9 - Uts LB Metopen
9 - Uts LB Metopen
Oleh:
Annisa Tri Utari
F0117021
A. Latar Belakang
Pada beberapa tahun belakangan ini, inovasi pada sistem pembayaran dan pola
transaksi semakin beragam. Perkembangan teknologi yang semakin maju menggeser
peran uang tunai sebagai salah satu instrumen pembayaran, menjadi pembayaran
dengan sistem non tunai yang lebih ekonomis dan efisien (Pramono, dkk, 2009).
Sistem pembayaran non tunai dapat dilakukan dengan cara transfer dana dengan
mengunakan kartu maupun uang elektronik. Di Indonesia, instrumen pembayaran
yang awalnya hanya menggunakan uang tunai, kemudian diperbaharui menggunakan
kartu dan saat menjadi lebih praktis lagi.
Dalam Undang-Undang No. 23 tentang Bank Indonesia Pasal 1 ayat 6 sistem
pembayaran adalah sistem yang mencakup seperangkat aturan, lembaga dan
mekanisme yang digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi
suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi. Bank Indonesia sebagai
otoritas moneter memiliki kewenangan mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran.
Bank Indonesia sebagai lembaga independen yang memiliki otoritas yaitu
salah satunya adalah mengatur lalu lintas sistem pembayaran di Indonesia mulai
melakukan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) untuk mewujudkan Less Cash
Society (LCS) di Indonesia. Bank Indonesia mengupayakan Less Cash Society (LCS)
karena penggunaan dan pengembangan sistem pembayaran non tunai masih rendah di
Indonesia. Data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa hanya sekitar 40% penduduk
usia 15-65 tahun memiliki rekening tabungan di bank.
Sistem pembayaran tunai menggunakan uang secara fisik akan mulai
digantikan oleh sistem pembayaran non tunai. Hal ini digerakkan Bank Indonesia
dengan tujuan menghemat biaya operasional untuk memproduksi uang baik uang
kertas maupun uang logam yang mudah rusak. Perkembangan teknologi informasi
yang canggih juga dalam sistem pembayaran menghasilkan produk pada sistem
pembayaran non tunai selain dalam bentuk kartu yaitu dalam bentuk uang elektronik
(e-money). Uang elektronik (e-money) untuk membantu konsumen bertransaksi lebih
cepat, pencatatan data personal secara otomatis dan memudahkan akses e-commerce.
Menurut Bank Indonesia (2006), setidaknya terdapat tiga basis dalam sistem
pembayaran non tunai, yakni:
1. Instrumen berbasis kertas: cek, bilyet giro dan nota debit
2. Instrumen berbasis kartu: kartu kredit, kartu debit dan kartu ATM
3. Instrumen berbasis elektronik: uang elektronik (e-money), internet
banking dan mobile banking
90,003,848
51,204,580
35,738,233 34,314,795
Tahun 2014 Tahun 2015 Tahun 2016 Tahun 2017 Tahun 2018
E-money
Tahun Infrastruktur
2014 206,826
2015 281,988
2016 374,861
2017 691,331
2018 923,624
Sumber:
Bank Indonesia (data diolah)
Tabel 1.2
Transaksi Uang Elektronik (E-money) Beredar
di Indonesia Tahun 2014-2018
Pada Tabel 1.2 dapat disimpulkan bahwa dari sisi transaksi yang dilakukan
menggunakan uang elektronik (e-money) terjadi kenaikan setiap tahunnya pada
jumlah transaksi baik di sisi volumenya maupun nominalnya. Hal ini mengindikasi
bahwa masyarakat mulai memiliki kepercayaan dan rasa nyaman dalam menggunakan
uang elektronik sebagai sistem pembayaran dalam kehidupan ekonomi mereka.
Jumlah uang beredar adalah yaitu M1 (uang dalam arti sempit) yang terdiri
dari uang kartal dan uang giral dan M2 (uang dalam arti luas) yang terdiri dari M1
ditambah uang kuasi (Herlambang, 2001: 183). Konsep uang beredar dapat ditinjau
dari dua sisi, penawaran dan permintaan. Interaksi antara keduanya menentukan
jumlah uang beredar di masyarakat. Uang beredar tidak hanya dikendalikan oleh bank
sentral saja, namun pada kenyatannya juga ditentukan oleh pelaku ekonomi yaitu
bank-bank umum (sektor perbankan) dan masyarakat umum.
Dalam perkembangan sistem pembayaran non tunai belum terdapat indikator
yang pasti dalam pengukurannya. Pengukuran indikator perkembangan pembayaran
non tunai pada berbagai studi adalah volume dan nilai transaksi yang dilakukan
melalui kliring antar bank, ATM, kartu debit, kartu kredit dan kartu prabayar serta
rasio konsumsi terhadap uang beredar (Markose and Lake, 2000: BIS, 1999).
Sedangkan di Indonesia, terdapat tiga indikator yang dapat dipergunakan untuk
menghitung penggunaan sarana pembayaran non tunai, yaitu transaksi Sistem BI-
RTGS, alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan rasio konsumsi terhdap uang
beredar.
Pergeseran sistem pembayaran tunai beralih ke sistem pembayaran non tunai
juga banyak terjadi di Negara lain, seperti Jepang, Korea Selatan dan Eropa.
Berdasarkan hasil studi bank sentral Belanda menjelaskan bahwa dari perhitungan
social cost yang terkandung dalam penggunaan seluruh instrumen pembayaran cash
memiliki proporsi yang paling besar. Social cost instrumen pembayaran di Belanda
mencapai EUR 2,9 milyar (0,65%GDP) atau setara dengan 45 Trilliun rupiah dan dari
jumlah tersebut, 73% berasal dari instrumen cash. Biaya pembayaran elektronik
hanya sepertiga sampai setengah kali dari biaya transaksi menggunakan uang kertas.
Isu paling sentral dalam studi mengenai alat pembayaran adalah bagaimana
inovasi sistem pembayaran elektronik. Khususnya dalam instrumen pembayaran yaitu
uang elektronik (e-money) terhadap jumlah uang yang beredar. Dalam dunia modern,
keterbukaan ekonomi, globalisasi dari pasar modal, dan kemudian kurs yang fleksibel,
telah menunjukkan pentingnya kajian tentang jumlah uang yang beredar.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Costa dan Grauwe (2001),
penggunaan alat pembayaran non tunai secara luas memiliki implikasi pada
berkurangnya permintaan uang terhadap uang yang diterbitkan oleh bank sentral, base
money, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pelaksanaan tugas bank sentral
dalam melaksanakan kebijakan moneter, khususnya pengendalian besaran moneter.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Freidman (1999), perkembangan teknologi
informasi akan memberikan implikasi terhadap berkurangnya peran base money
dalam transaksi pembayaran (Lasondy I, 2004: 613).
Inovasi dalam alat pembayaran non tunai berpengaruh dalam target kualitas
dalam pengendalian moneter. Perkembangan uang elektronik (e-money) seperti Go-
Pay, Ovo dan Dana dalam penggunaannyan dapat berimplikasi pada konsep
perhitungan jumlah uang beredar dalam arti sempit (M1) dan dalam arti luas (M2)
(Pramono dkk, 2006). M1 adalah uang kartal di tangan masyarakat ditambah dengan
uang giral. M2 merupakan M1 ditambah dengan uang kuasi (R), uang kuasi terdiri
dari tabungan dan deposito (Syarifuddin dkk, 2009: 375).
Sedangkan pengaruh uang elektronik (e-money) terhadap M1 yang signifikan
juga bahwa dalam e-money terdapat istilah float yang berarti sejumlah dana yang
dimiliki issuer dan tercatat dalam uang elektronik (e-money) yang belum atau sudah
digunakan untuk pembayaran namun belum ditagihkan oleh merchant.
Mempertimbangkan karakteristik uang elektronik (e-money) yang memiliki float dana
yang setiap saat dapat digunakan sebagai alat pembayaran, maka jenis dana ini dapat
dikategorikan sebagai dana yang sangat likuid atau dapat disetarakan dengan uang
tunai (cash) atau giro sehingga dapat dikategorikan sebagai bagian dari M1. Dalam
Monetary and Financial Statistics (MFSM) 2000, paragraph 128, secara implisit
dikatakan bahwa e-money dapat dikategorikan sebagai transferable deposits.
Penelitian tentang teknologi sistem pembayaran menjadi salah satu topik yang
hangat dibicarakan para ekonom untuk melihat pengaruhnya terhadap uang beredar
dalam aktivitas perekonomian negara. Pengunaan uang elektronik (e-money) dalam
bertransaksi berdampak terhadap berkurangnya transaksi uang tunai di sebuah negara.
Ditambah semakin maju zaman dan banyak masyarakat beralih menggunakan
instrumen pembayaran berupa uang elektrnoik (e-money) seperti Go-Pay, OVO dan
Dana dalam bertransaksi.