Disusun Oleh
Chrisanto
11.2018.143
Dosen Pembimbing
dr. Erin Arsianti, Sp.M, M.Sc
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 71 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : Gg. Punukawanmuja, Hujabuju, DIY
Tanggal Pemeriksaan : 17 Februari 2020
II. ANAMNESIS
Autoanamnesis tanggal : 17 Februari 2020
Keluhan Utama : Mata kanan penglihatan kabur seperti kabutsejak 1 ½ bulan yang
lalu
Keluhan Tambahan : Keluhan disertai nyeri, mata merah, gatal, silau, belekan,
berbayang, melihat kilatan cahaya mendadak, sering mengeluarkan air mata dan melihat serpihan-
serpihan tampak seperti titik-titik hitam
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis
Tanda Vital : TD 150/63 mmHg, HR: 86x/menit, RR:18x/menit
Kepala : Normosefali, racoon eyes (-)
Mulut : Bibir tidak kering, sianosis (-), atrofi papil (-)
THT : Normotia, deviasi septum nasi (-), rinorea (-), T1-T1 tenang
Thoraks, Jantung : Bentuk normal, BJ I & II murni reguler,murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen : Bentuk datar, supel, BU (+) normoperistaltik
Eksktremitas : Akral hangat +/+, edema -/-, sianosis -/-
Status Oftalmologis
1. VISUS (OD) (OS)
3. SUPERSILIA
6. KONJUNGTIVA BULBI
Sekret Tidak ada Tidak ada
Injeksi Konjungtiva Tidak ada Tidak ada
Injeksi Siliar Tidak Ada Tidak ada
Perdarahan Subkonjungtiva Tidak ada Tidak ada
Pterigium Tidak ada Tidak ada
Pinguekula Tidak ada Tidak ada
Nevus Pigmentosus Tidak ada Tidak ada
Kista Dermoid Tidak ada Tidak ada
7. SKLERA
8. KORNEA
10. IRIS
11. PUPIL
12. LENSA
15. PALPASI
(5 Februari 2020)
USG OD: Retinal detach
Trombosit = 13,2 x 103/mm3
RBC
= 5,17 x 106
HB = 14,4 g/dL
HCT
= 42,8 %
MCV
= 82,8 µm3
MCH = 27,9 pg
MCHC = 35,6 g/dL
RDW
= 13,9%
Lymphosit = 38,9 %
Neutrofil = 47,9 %Mxd = 13,2 %
V.RESUME
Seorang laki-laki, berusia 71 tahun dengan keluhan dengan keluhan mata kanan kabur sejak
1 1/2 tahun yang lalu. Mata tersebut kabur perlahan-lahan dan sekarang sulit melihat dan
beraktivitas. Keluhan ini disertai mata merah, nyeri, rasa silau apabila ditempat terang, gatal, sering
mengeluarkan airmata dan belekan dan melihat serpihan-serpihan tampak seperti titik-titik hitam.
Awalnya pasien mengeluhkan matanya terkena serangga sebanyak 2x saat bersepeda. Setelah
kejadian tersebut pasien mengeluhkan adanya mata merah, perih, sering mengeluarkan air mata,
belekan da nada rasa mengganjal, 3 hari kemudian pasien mengeluhkan adanya penglihatan yang
makin buram dan semakin memburuk.
PF Umum : Komposmentis, tampak sakit sedang, TD 150/63, HR 86x/menit, RR 18x/menit.
OD KETERANGAN OS
1/∞ Visus 6/8
Tidak Dilakukan Koreksi Tidak Dilakukan
Tidak Ada Kelainan Konjungtiva Tidak Ada Kelainan
Jernih,licin Kornea Jernih, licin
Positif Efek Tyndal Tidak ada
Ada, sinekia posterior Sinekia Tidak ada
Irreguler Bentuk Pupil Bulat
+/- 5 mm Ukuran Pupil +/- 3 mm
Positif Refleks Cahaya Langsung Positif
Positif Refleks Cahaya Tak Langsung Positif
Keruh, Shadow test
Kejernihan Lensa Jernih
negatif
Tidak ada Nyeri Tekan Palpasi Tidak ada
N/ 10 mmHg Tensi Okuli N/ 17 mmHg
Sulit dilakukan Tes Konfrontasi Normal
Sulit dinilai Funduskopi Normal
V. ANJURAN PEMERIKSAAN
- Slit lamp
- Electroretinography (ERG)
- USG mata
VI. PENATALAKSANAAN
OD PPV+Fako+IOL+ED+EL+MP+SO
- Suhu : 36,5oC
OD :
VII. PROGNOSIS
OD OS
VIII. FOLLOW UP
Selasa, 18 Februari 2020 (H+1)
OD KETERANGAN OS
1/60 Visus 6/12
Tidak Dilakukan Koreksi Tidak Dilakukan
Tidak Ada Kelainan Konjungtiva Tidak Ada Kelainan
Jernih,licin Kornea Jernih, licin
Positif Efek Tyndal Tidak ada
Ada, sinekia posterior Sinekia Tidak ada
Irreguler Bentuk Pupil Bulat
+/- 5 mm Ukuran Pupil +/- 3 mm
Positif Refleks Cahaya Langsung Positif
Positif Refleks Cahaya Tak Langsung Positif
Jernih Kejernihan Lensa Jernih
Tidak ada Nyeri Tekan Palpasi Tidak ada
N/ 16 mmHg Tensi Okuli N/ 18 mmHg
Sulit dilakukan Tes Konfrontasi Normal
P : Topikal OD :
Xitrol 6x1
LFX 6x1
SA 1% 2X1
Oral :
Mata Kanan
Mata Kiri
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENDAHULUAN
Retina merupakan lapisan membran neurosensoris dan merupakan lapisan ketiga bola
mata setelah sklera yang merupakan jaringan ikat dan jaringan uvea yang merupakan jaringan
vaskuler yang terdiri dari iris, badan siliar, dan koroid. Retina berbatas dengan koroid dengan
sel pigmen epitel retina. Antara retina dan epitel pigmen retina terdapat rongga potensial yang
bisa mengakibatkan retina terlepas dari epitel pigmen retina. Hal ini yang disebut sebagai
ablasio retina.2
B. ANATOMI MATA
Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan, berlapis-lapis yang
melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata. Retina membentang ke depan
hampir sama jauhnya dengan korpus siliaris, dan berakhir di tepi ora serrata. Pada orang
dewasa, ora serrata berada sekitar 6,5 mm di belakang garis Schwalbe pada sisi temporal dan
5,7 mm di belakang garis ini pada sisi nasal. Permukaan luar retina sensorik bertumpuk
dengan lapisan epitel berpigmen retina sehingga juga bertumbuk dengan membrane Bruch,
koroid dan sklera.
Retina dan epitelium pigmen retina mudah terpisah sehingga cairan vitreous masuk ke
ruang subretina, seperti yang terjadi pada ablasio retina. Tetapi pada diskus optikus dan ora
serrata, retina dan epitelium pigmen retina saling melekat kuat sehingga membatasi perluasan
cairan subretina pada ablasio retina. Hal ini berlawanan dengan ruang subkhoroid yang dapat
terbentuk antara khoroid dan sklera yang meluas ke taji sklera. Dengan demikian ablasi
koroid meluas melewati ora serrata, dibawah pars plana dan pars plikata. Lapisan -
lapisan epitel
permukaan dalam korpus siliare dan permukaan posterior iris merupakan perluasan ke
anterior retina dan epitelium pigmen retina. Permukaan dalam retina menghadap ke vitreous.1
Lapisan-lapisan retina mulai dari sisi luar ke dalam adalah sebagai berikut: 1, 3-5
Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada kutub posterior.
Di tengah – tengah retina posterior terdapat makula. Secara klinis makula dapat didefinisikan
sebagai daerah pigmentasi kekuningan yang disebabkan oleh pigmen luteal (xantofil) yang
berdiameter 5-6 mm. Secara histologis makula merupakan bagian retina yang lapisan
ganglionnya mempunyai lebih dari satu lapis sel. Secara klinis, makula adalah bagian yang
dibatasi oleh arkade – arkade pembuluh darah retina temporal. Di tengah makula sekitar 3,5
mm di sebelah lateral diskus optikus terdapat fovea yang secara klinis jelas – jelas merupakan
suatu cekungan yang memberikan pantulan khusus bila dilihat dengan oftalmoskop. Fovea
merupakan zona avaskular di retina pada angiografi fluoresens.
Secara histologi, fovea ditandai dengan menipisnya lapisan inti luar dan tidak adanya
lapisan – lapisan parenkim karena akson – akson sel fotoreseptor (lapisan serat Henle)
berjalan oblik dan pergeseran secara sentrifugal lapisan retina yang lebih dekat ke permukaan
dalam retina. Foveola adalah bagian paling tengah pada fovea, disini fotoreseptornya adalah
sel kerucut dan bagian retina yang paling tipis. Semua gambaran histologis ini memberikan
diskriminasi visual yang halus. Ruang ekstraseluler retina yang normalnya kosong potensial
paling besar di makula dan penyakit yang menyebabkan penumpukan bahan di ekstrasel
dapat menyebabkan daerah ini menjadi tebal sekali. 1,4,6
Retina menerima darah dari dua sumber yaitu khoriokapilaria yang berada tepat diluar
membrana bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina termasuk lapisan pleksiformis luar
dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen retina serta cabang – cabang dari
arteri sentralis retinae yang mendarahi dua pertiga sebelah dalam. Fovea sepenuhnya
diperdarahi oleh khoriokapilaria dan mudah terkena kerusakan yang tak dapat diperbaiki
kalau retina mengalami ablasi. Pembuluh darah retina mempunyai lapisan endotel yang tidak
berlubang yang membentuk sawar darah retina. Lapisan endotel pembuluh khoroid dapat
ditembus. Sawar darah retina sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina. 1,3
C. DEFINISI
Ablasio retina (retinal detachment) adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan
sel batang retina dengan dari sel epitel pigmen retina. Pada keadaan ini sel epitel pigmen
masih melekat erat dengan membran Bruch. Sesungguhnya antara sel kerucut dan sel batang
retina tidak terdapat suatu perlekatan struktural dengan koroid atau pigmen epitel, sehingga
merupakan titik lemah yang potensial untuk lepas secara embriologis. Pada mata normal,
retina sensorik yang utuh tertahan melekat ke epitel pigmen oleh adanya tarika oleh epitel
terhadap ruang kedap air diantara keduanya. Apabila terdapat robekan retina, gerakan bola
mata yang cepat dan rotasi bola mata mendadak dapat menimbulkan gaya inersi yang cukup
besar untuk menimbulkan pelepasan retina.1,2,7
D. EPIDEMIOLOGI
paling umum di seluruh dunia yang terkait dengan ablasio retina adalah miop, afakia,
pseudofakia, dan trauma. Sekitar 40-50% dari semua pasien dengan ablasio memiliki miop
tinggi (> 6 dioptri), 30-35% pernah menjalani operasi pengangkatan katarak, dan 10-20%
pernah mengalami trauma okuli. ablasio retina yang terjadi akibat trauma lebih sering terjadi
pada orang muda, dan miop terjadi paling sering pada usia 25-45 tahun. Meskipun tidak ada
penelitian yang menunjukkan untuk terjadinya ablasio retina yang berhubungan dengan
olahraga tertentu (misalnya, tinju dan bungee jumping) tetapi olahraga tersebut meningkatkan
resiko terjadinya ablasio retina.9,10
Kejadian ini tidak berubah ketika dikoreksi, meningkat pada pria dengan trauma okuli.
Ablasio retina pada usia kurang dari 45 tahun, 60% laki-laki dan 40% perempuan.9,10
retina biasanya terjadi pada orang berusia 40-70 tahun. Namun, cedera paintball pada
anak-anak dan remaja merupakan penyebab umum dari cedera mata, yang termasuk ablasio
retina traumatik.9,10
E. KLASIFIKASI
Ablasio regmatogenosa berasal dari kata Yunani rhegma, yang berarti diskontuinitas
atau istirahat. Pada ablasi retina regmatogenosa dimana ablasi terjadi adanya robekan pada
retina sehingga cairan masuk ke belakang antara sel pigmen epitel dengan retina. Terjadi
pendorongan retina oleh badan kaca cair (fluid vitreus) yang masuk melalui robekan atau
lubang pada retina ke rongga subretina sehingga mengapungkan retina dan terlepas dari lapis
epitel pigmen koroid. Ablasio regmantogenosa spontan biasanya didahului atau disertai oleh
pelepasan korpus vitreum posterior. 1,3,11
1. Usia. Kondisi ini paling sering terjadi pada umur 40 – 60 tahun. Namun, usia tidak
menjamin secara pasti karena masih banyak faktor yang mempengaruhi
2. Jenis kelamin. Keadaan ini paling sering terjadi pada laki – laki dengan perbandingan
laki : perempuan adalah 3 : 2.
3. Miopia. Sekitar 40 persen kasus ablasio retina regmatogenosa adalah seseorang yang
menderita rabun jauh.
4. Afakia. Keadaan ini lebih sering terjadi pada orang yang afakia daripada yang fakia.
5. Trauma. Mungkin juga bertindak sebagai faktor predisposisi
6. Senile posterior vitreous detachment (PVD). Hal ini terkait dengan ablasio retina
dalam banyak kasus.
7. Retina yang memperlihatkan degenerasi di bagian perifer seperti Lattice
degeneration, Snail track degeneration, White-with-pressure and white-without or
occult pressure, acquired retinoschisis
Berbagai factor resiko akan menyebabkan terjadinya robekan pada retina, yang
menyebabkan cairan vitreous dapat masuk ke ruang subretina melalui robekan tersebut dan
akan memisahkan retina dari epitel pigmen retina.3
Ablasi retina akan memberikan gejala prodromal berupa gangguan penglihatan yang
kadang–kadang terlihat sebagai adanya tabir yang menutupi di depan mata (floaters) akibat
dari degenerasi vitreous secara cepat dan terdapat riwayat fotopsia (seperti melihat kilasan
cahaya) pada lapangan penglihatan karena iritasi retina oleh pergerakan vitreous.3,10
Ablasi retina yang berlokalisasi di daerah superotemporal sangat berbahaya karena
dapat mengangkat makula. Penglihatan akan turun secara akut bila lepasnya retina mengenai
makula lutea. Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang terangkat berwarna
pucat dengan pembuluh darah diatasnya dan terlihat adanya robekan retina berwarna merah.
Bila bola mata bergerak akan terlihat retina yang lepas (ablasi) bergoyang. Kadang – kadang
terdapat pigmen didalam badan kaca. Pada pupil terdapat adanya defek aferen pupil akibat
penglihatan menurun. Tekanan bola mata rendah dan dapat meninggi bila telah terjadi
neovaskuler glaucoma pada ablasi yang telah lama.3,6,7
Gambar 3. Ablasio retina tipe regmatogenosa, arah panah menunjukkan horseshoe tear7
Terdapat juga pre-evaluasi untuk menilai derajat atau luas robekan yang terjadi pada
ablsio retina regmatogenosa (ARR) yaitu Lincoff Rules. 5
Rule 1 Rule 2
Rule 3 Rule 4
Rule 1- Temporal superior atau nasal. ARR: Sekitar 98% kasus robekan primer seluas
kurang dari sudut jam 1.30 dari bagian atas.
Rule 2- Seluruh atau bagian atas ARR melewati sudut jam 12 Meridian: Sekitar 93%
kasus robekan pada sudut jam 12 meridian.
Rule 3- ablasio bagian bawah: sekitar 95% kasus robekan pada bagian atas ARR sebagai
petanda diskus bagian atas terjadi robekan.
Rule 4- bullous bawah: Tipe ini merupakan lanjutan dari robekan bagian atas5
Ablasio retina eksudatif terjadi akibat adanya penimbunan cairan eksudat di bawah
retina (subretina) dan mengangkat retina hingga terlepas. Penimbunan cairan subretina terjadi
akibat ekstravasasi cairan dari pembuluh retina dan koroid. Penyebab ablasio retina eksudatif
yaitu penyakit sistemik yang meliputi Toksemia gravidarum, hipertensi renalis, poliartritis
nodos dan karena penyakit mata yang meliputi inflamasi (skleritis posterior, selulitis orbita),
penyakit vaskular (central serous retinophaty, and exudative retinophaty of coats), neoplasma
(melanoma maligna pada koroid dan retinoblastoma), perforasi bola mata pada operasi
intraokuler.1-3
Ablasio retina eksudatif dapat dibedakan dengan ablasio retina regmatogenosa dengan:3
a. Tidak adanya photopsia, lubang/sobekan, lipatan dan undulasi
b. Ablasio retina eksudatif halus dan konveks. Bagian atasnya biasa bulat dan bisa
menunjukkan gangguan pigmentari
c. Kadang-kadang, pola pembuluh darah retina mungkin terganggu akibat adanya
neovaskularisasi.
d. Pergeseran cairan ditandai dengan perubahan posisi daerah terpisah karena pengaruh
gravitasi merupakan ciri khas yang dari ablasio retina eksudatif.
e. Pada tes transilluminasi, ablasio retina regmatogenosa nampak transparan sedangkan
ablasio retina eksudatif lebih opak.
Gambar 4. Ablasio retina eksudatif 3
Pada ablasio ini lepasnya jaringan retina terjadi akibat tarikan jaringan parut. Pada
badan kaca terdapat jaringan fibrosis yang dapat disebabkan diabetes mellitus proliferative,
trauma, dan perdarahan badan kaca akibat bedah atau infeksi.1
parut post trauma terutama akibat trauma penetrasi, retinopati diabetik proliferatif, retinitis
Tipe ini juga dapat terjadi sebagai komplikasi dari ablasio retina regmatogensa.
Ablasio retina tipe regmatogenosa yang berlangsung lama akan membuat retina semakin
halus dan tipis sehingga dapat menyebabkan terbentuknya proliferatif vitreotinopathy (PVR).
Pada PVR juga dapat terjadi kegagalan dalam penatalaksanaan ablasio retina regmatogenosa.
Pada PVR, epitel pigmen retina, sel glia, dan sel lainya yang berada di dalam maupun di luar
retina pada badan vitreus akan membentuk membran. Kontraksi dari membran tersebut akan
menyebabkan retina tertarik ataupun menyusut, sehingga dapat mengakibatkan terdapatnya
robekan baru atau berkembang menjadi ablasio retina traksi.1,3,7
F. PATOFISIOLOGI
3. Terjadi pembentukan yang dapat berisi fibroblas, sel glia, atau sel epitel
pigmen retina. Awalnya terjadi penarikan retina sensorik menjauhi lapisan
epitel di sepanjang daerah vaskular yang kemudian dapat menyebar ke
bagian retina midperifer dan makula. Pada ablasio tipe ini permukaan retina
akan lebih konkaf dan sifatnya lebih terlokalisasi tidak mencapai ke ora
serata. Jika retina tertarik oleh serabut jaringan kontraktil pada permukaan
retina, misalnya seperti pada retinopati proliferatif pada diabetes mellitus
(ablasio retina traksional). 1,5
G. DIAGNOSIS
Gejala umum pada ablasio retina yang sering dikeluhkan penderita adalah: 9,10,11
- Floaters (terlihatnya benda melayang – laying) yang terjadi karena adanya kekeruhan di
vitreus oleh adanya darah, pigmen retina yang lepas atau degenerasi vitreous.
- Fotopsi (kilatan cahaya), tanpa adanya sumber cahaya di sekitarnya, yang umumnya
terjadi sewaktu mata digerakkan dalam keremangan cahaya atau dalam keadaan gelap.
- Penurunan tajam penglihatan, penderita mengeluh penglihatannya sebagian seperti
tertutup tirai yang semakin lama semakian luas. Pada keadaan yang telah lanjut, dapat
terjadi penurunan tajam penglihatan yang berat.
Pada ablasio regmatogenosa, pada tahap awal masih relatif terlokalisir, tetapi jika hal
tersebut tidak diperhatikan oleh penderita maka akan berkembang menjadi lebih berat jika
berlangsung sedikit sedikit demi sedikit menuju ke arah makula. Keadaan ini juga tidak
menimbulkan rasa sakit. Kehilangan penglihatan dapat tiba-tiba terjadi ketika kerusakannya
sudah parah. Pasien biasanya mengeluhkan adanya awan gelap atau tirai di depan mata.1,3
Selain itu perlu dianamnesa adanya faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya
ablasio retina seperti adanya riwayat trauma, riwayat pembedahan sebelumnya seperti
ekstraksi katarak, pengangkatan corpus alienum intraokuler, riwayat penyakit mata
sebelumnya (uveitis, perdarahan vitreus, ambliopia, glaukoma, dan retinopati diabetik).
Riwayat keluarga dengan sakit mata yang sama serta riwayat penyakit yang berhubungan
dengan ablasio retina (diabetes mellitus, tumor, sickle cell leukimia, eklamsia, dan
prematuritas.1,3
Pemeriksaan Oftalmologi
Adapun tanda – tanda yang dapat ditemukan pada keadaan ini antara lain:1,3,7
H. PENATALAKSANAAN
Oftalmoskopi indirek dengan depresi sklera dan slitlamp biomokroskopi dengan
indirek lens 6-90 dioptri atau lensa kontak kornea digunakan untuk mendiagnosis adanya
PVD, robekan, dan ablasio retina. Prinsip operasinya adalah:
- Menemukan semua robekan
- Menutup semua robekan
- Membuat parut korioretina di sekelilling masing-masing robekan.
Robekan yang kecil tanpa disertai traksi vitreous dapat diberikan tamponade,
sementara prosedur melekatkan kembali dapat dilakukan krioterapi, laser fotokoagulasi, dan
diatermi. Penatalaksanaan pada ablasio retina adalah pembedahan. Pada pembedahan ablasio
retina dapat dilakukan dengan cara :
Scleral buckling
Dilakukan dengan menekan sklera dengan suatu pita atau sabuk yang
terbuat dari silikon sehingga retina yang lepas dapat melekat kembali. Metode ini
paling banyak digunakan pada ablasio retina rematogenosa terutama tanpa disertai
komplikasi lainnya. Tujuan skleral buckling adalah untuk melepaskan tarikan
vitreous pada robekan retina, mengubah arus cairan intraokuler, dan melekatkan
kembali retina ke epitel pigmen retina. Prosedur meliputi lokalisasi posisi robekan
retina, menangani robekan dengan cryoprobe, dan selanjutnya dengan skleral
buckle (sabuk). Sabuk ini biasanya terbuat dari spons silikon atau silikon padat.
Ukuran dan bentuk sabuk yang digunakan tergantung posisi lokasi dan jumlah
robekan retina.
Pertama–tama dilakukan cryoprobe atau laser untuk memperkuat
perlengketan antara retina sekitar dan epitel pigmen retina. Sabuk dijahit
mengelilingi sklera dengan jahitan tipe matras pada sklera, sehingga terjadi tekanan
pada robekan retina sehingga terjadi penutupan pada robekan tersebut. Penutupan
retina ini akan menyebabkan cairan subretinal menghilang secara spontan dalam
waktu 1-2 hari.
Komplikasi dari skleral buckling meliputi myopia, iskemia okuler anterior,
diplopia, ptosis, ulitis sel orbital, perdarahan subretina, inkarserasi retina.
Komplikasi operasi scleral buckling adalah iskemia (segmen anterior dan
posterior), infeksi, perforasi, strabismus, erosi atau ekstrusi eksplan, mengerutnya
makula, katarak, glaukoma, vitreoretinopathy proliferative (4%), dan kegagalan (5-
10%). Scleral buckling memiliki tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Prognosis
visual akhir tergantung pada keterlibatan makula. Prognosis lebih buruk jika
makula terlepas3,5
Bedah vitrektomi
Vitrektomi dilakukan untuk membuang vitrous yang keruh, menghilangkan
traksi, mengelupas jaringan ikat dari permukaan retina, dan pengambilan benda
asing intraokule. Merupakan cara yang paling banyak digunakan pada ablasio
akibat diabetes, dan juga pada ablasio regmatogenosa yang disertai traksi vitreus
atau perdarahan vitreus. Cara pelaksanaannya yaitu dengan membuat insisi kecil
pada dinding bola mata kemudian memasukkan instrumen pada ruang vitreous
melalui pars plana. Setelah itu dilakukan vitrektomi dengan vitreus cutre untuk
menghilangkan berkas badan kaca (vitreuos stands), membran, dan perlengketan–
perlengketan. Teknik dan instrumen yang digunakan tergantung tipe dan penyebab
ablasio. Lebih dari 90% lepasnya retina dapat direkatkan kembali dengan teknik-
teknik bedah mata modern, meskipun kadang- kadang diperlukan lebih dari satu
kali operasi. 3,5,6
Gambar 10. Tiga port Pars Plana Vitrektomi (PPV) a) Dua port superior
membenarkan laluan untuk suction-cutter (vitrector), suatu fiberoptic
endoilluminator, dan instrumen lain dengan infusi cairan secara melewati port yang ketiga.
b) Vitrektomi yang mengeluarkan traksi vitreus anterior pada horshoe tear. c) Pandangan
panoramic pada penanganan endolaser. d)intraokuler tamponade dilihat pada daerah
superior.3,5,6
I. Komplikasi
J. PROGNOSIS
Penatalaksanaan bedah berhasil pada 80% pasien ablasio retina. Hasil akhir
perbaikan pada penglihatan tergantung dari beberapa faktor, misalnya keterlibatan
makula. Pada makula yang masih melekat 87% akan mencapai visus sama, pada yang
lepas hanya 37% yang mencapai visus sama, karena degenerasi dari fotoreseptor akan
menghambat visus. Lubang, robekan, atau tarikan baru mungkin terjadi dan
menyebabkan ablasio retina yang baru. Suatu penelitian telah melaporkan bahkan setelah
pemberian terapi preventif pada robekan retina, 5% - 9% pasien dapat mengalami
robekan baru pada retina
DEFINISI KATARAK KOMPLIKATA
Katarak berasal dari bahasa Yunani Katarrhakies, Inggris Cataract, dan Latin Cataracta
yang berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut bular dimana penglihatan seperti tertutup
air terjun akibat lensa yang keruh.12
Katarak komplikata merupakan katarak akibat penyakit mata lain seperti radang, dan proses
degenerasi seperti ablasi retina, glaukoma, akibat suatu trauma atau pasca bedah mata.7
Katarak komplikata dapat juga disebabkan oleh penyakit sistemik endokrin (diabetes
mellitus, hipoparatiroid, galaktosemia) dan keracunan bahan kimia. Katarak komplikata
memberikan tanda khusus dimana mulainya katarak selamanya di daerah bawah kapsul atau pada
lapis korteks, kekeruhan dapat difus, pungtata ataupun linear. 12
Dikenal dua bentuk yaitu bentuk yang disebabkan kelainan pada polus posterior terjadi
akibat penyakit koroiditis, retinitis pigmentosa, ablasi retina, kontusio retina dan myopia tinggi
yang mengakibatkan kelainan badan kaca. Biasanya kelainan ini berjalan aksial yang biasanya
tidak berjalan cepat dalam nucleus, sehingga sering terlihat nucleus lensa tetap jernih. Katarak
akibat myopia tinggi dan ablasi retina memberikan gambaran agak berlainan.7
Katarak akibat kelainan polus anterior bola mata biasanya akibat kelainan kornea
berat, iridosiklitis, kelainan neoplasma dan glaucoma. Pada iridosiklitis akan mengakibatkan
katarak subkapsularis anterior. Pada katarak akibat glaucoma akan terlihat katarak diseminata
pungtata subkapsular anterior (Katarak Vogt). 12
Penyebabnya :12
1. Penyakit lokal di mata
2. Penyakit sistemik, yang mengenai seluruh tubuh, terutama penyakit endokrin
3. Trauma :
Fisik : radiasi
Mekanis : pasca bedah atau kecelakaan
Kimia : zat toksik
EPIDEMIOLOGI
ETIOLOGI
Sebagian besar katarak terjadi karena proses degeneratif atau bertambahnya usia seseorang.
Usia rata-rata terjadinya katarak adalah umur 60 tahun keatas. Akan tetapi, katarak dapat pula
terjadi pada bayi karena sang ibu terinfeksi virus pada saat hamil muda.
Penyebab katarak lainnya meliputi faktor keturunan, cacat bawaan sejak lahir, masalah
kesehatan (misalnya diabetes), penggunaan obat tertentu (khususnya steroid), gangguan
metabolisme seperti diabetus kemungkinan disebabkan oleh gangguan aliran darah ke mata dan
perubahan penanganan dan metabolisme glukosa, gangguan pertumbuhan, paparan / radiasi sinar
ultraviolet pada mata dalam waktu yang cukup lama, rokok dan alkohol, operasi mata sebelumnya,
trauma (kecelakaan) pada mata, kurang asupan antioksidan, seperti vitamin A, C, dan E, serta
faktor lain yang belum diketahui.
PATOFISIOLOGI
1. PENYAKIT LOKAL MATA
i. Glaukoma
Glaukoma adalah penyakit mata yang ditandai oleh meningkatnya tekanan intraokuler yang
disertai oleh pencekungan diskus optikus dan pengecilan lapang pandang. 1 Glaukoma dapat timbul
secara perlahan dan menyebabkan hilangnya lapang pandang ireversibel tanpa timbulnya gejala
lain yang nyata atau dapat timbul secara tiba-tiba dan menyebabkan kebutaan dalam beberapa jam.
Jika peningkatan TIO lebih besar daripada toleransi jaringan, kerusakan terjadi pada sel ganglion
retina dan merusak diskus optikus sehingga menyebabkan atrofi saraf optik dan hilangnya
pandangan perifer.
Glaukoma yang terjadi pada saat serangan akut dapat mengakibatkan gangguan
keseimbangan cairan lensa subkapsul anterior. Bentuk kekeruhan ini berupa titik-titik yang tersebar
sehingga dinamakan katarak pungtata subkapsular diseminata anterior atau dapat disebut menurut
penemunya yaitu katarak Vogt. Kekeruhan seperti porselen/susu tumpah di meja pada subkapsul
anterior. Katarak ini bersifat reversible dan dapat hilang bila tekanan bola mata sudah terkontrol.13
ii. Uveitis
Sama halnya seperti semua proses radang lainnya, uveitis anterior ditandai dengan adanya
dilatasi pembuluh darah yang menimbulkan gejala hiperemia silier (hiperemi perikorneal atau
perikorneal vascular injection). Adanya peningkatkan permeabilitas ini akan menyebabkan
eksudasi ke dalam akuos humor sehingga terjadi peningkatan konsentrasi protein dalam akuos
humor.14
Pada pemeriksaan slit lamp, hal ini tampak sebagai akuos flare atau sel, yaitu partikel
partikel kecil dengan gerak brown (efek tyndal). Dimana kedua gejala tersebut menunjukkan proses
peradangan akut.14
Pada proses yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-sel radang di dalam bilik mata
depan yang disebut hipopion, ataupun migrasinya eritrosit ke dalam bilik mata depan yang dikenal
dengan hifema. Apabila proses radang berlangsung lama dan berulang, maka sel-sel radang
melekat pada endotel kornea dan disebut sebagai keratic precipitate. Jika tidak mendapatkan terapi
yang adekuat, maka proses peradangan akan berjalan terus dan menimbulkan komplikasi.
Perubahan lensa sering terjadi sebagai akibat sekunder dari uveitis kronis. Biasanya muncul katarak
subkapsular posterior, dan juga dapat terjadi perubahan lensa anterior. Pembentukan sinekia
posterior sering berhubungan dengan penebalan kapsul lensa anterior dan perkembangan
fibrovaskular yang melewatinya dan melewati pupil.
Kekeruhan juga dapat terjadi pada tempat iris melekat dengan lensa (sinekia posterior) yang
dapat berkembang mengenai seluruh lensa. Kekeruhan tersebut dapat bermacam-macam, bisa
difus, total, atau hanya terbatas pada tempat sinekia posterior. Perubahan lensa pada katarak
sekunder karena uveitis dapat berkembang menjadi katarak matur. Deposit kalsium dapat diamati
pada kapsul anterior atau dalam substansi lensanya sendiri. 14
2. PENYAKIT SISTEMIK
i. Diabetes Melitus
Diabetes mellitus adalah penyakit endokrin yang ditandai dengan hiperglikemia yang
merupakan manifestasi dari defek pada sekresi insulin. Diabetes mellitus dapat mempengaruhi
kejernihan lensa, indeks refraksinya, dan besaran akomodasinya. Dengan meningkatnya kadar gula
darah menyebabkan kandungan glukosa di humor aqueous juga ikut meningkat dan bisa masuk ke
lensa secara difusi sehingga glukosa yang terkandung didalam lensa akan meningkat.
Beberapa glukosa dikonversi oleh enzim aldosa reduktase menjadi sorbitol, yang tidak
dimetabolisir tetapi menetap dalam lensa karena sorbitol diproduksi lebih cepat daripada
penguraiannya menjadi fruktosa oleh enzim sorbitol dehydrogenase. Kemudian karena adanya
akumulasi sorbitol menyebabkan perubahan tekanan osmotic menyebabkan adanya influks air ke
dalam lensa sehingga terjadi edema serabut lensa dan pada keadaan hidrasi, lensa dapat
mempengaruhi kekuatan refraksi, salah satunya myopia atau hipermetropia. Studi pada binatang
menunjukkan akumulasi intraseluler tersebut menyebabkan serat lensa menjadi kolaps dan
mengalami likuifaksi atau pencairan sehingga menyebabkan terbentuknya kekeruhan pada lensa.
Lebih lanjut, studi menunjukkan bahwa tekanan osmosis di lensa akibat akumulasi dari sorbitol
menginduksi terjadinya apoptosis pada epitel sel lensa yang berujung pada perkembangan katarak.
Hal ini menunjukkan bahwa kegagalan dari osmoregulasi akibat peningkatan sedikit saja dari
aldosa reduktase berpotensi untuk mempercepat pembentukan dari katarak.
Terdapat banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kerusakan oksidatif pada serat lensa
sering disebabkan oleh radikal bebas pada pasien dengan diabetes. Namun, tidak ada bukti yang
menunjukkan radikal bebas tersebut menginisiasi proses pembentukan dari katarak tetapi
mempercepat dan meningkatkan perkembangannya. Hidrogen peroksida (H2O2) meningkat di
akuos humor pada pasien diabetes dan menginduksi terbentuknya radikal hydroxyl (OH-) setelah
memasuki lensa melalui proses yang disebut sebagai Fenton reaction. Radikal bebas nitrit oksida
(NO), faktor lainnya yang juga meningkat di lensa dan akuos humor pasien dengan diabetes,
menyebabkan terjadinya pembentukan peroksinitrit, yang menyebabkan kerusakan sel akibat efek
oksidasinya.
Kemudian, peningkatan level glukosa di humor akuos dapat menginduksi terjadi proses
glycation dari protein lensa, suatu proses yang menghasilkan pembentukan dari radikal superoksida
dan advanced glycation endproducts (AGE). Interaksi AGE dengan reseptor pada permukaan sel
seperti receptor for advanced glycation endproducts (RAGE) di epitel dari lensa menyebabkan
terjadinya pembentukan H2O2 lebih banyak.
Sebagai tambahan dari peningkatan radikal bebas, lensa diabetes menunjukkan kapasitas
antioksidan yang buruk, sehingga meningkatkan kepekaannya terhadap stress oksidatif. Hilangnya
antioksidan disebabkan oleh proses glycation dan inaktivasi dari enzim antioksidan pada lensa
seperti superoksida dismutase (SOD). SOD 1 (copper-zinc) merupakan superoksida dismutase yang
paling dominan di lensa, dimana sangat berperan dalam proses degradasi dari superoksida radikal
menjadi oksigen. Pentingnya SOD 1 dalam proteksi lensa terhadap perkembangan katarak dengan
diabetes mellitus telah ditunjukkan di berbagai studi in vitro maupun in vivo.
Secara keseluruhan katarak diabetes adalah katarak yang terjadi akibat adanya penyakit
diabetes mellitus. Katarak pada pasien diabetes mellitus dapat terjadi dalam tiga bentuk, yaitu :
Pasien dengan dehidrasi berat, asidosis, dan hiperglikemi yang nyata, pada lensa akan
terlihat kekeruhan berupa garis akibat kapsul lensa mengkerut. Bila dehidrasi lama, maka
akan terjadi kekeruhan lensa, kekeruhan akan hilang bila rehidrasi dan kadar gula kembali
normal.
Pasien diabetes juvenile dan pasien usia tua yang tidak terkontrol, dimana terjadi katarak
serentak pada kedua mata dalam waktu 48 jam, bentuk dapat snowflake atau bentuk piring
subkapsular.
Katarak pada pasien dewasa dimana gambaran secara histologik dan biokimia sama dengan
katarak pasien non-diabetik
Pada beberapa pendapat menyatakan bahwa, pada keadaan hiperglikemi terdapat penimbunan
sorbitol dan fruktosa dalam lensa.
Pada mata akan terlihat terjadinya insidens maturasi katarak yang lebih pada pasien diabetes
mellitus yaitu jarang ditemukan true diabetic katarak. Pada lensa akan terlihat kekeruhan tebaran
salju subkapsular yang sebagian jernih dengan pengobatan. Pada kasus ini, diperlukan pemeriksaan
tes urin dan pengukuran kadar gula puasa.14
ii. Galaktosemia
Galaktosemia adalah penyakit yang disebabkan oleh defisiensi galaktosa 1-
fosfaturidililtransferase dimana enzim ini penting untuk mengubah galaktosa menjadi glukosa.
Galaktosemia merupakan penyakit resesif autosom pada metabolisme galaktosa. Bayi dengan
galaktosemia, di dalam urinenya akan terdapat galaktosa. Oleh karena itu, diagnosis dapat
ditegakkan dengan mencari zat yang terdapat pada urine (galaktosa) menggunakan
clinitest,sedangkan pemeriksaan glukosa dalam urine bisa memberikan hasil negatif.17
Katarak galaktosemia diduga terjadi karena penimbunan gula dan gula alkohol dalam lensa
(terutama pada pasien hiperglikemia). Kadar glukosa meningkat dan mendorong pembentukan
sorbitol (oleh aldosa reduktase) dan fruktosa. Kadar glukosa dan fruktosa yang tinggi juga
menimbulkan glikosilasi nonenzimatik protein lensa yang menyebabkan peningkatan tekanan
osmotik dan glikosilasi protein lensa sehingga lensa menjadi tidak tembus cahaya dan keruh yang
dikenal sebagai katarak. Katarak pada bayi dengan galaktosemia bersifat reversibel dengan
manajemen terapi yang lebih awal. 17
iii. TETANI
Morfologi katarak yang berhubungan dengan hipokalsemia bermacam-macam sesuai
dengan usia saat hipokalsemia terjadi. Pada bayi, depresi serum kalsium menghasilkan katarak
zonular dengan suatu korteks infantil, dengan lamella tak tembus cahaya yang dalam dan tipis.
Hipokalsemia dapat idiopatik, atau dapat timbul sebagai hasil dari perusakan yang tidak disengaja
pada glandula paratiroidea selama operasi tiroid.9 Biasanya bilateral, katarak hipokalsemia adalah
kekeruhan iridescent punctata di korteks anterior dan posterior yang terletak diantara kapsul lensa
dan biasanya dipisahkan dari kapsul lensa oleh suatu daerah lensa yang jernih. Kekeruhan ini
mungkin tetap stabil atau matur menjadi katarak kortikal total. Pada pemeriksaan darah terlihat
kadar kalsium turun.14
3. TRAUMA
i. Trauma Tembus dan Trauma Tak Tembus
Trauma tumpul yang mengenai mata dapat menyebabkan robekan pada pembuluh darah iris, akar iris
dan badan silier sehingga mengakibatkan perdarahan dalam bilik mata depan. Iris bagian perifer
merupakan bagian paling lemah. Suatu trauma yang mengenai mata akan menimbulkan kekuatan
hidraulis yang dapat menyebabkan hifema dan iridodialisis,serta merobek lapisan otot spingter
sehingga pupil menjadi ovoid dan non reaktif. Tenaga yang timbul dari suatu trauma diperkirakan
akan terus ke dalam isi bola mata melalui sumbu anterior posterior sehingga menyebabkan
kompresi ke posterior serta menegangkan bola mata ke lateral sesuai dengan garis ekuator. Hifema
yang terjadi dalam beberapa hari akan berhenti, oleh karena adanya proses homeostatis. Darah
dalam bilik mata depan akan diserap sehingga akan menjadi jernih kembali. Trauma pada
umumnya menyebabkan katarak monookuler. Trauma fisik baik tembus maupun tidak tembus
dapat merusak kapsul lensa, cairan COA masuk ke dalam lensa dan timbul katarak. Trauma tak
tembus (tumpul) dapat menimbulkan katarak dengan berbagai bentuk, antara lain :
a) Vissous ring
Cetakan pupil pada lensa akibat trauma tumpul yang berbentuk vossious ring yaitu
lingkaran yang terbentuk oleh granula coklat kemerah-merahan dari pigmen iris dengan
garis tengah kurang lebih 1 mm. Secara normal menjadi padat sesudah trauma. Cincin
vossious cenderung untuk menghilang sedikit demi sedikit. Kekeruhan kapsul yang kecil-kecil dan
tersebar dapat ditemui sesudah menghilangnya pigmen.
b) Roset (bintang)
Katarak berbentuk roset, bentuk ini dapat terjadi segera sesudah trauma tetapi dapat juga
beberapa minggu sesudahnya. Trauma tumpul mengakibatkan perubahan susunan serat-
serat lensa dan susunan sisten suture (tempat pertemuan serat lensa) sehingga terjadi
bentuk roset. Bentuk ini dapat sementara dan dapat juga menetap.
Katarak akibat trauma tembus dapat dalam bentuk : Laserisasi yaitu robekan pada kapsul lensa.
Bila kapsul robek dan isi lensa bercampur dengan cairan aqueous dapat timbul katarak total.10
c) Radiasi ultraviolet.
Lensa rentan terhadap kerusakan yang disebabkan oleh radiasi ultraviolet pada daerah UVB
290-320 nm. Paparan jangka lama terhadap UVB dari paparan sinar matahari berhubungan
dengan peningkatan risiko katarak kortikal dan subkapsular posterior.15
Epitel lensa subkapsul yang tersisa mungkin mencoba melakukan regenerasi serat-serat
lensa, sehingga memberikan gambaran telur ikan pada kapsul posterior. Lapisan epitel yang
berproliferasi tersebut mungkin menghasilkan banyak lapisan, sehingga menimbulkan kekeruhan.
Sel-sel ini mungkin juga mengalami diferensiasi miofibroblastik. Kontraksi serat-serat ini
menimbulkan banyak kerutan-kerutan kecil dikapsul posterior, yang menimbulkan distorsi
penglihatan. Semua ini menimbulkan penurunan ketajaman penglihatan setelah ekstraksi katarak
ekstrakapsular. 15
Katarak didiagnosa melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
lengkap. Keluhan yang membawa pasien datang antara lain:12
1. Pandangan buram
Kekeruhan lensa mengakibatkan penurunan pengelihatan yang progresif atau berangsur-angsur
dan tanpa nyeri, serta tidak mengalami kemajuan dengan pinhole.
2. Penglihatan silau
Penderita katarak sering kali mengeluhkan penglihatan yang silau, dimana tingkat kesilauannya
berbeda-beda mulai dari sensitifitas kontras yang menurun dengan latar belakang yang terang
hingga merasa silau di siang hari atau merasa silau terhadap lampu mobil yang berlawanan arah
atau sumber cahaya lain yang mirip pada malam hari. Keluhan ini sering kali muncul pada
penderita katarak kortikal.
4. Miopisasi
Perkembangan katarak awalnya dapat meningkatkan kekuatan dioptri lensa, biasanya
menyebabkan derajat miopia yang ringan-sedang. Ketergantungan pasien presbiopia pada
kacamata bacanya akan berkurang karena pasien ini mengalami penglihatan kedua. Namun
setelah sekian waktu bersamaan dengan memburuknya kualitas lensa, rasa nyaman ini
berangsur menghilang diikuti dengan terjadinya katarak sklerotik nuklear. Perkembangan
miopisasi yang asimetris pada kedua mata bisa menyebabkan anisometropia yang tidak dapat
dikoreksi lagi, dan cenderung untuk diatasi dengan ekstraksi katarak.
6. Distorsi
Katarak dapat menimbulkan keluhan benda bersudut tajam menjadi tampak tumpul atau
bergelombang.
7. Halo
Penderita dapat mengeluh adanya lingkaran berwarna pelangi yang terlihat disekeliling sumber
cahaya terang, yang harus dibedakan dengan halo pada penderita glaucoma.
8. Diplopia monokuler
Gambaran ganda dapat terbentuk pada retina akibat refraksi ireguler dari lenda yang keruh.
Menimbulkan diplopia monokuler yang dibedakan dengan diplopia binocular dengan cover tes
dan pin hole.
PENATALAKSANAAN
Tidak ada satupun obat yang dapat diberikan untuk katarak kecuali tindakan bedah.
Tindakan bedah dilakukan bila telah ada indikasi seperti: katarak telah menggangu pekerjaan
sehari-hari walaupun katarak belum matur, katarak matur karena bila terjadi hipermatur akan
menimbulkan penyulit katarak hipermatur yaitu uveitis dan glaucoma, dan katarak telah
menimbulkan penyulit glaucoma. Apabila diindikasikan pembedahan, maka ekstraksi lensa akan
memperbaiki ketajaman penglihatan.
3) Fakoemulsifikasi
Merupakan modifikasi dari metode ekstrakapsular karena sama-sama menyisakan kapsul
bagian posterior. Insisi yang diperlukan sangat kecil yaitu 5 mm yang berguna untuk
mempercepat kesembuhan paska operasi. Kemudian kapsul anterior lensa dibuka. Dari
lubang insisi yang kecil tersebut dimasukan alat yang mampu mengeluarkan getaran
ultrasonik yang mampu memecah lensa menjadi kepingan-kepingan kecil, kemudian
dilakukan aspirasi. Teknik ini bermanfaat pada katarak kongenital, traumatik dan
kebanyakan katarak senilis. Namun kurang efektif untuk katarak senilis yang padat.6
Anterior Chamber IOL (ACIOL), berada di depan iris dan disuport oleh anterior chamber.
ACIOL dapat ditanam setelah proses ECCE, namun jarang dipakai karena mempunyai resiko
tinggi terjadinya bullous Keratopathy.
Iris-Supported Lenses, difiksasi di iris dengan bantuan jahitan. Lensa jenis ini juga jarang
dipakai karena insidens yang tinggi terjadinya komplikasi post operatif.
Posterior Chamber Lenses (PCIOL), terletak di bagian belakang iris yang didukung oleh
sulkus siliar atau oleh capsular bag.
KOMPLIKASI
Komplikasi Preoperative: Ansietas akibat ketakutan akan operasi (Diazepam 2-5 mg dapat
memperbaiki keadaan), Nausea dan gastritis akibat efek obat preoperasi seperti asetazolamid
dan/atau gliserol (Antasida oral untuk mengurangi gejala), konjungtivitis iritatif atau alergi
disebabkan oleh tetes antibiotik topical preoperatif (penundaan operasi selama 2 hari), serta
abrasi kornea akibat cedera saat pemeriksaan tekanan bola mata dengan menggunakan
tonometer Schiotz (Salep antibiotik selama 1 hari dan penundaan operasi selama 2 hari).
Komplikasi Intraoperative: Laserasi m. rectus superior dapat terjadi selama proses
penjahitan, perdarahan hebat dapat terjadi selama persiapan conjunctival flap atau selama insisi
ke bilik mata depan, cedera pada kornea (robekan membrane Descemet), iris, dan lensa dapat
terjadi akibat instrumen operasi yang tajam seperti keratom, cedera iris dan iridodialisis
(terlepasnya iris dari akarnya), serta lepas / hilangnya vitreous merupakan komplikasi serius
yang dapat terjadi akibat ruptur kapsul posterior (accidental rupture) selama teknik ECCE.
Komplikasi Postoperatif Awal: Hifema, prolaps iris, keratopati striata, uveitis anterior
postoperatif, dan endoftalmitis bakterial.
Komplikasi Postoperatif Lanjut: Cystoid Macular Edema (CME), delayed chronic
postoperative endophtalmitis, Pseudophakic Bullous Keratopathy (PBK), ablasio retina, dan
katarak sekunder.
Komplikasi yang berkaitan dengan IOL: Uveitis-glaucoma-hyphema syndrome (UGH
syndrome), malposisi IOL, dan sindrom lensa toksik (toxic lens syndrome).
PROGNOSIS
Faktor risiko utama yang mempengaruhi prognosis visual adalah adanya diabetes mellitus
dan retinopati diabetikum. Prognosis penglihatan untuk pasien tergantung pada bagian yang terkena
dan kelainan yang mendasari. Anomali saraf optikus atau retina membatasi tingkat pencapaian
penglihatan walaupun sudah dioperasi karena kelainan matanya sudah terkena bagian yang lain dan
bukan murni dari lensanya.
PENCEGAHAN
Umumnya katarak komplikata terjadi karena adanya faktor yang mendasari seperti penyakit
intraokuler dan penyakit sistemik. Jadi cara utama untuk mencegah terjadinya katarak komplikata
adalah mencegah terjadinya penyakit intraokuler dan sistemik ini. Berbeda dengan katarak senilis
dimana, kejadiannya sulit dicegah karena faktor usia. Pemeriksaan mata secara teratur sangat perlu
untuk mengetahui adanya katarak. Pada saat ini dapat dijaga kecepatan berkembangnya katarak
dengan:
1. Hardy RA, Shetlar DJ. Retina. In: Riordan P, Whitcher JP. editors. Vaughan
and Asbury’s General Ophthalmology. 16th ed. New York: McGraw-Hill.2004.
p. 190, 200- 201
2. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Masa edisi ketiga. 2010. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta. p.1-10, 183-6
3. Khurana AK. Diseases of The Retina. In: Comprehensive Ophthalmology. 4th
edition.
New Age International Limited Publisher: India. 2007. p. 250-2, 275-9.
4. Carneiro J, Junqueira LC. Histologi Dasar Teks & Atlas. Edisi 10. Jakarta:
EGC. 2007. Hal. 470-475
5. American Academy of Ophthalmology. Retina and Vitreous: Section 12 2011-
2012.
Singapore: LEO. 2011. p. 360-4
12. Ilyas S. Katarak dalam ilmu penyakit mata, Edisi II, Cetakan ke-1. Balai penerbit
47
13. Ilyas S. Katarak dalam penuntun ilmu penyakit mata, Edisi ke-2, Cetakan ulang
14. lyas S, Mailangkung, H.B.B Taim H, Saman R. Katarak dalam ilmu penyakit mata
untuk dokter umum dan mahasiswa kedoktera. Edisi II, Cetakan pertama.Penerbit
15. Vaughan D, Ashbury T, Riodan P.lensa dalam Ofthalmologi umum. Edisi 14,
16. Nana wijaya. Katarak dalam ilmu penyakit mata, Cetakan ke 6.Hal 192-211.
FKUI,Jakarta,1999.
18. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR, Oftalmologi Umum, Edisi 14, Widya Medika,
19. Nema HV, Text book of Opthalmology, Edition 4, Medical publishers, New Delhi,
48