Abses Bartholin Fix1
Abses Bartholin Fix1
PENDAHULUAN
Abses Bartholin merupakan salah satu abses vulva yang paling sering
ditemukan. Penyakit ini dapat diawali dengan terjadinya kista yang terinfeksi dan
kemudian berkembang menjadi abses. Abses Bartholin sendiri adalah
penumpukan nanah yang membentuk benjolan (pembengkakan) di salah satu
kelenjar Bartholin yang terletak di setiap sisi lubang vagina.1 Penyakit ini
ditemukan pada 2% wanita yang berada pada usia produktif. Sedangkan pada usia
prepubertas sangat jarang ditemukan, yaitu hanya sekitar 6 kasus hingga tahun
2017.2
Penderita kista Bartholin biasanya tidak mengeluhkan gejala apapun,
sedangkan pada abses Bartholin akan memberikan sensasi rasa nyeri yang sangat
luar biasa. Kista yang berukuran lebih besar dapat menimbulkan keluhan berupa
adanya benjolan, rasa tidak nyaman terutama saat melakukan hubungan seksual,
duduk, dan berjalan.3
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti mengenai penyebab dari kista
Bartholin dan abses Bartholin ini. Beberapa penelitian menarik kesimpulan
adanya peningkatan risiko perempuan yang juga memiliki risiko tinggi terhadap
Penyakit Menular Seksual (PMS). Bakteri penyebab dari abses Bartholin pun
sangat beragam. Kebanyakan bakteri yang menyebabkan adalah bakteri yang
menyebabkan infeksi kulit atau urin, seperti Staphylococcus spp dan Escherichia
coli. Pada beberapa kasus juga ditemukan penyebabnya adalah bakteri menular
seksual seperti gonorrhea atau klamidia.4
Angka rekurensi yang tinggi dari penyakit ini, yaitu sebesar 38%
menjadikan tatalaksana adalah faktor penentu yang penting terhadap kesembuhan
penyakit ini.5 Beberapa tatalaksana yang dapat dilakukan adalah tindakan operatif
dan medikamentosa.1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identifikasi
Nama : Ny. WL
Umur : 26 tahun (25 Juli 1991)
Alamat : Kel. Tanjung Raya RT 06, kec. Lubuk Linggau Utara I
Agama : Islam
Suku Bangsa : WNI
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
MRS : 1 Februari 2018
No. RM : 133861
Keluhan Tambahan
Nyeri pada benjolan
Riwayat Perkawinan
Satu kali, lamanya 2 bulan
Riwayat Reproduksi
Menarche : 13 tahun
Siklus haid : 28 hari, teratur, lamanya 6-8 hari
Banyaknya : ± 3 kali ganti pembalut
Riwayat Persalinan
1. -
2.7 Penatalaksanaan
Non Farmakologis
• Menjaga kebersihan area kewanitaan
• Tirah baring
Farmakologis
• Observasi TVI, DJJ
• IVFD RL gtt xx/menit
• Inj. Ceftriaxone 2 x 1 g (IV)
• Asam Mefenamat 3x500mg
• Kompres Vagina
• Pro insisi drainage
2.8 Prognosis
Vitam : bonam
Functionam : bonam
Sanationam : dubia
2.9 Follow Up
2 Februari 2018 S: keluhan: nyeri pada benjolan
O: KU: baik TD: 110/80 mmHg RR: 20x/menit
Sens: CM Nadi: 88x/menit Temp: 36,4 oC
Status Ginekologi: PL: FUT setinggi umbilikus (14 cm),
ballotement eksterna (+), DJJ (+) 138x/menit
Genitalia: Tampak benjolan di labia mayora dextra, ukuran
± 10x10 cm, fluktuasi (+), batas tegas, hiperemis, nyeri,
discharge (-)
A: - Abses Bartholini
- G1P0A0 hamil 20 minggu JTH intrauterin
P: - Observasi TVI, DJJ
- IVFD RL gtt xx/menit
- Inj. Ceftriaxone 2x1 g (IV)
- Asam Mefenamat 3x500mg (p.o)
- Kompres Vagina
- Rencana insisi dan drainase
Laporan Operasi
- Pukul 09.00 WIB tindakan dimulai
- Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik
- Tampak abses bartholin dextra ukuran 10x10 cm, hiperemis (+)
- Dilakukan insisi, didapatkan pus ± 10ml
- Dilakukan irigasi dengan Nacl
- Dilakukan pemasangan drain handscoen
- Luka insisi dijahit
- Pukul 09.20 WIB tindakan selesai
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.2 Definisi
Kelenjar Bartholin pertama kali ditemukan oleh ahli Anatomi Denmark,
Casper Bartholin di abad ke-17. Kelenjar ini cenderung mudah terinfeksi dan
terbentuknya abses, yang mana dapat menyebaban nyeri vestibular dan
dispareuni.1 Penyakit terkait kelenjar ini yang paling banyak ditemui lainnya
adalah kista kelenjar Bartholin. Obstruksi pada duktus Bartholin akan
menyebabkan terhambatnya sekresi dari kelenjar Bartholin, dilatasi dari kelenjar,
dan menyebabkan pembentukan kista. Sedangkan, abses Bartholin sendiri adalah
penumpukan nanah yang membentuk benjolan (pembengkakan) di salah satu
kelenjar Bartholin yang terletak di setiap sisi lubang vagina. Abses ini paling
sering terjadi karena adanya kista bartholin yang terinfeksi dan kemudian
berkembang menjadi abses. Namun, abses kelenjar Bartholin dapat terjadi tanpa
didahului dengan adanya kista.2
3.4 Epidemiologi
Abses dan kista kelenjar Bartholini adalah penyakit kistik ginekologis pada
vulva yang paling banyak ditemukan. Hingga 2% wanita pada usia produktif
mengalami kelainan ini. Abses hampir tiga kali lebih sering ditemukan
dibandingkan kista.4 Angka terjadinya kelainan ini pada usia prepubertas sangat
jarang, yaitu hanya sekitar 6 kasus hingga tahun 2017. Abses kelenjar Bartholini
juga dilaporkan dapat berulang pada sekitar 38% kasus.2
Salah satu penelitian kasus-kontrol menyebutkan bahwa perempuan kulit
putih dan hitam lebih mungkin untuk mendapatkan kista Bartholin atau abses
daripada wanita hispanik, dan wanita paritas tinggi berada pada risiko terendah.
Involusi bertahap dari kelenjar Bartholin dapat terjadi pada saat wanita memasuki
usia 30 tahun. Sehingga kelainan kista dan abses kelenjar Bartholin ini paling
banyak ditemukan pada terutama antara usia 20 hingga 29 tahun.6
3.5 Patofisiologi
Pembentukan kista sering terjadi pada kelenjar Bartholin yang diakibatkan
oleh sumbatan pada duktus. Sumbatan ini dapat diakibatkan oleh infeksi, trauma,
dan perubahan konsistensi mukus atau duktus yang menyempit secara kongenital.4
Ketika orifisum duktus kelenjar Bartholin tersumbat, kelenjar tersebut
memproduksi mukus dan akan terakumulasi. Hal ini menyebabkan dilatasi kistik
pada duktus dan pembentukan kista. Apabila terjadi infeksi dapat menyebabkan
abses. Abses tidak harus didahului adanya kista Bartholin. Kejadian abses hampir
tiga kali lipat dari kejadian kista Bartholin. Kultur abses Bartholin sering
menunjukan infeksi polimikroba.1
3.6 Diagnosis
a. Anamnesis
Kista Bartholin tidak selalu menimbulkan keluhan. Kista Bartholin
yang berukuran kecil dan tidak terinfeksi sering asimtomatik sehingga tidak
disadari oleh pasien. Kista yang berukuran lebih besar dapat menimbulkan
keluhan berupa adanya benjolan, rasa tidak nyaman terutama saat
melakukan hubungan seksual, duduk, dan berjalan.3
Kista Bartholin yang terinfeksi dapat berkembang menjadi abses
Bartholin. Pasien biasanya datang dengan keluhan nyeri berat dan
pembengkakan hebat sehingga juga terdapat keluhan kesulitan untuk duduk,
berjalan, beraktivitas fisik, dan berhubungan seksual. Adanya riwayat nyeri
yang berkurang mendadak setelah keluarnya sekret profus menandakan
adanya ruptur spontan. Pada beberapa pasien bisa didapatkan keluhan
demam.1
b. Pemeriksaan Fisis
Kista atau abses Bartolini didiagnosis melalui pemeriksaan fisik,
khususnya dengan pemeriksaan ginekologis pelvis. Ukuran kista dan abses
Bartholin bervariasi, dengan rata-rata kista Bartholin berukuran 1-3 cm.3
Kista atau abses Bartholin biasanya unilateral dan mendistensi labia mayora
yang terkena sehingga menyebabkan vulva asimetris dan terdapat sekret
vagina. Apabila dipalpasi, bersifat fluktuatif, dapat disertai atau tanpa nyeri,
namun apabila terjadi abses terdapat nyeri hebat.2
Pada abses Bartholin, gambarannya adalah massa yang nyeri di
daerah bawah regio vestibular dikelilingi eritema dan edema. Ketika abses
meluas hingga bagian atas labia, dapat terjadi ruptur kulit dan drainase
spontan. Pasien dapat mengalami pengurangan nyeri tiba-tiba apabila terjadi
ruptur spontan.1
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan biopsi dan histopatologi dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya keganasan.4 Kista Bartolini adalah kista yang
sering terjadi pada vulva, dimana kista ini menyebabkan dilatasi dari
duktus maupun kelenjar Bartolini. Adapun gambaran mikroskopiknya
dapat dilihat pada gambar 1 dan gambar 2.
.
Gambar 1: Gambaran mikroskopik pada dinding kista bagian dalam yang tertutup
oleh lapisan epithelium. Pada perbesaran kecil menunjukkan saluran membesar
yang dilapisi oleh epitel transisional & terdapat banyak lendir pada dinding kista. .
(Diambil dari Kozawa, E., et al., MR Findings of a Giant Bartholin’s Duct Cyst.
Magn Reson Med Sci 2008. 7(2): p.103)
3.8 Tatalaksana
Tujuan dari tatalaksana kista Bartholin adalah untuk memelihara dan
mengembalikan fungsi dari kelenjar tersebut.6 Penatalaksanaan dari kista duktus
bartholin tergantung dari gejala pada pasien. Kista yang asimptomatik mungkin
tidak memerlukan pengobatan, tetapi kista duktus bartholin simtomatis dan abses
bartholin memerlukan drainase. Kecuali kalau terjadi rupture spontan, abses
jarang sembuh dengan sendirinya.1
a. Tindakan Operatif
Beberapa prosedur yang dapat digunakan:
1. Insisi dan Drainase
Meskipun insisi dan drainase merupakan prosedur yang cepat dan
mudah dilakukan serta memberikan pengobatan langsung pada pasien,
namun prosedur ini harus diperhatikan karena ada kecenderungan
kekambuhan kista atau abses.3
2. Sitz Bath
Sitz Bath merupakan perawatan terhadap kista Bartolini secara
sederhana yang dapat dilakukan dirumah. Caranya yaitu dengan duduk
di dalam bak mandi (bathub) yang diisi dengan beberapa inci air hangat
dimana bokong dan daerah genital harus terendam air dengan tujuan
untuk mengurangi nyeri dan membantu proses penyembuhan. Hal ini di
lakukan selama 10 hingga 15 menit, 3 sampai 4 kali dalam sehari.1,3,4
3. Word catheter
Word catheter seringkali digunakan untuk menangani kista Bartolini
dan abses kelenjar. Setelah insisi dilakukan, Word catheter
dimasukkan, dan ujung balon dikembangkan dengan salin 2 sampai 3
ml diinjeksi melalui ujung kateter. Balon yang mengembang
menyebabkan kateter tetap berada di dalam rongga kista. Ujung bebas
dari kateter dapat diletakkan di dalam vagina. Agar terjadi epitelisasi
pada daerah insisi, Word catheter dibiarkan selama 4-6 minggu
meskipun epitelisasi dapat mulai terjadi dalam 3-4 minggu.1,3,4
5. Eksisi
Eksisi dapat dilakukan pada kista yang cenderung berulang beberapa
kali. Prosedur ini tidak dapat dilakukan ditempat praktek, melainkan
dikamar operasi karena dapat terjadi perdarahan dari vena-vena
sekitarnya. Prosedur ini menggunakan anestesi umum dan dapat
menimbulkan hemoragik, hematom, infeksi sekunder dan dispareunia
akibat pembentukan jaringan parut. Eksisi kelenjar Bartolini dilakukan
jika tidak ada infeksi aktif. Jika sebelumnya telah dilakukan beberapa
tindakan untuk drainase kista maka kemungkinan ada perlengketan
yang dapat mempersulit eksisi dan dapat menimbulkan jaringan parut
yang disertai nyeri kronis postoperasi. Beberapa peneliti menyarankan
eksisi pada kelenjar Bartolini untuk mencegah adenokarsinoma jika
kista menyerang pada usia >40 tahun, meskipun adenokarsinoma pada
kelenjar Bartolini termasuk dalam kasus yang jarang terjadi.1,3,6
b. Pengobatan Medikamentosa
Terapi antibiotik tidak diperlukan pada wanita sehat tanpa abses yang
disertai komplikasi. Terapi antibiotik meliputi Ceftriaxone, Ciprofloxacin,
Doksisiklin and Azithromycin. Pilihan terapi ini harus dibatasi pada wanita
yang memiliki risiko tinggi yaitu rekurensi, hamil, imunosupresi, selulitis
luas, gonorrhea, atau infeksi klamidia. Anestesi lokal atau topikal seperti
Lidokain dan Bupivacaine juga digunakan dalam menanganai abses. 1
3.9 Komplikasi
Komplikasi dari kista atau abses Bartholin adalah:
A. Rekurensi
B. Nyeri hebat
C. Dispareunia
D. Sulit berjalan
E. Trauma psikis
F. Marital disharmony
G. Sedangkan komplikasi dari prosedur tatalaksana meliputi:
H. Perdarahan
I. Granuloma pyogenik
J. Problem anastesia
K. Infeksi post operasi.4
3.10 Prognosis
Sejumlah pendekatan pembedahan dan konservatif telah dilakukan untuk
menatalaksana penyakit ini, namun tidak ada salah satu dari tatalaksana ini
menunjukkan hasil yang maksimal dengan angka rekurensi mencapai 38%.5
BAB IV
ANALISIS KASUS
Pasien atas nama Ny. WL, usia 26 tahun, G1P0A0 hamil 20 minggu
dibawa ke RSUD Siti Aisyah Lubuk Linggau dengan keluhan terdapat benjolan
pada bibir kemaluan sejak 2 hari SMRS. Benjolan dirasa langsung membesar,
kurang lebih sebesar telur ayam kampung. Benjolan terasa nyeri dan terasa panas.
Tidak ada perdarahan, belum pernah ada keluar cairan, riwayat keputihan ada,
sejak 6 minggu yang lalu, tidak ada gangguan berkemih maupun buang air besar.
Riwayat demam sebelumnya disangkal. Pasien pernah mengalami penyakit yang
sama 2 bulan yang lalu dan sudah dioperasi. Berdasarkan anamnesis diatas,
didapatkan pasien mengalami suatu keadaan nyeri yang diakibatkan oleh suatu
lesi yang terinfeksi. Berdasarkan teori, penyakit ini dapat merupakan rekurensi
dari penyakit pasien sebelumnya namun untuk membuktikan apakah penyebab
keluhan tersebut adalah penyakit yang sama perlu dilakukan pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
Pada pemeriksaan ginekologi didapatkan pada pemeriksaaan luar abdomen
datar, lemas, fundus uteri teraba setinggi umbilikus (14 cm), ballotement
ekstremitas (+), DJJ (+). Hal ini menunjukan pasien sedang hamil dengan usia
kehamilan 20 minggu. Pada pemeriksaan genitalia tampak benjolan di labia
mayora dextra dengan ukuran ±10x10 cm, batas tegas, hiperemis, discharge (-),
nyeri tekan (+), fluktuasi (+). Penyebab benjolan unilateral tersering pada vulva
berasal dari kelenjar bartholini, adanya fluktuasi dan nyeri pada pasien ini dapat
diartikan sebagai adanya suatu abses. Kehamilan pada pasien ini juga menjadi
faktor risiko yang mendasari terjadinya rekurensi penyakit yang dialami pasien
ini.
Pada pasien juga dilakukan pemeriksaan darah dan didapatkan nilai
leukosit sebesar 15.300/µl yang menunjukan peningkatan dari nilai normal
sehingga mendukung adanya infeksi pada pasien ini.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
pasien didiagnosis Abses Bartholini + G1P0A0 hamil 20 minggu JTH intrauterin.
Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah cairan IVFD RL gtt xx/menit sebagai
kebutuhan cairan harian pasien, pemberian antibiotik berupa injeksi Ceftriaxone
2x1 gram (IV) dikarenakan adanya peningkatan leukosit yang diakibatkan oleh
adanya infeksi bakteri, pemberian analgetik berupa asam mefenamat 3x500 mg
untuk mengurangi nyeri yang dialami pasien, kompres vagina, serta rencana insisi
dan drainase. Kemudian didapatkan respon yang baik terhadap terapi, sehingga
prognosis pada pasien quo ad vitam dan quo ad functionam adalah bonam. Pada
quo ad sanationam, kemungkinan berulang cukup tinggi sehingga prognosisnya
adalah dubia ad malam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lee, MY., et al. 2014. Clinical Pathology of Bartholin’s Glands: A Review
of the Literature. Current Urology 2014;8:22–25.
2. Radhakrishna, Veerabhadra., et al. 2017. Bartholin's gland abscess in a
prepubertal female: A case report. Annals of Medicine and Surgery 24
(2017):1-2.
3. Vaniary TIN, Martodihardjo S. Studi Retrospektif: Kista dan Abses
Bartholin. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin – Periodical of
Dermatology and Venereology Vol. 29 / No. 1 / April 2017.
4. Anozie, OB., et al. Incidence, Presentation and Management of Bartholin’s
Gland Cysts/Abscesses: A Four-Year Review in Federal Teaching
Hospital, Abakaliki, South-East Nigeria. Open Journal of Obstetrics and
Gynecology. 2016, 6, 299-305.
5. Reif, Philipp.,et al. 2015. Management of Bartholin’s Duct Cyst and Gland
Abscess. European Journal of Obstetrics&Gynecology and Reproductive
Biology 8972 (2015):1-4.
6. Omole F, Simmons BJ, Hacker Y. Management of Bartholin’s Duct Cyst
and Gland Abscess. Am Fam Physician. 2003;68(1):135-40.