Anda di halaman 1dari 48

CASE SULIT

OD Katarak Komplikata ec Uveitis Anterior dan


Ablasio Regmatogenosa

Disusun Oleh
Chrisanto
11.2018.143

Dosen Pembimbing
dr. Erin Arsianti, Sp.M, M.Sc

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Rumah Sakit Mata Dr. Yap Yogyakarta
Periode 27 Januari-29 Februari 2020
Kepaniteraan Klinik
Status Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 71 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : Gg. Punukawanmuja, Hujabuju, DIY
Tanggal Pemeriksaan : 17 Februari 2020

II. ANAMNESIS
Autoanamnesis tanggal : 17 Februari 2020
Keluhan Utama : Mata kanan penglihatan kabur seperti kabutsejak 1 ½ bulan yang
lalu
Keluhan Tambahan : Keluhan disertai nyeri, mata merah, gatal, silau, belekan,
berbayang, melihat kilatan cahaya mendadak, sering mengeluarkan air mata dan melihat serpihan-
serpihan tampak seperti titik-titik hitam

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan mata kanan kabur sejak 1 1/2 tahun yang lalu. Mata tersebut kabur
perlahan-lahan dan sekarang sulit melihat dan beraktivitas. Keluhan ini disertai mata merah, nyeri,
rasa silau apabila ditempat terang, gatal, sering mengeluarkan airmata dan belekan dan melihat
serpihan-serpihan tampak seperti titik-titik hitam. Awalnya pasien mengeluhkan matanya terkena
serangga sebanyak 2x saat bersepeda. Setelah kejadian tersebut pasien mengeluhkan adanya mata
merah, perih, sering mengeluarkan air mata, belekan da nada rasa mengganjal, 3 hari kemudian
pasien mengeluhkan adanya penglihatan yang makin buram dan semakin memburuk. Pasien sudah
sempat berobat di Rumah Sakit Happy Land dan kontrol sebanyak 3x, pasien juga mendapatkan
obat tetes tetapi pasien lupa nama obat tetes tersebut. Selama pasien berobat di rumah sakit
tersebut, keluhan pasien tidak membaik dan pasien memutuskan untuk berobat ke Rumah Sakit
Mata Dr. Yap. Tidak ada keluhan demam, mual, muntah dan nyeri kepala. Pasien mempunyai
riwayat darah tinggi dan rutin meminum obat amlodipine 1x10 mg. Pasien tidak mempunyai
riwayat memakai kacamata dan tidak memnpunyai riwayat operasi..
Riwayat Penyakit Dahulu
- Hipertensi : Ada
- Kencing Manis : Tidak Ada
- Asma : Tidak Ada
- Alergi Obat : Tidak Ada
- Riwayat penggunaan kacamata : Tidak Ada
- Riwayat operasi mata : Tidak ada
- Riwayat trauma mata : Tidak Ada

Riwayat Penyakit Keluarga


Di keluarga tidak ada yang menderita diabetes dan hipertensi. Tidak ada anggota keluarga yang
menderita penyakit seperti yang dikeluhkan oleh pasien.

Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis
Tanda Vital : TD 150/63 mmHg, HR: 86x/menit, RR:18x/menit
Kepala : Normosefali, racoon eyes (-)
Mulut : Bibir tidak kering, sianosis (-), atrofi papil (-)
THT : Normotia, deviasi septum nasi (-), rinorea (-), T1-T1 tenang
Thoraks, Jantung : Bentuk normal, BJ I & II murni reguler,murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen : Bentuk datar, supel, BU (+) normoperistaltik
Eksktremitas : Akral hangat +/+, edema -/-, sianosis -/-

Status Oftalmologis
1. VISUS (OD) (OS)

Tajam Penglihatan 1/∞ 6/8


Koreksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Addisi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Distansia Pupil Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tensi Oculi 10 17
Kacamata lama Tidak ada Tidak ada
2. KEDUDUKAN BOLA MATA

Eksoftalmos Tidak ada Tidak ada


Enoftalmos Tidak ada Tidak ada
Deviasi Tidak ada Tidak ada
Gerakan Bola Mata Baik ke segala arah Baik ke segala arah

3. SUPERSILIA

Warna Hitam Hitam


Simetris Simetris Simetris

4. PALPEBRA SUPERIOR DAN INFERIOR

Edema Tidak ada Tidak ada


Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Ektropion Tidak ada Tidak ada
Entropion Tidak ada Tidak ada
Blefarospasme Tidak ada Tidak ada
Trikiasis Tidak ada Tidak ada
Sikatriks Tidak ada Tidak ada
Punctum Lakrimal Normal Normal
Fissura palpebra Normal Normal
Tes Anel Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
5. KONJUNGTIVA TARSALIS SUPERIOR DAN INFERIOR

Hiperemis Tidak ada Tidak ada


Folikel Tidak ada Tidak ada
Papil Tidak ada Tidak ada
Sikatriks Tidak ada Tidak ada
Hordeolum Tidak ada Tidak ada
Kalazion Tidak ada Tidak ada

6. KONJUNGTIVA BULBI
Sekret Tidak ada Tidak ada
Injeksi Konjungtiva Tidak ada Tidak ada
Injeksi Siliar Tidak Ada Tidak ada
Perdarahan Subkonjungtiva Tidak ada Tidak ada
Pterigium Tidak ada Tidak ada
Pinguekula Tidak ada Tidak ada
Nevus Pigmentosus Tidak ada Tidak ada
Kista Dermoid Tidak ada Tidak ada

7. SKLERA

Warna Putih Putih


Ikterik Tidak ada Tidak ada
Nyeri Tekan Tidak ada Tidak ada

8. KORNEA

Kejernihan Jernih Jernih


Permukaan Licin Licin
Ukuran Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Infiltrat Tidak ada Tidak ada
Keratik Presipitat Tidak ada Tidak ada
Sikatriks Tidak ada Tidak ada
Ulkus Tidak ada Tidak ada
Perforasi Tidak ada Tidak ada
Arkus Senilis Positif Positif
Edema Tidak ada Tidak ada
Tes Placido Tidak dilakukan Tidak dilakukan

9. BILIK MATA DEPAN


Kedalaman Dalam Dalam
Kejernihan Jernih Jernih
Hifema Tidak ada Tidak ada
Hipopion Tidak ada Tidak ada
Efek Tyndal Ada Tidak ada

10. IRIS

Warna Coklat Coklat


Kripte Normal Normal
Sinekia Ada,Sinekia posterior Tidak ada
Koloboma Tidak ada Tidak ada

11. PUPIL

Letak Di Tengah Di tengah


Bentuk Bulat, Ireguler Bulat, reguler
Ukuran ± 5 mm ± 3 mm
Refleks Cahaya Langsung Positif Positf
Refleks Tak Langsung Positif Positif

12. LENSA

Kejernihan Keruh Jernih


Letak Di tengah Di tengah
Shadow Test Negatif Negatif

13. BADAN KACA


Kejernihan Sulit dinilai Kemerahan

14. FUNDUS OKULI

Batas Sulit dinilai Jingga


Warna Sulit dinilai Normal

Ekskavasio Sulit dinilai 2:3

Rasio arteri:vena Sulit dinilai 0,3

C/D Ratio Sulit dinilai Normal

Makula Lutea Sulit dinilai Tidak ada

Eksudat Sulit dinilai Tidak ada

Perdarahan Sulit dinilai Tidak ada

Sikatriks Sulit dinilai Tidak ada

Ablasio Sulit dinilai Tidak ada

15. PALPASI

Nyeri Tekan Tidak ada Tidak ada


Massa Tumor Tidak ada Tidak ada
Tensi Okuli TN TN – 1
Tonometri Schiotz Tidak dilakukan Tidak dilakukan

16. KAMPUS VISI

Tes Konfrontasi Sulit dinilai Normal

II. PEMERIKSAAN PENUNJANG

(5 Februari 2020)
USG OD: Retinal detach

(16 Februari 2020)


- GDS : 95 mg/dL
- Ureum : 16,7 mg/dL
- Kreatinin : 0,70 mg/dL
- Pemeriksaan Darah Rutin :


Trombosit = 13,2 x 103/mm3

RBC
 = 5,17 x 106


HB = 14,4 g/dL
HCT
 = 42,8 %

MCV
 = 82,8 µm3


MCH = 27,9 pg


MCHC = 35,6 g/dL
RDW
 = 13,9%


Lymphosit = 38,9 %


Neutrofil = 47,9 %Mxd = 13,2 %

- PPT : 12,6 detik

- APTT : 29,8 detik

V.RESUME
Seorang laki-laki, berusia 71 tahun dengan keluhan dengan keluhan mata kanan kabur sejak
1 1/2 tahun yang lalu. Mata tersebut kabur perlahan-lahan dan sekarang sulit melihat dan
beraktivitas. Keluhan ini disertai mata merah, nyeri, rasa silau apabila ditempat terang, gatal, sering
mengeluarkan airmata dan belekan dan melihat serpihan-serpihan tampak seperti titik-titik hitam.
Awalnya pasien mengeluhkan matanya terkena serangga sebanyak 2x saat bersepeda. Setelah
kejadian tersebut pasien mengeluhkan adanya mata merah, perih, sering mengeluarkan air mata,
belekan da nada rasa mengganjal, 3 hari kemudian pasien mengeluhkan adanya penglihatan yang
makin buram dan semakin memburuk.
PF Umum : Komposmentis, tampak sakit sedang, TD 150/63, HR 86x/menit, RR 18x/menit.
OD KETERANGAN OS
1/∞ Visus 6/8
Tidak Dilakukan Koreksi Tidak Dilakukan
Tidak Ada Kelainan Konjungtiva Tidak Ada Kelainan
Jernih,licin Kornea Jernih, licin
Positif Efek Tyndal Tidak ada
Ada, sinekia posterior Sinekia Tidak ada
Irreguler Bentuk Pupil Bulat
+/- 5 mm Ukuran Pupil +/- 3 mm
Positif Refleks Cahaya Langsung Positif
Positif Refleks Cahaya Tak Langsung Positif
Keruh, Shadow test
Kejernihan Lensa Jernih
negatif
Tidak ada Nyeri Tekan Palpasi Tidak ada
N/ 10 mmHg Tensi Okuli N/ 17 mmHg
Sulit dilakukan Tes Konfrontasi Normal
Sulit dinilai Funduskopi Normal

III. DIAGNOSA KERJA


- OD Ablasio retina rhegmantogen
- OD Katarak Komplikata ec Uveitis Anterior

IV. DIAGNOSA BANDING


- OS Posteior Vitreus Detachment
- OS Retinoschisis

V. ANJURAN PEMERIKSAAN
- Slit lamp
- Electroretinography (ERG)
- USG mata

VI. PENATALAKSANAAN
OD PPV+Fako+IOL+ED+EL+MP+SO

PRE OPERASI (17 Februari 2020)

KU: Penglihatan mata kanan buram


- KU : Baik
- Kesadaran : Compos mentis
- Cor : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
- Pulmo : SN Vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)
- Abdomen : Supel, BU (+)
- Extremitas : Akral hangat, edema (-), CRT <2 detik
- Tanda-tanda vital :
- Tekanan darah : 160/74 mmHg
- Frekuensi nafas : 18x/menit
- Frekuensi nadi : 82x/menit

- Suhu : 36,5oC

OPERASI (17 Februari 2020 pukul 17.00 WIB)

1. Pasien tidur supinasi diatas meja operasi


2. Anestesi : General Anestesi
3. Aseptic antiseptic dengan povidone iodine 5%, pasang drape steril dan
pembuka palpebral
4. Pasang 3-port kanula 25 G dengan irigasi di infero-temporal
5. Inspeksi retina (retina detach, sinekia posterior)
6. Vitrektomi posterior (Induksi PVD, injeksi TCA)
7. Fluid air exchange.
8. Endolaser 360º
9. Injeksi silicon oil 5 cc
10. Cabut kanula, tekan sklerotomi dengan cotton bud
11. Injeksi dexamethasone-dibekasin subkonjungtiva
12. Lepas pembuka palpebral dan drape steril
13. Bebat mata dengan kassa steril
14. Operasi selesai
POST OPERASI

OD :

 Wiaflox 500 mg 2x1


 Mefinal 500 mg 3x1
 Xitrol 6x1
 LFX 6x1
 SA 1% 2X1
 Amlodpin 10 mg 1-0-0

VII. PROGNOSIS
OD OS

- Ad vitam : Ad bonam Ad bonam


- Ad fungsionam : Dubia ad malam Ad bonam
- Ad sanationam : Dubia ad bonam Ad bonam

VIII. FOLLOW UP
Selasa, 18 Februari 2020 (H+1)

S : Mata kanan terasa mengganjal

O : Keadaan umum baik, kesadaran compos mentis

TD : 143/69, HR : 76kali/menit, RR : 18 kali/menit, S : 36,3o C

OD KETERANGAN OS
1/60 Visus 6/12
Tidak Dilakukan Koreksi Tidak Dilakukan
Tidak Ada Kelainan Konjungtiva Tidak Ada Kelainan
Jernih,licin Kornea Jernih, licin
Positif Efek Tyndal Tidak ada
Ada, sinekia posterior Sinekia Tidak ada
Irreguler Bentuk Pupil Bulat
+/- 5 mm Ukuran Pupil +/- 3 mm
Positif Refleks Cahaya Langsung Positif
Positif Refleks Cahaya Tak Langsung Positif
Jernih Kejernihan Lensa Jernih
Tidak ada Nyeri Tekan Palpasi Tidak ada
N/ 16 mmHg Tensi Okuli N/ 18 mmHg
Sulit dilakukan Tes Konfrontasi Normal

A : OD uveitis anterior dan ablatio retina post op


PPV+Fako+IOL+ED+EL+MP+SO

P : Topikal OD :

 Xitrol 6x1
 LFX 6x1
 SA 1% 2X1
Oral :

 Wiaflox 500 mg 2x1


 Mefinal 500 mg 3x
 Amlodipine 1x10 mg 1-0-0
LAMPIRAN FOTO PASIEN

Mata Kanan

Mata Kiri
TINJAUAN PUSTAKA

A. PENDAHULUAN

Retina adalah jaringan neurosensoris yang tipis, semitransparan dan berlapis-lapis


yang terletak pada dua per tiga dinding sebelah dalam bola mata. Retina manusia merupakan
suatu struktur yang sangat terorganisir, yang terdiri dari lapisan-lapisan badan sel dan
prosesus sinaptik. Walaupun ukurannya kompak dan tampak sederhana apabila dibandingkan
dengan struktur saraf misalnya korteks serebrum, retina memiliki daya pengolahan yang
sangat canggih. Pengolahan visual retina diuraikan oleh otak, dan persepsi warna, kontras,
kedalaman, dan bentuk berlangsung di korteks. Pengolahan informasi di retina berlangsung
dari lapisan fotoreseptor melalui akson sel ganglion menuju ke saraf optikus dan otak.1

Retina merupakan lapisan membran neurosensoris dan merupakan lapisan ketiga bola
mata setelah sklera yang merupakan jaringan ikat dan jaringan uvea yang merupakan jaringan
vaskuler yang terdiri dari iris, badan siliar, dan koroid. Retina berbatas dengan koroid dengan
sel pigmen epitel retina. Antara retina dan epitel pigmen retina terdapat rongga potensial yang
bisa mengakibatkan retina terlepas dari epitel pigmen retina. Hal ini yang disebut sebagai
ablasio retina.2

B. ANATOMI MATA

Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan, berlapis-lapis yang
melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata. Retina membentang ke depan
hampir sama jauhnya dengan korpus siliaris, dan berakhir di tepi ora serrata. Pada orang
dewasa, ora serrata berada sekitar 6,5 mm di belakang garis Schwalbe pada sisi temporal dan
5,7 mm di belakang garis ini pada sisi nasal. Permukaan luar retina sensorik bertumpuk
dengan lapisan epitel berpigmen retina sehingga juga bertumbuk dengan membrane Bruch,
koroid dan sklera.

Retina dan epitelium pigmen retina mudah terpisah sehingga cairan vitreous masuk ke
ruang subretina, seperti yang terjadi pada ablasio retina. Tetapi pada diskus optikus dan ora
serrata, retina dan epitelium pigmen retina saling melekat kuat sehingga membatasi perluasan
cairan subretina pada ablasio retina. Hal ini berlawanan dengan ruang subkhoroid yang dapat
terbentuk antara khoroid dan sklera yang meluas ke taji sklera. Dengan demikian ablasi
koroid meluas melewati ora serrata, dibawah pars plana dan pars plikata. Lapisan -
lapisan epitel
permukaan dalam korpus siliare dan permukaan posterior iris merupakan perluasan ke
anterior retina dan epitelium pigmen retina. Permukaan dalam retina menghadap ke vitreous.1

Lapisan-lapisan retina mulai dari sisi luar ke dalam adalah sebagai berikut: 1, 3-5

1. Epitelium pigmen retina


Merupakan lapisan terluar dari retina. Epitel pigmen retina terdiri dari satu lapisan sel
mengandung pigmen dan terdiri atas sel-sel silindris dengan inti di basal. Daerah basal sel
melekat erat membran Bruch dari koroid. Fotoreseptor dipelihara oleh epitel pigmen retina,
yang berperan pada proses penglihatan. Epitel pigmen ini bertanggung jawab untuk
fagositosis segmen luar fotoreseptor, transportasi vitamin, mengurangi hamburan sinar, serta
membentuk sawar selektif antara koroid dan retina.
2. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut.
Sel-sel batang dan kerucut di lapisan fotoreseptor mengubah rangsangan cahaya
menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh jaras-jaras penglihatan ke korteks
penglihatan occipital. Fotoreseptor tersusun sehingga kerapatan sel-sel kerucut meningkat di
di pusat makula (fovea), dan kerapatan sel batang lebih tinggi di perifer. Pigmen fotosensitif
di dalam sel batang disebut rodopsin. Sel kerucut mengandung tiga pigmen yang belum
dikenali sepenuhnya yang disebut iodopsin yang kemungkinan menjadi dasar kimiawi bagi
tiga warna (merah,hijau,biru) untuk penglihatan warna. Sel kerucut berfungsi untuk
penglihatan siang hari (fotopik). Subgrup sel kerucut responsif terhadap panjang gelombang
pendek, menengah, dan panjang (biru, hijau merah). Sel batang berfungsi untuk penglihatan
malam (skotopik). Dengan bentuk penglihatan adaptasi gelap ini terlihat beragam corak abu-
abu, tetapi warnanya tidak dapat dibedakan. Waktu senja (mesopik) diperantarai oleh
kombinasi sel kerucut dan batang.
3. Membran limitans eksterna
4. Lapisan inti luar sel fotoreseptor, Ini terdiri dari inti dari batang dan kerucut.
5. Lapisan pleksiformis luar, yang mengandung sambungan – sambungan sel bipolar dan sel
horisontal dengan fotoreseptor.
6. Lapisan inti dalam badan sel bipolar, amakrin dan sel horisontal
7. Lapisan pleksiformis dalam, yang mengandung sambungan–sambungan sel ganglion
dengan sel amakrin dan sel bipolar.
8. Lapisan sel ganglion
9. Lapisan serat saraf, yang mengandung akson – akson sel ganglion yang berjalan menuju
ke nervus optikus.
10. Membrana limitans interna. Ini adalah lapisan paling dalam dan memisahkan retina dari
vitreous. Membran ini terbentuk oleh persatuan ekspansi terminal dari serat yang Muller,
dan pada dasarnya adalah dasar membran.

Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada kutub posterior.
Di tengah – tengah retina posterior terdapat makula. Secara klinis makula dapat didefinisikan
sebagai daerah pigmentasi kekuningan yang disebabkan oleh pigmen luteal (xantofil) yang
berdiameter 5-6 mm. Secara histologis makula merupakan bagian retina yang lapisan
ganglionnya mempunyai lebih dari satu lapis sel. Secara klinis, makula adalah bagian yang
dibatasi oleh arkade – arkade pembuluh darah retina temporal. Di tengah makula sekitar 3,5
mm di sebelah lateral diskus optikus terdapat fovea yang secara klinis jelas – jelas merupakan
suatu cekungan yang memberikan pantulan khusus bila dilihat dengan oftalmoskop. Fovea
merupakan zona avaskular di retina pada angiografi fluoresens.

Secara histologi, fovea ditandai dengan menipisnya lapisan inti luar dan tidak adanya
lapisan – lapisan parenkim karena akson – akson sel fotoreseptor (lapisan serat Henle)
berjalan oblik dan pergeseran secara sentrifugal lapisan retina yang lebih dekat ke permukaan
dalam retina. Foveola adalah bagian paling tengah pada fovea, disini fotoreseptornya adalah
sel kerucut dan bagian retina yang paling tipis. Semua gambaran histologis ini memberikan
diskriminasi visual yang halus. Ruang ekstraseluler retina yang normalnya kosong potensial
paling besar di makula dan penyakit yang menyebabkan penumpukan bahan di ekstrasel
dapat menyebabkan daerah ini menjadi tebal sekali. 1,4,6
Retina menerima darah dari dua sumber yaitu khoriokapilaria yang berada tepat diluar
membrana bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina termasuk lapisan pleksiformis luar
dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen retina serta cabang – cabang dari
arteri sentralis retinae yang mendarahi dua pertiga sebelah dalam. Fovea sepenuhnya
diperdarahi oleh khoriokapilaria dan mudah terkena kerusakan yang tak dapat diperbaiki
kalau retina mengalami ablasi. Pembuluh darah retina mempunyai lapisan endotel yang tidak
berlubang yang membentuk sawar darah retina. Lapisan endotel pembuluh khoroid dapat
ditembus. Sawar darah retina sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina. 1,3
C. DEFINISI

Ablasio retina (retinal detachment) adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan
sel batang retina dengan dari sel epitel pigmen retina. Pada keadaan ini sel epitel pigmen
masih melekat erat dengan membran Bruch. Sesungguhnya antara sel kerucut dan sel batang
retina tidak terdapat suatu perlekatan struktural dengan koroid atau pigmen epitel, sehingga
merupakan titik lemah yang potensial untuk lepas secara embriologis. Pada mata normal,
retina sensorik yang utuh tertahan melekat ke epitel pigmen oleh adanya tarika oleh epitel
terhadap ruang kedap air diantara keduanya. Apabila terdapat robekan retina, gerakan bola
mata yang cepat dan rotasi bola mata mendadak dapat menimbulkan gaya inersi yang cukup
besar untuk menimbulkan pelepasan retina.1,2,7

D. EPIDEMIOLOGI

paling umum di seluruh dunia yang terkait dengan ablasio retina adalah miop, afakia,
pseudofakia, dan trauma. Sekitar 40-50% dari semua pasien dengan ablasio memiliki miop
tinggi (> 6 dioptri), 30-35% pernah menjalani operasi pengangkatan katarak, dan 10-20%
pernah mengalami trauma okuli. ablasio retina yang terjadi akibat trauma lebih sering terjadi
pada orang muda, dan miop terjadi paling sering pada usia 25-45 tahun. Meskipun tidak ada
penelitian yang menunjukkan untuk terjadinya ablasio retina yang berhubungan dengan
olahraga tertentu (misalnya, tinju dan bungee jumping) tetapi olahraga tersebut meningkatkan
resiko terjadinya ablasio retina.9,10

Kejadian ini tidak berubah ketika dikoreksi, meningkat pada pria dengan trauma okuli.

Ablasio retina pada usia kurang dari 45 tahun, 60% laki-laki dan 40% perempuan.9,10

retina biasanya terjadi pada orang berusia 40-70 tahun. Namun, cedera paintball pada
anak-anak dan remaja merupakan penyebab umum dari cedera mata, yang termasuk ablasio
retina traumatik.9,10
E. KLASIFIKASI

Berdasakan penyebabnya ablasio retina dibagi menjadi:

1. ABLASIO RETINA REGMATOGENOSA

Ablasio regmatogenosa berasal dari kata Yunani rhegma, yang berarti diskontuinitas
atau istirahat. Pada ablasi retina regmatogenosa dimana ablasi terjadi adanya robekan pada
retina sehingga cairan masuk ke belakang antara sel pigmen epitel dengan retina. Terjadi
pendorongan retina oleh badan kaca cair (fluid vitreus) yang masuk melalui robekan atau
lubang pada retina ke rongga subretina sehingga mengapungkan retina dan terlepas dari lapis
epitel pigmen koroid. Ablasio regmantogenosa spontan biasanya didahului atau disertai oleh
pelepasan korpus vitreum posterior. 1,3,11

Faktor predisposisi terjadinya ablasio retina regmantosa antara lain: 1,3

1. Usia. Kondisi ini paling sering terjadi pada umur 40 – 60 tahun. Namun, usia tidak
menjamin secara pasti karena masih banyak faktor yang mempengaruhi
2. Jenis kelamin. Keadaan ini paling sering terjadi pada laki – laki dengan perbandingan
laki : perempuan adalah 3 : 2.
3. Miopia. Sekitar 40 persen kasus ablasio retina regmatogenosa adalah seseorang yang
menderita rabun jauh.
4. Afakia. Keadaan ini lebih sering terjadi pada orang yang afakia daripada yang fakia.
5. Trauma. Mungkin juga bertindak sebagai faktor predisposisi
6. Senile posterior vitreous detachment (PVD). Hal ini terkait dengan ablasio retina
dalam banyak kasus.
7. Retina yang memperlihatkan degenerasi di bagian perifer seperti Lattice
degeneration, Snail track degeneration, White-with-pressure and white-without or
occult pressure, acquired retinoschisis
Berbagai factor resiko akan menyebabkan terjadinya robekan pada retina, yang
menyebabkan cairan vitreous dapat masuk ke ruang subretina melalui robekan tersebut dan
akan memisahkan retina dari epitel pigmen retina.3
Ablasi retina akan memberikan gejala prodromal berupa gangguan penglihatan yang
kadang–kadang terlihat sebagai adanya tabir yang menutupi di depan mata (floaters) akibat
dari degenerasi vitreous secara cepat dan terdapat riwayat fotopsia (seperti melihat kilasan
cahaya) pada lapangan penglihatan karena iritasi retina oleh pergerakan vitreous.3,10
Ablasi retina yang berlokalisasi di daerah superotemporal sangat berbahaya karena
dapat mengangkat makula. Penglihatan akan turun secara akut bila lepasnya retina mengenai
makula lutea. Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang terangkat berwarna
pucat dengan pembuluh darah diatasnya dan terlihat adanya robekan retina berwarna merah.
Bila bola mata bergerak akan terlihat retina yang lepas (ablasi) bergoyang. Kadang – kadang
terdapat pigmen didalam badan kaca. Pada pupil terdapat adanya defek aferen pupil akibat
penglihatan menurun. Tekanan bola mata rendah dan dapat meninggi bila telah terjadi
neovaskuler glaucoma pada ablasi yang telah lama.3,6,7

Gambar 3. Ablasio retina tipe regmatogenosa, arah panah menunjukkan horseshoe tear7

Terdapat juga pre-evaluasi untuk menilai derajat atau luas robekan yang terjadi pada
ablsio retina regmatogenosa (ARR) yaitu Lincoff Rules. 5

Rule 1 Rule 2

Rule 3 Rule 4
 Rule 1- Temporal superior atau nasal. ARR: Sekitar 98% kasus robekan primer seluas
kurang dari sudut jam 1.30 dari bagian atas.
 Rule 2- Seluruh atau bagian atas ARR melewati sudut jam 12 Meridian: Sekitar 93%
kasus robekan pada sudut jam 12 meridian.
 Rule 3- ablasio bagian bawah: sekitar 95% kasus robekan pada bagian atas ARR sebagai
petanda diskus bagian atas terjadi robekan.

 Rule 4- bullous bawah: Tipe ini merupakan lanjutan dari robekan bagian atas5

2. ABLASIO RETINA NON REGMATOGENOSA

A) ABLASIO RETINA EKSUDATIF

Ablasio retina eksudatif terjadi akibat adanya penimbunan cairan eksudat di bawah
retina (subretina) dan mengangkat retina hingga terlepas. Penimbunan cairan subretina terjadi
akibat ekstravasasi cairan dari pembuluh retina dan koroid. Penyebab ablasio retina eksudatif
yaitu penyakit sistemik yang meliputi Toksemia gravidarum, hipertensi renalis, poliartritis
nodos dan karena penyakit mata yang meliputi inflamasi (skleritis posterior, selulitis orbita),
penyakit vaskular (central serous retinophaty, and exudative retinophaty of coats), neoplasma
(melanoma maligna pada koroid dan retinoblastoma), perforasi bola mata pada operasi
intraokuler.1-3
Ablasio retina eksudatif dapat dibedakan dengan ablasio retina regmatogenosa dengan:3
a. Tidak adanya photopsia, lubang/sobekan, lipatan dan undulasi
b. Ablasio retina eksudatif halus dan konveks. Bagian atasnya biasa bulat dan bisa
menunjukkan gangguan pigmentari
c. Kadang-kadang, pola pembuluh darah retina mungkin terganggu akibat adanya
neovaskularisasi.
d. Pergeseran cairan ditandai dengan perubahan posisi daerah terpisah karena pengaruh
gravitasi merupakan ciri khas yang dari ablasio retina eksudatif.
e. Pada tes transilluminasi, ablasio retina regmatogenosa nampak transparan sedangkan
ablasio retina eksudatif lebih opak.
Gambar 4. Ablasio retina eksudatif 3

B) ABLASIO RETINA TRAKSI

Pada ablasio ini lepasnya jaringan retina terjadi akibat tarikan jaringan parut. Pada
badan kaca terdapat jaringan fibrosis yang dapat disebabkan diabetes mellitus proliferative,
trauma, dan perdarahan badan kaca akibat bedah atau infeksi.1

Ablasio retina traksi dihubungkan dengan kondisi-kondisi seperti, retraksi jaringan

parut post trauma terutama akibat trauma penetrasi, retinopati diabetik proliferatif, retinitis

proliferans post hemoragik, retinopati prematuritas, retinopati sel sabit.3

Tipe ini juga dapat terjadi sebagai komplikasi dari ablasio retina regmatogensa.
Ablasio retina tipe regmatogenosa yang berlangsung lama akan membuat retina semakin
halus dan tipis sehingga dapat menyebabkan terbentuknya proliferatif vitreotinopathy (PVR).

Pada PVR juga dapat terjadi kegagalan dalam penatalaksanaan ablasio retina regmatogenosa.
Pada PVR, epitel pigmen retina, sel glia, dan sel lainya yang berada di dalam maupun di luar
retina pada badan vitreus akan membentuk membran. Kontraksi dari membran tersebut akan
menyebabkan retina tertarik ataupun menyusut, sehingga dapat mengakibatkan terdapatnya
robekan baru atau berkembang menjadi ablasio retina traksi.1,3,7

Gambar 5. Ablasio retina traksi3

F. PATOFISIOLOGI

Ruangan potensial antara neuroretina dan epitel pigmennya sesuai dengan


rongga vesikel optik embriogenik. Kedua jaringan ini melekat longgar, pada mata yang
matur dapat berpisah :1,5
1. Jika terjadi robekan pada retina, sehingga vitreus yang mengalami
likuifikasi dapat memasuki ruangan subretina dan menyebabkan ablasio
progresif (ablasio regmatogenosa). 1,5

Gambar 6 : Ablasi Retina Regmatogenosa dengan horshoe tear 1,5


2. Terjadi akibat akumulasi cairan subretinal dengan tanpa adanya robekan
retina ataupun traksi pada retina. Pada penyakit vaskular, radang, atau
neoplasma retina, epitel pigmen, dan koroid, maka dapat terjadi kebocoran
pembuluh darah sehingga berkumpul di bawah retina. Walaupun jarang
terjadi, bila cairan berakumulasi dalam ruangan subretina akibat proses
eksudasi, yang dapat terjadi selama toksemia pada kehamilan (ablasio retina
eksudatif). 1,5

Gambar 7 : Ilustrasi Ablasi Retina Eksudatif 1,5

3. Terjadi pembentukan yang dapat berisi fibroblas, sel glia, atau sel epitel
pigmen retina. Awalnya terjadi penarikan retina sensorik menjauhi lapisan
epitel di sepanjang daerah vaskular yang kemudian dapat menyebar ke
bagian retina midperifer dan makula. Pada ablasio tipe ini permukaan retina
akan lebih konkaf dan sifatnya lebih terlokalisasi tidak mencapai ke ora
serata. Jika retina tertarik oleh serabut jaringan kontraktil pada permukaan
retina, misalnya seperti pada retinopati proliferatif pada diabetes mellitus
(ablasio retina traksional). 1,5

G. DIAGNOSIS

Ablasio retina ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan oftalmologi dan


pemeriksaan penunjang.
Anamnesis

Gejala umum pada ablasio retina yang sering dikeluhkan penderita adalah: 9,10,11

- Floaters (terlihatnya benda melayang – laying) yang terjadi karena adanya kekeruhan di

vitreus oleh adanya darah, pigmen retina yang lepas atau degenerasi vitreous.

- Fotopsi (kilatan cahaya), tanpa adanya sumber cahaya di sekitarnya, yang umumnya
terjadi sewaktu mata digerakkan dalam keremangan cahaya atau dalam keadaan gelap.
- Penurunan tajam penglihatan, penderita mengeluh penglihatannya sebagian seperti
tertutup tirai yang semakin lama semakian luas. Pada keadaan yang telah lanjut, dapat
terjadi penurunan tajam penglihatan yang berat.
Pada ablasio regmatogenosa, pada tahap awal masih relatif terlokalisir, tetapi jika hal
tersebut tidak diperhatikan oleh penderita maka akan berkembang menjadi lebih berat jika
berlangsung sedikit sedikit demi sedikit menuju ke arah makula. Keadaan ini juga tidak
menimbulkan rasa sakit. Kehilangan penglihatan dapat tiba-tiba terjadi ketika kerusakannya
sudah parah. Pasien biasanya mengeluhkan adanya awan gelap atau tirai di depan mata.1,3
Selain itu perlu dianamnesa adanya faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya
ablasio retina seperti adanya riwayat trauma, riwayat pembedahan sebelumnya seperti
ekstraksi katarak, pengangkatan corpus alienum intraokuler, riwayat penyakit mata
sebelumnya (uveitis, perdarahan vitreus, ambliopia, glaukoma, dan retinopati diabetik).
Riwayat keluarga dengan sakit mata yang sama serta riwayat penyakit yang berhubungan
dengan ablasio retina (diabetes mellitus, tumor, sickle cell leukimia, eklamsia, dan
prematuritas.1,3

Pemeriksaan Oftalmologi

Adapun tanda – tanda yang dapat ditemukan pada keadaan ini antara lain:1,3,7

1. Pemeriksaan visus. Dapat terjadi penurunan tajam penglihatan akibat terlibatnya


makula lutea atau kekeruhan media refrakta atau badan kaca yang menghambat sinar
masuk. Tajam penglihatan akan sangat terganggu bila makula lutea ikut terangkat.
2. Tekanan intraokuler biasanya sedikit lebih tinggi, normal, atau rendah
3. Pemeriksaan funduskopi. Merupakan salah satu cara terbaik untuk mendiagnosa ablasio
retina dengan menggunakan oftalmoskop inderek binokuler. Pada pemeriksaan ini
retina yang mengalami ablasio tampak sebagai membran abu – abu merah muda yang
menutupi gambaran vaskuler koroid. Jika terdapat akumulasi cairan pada ruang
subretina, didapatkan pergerakan undulasi retina ketika mata bergerak. Pembuluh darah
retina yang terlepas dari dasarnya berwarna gelap, berkelok – kelok dan membengkok
di tepi ablasio. Pada retina yang terjadi ablasio telihat lipatan – lipatan halus. Satu
robekan pada retina terlihat agak merah muda karena terdapat pembuluh koroid
dibawahnya.
4. Electroretinography (ERG) adalah dibawah normal atau tidak ada
5. Ultrasonography mengkonfirmasikan diagnosis.

H. PENATALAKSANAAN
Oftalmoskopi indirek dengan depresi sklera dan slitlamp biomokroskopi dengan
indirek lens 6-90 dioptri atau lensa kontak kornea digunakan untuk mendiagnosis adanya
PVD, robekan, dan ablasio retina. Prinsip operasinya adalah:
- Menemukan semua robekan
- Menutup semua robekan
- Membuat parut korioretina di sekelilling masing-masing robekan.
Robekan yang kecil tanpa disertai traksi vitreous dapat diberikan tamponade,
sementara prosedur melekatkan kembali dapat dilakukan krioterapi, laser fotokoagulasi, dan
diatermi. Penatalaksanaan pada ablasio retina adalah pembedahan. Pada pembedahan ablasio
retina dapat dilakukan dengan cara :
 Scleral buckling
Dilakukan dengan menekan sklera dengan suatu pita atau sabuk yang
terbuat dari silikon sehingga retina yang lepas dapat melekat kembali. Metode ini
paling banyak digunakan pada ablasio retina rematogenosa terutama tanpa disertai
komplikasi lainnya. Tujuan skleral buckling adalah untuk melepaskan tarikan
vitreous pada robekan retina, mengubah arus cairan intraokuler, dan melekatkan
kembali retina ke epitel pigmen retina. Prosedur meliputi lokalisasi posisi robekan
retina, menangani robekan dengan cryoprobe, dan selanjutnya dengan skleral
buckle (sabuk). Sabuk ini biasanya terbuat dari spons silikon atau silikon padat.
Ukuran dan bentuk sabuk yang digunakan tergantung posisi lokasi dan jumlah
robekan retina.
Pertama–tama dilakukan cryoprobe atau laser untuk memperkuat
perlengketan antara retina sekitar dan epitel pigmen retina. Sabuk dijahit
mengelilingi sklera dengan jahitan tipe matras pada sklera, sehingga terjadi tekanan
pada robekan retina sehingga terjadi penutupan pada robekan tersebut. Penutupan
retina ini akan menyebabkan cairan subretinal menghilang secara spontan dalam
waktu 1-2 hari.
Komplikasi dari skleral buckling meliputi myopia, iskemia okuler anterior,
diplopia, ptosis, ulitis sel orbital, perdarahan subretina, inkarserasi retina.
Komplikasi operasi scleral buckling adalah iskemia (segmen anterior dan
posterior), infeksi, perforasi, strabismus, erosi atau ekstrusi eksplan, mengerutnya
makula, katarak, glaukoma, vitreoretinopathy proliferative (4%), dan kegagalan (5-
10%). Scleral buckling memiliki tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Prognosis
visual akhir tergantung pada keterlibatan makula. Prognosis lebih buruk jika
makula terlepas3,5

Gambar 8. Screlal buckle.3

 Retinopeksi pneumatik (pneumoretinopeksi)


Pneumoretinopeksi diindikasikan untuk robekan yang letaknya superior antara
jam 8 dan 4, kelompok robekan tidak lebih dari 1 jam dan tidak terdapat proliferatif
vitreoretinopati. Retinopati pneumatik merupakan metode yang sering digunakan pada
ablasio retina regmatogenosa terutama jika terdapat robekan tunggal pada bagian
superior retina.Tujuan dari retinopeksi pneumatik adalah untuk menutup kerusakan
pada retina dengan gelembung gas intraokular dalam jangka waktu yang cukup lama
hingga cairan subretina direabsorbsi. Teknik pelaksanaan prosedur ini adalah dengan
menyuntikkan gelembung gas (SF6/sulfurhexaflouride atau C3F8/perflourocarbon)
ke dalam rongga vitreus. Gelembung gas ini akan menutupi robekan retina dan
mencegah pasase cairan lebih lanjut melalui robekan. Jika robekan dapat ditutupi oleh
gelembung gas, cairan subretinal biasanya akan hilang dalam 1-2 hari. Robekan retina
dapat juga dilekatkan dengan kriopeksi atau laser sebelum gelembung disuntikkan.
Parasentesis ruang anterior bisanya dibutuhkan untuk menurunkan tekanan intraokuler
yang dihasilkan oleh injeksi gas.
Pasien harus mempertahankan posisi kepala tertentu selama beberapa hari
untuk meyakinkan gelembung terus menutupi robekan retina. Untuk pasien ablasio
retina dengan durasi < 14 hari yang melibatkan makula, prosedur retinopeksi
traumatic lebih baik daripada skleral buckling. Komplikasi dari prosedur ini meliputi
migrasi gas ke subretina, migrasi gas ke ruang anterior, endoftalmitis, katarak, dan
ablasio retina rekurens dengan terbentuknya kerusakan retina yang baru 3,5
Gambar 9. Retinopeksi traumatik5

 Bedah vitrektomi
Vitrektomi dilakukan untuk membuang vitrous yang keruh, menghilangkan
traksi, mengelupas jaringan ikat dari permukaan retina, dan pengambilan benda
asing intraokule. Merupakan cara yang paling banyak digunakan pada ablasio
akibat diabetes, dan juga pada ablasio regmatogenosa yang disertai traksi vitreus
atau perdarahan vitreus. Cara pelaksanaannya yaitu dengan membuat insisi kecil
pada dinding bola mata kemudian memasukkan instrumen pada ruang vitreous
melalui pars plana. Setelah itu dilakukan vitrektomi dengan vitreus cutre untuk
menghilangkan berkas badan kaca (vitreuos stands), membran, dan perlengketan–
perlengketan. Teknik dan instrumen yang digunakan tergantung tipe dan penyebab
ablasio. Lebih dari 90% lepasnya retina dapat direkatkan kembali dengan teknik-
teknik bedah mata modern, meskipun kadang- kadang diperlukan lebih dari satu
kali operasi. 3,5,6
Gambar 10. Tiga port Pars Plana Vitrektomi (PPV) a) Dua port superior
membenarkan laluan untuk suction-cutter (vitrector), suatu fiberoptic
endoilluminator, dan instrumen lain dengan infusi cairan secara melewati port yang ketiga.
b) Vitrektomi yang mengeluarkan traksi vitreus anterior pada horshoe tear. c) Pandangan
panoramic pada penanganan endolaser. d)intraokuler tamponade dilihat pada daerah

superior.3,5,6

I. Komplikasi

Jika pengobatan tertunda, perlepasan retina secara parsial dapat berlanjut


sampai seluruh retina terlepas. Ketika hal ini terjadi, penglihatan normal tidak dapat
dipulihkan, dan penurunan ketajaman visual atau kebutaan terjadi pada mata yang
terkena. Komplikasi lain dapat mencakup perdarahan ke dalam mata (perdarahan
vitreous), glaukoma (sudut tertutup), peradangan, infeksi, dan jaringan parut akibat
operasi. Kehilangan persepsi cahaya juga dapat terjadi. 1
Jika retina tidak berhasil dilekatkan kembali dan pembedahan mengalami
komplikasi, maka dapat timbul perubahan fibrotik pada vitreous (vitreoretinopati
proliferatif, PVR). PVR dapat menyebabkan traksi pada retina dan ablasio retina lebih
lanjut. 1

J. PROGNOSIS
Penatalaksanaan bedah berhasil pada 80% pasien ablasio retina. Hasil akhir
perbaikan pada penglihatan tergantung dari beberapa faktor, misalnya keterlibatan
makula. Pada makula yang masih melekat 87% akan mencapai visus sama, pada yang
lepas hanya 37% yang mencapai visus sama, karena degenerasi dari fotoreseptor akan
menghambat visus. Lubang, robekan, atau tarikan baru mungkin terjadi dan
menyebabkan ablasio retina yang baru. Suatu penelitian telah melaporkan bahkan setelah
pemberian terapi preventif pada robekan retina, 5% - 9% pasien dapat mengalami
robekan baru pada retina
DEFINISI KATARAK KOMPLIKATA

Katarak berasal dari bahasa Yunani Katarrhakies, Inggris Cataract, dan Latin Cataracta
yang berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut bular dimana penglihatan seperti tertutup
air terjun akibat lensa yang keruh.12
Katarak komplikata merupakan katarak akibat penyakit mata lain seperti radang, dan proses
degenerasi seperti ablasi retina, glaukoma, akibat suatu trauma atau pasca bedah mata.7
Katarak komplikata dapat juga disebabkan oleh penyakit sistemik endokrin (diabetes
mellitus, hipoparatiroid, galaktosemia) dan keracunan bahan kimia. Katarak komplikata
memberikan tanda khusus dimana mulainya katarak selamanya di daerah bawah kapsul atau pada
lapis korteks, kekeruhan dapat difus, pungtata ataupun linear. 12
Dikenal dua bentuk yaitu bentuk yang disebabkan kelainan pada polus posterior terjadi
akibat penyakit koroiditis, retinitis pigmentosa, ablasi retina, kontusio retina dan myopia tinggi
yang mengakibatkan kelainan badan kaca. Biasanya kelainan ini berjalan aksial yang biasanya
tidak berjalan cepat dalam nucleus, sehingga sering terlihat nucleus lensa tetap jernih. Katarak
akibat myopia tinggi dan ablasi retina memberikan gambaran agak berlainan.7
Katarak akibat kelainan polus anterior bola mata biasanya akibat kelainan kornea
berat, iridosiklitis, kelainan neoplasma dan glaucoma. Pada iridosiklitis akan mengakibatkan
katarak subkapsularis anterior. Pada katarak akibat glaucoma akan terlihat katarak diseminata
pungtata subkapsular anterior (Katarak Vogt). 12

Penyebabnya :12
1. Penyakit lokal di mata
2. Penyakit sistemik, yang mengenai seluruh tubuh, terutama penyakit endokrin
3. Trauma :
 Fisik : radiasi
 Mekanis : pasca bedah atau kecelakaan
 Kimia : zat toksik

EPIDEMIOLOGI

Penelitian-penelitian di Amerika mengidentifikasi adanya katarak pada 10% orang, dan


angka kejadian ini meningkat hingga 50% untuk mereka yang berusia antara 65 – 74 tahun, dan
hingga 70% untuk mereka yang berusia lebih dari 75 tahun.
Sperduto dan Hiller menyatakan bahwa katarak ditemukan lebih sering pada wanita
dibanding pria. Pada penelitian lain oleh Nishikori dan Yamomoto, rasio pria dan wanita adalah 1:8
dengan dominasi pasien wanita yang berusia lebih dari 65 tahun dan menjalani operasi katarak.
Di seluruh dunia terdapat lebih dari 285 juta orang yang menderita diabetes mellitus. Angka
ini akan meningkat hingga 439 juta orang pada tahun 2030 menurut International Diabetes
Federation.
Komplikasi yang cukup sering baik dari diabetes tipe 1 ataupun tipe 2 adalah retinopati
diabetikum, yang merupakan penyebab ke 5 tersering dari kebutaan di Amerika Serikat. Pada 95%
dari penderita diabetes tipe 1 dan 60% dari penderita diabetes tipe 2 yang menderita penyakit ini
lebih dari 20 tahun, tanda-tanda dari retinopati diabetikum akan timbul. Kasus lebih berat dari
retinopati diabetikum proliferatif terlihat pada pasien yang menderita diabetes tipe 1. Kontrol baik
atas hiperglikemia, lemak dalam darah, dan tekanan darah telah menunjukkan keuntungan dengan
menghambat perjalanan dari penyakit tersebut.
Katarak merupakan penyebab utama dari penurunan fungsi visual pada pasien diabetes
dimana insidens dan perjalanan penyakit katarak meningkat pada pasien dengan diabetes mellitus.
Hubungan antara diabetes dan pembentukan katarak telah dibuktikan dengan penelitian dan
epidemiologi klinis. Sehubungan dengan peningkatan jumlah penderita diabetes tipe 1 dan 2 di
seluruh dunia, insidens dari katarak akibat diabetes juga meningkat. Meskipun operasi katarak
dapat menyembuhkan penderita dengan katarak, mencegah perjalanan penyakit masih menjadi
tantangan. Lebih lanjut, pasien dengan diabetes mellitus memiliki kemungkinan komplikasi yang
lebih tinggi dalam operasi katarak. Baik diabetes maupun katarak masih menjadi beban ekonomi
dan kesehatan terutama di negara berkembang, dimana pengobatan diabetes masih terbatas dan
operasi katarak kadang tidak dapat dilakukan.

ETIOLOGI

Sebagian besar katarak terjadi karena proses degeneratif atau bertambahnya usia seseorang.
Usia rata-rata terjadinya katarak adalah umur 60 tahun keatas. Akan tetapi, katarak dapat pula
terjadi pada bayi karena sang ibu terinfeksi virus pada saat hamil muda.

Penyebab katarak lainnya meliputi faktor keturunan, cacat bawaan sejak lahir, masalah
kesehatan (misalnya diabetes), penggunaan obat tertentu (khususnya steroid), gangguan
metabolisme seperti diabetus kemungkinan disebabkan oleh gangguan aliran darah ke mata dan
perubahan penanganan dan metabolisme glukosa, gangguan pertumbuhan, paparan / radiasi sinar
ultraviolet pada mata dalam waktu yang cukup lama, rokok dan alkohol, operasi mata sebelumnya,
trauma (kecelakaan) pada mata, kurang asupan antioksidan, seperti vitamin A, C, dan E, serta
faktor lain yang belum diketahui.

PATOFISIOLOGI
1. PENYAKIT LOKAL MATA
i. Glaukoma
Glaukoma adalah penyakit mata yang ditandai oleh meningkatnya tekanan intraokuler yang
disertai oleh pencekungan diskus optikus dan pengecilan lapang pandang. 1 Glaukoma dapat timbul
secara perlahan dan menyebabkan hilangnya lapang pandang ireversibel tanpa timbulnya gejala
lain yang nyata atau dapat timbul secara tiba-tiba dan menyebabkan kebutaan dalam beberapa jam.
Jika peningkatan TIO lebih besar daripada toleransi jaringan, kerusakan terjadi pada sel ganglion
retina dan merusak diskus optikus sehingga menyebabkan atrofi saraf optik dan hilangnya
pandangan perifer.
Glaukoma yang terjadi pada saat serangan akut dapat mengakibatkan gangguan
keseimbangan cairan lensa subkapsul anterior. Bentuk kekeruhan ini berupa titik-titik yang tersebar
sehingga dinamakan katarak pungtata subkapsular diseminata anterior atau dapat disebut menurut
penemunya yaitu katarak Vogt. Kekeruhan seperti porselen/susu tumpah di meja pada subkapsul
anterior. Katarak ini bersifat reversible dan dapat hilang bila tekanan bola mata sudah terkontrol.13

ii. Uveitis
Sama halnya seperti semua proses radang lainnya, uveitis anterior ditandai dengan adanya
dilatasi pembuluh darah yang menimbulkan gejala hiperemia silier (hiperemi perikorneal atau
perikorneal vascular injection). Adanya peningkatkan permeabilitas ini akan menyebabkan
eksudasi ke dalam akuos humor sehingga terjadi peningkatan konsentrasi protein dalam akuos
humor.14
Pada pemeriksaan slit lamp, hal ini tampak sebagai akuos flare atau sel, yaitu partikel
partikel kecil dengan gerak brown (efek tyndal). Dimana kedua gejala tersebut menunjukkan proses
peradangan akut.14
Pada proses yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-sel radang di dalam bilik mata
depan yang disebut hipopion, ataupun migrasinya eritrosit ke dalam bilik mata depan yang dikenal
dengan hifema. Apabila proses radang berlangsung lama dan berulang, maka sel-sel radang
melekat pada endotel kornea dan disebut sebagai keratic precipitate. Jika tidak mendapatkan terapi
yang adekuat, maka proses peradangan akan berjalan terus dan menimbulkan komplikasi.
Perubahan lensa sering terjadi sebagai akibat sekunder dari uveitis kronis. Biasanya muncul katarak
subkapsular posterior, dan juga dapat terjadi perubahan lensa anterior. Pembentukan sinekia
posterior sering berhubungan dengan penebalan kapsul lensa anterior dan perkembangan
fibrovaskular yang melewatinya dan melewati pupil.
Kekeruhan juga dapat terjadi pada tempat iris melekat dengan lensa (sinekia posterior) yang
dapat berkembang mengenai seluruh lensa. Kekeruhan tersebut dapat bermacam-macam, bisa
difus, total, atau hanya terbatas pada tempat sinekia posterior. Perubahan lensa pada katarak
sekunder karena uveitis dapat berkembang menjadi katarak matur. Deposit kalsium dapat diamati
pada kapsul anterior atau dalam substansi lensanya sendiri. 14

iii. Miopia Maligna


Miopi adalah sinar-sinar yang berjalan sejajar dengan sumbu mata tanpa akomodasi
dibiaskan didepan retina. Miopia maligna adalah miopi yang berjalan progresif dan biasanya bila
miopia lebih dari 6 dioptri disertai kelainan pada fundus okuli dan pada panjangnya bola mata
sampai terbentuk stafiloma postikum yang terletak pada bagian temporal papil disertai dengan
atrofi korioretina. Etiologi dari miopia maligna sampai saat ini belum jelas.15
Miopia maligna dapat ditemukan pada semua umur dan terjadi sejak lahir. Pada anak-anak
diagnosis sudah dapat ditegakkan jika terdapat peningkatan beratnya myopia dalam waktu yang
relatif pendek.
Katarak yang disebabkan karena miopi biasanya dikarenakan akibat terjadinya degenerasi
badan kaca yang merupakan proses primer, hal ini menyebabkan nutrisi lensa terganggu, selain itu,
lensa pada miopi juga mengalami kehilangan transparansinya sehingga hal ini dapat menyebabkan
katarak. Dilaporkan bahwa pada orang-orang dengan miopi tinggi, risiko katarak muncul lebih
cepat. 14,16

2. PENYAKIT SISTEMIK
i. Diabetes Melitus
Diabetes mellitus adalah penyakit endokrin yang ditandai dengan hiperglikemia yang
merupakan manifestasi dari defek pada sekresi insulin. Diabetes mellitus dapat mempengaruhi
kejernihan lensa, indeks refraksinya, dan besaran akomodasinya. Dengan meningkatnya kadar gula
darah menyebabkan kandungan glukosa di humor aqueous juga ikut meningkat dan bisa masuk ke
lensa secara difusi sehingga glukosa yang terkandung didalam lensa akan meningkat.
Beberapa glukosa dikonversi oleh enzim aldosa reduktase menjadi sorbitol, yang tidak
dimetabolisir tetapi menetap dalam lensa karena sorbitol diproduksi lebih cepat daripada
penguraiannya menjadi fruktosa oleh enzim sorbitol dehydrogenase. Kemudian karena adanya
akumulasi sorbitol menyebabkan perubahan tekanan osmotic menyebabkan adanya influks air ke
dalam lensa sehingga terjadi edema serabut lensa dan pada keadaan hidrasi, lensa dapat
mempengaruhi kekuatan refraksi, salah satunya myopia atau hipermetropia. Studi pada binatang
menunjukkan akumulasi intraseluler tersebut menyebabkan serat lensa menjadi kolaps dan
mengalami likuifaksi atau pencairan sehingga menyebabkan terbentuknya kekeruhan pada lensa.
Lebih lanjut, studi menunjukkan bahwa tekanan osmosis di lensa akibat akumulasi dari sorbitol
menginduksi terjadinya apoptosis pada epitel sel lensa yang berujung pada perkembangan katarak.
Hal ini menunjukkan bahwa kegagalan dari osmoregulasi akibat peningkatan sedikit saja dari
aldosa reduktase berpotensi untuk mempercepat pembentukan dari katarak.

Terdapat banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kerusakan oksidatif pada serat lensa
sering disebabkan oleh radikal bebas pada pasien dengan diabetes. Namun, tidak ada bukti yang
menunjukkan radikal bebas tersebut menginisiasi proses pembentukan dari katarak tetapi
mempercepat dan meningkatkan perkembangannya. Hidrogen peroksida (H2O2) meningkat di
akuos humor pada pasien diabetes dan menginduksi terbentuknya radikal hydroxyl (OH-) setelah
memasuki lensa melalui proses yang disebut sebagai Fenton reaction. Radikal bebas nitrit oksida
(NO), faktor lainnya yang juga meningkat di lensa dan akuos humor pasien dengan diabetes,
menyebabkan terjadinya pembentukan peroksinitrit, yang menyebabkan kerusakan sel akibat efek
oksidasinya.

Kemudian, peningkatan level glukosa di humor akuos dapat menginduksi terjadi proses
glycation dari protein lensa, suatu proses yang menghasilkan pembentukan dari radikal superoksida
dan advanced glycation endproducts (AGE). Interaksi AGE dengan reseptor pada permukaan sel
seperti receptor for advanced glycation endproducts (RAGE) di epitel dari lensa menyebabkan
terjadinya pembentukan H2O2 lebih banyak.

Sebagai tambahan dari peningkatan radikal bebas, lensa diabetes menunjukkan kapasitas
antioksidan yang buruk, sehingga meningkatkan kepekaannya terhadap stress oksidatif. Hilangnya
antioksidan disebabkan oleh proses glycation dan inaktivasi dari enzim antioksidan pada lensa
seperti superoksida dismutase (SOD). SOD 1 (copper-zinc) merupakan superoksida dismutase yang
paling dominan di lensa, dimana sangat berperan dalam proses degradasi dari superoksida radikal
menjadi oksigen. Pentingnya SOD 1 dalam proteksi lensa terhadap perkembangan katarak dengan
diabetes mellitus telah ditunjukkan di berbagai studi in vitro maupun in vivo.

Secara keseluruhan katarak diabetes adalah katarak yang terjadi akibat adanya penyakit
diabetes mellitus. Katarak pada pasien diabetes mellitus dapat terjadi dalam tiga bentuk, yaitu :
 Pasien dengan dehidrasi berat, asidosis, dan hiperglikemi yang nyata, pada lensa akan
terlihat kekeruhan berupa garis akibat kapsul lensa mengkerut. Bila dehidrasi lama, maka
akan terjadi kekeruhan lensa, kekeruhan akan hilang bila rehidrasi dan kadar gula kembali
normal.
 Pasien diabetes juvenile dan pasien usia tua yang tidak terkontrol, dimana terjadi katarak
serentak pada kedua mata dalam waktu 48 jam, bentuk dapat snowflake atau bentuk piring
subkapsular.
 Katarak pada pasien dewasa dimana gambaran secara histologik dan biokimia sama dengan
katarak pasien non-diabetik

Pada beberapa pendapat menyatakan bahwa, pada keadaan hiperglikemi terdapat penimbunan
sorbitol dan fruktosa dalam lensa.
Pada mata akan terlihat terjadinya insidens maturasi katarak yang lebih pada pasien diabetes
mellitus yaitu jarang ditemukan true diabetic katarak. Pada lensa akan terlihat kekeruhan tebaran
salju subkapsular yang sebagian jernih dengan pengobatan. Pada kasus ini, diperlukan pemeriksaan
tes urin dan pengukuran kadar gula puasa.14

ii. Galaktosemia
Galaktosemia adalah penyakit yang disebabkan oleh defisiensi galaktosa 1-
fosfaturidililtransferase dimana enzim ini penting untuk mengubah galaktosa menjadi glukosa.
Galaktosemia merupakan penyakit resesif autosom pada metabolisme galaktosa. Bayi dengan
galaktosemia, di dalam urinenya akan terdapat galaktosa. Oleh karena itu, diagnosis dapat
ditegakkan dengan mencari zat yang terdapat pada urine (galaktosa) menggunakan
clinitest,sedangkan pemeriksaan glukosa dalam urine bisa memberikan hasil negatif.17
Katarak galaktosemia diduga terjadi karena penimbunan gula dan gula alkohol dalam lensa
(terutama pada pasien hiperglikemia). Kadar glukosa meningkat dan mendorong pembentukan
sorbitol (oleh aldosa reduktase) dan fruktosa. Kadar glukosa dan fruktosa yang tinggi juga
menimbulkan glikosilasi nonenzimatik protein lensa yang menyebabkan peningkatan tekanan
osmotik dan glikosilasi protein lensa sehingga lensa menjadi tidak tembus cahaya dan keruh yang
dikenal sebagai katarak. Katarak pada bayi dengan galaktosemia bersifat reversibel dengan
manajemen terapi yang lebih awal. 17

iii. TETANI
Morfologi katarak yang berhubungan dengan hipokalsemia bermacam-macam sesuai
dengan usia saat hipokalsemia terjadi. Pada bayi, depresi serum kalsium menghasilkan katarak
zonular dengan suatu korteks infantil, dengan lamella tak tembus cahaya yang dalam dan tipis.
Hipokalsemia dapat idiopatik, atau dapat timbul sebagai hasil dari perusakan yang tidak disengaja
pada glandula paratiroidea selama operasi tiroid.9 Biasanya bilateral, katarak hipokalsemia adalah
kekeruhan iridescent punctata di korteks anterior dan posterior yang terletak diantara kapsul lensa
dan biasanya dipisahkan dari kapsul lensa oleh suatu daerah lensa yang jernih. Kekeruhan ini
mungkin tetap stabil atau matur menjadi katarak kortikal total. Pada pemeriksaan darah terlihat
kadar kalsium turun.14

3. TRAUMA
i. Trauma Tembus dan Trauma Tak Tembus
Trauma tumpul yang mengenai mata dapat menyebabkan robekan pada pembuluh darah iris, akar iris
dan badan silier sehingga mengakibatkan perdarahan dalam bilik mata depan. Iris bagian perifer
merupakan bagian paling lemah. Suatu trauma yang mengenai mata akan menimbulkan kekuatan
hidraulis yang dapat menyebabkan hifema dan iridodialisis,serta merobek lapisan otot spingter
sehingga pupil menjadi ovoid dan non reaktif. Tenaga yang timbul dari suatu trauma diperkirakan
akan terus ke dalam isi bola mata melalui sumbu anterior posterior sehingga menyebabkan
kompresi ke posterior serta menegangkan bola mata ke lateral sesuai dengan garis ekuator. Hifema
yang terjadi dalam beberapa hari akan berhenti, oleh karena adanya proses homeostatis. Darah
dalam bilik mata depan akan diserap sehingga akan menjadi jernih kembali. Trauma pada
umumnya menyebabkan katarak monookuler. Trauma fisik baik tembus maupun tidak tembus
dapat merusak kapsul lensa, cairan COA masuk ke dalam lensa dan timbul katarak. Trauma tak
tembus (tumpul) dapat menimbulkan katarak dengan berbagai bentuk, antara lain :

a) Vissous ring
Cetakan pupil pada lensa akibat trauma tumpul yang berbentuk vossious ring yaitu
lingkaran yang terbentuk oleh granula coklat kemerah-merahan dari pigmen iris dengan
garis tengah kurang lebih 1 mm. Secara normal menjadi padat sesudah trauma. Cincin
vossious cenderung untuk menghilang sedikit demi sedikit. Kekeruhan kapsul yang kecil-kecil dan
tersebar dapat ditemui sesudah menghilangnya pigmen. 

b) Roset (bintang)
Katarak berbentuk roset, bentuk ini dapat terjadi segera sesudah trauma tetapi dapat juga
beberapa minggu sesudahnya. Trauma tumpul mengakibatkan perubahan susunan serat-
serat lensa dan susunan sisten suture (tempat pertemuan serat lensa) sehingga terjadi
bentuk roset. Bentuk ini dapat sementara dan dapat juga menetap.

c) Katarak zonuler atau lamelar Katarak Zonular dan lamellar


Bentuk ini sering ditemukan pada orang muda yang sesudah trauma. Penyebabnya karena
adanya perubahan permeabilitas kapsul lensa yang mengakibatkan degenerasi lapisan
kortek superfisial. Trauma tumpul akibat tinju atau bola dapat menyebabkan robekan
kapsul, walaupun tanpa trauma tembus mata. Bahan-bahan lensa dapat keluar melalui
robekan kapsul ini dan bila diabsorbsi maka mata akan menjadi afakia.

d) Katarak traumata desiminata subepitel (ditemukan oleh Vogt)


Berbentuk kekeruhan yang bercak-bercak dan terletak dibawah lapisan epitel lensa bagian
depan. Kadang-kadang kekeruhan ini bersifat permanen dan tidak progresif.

Katarak akibat trauma tembus dapat dalam bentuk : Laserisasi yaitu robekan pada kapsul lensa.
Bila kapsul robek dan isi lensa bercampur dengan cairan aqueous dapat timbul katarak total.10

i. Trauma Fisik (Radiasi)


a) Radiasi pengion
Lensa sangat sensitive terhadap radiasi pengion, diperlukan 20 tahun setelah paparan
sebelum katarak menjadi tampak secara klinis. Periode laten ini berhubungan dengan dosis
radiasi dan usia pasien, semakin muda semakin rentan terhadap radiasi pengion karena
memiliki sel-sel lensa yangs sedang tumbuh secara aktif. Radiasi pengion pada daerah x-ray
(panjang gelombang 0,001-10 nm) dapat menyebabkan katarak pada beberapa individu
dengan dosis 200 rad tiap fraksi. Tanda klinis pertama katarak diinduksi radiasi seringkali
berupa kekeruhan punctata di dalam kapsul posterior dan kekeruhan subkapsular anterior
yang halus menjalar kearah ekuator lensa. Kekeruhan ini dapat berkembang menjadi
kekeruhan lensa total.

b) Radiasi inframerah (katarak glassblowers).


Paparan radiasi inframerah dan panas yang terus menerus ke mata pada waktu yang lama
dapat menyebabkan lapisan terluar kapsul lensa anterior mengelupas dan menjadi lapisan
tunggal. Eksfoliasi sesungguhnya dari kapsul lensa, dengan lamella terluar terkelupas
menggulung diatasnya, jarang terlihat saat ini.

c) Radiasi ultraviolet.
Lensa rentan terhadap kerusakan yang disebabkan oleh radiasi ultraviolet pada daerah UVB
290-320 nm. Paparan jangka lama terhadap UVB dari paparan sinar matahari berhubungan
dengan peningkatan risiko katarak kortikal dan subkapsular posterior.15

ii. Trauma Mekanik


Ekstraksi katarak ekstrakapsular, yaitu mengeluarkan isi lensa (korteks dan nukleus)
melalui kapsul anterior yang dirobek (kapsulotomi anterior) dengan meninggalkan kapsul posterior.
Operasi katarak ini adalah merupakan tehnik operasi untuk katarak imatur/matur yang nukleus atau
intinya keras sehingga tidak memungkinkan dioperasi dengan tehnik fakoemulsifikasi. Insisi
kornea lebih kecil daripada ICCE (kira-kira 5-6mm) sehingga proses penyembuhan lebih cepat
sekitar seminggu. Karena kapsul posterior yang utuh, sehingga dapat dilakukan penanaman lensa
intraokular (IOL). Mengurangi resiko edema kornea. Kerugiannya berupa membutuhkan alat dan
tekniknya lebih sukar dibandingkan ICCE. Penyulit pada teknik ini berupa adanya ruptur kapsul
posterior, prolaps badan kaca, hifema, peningkatan tekanan intraokular, endofthalmitis, katarak
sekunder. Katarak traumatik EKEK di sebabkan karena kekeruhan kapsul posterior akibat katarak
traumatik yang terserap sebagian atau setelah terjadinya ekstraksi katarak ekstrakapsular.15

Epitel lensa subkapsul yang tersisa mungkin mencoba melakukan regenerasi serat-serat
lensa, sehingga memberikan gambaran telur ikan pada kapsul posterior. Lapisan epitel yang
berproliferasi tersebut mungkin menghasilkan banyak lapisan, sehingga menimbulkan kekeruhan.
Sel-sel ini mungkin juga mengalami diferensiasi miofibroblastik. Kontraksi serat-serat ini
menimbulkan banyak kerutan-kerutan kecil dikapsul posterior, yang menimbulkan distorsi
penglihatan. Semua ini menimbulkan penurunan ketajaman penglihatan setelah ekstraksi katarak
ekstrakapsular. 15

iii. Trauma Kimia


Katarak toksik jarang terjadi. Banyak kasus pada tahun 1930-an akibat penelanan
dinitrofenol (obat untuk menekan nafsu makan). merupakan bahan yang berperan untuk
menghilangkan gejala peradangan dalam waktu cepat. Namun, juga mempengaruhi proses
metabolisme tubuh, sehingga lama kelamaan mengakibatkan kekeruhan pada lensa mata atau biasa
dikenal sebagai katarak. Pemberian kortikosteroid dalam jangka waktu lama baik dalam pemberian
sistemik maupun tetes, dapat mengakibatkan kekeruhan lensa. 15,19

Kelompok obat psikotropika, dapat menyebabkan deposit pigmen di epithelium lensa


anterior dalam bentuk konfigurasi aksial sehingga lensa menjadi keruh. Deposit ini dipengaruhi
oleh dosis dan durasi pemberian obat. Deposit lebih sering terlihat dengan penggunaan beberapa
jenis fenotiazin, terutama klorpromazin dan thloridazin, daripada jenis yang lainnya.15

TANDA DAN GEJALA

Katarak didiagnosa melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
lengkap. Keluhan yang membawa pasien datang antara lain:12

1. Pandangan buram
Kekeruhan lensa mengakibatkan penurunan pengelihatan yang progresif atau berangsur-angsur
dan tanpa nyeri, serta tidak mengalami kemajuan dengan pinhole.

2. Penglihatan silau
Penderita katarak sering kali mengeluhkan penglihatan yang silau, dimana tingkat kesilauannya
berbeda-beda mulai dari sensitifitas kontras yang menurun dengan latar belakang yang terang
hingga merasa silau di siang hari atau merasa silau terhadap lampu mobil yang berlawanan arah
atau sumber cahaya lain  yang mirip pada  malam hari. Keluhan ini sering kali muncul pada
penderita katarak kortikal.

3. Sensitifitas terhadap kontras


Sensitifitas terhadap kontras menentukan kemampuan pasien dalam mengetahui perbedaan-
perbedaan tipis dari gambar-gambar yang berbeda warna, penerangan dan tempat. Cara ini akan
lebih menjelaskan fungsi mata sebagai optik dan uji ini diketahui lebih bagus daripada
menggunakan bagan Snellen untuk mengetahui kepastian fungsi penglihatan; namun uji ini
bukan merupakan indikator spesifik hilangnya penglihatan yang disebabkan oleh adanya
katarak.

4. Miopisasi
Perkembangan katarak awalnya dapat meningkatkan kekuatan dioptri lensa, biasanya
menyebabkan derajat miopia yang ringan-sedang. Ketergantungan pasien presbiopia pada
kacamata bacanya akan berkurang karena pasien ini mengalami penglihatan kedua. Namun
setelah sekian waktu bersamaan dengan memburuknya kualitas lensa, rasa nyaman ini
berangsur menghilang diikuti dengan terjadinya katarak sklerotik nuklear. Perkembangan
miopisasi yang asimetris pada kedua mata bisa menyebabkan anisometropia yang tidak dapat
dikoreksi lagi, dan cenderung untuk diatasi dengan ekstraksi katarak.

5. Variasi Diurnal Penglihatan


Pada katarak sentral, penderita mengeluhkan penglihatan menurun pada siang hari atau keadaan
terang dan membaik pada senja hari, sebaliknya paenderita katarak kortikal perifer
mengeluhkan pengelihatan lebih baik pada sinar terang daripada sinar redup.

6. Distorsi
Katarak dapat menimbulkan keluhan benda bersudut tajam menjadi tampak tumpul atau
bergelombang.

7. Halo
Penderita dapat mengeluh adanya lingkaran berwarna pelangi yang terlihat disekeliling sumber
cahaya terang, yang harus dibedakan dengan halo pada penderita glaucoma.

8. Diplopia monokuler
Gambaran ganda dapat terbentuk pada retina akibat refraksi ireguler dari lenda yang keruh.
Menimbulkan diplopia monokuler yang dibedakan dengan diplopia binocular dengan cover tes
dan pin hole.

9. Perubahan persepsi warna


Perubahan warna inti nucleus menjadi kekuningan  menyebabkan perubahan persepsi warna,
yang akan digambarkan menjadi lebih kekuningan atau kecoklatan dibanding warna
sebenarnya.

10. Bintik hitam


Penderita dapat mengeluhkan timbulnya bintik hitam yang tidak bergerak-gerak pada lapang
pandangnya. Dibedakan dengan keluhan pada retina atau badan vitreous yang sering bergerak-
gerak.

PENATALAKSANAAN

Tidak ada satupun obat yang dapat diberikan untuk katarak kecuali tindakan bedah.
Tindakan bedah dilakukan bila telah ada indikasi seperti: katarak telah menggangu pekerjaan
sehari-hari walaupun katarak belum matur, katarak matur karena bila terjadi hipermatur akan
menimbulkan penyulit katarak hipermatur yaitu uveitis dan glaucoma, dan katarak telah
menimbulkan penyulit glaucoma. Apabila diindikasikan pembedahan, maka ekstraksi lensa akan
memperbaiki ketajaman penglihatan.

1) Ekstraksi Lensa Intrakapsular (EKIK)


Metode pembedahan dengan mengeluarkan (pengangkatan) seluruh lensa, termasuk kapsul
lensa. Dapat dilakukan pada zonula zinn yang telah rapuh atau berdegenerasi dan mudah
diputus. Teknik ini sudah jarang digunakan setelah adanya teknik EKEK. Keuntungan dari
EKIK, yaitu tidak timbul katarak sekunder, lebih simple, mudah dilakukan, lebih murah dan
tidak memerlukan alat yang canggih, serta waktu yang relatif singkat, cocok untuk operasi
massal. Namun kerugiannya, yaitu insisi yang lebih besar dari EKEK (12-14 mm), tidak
dapat dilakukan implantasi IOL, penyembuhan dan rehabilitasi visual tertunda,
astigmatisma yang signifikan, inkarserasi iris dan vitreus, sering menimbulkan penyulit
seperti glaukoma, uveitis, endolftalmitis, tidak dapat dilakukan pada penderita usia di
bawah 40 tahun. Penyulit pada saat pembedahan yang dapat terjadi adalah :

 Kapsul lensa pecah sehingga lensa tidak dapa dikeluarkan bersama-sama


kapsulnya. Pada keadaan ini terjadi ekstraksi lensa ekstrakapsular tanpa rencana
karena kapsul posterior akan tertinggal.
 Prolap badan kaca pada saat lensa dikeluarkan.

2) Ekstraksi Lensa Ekstrakapsular (EKEK)


Metode pembedahan dengan merobek kapsul anterior, mengeluarkan nukleus dan korteks,
sebagian kapsul anterior dan seluruh kapsul posterior ditinggal. Teknik ini membutuhkan
sayatan yang lebar, karena lensa harus dikeluarkan dalam keadaan utuh. Setelah itu, lensa
buatan/Intra Ocular Lens (IOL) dipasang tepat di posisi semula untuk menggantikan lensa
asli. Lalu dilakukan penjahitan untuk menutup luka. Cara ini umumnya dilakukan pada
katarak dengan lensa yang sangat keruh, pasien katarak muda, pasien dengan kelainan
endotel, bersama-sama keratoplasti, kemungkinan akan dilakukan bedah glaukoma, mata
dengan presdiposisi prolaps badan kaca, ablasi retina, sitoid makular edema, pasca bedah
ablasi, serta tempat dimana teknologi fakoemulsifikasi tidak tersedia. Tindakan EKEK yang
terencana dilakukan bila ragu apakah nukleus lentis sudah terbentuk atau belum, badan kaca
mencair (pada miopia tinggi, setelah menderita uveitis), pada operasi mata lainnya telah
terjadi perlengketan luas antara iris dan lensa, ablasi atau prolaps badan kaca, distrofi
kornea, serta untuk memasang IOL. Keuntungan dari EKEK, yaitu dapat dilakukan pada
semua usia kecuali jika zonulla zinii yang rapuh/tidak intak, luka insisi lebih kecil (8-12
mm), dapat dilakukan implantasi IOL, karena kapsul posterior utuh maka mengurangi
resiko hilangnya vitreus saat operasi, mengurangi insidensi endoftalmitis, ablasio retina,
edema kornea, perlengketan vitreus dengan iris dan kornea, serta menyediakan barier yang
menahan pertukaran beberapa molekul antara aqueous dan vitreus. Sedangkan kerugiannya
yaitu dapat timbul katarak sekunder.

3) Fakoemulsifikasi
Merupakan modifikasi dari metode ekstrakapsular karena sama-sama menyisakan kapsul
bagian posterior. Insisi yang diperlukan sangat kecil yaitu 5 mm yang berguna  untuk
mempercepat kesembuhan paska operasi. Kemudian kapsul anterior lensa dibuka. Dari
lubang insisi yang kecil tersebut dimasukan alat yang mampu mengeluarkan getaran
ultrasonik yang mampu memecah lensa menjadi kepingan-kepingan kecil, kemudian
dilakukan aspirasi. Teknik ini bermanfaat pada katarak kongenital, traumatik dan
kebanyakan katarak senilis. Namun kurang efektif untuk katarak senilis yang padat.6

Keuntungan dari metode ini antara lain:


 (Insisi yang dilakukan kecil, dan tidak diperlukan benang untuk menjadhit karena
akan menutup sendiri. Hal ini akan mengurangi resiko terjadinya astigmatisma, dan
rasa adanya benda asing yang menempel setelah operasi. Hal ini juga akan
mencegah peningkatan tekanan intraokuli selama pembedahan, yang juga
mengurangi resiko perdarahan.
 Cepat menyembuh dan struktur mata tetap intak, karena insisi yang kecil tidak
mempengaruhi struktur mata.

4) Small Incision Cataract Surgery (SICS) Manual


Merupakan teknik pembedahan kecil. Di negara berkembang, teknik ini lebih dipilih karena
biaya lebih murah, mudah dipelajari, lebih aman untuk dilakukan dan mempunyai aplikasi
yang lebih luas. Sesudah ekstraksi katarak mata tak mempunyai lensa lagi yang disebut
afakia. Tandanya adalah bilik mata depan dalam, iris tremulans dan pupil hitam. Pada
keadaan ini mata kehilangan daya akomodasinya (hipermetropia tinggi absolut), terjadi
gangguan penglihatan warna, sinar UV yang sampai ke retina lebih banyak, dan dapat
terjadi astigmatisme akibat tarikan dari luka operasi. Keadaan ini harus dikoreksi dengan
lensa sferis +10.0 Dioptri supaya dapat melihat jauh dan ditambah dengan S+3.0 D untuk
penglihatan dekat. Ada 3 cara untuk mengatasi gangguan visus ini, yaitu Insersi lensa IOL
(pseudofakia), menggunakan lensa kontak, menggunakan kacamata afakia, kacamata ini
tebal, berat, dan tidak nyaman. Kacamata untuk penglihatan jauh dan dekat sebaiknya
diberikan dalam dua kacamata untuk menghindarkan aberasi sferis dan aberasi khromatis.
KELEBIHAN DAN KEUNTUNGAN METODE OPERASI
Kelebihan Conventional ECCE dibandingkan SICS, yaitu teknik yang lebih simple yang dapat
dipelajari dalam waktu relatif lebih singkat. Sedangkan kekurangannya, yaitu insisi yang panjang
(10-12mm), jahitan yang dibutuhkan banyak, membutuhkan tindakan lepas jahitan yang rentan
terhadap infeksi, iritasi dan abses pada suture postoperasi, insiden yang cukup tinggi untuk
astigmatisme pasca operasi, prolaps iris, bilik mata depan menjadi dangkal, kebocoran jahitan,
prolaps vitreous, operative hard eye, dan expulsive choroidal hemorrage dapat terjadi.
Keuntungan SICS dibandingkan dengan phacoemulsifikasi, yaitu dapat dilakukan pada semua
jenis katarak, termasuk hard cataract grade IV dan V, prosedur lebih mudah untuk dipelajari, tidak
bergantung pada mesin dan dapat dilakukan dimana saja, komplikasi postoperasi lebih jarang,
waktu operasi relatif lebih singkat, dan biaya lebih murah. Sedangkan kekurangannya, yaitu injeksi
konjungtiva selama 5-7 hari pada tempat pembedahan, nyeri tekan ringan karena insisi pada sclera,
serta terkadang postoperative hyphema dan astigmatisma post operasi mungkin terjadi karena insisi
lebih besar (6mm).

PEMASANGAN LENSA TANAM (IOL)


Merupakan pilihan utama untuk kasus aphakia. Bahan dasar IOL yang dipakai sampai saat ini
yaitu polymethylmethacrylate (PMMA). Indikasi pemasangan IOL dilakukan pada setiap operasi
katarak, kecuali ada kontraindikasinya. Ada beberapa tipe dari IOL berdasarkan metode fiksasinya,
yaitu:

 Anterior Chamber IOL (ACIOL), berada di depan iris dan disuport oleh anterior chamber.
ACIOL dapat ditanam setelah proses ECCE, namun jarang dipakai karena mempunyai resiko
tinggi terjadinya bullous Keratopathy.
 Iris-Supported Lenses, difiksasi di iris dengan bantuan jahitan. Lensa jenis ini juga jarang
dipakai karena insidens yang tinggi terjadinya komplikasi post operatif.
 Posterior Chamber Lenses (PCIOL), terletak di bagian belakang iris yang didukung oleh
sulkus siliar atau oleh capsular bag.

KOMPLIKASI

 Komplikasi Preoperative: Ansietas akibat ketakutan akan operasi (Diazepam 2-5 mg dapat
memperbaiki keadaan), Nausea dan gastritis akibat efek obat preoperasi seperti asetazolamid
dan/atau gliserol (Antasida oral untuk mengurangi gejala), konjungtivitis iritatif atau alergi
disebabkan oleh tetes antibiotik topical preoperatif (penundaan operasi selama 2 hari), serta
abrasi kornea akibat cedera saat pemeriksaan tekanan bola mata dengan menggunakan
tonometer Schiotz (Salep antibiotik selama 1 hari dan penundaan operasi selama 2 hari).
 Komplikasi Intraoperative: Laserasi m. rectus superior dapat terjadi selama proses
penjahitan, perdarahan hebat dapat terjadi selama persiapan conjunctival flap atau selama insisi
ke bilik mata depan, cedera pada kornea (robekan membrane Descemet), iris, dan lensa dapat
terjadi akibat instrumen operasi yang tajam seperti keratom, cedera iris dan iridodialisis
(terlepasnya iris dari akarnya), serta lepas / hilangnya vitreous merupakan komplikasi serius
yang dapat terjadi akibat ruptur kapsul posterior (accidental rupture) selama teknik ECCE.
 Komplikasi Postoperatif Awal: Hifema, prolaps iris, keratopati striata, uveitis anterior
postoperatif, dan endoftalmitis bakterial.
 Komplikasi Postoperatif Lanjut: Cystoid Macular Edema (CME), delayed chronic
postoperative endophtalmitis, Pseudophakic Bullous Keratopathy (PBK), ablasio retina, dan
katarak sekunder.
 Komplikasi yang berkaitan dengan IOL: Uveitis-glaucoma-hyphema syndrome (UGH
syndrome), malposisi IOL, dan sindrom lensa toksik (toxic lens syndrome).

PROGNOSIS
Faktor risiko utama yang mempengaruhi prognosis visual adalah adanya diabetes mellitus
dan retinopati diabetikum. Prognosis penglihatan untuk pasien tergantung pada bagian yang terkena
dan kelainan yang mendasari. Anomali saraf optikus atau retina membatasi tingkat pencapaian
penglihatan walaupun sudah dioperasi karena kelainan matanya sudah terkena bagian yang lain dan
bukan murni dari lensanya.

PENCEGAHAN
Umumnya katarak komplikata terjadi karena adanya faktor yang mendasari seperti penyakit
intraokuler dan penyakit sistemik. Jadi cara utama untuk mencegah terjadinya katarak komplikata
adalah mencegah terjadinya penyakit intraokuler dan sistemik ini. Berbeda dengan katarak senilis
dimana, kejadiannya sulit dicegah karena faktor usia. Pemeriksaan mata secara teratur sangat perlu
untuk mengetahui adanya katarak. Pada saat ini dapat dijaga kecepatan berkembangnya katarak
dengan:

 Tidak merokok, karena merokok mengakibatkan meningkatkan radikal bebas dalam


tubuh, sehingga risiko katarak akan bertambah
 Pola makan yang sehat, memperbanyak konsumsi buah dan sayur
 Lindungi mata dari sinar matahari, karena sinar UV mengakibatkan katarak pada mata
 Menjaga kesehatan tubuh
DAFTAR PUSTAKA

1. Hardy RA, Shetlar DJ. Retina. In: Riordan P, Whitcher JP. editors. Vaughan
and Asbury’s General Ophthalmology. 16th ed. New York: McGraw-Hill.2004.
p. 190, 200- 201
2. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Masa edisi ketiga. 2010. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta. p.1-10, 183-6
3. Khurana AK. Diseases of The Retina. In: Comprehensive Ophthalmology. 4th
edition.
New Age International Limited Publisher: India. 2007. p. 250-2, 275-9.

4. Carneiro J, Junqueira LC. Histologi Dasar Teks & Atlas. Edisi 10. Jakarta:
EGC. 2007. Hal. 470-475
5. American Academy of Ophthalmology. Retina and Vitreous: Section 12 2011-
2012.
Singapore: LEO. 2011. p. 360-4

6. Cassidy L, Olver, J. Ophthalmology at a Glance. 2005. Blackwell Science:


USA. 2005. p. 84-6.
7. Lang, GK. Ophtalmology, A Pocket Textbook Atlas. 2nd Edition. 2006.Stuttgart:
Thieme. 2007. p. 305-322, 339- 344.
8. James, Bruce, dkk. Oftalmologi Lecture Notes. 2003. Erlangga: Jakarta. p. 117-22
9. Larkin, L. Gregory. Retinal Detachment. 2010. [cited 21th Mei 2012]. Available
from : http//emedicine.medscape.com/article/1226426
10. Swierzewski SJ. Retinal Detachment. 2011. [cited 21th Mei 2012]. Available from :
http://www.healthcommunities.com/retinal-detachment/retinal-
detachment- overview.shtml
11. Dahl AA. Retinal Detachment. 2010. [cited 21th Mei 2012]. Available from :
http://www.medicinenet.com/retinal_detachment/article.htm

12. Ilyas S. Katarak dalam ilmu penyakit mata, Edisi II, Cetakan ke-1. Balai penerbit

FKUI,Jakarta,2002. Hal 212 – 215.

47
13. Ilyas S. Katarak dalam penuntun ilmu penyakit mata, Edisi ke-2, Cetakan ulang

2003. balai penerbit FKUI, Jakarta,2003. Hal 133-137.

14. lyas S, Mailangkung, H.B.B Taim H, Saman R. Katarak dalam ilmu penyakit mata

untuk dokter umum dan mahasiswa kedoktera. Edisi II, Cetakan pertama.Penerbit

C.V. Sagung Seto, Jakarta 2002. Hal 148 – 152.

15. Vaughan D, Ashbury T, Riodan P.lensa dalam Ofthalmologi umum. Edisi 14,

Cetakan I. Penerbit Klidya Medika 2000. Hal 177.

16. Nana wijaya. Katarak dalam ilmu penyakit mata, Cetakan ke 6.Hal 192-211.

17. Ilyas S. Katarak(Lensa mata keruh), Cetakan ke-2. Balai penerbit

FKUI,Jakarta,1999.

18. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR, Oftalmologi Umum, Edisi 14, Widya Medika,

Jakarta, 2000, hal. 211-214.

19. Nema HV, Text book of Opthalmology, Edition 4, Medical publishers, New Delhi,

2002, page 249-251.

48

Anda mungkin juga menyukai