PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Etiologi
Penyebab tersering terjadinya CKD adalah diabetes dan tekanan darah tinggi,
yaitu sekitar dua pertiga dari seluruh kasus. Keadaan lain yang dapat menyebabkan
kerusakan ginjal diantaranya adalah penyakit peradangan seperti glomerulonefritis,
penyakit ginjal polikistik, malformasi saat perkembangan janin dalam rahim ibu,
lupus, obstruksi akibat batu ginjal, tumor atau pembesaran kelenjar prostat, dan
infeksi saluran kemih yang berulang.
2.1.3 Patofisiologi
Patofisiologi CKD pada awalnya dilihat dari penyakit yang mendasari,
namun perkembangan proses selanjutnya kurang lebih sama. Penyakit ini
menyebabkan berkurangnya massa ginjal. Sebagai upaya kompensasi, terjadilah
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa yang diperantarai oleh
molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor. Akibatnya, terjadi hiperfiltrasi
yang diikuti peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses
adaptasi ini berlangsung singkat, hingga pada akhirnya terjadi suatu proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Sklerosis nefron ini diikuti
dengan penurunan fungsi nefron progresif, walaupun penyakit yang mendasarinya
sudah tidak aktif lagi.
Diabetes melitus (DM) menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai
bentuk. Nefropati diabetik merupakan istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi
di ginjal pada DM. Mekanisme peningkatan GFR yang terjadi pada keadaan ini
2
masih belum jelas benar, tetapi kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen
oleh efek yang tergantung glukosa, yang diperantarai oleh hormon vasoaktif,
Insuline-like Growth Factor (IGF) – 1, nitric oxide, prostaglandin dan glukagon.
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam
amino dan protein. Proses ini terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan
pembentukan nodul serta fibrosis tubulointerstisialis.
Hipertensi juga memiliki kaitan yang erat dengan gagal ginjal. Hipertensi
yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan-perubahan struktur pada
arteriol di seluruh tubuh, ditnadai dengan fibrosis dan hialinisasi (sklerosis) dinding
pembuluh darah. Salah satu organ sasaran dari keadaan ini adalah ginjal. Ketika
terjadi tekanan darah tinggi, maka sebagai kompensasi, pembuluh darah akan
melebar. Namun di sisi lain, pelebaran ini juga menyebabkan pembuluh darah
menjadi lemah dan akhirnya tidak dapat bekerja dengan baik untuk membuang
kelebihan air serta zat sisa dari dalam tubuh. Kelebihan cairan yang terjadi di dalam
tubuh kemudian dapat menyebabkan tekanan darah menjadi lebih meningkat,
sehingga keadaan ini membentuk suatu siklus yang berbahaya.
3
2.1.5 Penegakkan Diagnosis
Kerusakan ginjal dapat dideteksi secara langsung maupun tidak langsung.
Bukti langsung kerusakan ginjal dapat ditemukan pada pencitraan atau pemeriksaan
histopatologi biopsi ginjal. Pencitraan meliputi ultrasonografi, computed
tomography (CT), magnetic resonance imaging (MRI), dan isotope scanning dapat
mendeteksi beberapa kelainan struktural pada ginjal. Histopatologi biopsi renal
sangat berguna untuk menentukan penyakit glomerular yang mendasari.
Bukti tidak langsung pada kerusakan ginjal dapat disimpulkan dari urinalisis.
Inflamasi atau abnormalitas fungsi glomerulus menyebabkan kebocoran sel darah
merah atau protein. Hal ini dideteksi dengan adanya hematuria atau proteinuria.
Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum. Penurunan GFR dapat dihitung dengan mempergunakan rumus Cockcroft-
Gault. Penggunaan rumus ini dibedakan berdasarkan jenis kelamin.
4
Selain itu fungsi ginjal juga dapat dilihat melalui pengukuran Cystatin C.
Cystatin C merupakan protein berat molekul rendah (13kD) yang disintesis oleh
semua sel berinti dan ditemukan diberbagai cairan tubuh manusia. Kadarnya dalam
darah dapat menggambarkan GFR sehingga Cystatin C merupakan penanda endogen
yang ideal.
5
Nilai GFR menunjukkan seberapa besar fungsi ginjal yang dimiliki oleh
pasien sekaligus sebagai dasar penentuan terapi oleh dokter. Semakin parah CKD
yang dialami, maka nilai GFRnya akan semakin kecil. Chronic Kidney Disease
stadium 5 disebut dengan gagal ginjal. Perjalanan klinisnya dapat ditinjau dengan
melihat hubungan antara bersihan kreatinin dengan GFR sebagai presentase dari
keadaan normal, terhadap kreatinin serum dan kadar blood urea nitrogen (BUN).
Kadar BUN dapat diukur dengan rumus berikut:
Perjalanan klinis gagal ginjal dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama
merupakan stadium penurunan cadangan ginjal dimana pasien tidak menunjukkan
gejala dan kreatinin serum serta kadar BUN normal. Gangguan pada fungsi ginjal
baru dapat terdeteksi dengan pemberian beban kerja yang berat seperti tes
pemekatan urin yang lama atau melakukan tes GFR yang teliti. Stadium kedua
6
disebut dengan insufisiensi ginjal. Pada stadium ini, ginjal sudah mengalami
kehilangan fungsinya sebesar 75%. Kadar BUN dan kreatinin serum mulai
meningkat melebihi nilai normal, namun masih ringan. Pasien dengan insufisiensi
ginjal ini menunjukkan beberapa gejala seperti nokturia dan poliuria akibat
gangguan kemampuan pemekatan.
Tetapi biasanya pasien tidak menyadari dan memperhatikan gejala ini,
sehingga diperlukan pertanyaan-pertanyaan yang teliti. Stadium akhir dari gagal
ginjal disebut juga dengan endstage renal disease (ESRD). Stadium ini terjadi
apabila sekitar 90% masa nefron telah hancur, atau hanya tinggal 200.000 nefron
yang masih utuh. Peningkatan kadar BUN dan kreatinin serum sangat mencolok.
Bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 mL per menit atau bahkan kurang. Pasien
merasakan gejala yang cukup berat dikarenakan ginjal yang sudah tidak dapat lagi
bekerja mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit. Pada berat jenis yang
tetap sebesar 1,010, urin menjadi isoosmotis dengan plasma. Pasien biasanya
mengalami oligouria (pengeluran urin < 500mL/hari). Sindrom uremik yang terjadi
akan mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh dan dapat menyebabkan kematian
bila tidak dilakukan RRT.
2.1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien CKD disesuaikan dengan
stadium penyakit pasien tersebut. Perencanaan tatalaksana pasien CKD dapat dilihat
pada tabel berikut ini:
7
Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya paling tepat diberikan sebelum
terjadinya penurunan GFR sehingga tidak terjadi perburukan fungsi ginjal. Selain
itu, perlu juga dilakukan pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid dengan
mengikuti dan mencatat penurunan GFR yang terjadi. Perburukan fungsi ginjal
dapat dicegah dengan mengurangi hiperfiltrasi glomerulus, yaitu melalui
pembatasan asupan protein dan terapi farmakologis guna mengurangi hipertensi
intraglomerulus. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
merupakan hal yang penting mengingat 40-45 % kematian pada CKD disebabkan
oleh penyakit kardiovaskular ini. Pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular
dapat dilakukan dengan pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi,
pengendalian dislipidemia dan sebagainya. Selain itu, perlu dilakukan pencegahan
dan terapi terhadap komplikasi yang mungkin muncul seperti anemia dan
osteodistrofi renal.
2.2 Hidronefrosis
2.2.1 Definisi Hidronefrosis
Hidronefrosis adalah dilatasi pelvis dan kaliks ginjal pada salah satu atau
kedua ginjal akibat tekanan balik terhadap ginjal karena aliran air kemih tersumbat.
Dalam keadaan normal, air kemih mengalir dari ginjal dengan tekanan yang sangat
rendah.2
2.2.2 Klasifikasi
Berdasarkan ginjal yang terkena dibagi menjadi :
1) Hidronefrosis unilateral, apabila hidronefrosis terjadi pada satu ginjal.
2) Hidronefrosis bilateral, apabila hidronefrosis terjadi pada kedua ginjal.
Berdasarkan tingkat keparahan dibagi menjadi:
8
1) Hidronefrosis ringan: tanpa gejala, fungsi ginjal tidak terganggu, dapat
sembuh setelah umur 1 tahun.
2) Hidronefrosis sedang: fungsi ginjal tidak menurun, derajat pembesaran ginjal
tidak bertambah buruk.
3) Hidronefrosis berat: terdapat gangguan fungsi ginjal, infeksi, nyeri, dan
perdarahan.
2.2.3 Etiologi
Hidronefrosis biasanya terjadi akibat adanya sumbatan pada sambungan
ureteropelvik (sambungan antara ureter dan pelvis renalis) :
a. Kelainan struktural, misalnya jika masuknya ureter ke dalam pelvis renalis
terlalu tinggi
b. Lilitan pada sambungan ureteropelvik akibat ginjal bergeser ke bawah
c. Batu di dalam pelvis renalis
d. Penekanan pada ureter oleh:
Jaringan fibrosa
Arteri atau vena yang letaknya abnormal
Tumor
Hidronefrosis juga bisa terjadi akibat adanya penyumbatan dibawah
sambungan ureteropelvik atau karena arus balik air kemih dari kandung kemih:
a. Batu di dalam ureter
b. Tumor di dalam atau di dekat ureter
c. Penyempitan ureter akibat cacat bawaan, cedera, infeksi, terapi penyinaran
atau pembedahan
d. Kelainan pada otot atau saraf di kandung kemih atau ureter
e. Pembentukan jaringan fibrosa di dalam atau di sekeliling ureter akibat
pembedahan, rontgen atau obat-obatan (terutama metisergid)
f. Ureterokel (penonjolan ujung bawah ureter ke dalam kandung kemih)
g. Kanker kandung kemih, leher rahim, rahim, prostat atau organ panggul
lainnya
9
h. Sumbatan yang menghalangi aliran air kemih dari kandung kemih ke uretra
akibat pembesaran prostat, peradangan atau kanker
i. Arus balik air kemih dari kandung kemih akibat cacat bawaan atau cedera
j. Infeksi saluran kemih yang berat, yang untuk sementara waktu menghalangi
kontraksi ureter.
Kadang hidronefrosis terjadi selama kehamilan karena pembesaran rahim
menekan ureter. Perubahan hormonal akan memperburuk keadaan ini karena
mengurangi kontraksi ureter yang secara normal mengalirkan air kemih ke kandung
kemih. Hidronefrosis akan berakhir bila kehamilan berakhir, meskipun sesudahnya
pelvis renalis dan ureter mungkin tetap agak melebar.
Pelebaran pelvis renalis yang berlangsung lama dapat menghalangi kontraksi
otot ritmis yang secara normal mengalirkan air kemih ke kandung kemih. Jaringan
fibrosa lalu akan menggantikan kedudukan jaringan otot yang normal di dinding
ureter sehingga terjadi kerusakan yang menetap.
2.2.4 Patofisiologi
Obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin mengalir balik,
sehingga tekanan di ginjal meningkat. Jika obstruksi terjadi di uretra atau kandung
kemih, tekanan balik akan mempengaruhi kedua ginjal, tetapi jika obstruksi terjadi
di salah satu ureter akibat adanya batu atau kekakuan maka hanya satu ginjal saja
yang rusak.
Obstruksi parsial atau intermiten dapat disebabkan oleh batu yang terbentuk
di piala ginjal tetapi masuk ke ureter dan menghambatnya. Obstruksi dapat
diakibatkan oleh tumor yang menekan ureter atau berkas jaringan parut akibat abses
atau inflamasi dekat ureter dan menjepit saluran tersebut. Gangguan dapat sebagai
akibat dari bentuk abnormal di pangkal ureter atau posisi ginjal yang salah, yang
menyebabkan ureter berpilin atau kaku. Pada pria lansia , penyebab tersering adalah
obstruksi uretra pada pintu kandung kemih akibat pembesaran prostat. Hidronefrosis
juga dapat terjadi pada kehamilan akibat pembesaran uterus.
Apapun penyebab dari hidronefrosis, disebabkan adanya obstruksi baik
parsialataupun intermitten mengakibatkan terjadinya akumulasi urin di piala ginjal.
10
Sehinggamenyebabkan disertasi piala dan kolik ginjal. Pada saat ini atrofi ginjal
terjadi ketikasalah satu ginjal sedang mengalami kerusakan bertahap maka ginjal
yang lain akan membesar secara bertahap (hipertrofi kompensatori), akibatnya
fungsi renal terganggu.
11
1. Hidronefrosis derajat 1. Dilatasi pelvis renalis tanpa dilatasi kaliks. Kaliks
berbentuk blunting, alias tumpul.
2. Hidronefrosis derajat 2. Dilatasi pelvis renalis dan kaliks mayor. Kaliks
berbentuk flattening, alias mendatar.
3. Hidronefrosis derajat 3. Dilatasi pelvis renalis, kaliks mayor dan kaliks
minor. Tanpa adanya penipisan korteks. Kaliks berbentuk clubbing, alias
menonjol.
4. Hidronefrosis derajat 4. Dilatasi pelvis renalis, kaliks mayor dan kaliks
minor. Serta adanya penipisan korteks Calices berbentuk ballooning alias
menggembung
2.2.7 Penatalaksanaan
Tujuannya adalah untuk mengaktivasi dan memperbaiki penyebab
darihidronefrosis (obstruksi, infeksi) dan untuk mempertahankan dan melindungi
fungsi ginjal.Untuk mengurangi obstruksi urin akan dialihkan melalui tindakan
nefrostomi atau tipe disertasi lainnya. Infeksi ditangani dengan agen anti mikrobial
karena sisa urin dalam kaliks akan menyebabkan infeksi dan pielonefritis. Pasien
disiapkan untuk pembedahan mengangkat lesi obstrukstif (batu, tumor, obstruksi
ureter). Jika salah satufungsi ginjal rusak parah dan hancur maka nefrektomi
(pengangkatan ginjal) dapat dilakukan.
Pada hidronefrosis akut:
Jika fungsi ginjal telah menurun, infeksi menetap atau nyeri yang
hebat, maka air kemih yang terkumpul diatas penyumbatan segera
dikeluarkan (biasanya melalui sebuah jarum yang dimasukkan
melalui kulit).
Jika terjadi penyumbatan total, infeksi yang serius atau terdapat batu,
maka bisa dipasang kateter pada pelvis renalis untuk sementara
waktu.
Hidronefrosis kronis diatasi dengan mengobati penyebab dan mengurangi
penyumbatan air kemih. Ureter yang menyempit atau abnormal bisa diangkat
melalui pembedahan dan ujung-ujungnya disambungkan kembali. Kadang perlu
12
dilakukan pembedahan untuk membebaskan ureter dari jaringan fibrosa. Jika
sambungan ureter dan kandung kemih tersumbat, maka dilakukan pembedahan
untuk melepaskan ureter dan menyambungkannya kembali di sisi kandung kemih
yang berbeda.
Jika uretra tersumbat, maka pengobatannya meliputi:
terapi hormonal untuk kanker prostat
pembedahan
melebarkan uretra dengan dilator.
13
Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi spinal
bisa terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain,
maka harus dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya
Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. : Hal ini dapat
menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis,
keterampilan dokter anestesi sangat penting.
Pasien menolak.
14
untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan pra anestesi
adalah:
1. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
dengan fisik dan kehendak pasien.
3. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas
2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal :
insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka mortalitas
68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi
hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24
jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil
(didonorkan)
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri
dari kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.
Adapun penilaian yang dilakukan sebelum operasi diantaranya
adalah sebagai berikut :
I. Anamnesis
1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
15
3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat
menjadi penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit
paru kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit
jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.
4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat,
dan obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi
dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi,
antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid, dan lain lain.
5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari
tanggal, jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan
perawatan intensif pasca bedah.
6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan
anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik
7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi
maligna.
8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,
pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,
neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
II. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat
penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti
infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti scoliosis
atau kifosis, atau pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan processus
spinosus tidak teraba.
III. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain
A. Lab rutin :
1. Pemeriksaan lab. Darah
2. Urine : protein, sedimen, reduksi
3. Foto rongten ( thoraks )
4. EKG
B. Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :
16
1. EKG pada anak
2. Spirometri pada tumor paru
3. Tes fungsi hati pada ikterus
4. Fungsi ginjalpada hipertensi
17
Bupivakaine 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20mg.
Bupivakaine 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik,dosis 5-15mg(1-3ml).
Obat Anestesi local memiliki efek tertentu di setiap system tubuh manusia.
Berikut adalah beberapa pengaruh pada system tubuh yang nantinya harus
diperhatikan saat melakukan anesthesia spinal.
1. Sistem Saraf : Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat anestesi
local, menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada system saraf akan
terjadi paresis sementara akibat obat sampai obat tersebut dimetabolisme.
2. Sistem Respirasi : Jika obat anestesi local berinteraksi dengan saraf yang
bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa
menyebabkan gangguan nafas karena kelumpuhan otot nafas.
3. Sistem Kardiovaskular : Obat anestesi local dapat menghambat impuls saraf.
jika impuls pada system saraf otonom terhambat pada dosis tertentu, maka
bisa terjadi henti jantung. Pada dosis kecil dapat menyebabkan bradikardia.
4. Jika dosis yang masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat terjadi aritmia,
hipotensi, hingga henti jantung. Maka sangat penting diperhatikan untuk
melakukan aspirasi saat menyuntikkan obat anestesi local agar tidak masuk
ke pembuluh darah.
5. Sistem Imun : Karena anestesi local memiliki gugus amin, maka
memungkinkan terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat alergi
pasien. Pada reaksi local dapat terjadi reaksi pelepasan histamine seperti
gatal, edema, eritema. Apabila tidak sengaja masuk ke pembuluh darah,
dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
6. Sistem Muskular : obat anestetik local bersifat miotoksik. Apabila
disuntikkan langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi yang
tidak teratur, bisa menyebabkan nekrosis otot.
7. Sistem Hematologi : obat anestetik dapat menyebabkan gangguan
pembekuan darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan
yang lebih lama saat menggunakan obat anestesi local.
18
Dalam penggunaan obat anestesi local, dapat ditambahkan dengan zat lain
atau adjuvant . Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi local khususnya
pada anestesi spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah :
1. Vasokonstriktor : Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat
berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh mekanisme kerja
obat anestesi local di ruang subaraknoid. Obat anestesi local dimetabolisme
lambat di dalam rongga subaraknoid. Dan proses pengeluarannya sangat
bergantung kepada pengeluaran oleh vena dan saluran limfe. Penambahan
obat vasokonstriktor bertujuan memperlambat clearance obat dari rongga
subaraknoid sehingga masa kerja obat menjadi lebih lama.
1. Obat Analgesik Opioid : digunakan sebagai adjuvant untuk
mempercepatnonset terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesic
opioid misalnyanfentanyl adalah obat yang sangat cepat larut dalam lemak.
Hal ini sejalan dengan struktur pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga
penyerapan obat anestesi local menjadi semakin cepat. Penelitian juga
menyatakan bahwa penambahan analgesic opioid pada anestesi spinal
menambah efek anestesi post-operasi.
2. Klonidin : Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat
menambah durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena klonidin
adalah obat golongan Alfa 2 Agonis, maka harus diwaspadai terjadinya
hipotensi akibat vasodilatasi dan penurunan heart rate.
Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan anestesi
spinal terdapat pada table dibawah ini.
19
2.3.6 Teknik Anestesi Spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien.
1. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak
500 - 1500 ml (pre-loading).
2. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit
3. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik. Dapat
menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan berbaring lateral.
4. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua
krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.
5. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi
ligamen interspinous.
6. Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin
harus menekan cukup keras untuk merasakan proses spinosus.
7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
8. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-
2% 2-3ml
9. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal
besar 22G, 23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan
untuk jarum kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun
jarum (introducer), yaitu jarum suntik biasa yaitu jarum suntik biasa
10cc. Jarum akan menembus kutis, subkutis, ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum,
20
epidural, duramater, subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal
dicabut, cairan serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya
disuntikkan obat analgesik ke dalam ruang arachnoid tersebut.
21
Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan
paramedian.Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari
sumbu tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm lateral
dari garis tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.
22
kulit.Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi motoric pasien
dimana pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa hangat, kesemutan,
dan tidak terasa saat diberikan rangsang.Hal yang perlu diperhatikan lagi adalah
pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi.Tekanandarah bisa turun drastis akibat
spinal anestesi, terutama terjadi pada orang tua yang belumdiberikan loading cairan.
Hal itu dapat kita sadari dengan melihat monitor dan keadaan umumpasien. Tekanan
darah pasien akan turun, kulit menjadi pucat, pusing,mual, berkeringat.
23
Saat melakukan anestesi spinal ada beberapa komplikasi yang harus
diperhatikan.Sesuai dengan kerja obat dan pengaruhnya pada siste tubuh seperti.
Beberapa komplikasi tersebut diantaranya adalah :
1. Komplikasi Kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%.
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang
menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena, makin
tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan berkurang akibat dari
penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan
pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif
seperti efedrin atau fenilefedrin.Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien
yang sehat pada saat dilakukan anestesi spinal.Henti jantung bisa terjadi tiba-
tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat walaupun hemodinamik
pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti ini,hipotensi atau
hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia
merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek
Bezold-Jarisch. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse
cairan kristaloid (NaCl, Ringerlaktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb
dalam 10 menit segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan
cairan infuse cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan
vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4
menit sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat
terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat
diatasi dengan sulfas atropine 1/8-1/4mg IV.
24
pada anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah
ke organ vital terutama otak dan jantung, yang cenderung menimbulkan
sequel lain. Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan faktor penting yang
menyebabkan terjadi henti nafas pada anestesi spinal total. Walau
bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi
akibat dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf phrenikus
biasanya dipertahankan.Berkurangnya aliran darah ke serebral mendorong
terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi, sirkulasi
jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi iskemik miokardiak
yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya menyebakan henti jantung.
Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya keadaan
yang lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian
oksigen bertekanan positif.Setelah tingkat anestesi spinal berkurang, pasien
akan kembali ke kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada
sequel yang permanen yang disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi
dengan pengobatan yang cepat dan tepat.
4. Komplikasi Gastointestinal
25
Nausea dan muntah karena hipotensi,hipoksia,tonus parasimpatis
berlebihan,pemakaian obat narkotik,reflek karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi delayed,pusing kepala pasca pungsi lumbal
merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan
posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi
lumbal,dengan kekerapan yang bervariasi.Pada orang tua lebih jarang dan
pada kehamilan meningkat.Untuk menangani komplikasi ini dapat diberikan
obat tambahan yaitu ondansetron atau diberikan ranitidine.
26
konservatif tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin ke dalam
epidural untuk menghentikan kebocoran.
27
tusukan jarum pada spinal maupun epidural, kateter epidural atau suntikan
solution anestesi lokal intraneural sangat jarang, tapi tetap mungkin terjadi.
Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat
jarang berlaku karena ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor
didalam ruang subaraknoid. Hanya pembuluh darah radikular lateral
merupakan pembuluh darah besar di area lumbar yang menyebar keruang
subaraknoid dari akar saraf. Sindrom spinal-arteri anterior akibat dari
anesthesiaadalah jarang.Tanda utamanya adalah kelemahan motorik pada
tungkai bawah karenaiskemia pada 2/3 anterior bawah korda spinal.
Kehilangan fungsi sensoris tidak merata adalahefek sekunder dari nekrosis
iskemia pada akar posterior saraf dan bukan akibat dari kerusakan didalam
korda itu sendiri. Terdapat tiga penyebab terjadinya sindrom spinal-arteri:
kekurangan suplai darah ke arteri spinal anterior karena terjadi gangguan
suplai darah dari arteri-arteri yang terganggu oleh operasi, kekurangan aliran
darah dari arteri karena hipotensi yang berlebihan, dan gangguan aliran darah
sama ada dari kongesti vena mahu pun obstruksi aliran.
Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang menyebabkan
terjadinya sindrom spinal-arteri anterior oleh beberapa faktor.Contohnya
anestesi spinalmenggunakan obat anestesi lokal yang dicampurkan dengan
epinefrin.Jadi kemungkinanepinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi pada
arteri spinal anterior atau pembuluh darahyang memberikan bekalan
darah.Hipotensi yang kadang timbul setelah anestesi regionaldapat
menyebabkan kekurangan aliran darah.
Infeksi spinal sangat jarang kecuali dari penyebaran bakteri secara
hematogen yang berasal dari fokal infeksi ditempat lain. Jikaanestesi spinal
diberikan kepada pasien yang mengalami bakteriemia, terdapat kemungkinan
terjadi penyebaran bakteri ke medulla spinalis.Maka penggunaan anestesi
spinal padapasien dengan bakteremia merupakan kontra indikasi relatif.
Jika infeksi terjadi di dalamruang subaraknoid, akan menyebabkan
araknoiditis. Tanda yang paling menonjol pada komplikasi ini adalah nyeri
punggung yang berat, nyeri lokal, demam,leukositosis, dan rigiditas
28
nuchal.Oleh karena itu, tidak diperbolehkan jika menggunakan
anestesiregional pada pasien yang mengalami infeksi kulit lokal pada area
lumbal atau yang menderita selulitis.Pengobatan bagi komplikasi ini adalah
dengan pemberian antibiotik dan drainase jika perlu.
Pencegahan
Pakailah jarum lumbal yang lebih halus (no. 23 atau no. 25).
Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater.
Hidrasi adekuat, minum/infuse 3L selama 3 hari.
Pengobatan
Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam
Hidrasi adekuat.
Hindari mengejan.
Bila cara diatas tidak berhasil pertimbangkan pemberian epidural
blood patch yakni penyuntikan darah pasien sendiri 5-10ml ke
dalam ruang epidural. Cara ini umumnya memberikan hasil yang
nyata/segera (dalam waktu beberapa jam) pada lebih dari 90%
kasus.
29
30