Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

ISTIHSAN, MASLAHAH MURSALAH DAN ISTISHAB


Disusun & Diajukan Untuk Tugas Terstruktur Dalam Mata Kuliah :
FIQH DAN USHUL FIQH

Disusun Oleh Kelompok 9:


MELA AMANDA PUTRI 1910402038
WIRA PRANATA 1910402050

Dosen Pembimbing :
IRWANTO, S.Sy, MA

MAHASISWA JURUSAN EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS FEBI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KERINCI
TAHUN AKADEMIK 2020 / 1441 H
KATA PENGANTAR
‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

‫الحمدهلل رب العالمين و الصالة و السالم على سيدنا محمد و على اله وأصحابه اجمعين‬

Simpuh sujud kehadirat Allah Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga Penulis dapat menyusun dan menyelesaikan
makalah yang sederhana ini.

Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada junjungan alam Nabi


Muhammad SAW. Rasul terakhir yang diutus oleh Allah SWT yang telah
membawa petunjuk dan pedoman bagi kehidupan umat manusia di dunia dan
akhirat, yaitu agama Islam.

Dalam penyusunan makalah ini Penulis menyadari sepenuhnya bahwa


pengetahuan dan ilmu Penulis sangat terbatas, sehingga makalah ini Penulis
rasakan masih jauh dari kesempurnaan, namun dengan segala kemampuan dan
pengetahuan yang Penulis miliki, serta berkat bimbingan dari beberapa pihak
akhirnya banyak kendala yang dapat teratasi. Atas bantuan dan bimbingan serta
petunjuk yang Penulis terima. Akhirnya kami selaku Penulis berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin…

Kerinci, Februari 2020


Penulis

Kelompok 9

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................... i

DAFTAR ISI...................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1

A. Latar Belakang........................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN................................................................................... 2

A. Istishan.................................................................................................... 2

B. Istishab.................................................................................................... 4

C. Maslahah al Murslah............................................................................... 2

BAB III PENUTUP........................................................................................... 8

A. Kesimpulan............................................................................................. 8

B. Saran........................................................................................................ 8

DAFTAR PUSTAKA

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan sumber hukum atau dalil
yaitu sumber hukum yang disepakati dan sumber hukum yang tidak
disepakati.menurut ‘Abd al Majid Muhammaad Al Khafawi bahwa sumber
hukum yang di sepakati ulama tersebut yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah,
Ijma’, dan Qiyas.
Sedang sumber hukum/ dalil yang tidak disepakati atau terjadi Ikhtilaf
ada 7 secara umum yaitu Istihsan,Istishab,Maslahah al mursalah,Urf,Saddudz
dzarî’ah,Syar’u man Qablana,Qaul Sahabi
Adapun dalam makalah ini akan membahas sumber hukum yang tidak
disepakati oleh mayoritas ulama’,sehingga terjadi perbedaan (ikhtilaf) dalam
penggunaanya.

B. Rumusan masalah

Bertitik tolak pada uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis


dapat menarik sebuah rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian Istihsan,Istishab,Maslahah al mursalah ?


2. Jelaskan macam-macam Istihsan,Istishab,Maslahah al mursalah, dan
contohnya!
3. Apa kehujjahan Istihsan,Istishab,Maslahah al mursalah ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Istihsan
1. Pengertian

Pengertian istihsan menurut bahasa adalah mengembalikan sesuatu


kepada yang baik, menurut istilah Ushul yaitu memperbandingkan,
dilakukan oleh mujtahid dari qias jalli (jelas) kepada qias khafi
(tersembunyi), atau dari hukum kulli kepadahukum istinai’
Menurut Wahbah Az Zuhaili terdiri dari dua definisi:

a. Memakai qias khafi dan meninggalkan qias jalli karna ada petunjuk
untuk itu disebut istihsan qiasi
b. Hukum pengecualian dari kaidah kaidah yang berlaku umum karna ad
petunjuk untuk hal tersebut. Disebut istihsan Istinai’1
2. Macam- Macam Istihsan

Ulama Hanafiyyah membagi istihsan kepada 6 macam, yaitu:

a. Istihsan bi al-Nash/‫( اإلستحس;;ان ب;;النص‬Istihsan berdasarkan ayat atau


hadist).
b. Istihsan bi al-Ijma'/‫( اإلستحسان باإلجماع‬istihsan yang didasarkan kepada
ijma’).
c. Istihsan bi al-qiyas al-khafiy/‫( اإلستحس;;;;;;ان بالقي;;;;;;اس الخفى‬istihsan
berdasarkan qiyas yang tersembunyi).
d. Istihsan bi al-Mashlahah/‫(اإلستحس;;;;ان بالمص;;;;لحة‬istihsan berdasarkan
kemaslahatan).

1 Azhar,Ushul Fiqih ( Medan : Fakultas Tarbiyah IAIN SU,2015,) hal. 50

2
e. Istihsan bi al-‘Urf/‫(اإلستحسان بالعرف‬istihsan berdasarkan adat kebiasaan
yang berlaku umum). Istihsan bi al-dharurah/‫اإلستحس;;;;;;ان‬
‫(بالضرورية‬istihsan berdasarkan keadaan darurat).

3
3. Kehujahan Istihsan
Terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih dalam menetapkan
istihsan sebagai salah satu metode/dalil dalam menetapkan hukum syara’.2
Menurut ulama Hanafiyyah, Malikiyyah dan sebagian ulama
Hanabilah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum
syara’. Alasan yang mereka kemukakan adalah:
a. Ayat-ayat yang mengacu kepada pengangkatan kesulitan dan
kesempitan dari umat manusia, yaitu firman Allah dalam surat al-
baqarah, 2: 185:
….Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki
kesukaran bagi kamu…
b. Rasulullah dalam riwayat ‘Abdullah ibn Mas’ud mengatakan:

ِ َ‫َما َرآ ُه ال ْـ ُم ْسلـِ ُم ْو َـن َح َسنـًا فـَه َُو ِعن ْـد‬


‫هللا َح َس ٌن‬

“Sesuatu yang dipandang baik oleh umat islam, maka ia juga di


hadapan Allah adalah baik. (H.R. Ahmad ibn Hanbal)
Adapun Ulama Syafi’iyyah, Zhahiriyyah, Syi’ah dan
Mu’tazilah tidak menerima istihsan sebagai salah satu dalil dalam
menetapkan hukum syara’. Alasan mereka, sebagaimana yang
dikemukakan Imam al-Syafi’i, adalah:
1) Hukum-hukum syara’ itu ditetapkan berdasarkan nash (al-Qur’an
dan atau Sunnah) dan pemahaman terhadap nash melaui kaidah
qiyas. Istihsan bukanlah nash dan bukan pula qiyas. Jika istihsan
berada di luar nash dan qiyas, maka hal itu berarti ada hukum-
hukum yang belum ditetapkan Allah yang tidak dicakup oleh nash
dan tidak bisa dipahami dengan kaidah qiyas. Hal ini tidak sejalan
dengan firman Allah dalam surat al-Qiyamah, 75:36:

2 Amir Syarifuddin, Ushul fiqh, (Jakarta: Logos, 2001), hal. 313-314

4
 “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu
saja (tanpa pertanggungjawaban).”
Menurut wahbah az Zuhaili menyebutkan bahwa adanya
perbedaan tersebut disebabkan perbedaan dalam mengartikan
Istihsan, Imam Syafii membantah istihsan dengan menggunakan
hawa nafsu tanpa menggunakan dalil syara’, sedang istihsan yang
dipakai oleh penganutnya bukan berdasarkan hawa nafsu tetapi
mentarjih (menganggap kuat)salah satu dua dalil yang
bertentangan.

B. Istishab

1. Pengertian Istishab

Secara lughawi (etimologi) istishab itu berasal dari kata is-tash-ha-


ba ((‫ استصحب‬dalam shigat is-tif’âl (‫تفعال‬Q‫)اس‬, yang berarti: ‫حبة‬Q‫تمرار الص‬Q‫اس‬.
Kalau kata ‫ الصحبة‬diartikan “sahabat” atau “teman”, dan ‫ استمرار‬diartikan
“selalu” atau “terus-menerus”, maka istishab itu secara lughawi artinya
adalah: “selalu menemani” atau “selalu menyertai”.

Sedangkan secara istilah (terminologi), terdapat beberapa definisi


yang dikemukakan oleh para ulama, di antaranya ialah:

Ibn al-Qayyim al-Jauziyah Istishab ialah mengukuhkan


menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan meniadakan apa yang
sebelumnya tiada.

2. Syarat-syarat Istishab 3

3 . Syafi’I Rahmat Ilmu Ushul Fiqh Bandung :  CV Pustaka Setia,cet-1 1999 hal. 162

5
a. Syafi’iyyah dan Hanabillah serta Zaidiyah dan Dhahiriyah berpendapat
bahwa hak-hak yang baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang
berhak terhadap hak-haknya terdahulu.
b. Hanafiyyah dan Malikiyah membatasi istishab terhadap aspek yang
menolak saja dan tidak terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi
hujjah untuk menolak, tetapi tidak untuk mentsabitkan.

3. Macam- Macam Istishab


Muhammad Abu Zahroh membagi Istishhab menjadi 4 bagian :
a. Istishhab al-Bara`ah al-Ashliyyah dapat dipahami dengan contoh
sebagai berikut : seperti tidak adanya kewajiban melaksanakan
syari’at bagi manusia, sehingga ada dalil yang menunjukan dia wajib
melaksanakan kewajiban tersebut,. Maka apabila dia masih kecil maka
dalilnya adalah ketika dia sudah baligh.
b. Ishtishhab ma dalla asy-Syar’i au al-’Aqli ‘ala Wujudih bisa dipahami
yaitu bahwa nash menetapkan suatu hukum dan akal pun
membenarkan (menguatkan ) sehingga ada dalil yang menghilangkan
hukum tersebut.
c. Istishhab al-hukmi bisa dipahami apabila hukum itu menunjukan pada
dua terma yaitu boleh atau dilarang, maka itu tetap di bolehkan
sehingga ada dalil yang mengharamkan dari perkara yang
diperbolehkan tersebut, begitu juga sebaliknya.
d. Istishhab al-Washfi dipahami dengan menetapkan sifat asal pada
sesuatu, seperti tetapnya sifat hidup bagi orang hilang sehingga ada
dalil yang menunjukan bahwa dia telah meninggal, dan tetapnya sifat
suci bagi air selama belum ada najis yang merubahnya baik itu
warna,rasa atau baunya.

4. Kehujjahan Istishab

6
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan
isthishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang
dihadapi:4

a. Ulama Hanafiyah : menetapkan bahwa istishab itu dapat menjadi


hujjah untuk menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari penetapan
hukum yang berbeda (kebalikan) dengan penetapan hukum semula,
bukan untuk menetapkan suatu hukum yang baru.
b. Ulama mutakallimin (ahli kalam) : bahwa istishab tidak bisa dijadikan
dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki
adanya adil.
c. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah :
bahwa istishab bisa menjadi hujjah serta mutlak untuk menetapkan
hukum yang sudah ada, selama belum ada yang adil mengubahnya.

C. Maslahah al Murslah

Menurut abdul wahab khalaf; sesuatu yang dianggap maslahah namun


tidak ada ketegasn hukum untuk merealisasikanya dan tidak pula ada dalil
yang mendukung maupun yang menolaknya,sehingga ia dikatakn Maslahah al
mursalah ( maslahah yang lepasdari dalil secara khusus).
Para ulama’ belum sepenuhnya sepakat bahwa maslahah al mursalah
dapat dijadikan sumberhukum islam artinanya maslahah al mursalah termasuk
sumber hukum Islam yg masih di pertentangkan, golongan mazhab Syafii dan
Hanafy tidak menganggap maslahah al mursalah sebagai sumber hukum yang
berdiri sendiri, dan memasukkannya dalam katagori bab Qiyas, jika dalam
suatu maslahah tidak didapatkannya nash yg bisa dijadikannya acuan dalam
Qiyas maka maslahah tersebut di anggap batal/ tidak diterima. Sedang Imam
malik dan Imam Hanbaly mengatakan bahwa maslahah dapat diterima dan
dapat dijadikan sumber hukum apabila memenuhi syarat.5
Adapun syaratnya yaitu:
4 Ibid .165
5 Abdul Khallaf Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh (Semarang : Toha Putra Group, 1994), hlm.
121 - 122

7
1. Adanya persesuian antara maslahah yg dipandang sebagai sumber dalil yg
berdiri sendiri dengan tujuan tujuan syariat ( maqashid as syari’ah).
2. Maslahah harus masuk akal ( rationable).
3. Penggunan dalil maslahah adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan
yang terjadi ( raf’u haraj lazim), seperti firman Allah surah al hajj ayat 78,
yg artinya “dan Dia tidak sekali kali menjdikan untuk kamu suatu
kesempitan.”( lihat al I’tisham oleh As Syatibi juz 3, hal 307

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Sumber hukum Islam yang tidak disepakati ulama’ yaitu Istihsan, Istishab,
Maslahah al mursalah, merupakan ciri khas Islam dalam pengambilan sumber
hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan suatu masalah dengan cara pandang/
metode yang berbeda-beda.

8
DAFTAR PUSTAKA

Azhar. 2015. Ushul Fiqih Medan : Fakultas Tarbiyah IAIN SU,

Rahmat, Syafi’I.1999 Ilmu Ushul Fiqh .cet-1 Bandung :  CV Pustaka Setia.

Syarifuddin, Amir 2001 Ushul fiqh, Jakarta: Logos.

Wahhab, Abdul Khallaf. 1994 . Ilmu Ushul Fiqh Semarang : Toha Putra Group,

Anda mungkin juga menyukai