh system GIT dan adanya pre sistemik eleminasi (First Pass

2
Elemination atau First Pass Effect). Pada praktikum ini akan belajar pengaruh cara
pemberian (per oral dan intraperitoneal) obat analgetik pada mula kerja, puncak efek
dan lama kerja obat ditikus.

Untuk mencapai efek farmakologi (efek sistemik) seperti yang diinginkan, obat
dapat diberikan dengan berbagai cara, diantaranya melalui oral, sub cutan,
intramuscular, intravena, intraperitoneal dan rectal. Masing-masing cara pemberian ini
memiliki keuntungan dan manfaat tertentu. Suatu senyawa atau obat mungkin efektif
jika diberikan melalui salah satu cara pemberian tetapi tidak atau kurang efektif jika
diberikan melalui cara lain.

Fase yang diperoleh dari hitungan waktu dan efek obat, yaitu :

A. Peak effect (puncak efek) adalah waktu dimana obat mencapai konsentrasi
tertinggi, didalam plasma setelah tubuh menyerap semakin banyak obat maka
konsentrasinya didalam tubuh semakin meningkat sehingga mencapai konsentrasi
puncak respon.
B. Onset of action (mula kerja obat) adalah waktu yang dibutuhkan suatu obat untuk
mempengaruhi tubuh (Fadhli dkk. 2016). Onset adalah waktu dan saat obat
diberikan hingga obat terasa kerjanya. Waktu onset ini sangat tergantung pada
rute pemberian dan farmakokinetik obat (Noviani & Murliawati, 2017).
C. Duration of action (durasi kerja obat) adalah lama waktu obat menghasilkan suatu
efek terapi atau efek farmakologis (Noviani & Murliawati, 2017).

Pemberian Per Oral

Kebanyakan obat diberikan melalui oral karena mudah dan nyaman. Pemberian
per oral ditujukan untuk efek sistemik. Permasalahannya adalah proses sampainya obat
pada plasma darah berlangsung lambat factor seperti pengosongan lambung dan
enzimatus yang berperan akan mempengaruhi sampainya obat pada sistemik.

Pemberian Intraperitoneal

3
Rongga peritoneal mempunyai permukaan distribusi yang sangat luas sehingga
obat dapat masuk ke sirkulasi sistemil secara tepat. Absorbsi peritoneal lebih cepat
daripada pemberian per oral sehingga kadar obat yang mencapai sistemik bisa
mencapai 100%. Namun kekurangannya adalah kontaminasi bakteri lebih rawan. Jika
terjadi kelebihan dosis akan sukar diatasi serta penggunaannya tidak semudah per oral
(harus dengan bantuan tenaga medis) (Lab. Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya, Catatan Kuliah Farmakologi, Bagian I, 1992).

Pemberian Intramuscular

Injeksi intramuscular diberikan jauh ke dalam obat rangka, warnanya pada obat
pinggul atau pinggang. Tempat menyuntikkan dipilih yang bahaya perusakan terhadap
saraf atau pembuluh darahnya kecil. Larutan air minyak atau suspense dapat digunakan
secara intramuscular dengan efek yang cepat atau sebagai depot yang dipilih untuk
memenuhi kebutuhan pasien (Ansel (1989 : 96 – 105)).

Absorbsi adalah proses dimana obat masuk ke dalam tubuh (sirkutasi) dari tempat
ia diberikan. Efisiensi absorbsi bergantung pada cara pemberian. Absorpsi juga sangat
memengaruhi bioavailabilitas obat. Sebagai contoh, pemberian obat secara intravena
bioavailabilitasnya akan lebih besar daripada pemberian obat secara oral, karena
seluruh dosis obat akan mencapai sirkulasi sistemik tanpa melalui first pass elimination
(Mary J. Mycek, Farmakologi Ulasan Bergambar, 2001).

Distribusi adalah adalah proses dimana molekul obat yang diabsorbsi mulai
meninggalkan tempat yang diabsorbsi, masuk sirkulasi sistemik, bersama aliran darah
menuju ke seluruh tubuh melewati berbagai barier untuk mencapai tempat kerjanya
pada jaringan atau organ target sehingga tercapai efek terapi. Distribusi obat
dipengaruhi oleh aliran darah, afinitas (kekuatan penggabungan) terhadap jaringan, dan
efek pengikatan terhadap protein (Joyce L. Kee & Evelyn R. Hayes, Farmakologi
Pendekatan Proses Keperawatan, 1996).

Metabolisme adalah proses dimana enzim mengkatalisasi perubahan kimia obat


menjadi lebih polar (metabolit) sehingga mudah diekskresikan. Hati merupakan tempat

4
utama metabolisme. Penyakit-penyakit hati seperti sirosis dan hepatitis, mempengaruhi
metabolisme obat (Joyce L. Kee & Evelyn R. Hayes, Farmakologi Pendekatan Proses
Keperawatan, 1996).

Setelah dimetabolisme, obat akan diekskresikan dalam urin atau udara mellaui
ekspirasi, dll (James Olsen, 2003). Ekskresi memiliki rute untuk eleminasi obat adalah
melalui ginjal, rute-rute lain meliputi empedu, feses, paru-paru, saliva, keringat, dan
asi. Obat bebas yang tidak berikatan yang larut dalam air dan obat-obat yang tidak
diubah difiltrasi oleh ginjal.

Nyeri adalah mekanisme protektif yang bermaksud untuk menyadarkan seseorang


akan adanya kerusakan jaringan (Sherwood, 2012). Nyeri merupakan suatu perasaan
subjektif pribadi dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang (Tjay dkk,
2007). Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi, atau fisisi (kalor,
listrik) dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu
pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri, antara lain: histamine,
bradikinin, leukotriene, dan prostaglandin (Tjay dan Rahardja, 2007)

Jenis obat yang digunakan untuk mengurangi intensitas nyeri adalah obat
analgetik. Analgetik adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik dapat meringankan
atau menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anastesi umum/menghilangkan
kesadaran (Mutschler, 1991) (Soemardjo, 2009). Obat analgetik terdiri dari dari obat
analgetik narkotik/opioid/sentral dan obat analgetik non-narkotik/perifer (Tan dan
Rahardja, 2002). Analgetik narkotik memiliki sifat-sifat seperti opium/morfin,
digunakan untuk meredakan rasa nyeri pada fraktur atau kanker, seperti metadon,
fentanyl, dan kodein. Analgetik non-narkotik tidak bersifat narkotik, sehingga dapat
meringankan rasa nyeri tanpa berpengaruh ke sistem saraf pusat dan tidak
menyebabkan adiksi pada penggunanya (Soraya Ratnawulan, 2017).

Antalgin (metampiron) adalah derivate metansulfonat dari amidopirina yang


bekerja terhadap susunan saraf pusat yaitu mengurangi sensitivitas reseptor rasa nyeri
dan mempengaruhi pusat pengatur suhu tubuh.

5
Antalgin bekerja sebagai analgesic. Antalgin diabsorbsi dari saluran pencernaan
dan mempunyai waktu paruh 1-4 jam. Mekanisme kerja antalgin adalah dengan
menghambat secara reversible enzim siklooksigenase 1 dan 2 yang mengakibatkan
penurunan pembentukan precursor prostaglandin (COX 1 dan 2). Antalgin akan
mengurangi produksi mediator seperti prostaglandin yang dapat menyebabkan
inflamasi, demam, dan nyeri pada tubuh. Tiga efek utama antalgin adalah sebagai
analgesic, antipiretik dan anti-inflamasi (Binar Alkes. 2015).

Antrain (metamizole sodium) adalah derivate metansulfonat dari amidopirina


yang digunakan untuk meringankan rasa sakit/kolik dan rasa nyeri setelah operasi.
Selain itu, antrain juga dapat menurunkan demam tinggi, dismenore, sakit kepala, sakit
gigi, dll. Antrain termasuk obat keras. Metamizole sodium pada antrain akan
menghambat rangsangan nyeri pada susunan saraf pusat dan perifer. Metamizole atau
dipiron merupakan analgesik ampiron sulfonat (pereda nyeri), antispasme (pereda
spasme) dan antipiretik (pereda demam), dengan efek anti-inflamasi (anti peradangan)
yang minimal.

IV. Alat dan Bahan

A. Alat
1. Analgesimeter beban geser
2. Spuit 1 ml
3. Sonde
4. Stopwatch
B. Bahan
1. Tikus
2. Obat analgesic : Antrain (500 mg/ml metamizole sodium)
Dosis yang digunakan 50 mg/200 g BB tikus.
3. Antalgin tablet (500 mg/tab) dipuyer + CMC + air ad 20 ml
Dosis yang digunakan 50 mg/200 g BB tikus.

6
V. Bagan Prosedur Kerja
A. Menentukan ambang batas nyeri tikus

Siapkan analgesimeter

Atur beban pada posisi terkecil

Pegang tikus
|
↓ ↓
Tangan kiri Tangan kanan
↓ ↓
Menekan jari pada alat Memegang tikus
penekan
| |

Jalankan beban dengan menggeser, kecepatan stabil (menentukan ambang nyeri)

Respon nyeri dengan menarik kaki

Lepaskan beban

Catat ambang nyeri (dalam gram)

B. Pemberian analgesik tikus I dan tikus II serta pengamatan

Tikus I dan tikus II


|
↓ ↓
Analgetik intraperitoneal Analgetik oral
Tikus I Tikus II

Memposisikan sela-sela jari tikus pada alat penekan analgesimeter

Diberikan beban dua kali kontrol ambang nyeri normal

Dilakukan selang waktu 5 menit hingga menit ke 60 (12x percobaan)

Catat hasil pengamatan

7
VI. Perhitungan

Ambang nyeri tikus

1. Tikus I (BB tikus = 178 gram)


- Ambang nyeri I = 7,8 cm = 78 gram
- Ambang nyeri II = 6,6 cm = 66 gram
- Ambang nyeri III = 6,4 cm = 64 gram
78 gram+66 gram+ 64 gram
- Beban kontrol = = 69,3 gram
3
2. Tikus II (BB tikus = 121 gram)
- Ambang nyeri I = 3,5 cm = 35 gram
- Ambang nyeri II = 4,5 cm = 45 gram
- Ambang nyeri III = 3,6 cm = 36 gram

35 gram+45 gram+36 gram


Beban kontrol = = 38,6 gram
3

Dosis

1. Tikus I (Rute intraperitoneal (IP), BB tikus = 178 gram)


- Dosis obat = 50 mg/200 g BB tikus
- Dosis sediaan = 1 g/2 ml
→ 50 mg x
=
200 g 178 g
50 mg x 178 g
x =
200 g

x = 44,5 mg

→ 2 ml x
=
1000 mg 44,5 mg
44,5 mg x 2 ml
x =
1000 mg

8
x = 0,089 ml ~ 0,09 ml

- Sediaan yang diambil = 0,09 ml

9
2. Tikus II (Rute per oral, BB tikus = 121 gram)
- Dosis obat = 50 mg/200 g BB tikus
- Dosis sediaan = 25 mg/1 ml
→ 50 mg x
=
200 g 121 g
50 mg x 121 g
x =
200 g

x = 30,25 mg

→ 1 ml x
=
25 mg 30,25 mg
1ml x 30,25 mg
x =
25 mg

x = 1,21 ml

- Sediaan yang diambil = 1,21 ml

10
VII. Tabel Pengamatan
50 55
5’ 10’ 15’ 20’ 25’ 30’ 35’ 40’ 45’ 60’
’ ’
Intraperitoneal

Kelompok I + + + + + + - - - - - -

Kelompok II - - + + + + - - - - - -

Kelompok III - - + + - - - - - - - -

Kelompok IV - - - - + + + - - - - -

Kelompok V - - - + + + - - - - - -

Kelompok VI - - - + + + + + - - - -

Per Oral

Kelompok I - - - + + - - - - - - -

Kelompok II - - - + + - - - - - - -

Kelompok III - - - - - + - - - - - -

Kelompok IV - + + + + + + - - - - -

Kelompok V - - - + - - - - - - - -

Kelompok VI - - - - - + + + + - - -

11
VIII. Pembahasan

Berdasarkan praktikum yang kami lakukan, membuktikan bahwa cara/rute


pemberian obat menentukan kecepatan absorbsi atau jumlah dan efek yang diterima
oleh tubuh. Pemberian obat analgetik pada tikus diberikan melalui 2 cara, yaitu per oral
dan intraperitoneal. Terjadi perubahan ambang nyeri pada tikus antara sebelum dan
sesudah pemberian obat analgetik.

Tikus I

Dalam praktikum ini, tikus I diberikan obat analgetik melalui intraperitoneal.


Obat yang diberikan sebanyak 0,09 ml dan disuntikkan dengan spuit. Setelah obat
disuntikkan, tikus diberi rangsangan nyeri dengan alat analgesimeter dengan 2x beban
kontrol. Pada menit ke-5 hingga menit ke 20, tikus masih merasakan nyeri yang
ditandai dengan respon menjerit dan menarik kakinya dari analgesimeter. Pada menit
ke-25, efek obat analgetik mulai bekerja. Tikus tidak merasa kesakitan, tidak menjerit,
dan tidak menarik kakinya dari analgesimeter selama ±6 detik. Pada menit ke-25 ini
adalah fase mula kerja obat (onset of action), dimana obat mulai memberikan efek
terapi dan respon terhadap tubuh tikus. Selanjutnya, pada menit ke-30, tikus juga tidak
merasa kesakitan, tidak menjerit, dan tidak menarik kakinya dari analgesimeter dalam
waktu yang lebih lama, ±10 detik. Pada menit ke-30 ini adalah fase puncak efek (peak
effect), dimana kadar obat dalam darah maksimal dan efek terapi yang dihasilkan juga
maksimal. Pada menit ke-35, tikus masih tidak merasakan sakit, tidak menjerit, dan
tidak menarik kakinya dari analgesimeter dalam waktu ±4 detik. Selanjutnya pada
menit ke-40 hingga menit ke-60, tikus kembali merasa kesakitan karena obat tidak lagi
memberikan efek terapi. Sehingga dapat disimpulkan, pada pemberian obat analgetik
secara intraperitoneal pada tikus I, waktu mula kerja obat (onset of action) dimulai dari
menit ke-25. Puncak efek (peak effect) obat dimulai dari menit ke-30, dan selanjutnya
kerja obat mulai menurun. Sedangkan lama kerja obat (duration of action) adalah
selama 15 menit, dimulai dari menit ke-25 hingga menit ke-35, dimana setelah lewat
menit ke-35 tikus kembali memberikan tanda-tanda kesakitan.

12
Tikus II

Dalam praktikum ini, tikus II diberikan obat analgetik melalui oral. Obat yang
diberikan sebanyak 1,21 ml dan disuntikkan dengan sonde. Setelah obat disuntikkan,
tikus diberi rangsangan nyeri dengan alat analgesimeter dengan beban 2x dari beban
ambang nyeri. Pada menit ke-5 obat masih belum memberikan efek terapi dan tikus
masih merasa kesakitan. Pada menit ke-10, tikus mulai tidak merasa kesakitan, namun
hanya dalam waktu ±3 detik. Pada menit ke-10 ini adalah fase mula kerja obat (onset of
action), dimana obat mulai bekerja dan memberikan efek terapi ke tubuh tikus. Pada
menit ke-15, tikus juga tidak memberikan tanda-tanda kesakitan hingga pada menit ke-
35. Dalam rentang waktu menit ke-15 hingga menit ke-35, tikus mampu menahan 2x
beban control. Namun, waktu tikus dapat menahan beban dan tidak memberikan tanda-
tanda kesakitan paling lama terjadi pada menit ke-25, yaitu sekitar ±8-9 detik. Pada
menit ke-25 ini adalah fase puncak efek (peak effect), dimana obat mencapat
konsentrasi maksimum dalam darah, sehingga efek terapi yang dihasilkan juga
maksimal, yang dapat dilihat dari respon tikus yang tidak memberikan tanda-tanda
kesakitan dalam waktu yang lama. Pada menit ke-40 hingga menit ke-60, tikus kembali
merasa kesakitan karena obat tidak lagi memberikan efek terapi. Sehingga dapat
disimpulkan, pada pemberian obat analgetik secara per oral pada tikus II, waktu mula
kerja obat (onset of action) dimulai dari menit ke-10. Puncak efek (peak effect) obat
dimulai dari menit ke-25, dan selanjutnya kerja obat mulai menurun. Sedangkan lama
kerja obat (duration of action) adalah selama 30 menit, dimulai dari menit ke-10 hingga
menit ke-40, dimana setelah lewat menit ke-40 tikus kembali memberikan tanda-tanda
kesakitan.

IX. Kesimpulan

Kesimpulan dari praktikum yang dilakukan adalah pemberian obat secara per oral
dan intraperitoneal memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Pemberian obat secara
per oral memiliki durasi waktu efek farmakologik obat (mula kerja (onset of action),
puncak kerja (peak effect), dan lama kerja obat (duration of action)) lebih cepat
daripada pemberian obat secara intraperitoneal.

13
Namun secara teoritis, seharusnya pemberian obat secara intraperitoneal akan
lebih cepat memberikan efek daripara pemberian obat secara per oral. Hal ini
disebabkan karena pada pemberian secara per oral obat akan mengalami proses
absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Proses-proses itulah yang
memperpanjang durasi waktu efek farmakologik obat. Sebaliknya, pemberian obat
secara intraperitoneal hanya akan mengalami proses distribusi, metabolisme, dan
ekskresi serta langsung masuk ke dalam sirkulasi sistemik lalu didistribusikan menuju
jaringan-jaringan, sehingga obat akan memberikan efek terapi pada tubuh lebih cepat.

Perbedaan antara hasil praktikum dengan teori tersebut disebabkan karena


beberapa kesalahan, di antaranya:

1. Kurang tepat saat menentukan ambang nyeri tikus, jarak antar ambang nyeri
seringkali terlalu jauh, sehingga beban control tidak akurat
2. Tidak teliti ketika menguji tikus dengan 2x beban control, karena bisa saja
selaput kaki tikus belum terkena alat penekan, sehingga didapatkan respon
negative
3. Lokasi pemberian obat intraperitoneal tidak tepat, ada bercak darah di perut
tikus, sehingga kemungkinan obat yang masuk lebih sedikit
4. Ketidaksigapan praktikan dalam memegang tikus, sehingga tikus stress
karena terusik

X. Bahan Diskusi

1. Mengapa mula kerja obat pada pemberian per oral lebih lambat dari pada
pemberian intraperitoneal? Jelaskan!
Mula kerja obat pada pemberian per oral lebih lambat daripada pemberian
intraperitoneal disebabkan karena:
- Permberian per oral memiliki banyak faktor yang dapat mempengaruhi
bioavailabilitasnya, sehingga waktu onset obat yang didapat cukup lama.
- Pada pemberian per oral, obat akan dimetabolisme pada lintasan
pertamanya melalui organ-organ tertentu (first pass metabolism) di saluran
cerna.

14
Sedangkan, pemberian intraperitoneal cukup efektif daripada pemberian per
oral karena obat tidak mengalami tahap absorbsi dan metabolism lintas pertama,
kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat sehingga waktu onset obat menjadi
lebih cepat.

2. Sebutkan cara pemberian parenteral selain intraperitoneal serta keuntungan dan


kelebihan masing-masing!
a. Pemberian obat secara subkutan
Merupakan pemberian obat melalui penyuntikan di bawah kulit atau
abdomen (Syarif, Amir dkk., 2007).
 Keuntungan : Diperlukan latihan sederhana dan mencegah kerusakan
sekitar saluran cerna, absorbsi cepat, obat larut dalam air.
 Kerugian : Rasa sakit dan kerusakan kulit, tidak dapat dipakai jika
volume obat besar, bioavailabilitasnya bervariasi sesuai lokasi.
b. Pemberian obat secara intramuscular
Obat dimasukkan ke dalam otot sekitar gluteus maximus atau ke
dalam otot paha dari kaki belakang, sehingga diperoleh durasi waktu onset
3 menit, waktu yang relative cepat setelah pemberian intravena (Syarif,
Amir dkk., 2007).
 Keuntungan : Tidak diperlukan keahlian khusus, dapat dipakai untuk
pemberian obat larut dalam minyak, absorbsi cepat, obat larut dalam
air.
 Kerugian : Rasa sakit, tidak dapat dipakai pada gangguan bekuan
darah. Bioavailabilitas bervariasi, obat dapat menggumpal pada lokasi
penyuntikan.
c. Pemberian secara intravena
Penyuntikan dilakukan pada daerah distal ekor. Obat tidak mengalami
absorbsi, tetapi langsung ke pembuluh darah, sehingga efek obat sangat
cepat, sekitar 2 menit setelah mencit tidur (Syarif, Amir dkk., 2007).
 Keuntungan : Cepat mencapai konsentrasi maksimum, dosis tepat,
dan mudah menitrasi dosis.
 Kerugian : Konsentrasi awal tinggi, toksik dan invasive, terdapat
risiko infeksi, dan memerlukan tenaga medis yang ahli.

15
3. Buatlah kurva waktu vs kadar

16
XI. Daftar Pustaka

1. Buku Panduan Praktikum Farmakologi Praktikum I


2. Mary J. Mycek, dkk. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar
3. Joyce L. Kee dan Evelyn R. Haris. 1996. Farmakologi Pendekatan Proses
Keperawatan
4. Mita, Soraya R. 2007. Pemberian Pemahaman Mengenai Penggunaan Obat
Analgesik Secara Rasional pada Masyarakat di Arjasari Kabupaten Bandung. Jurnal
Aplikasi Ipteks untuk Masyarakat Vol. 6 No. 3
5. Hapsari, Intan A. 2016. Pengaruh Pemberian Analgesik Kombinasi Parasetamol dan
Tramadol Terhadap Kadar Ureum Serum Tikus Wistar. Jurnal Kedokteran
Diponegoro Vol 5 No. 4
6. Safwan, dkk. 2016. Aktivitas Analgetik Ekstrak Etanol Daun Melinjo (Gnetum
gnemon) pada Mencit Putih (Mus musculus L.) Jantan. Jurnal Ilmiah Ibnu Sina. 72
(1) : 71-78
7. Ansel, C. Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia

17

Anda mungkin juga menyukai